wisata 4
yaitu
usaha membangun pengetahuan tentang peristiwa atau
fakta yang berkaitan dengan warga dan budayanya
yang pernah terjadi dalam warga .
Dalam konteks peninggalan sejarah peradaban insitu inilah PaEni (2008) menjelaskan bahwa benda cagar
budaya yaitu aset kekayaan budaya bangsa yang
penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan
sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan itu
sendiri, sehingga perlu dilestarikan (dilindungi,
dikembangkan, hingga dimanfaatkan) dan menjadi
subjek dalam pembangunan kebudayaan nasional untuk
membangkitkan dan memupuk kesadaran terhadap
pentingnya jati diri bangsa dan kepentingan nasional yang lain. Benda budaya memiliki fungsi dan bermakna
penting sebagai bukti sejarah karena mengandung nilainilai inspiratif yang mencerminkan tingginya nilai budaya
dan dapat dimanfaatkan sebagai pencitraan kehidupan
berbangsa, yaitu sebagai kebanggaan kebudayaan
nasional danlandasan pengembangan jati diri bangsa.
Untuk menentukan benda tinggalan sejarah kebudayaan
yang bernilai penting dan berpeluang dijadikan sebagai
benda cagar budaya perlu dilakukan penilaian dan kajian
melalui lembaga kepakaran. usaha pelestarian terhadap
benda cagar budaya dilakukan melalui ketentuanketentuan dalam pelbagai prinsip pelindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan yang, setidaknya,
berdasarkan pada UndangUndang No. 11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya. Pemahaman mengenai sejarah
peradaban sebagaimana dijelaskan sebelumnya sangat
erat kaitannya dengan realita warga dan kebudayaan
bangsa negara kita di masa sekarang. Selanjutnya mengenai
sosio-kultural bangsa negara kita , premis bahwa karakter
setiap kebudayaan itu bersifat partikular, tumbuh dalam
lingkup area yang relatif “kecil” atau terbatas, dan oleh
karenanya kecil kemungkinan untuk terjadi homogenisasi,
itu benar adanya. Kendati demikian, tidak bisa dimungkiri
juga bahwa kebudayaan satu dengan yang lain dapat saling
mempengaruhi, bertukar atau “saling meminjamkan”
unsur-unsurnya, sehingga dalam proses yang demikian
itu dapat melahirkan apa yang disebut sebagai akulturasi
maupun asimilasi budaya, yang secara kasat mata dapat
disaksikan berbagai gejalanya dari masa lalu sampai saat
ini, seperti kisah-kisah dan penokohan wayang Jawa
yang erat hubungannya dengan tradisi bangsa India di
Asia Selatan, hingga globalisasi bahasa, gaya hidup, dan fesyen pada warga perkotaan di masa kini. Gejalagejala yang demikian itu dapat dibuktikan dan ditelusuri
lebih jauh dengan melihat lansekap kebudayaan bangsa
negara kita , dulu dan sekarang.
Lebih lanjut, secara sosiologis kekayaan bangsa ini
secara kultural itulah yang dapat dijadikan sebuah potensi
tersendiri bagi bangsa negara kita jika dibandingkan
dengan negara-negara lain di dunia. Potensi sosio-kultural
bangsa negara kita yang khas ini ketika dijabarkan lebih
lanjut secara terperinci, setidaknya ada beberapa
hal yang yaitu lansekap kebudayaan nasional
secara umum, yaitu: (1) keanekaragaman kearifan lokal,
(2) keanekaragaman bahasa, (3) keanekaragaman seni, (4)
keaneka-ragaman warisan budaya, (5) keanekaragaman
religi, (6) keanekaragaman falsafah hidup, dan (7) budaya
nasional dan globalisasi. Ketujuh ragam potensi itu
yaitu intisari yang termanifestasi dalam tiap-tiap
diri pada ratusan etnis, subetnis tempatan (lokal), dan juga
pada warga perkotaan yang telah termodernisasi di
seantero Nusantara.
6. Pengembangan Karakter Bangsa
Lansekap karakter bangsa yang yaitu ciri bangsa
negara kita jika dipandang dari aspek-aspek sosial
setidaknya memiliki tiga elemen atau unsur sebagai halhal strategis, yaitu: (1) pluralitas dalam warga , (2)
pluralitas institusi sosial, dan (3) pluralitas pola adaptasi
(atau sistem ekonomi). Ketiga unsur ini yaitu
sebuah fakta sosial, yang telah ada sebelum munculnya
negera negara kita sebagai kesatuan politik. Berbagai
fakta sosial ini tidak terlepas dari realita sosial yang
sebenarnya juga yaitu posisi strategis bagi bangsa negara kita , yakni bahwa secara kuantitas atau dengan
jumlah penduduk sekitar 231 juta jiwa, yang mana
total populasi warga negara kita menempati posisi
keempat i dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.
Sehubungan dengan total populasi itu, maka secara
sosiologis warga negara kita terbentuk ke dalam
realitas sosial dan kultural yang khas. Artinya, bahwa
keberagaman atau kemajemukan dalam warga
sangat kentara dalam kehidupan sehari-hari dan terbagi
ke dalam kategori-kategori sosial tertentu, yaitu berupa
kelompok, golongan, lapisan, relasi, hingga jejaring
sosial. Kategorisasi sosial semacam ini bisa kita tengarai
lebih lanjut dan lebih menukik ke dalam dengan melihat
pada sistem sosial yang berlaku di sana, seperti adanya
berbagai pranatapranata sosial berupa perangkat nilai,
kepercayaan, pandangan hidup, norma, dan aturan-aturan.
Norma-norma atau tata-aturan yang disepakati dan ditaati
bersama dan biasanya telah ditetapkan terlebih dahulu
dalam kelompok-kelompok maupun melalui organisasiorganisasi atau institusi-institusi sosial sebagaimana telah
disinggung sebelumnya. Mengenai sistem sosial yang
berlaku ini biasanya mewujud dalam lingkup keluarga,
kampung, desa, hingga kelompok sosial yang lebih luas,
yaitu negara. Dalam konteks pembangunan nasional
kebudayaan, keberagaman atau pluralitas sosial yang
demikian itu tentu saja dapat menjadi modal penting.D. Paham Negara Kesejahteraan dalam Pengaturan
Kepariwisataan di negara kita
1. Pewadahan dalam Konstitusi
Paham sosialis yang berkembang pada abad ke-19
memunculkan gagasan tentang negara kesejahteraan
sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah yang
Kapitalis-Liberalis. Sistem kapitalis sangat mengagungkan
produksi sebagai kekuatan dalam menentukan
kompetisi.119 Dalam sistem ini pemodal-pemodal besar
memiliki kekuasaan atas kebijakan perekonomian di dalam
suatu negara. Pada beberapa kasus, kapitalis melahirkan
monopoli perdagangan.
Paham negara kesejahteraan (welfare state) menjadi
“penawar” dalam menghadapi sistem kapitalis yang
berkembang semakin pesat.120 Tidak mengherankan
jika sejarah mencatat bahwa paham negara
kesejahteraan justru lahir dan berkembang dari negaranegara kapitalis yang kuat dominasi individualisme dan
produksi, seperti Inggris dan Prancis.121 Program dari
119 Ariza Fuadi, “Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam Pandangan
Islam dan Kapitalisme,” Jurnal Ekonomi Syariah negara kita 5, no. 5
(2015): 14.
120 Duco Bannink dan Marcel Hoogenboom, “Hidden change: disaggregation
of welfare state regimes for greater insight into welfare state change,”
Journal of European Social Policy 17, no. 1 (2007): 19–32.
121 Ahmad Dahlan dan Irfaan Santoso, “Menggaas Negara Kesejahteraan,”
Jurnal el-Jizya 2, no. 1 (2014): 1–22. Di Inggris, implementasi paham
negara kesejahteraan bermula dari kebijakan atas kesehatan yang
digagas oleh William Henry Beveridge sehingga berdiri British National
Health Service. Di Jerman, negara kesejahteraan lazim dikenal dengan
wohlfahrstat, bermula dari gagasan Otto von Bismarc membentuk
sistem asuransi sosial. Di Prancis, dikenal kebijakan solidarity and
insertion yang menekankan pada sikap saling menguntungkan dan
saling membantu. Negara kesejahteraan yang konon paling ideal yakni
Swedia, Gunnar Myrdal menggagas kebijakan terkait standar gizi dan
full employment. Diskusi lebih lanjut, lihat Ahmad Dahlan, “Krisis negara kesejahteraan ini bertujuan untuk mengangkat
kondisi warga negara yang lemah agar tetap bertahan
hidup dan menikmati kesejahteraan warga
kapitalis.122 Negara kesejahteraan yang dipraktekkan
di Eropa dan AS yaitu bentuk perlindungan dari
negara terhadap warga kelompok miskin, penderita
cacat fisik serta pengangguran agar tidak tergilas oleh
mesin kapitalisme.123 Khusus di Eropa, perlindungan
negara ini dikonkretkan dengan berbagai program
jaminan sosial baru seperti program pensiun, program
jaminan orang cacat dan santunan bagi pengangguran.124
Negara kesejahteraan atau welfare state yaitu suatu
negara yang memberikan tunjangan jaminan sosial
(social security benefits) yang luas seperti pelayanan
kesehatan negara, pensiun negara, tunjangan sakit
dan pengangguran, dan lain sebagainya.125 Kamus
Besar Bahasa negara kita memberikan definisi negara
kesejahteraan negara yaitu “negara yang mengusahakan
kesejahteraan rakyat dengan mengatasi anarki produksi
dan krisis ekonomi, meningkatkan jaminan hidup
warga dengan memberantas pengangguran”.126 Negara
kesejahteraan juga di definisikan sebagai model idealpembangunan yang fokus pada optimalisasi peran negara
dalam memberikan pelayanan sosial kepada warga negara
secara universal dan komprehensif.127
Pada perkembangannya, paham negara kesejahteraan
ini dianut oleh negara modern, maju dan berkembang.
Setelah Perang Dunia II, negara baru terutama di Asia
memiliki obsesi membangun negara kesejahteraan,
seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, telah cukup
berhasil membangun negara kesejahteraannya.128
Menurut Pierson,
“Kata kesejahteraan (welfare) di dalamnya
paling tidak mengandung tiga subklasifikasi,
yakni: (1) Social welfare, yang mengacu kepada
penerimaan kolektif kesejahteraan; (2) Economic
welfare, yang mengacu kepada jaminan
keamanan melalui pasar atau ekonomi formal;
dan (3) State welfare, yang mengacu kepada
jaminan pelayanan kesejahteraan sosial melalui
agen dari negara. Negara Kesejahteraan (welfare
state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu
negara dimana pemerintahan negara dianggap
bertanggung jawab dalam menjamin standar
kesejahteraan hidup minimum bagi setiap
warga negaranya”.129
Negara kesejahteraan yaitu strategi
memberikan peran lebih besar kepada negara dalam
menyelenggarakan sistem jaminan sosial (social security).130 Kati , turner jeanSistem jaminan sosial yang
diberikan disusun secara terencana, terlembaga dan
berkesinambungan. ada tiga sumber struktural
welfare state, Pertama, kebijakan institusi ditujukan pada
usaha menciptakan warga pekerja. Kedua, niat atau
keinginan dari otoritas yang berkuasa untuk mendorong
solidaritas nasional bersama-sama meningkatkan
kesejahteraan sosial. Ketiga, skema yang jelas mengenai
kesejahteraan sebagai bentuk jaminan sosial untuk
mewujudkan kesejahteraan warga .131
Di awal kemerdekaan, negara kita juga menegaskan
diri sebagai negara yang menganut paham negara
kesejahteraan sebagai implementasi dari negara hukum.
Pendiri bangsa menganggap bahwa bentuk negara
kesejahteraan yaitu pilihan tepat. Gagasan
mengenai negara kesejahteraan dalam konteks negara kita
ini dituangkan dalam rumusan sila kelima Pancasila
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat negara kita ”. Pancasila
yaitu dasar negara dan sumber dari segala sumber
hukum dalam tata hukum negara kita , sehingga semua
rumusan dalam Pancasila harus dipedomani dalam
penyusunan kebijakan.
Negara modern yaitu personifikasi dari tata hukum
yang kemudian disebut sebagai negara hukum.132 Negarakesejahteraan yaitu kelompok negara hukum
materiil. negara kita yaitu “Negara Kesejahteraan”
(walvaarstaat) dan bukan “Negara Penjaga Malam”
(nachtwachterstaat). Moh. Hatta memakai istilah
“Negara Pengurus”.133
Soekarno memandang bahwa keadaan kapitalisme
Eropa berbeda dengan kapitalisme di negara kita .
Kapitalisme Eropa terfokus pada kepabrikan dan industrial
yang menghasilkan kaum protelar yang tidak memiliki alat
produksi, sedang negara kita terfokus pada perkebunan
yang menghasilkan kaum petani yang melarat yang tidak
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.134
negara kita mencoba membangun sistem ideal untuk
memberikan jaminan kesejahteraan sosial kepada warga
negara. Salah satunya dengan ratifikasi Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948) yang pada Pasal 22 dan
Pasal 25 mengatur mengenai jaminan sosial.135 Pembukaan
UUD 1945 menuangkan komitmen atas paham negara
kesejahteraan ini, “Pemerintah melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah dan memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. UUD 1945
sebelum amandemen mengatur kesejahteraan sosial
dalam Bab XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang
sistem perekonomian dan Pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak
telantar) serta sistem jaminan sosial.136 Artinya, platform
sistem perekonomian dan sistem sosial di negara kita
yaitu kesejahteraan sosial. Dalam berbagai literatur
disebutkan bahwa sejatinya negara kita menganut model
“Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare
state) atau dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan
atau welfare pluralism. Model ini menekankan kewajiban
negara dalam memberikan jaminan sosial, dan
pelibatan warga untuk berpartisipasi mewujudkan
kesejahteraan sosial yang merata.
Konstitusi pasca amandemen menegaskan kembali
tentang negara kesejahteraan. ini dapat
dicermati dalam tambahan ketentuan-ketentuan sosial
ekonomi, yakni terakomodirnya ketiga konsep rezim
negara kesejahteraan. Yakni residual welfare state, universal
welfare state, social insurance welfare state.137
Pertama,
konsep residual welfare state tertuang dalam Pasal 34
ayat (1), kedua, konsep universal welfare state tertuang
dalam Pasal 27 ayat (2) yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan yakni bahwa setiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Pasal 28H
menuangkan kebijakan sosial berupa jaminan sosial,
Pasal 31 yang memetakan kebijakan pendidikan bahwa
Pemerintah mengusahakan satu pendidikan nasional bagi
semua warga negara dan wajib membiayainya, Pasal 33
mengenai kebijakan ekonomi dan Pasal 34 ayat (2) (3), (4). Ketiga, konsep social insurance welfare state yang tertuang
pada Pasal 28C ayat (2). Pada Pasal 34 ayat (2) dan ayat
(3). Pada Pasal 34 ayat (2) muncul klausula mengenai
sistem jaminan sosial (social security system). Sistem ini
sudah terlembaga dengan baik di negara-negara Eropa
Barat dan Amerika Utara. Kekuatan sistem ini terketak
pada iuran jaminan sosial yang yaitu faktor utama
terlaksananya Pasal 34 ayat (1) mengenai pemeliharaan
fakir miskin dan anak terlantar oleh negara.
E. Negara Kesejahteraan dalam Formulasi
Peraturan dan Kebijakan Kepariwisataan
a. Masa Hindia Belanda Hingga Orde Lama
Industri pariwisata dimulai pada masa Hindia Belanda.138
Pariwisata di Hindia Belanda yaitu suatu gagasan
dari para individu dan sekelompok individu yang diawali
dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat lain di
luar tempat tinggalnya.139 Cikal bakal pariwisata di Hindia
Belanda yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan suatu
perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan
motor), perkumpulan sosial warga dan komersial,
serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis
pariwisata di Hindia Belanda seperti pendeta Marius
Buys, wartawan Karel Zaalberg, profesional bidang
perhotelan Johan Martinus Gantvoort, pegawai negeri
Louis Constant Westenenk, dan militer yang kemudian
menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van
Heutsz.140 Pada masa ini tepatnya pada tahun 1908
terbentuk asosiasi bernama Vereeniging Toeristenverkeer
in Nederlandsch Indie yang mengatur lalu lintas pariwisata.
Kemudian pada tahun 1910 terbentuklah Vereeneging
Toeristen Verkeer (VTV) yang yaitu biro pariwisata
pertama di negara kita .141
Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J.
Barendrecht mengirim surat kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar
pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai dalam
mengelola pariwisata. Sebelumnya, pada 1905, Karel
Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menuliskan
pendapatnya tentang pariwisata yang menurutnya
jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi
pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M.
Gantvoort, direktur Hotel des Indes, juga mengusulkan
soal promosi pariwisata di Hindia Belanda. Akhirnya,
pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata
(Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia.
Sebagai perhimpunan pertama di Hindia Belanda,
pendirian VTV bertujuan untuk mengembangkan
vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) di
Hindia Belanda. Struktur organisasi VTV mirip dengan
Kihinkai, khususnya dalam bentuk perhimpunan yang
terdiri dari para pengusaha dan inisiatif pihak swasta.
Seperti Kihinkai, para anggotanya terdiri dari pihak swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, dan
perbankan. Pemerintah menempatkan wakilnya dalam
susunan pengurus VTV. Untuk mendukung kegiatannya,
VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun
di luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor
cabang di Surabaya, Semarang, Padang, dan Medan,
serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu,
Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan Shanghai.
Pada periode berikutnya, VTV juga memiliki perwakilan
baru di Amerika, Australia, dan Afrika. Selain itu, usaha
lain yang juga dilakukan yaitu menjalin kerjasama
dengan organisasi sejenis dan lainnya di Belanda
guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda.
Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai
organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang,
Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan
Batavia. Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku
yang berperan sebagai penggerak pariwisata di Hindia
Belanda yaitu warga , swasta, dan pemerintah.
Pendudukan Jepang memicu kegiatan
pariwisata di negara kita terhenti. Geliat pariwisata
kembali dirasakan tahun 1955, pada tahun ini
terjadi banyak perisitiwa yang mempengaruhi
perkembangan kepariwisataan di negara kita . Pada
tahun yang sama dibentuk Direktorat Pariwisata dalam
lingkungan Kementerian Perhubungan. Pada masa
Orde Lama, pembangunan ekonomi berdasarkan
pada Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun
1961-1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS
Republik negara kita No. II/MPRS/1960 Tentang GarisGaris Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahapan Pertama 1061- 1969. Pada masaitu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian
pemerintah. Fokus pemerintah pada pada saat itu masih
pada pembangunan dan pembenahan perekonomian
nasional sehingga mampu berdiri sendiri. Pembangunan
diprioritaskan pada bidang pertanian dan meletakkan
dasar-dasar bagi industrialisasi terutama industri dasar
dan industri berat.
b. Masa Orde Baru
Memasuki era Orde Baru kondisi sosial, ekonomi
dan politik secara bertahap mulai tertata. Pembangunan
nasional pada masa itu mengacu pada Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). GBHN pada
dasarnya memuat Pola Umum Pembangunan Jangka
Panjang yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai
pelaksanaan pembangunan Nasional untuk masa 25
tahun, yaitu selama terlaksananya Pembangunan Lima
Tahun (PELITA) I sampai dengan V. Di masa Orde Baru
pembangunan pariwisata mulai mendapat perhatian
pemerintah yang ditandai dengan dituangkannya
kebijakan pembangunan kepariwisatan di dalam
Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun pertama
yang dimulai tahun 1967/68 dan berakhir pada tahun
1998/99. Pembangungan Jangka Panjang ini
kemudian dijabarkan ke dalam rencana lima tahunan
yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita Pertama-Repelita Keenam).
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam
Repelita Pertama (1969/70-1973/74) tidak dilakukan
secara menyeluruh dan bersamaan melainkan melalui
pentahapan dengan berbasis pada pengembangan area . Tahap pertama difokuskan pada area
negara kita bagian Tengah dan berpusat di pulau Bali. Hal
ini bukan berarti kegiatan pembangunan kepariwisataan
di daerah lain tidak mendapat perhatian pemerintah.
Pembangunan kepariwisataan tetap diarahkan untuk
semua area negara kita , namun akan dilakukan secara
bertahap dengan memanfaatkan pulau Bali sebagai
titik tolak pengembangan kepariwisataan di pulaupulau
lainnya di negara kita , mengingat pulau Bali sudah
terkenal di seluruh dunia sebagai destinasi pariwisata
yang menarik baik dari segi budaya maupun alamnya.
Kemudian tahap kedua, difokuskan di negara kita Bagian
Barat dan berpusat di Medan.
Selanjutnya, dalam usaha meningkatkan
pelayanan kepada wisatawan, pada tahun 1969 dibentuk
“Tourist Information Center” terutama di Bali dan Jakarta.
Sementara untuk memudahkan wisatawan mancanegara
asing masuk ke negara kita dibentuk “National Facilitation
Commitee” yang bertugas mempersiapkan peraturanperaturan yang terkait dengan hambatan masuknya
wisatawan mancanegara masuk ke negara kita , misalnya
“special air agreement”. Dalam tahun 1972, usaha
promosi berhasil memast ikan akan dilangsungkannya
Konperensi Pasific Area Travel Association di negara kita
tahun 1974. ini membuka kesemp atan yang
sangat baik bagi promosi pariwisata negara kita di dunia
pariwisata Internasional umumnya dan daerah Pasifik
khususnya.
Dalam Repelita Pertama, peranan Pemerintah
dalam mendukung pembangunan kepariwisataan
dipusatkan pada pengembangan prasa rana obyek
pariwisata, dan pelayanan yang bersifat umum, selebihnya diserahkan pengusahaannya kepada sektor
swasta. Atas dasar ini maka dalam Repelita Pertama
telah dilaksanakan prog ram rehabilitasi obyek-obyek
pariwisata di daerah konsentrasi usaha pariwisata.
Tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata
berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja
profesional di bidang pariwisata. Oleh karenanya dalam
rangka memenuhi pasar tenaga kerja ini telah
didirikan berbagai pusat pendidikan pariwisata baik baik
oleh pemerintah , sep erti Pusat Pendidikan Pariwisata
(Hotel and Training Institute) di Bandung maupun oleh
swasta. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9
Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan Pariwisata
Nasional (Bapparnas) untuk menjamin pembinaan
pengembangan pariwisata secara efektif dan kontinyu
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.
Badan yang beranggotakan pemerintah dan swasta
ini bertugas membantu Menteri Perhubungan
dengan tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal
Pariwisata. Kebijakan-kebijakan ini telah mampu
meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke negara kita
cukup mencolok. Pada tahun 1974 jumlah wisman yang
berkunjung ke negara kita sekitar 297,6 ribu orang atau
mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir 2
kali lipat dari kunjungan wisman tahun 1969 yaitu sekitar
245,64 persen.
Pembangunan kepariwisataan dalam Repelita
Ketiga (1979/80-1983/84) ditujukan untuk meningkatkan
penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan
memperkenalkan keb udayaan bangsa dengan tetap
berusaha melestarikan keindahan alam dan keunikan
budaya yang yaitu daya tarik wisata dan difokuskanpada 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu kegiatankegiatan:
(1) promosi pariwisata luar negeri yang akan lebih
diintensifkan langsung ke negara-negara asal yang
memiliki potensi pasar; (2) Pengembangan pariwisata
dalam negeri yang bertujuan untuk memperkecil
mengalirnya devisa ke luar negeri, mendorong industri
dalam negeri serta menciptakan kesempatan kerja bagi
warga ; (3) Penataan dan peningkatan obyek wisata
akan terus dilakukan sesuai dengan Rencana Induk
Kepariwisataan Nasional; (4) Peningkatan pelayanan
wisata melalui usaha pemberian kemudahan kepada
wisatawan yang datang selama berada dan pada waktu
meninggalkan negara kita . Untuk itu akan dilakukan
berbagai perbaikan dalam pelayanan kepada wisatawan,
meliputi penyederhanaan dalam memperoleh visa,
seperti pemberian visa pada waktu tiba (visa on arrival);
memperluas pusat penerangan pariwisata; meningkatkan
pelayanan sarana angkutan (penerbangan, kereta api,
bis dan lain-lain); meningkatkan pelayanan hotel dan
biro perjalanan; meningkatkan kemampuan personal
yang melayani wisata, seperti pramuwisata, juru
penerang dan penterjemah; (5) Kegiatan Penunjang
Pariwisata yang meliputi usaha untuk (i) meningkatkan
kemampuan lembaga pendidikan pariwisata melalui
pembangunan Institut Pariwisata Nasional dan
pembinaan lembaga pendidikan pariwisata swasta; (ii)
menyusun undangundang kepariwisataan nasion al serta
peraturanperaturan pelaksanaannya; (iii) Memberikan
bimbingan dan penataran kepada para pengusaha biro
perjalanan, pengusaha restoran, pengusaha hotel, dan
pengusaha jasa usaha pariwisata.
Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjunganwisman ke negara kita , pada tahun 1983 Pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun
1983 Tentang Kebijakan Pengembangan Pariwisata.
Kebijakan ini memuat kebijakan pemberian bebas
visa kunjungan singkat (BVKS) selama 2 (dua) bulan
untuk wisatawan dari 26 negara, kebijakan membuka
3 pelabuhan udara sebagai pintu gerbang masuknya
wisatawan asing ke negara kita yaitu Mokmer (Biak),
Sam Ratulangi (Manado), dan Pattimura (Ambon); dan
menetapkan pelabuhan laut Belawan, Batu Ampar,
Tanjung Priok, Tanjung Perak, Benoa, Padang Bai, Ambon
dan Bitung sebagai pintu masuk kapal-kapal pesiar bagi
wisatawan rombongan (cruise) dari luar negeri. Pada
akhir Repelita ketiga pemerintah berhasil mendatangkan
wisman sebesar 749,4 ribu orang atau meningkat sekitar
24,89 persen dari kunjungan wisman tahun 1980.
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam
Repelita Keempat (1984/85-1988/89) diarahkan pada
pengembangan beberapa kawasan wisata terutama
untuk wisata resort baik resort di kawasan pantai (termasuk
Tirta), kawasan pegunungan maupun resort di kawasan
wisata budaya. Disamping itu juga akan dikembangkan
Taman wisata dan hiburan yang potensial. Dalam
rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara, disamping memberikan kemudahan bagi
wisman masuk ke negara kita dengan kebijakan bebas
visa, melalui Intrusksi Presiden (Inpres) No. 46 Tahun 1988
pemerintah juga menambah (1) empat Bandara Udara
(Bandara), yaitu Bandara Frans Ksiepo (Biak), Supadio
(Pontianak), El Tari (Kupang), Sepinggan (Balikpapan),
dan Bandara Juanda (Surabaya); (2) tiga pelabuhan laut,
yaitu Sekupang (Pulau Batam), Tanjung Mas, dan Tanjung Pinang, sebagai pintu masuk wisatawan dari luar negeri.
Sementara itu, untuk mendorong tumbuhnya investasi
di industri pariwisata, pemerintah memberikan insentif
berupa keringanan perpajakan dan restribusi daerah
bagi investor yang menanamkan modalnya di negara kita .
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam
Repelita Kelima (1989/90-1994/95) diarahkan pada
usaha memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa,
memperkenalkan kekayaan dan keunikan budaya,
keindahan alam termasuk alam bahari, serta menanamkan
jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam
rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan
nasional di samping untuk mendorong peningkatan
kegiatan perekonomian nasional. Untuk mendukung
kebijakan ini diperlukan langkahlangkah antara
lain melakukan diversifi kasi produk dan atraksi wisata
dengan pendekatan area Tujuan Wisata (WTW), yaitu
suatu area yang meliputi beberapa Provinsi atau daya
tarik wisata (DTW) yang berdekatan, dirangkai menjadi
suatu paket wisata yang terintegrasi dan saling mengisi.
Selain itu, juga dikembangkan wisata konvensi mengingat
adanya kecenderungan semakin meningkatnya kegiatan
pertemuan internasional, konperensi, eksibisi dan
pameran di negara kita ; dan wisata kapal pesiar me lalui
kerja sama dengan perusahaan wisata kapal pesiar inter
nasional untuk dapat menjaring peningkatan kunjungan
transit ke objek-objek wisata bahari dan taman laut,
serta obyek wisata lainnya. Dalam masa Repelita V inilah
kemudian ditetapkan UU No. 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan.
Mencermati UU No. 9 tahun 1990, dalam undangundang ini tampa usaha mengintegrasikan paham negara kesejahteraan. Dapat dilihat dari rumusan
ketentuan menimbang huruf b :
“bahwa kepariwisataan memiliki
peranan penting untuk memperluas dan
memeratakan kesempatan berusaha dan
lapangan kerja, mendorong pembangunan
daerah, memperbesar pendapatan nasional
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa
cinta tanah air, memperkaya kebudayaan
nasional dan memantapkan pembinaannya
dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa
dan mempererat persahabatan antar
bangsa”.142
Undang-undang ini pada awal pembentukannya
sudah berorientasi, pertama pada masalah perluasan
dan pemerataan kesempatan berusaha dan lapangan
kerja. Artinya, sektor pariwisata disadari yaitu
peluang usaha bagi warga sekitar untuk mendapat
pekerjaan. Dengan kesadaran tersebut, pemerintah akan
turut andil dalam usaha mengelola usaha pariwisata.
Kedua, sektor pariwisata disadari memiliki peran dalam
meningkatkan pembangunan daerah. Pembangunan
daerah berbanding lurus dengan kesejahteraan
warga daerah jika pengelolaannya dilakukan
dengan baik. Ketiga, memperbesar pendapatan nasional,
dalam ini termasuk pendapatan karena memacu
investor yang masuk ke negara kita , maupun wisatawan
luar negeri yang berkunjung di negara kita . Tentu
kedatangan investor dan wisatawan manca negara akan menambah pendapatan negara, namun perlu dipahami
pula bahwa hanya pariwisata yang pengelolaannya
baik, yang akan dilirik oleh para pendatang tersebut.
Sehingga pengelola usaha pariwisata musti berlombalomba untuk menyelenggarakan dan mengelola usaha
pariwisata secara profesional untuk hasil yang maksimal.
Dengan pendapatan nasional yang meningkat,
harapannya yakni peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Keempat, memperkaya kebudayaan
nasional dan memantapkan pembinaannya dalam
rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat
persatuan antar bangsa. ini berhubungan dengan
perkuatan karakter nasional untuk dapat dipertontonan
atau dipersandingkan dengan kebudayaan negara lain
dalam kegiatan-kegiatan pengenalan budaya. Hubungan
antar bangsa yang terlain dengan baik akan berakibat
baik pula pada perekonomian nasional.
Dapat dicermati pula dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun
1990 yang menegaskan asas adil dan merata dalam
penyelenggaraan kepariwisataan,
“Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan
berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan
dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada
diri sendiri”.143
Lebih lanjut di Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1990
menjelaskan soal tujuan kepariwisataan, yang di
dalamnya juga memuat ketentuan mengenai perluasan
dan pemerataan kesempatan bekerja dan lapangan kerja
demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,Huruf c
“memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha
dan lapangan kerja”
Huruf d
“meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”144
negara kita menganut paham “Negara
Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state)
atau dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan
atau welfare pluralism. Paham ini menekankan kewajiban
negara dalam memberikan jaminan sosial, dan
pelibatan warga untuk berpartisipasi mewujudkan
kesejahteraan sosial yang merata. Dalam Pasal 30 UU No.
9 Tahun 1990 diatur mengenai partisipasi warga
dalam penyelenggaraan kepariwisataan serta proses
pengambilan kebijakan.
Pasal 30
“(1) warga memiliki kesempatan yang sama
dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan kepariwisataan.
(2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan,
Pemerintah dapat mengikutsertakan warga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui
penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan”.
Diatas yaitu point-point dalam UU
No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Dalam
ketentuannya, sudah terlihat usaha untuk menjamin
kesejahteraan rakyat dari sektor pariwisata. Namun
Undang-undang ini juga memiliki kelemahan yakni
pengaturan berfokus pada usaha pariwisata yaknipemberian izin dan penetapan retribusi.
Pada Repelita keenam (1993/94-1998/99) yang
yaitu tahapan pertama Pembangunan Jangka
Panjang 25 Tahun Kedua, ditetapkan dengan Ketetapan
MPR-RI No. II/MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara 1993-1998. Sejalan dengan amanah
GBHN 1993, secara umum kebijakan pembangunan
kepariwisataan terus ditingkatkan dan dikembangkan
untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas
dan memeratakan kesempatan usaha dan lapangan
kerja, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperkaya
kebudayaan nasional dengan tetap mempertahankan
kepribadian bangsa dan tetap terpeliharanya nilainilai agama, mempererat persahabatan antarbangsa,
memupuk cinta tanah air, serta memperhatikan
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup.
Pembangunan kepariwisataan juga diarahkan untuk
mendorong pengembangan, pengenalan, dan
pemasaran produk nasional. Pembangunan Jangka
Panjang 25 tahun Kedua yang seharusnya berlangsung
sampai dengan tahun 2020, hanya dapat dilaksanakan
Pembangunan lima tahun Pertama. ini dipicu
terjadinya gejolak politik dan ekonomi pada tahun 1998
yang memicu jatuhnya Orde Baru dan melahirkan
era Reformasi. Peristiwa ini memicu situasi
dalam negeri yang kurang kondusif dan akhirnya
berdampak pula pada menurunya jumlah kunjungan
wisman pada tahun 1998 sebesar 12,11 persen dari
tahun 1997.c. Masa Pasca Reformasi
Empat tahun pertama masa Reformasi dikenal
dengan masa transisi. Dalam masa ini kebijakan
perencaaan pembangunan kepariwisataan mengacu
pada Program Pembangunan Nasional Lima Tahun.
Sesuai dengan amanah GBHN 1999 – 2004, arah
kebijakan pembangunan nasional dituangkan
dalam Program Pembangunan Nasional Lima Tahun
(Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui UndangUndang Republik negara kita No. 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun
2000-2004. Propenas kemudian dirinci dalam Rencana
Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
ditetapkan oleh Presiden bersama DPR. Di dalam GBHN
disebutkan bahwa pariwisata yaitu salah satu
sektor yang mendukung pembangunan ekonomi. Dalam
periode Propenas, kebijakan pengembangan Pariwisata
diarahkan untuk mendukung kebijakan Peningkatan
Daya Saing pariwisata dan diprioritaskan pada usaha
pemulihan citra pariwisata yang sempat menurun
sebagai akibat dari peristiwa bom Bali pada tahun 2002
dan tahun 2005. Kedua peristiwa ini tentu saja
berdampak pada menurunnya jumlah wisman yang
berkunjung ke negara kita .
Kebijakan pariwisata ini dilaksanakan
melalui 1 (satu) program yaitu program pengembangan
pariwisata. Program ini bertujuan untuk mengembangkan
dan memperluas diversifi kasi produk dan kualitas
pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan
warga , kesenian, dan kebudayaan, dan sumber daya alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan
kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian
lingkungan hidup setempatl; mengembangkan dan
memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri.
Untuk mencapai tujuan ini kegiatankegiatan
pokok yang akan dilakukan antara lain (i) merumuskan
reformasi kebijakan pariwisata nasional berlandaskan
pemberdayaan sumber daya lokal; (ii) merumuskan
strategi pemasaran industri pariwisata dengan
penekanan pada keterpaduan antara produk dan
pemasaran pariwisata; (iii) mengembangkan sumber
daya alam; (iv) mengembangkan serta pengkayaan
kesenian dan kebudayaan tradisional sebagai produk
wisata potensial; (v) meningkatkan profesionalisme SDM
pariwisata; dan meningkatkan aksessbilitas ke tujuantujuan wisata potensial; (vi) meningkatkan kemampuan
lembaga pelayanan publik; dan (vii) meningkatkan
koordinasi.
Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005 – 2025 dan dalam rangka
memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi
dan Berdaya Saing Global pembangunan Kepariwisataan
diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi
dan meningkatkan citra negara kita , meningkatkan
kesejahteraan warga lokal, serta memberikan
perluasan kesempatan kerja. Pengembangan
kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona
keindahan alam dan potensi nasional sebagai
area wisata bahari terluas di dunia secara arif dan
berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang
terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Amanah
ini kemudian dijabarkan dalam rencana lima tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
RPJMN Pertama yaitu penjabaran
lima tahun pertama dari kebijakan pembangunan
keparwisataan yang diamanahkan oleh RPJPN 2005-
2025. RPJMN ditetapkan dengan Peraturan Presiden
Republik negara kita No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004-2009. Kebijakan pembangunan kepariwisataan
dalam RPJMN pertama diarahkan untuk mendukung
peningkatan daya saing pariwisata di tingkat global
dalam rangka mencapai sasaran Prioritas Nasional
“Peningkatan Investasi dan peningkatan ekspor”.
Pada tahun 2009 disahkan UU No. 10 Tahun 2009
yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan. Keistimewaan UU No. 10 Tahun 2009
salah satunya yaitu adanya kebebasan melakukan
perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam
wujud berwisata yang yaitu bagian dari hak asasi
manusia. Ketentuan seperti ini tidak ada dalam UndangUndang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
Keistimewaan yang lain yaitu dengan dimasukkannya
unsur penting yang kini tengah menjadi isu dunia pada
umumnya.ini terkait kepariwisataan yang
yaitu bagian pembangunan nasional yang harus
dilakukan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Dua istilah penting berkelanjutan dan bertanggungjawab
belum ada pada pengaturan dalam Undang-Undang
No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan. Ketentuan
lain yang yaitu suatu perubahan besar dalam
kepariwisataan yaitu dicantumkannya Badan Promosi
Pariwisata. Dalam Bab X mengamanatkan pembentukan suatu Badan Promosi Pariwisata.Salah satu dari Badan
Promosi yang diamanatkan untuk dibentuk oleh
UndangUndang No. 10 tahun 2009 yaitu Badan Promosi
Pariwisata Daerah. Badan ini dibentuk karena muncul
kebutuhan adanya sebuah lembaga/unit yang mampu
berperan sebagai pelaksana pengembangan pemasaran
dan promosi dalam konteks industri pariwisata secara
keseluruhan, yang tugasnya mengembangkan program/
kegiatan pemasaran dan promosi secara profesional.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan, maka keberadaan Badan
Promosi Pariwisata (baik di tingkat pusat maupun daerah)
telah memiliki payung hukum bagi pembentukannya.
Badan Promosi Pariwisata diatur secara khusus dalam
Bab X Undang-Undang tersebut, dan khusus untuk
Badan Promosi Pariwisata Daerah diatur dalam Pasal
43-49. Sesuai Undang-Undang tersebut, pembentukan
Badan Promosi Pariwisata Daerah ditetapkan dengan
Keputusan Bupati/Walikota.
ada beberapa perbedaan antara UU No. 9
Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dengan UU No. 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Setidaknya ada
10 (sepuluh) hal yakni:
1. Perubahan paradigma, konsepsi dan perubahan
regulasi di bidang kepariwisataan. Dapat dilihat dari
prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan
yakni:
(a). menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya
sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam
keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan
Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan
sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi
manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
(c). memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat,
keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; (d.)
memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
(e). memberdayakan warga setempat; (f).
menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah,
antara pusat dan daerah yang yaitu satu
kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah,
serta keterpaduan antar pemangku kepentingan;
(g). mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan
kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata;
dan (h). memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan
Republik negara kita .
2. Ketentuan menimbang pada UU. No 10 tahun 2009
yang menjelaskan bahwa tujuan dari pariwisata untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana
terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD
1945.
3. Ketentuan menimbang pada UU No. 10 tahun 2009
yang menjelaskan bahwa peraturan dimaksudkan
untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam
berpariwisata.
4. UU No. 9 Tahun 1999 berorientasi pada usaha
pariwisata, ini dikritik dan kemudian dirumuskan
dalam UU No. 10 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa pembangunan kepariwisataan meliputi
industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran,
dan kelembagan kepariwisataan
5. UU No. 10 tahun 2009 menganut asas demokrasi
dalam berpariwisata.
6. Tujuan dalam pariwisata yang tertuang dalam UU No. 10 tahun 2009 salah satunya yaitu mengangkat citra
bangsa, Ketentuan ini tidak ada dalam UU
No. 9 tahun 1990.
7. ada perluasan ruang lingkup usaha dalam UU 10
tahun 2009 yakni penambahan pengaturan tentang
kegiatan hiburan dan Spa.
8. Era otonomi daerah, memengaruhi pengaturan
dalam UU No.10 tahun 2009 yang memberikan
amanat kepada Pemerintah daerah untuk memegang
peranan penting dalam mengatur dan mengelola
pelaksanaan pariwisata.
9. Dalam UU No. 10 tahun 2009 ada pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten dalam mengelola
pariwisata.
10. Dalam UU No 10 tahun 2009 ada badan promosi
pariwisata.
Pemerintah dan Pemerintah daerah memiliki
peran penting dalam membentuk peraturan dan
kebijakan pariwisata yang ideal untuk mewujudkan
negara kesejahteraan. Peraturan dan kebijakan
pariwisata yang ideal perlu dirumuskan mengingat
pariwisata yaitu salah satu andalan perolehan
devisa yang dapat meningkatan pendapatan nasional
maupun daerah.145
negara kita yaitu salah satu negara
berkembang di dunia, artinya negara kita seharusnya
menunjukkan antusiasmenya dalam melaksanakan
pembangunan negara. Pembangunan perlu
dilaksanakan dari berbagai aspek kehidupan warga . Pembangunan perlu diimbangi dengan peraturan
agar berjalan dengan lancar, sesuai dan mencapai
tujuannya. Formulasi peraturan yang baik dibutuhkan
untuk membentuk suatu peraturan sebagai pendobrak
pembangunan nasional.146
Salah satu amanah Undang-undang No. 10
Tahun 2009 yaitu pemerintah harus segera menyusun
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
(RIPPARNAS) dan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) bagi daerah sebagai
acuan pokok pembanguan kepariwisataan. Sejalan
dengan amanah ini pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
(RIPPARNAS) 2010-2025. Berdasarkan RIPPARNAS,
pendekatan pembangunan yaitu pendekatan
perarea an, yaitu Perarea an Destinasi Pariwisata
Nasional (DPN). Perarea an pembangunan DPN
yaitu hasil perarea an pembangunan
kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk DPN
(ada 50 DPN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
yang selanjutnya disingkat KSPN (ada 88 KSPN).
Disamping RIPPARNAS, pembangunan kepariwisataan
juga harus tetap mempertimbangkan tata ruang
nasional yang tertuang dalam Undang-undang RI
No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan
Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang area Nasional. Pengembangan
ke 50 DPN ini tidak mungkin dilakukan secara
bersamaan melainkan dilakukan secara bertahap dan terfokus selama 15 tahun sehingga pemanfaatan dana
pembangunan baik yang bersumber dari Pemerintah
maupun Swasta dapat optimal. Dalam periode 5 (lima)
tahun kedua pelaksanaan RIPPARNAS, pembangunan
kepariwisataan diprioritaskan pada (i) mengembangkan
DPN yang berpotensi untuk menjadi titik tolak
penyebaran wisatawan ke daerah lain dan mampu
menciptkan multiplier effect perekonomian bagi daerah
lain di negara kita ; (ii) mengembangkan destinasi wisata
lainnya yang yaitu rangkaian dari destinasi yang
telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya ;
dan (iii) Destinasi yang terletak dalam Kawasan Strategis
Nasional (KSN) dan Kawasan Andalan menurut Undangundang No. 26 Tahun 2007.
Dalam Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2011
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa
pembangunan kepariwisataan nasional meliputi
destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata, industri
parisiwata dan kelembagaan kepariwisataan.
Pembangunan industri pariwisata bertujuan untuk
menggerakan perekonomian nasional. Oleh karena itu,
pembangunan industri wisata selain harus memberikan
dampak positif berupa peningkatan terhadap devisa
Negara juga harus dapat meningkatkan perekonomian
di lokasi-lokasi tujuan wisata misalnya meningkatkan
jumlah tenaga kerja, meningkatkan jumlah wisatawan
lokal maupun mancanegara, meningkatkan
perkembangan kebudayaan dan seni budaya negara kita ,
semakin maraknya bisnis kuliner, perhotelan, restoran
serta sarana dan transportasi yang lebih mudah. Dengan
kata lain pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan warga lokal. warga juga terus dituntut aktif
untuk mengembangkan industri kreatif.
Pembangunan industri pariwisata masih
terhambat perkembangannya karena masih belum
maksimalnya pengaturan terkait sertifikasi usaha
pariwisata bagi pengusaha pariwisata (Pasal 53,
Pasal 54 dan Pasal 55 UU No 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan). Peraturan Pemerintah No 52 Tahun
2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi
Usaha Pariwisata menyatakan bahwa Pengusaha
Pariwisata wajib memiliki Sertifikat Usaha Pariwisata
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 24 PP No 52 Tahun 2012), namun belum
ada penegakan hukum yang tegas bagi pengusaha
yang tidak memiliki sertifikasi usaha Selain itu adanya
isu kepemilikan di tempat tujuan wisata (destinasi)
yang sering memunculkan konflik antara pengusaha
pariwisata dan nelayan dalam kaitanya dengan Rencana
Zonasi area Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (amanat
Pasal 7 UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU
No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan area Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil ) belum banyak ditindaklanjuti
oleh pemerintah daerah setempat.
d. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-Undangan terkait Kebijakan
Kepariwisataan
Hasil inventarisasi regulasi yang terkait kebijakan
kepariwisataan, ditemukan sebanyak 47 (empat puluh
tujuh ) peraturan perundang-undangan, yang terdiri
dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang, 21 (dua puluh satu)
Peraturan Pemerintah, 10 (sepuluh) Peraturan Presiden,
dan 6 (enam) Peraturan Menteri. Dari ke-47 regulasi tersebut, analisis terhadap 28 ( dua puluh delapan)
PUU, yaitu: 10 (sepuluh) Undang-undang, 9 (sembilan)
Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden dan 2
(dua) Peraturan Menteri terkait. Metode yang dipakai
dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap
peraturan perundang-undangan yaitu didasarkan
pada 5 dimensi penilaian, yaitu: (1) Dimensi Ketepatan
jenis peraturan perundang-undangan; (2) Dimensi
kejelasan rumusan; (3) Dimensi kesesuaian dengan asasasas; (4) Dimensi potensi disharmoni ketentuan: dan (5)
Efektivitas pelaksanaan Peraturan perundang-undangan.
Penilaian ketepatan jenis peraturan ditinjau dari
berbagai sudut pandang, yaitu dimulai dari namanya,
politik hukumnya, dasar hukumnya, maupun dari materi
muatannya. Penamaan suatu peraturan perundangundangan seharusnya mencerminkan materi muatannya.
ini juga dijelaskan dalam Lampiran II UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, petunjuk No 3.
Disebutkan dalam petunjuk ini bahwa nama
peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat
dengan hanya memakai satu kata atau frasa, namun
secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi
peraturan perundang-undangan. Politik hukum suatu
peraturan perundang-undangan dapat diketahui dari
konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya, dari
penjelasan ini dapat diketahui arah kebijakan yang
ingin dicapai dengan peraturan perundang-undangan
dimaksud. Dengan demikian dapat dianalisis apakah
materi muatan yang tercantum dalam ketentuan pasal
sudah sejalan dengan arah yang ingin dicapai.
Analisis juga ditinjau dari dasar hukum yang mengamanatkan dibentuknya suatu peraturan
perundang-undangan. Pada dasarnya Undang-Undang
yaitu pelaksanaan dari amanat atau penjabaran dari
ketentuan pasal dalam UUD 1945, Peraturan Pemerintah
pelaksanaan amanat atau menjalankan ketentuan pasal
dalam Undang-Undang, Peraturan Presiden pelaksanaan
amanat atau penjabaran ketentuan pasal dari UndangUndang atau Peraturan Perundang-undangan dan/
atau dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan. sedang Peraturan Menteri
pelaksanaan amanat atau penjabaran ketentuan pasal
dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri dapat pula mengatur lebih lanjut
atas dasar kewenangan pendelegasian dari UndangUndang, namun hanya sebatas peraturan yang bersifat
teknis administratif (petunjuk No. 211 Lampiran II UU
No. 12 Tahun 2011). Pada bagian dasar hukum dalam
suatu peraturan perundang-undangan, memuat dasar
kewenangan pembentukan peraturan perundangundangan (dasar hukum formil) dan PUU yang
secara materiil dirujuk dalam membentuk peraturan
perundang-undangan lebih lanjut (dasar hukum
materiil). Suatu norma yang lebih rendah berlaku
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri
lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar (Grundnorm).
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka
dapat dianalisis apakah materi muatan dalam suatu
peraturan perundang-undangan sesuai dengan tingkat
hierarkinya. Dengan demikian, materi muatan masing-masing hierarki dapat dibedakan, perbedaan ini
dilihat dari cara perumusan normanya pada masingmasing jenis peraturan peraturan perundang-undangan.
Norma dalam peraturan perundang-undangan pada
jenjang yang semakin ke atas, maka seharusnya semakin
abstrak, begitu juga sebaliknya. Norma dalam peraturan
perundang-undangan pada jenjang yang semakin ke
bawah mudah dilaksanakan, begitu juga sebaliknya. Dari
hasil analisis terhadap 28 (dua puluh delapan) peraturan
perundang-undangan, berdasarkan ketepatan jenis
peraturan perundang-undangan pada umumnya sudah
sesuai dengan jenis hierarki dan materi muatan peraturan
perundang-undangan. Semua peraturan perundangundangan yang di analisis telah memenuhi ketepatan
jenis peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini, dapat ditunjukkan melalui analisis
sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomo 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, yang yaitu delegasi dari Pasal
20 dan Pasal 21 UUD 1945;
2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan area Pesisir dan PulauPulau Kecil, yang yaitu delegasi dari Pasal 5 ayat
(1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 25A, serta Pasal
33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan yang yaitu delegasi Pasal 20, Pasal
22D ayat (1), Pasal 25A ayat (3), dan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang yaitu delegasiPasal 1, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal
22D ayat (2), dan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945;
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, yang yaitu delegasi Pasal 5
ayat(1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945;
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, yang yaitu delegasi Pasal 5 ayat(1),
Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3);
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, yang yaitu delegasi Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1).
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, yang yaitu delegasi Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20, dan Pasal 33 serta Ketetapan MPR Nomor
XVI/MPR/1998;
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya; dan
10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan, yang yaitu delegasi Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya, untuk tingkat Peraturan Pemerintah,
kesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi ini
dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional 2010-2025, yang yaitu delegasi Pasal
9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
2. Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2012 tentang
Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di
bidang Pariwisata, yang yaitu delegasi Pasal
55 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan;
3. Peraturan Pemerintah No 62 Tahun 2010 Tentang
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, yang
yaitu delegasi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan area
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
4. Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 Tentang
Mitigasi Bencana di area Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, yang yaitu delegasi Pasal 59 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan area Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
5. Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah, yang yaitu delegasi Pasal
232 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
6. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang area Nasional, yang
yaitu delegasi Pasal 20 ayat (6) tentang
Penataan Ruang;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang tentang Pasal
13 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), Pasal 37 ayat (8), Pasal
38 ayat (6), Pasal 40, Pasal 41 ayat (3), Pasal 47 ayat
(2), Pasal 48 ayat (5), Pasal 48 ayat (6), dan Pasal 64,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran warga Dalam
Penataan Ruang, yang yaitu delegasi Pasal
65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan, yang
yaitu delegasi Pasal 10, Pasal 12, 14, Pasal 17,
Pasal 20, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 30, Pasal 34, Pasal
37, Pasal 39, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 58, Pasal 59 ayat
(3), Pasal 268, dan Pasal 273 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, yang yaitu
delegasi Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak;
11. Peraturan Pemerintah Nomor No. 5 Tahun 2010
tentang Kenavigasian, yang yaitu delegasi
Pasal 177, Pasal 183 ayat (2), Pasal 184, Pasal 186 ayat
(2), Pasal 196, dan Pasal 206 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2013Tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian,
yang yaitu delegasi Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
13. Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2017 tentang
Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, yang
yaitu delegasi Pasal 61, Pasal 71, dan Pasal 111 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
14. Peraturan Pemerintah No.142 Tahun 2015 tentang
Kawasan Industri, yang yaitu delegasi Pasal 63
ayat (5) dan Pasal 108 UndangUndang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian;
15. Peraturan Pemerintah No PP No.107 Tahun 2015
tentang Izin Usaha Industri, yang yaitu delegasi
Pasal 108 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
Tahun Tahun 2015-2035, yang yaitu delegasi
Pasal 9 ayat (5) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
17. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Hutan, yang yaitu delegasi
Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 29 ayat (2),
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 35, dan Pasal 37 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
18. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman
Wisata Alam, yang yaitu delegasi Pasal 17
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya;
19. Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2004 tentang
Badan Nasional Sertifikasi Profesi, yang yaitu
delegasi Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan
20. Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional, yang yaitu
delegasi Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003.
Selanjutnya, ada 12 (dua belas) Peraturan
Presiden yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan
kepariwisataan, yang jika dianalisis kesesuaian dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
menampakkan hal sebagai berikut:
1. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2005 tentang
Lembaga Produktivitas Nasional, yang yaitu
delegasi Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2016 tentang
Penghargaan Kepariwisataan, yang yaitu
delegasi Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
3. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2014 tentang
Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan
Kepariwisataan, yang yaitu delegasi Pasal 35
UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2014 Tentang
Pengawasan Dan Pengendalian Kepariwisataan, yang
yaitu delegasi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
5. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan area
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional,
yang yaitu delegasi Pasal 53 ayat (3) UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
area Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan area
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
6. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Tentang
Reklamasi Di area PesisirDan Pulau-Pulau Kecil,
yang yaitu delegasi Pasal 34 ayat (3) UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
area Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
7. Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012 tentang
Rehabilitasi area Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
yang yaitu delegasi Pasal 33 ayat (2) UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
area Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
8. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Kebijakan Kelautan negara kita , yang yaitu
delegasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
9. Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2015 tentang
Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing Ke negara kita ,
yang tidak ditemukan dasar pengaturan dalam
peraturan yang lebih tinggi;
10. Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2016 tentang
Bebas Visa Kunjungan, yang yaitu yaitu
delegasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
11. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 Tentang
Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri
Perikanan Nasional, yang yaitu delegasiInstruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pembangunan Industri Perikanan
Nasional; dan
12. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional negara kita , yang
yaitu delegasi Pasal 5 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional.
Sementara itu, dalam jenjang Peraturan Menteri,
ada 6 (enam) peraturan, yang jika dianalisis
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi menampakkan analisis sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun
2016 tentang Pendaftaran usaha Pariwisata, yang
yaitu delegasi Pasal 15 ayat (2) UndangUndang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
2. Peraturan Menteri Pariwisata No 1 Tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Sertfikasi Usaha Pariwisata,
yang yaitu delegasi Pasal 22 ayat (2), Pasal 23
ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi
dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata;
3. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor
Per.17/Men/2008 Tentang Kawasan Konservasi
Di area Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yang
yaitu delegasi Pasal 28 Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan area Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil;
4. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor
Per. 20/Men/2008 Tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau
dan Perairan di Sekitarnya, yang yaitu delegasi Pasal 26 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan area Pesisir dan Pulaupulau
Kecil;
5. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor
17/Permen-Kp/2013 Tentang Perizinan Reklamasi Di
area Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan KP No 28/Permen-KP/2014, yang
yaitu delegasi Pasal 21 dan Pasal 28 Peraturan
Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di
area Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan
6. Peraturan Menteri Pariwisata No 3 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Bidang Pariwisata di Bidang Koordinasi Penanaman
Modal, yang yaitu delegasi Peraturan Menteri
Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif di Badan Koordinasi Penanaman
Modal dan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor
1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Badan Koordinasi
Penanaman Modal.
Jika dicermati lebih lanjut, nampak bahwa dalam
rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan sebagian telah dapat
disusun dan diundangkan seperti:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional 2010-2025 yaitu delegasi dari Pasal 9 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional 2010-2025 yaitu delegasi dari Pasal 9
UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
3. Peraturan Presiden Nomor No 64 Tahun 2014 tentang
Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan
Kepariwisataan yaitu delegasi Pasal 35 UU
Kepariwisataan;
4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2014 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Kepariwisataan
yaitu delegasi Pasal 23 ayat (4) UU No 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan; dan
5. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun
2016 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata, yang
yaitu delegasi Pasal 15 ayat (2) UU No 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan;
6. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata
yang yaitu delegasi dari Pasal 22 ayat (2), Pasal
23 ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi
dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata.
Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Kepariwisataan sebagaimana ini diatas telah
sesuai dengan jenis, hierarki dan materi muatan
sebagaimana yang didelegasikan oleh peraturan
perundang-undangan diatasnya. Di samping itu ada
satu peraturan perundang-undangan yang belum
disusun yang yaitu amanat Undang-Undang
Kepariwisataan yaitu terkait Kawasan Pariwisata Khusus yang diamanatkan untuk disusun Undang-undangnya,
namun sampai saat ini Undang-Undang ini
belum terbentuk. Selanjutnya, Ada 3 (tiga) peraturan
perundang-undangan yang tidak didelegasikan secara
tegas dan peraturan perundang-undangan yang disusun
untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan, yaitu
(1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Kebijakan Kelautan negara kita ; (2) Peraturan Presiden
Nomor 105 Tahun 2015 tentang Kunjungan Kapal Wisata
(Yacht) Asing ke negara kita ; dan (3) Peraturan Presiden
Nomor 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan.
Mengingat Undang-Undang Nomor 10 Tahun
20009 tentang Kepariwisataan dan peraturan perundangundangan di bawahnya yaitu norma pangkal
dalam kebijakan terkait, maka penelitian ini mencoba
melakukan kajian dan analisis terhadap regulasi ini.
Undang-Undang ini meliputi 70 pasal dan seluruhnya
masih berlaku karena belum pernah perubahan,
pencabutan, dan pernyataan tidak berlaku mengikat
oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun analisis yang dapat
disajikan yaitu sebagai berikut:
1. Dalam Undang-Undang ini tidak ditemukannya
ketentuan yang dapat memicutidak
terjaminnya pemberian peluang kepada warga
dalam memberikan pendapat terhadap pengambilan
keputusan. Dengan kata lain, Undang-Undang belum
mengatur partisipasi warga agar warga
mudah memberikan informasi kepada pemerintah
tentang kepariwisataan; mendorong warga
untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan
kepariwisataan; mengembangkan pelembagaan
dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok atau organisasi warga
dapat terlibat secara efektif. Bentuk partisipasi
ini mislanya keikutsertaan dalam penyusunan
peraturan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan sampai dengan evaluasi. Caranya
dengan musyawarah, konsultasi publik, kemitraan
atau penyampaian aspirasi melalui e-gov. Oleh karena
itu perlu ditambahkan ketentuan terkait Partisipasi
warga untuk mengisi kekosongan hukum;
2. Dalam Undang-Undang tidak diketemukan
ketentuan yang mendorong peningkatan
kemandirian bangsa dan adanya ketentuan yang
mendorong kesejahteraan bangsa. Dalam UU
kepariiwstaan ini , konsep komponen 4A ( Attraction,
Ammenity, Accesibility dan Anciliary) belum diatur
tersendiri meskipun dalam Ketentuan Umum
(lihat Pasal 1 angka 6) sudah disinggung, padahal
komponen ini harus ada dalam obyek untuk
pengembangan obyek pariwisata dikembangkan
juga di dunia. Memberikan arahan kepada Daerah
jika ingin mengembangkan pariwisata harus
mengembangkan komponen 4A tersebut, dengan
berhasilnya pemerintah mengembangkan konsep 4A
ini akan menghasilkan kontribusi investasi yang
besar bagi pemerintah, sehingga pemerintah bisa
mandiri otomatis warga nyapun akan sejahtera;
3. Pasal 2 berisi maksud dan tujuan. Sebagaimana
petunjuk No. 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa
ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab;
4. Pasal 3 berisi fungsi kepariwisataan. Penyebutan
fungsi kepariwisataan tidak diperlukan, karena tidak
akan operasional (tidak memiliki operator norma).
Fungsi dapat dituangkan dalam penjelasan umum
Undang-Undang, ketentuan umum atau dalam
Naskah Akademik;
5. Pasal 4 mengatur mengenai tujuan kepariwisataan.
Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum
dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat
diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk
penulisan norma tingkah laku yang memerlukan
operator norma agar dapat dioperasionalkan. Perlu
ditambahkan kata “harus” sebagai operator norma
tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi
jika tidak tercapai tujuannya;
6. Pasal 5 UU kepariwisataan memuat prinsip
penyelenggaraan kepariwisataan. Prinsip prinsip
ini perlu ditambahkankan : (a) Prinsip
untuk memberikan kemudahan kepada para
pengusaha lokal dalam sekala kecil, dan menengah
(Program pendidikan yang berhubungan dengan
kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal
dan industri yang berkembang pada area ini
harus mampu menampung para pekerja lokal
sebanyak mungkin); (b) Prinsip bahwa pembangunan
pariwisata harus mampu menjamin keberlanjutan,
memberikan keuntungan bagi warga saat ini
dan tidak merugikan generasi yang akan dating
(Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata
berpotensi merusak lingkungan jika dihubungkan
dengan peningkatan jumlah wisatawan dan degradasi daerah tujuan pariwisata yaitu sesuatu
yang logis); (c) Prinsip adanya keterbukaan terhadap
penggunaan sumber daya seperti penggunaan air
bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan
sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan tidak
disalah gunakan; dan (d) Prinsip adanya program
peningkatan sumberdaya manusia dalam bentuk
pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang
keahlian pariwisata sehingga dapat dipastikan bahwa
para pekerja siap untuk bekerja sesuai dengan uraian
tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya
masingmasing sehingga program sertifikasi akan
menjadi pilihan yang tepat;
7. Pasal 6 mengatur asas-asas pembangunan
kepariwisataan. Penyebutan “pembangunan
kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ......”,tidak perlu
karena sebagaimana telah diuraikan diatas ketentuan
tentang asas, maksud dan tujuan tidak perlu di
masukan dalam pasal atau bab tersendiri. Ketentuan
asas seyogyanya tercermin dalam setiap perumusan
norma dalam Undang-Undang tersebut;
8. Pasal 13 ayat (4) mengatur perintah pembentukan
Undang-Undang Kawasan Pariwisata Khusus. Namun
dalam penjelasan hanya disebutkan kawasan strategis
yang memiliki kekhususan area menjadi kawasan
pariwisata khusus ditetapkan dengan undangundang sehingga tidak dirinci apa yang dimaksud
dengan kekhususan area tersebut. ini dapat
menimbulkan multi tafsir. Kata “ditetapkan “ kurang
tepat karena undang-undang sifatnya mengatur,
sehingga tidak memiliki kejelasan rumusan. Kalimat yang tepat yaitu kawasan pariwisata khusus diatur
dengan Undang-Undang;
9. Pasal 15 mengatur kewajiban pendaftaran usaha
pariwisata. Kewajiban mendaftarkan usaha pariwisata
apakah sama halnya dengan perizinan dan apakah
itu berlaku untuk semua jenis pariwisata termasuk
pariwisata bahari? Jika memang untuk semua jenis
pariwisata, bagaimana dengan izin lokasi dan izin
pengelolaan yang harus diperoleh bagi pengusaha
wisata bahari sebagaimana diatur dalam UU No 27
tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No
1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan area Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil? Demikian pula di dalam penjelasan
umum terkait Pasal 15 ayat (2) bahwa “Tata cara
pendaftaran yang diatur dalam Peraturan Menteri
bersifat teknis dan administratif yang memenuhi
prinsip dalam penyelenggaran pelayanan publik yang
transparan meliputi, antara lain prosedur pelayanan
yang sederhana, persyaratan teknis dan administratif
yang mudah waktu penyelesaian yang cepat, lokasi
pelayanan yang mudah dijangkau, standar pelayanan
yang jelas, dan informasi pelayanan yang terbuka”.
ini belum memberi kejelasan apakah pelayanan
pendaftaran ini dilakukan melalui pelayanan
terpadu satu pintu?;
10. Pasal 25-Pasal 26 menunjukkan tidak adanya akses
partisipasi warga dan belum ada pengaturaan
terkait partisipasi warga . Pasal 25 huruf a dan
Pasal 26 huruf a memuat kewajiban wisatawan
maupun pengusaha untuk menjaga dan menghormati
norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai
yang hidup dalam warga setempat. Dalam implementasinya sering terjadi konflik kepemilikan
lahan dalam untuk menjadi objek pariwisata,
khususnya terkait pariwisata bahari dimana sering
terjadi konflik kepemilikan lahan antara nelayan dan
pengusaha. ini dipicu karena seringkali
pengusaha tidak melibatkan warga . Kewajiban
menghormati norma agama maupun adat istiadat dan
budaya yang ada di warga belum sepenuhnya
menjadi perhatian pengusaha maupun pemerintah.
Partisipasi warga penting agar warga
mudah memberikan informasi kepada pemerintah
tentang kepariwisataan; mendorong warga
untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan
kepariwisataan;
11. Pasal 36 menunjukkan adanya kelembagaan dan
kewenangan yang tumpang tindih. Keberadaan
Badan Promosi Pariwisata negara kita (BPPI) yang
berfungsi sebagai koordinator promosi pariwisata
saat ini dinilai tidak efektif karena fungsinya tumpang
tindih dengan organisasi kepariwisataan yang ada di
pusat dan daerah (Kemenpar dan dinas pariwisata di
daerah).Pembagian kewenangan dan tugas dalam
melakukan promosi pariwisata dengan lembaga/
organisasi kepariwisataan yang ada di pusat dan
daerah tidak jelas. Keberadaan BPPI malah semakin
membebani keuangan negara karena BPPI diberikan
bantuan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah,
padahal BPPI yaitu lembaga swasta dan
bersifat mandiri (Pasal 36 ayat 2);
12. Pasal 52-Pasal 53 belum mendorong optimalisasi pengembangan sumber daya manusia. Pemerintah
dan Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan
sumber daya manusia. Dalam implementasinya
sumber daya manusia pariwisata yang diikutsertakan
pelatihan jumlahnya masih sedikit dibandingkan
dengan potensi pariwisata bahari yang ada di
negara kita . ini dipicu biaya pelatihan di sektor
pariwisata yang sulit dijangkau apalagi jika pelatihan
yang diselenggarakan bersertifikat internasional;
13. Pasal 54 belum mendorong ada penegakan hukum
yang efektif. Belum efektifnya pengaturan terkait
sertifikasi usaha pariwisata bagi pengusaha pariwisata
(Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang No 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan jo Peraturan Pemerintah
No 52 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi
dan Sertifikasi Usaha Pariwisata) yang menyatakan
bahwa Pengusaha Pariwisata wajib memiliki Sertifikat
Usaha Pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan (Pasal 24 Peraturan Pemerintah
No 52 Tahun 2012), namun belum ada penegakan
hukum yang tegas bagi pengusaha yang tidak
memiliki sertifikasi usaha;
14. Pasal 62 mengatur sanksi bagi wisatawan. Setiap
wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi
berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan
mengenai hal yang harus dipenuhi. Pasal ini tidak
sesuai dengan teknik penyusunan pembentukan
peraturan perundang-undangan. Dalam Lampiran
II Nomor 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, dikatakan bahwa substansi yang berupa
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian
(pasal) dengan norma yang memberikan sanksi
administratif atau sanksi keperdataan;
15. Pasal 63 mengatur sanksi penguasaha pariwisata.
Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif. Dalam
Lampiran II Nomor 64 Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa
substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi
keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan
menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang
memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan. Kemudian jika norma yang memberikan
sanksi administratif atau keperdataan lebih dari satu
pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan
ini dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian
(pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanki
pidana, sanksi perdata, dan sanki administratif dalam
satu bab;
16. Pasal 64 mengatur sanksi pidana. Penegakan hukum
untuk sanksi pidana perlu merujuk pada hukum
materiil dan hukum formil dalam hukum pidana
(KUHP dan KUHAP). Dalam KUHP membedakan antara
aturan umum untuk kejahatan dan aturan umum
untuk pelanggaran (antara lain dalam aturan atau
ketentuan tentang percobaan, concursus daluwarsa
dan sebagainya). Tidak ditetapkanya kualifikasi delik
apakah tindak pidana yang dimuat ini apakah
kejahatan ataukah pelanggaran telah memicu
tidak dapat diberlakukannya beberapa aturan umum dalam KUHP. Petunjuk No. 121 Lampiran II UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa
sehubungan adanya pembedaan antara tindak
pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran
dalam KUHP, maka rumusan ketentuan pidana harus
menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbatan
yang diancam pidana, apakah kejahatan atau
pelanggaran. Oleh karena itu perlu ada penambahan
pasal yang menyatakan kualifikasi perbuatan yang
diancam pidana pada pasal 64 apakah pelanggaran
atau kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 64 lamanya
pidana penjara bagi pelaku yang dengan sengaja dan
melawan hukum dengan pelaku karena kelalaiannya
sangat jauh bedanya sehingga kurang memenuhi
rasa keadilan. Oleh karena itu sesuai dengan petunjuk
No 114 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 menyatakan bahwa dalam menentukan lamanya
pidana atau banyaknya denda perlu di pertimbangkan
dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam
warga serta unsur kesalahan pelaku.
Analisis Kebijakan Kepariwisataan Berbasis
Pluralisme Lokal untuk Mewujudkan Negara
Kesejahteraan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, Pemerintah dan
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam
membentuk peraturan dan kebijakan pariwisata yang ideal
untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Hasil inventarisasi
regulasi yang terkait kebijakan kepariwisataan, ditemukan
sebanyak 47 (empat puluh tujuh ) peraturan perundangundangan, yang terdiri dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang,
21 (dua puluh satu) Peraturan Pemerintah, 10 (sepuluh)
Peraturan Presiden, dan 6 (enam) Peraturan Menteri. Dari ke-
47 regulasi tersebut, analisis terhadap 28 ( dua puluh delapan)
PUU, yaitu: 10 (sepuluh) Undang-undang, 9 (sembilan)
Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden dan 2
(dua) Peraturan Menteri terkait.
Kebijakan pariwisata harus memberikan dampak
positif berupa peningkatan terhadap devisa Negara juga
harus dapat meningkatkan perekonomian di lokasi-lokasi
tujuan wisata misalnya meningkatkan jumlah tenaga kerja, meningkatkan jumlah wisatawan lokal maupun mancanegara,
meningkatkan perkembangan kebudayaan dan seni budaya
negara kita . Pembangunan pariwisata berbasis warga
yaitu sebuah teori yang menekankan pada ekonomi
rakyat dan pemberdayaan rakyat. Teori ini dipergunakan
sebagai reaksi dari kegagalan modernisasi yang diterapkan
selama ini di negara-negara berkembang. Pengambilan
kebijakan top-down dianggap telah melupakan hakikat dasar
pembangunan itu sendiri sehingga rakyat bukannya semakin
meningkat kualitas hidupnya, namun malah dirugikan dan
cenderung termarjinalkan di lingkungan miliknya sendiri.
Keterlibatan warga setempat menjadi penting,
mengingat kenyataan selama ini, yaitu manfaat pariwisata
lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang umumnya
berasal dari luar warga setempat.
Pada penelitian ini, dengan demikian dapat dirumuskan
bahwa kebijakan pariwisata berbasis pluralisme lokal untuk
mewujudkan negara kesejahteraan mengandung elemenelemen sebagai berikut: (1) Dukungan peraturan dan
kelembagaan yang memihak warga lokal; (2) Daya tarik
alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan yaitu tiga
komponen pembentuk produk wisata, dimana ketiganya
dapat digabung satu dengan yang lainnya; (3) Karakter
kebijakan berbasis integrasi dan karakteristik budaya; (4)
Desa wisata sebagai produk wisata alternatif disajikan
untuk menjawab kejenuhan yang dialami wisatawan dalam
mengkonsumsi produk wisata. Jika digambarkan, visualisasi
model ini yaitu sebagai berikut:
Data penelitian juga menunjukkan bahwa dalam relasi
dengan kerangka kebijakan nasional, kebijakan pariwisata di
lokasi penelitian (Kota Surakarta, Kota Batu, dan Provinsi Bali)
menunjukkan focus dan skala prioritas yang tidak sama. Hal
ini nampak dalam analisis di bawah ini.
nampak bahwa ada
perbedaan dalam perspektif pemerintahan untuk
melaksanakan kebijakan pariwisata berbasis pluralisme lokal
untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Di Kota Surakarta,
elemen desa wisata sebagai alternatif tidak dijumpai. ini
karena dalam lingkungan pemerintahan tidak ada satuan
area berupa desa. Sisi yang berbeda dijumpai di Kota
Batu, sebagai akibat sejarah perkembangan area , masih
dijumpai satuan area desa yang kemudian dicoba untuk
pengembangan dan inisiasi desa wisata. Namun demikian,
Kota Batu tidak memiliki peraturan mengenai desa wisata. Di
Bali, seluruh area penelitian memiliki, baik dalam taraf lama
maupun baru, komitmen pengembangan desa wisata. Hanya
saja Kabupaten Badung sejak awal telah memiliki peraturan
mengenai desa wisata. Sementara Kabupaten Tabanan baru
tahun 2018 disahkan dan bahkan Kabupaten Gianyar belum
memiliki.
Seluruh lokasi penelitian telah memiliki dokumen
perencanaan pembangunan jangka menengah, yang
yaitu penjabaran visi dan misi Kepala Daerah, kecuali
Kabupaten Tabanan yang belum disahkan hingga 2018 ini.
Kecuali Kota Surakarta dan Kabupaten Badung, seluruh lokasi
penelitian tidak memiliki Rencanan Induk Pembangunan
Pariwisata Daerah yang diamanahkan oleh Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sebaliknya,
semua lokasi penelitian memiliki Peraturan Daerah tentang
Kepariwisataan. Hanya Kota Surakarta yang memiliki Peraturan
Daerah ini dengan nama yang spesifik yaitu penyelenggaraan
usaha pariwisata.
Kota Surakarta tidak memiliki daya tarik alam dan daya
tarik buatan, namun mayoritas kebijakan pariwisata ditopang
oleh daya tarik budaya. Kebudayaan juga menjadi komponen utama kepariwisataan, dilembagakan dalam pemerintahan
daerah, dan ada beberapa atraksi dan eksplorasi yang
digelar secara rutin. Seluruh lokasi penelitian di Provinsi Bali
memiliki daya tarik budaya dan daya tarik alam, namun tidak
mengembangkan daya tarik buatan. Di Bali, basis integrasi dan
karakteristik budaya yaitu hal yang paling menonjol
dibandingkan lokasi penelitian yang lain.
Kota Batu menjadi masalah unik. Komitmen dan karakter
kebijakan kepariwisataan sangat kuat namun didominasi
oleh daya tarik buatan. Kohesi dengan budaya tidak ada.
Pada tahun 2003, Kota Batu mengakui bahwa seni Tari
Bantengan yaitu seni tari yang berasal dari area
itu. Namun kebenarannya masih diragukan, pengakuan Kota
Batu menjadi kontroversi di antara warga pecinta seni
serta para seniman tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota
Batu ini mencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan
berkembang di seluruh area Malang.
Kabupaten Badung, dengan komponen kebijakan
paling lengkap, mendukung kenyataan bahwa area ini
yaitu penopang utama kepariwisataan di Bali, yang karena
posisi kepulauan ini, lantas juga menjadi penopang utama
kebijakan serupa di negara kita . Kota Batu menyusul dalam hal
perolehan pendapatan asli daerah, namun segera nampak
kekurangannya dibandingkan Kabupaten Badung. Perbedaan
hasil dan kebijakan di ketiga lokasi penelitian di Provinsi
Bali, mengkonfirmasikan bahwa dalam area yang sama
ada keragaman. Kota Surakarta diuntungkan dengan
aspek budaya dan dominasi daya tarik kebudayaan, sambil
menegaskan posisi di masa lalu, yang masih terus berpacu
untuk mengembangkan kohesi dalam aspek lain.
Penelitian ini dengan demikian memberikan peluang
untuk kajian yang lebih mendalam. Mengapa terjadi perbedaan focus dan skala prioritas pluralisme lokal dalam
kebijakan kepariwisataan pada masing-masing daerah?
Apakah perolehan pendapatan asli daerah seperti dalam
masalah Kota Baru dapat dipertahankan dalam jangka panjang
untuk pelaksanaan kebijakan kepariwisataan dibandingkan
usaha melengkapi elemen-elemen lainnya? Daya tarik
alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan yaitu tiga
komponen pembentuk produk wisata, dimana ketiganya
dapat digabung satu dengan yang lainnya. Ketiga
komponen produk wisata ini dapat mempengaruhi
satu dengan yang lainya secara langsung maupun tidak
langsung. Akan namun bagaimanakah pengaruh itu dapat
digambarkan dan kemudian dilembagakan dalam kebijakan
kepariwisataan? Sisi penting berikutnya, dikaitkan dengan
kebijakan kepariwisataan nasional, apakah mungkin akan
terjadi proses social learning sehingga warga setempat
disyaratkan terlibat dalam berbagai tahap pembangunan?
Dan kemudian, bagaimanakah fasilitais ideal pemerintah
pusat dalam kerangka tersebut, dan kemudian, bagaimanakah
tipologi formulasi ideal dalam pembentukan hukum yang
sesuai?