Tampilkan postingan dengan label banten. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label banten. Tampilkan semua postingan
banten
Sejak awal abad kesembilan belas,
pemerintah kolonial Belanda mulai
berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia)
menggantikan VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie) yang bubar
pada tanggal 31 desember 1799 dan
seluruh aset miliknya dikuasai oleh
Negara Belanda. Bubarnya VOC
disebabkan kesalahan urus dan persoalan
korupsi para pejabatnya.2
Selanjutnya,
sebuah komisi Negara yang diketuai
Sebastian Cornelis Nederburg bergelar
komisaris jenderal dibebani tugas bidang
administrasi, hukum, dan pertahanan.
Barulah kemudian pada tahun 1808, si
tangan besi, Herman Willem Deandels
mengawali kekuasaannya sebagai
gubernur jenderal di Hindia Belanda. Di
antara kebijakannya adalah memangkas
kekuasaan penguasa-penguasa lokal. Ia
hanya tiga tahun berkuasa (1808-1811)
yang kemudian digantikan oleh Thomas
Stamford Raffles (1811-1816) yang
mewakili penguasa Inggris di tanah
bekas jajahan Belanda. Pada masanya
terjadi sedikit pembaharuan.
Kebijakan-kebijakan gebernur
jenderal berikutnya bukan memperingan
beban rakyat Hindia Belanda, bahkan
semakin mempersulit keadaan, misalnya
dengan penerapan cultuurstelsel.
Sistem
ini hanya menguntungkan pemerintah
kolonial dan sedikit menguntungkan
penguasa lokal akan tetapi sangat
memperberat kehidupan rakyat jajahan.
Berikutnya, pada era liberal hingga era
politik etis, rakyat tetap saja menderita
dan tidak banyak mengalami perubahan.
Kondisi-kondisi inilah yang membuat
rakyat semakin meningkatkan banyak
perlawanan bersenjatanya4
menyerang
penjajah Belanda.
Sebenarnya, perlawanan
abad XIX rakyat Banten merupakan
kelanjutan dari abad-abad sebelumnya.
Sebagaimana kita ketahui, Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1683 M)
gigih mempertahankan Kesultanan
Banten dari kejahatan adu domba yang
dilakukan oleh kaum kompeni antara
dia dan putra mahkota, Sultan Haji,
yang berujung tergerusnya kekusaan
kesultanan oleh kompeni.
Disamping itu, perlawanan
terhadap Belanda di abad XIX muncul
juga di berbagai daerah seperti Perang
Jawa di bawah pimpinan Pangeran
Diponegoro, Perang Padri di bawah
pimpinan Imam Bonjol yang bergejolak
di Sumatera Barat, Perang Batak dan
Perang Aceh di Sumatera Bagian Utara.5
Bahkan, perang yang tak kalah penting
adalah perlawanan rakyat Banten yang
tak henti-hentinya sejak awal abad ini sampai peristiwa Geger Cilegon 18886
yang dikomandoi oleh K.H. Wasyid.
Peristiwa-peristiwa perlawanan
rakyat Banten didukung, dipelopori
dan dipimpin oleh para Ulama, kaum
bangsawan, dan Jawara bahkan
para Srikandi7
Banten, di antaranya
adalah Nyai Gumpara, Tumenggung
Muhammad, Demang dari Menes,
Mas Jakaria, Ratu Bagus Ali, Pangeran
Radli, Mas Jebeng (putera Mas Jakaria),
Mas Anom, Mas Serdang, Mas Adong,
Mas Anjung (Puteri Mas Jakaria), Nyai
Permata (Ibu Nyai Gumpara), Raden
Yintan, Pangeran Lamir, Sarinam, Mas
Derik, H. Wakhia, Tubagus Ishak, Mas
Diad. Peristiwa perlawanan petani
Banten pada 1888 diinspirasi, dipimpin,
dan/atau dipelopori oleh K.H. Abdul
Karim, K.H. Tubagus Ismail, dan
K.H. Wasyid. Selain mereka, tokoh
yang juga berperan dalam perlawanan
rakyat Banten adalah Haji Singadeli,
Haji Asnawi, Haji Abu Bakar, dan Haji
Marjuki.8
Para pejuang dan pahlawan
Banten di atas memiliki semangat jihad yang kuat yang didasarkan
pada keyakinan keagamaan bahwa
kaum penjajah adalah orang kafir
yang menzhalimi kaum Muslimin
sehingga rakyat Banten wajib untuk
memeranginya. Demikian yang dapat
kita telusuri dari motivasi dan pendorong
mereka untuk berperang; artinya
hanya ada dua kata kunci bagi mereka,
yaitu Jihad dan Perang. Hal demikian
yang menjadikan K.H. Wasyid rela
mengorbankan jiwa dan raganya demi
mempertahankan harkat dan martabat
rakyat Banten yang memang ia buktikan
dengan wafatnya beliau di medan perang
sebagai syahid dan pahlawan.
K.H. Wasyid memiliki semangat
perjuangan menegakkan kebenaran
Amar Ma’ruf Nahi Munkar sejak
usianya masih muda. Darah pejuang
yang dimiliki K.H. Wasyid diwariskan
dari ayahnya, Abbas, yang pada tahun
1850 bersama H. Wakhia melakukan
perlawanan bersenjata. Dalam
perjuangannya, ia memiliki keahlian
dan kemampuan strategis, misalnya
bagaimana ia melakukan komunikasikomunikasi politik dengan para
ulama, jawara, dan pejuang-pejuang
lainnya di Banten dan luar Banten
untuk terlibat dalam perang melawan
penjajah Belanda. K.H. Wasyid juga
dikenal sebagai seorang ulama yang
berdakwah dari satu tempat ke tempat
lainnya terutama mengajak umat
menjauhi perbuatan syirik. Akibat dari
sikap tegas menegakkan ajaran Islam
di tengah masyarakat ini, K.H. Wasyid
menghadapi meja pengadilan sebelum
peristiwa Geger Cilegon 1888.Sejak didirikan oleh Sunan
Gunung Jati, Banten sebagai sebuah
kesultanan sudah sangat menarik bagi
para pedagang untuk merapatkan
kapalnya di pelabuhan Banten, baik
yang berasal dari Eropa maupun Asia
termasuk Nusantara.9
Kemudian, pada
era sultan-sultan berikutnya; Sultan
Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana
Yusuf sampai Sultan Ageng Tirtayasa,
menurut Claude Guillot, Banten masih
menarik karena 1) sepenuhnya merdeka;
2) merupakan periode yang cemerlang,
khususnya tahun 1670 M; dan 3)
Sultan Ageng Tirtayasa masih berkuasa
penuh.
Sekalipun demikian, negara
satelitnya, Jayakarta sudah lebih dulu
jatuh ke tangan J.P. Coen pada 1619 dan
mengganti namanya menjadi Batavia.
Artinya, upaya VOC menggerogoti
kekuasaan kesultanan Banten sudah
dimulai, di antaranya dengan berupaya
mengurangi peran pelabuhan Banten.
Upaya-upaya VOC di Batavia
yang sudah dikuasainya menggembosi
peran pelabuhan Banten. Hal ini sangat
dirasakan oleh Abdul Fath (Sultan
Ageng Tirtayasa) yang mulai berkuasa
tahun 1651. VOC dianggap menghalangi
usaha Banten memajukan perdagangan.
Namun, beliau tetap dianggap berhasil
dalam bidang perdagangan dengan
adanya ekspor-impor antara Banten dan
Persia, Surat, Koromandel, Benggala,
dan Siam. Dia juga membangun irigasi
untuk pertanian dan persawahan.
Suasana damai dan tenteram berjalan
hinggga 1676.13 Lantas, Sultan Ageng
Tirtayasa mengangkat putranya Abdul
Kohar Nasar (Sultan Haji) menjadi
sultan muda yang ternyata tidak suka
keluarga kerajaan memusuhi kompeni.
Dapat diprediksi bahwa akan terjadi
pertentangan antara ayah dan anak.
Sultan Ageng ingin terus mengadakan
blokade terhadap VOC sementara Sultan
Haji ingin mengadakan hubungan baik.
Pasca perang Trunojoyo, tahun 1680
Belanda melakukan agitasi terhadap
Banten yang sudah dikuasai oleh
Sultan Haji. Namun, Sultan Ageng
Tirtayasa tidak mau kompromi dengan
kompeni. Pertikaian antara Sulan Ageng dan Sulan Haji membuat Belanda
mendukung salah satunya untuk dengan
mudah menguasai. Terjadi perlawanan
bersenjata Sultan Ageng Tirtayasa
bersama ulama dan rakyatnya terhadap
Kompeni, tapi berakibat jatuhnya
Banten ke tangan mereka di atas nama
Sultan Haji.
Pasca bangkrutnya VOC
(tahun 1799), kondisi sosial rakyat
Banten bukan bertambah baik, justru
sebaliknya, pemerintah kolonial
Belanda bertambah represif sehingga
menimbulkan perlawanan di berbagai
daerah di Indonesia, termasuk di Banten.
Berbagai sistem yang diciptakan
kaum kolonial tak satupun yang dapat
mensejahterakan rakyat; bahkan
dipaksakan penerapannya dengan
kekerasan. Pada saat Herman Willem
Deandels berkuasa, sepak terjangnya
sangat otoriter. Ia menambah serdadu
dari 200 menjadi 18.000 orang dalam
waktu singkat. Umumnya, serdadu
berasal dari anak-anak Manado, Madura
dan Jawa. Yang tidak mau menjadi
tentara ia hukum dengan berbagai bentuk
kekerasan. Untuk pakaian seragam
serdadu, dia paksa petani memintal
benang dan menenun kain. Semua
bidang kehidupan di berbagai daerah
dijamah Deandels, termasuk pengrajin
tembaga untuk membuat bedil. Pada
tahun 1808 Daendels membangun jalan
raya dari Anyer sampai ke Panarukan
dengan kerja paksa. Tidak sedikit rakyat
meregang nyawa dalam pembangunan
jalan ini karena kekurangan makan,
penyakit, dan sebagainya. Si tangan besi Daendels juga
memangkas kekuasaan para penguasa
lokal; raja-raja lokal diturunkan
jabatannya menjadi pegawai biasa,
ia hapus pula tanda kehormatannya.
Timbul perlawanan dari penguasapenguasa lokal khususnya di Banten.
Daendels marah besar, istana sultan
dihancurkan, Sultan ditangkap dan
dibuang ke Ambon.
Pada tahun 1811, Daendels
digantikan oleh Janssens. Akan tetapi,
karena Perancis-Belanda dikalahkan
Inggris maka pada tahun yang
sama Inggris mengangkat Thomas
Stamford Raffles berkuasa di daerah
jajahan Belanda hingga tahun 1816.
Pemerintahan Raffles disebut-sebut
sebagai pemerintahan tangan liberal
yang lebih lunak dibandingkan Daendels
dan melakukan berbagai pembaharuan.
Ia menghapus kebijakan-kebijakan
Deandels, misalnya dalam bidang
monopoli dagang, kerja rodi, sistem
hak pemerintah atas hasil bumi, tak ada
pemaksaan, yang paling terkenal dari
kebijakan Raffles adalah pelaksanaan
pajak tanah (land-rent).
Kemudian, penguasaan tanah
jajahan diserahkan kembali ke tangan
pemerintah Belanda, berbagai kebijakan
para gubernur jenderal di Hindia Belanda
kembali membuat rakyat menderita,
semisal penerapan sistem tanam paksa
(cultuurstelsel) yang digagas Gubernur
Jenderal Johannes Van den Bosch
pada tahun1830.17 Empat puluh tahun
lamanya sistem ini diterapkan dengan
berbagai dampak negatifnya bagi
rakyat Indonesia umumnya dan rakyat
Banten khususnya. Banyak penduduk
yang meninggalkan kampungnya
menghindari tanam paksa, lain
halnya dengan rakyat Banten, mereka
melakukan perlawanan terhadap sistem
ini,18 dan kebijakan-kebijakan lainnya
yang tidak pro-rakyat.
Jika dirunut dari sejak sebelum
penerapan kultuurstelsel, hingga
penerapannya selama empat puluh
tahun, telah terjadi berbagai perlawanan
bersenjata dari rakyat Banten terhadap
kaum penjajah. Antara 1810 sampai
1840, terjadi sebelas kali perlawan
bersenjata rakyat Banten, di antaranya
perlawanan Nyai Gumpara pada 1818
untuk mengembalikan kesultanan
Banten dan penyerangan ke Anyer
dengan kekuatan 500 orang pada 1822.
Pada akhir tahun 1825 Tumenggung
Muhammad Demang dari Menes
dengan dukungan para kiyai dan tokoh
agama serta para santrinya memimpin
perlawanan bersenjata menentang
pemungutan pajak. Letnan de Quay
mematahkan perlawanan ini yang
membuat Tumenggung Muhammad
mengundurkan diri melintasi puncak
gunung Pulosari melalui perbatasan
Pandeglang. Dua tahun kemudian
muncul lagi perlawaanan bersenjata
dari Mas Jakaria. Pada 1811, ia pernah
menduduki Pandeglang yang kala itu
menjadi kota kraton, tetapi ia tertawan.
Namun pada tahun 1927, ia berhasil
melarikan diri. Banyak hadiah disediakan
bagi yang dapat menangkapnya,
tetapi tetap gagal bahkan pada tahun
ini ia kembali menyerbu Pandeglang
dan berhasil menewaskan anggotaanggota detasemen tentara Belanda.
Pasukan Belanda secara membabi buta
membakari rumah penduduk untuk
memaksa pengakuan penduduk dimana
keberadaan Mas Jakaria. Barulah
beberapa bulan kemudian ia berhasil
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati
dengan memenggal lehernya dan
membakarnya.
Pada tahun-tahun 1831,
1833, 1836, dan 1839 terjadi banyak
perlawanan bersenjata. Pemimpinpemimpin yang lolos dari perlawanan
tahun 1936 adalah Ratu Bagus Ali
dikenal sebagai Kiyai Gede, Pangeran
Radli dan Mas Jebeng, putera Mas
Jakaria. Rakyat bersemangat lagi
melawan penjajah ketika ketiga putra
Mas Jakaria melarikan diri dari penjara
Banyuwangi; Mas Anom, Mas Serdang,
dan Mas Andong. Salah seorang wanita
yang memimpin perlawanan Nyai Mas
Anjung, puteri Mas Jakaria, ikut pula
Mas Ubid, kemenakan dan menantu
Mas Jakaria. Raden Yintan, Pangeran
Lamir, dan seorang wanita Sarinam
dapat ditambahkan sebagai pemimpin
perlawanan bersenjata.
Pada tanggal 13 Desember 1845,
para pejuang Banten merebut rumah
tuan tanah di Cikandi Udik dengan
membunuh tuan tanah Kamphuys,
istrinya dan lima anaknya. Peristiwa
ini disebut peritiwa Cikandi, semua
orang Eropa Cikandi menemui ajalnya.
Sebuah detasemen bejumlah 60 orang
berhasil melumpuhkan perlawanan
di Cikandi. Sebenarnya, peristiwa ini
dilakukan sebagai isyarat perlawanan
di seluruh Banten. Mereka bersekutu
dengan pemimpin kelompok BantenSelatan yang dipimpin oleh Nyai
Permana, ibu Nyai Gumpara, pemimpin
perlawan tahun 1836. Pada 24 Pebruari
1850, Raden Bagus Jayakarta, patih
Serang, mencetuskan perlawanan dan
menewaskan Demang Cilegon beserta
stafnya. Raden Bagus Jayakarta didukung
oleh pemuda-pemuda antara lain
Tubagus Iskak, Mas Derik, Haji Wakhia,
dan Penghulu Dempol. Di Lampung,
banyak orang Banten yang melarikan
diri dari Banten untuk menghindar dari
pengejaran kaum penjajah atau untuk
mengelak dari penindasan para pejabat.
Salah seorang daripadanya adalah orang
kaya H. Wakhia dari Budang Batu yang
dikejar-kejar polisi yang bersembunyi
di Lampung kemudian menuju Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji. Pada
tahun 1847 ia kembali ke desanya.
Lagi-lagi ia tidak mau membayar
pajak. Ia dipanggil residen, tapi tidak
mengindahkannya. H. Wakhia turut
serta dalam merencanakan perlawanan
dan seruan H. Wakhia yang dibantu oleh
Penghulu Dempol untuk melancarkan
Perang Sabil disambut dengan semangat
dan menyala-nyala. H. Wakhia dan
penghulu Dempol mengambil posisi
di sebelah barat bukit-bukit Simari
Kangen, kelompok yang dipimpin Mas
Derik dan Nasid berada di pegunungan
sebelah timur Pulau Merak, sedangkan
Tubagus Ishak dan Mas Diad dan
pasukannya beroperasi di distrik Banten.
R.B. Jayakarta, pengambil inisiatif
berada di belakang layar. Lebih kurang
tiga bulan lamanya pasukan-pasukan
rakyat maju mundur diselingi seranganserangan sporadik terhadap kota-kota
kecil dan desa seperti Tanjak dan Anyer.
Dalam menghadapi pasukan kolonial
pada tanggal 3 Mei 1850 di Tegalpapak
mereka mengalami kekalahan dan
beberapa pemimpin mereka ditawan.
H. Wakhia dan Tubagus Ishak berhasil
meloloskan diri ke Lampung dan di
daerah ini ia kembali ikut perlawanan
terhadap penjajah Belanda yang
dilancarkan Raden Intan dan Pangeran
Singabranta. H. Wakhia akhirnya
ditangkap dan dihukum mati. Anak dan
isterinya menetap di desa asal H. Wakhia
yang kemudian dikenal dengan nama
Arjawinangun. Di tempat ini mereka
sangat dihormati.
Antara tahun 1851 sampai 1871
masih sering terjadi perlawan bersenjata,
seperti peristiwa Usup di tahun 1851,
peristiwa Pungut di tahun 1852,
kerusuhan di Kolelet di tahun 1866 dan
kasus Jayakusuma di tahun 1869.
Dari rentetan peristiwa
perlawanan bersenjata rakyat Banten
terhadap kolonial Belanda sejak awal
abad XIX, perlawanan bersenjata
yang sangat besar adalah yang terjadi
pada 9 Juli tahun 1888 yang dipimpin
oleh K.H. Wasyid. Tengku Ibrahim
Alfian merasa perlu menjelaskan ini
secara komprehensif mengingat begitu
dahsyatnya keadaan Banten baik
sebelum, saat terjadinya peristiwa, dan
sesudahnya
Dikutip dari Tengku Ibrahim
Alfian. “Semangat Keagamaan Rakyat
Banten dalam Mempertahankan Kemerdekaan” …. Alfian mengakui berhutang budi
pada Sartono Kartodirdjo yang telah
membuat kajian secara komprehensif
tentang keperkasaan Rakyat Banten
dan perlawanan mereka terhadap kaum
penjajah Belanda khususnya tentang
peristiwa Cilegon di tahun 1888 Disertasinya di Den Haag yang berjudul, The
Peasent’ Revolt of Banten in 1888: Its
Condition, Course and sequence.
20Tengku Ibrahim Alfian. “Semangat Keag- Tengku Ibrahim Alfian
menyatakan bahwa peristiwa
perlawanan bersenjata rakyat Banten
yang besar adalah yang terjadi
pada 9 Juli 1888 di Cilegon, suatu
perlawanan yang telah dipersiapkan
dan direncanakan serta mempunyai
ruang lingkup yang melampaui batasbatas kota Cilegon. Menurut Prof.
Dr. Sartono Kartodirdjo peristiwa ini
merupakan kulminasi gerakan-gerakan
perlawanan selama bertahun-tahun.
Tarekat telah dijadikan sarana untuk
menyebarkan informs-informasi rahasia
dan komunikasi-komunikasi antara
anggota dan memberikan peranan
penting meletuskan peristiwa ini.21
Dalam teori sejarah, setiap
peristiwa sejarah sedikitnya di dalamnya
terdapat Pionir (pencetus peristiwa),
Soil (tempat terjadinya peristiwa)
dan peristiwa itu sendiri. Peristiwa
perlawanan bersenjata Cilegon188822
pionir atau pencetus utamanya adalah
K.H. Wasyid.
1. Pendidikan Dan Semangat
Keagamaan
K.H. Wasyid adalah seorang
ulama dan pendakwah yang dalam ilmuagamanya, seorang alumnus pesantren
dan Timur Tengah. Seperti halnya
rakyat Banten yang memiliki semangat
keagamaan yang kuat dan mendalam,
demikian pula K.H. Wasyid, beliau
memiliki ilmu agama yang dalam berkat
ketekunan dan kegigihannya menuntut
ilmu di berbagai pesantren di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Corak pendidikan pesantren masa itu
masih sangat berorientasi ilmu-ilmu
agama dan sangat tergantung pada
ustadz atau Kiyai. Mereka mempelajari
kitab-kitab yang berkaitan dengan
hukum Islam seperti Miftà h al-Jannah,
Shirà t, Sabîl al- Muhtadîn, Bidà yah,
Kitab Delapan dan Majmu’, Matan
Taqrib, Fathu al-Qarîb, Fathu alMu’în, Tahrir, Iqna’, Fathu al-Wahhab,
Mahally, dan sebaginya. Di antara
ilmu alat yang mereka pelajari, yakni
Sharaf, Kitab al-Jurmiyah, Mukhtashar,
Mutammimah, Nahwu. Mereka juga
mempelajari kitab-kitab Tafsir dan
Hadis, Balaghah, Tashawwuf, ihya
ulumuddin, al-Mantiq, Tauhid, Ushul alFiqh.23 Mata pelajaran yang diajarkan di
pesantren-pesantren pada abad ke XIX
sangat memengaruhi kepribadian para
santri. Tidak mengherankan jika pada
abad ini banyak peristiwa sejarah yang
dimobilisasi oleh alumnus pesantren
dan masyarakat pedesaan. Misalnya,
peristiwa perlawanan bersenjata yang
sangat terkenal, yakni “Geger Cilegon”
yang juga terkenal dengan sebutan
“Perang Wasyid”.24
Beranjak dewasa, disampingmenimba llmu di pesantren, KH. Wasyid
berangkat ke Mekkah berguru pada
Syekh Nawawi al-Bantani,25 sedang di
Banten dia berguru pada ulama-ulama
Banten, seperti Kiyai Wakhia. Dengan
ilmu yang dimilikinya, ia berdakwah
dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dalam kesempatan dakwah ini K.H.
Wasyid menyampaikan ayat-ayat dan
hadis-hadis yang berkaitan dengan jihad.
Dalam al-Qur’an. dua ungkapan
yang memotivasi setiap Muslim untuk
berjuang menegakkan kebenaran
dan keadilan serta menentang setiap
kezhaliman kaum penindas ialah
berperang di Jalan Allah dan berjihad
di jalan Allah. Khusus untuk istilah
perang dipakai kata qità l yang terdapat
dalam surat al-Baqarah 190, 191, dan
193; surat al-Taubah ayat 111 dan surat
al-Hajj ayat 39.a. Al-Baqarah
190. Dan perangilah di jalan
Allah orang-orang yang memerangi
kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.
191. Dan bunuhlah mereka di
mana saja kamu jumpai mereka, dan
usirlah mereka dari tempat mereka
telah mengusir kamu (Mekah); dan
fitnah[117] itu lebih besar bahayanya
dari pembunuhan, dan janganlah kamu
memerangi mereka di Masjidil Haram,
kecuali jika mereka memerangi kamu
di tempat itu. Jika mereka memerangi
kamu (di tempat itu), maka bunuhlah
mereka. Demikanlah balasan bagi
orang-orang kafir.
192. Kemudian jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
b. At-Taubah
111. Sesungguhnya Allah telah
membeli dari orang-orang mukmin diri
dan harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh
atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada
Allah? Maka bergembiralah dengan jual
beli yang telah kamu lakukan itu, dan
itulah kemenangan yang besar.
c. Al-Hajj
39. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu.
Secara etimologi Jihà d berasal
dari kata jahada yang berarti bersungguhsungguh mencurahkan segenap pikiran,
kekuatan dan kemampuan untuk
mencapai suatu tujuan, dapat juga berarti
perang dan kekuatan. Secara terminologi
(Ishtilà han Syar’iyyan) “ jihad berarti
bersunggguh-sungguh mencurahkan
segenap pikiran dan kekuatan melawan
hawa nafsu, setan, kebatilan, dan
menghancurkan orang-orang yang
melawan agama Allah serta membangun
manusia yang berkemajuan.” Ayat-ayat
lain yang berkaitan dengan ini seperti di
bawah ini:
d. Al-Ankabût:
6. Dan barangsiapa yang
berjihad, maka sesungguhnya jihadnya
itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam.
69. Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.
e. Al-Hajj
78. Dan berjihadlah kamu pada
jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu[993],
dan (begitu pula) dalam (Al Quran)
ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu dan supaya kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia, maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada
tali Allah. Dia adalah Pelindungmu,
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik- baik Penolong.
Bak gayung bersambut, seruanseruan K.H. Wasyid diamini oleh semua
elemen masyarakat mulai dari ulama,
kiyai, petani, santri, anak-anak muda,
pengikut tarekat, dan bahkan para jawara.
Pada abad XIX semangat keagamaan
mereka bertambah kuat. Seperti yang
disebutkan Sartono Kartodirdjo dalam
beberapa dasawarsa di akhir abad ke
XIX, tampak peningkatan kebangkitan
agama yang sangat luar biasa. Dimulai di
Timur Tengah dengan Pan-Islamismenya
yang sangat anti barat. Fanatisme dan
militanisme keagamaan muncul karena
benci orang kafir termasuk di Banten.
Gejala lain kebangkitan agama ini ialah
ramainya masjid dengan shalat jama’ah
dan pengajian-pengajian oleh anak-anak
muda Banten, bermunculan cabangcabang tarekat, jumlah orang naik haji
bertambah dan tinggal disana sambil
mencari ilmu.26 Tampaknya inilah yang
memudahkan K.H. Wasyid memobilisir
kekuatan dan massa untuk memerangi
penjajah.
bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu.
Secara etimologi Jihà d berasal
dari kata jahada yang berarti bersungguhsungguh mencurahkan segenap pikiran,
kekuatan dan kemampuan untuk
mencapai suatu tujuan, dapat juga berarti
perang dan kekuatan. Secara terminologi
(Ishtilà han Syar’iyyan) “ jihad berarti
bersunggguh-sungguh mencurahkan
segenap pikiran dan kekuatan melawan
hawa nafsu, setan, kebatilan, dan
menghancurkan orang-orang yang
melawan agama Allah serta membangun
manusia yang berkemajuan.” Ayat-ayat
lain yang berkaitan dengan ini seperti di
bawah ini:
d. Al-Ankabût:
6. Dan barangsiapa yang
berjihad, maka sesungguhnya jihadnya
itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam.
69. Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.
e. Al-Hajj
78. Dan berjihadlah kamu pada
jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu[993],
dan (begitu pula) dalam (Al Quran)
ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu dan supaya kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia, maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada
tali Allah. Dia adalah Pelindungmu,
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik- baik Penolong.
Bak gayung bersambut, seruanseruan K.H. Wasyid diamini oleh semua
elemen masyarakat mulai dari ulama,
kiyai, petani, santri, anak-anak muda,
pengikut tarekat, dan bahkan para jawara.
Pada abad XIX semangat keagamaan
mereka bertambah kuat. Seperti yang
disebutkan Sartono Kartodirdjo dalam
beberapa dasawarsa di akhir abad ke
XIX, tampak peningkatan kebangkitan
agama yang sangat luar biasa. Dimulai di
Timur Tengah dengan Pan-Islamismenya
yang sangat anti barat. Fanatisme dan
militanisme keagamaan muncul karena
benci orang kafir termasuk di Banten.
Gejala lain kebangkitan agama ini ialah
ramainya masjid dengan shalat jama’ah
dan pengajian-pengajian oleh anak-anak
muda Banten, bermunculan cabangcabang tarekat, jumlah orang naik haji
bertambah dan tinggal disana sambil
mencari ilmu.26 Tampaknya inilah yang
memudahkan K.H. Wasyid memobilisir
kekuatan dan massa untuk memerangi
penjajah. Pertempuran Cilegon memang
diakui Snouck Hurgronye bahkan oleh
pemeintah Belanda sangat serius, dia
katakan, “Memang kekuasaan kita tidak
akan mudah dirubuhkan oleh suatu
gerakan fanatik. Tapi huru-hara setempat
di Cilegon tahun 1888 memang cukup
serius.” 27 Dua hal yang bisa kita telaah
dari peristiwa ini, yakni latar belakang
dan faktor-faktornya. Latar belakangnya
tentu jauh dari yang telah diuraikan di
atas, sedang faktor-faktornya dikatakan
sendiri oleh K.H. Wasyid yang pernah
disebut oleh saksi, Achmad; pertama,
dua pejabat pemerintah kolonial, yaitu
patih dan jaksa telah melarang umat
Islam melakukan ibadah di Masjid.
Kedua dinaikkannya pajak perahu dan
pajak-pajak usaha yang lain. Ketiga, para
pejabat sama sekali tidak menghiraukan
para kiyai, bahkan memusuhi Islam,
melarang shalat dengan suara keras
dan melarang membuat menara-menara
masjid tinggi, dan menyebar terlalu
banyak mata-mata untuk mencaricari kesalahan orang yang melanggar
peraturan.
Didorong latar belakang
dan faktor-faktor di atas, K.H.
Wasyid membuat perencanaan dan
mengorganisir serta memobilisir seluruh
elemen rakyat Banten untuk melakukan
perlawanan. Dari hasil penyelidikanterhadap para tawanan dapat diketahui
bahwa anggota-anggota perlawan
bersenjata K.H. Wasyid mengadakan
pertemuan di berbagai tempat dan
menggunakan tarekat sebagai tempat
berkumpul dan bersama-sama
melakukan sembahyang dan dzikir. K.H.
Wasyid dan para kiyai lainnya dapat
bertemu dalam kesempatan ini untuk
mengatur strategi dan taktik-taktik serta
kordinasi.
Dari setiap pertemuan, nampak
kepiawaian dan kemampuan K.H.
Wasyid mengumpulkan para kiyai,
ulama, tokoh-tokoh agama lainnya
bahkan para jawara. Dapat disebutkan
disini K.H. Abdul Karim, seorang
ulama besar dan dihormati rakyat
Banten, pemimpin agama dan guru
tarekat Qadariyah. K.H. Tubagus Ismail,
H. Abdul Gani, K.H. Usman, Haji
Nasiman, H. Sangadeli dari Kaloran, H.
Abu Bakar dari Pontang, H. Asnawi dari
Bendung Lempuyang, H. Muhammad
Asik dari Bandung. Masing-masing
mereka dan K.H. Wasyid menyampaikan
propaganda-propaganda yang berkaitan
dengan jihad dan perang sabil.
Perjuangan rakyat Banten
menuju kemerdekaan mendapat
kekuatan baru dengan pulangnya H.
Marjuki pada tahun 1887 dari Mekkah.
Ia mulai mengunjungi daerah-daerah di
Banten, Tengerang, Betawi, dan Bogor
untuk menyampaikan gagasan tentang
jihad. Tidak lama dikunjungi Haji
Marjuki, entusiasme rakyat bertambah
bergelora dan semangat keagamaan
rakyatpun semakin meningkat, sehingga
K.H. Wasyid menganggapnya sekutu
paling setia. Kunjungan H. Marjuki
ke para Kiyai tarekat Qadariyah
mendapat sambutan dan dari mereka keluar pernyataan mendukung gerakan
perlawanan yang dicanangkan K.H.
Wasyid yang sebelumnya sudah
melakukan apa yang dilakukan oleh
H. Marjuki. Akan tetapi H. Marjuki
kembali ke Mekkah sebelum terjadi
perang. Sekalipun demikian, K.H.
Wasyid taat asas mengabdikan dirinya
kepada perjuangan berjihad melawan
penjajah.
Disela-sela kesibukannya
berpropaganda, tiga bulan sebelum
pertempuran K.H. Wasyid memimpin
persiapan perang dengan mempergiat
latihan-latihan pencak silat,
pengumpulan dan pembuatan senjatasenjata, dan sembari membakar
semangat melalui khutbah-khutbahnya
untuk melaksanakan perang sabil.29
Berkat kepiawian K.H. Wasyid
mengorganisir dan memoblisasi rakyat,
gerakan kolektif ini diakui sangat
terorganisir dan memiliki perencanaan
yang matang. Tanda-tanda akan
dimulainya perang tampak pada tanggal
8 Juli 1888. Rombongan-rombongan
prajurit berpakaian putih-putih mulai
bergerak ke pos komando yang sudah
disiapkan di desa saneja di rumah
H. Ishak. Para pimpinan rombongan
bermusyawarah di pimpinan K.H.
Wasyid. Selaku pimpinan operasi,
K.H. Wasyid mulai mengatur strategi
penyerangan, ia bagi pasukan dalam
beberapa kelompok yang masing-masing
bertugas menyerang penjara, yang lain
membebaskan tahanan, menyerang
Kepatihan, menyerang rumah Asisten
Residen. Pada hari Senin, 9 Juli 1888
perang dimulai dan pada sore harinya
Cilegon dapat diduduki K.H.Wasyid
29Tengku Ibrahim Alfian. “Semangat Keagamaan Rakyat Banten dalam Mempertahankan
Kemerdekaan” …. Hlm. 9.
dan para pasukannya.
Di bawah komando Kapten
A.A. Veen huyzen, Belanda melakukan
operasi mematahkan perlawanan dan
melakukan pengejaran terhadap K.H.
Wasyid dan kawan-kawannya. Namun,
pertempuran terus berlangsung dan pada
tanggal 30 Juli 1888 K.H. Wasyid, K.H.
Tubagus Ismail, Haji Usman, dan Haji
Abdul Gani terbunuh sebagai syahid
dan pahlawan.30
Singkat cerita, dalam
pertempuran Cilegon 1888, di pihak
Belanda tewas 19 orang, yang luka 7
orang. Di pihak prajurit Banten syahid
30 orang, termasuk K.H. Wasyid, terluka
13 orang. 94 orang dari pihak K.H.
Wasyid dibuang ke berbagai daerah
di dalamnya 42 orang haji, dua orang
wanita Nyi Aminah dan Nyi Rainah dari
Arjawinangun, keduanya puteri K.H.
Wakhia.31
Dampak dari peristiwa Cilegon
1888 sangat dirasakan oleh para kiyai,
ulama, guru agama dan pengikut
organisasi tarekat. Oleh karena Belanda
meyakini bahwa peristiwa Cilegon 1888
penggerak utamanya adalah anggota
tarekat, maka diusulkan agar mereka
dibuang. Kenyataan lain dimana-mana
Belanda memburu guru agama, bahkan
ada bupati yang melarang pengajaran
kitab dan penyebaran tarekat. 32
Tengku Ibrahim Alfian bertanya
apakah pelajaran yang dapat ditarik dari
sejarah perjuangan rakyat Banten dalam
melawan penjajah di abad XIX?Historical Conciousness
(kesadaran sejarah) akan eksistensi
bangsa kita di masa lalu perlu kita
bangun. Hal ini sudah dimiliki oleh
para pemimpin agama dan kiyai oleh
karena memiliki pengetahuan yang
dalam tentang al-Qur’an dan hadis Nabi
hamammad Saw. yang tentunya wajib
kita ikuti sebagai seorang Muslim, serta
sanggup menggerakkan rakyat dengan
semangat yang tinggi melawan penjajah.
Kesadaran sejarah masa lalu
bangsa kita perlu dibarengi oleh sense
of responsibility (rasa tanggung jawab)
setiap generasi berikutnya untuk terus
mempertahankan eksistensi mereka
sebagai sebuah bangsa yang besar yang
sudah dibangun oleh para pendahulu
dengan mengorbankan jiwa dan raga
mereka sampai titik darah penghabisan.
Disamping tanggungjawab itu, perlu
pula kita merenungkan apa yang pernah
disampaikan oleh presiden pertama kita,
JASMERAH artinya jangan sekali-kali
melupakan sejarah, sebab sebagaimana
dikatakan oleh presiden kedua kita
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang
mengingat jasa para pahlawannya”.
Abul ‘Ala Maududi, seorang
ulama besar dasri India abad XX berkata
bahwa semua tindakan dilakukan demi
kehidupan umat manusia yang layak
secara kolektif dan yang fungsionarisnya
tidak ditunggangi kepentingan pribadi
di dunia ini. Kepentingan tunggalnya
hanyalah ridla Allah dalam Islam yang
diakui sebagai “amal fi sabilillah”.
Perjuangan untuk berbuat kebaikan
dalam masyarakat Islam dan melawan
kemungkaran adalah sebuah jihad.
Maududi mengemukakan bahwa
mengubah pendapat suatu masyarakat
serta memulai suatu revolusi mental
adalah salah satu bentuk jihad. Bukankah
hal ini yang telah dicontohkan oleh para
pejuang Banten?
Jihad fi sabilillah yang digalakkan
untuk menggelorakan semangat
berkorban guna mempertahankan
tanah air dari penjajah seperti yang
diperlihatkan oleh K.H. Wasyid dan
rakyat Banten dapat dijadikan pendorong
untuk membangun Banten khususnya
dan Indonesia pada umumnya.