Home »
jayabaya. 2
» jayabaya 2
jayabaya 2
Penelitian ini membahas tentang Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur:
Sebuah Kajian Folklor. Judul ini dipilih karena ketertarikan penulis terhadap
peziarah yang datang untuk meminta berkah di Petilasan Sri Aji Jayabaya, bahkan
ada yang tinggal hingga bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan konteks sejarah dan
budaya Kota Kediri, (2) mendeskripsikan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan
Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, (3)
mendeskripsikan proses ritual tirakatan malam 1 Suro atau Muhharam di Petilasan
Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, serta (4) melacak dan menjelaskan
fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota
Kediri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan folklor sebagai pendekatan utama,
sedangkan pendekatan analisis sastra, deskriptif historis, dan, etnografi sebagai
pendekatan tambahan. Kerangka teori yang digunakan sebagai bahan referensi
adalah teori proses ritual dan ritual keagamaan, serta fungsi-fungsi proses ritual.
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: teknik
studi pustaka, teknik observasi, teknik wawancara, serta teknik perekaman dan
pengarsipan. Nara sumber dalam penelitian ini adalah juru kunci dan peziarah.
Tempat penelitian adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Hasil penelitian mengenai proses dan fungsi ritual ini menunjukkan bahwa
(1) keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini didukung sejarah raja Jayabaya yang
memerintah kerajaan Kadiri (Kediri) antara tahun 1135 M. hingga tahun 1157 M..
(2) proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji
Jayabaya memang sudah mengalami beberapa pergeseran, namun tidak
mengurangi tingkat kesakralannya, (3) proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di
Petilasan Sri Aji Jayabaya yang diprakarsai oleh Yayasan Hondodento pada
akhirnya diyakini sebagai tradisi ritual warga setempat, dan (4) Petilasan Sri
Aji Jayabaya memiliki empat fungsi, yaitu: (i) fungsi spiritual dalam membina
hubungan baik antara peziarah dengan Tuhan melalui perantara Sri Aji Jayabaya,
(ii) fungsi sosial sebagai proses interaksi sosial di antara peziarah dan kontrol
sosial bagi warga Desa Menang, (iii) fungsi ekonomis, dengan dibukanya
Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai tempat wisata ziarah ternyata berakibat pada
penambahan pendapatan warga Desa Menang, dan pedagang lain yang
berjualan di sana, (iv) fungsi politik untuk mendapatkan simpati warga luas
(v) fungsi kultural selalu melekat pada kategori-kategori fungsi yang lain, yaitu:
fungsi spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis.
Perkembangan teknologi di era globalisasi dewasa ini tidak menghambat
kehidupan kebudayaan dan tradisi lisan di Indonesia. Hal ini terbukti dari masih
banyaknya tempat-tempat yang dianggap keramat dan didatangi orang untuk
berziarah. Tempat-tempat ziarah yang dianggap keramat itu dapat berupa sebuah
gua, daerah gunung berapi, petilasan (makam leluhur atau orang suci), pohon
besar, dan masih banyak lagi. Kedatangan peziarah mengunjungi tempat-tempat
tersebut didorong berbagai macam alasan. Ada yang bertujuan untuk mencari
kekayaan, sukses dalam pekerjaan, jodoh, menikmati suasana hening, dan masih
banyak alasan lain dari tujuan peziarah tersebut.
Berbagai macam alasan peziarah mendatangi tempat-tempat yang
dianggap keramat itu sebenarnya memiliki hubungan erat dengan emosi
keagamaan yang dimilikinya. Menurut Koentjaraningrat (1967: 218), emosi
keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah
menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran
itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang
lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religius.
Perilaku manusia yang serba religius ini mendorong mereka untuk
mendatangi tempat-tempat keramat yang dianggap sebagai tempat besemayamnya
arwah leluhur atau dewa-dewi, juga kekuatan-kekuatan gaib yang ada pada benda
2
tertentu, yang kebetulan tersimpan di tempat keramat itu. Maka tempat-tempat
keramat itu pada saat-saat tertentu dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan,
seperti ritual -ritual persembahan kepada “Yang Maha Kuasa”.
Tempat-tempat keramat yang dipercaya bersemayam tokoh leluhur yang
pada masa hidupnya memiliki kharisma merupakan salah satu tempat favorit
untuk didatangi peziarah, terlebih jika tokoh itu dimitoskan oleh pendukungnya
dan dijadikan sebagai panutan perilaku kelompok orang tertentu. Tempat keramat
yang didukung oleh keberadaan mitos yang kharismatis itu akan menjadi tempat
ziarah dengan tujuan dan maksud tertentu. Ziarah yang dilakukan ini pada
hakikatnya menyadarkan kondisi manusia sebagai pengembara di dunia yang
hanya mampir ngombe1. Ziarah ke tempat-tempat keramat maksudnya sangat
bervariasi dan salah satunya adalah untuk memperoleh restu leluhur yang
dianggap telah lulus dalam ujian hidup (Subagya, 1981: 141).
Salah satu tempat ziarah yang kharismatik adalah Petilasan Sri Aji
Jayabaya yang terletak di Desa Menang, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri,
sekitar delapan kilometer arah utara dari pusat Kota Kediri. Kota Kediri berada di
sebelah selatan Propinsi Jawa Timur. Selain Petilasan Sri Aji Jayabaya, di kota ini
masih ada banyak tersimpan cerita dan tradisi lisan lainnya. Cerita dan tradisi
lisan di Kota Kediri masih terlihat lestari, hal ini ditandai dengan banyaknya
kegiatan-kegiatan religi dan kepercayaan warga terhadap mitos serta hal-hal
gaib.
Mampir ngombe merupakan bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti singgah
untuk minum. Dalam kehidupan di dunia ini kebanyakan orang Jawa percaya bahwa manusia
menjalani hidup seperti halnya singgah untuk minum saja.
Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dipercaya orang menjadi tempat
muksanya2 Sri Aji Jayabaya, yaitu raja kerajaan Kediri yang memerintah sekitar
tahun 1135 – 1157 M.. Jayabaya sangat dikenal warga Indonesia oleh karena
ramalan-ramalannya tentang hari depan Pulau Jawa (bangsa Indonesia) dari segala
aspek. Ramalan Jayabaya yang sampai hari ini dianggap masih tetap relevan dan
aktual bagi sebagian warga Jawa, bisa disejajarkan dengan Nostradamus,
"peramal" dari daratan Eropa.
Tidak mengherankan jika situs yang dipagari tembok - bangunan baru -
setinggi lima meter, dengan luas sekitar 25 meter persegi, dapat menjadi medan
magnet bagi ribuan manusia pada setiap 1 Sura atau Muhharam. Tiap menjelang 1
Sura, warga dari dalam dan luar Kota Kediri berbondong-bondong memadati
Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk meminta berkah.3
Tradisi lisan yang berkembang di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini bermula
dari mimpi Warsodikromo (1860), tentang sebuah gundukan tanah yang telah
menjadi rawa, di sana dulu pernah bertahta seorang raja Kediri yang tersohor yaitu
Sri Aji Jayabaya. Atas petuah dalam mimpi itu penduduk mengadakan pencarian
terhadap petilasan atau makam tersebut. Akhirnya, dengan dibantu oleh seorang
ahli metaphisik, petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil
diketemukan. Letaknya di bawah naungan pohon kemuning. Dan mulai saat itu
tempat yang dulunya hanya sebuah gundukan tanah, mulai ramai didatangi
pengunjung untuk berziarah (Hondodento 1989: 8).
Muksa berarti orang yang meninggal dan hilang bersama jasadnya
Pada tahun 1975, keluarga besar Hondodento memugar petilasan Sri Aji
Jayabaya yang terdiri dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang
Tirtokamandanu. Bangunan Pamoksan Sri Aji Jayabaya yang dipugar meliputi,
Loka Muksa4, Loka Busana5, serta Loka Makuta6. Sebelumnya banyak juga di
antara peziarah yang datang dan ingin memugar, namun belum ada satu pun dapat
menyelesaikan pemugaran tersebut. Pemugaran yang dilakukan oleh keluarga
besar Hondodento ini menjadikan Pamoksan Sri Aji Jayabaya makin ramai
didatangi orang-orang untuk berziarah.
sesudah keluarga besar Hondodento berhasil memugar Pamoksan Sri Aji
Jayabaya dan dilanjutkan dengan pemugaran Sendang Tirtokamandanu, sekitar
satu kilo dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya. Sendang ini konon digunakan untuk
memandikan putra-putri raja Jayabaya sebelum mengunjungi pamuksan.
Sendang Tirtokamandanu dan Pamoksan Sri Aji Jayabaya sekarang tidak
hanya dipadati peziarah menjelang 1 Sura atau Muhharam saja, tetapi setiap
malam Jumat Legi dan Selasa Kliwon juga ramai oleh kedatangan peziarah yang
kebanyakan berasal dari luar Kota Kediri. Mereka datang dengan berbagai macam
permintaan, ada yang meminta agar cepat mendapat jodoh, dagangan sukses,
sembuh dari sakit, dan ada juga yang hanya ingin menikmati suasana sunyi.
Setiap harinya ada saja peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya
selain hari Jumat Legi, Selasa Kliwon, dan tanggal 1 Suro, bahkan ada
beberapa orang yang tinggal bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah dan hanya
bermukim di sekitar pendopo pamuksan atau sendang dengan perbekalan
seadanya. Keperluan sehari-hari untuk makan dan minum mereka menunggu
kiriman dari saudara-saudaranya yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap
hari Jumat Legi atau Selasa Kliwon. Kejadian-kejadian tersebut mempertebal
keingintahuan peneliti untuk mendalami keberadaan proses ritual dan fungsi
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa
Timur.
Melalui teori folklor, penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan
sebagai berikut: (1) konteks budaya dan sejarah Kota Kediri, (2) proses ritual
tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang, Kota Kediri, (3) proses ritual 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, (4) fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.
Peneliti berharap dengan kajian terhadap proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya ini dapat memberikan informasi lebih dalam tentang
keberadaan salah satu tradisi lisan yang ada di warga Kota Kediri, Propinsi
Jawa Timur, dan sebagai wujud pelestarian satu dari sekian banyak tradisi lisan
yang masih ada di negara Indonesia.
Penelitian ini membahas Petilasan Sri Aji Jayabaya berkenaan dengan
proses ritual tirakatan yang ada di sana. Nama Jayabaya memang tidak asing bagi
warga Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku dan media cetak
yang menuliskan tentang keberadaan Jayabaya terlebih tentang ramalan-
ramalannya, baik itu dihubungkan dengan politik (ratu adil) atau pun keberadaan
alam Indonesia, seperti buku Ramalan Sakti Prabu Jayabaya: Membuka Tabir
Tanda-tanda Jaman. Dalam buku ini secara garis besar berisi tentang isi ramalan
Jayabaya yang dihubungkan dengan fenomena politik dan alam yang terjadi di
Indoneisia (Purwadi, 2003). Soesetro dan Zein Al Arief (1999) juga menulis
tentang ramalan Jayabaya yang dikaitkan dengan fenomena reformasi politik di
Indonesia dalam bukunya yang berjudul Membuka Tabir Ramalan Jayabaya Di
Era Reformasi.7
Banyaknya tulisan mengenai Jayabaya terlebih tentang ramalan-
ramalannya, hanya sedikit yang ditemui oleh peneliti, buku atau artikel yang
menuliskan keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya. Kebanyakan media cetak
menulis berita atau artikel secara sepintas menyebutkan keberadaan Petilsan Sri
Aji Jayabaya. tulisan itupun berkenaan dengan kegiatan proses ritual 1 Suro yang
diadakan oleh Yayasan Hondodento. Seperti dalam kutipan berikut: “Labuhan
yang diselenggarakan oleh Yayasan Hondodento itu merupakan salah satu
rangkaian dalam ritual ziarah dan ritual yang dilakukan pada bulan Suro.
Sebelumnya telah dilakukan di Komplek Candi peninggalan Prabu Jayabaya di
daerah Mamenang Kediri”.8
Hingga saat ini peneliti hanya menemukan satu buku tentang keberadaan
Petilasan Sri Aji Jayabaya. Buku itu ditulis dan diterbitkan oleh Yayasan
Hondodento dengan judul Petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Secara garis
besar isi buku ini mengenai hal ihwal pemugaran Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan
Sendang Tirto Kamandanu di desa Menang. Jadi buku ini lebih banyak
mengungkapkan tentang arsitektur bangunan dan dampak pemugaran dari
Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu bukan tentang proses
ritual atau ritual keagamaan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Peneliti juga pernah menemukan satu judul artikel tentang petilasan Sri Aji
Jayabaya. Judul artikel itu adalah Pamoksan Sri Aji Jayabaya ing Menang.9
Artikel ini ditulis oleh Suwarsono dalam majalah Jaya Baya. Majalah Jaya Baya
adalah salah satu media cetak yang ada di Surabaya yang menggunakan Bahasa
Jawa. Artikel ini berbicara tentang sejarah singkat dan daya tarik Petilasan Sri Aji
Jayabaya bagi peziarah.
Perbedaan penelitian Proses Dan Fungsi Ritual Tirakatan Di Petilasan Sri
Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur Sebuah Kajian
Foklor ini adalah melanjutkan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian ini
akan mendeskripsikan secara terperinci tentang sejarah, proses ritual, dan fungsi
proses ritual bagi pendukungnya. Jadi dalam penelitian ini tidak lagi berisi tentang
arsitek dan daya tarik Petilasan Sri Aji Jayabaya saja namun berusaha
mendeskripsikan tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri AJj Jayabaya
secara mendalam.
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 2).
Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1984: 21) berdasarkan tipenya folklor
dibagi menjadi tiga kelompok : (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor
sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) floklor bukan lisan (non verbal
folklore)
(1) Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a)
bahasa rakyat (folk speech), (b) ungkapan tradisional, (c) pertanyaan tradisional,
(d) pertanyaan rakyat, (e) cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat.
(2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan
campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor ini adalah
kepercayaan rakyat dan permainan rakyat.
(3) Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan,
walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk-bentuk folklor ini
dibagi menjadi dua subkelompok, yaitu yang berupa material atau yang bukan
material.
Dalam penelitian ini akan digunakan teori folklor sebagian lisan yang
berbentuk kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat atau yang sering kali juga
disebut sebagai “takhyul” atau kini lebih dikenal sebagai folk belief
Dundes dalam Danandjaja mendefinisikan folk belief sebagai
ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat;
beberapa dari syarat-syaratnya bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat
sebab.
Takhyul mencakup bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga
kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman (experiences), ada kalanya juga
alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak
Lebih lanjut Danandjaja (1984), menambahkan bahwa takhyul
menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan). Pada umumnya diwariskan
melalui media tutur kata. Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang
terdiri dari tanda-tanda (sigus) atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan
akan ada akibatnya (result)
Berdasarkan maknanya, takhyul dibagi menjadi dua jenis, yaitu (a)
hubungan asosiasi dan (b) ilmu gaib atau magic. Takhyul tersebut dapat dijelaskan
melalui contoh takhyul berikut ini
(1) Jika mendengar suara katak (tanda), maka akan turun hujan (akibat).
(2) Jika kita memandikan kucing (sebab), maka akan turun hujan (akibat).
Takhyul dalam contoh (1) adalah berdasarkan hubungan sebab akibat menurut
hubungan asosiasi. Sedangkan takhyul yang kedua, yaitu perbuatan manusia yang
dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan suatu “akibat”, adalah yang kita
sebut ilmu gaib atau magic ,
Teori folk belief sebagai ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat
dan satu atau lebih akibat digunakan untuk menjelaskan proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya dalam hubungannya dengan tanda-tanda atau sebab-
sebab terciptanya tempat-tempat, alat-alat, waktu, dan orang yang memimpin
ritual . Dan juga untuk menjelaskan akibat yang muncul sesudah dilakukannya
ritual keagamaan.
emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi
seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin
hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi
keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religi.
Kelakuan serba religi menurut tata kelakuan yang baku, disebut ritual
keagamaan atau religious ceremonies atau rites. Menurut Van Gennep dalam
Koentjaraningrat (1985: 32) proses ritual dan ritual keagamaan secara universal
pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat
kehidupan sosial antara warga warga . Hal ini disebabkan karena selalu ada
saat-saat di mana semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya
akan timbul kelesuan dalam warga . Kelesuan inilah yang menyebabkan
manusia membuat ritual keagamaan.
Senada dengan Van Gennep, Robertson Smith mengatakan bahwa ritual
religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga warga
pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, mempunyai fungsi
sosial untuk mengintensifkan solidaritas warga . Para pemeluk suatu religi
atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan
ritual itu secara sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya
melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk
berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan
keagamaannya secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap melakukan
ritual itu sebagai suatu kewajiban sosial
Proses ritual atau ritus adalah tata cara dalam ritual keagamaan , Sedangkan tirakatan adalah mengasingkan diri ke tempat yang sunyi
(di gunung, dsb) Jadi pengertian proses ritual tirakatan
adalah tata cara dalam ritual keagamaan dengan cara mengasingkan diri ke
tempat yang sunyi. Pengertian ini digunakan peneliti sebagai dasar untuk
menganalisis tata cara dalam proses ritual tirakatan 1 Suro, Jumat Legi dan Selasa
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Menurut Koentjaraningrat, tiap-tiap ritual keagamaan
dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen, yaitu : (a) tempat-tempat
ritual , (b) saat-saat ritual , (c) benda-benda ritual , (d) orang-orang yang
melakukan dan memimpin ritual .
(a) Tempat-tempat ritual yang keramat itu adalah biasanya suatu tempat
yang dikhususkan dan yang tidak boleh didatangi oleh barang siapa yang
tidak berkepentingan. Malahan mereka yang mempunyai kepentingan
tidak boleh sembarangan berada di tempat ritual . Mereka harus berhati-
hati dan harus memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan.
(b) Saat-saat ritual biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan
gawat, dan yang penuh dengan bahaya gaib. Saat itu biasanya saat yang
berulang tetap, sejajar dengan irama gerak alam semesta.
(c) Benda-benda dan alat-alat ritual merupakan perlengkapan yang dipakai
dalam hal menjalankan ritual -ritual keagamaan. Alat-alat ritual
yang amat lazim di mana-mana adalah patung yang mempunyai fungsi
sebagai lambang dari dewa atau roh nenek moyang yang menjadi tujuan
dari ritual .
(d) Orang-orang yang melakukan dan memimpin ritual adalah orang-orang
yang karena suatu pendidikan yang lama menjadi ahli dalam hal
melakukan pekerjaan sebagai pemuka ritual keagamaan.
Disamping empat komponen ritual keagamaan, Koentjaraningrat
menambahkan unsur-unsur dari ritual keagamaan, yaitu : (a) bersaji, (b)
berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan menyanyi, (f) berpawai,
(g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i) intoxikasi, (j) bertapa, (k) bersamadi.
Secara singkat unsur-unsur itu dijelaskan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut :
(a) Bersaji, meliputi perbuatan-perbuatan ritual yang biasanya diterangkan
sebagai perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makanan, benda-benda,
atau lain-lainnya kepada dewa, roh-roh nenek moyang, atau makhluk halus
lainnya, tetapi yang di dalam praktek jauh lebih komplek dari pada itu.
(b) Berkorban merupakan suatu perbuatan pembunuhan binatang-binatang
korban, atau manusia, secara ritual .
(c) Berdoa adalah suatu unsur yang ada dalam banyak ritual keagamaan di
dunia. Doa itu pada mulanya adalah rupa-rupanya suatu ucapan dari
keinginan manusia yang diminta dari para leluhur, dan juga ucapan-ucapan
hormat dan pujian kepada leluhur itu.
(d) Dasar pemikiran dari perbuatan makan bersama adalah rupa-rupanya
mencari hubungan dengan dewa-dewa dengan cara mengundang dewa
pada suatu pertemuan makan bersama.
(e) Jalan pikiran yang ada tentang menari dan menyanyi adalah rupa-rupanya
memaksa alam bergerak.
(f) Berpawai atau dalam bahasa asing procession, merupakan juga suatu
perbuatan yang amat umum dalam banyak religi di dunia. Pada pawai-
pawai itu sering dibawa benda-benda keramat, seperti patung-patung
dewa, lambang-lambang totem, benda-benda pusaka yang sakti, dan
sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari benda-
benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal
manusia dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui oleh pawai itu.
(g) Memainkan seni drama seringkali mempunyai arti sebagai suatu ritual
agama, kalau yang dimainkan itu suatu cerita suci dari mitologi atau dari
kitab-kitab suci.
(h) Dasar yang ada pada perbuatan berpuasa bisa bermacam-macam, misalnya
membersihkan diri atau meguatkan batin dengan penderitaan
(i) Intoxikasi terdiri dari perbuatan-perbuatan untuk memabukkan atau
menghilangkan kesadaran diri para pelaku ritual . Dengan demikian
maka para pelaku ritual sering melihat bayangan-bayangan atau
khayalan-khayalan.
(j) Bertapa ada dalam agama-agama dan religi-religi yang mempunyai
konsepsi bahwa rohani itu lebih penting dari jasmani. Demikian ada
pendirian bahwa kalau hasrat-hasrat jasmani dari manusia itu bisa ditekan,
maka jiwa akan menjadi lebih bersih dan suci.
(k) Bersamadi adalah berbagai macam perbuatan serba religi yang bertujuan
untuk memusatkan perhatian si pelaku kepada maksudnya atau kepada hal-
hal yang suci
Teori proses ritual yang terdiri dari empat komponen dan sebelas unsur ini
digunakan peneliti untuk mendeskripsikan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri
Aji Jayabaya. Namun tidak menutup kemungkinan adanya pengurangan dan
penggunaan teori-teori lain yang akan mendukung pendeskripsian tentang
keberadaan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang,
Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur ini.
Fungsi proses ritual secara umum terbagi menjadi empat, yaitu fungsi
spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Proses ritual sebagai fungsi spiritual
yaitu usaha manusia dalam berkomunikasi dengan dunia gaib. Cara manusia
berkomunikasi melalui ritual -ritual keagamaan baik untuk memohon
keselamatan, menjaga keseimbangan kosmos, bahkan pembinaan hubungan baik
dengan para leluhur dan Tuhannya
Proses ritual memiliki fungsi spiritual juga berhubungan erat dengan
emosi keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat ,emosi keagamaan atau religious emotion yaitu suatu getaran jiwa
yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka
waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik
saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan inilah yang mendorong
manusia untuk berlaku serba religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis
pada segala sesuatu yang bersangkutan dengan kelakuan serba religi tersebut,
seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan orang-orang yang bersangkutan.
Sebagai fungsi sosiologis, ritual keagamaan memiliki penjelasan-
penjelasan sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat kehidupan
sosial antara warga warga . Para pemeluk suatu religi atau agama terkadang
tidak menjalankan kewajiban mereka secara sungguh-sungguh, tetapi hanya
melakukannya karena mereka menganggap melakukan ritual itu sebagai suatu
kewajiban sosial saja
prinsip ekonomis orang Jawa untuk
meraih kabegjan (keberuntungan) tidak dicapai semata menggunakan sistim pasar.
Orang Jawa khususnya mencoba menerapkan manajemen batin yang secara tidak
langsung akan membuat roda ekonomis lancar. Demikian halnya dengan fungsi
ekonomis yang ada dalam proses ritual tirakatan di petilasan Sri Aji Jayabaya,
selain erat hubungannya dengan dibukanya sebagai obyek ziarah dan wisata yang
secara ekonomis langsung dapat dirasakan oleh penduduk setempat, juga
berhubungan dengan perilaku ekonomis yang diwarnai dengan ritual-ritual.
Kepercayaan akan ritual-ritual ini menyebabkan penduduk setempat mendatangi
petilasan Sri Aji Jayabaya dan meminta pertolongan agar roda perekonomianya
selalu berjalan dengan lancar.
Proses ritual berfungsi politis ini berkaitan dengan mesianistik atau sang
pembebas. Mesianistik ini dengan cara menggunakan kepercayaan warga
terhadap sosok sang pembebas atau orang Jawa menyebutnya sebagai “Ratu
Adil”. Lantaran kuatnya mitos ratu adil di hati rakyat, maka banyak tokoh politik
yang memiliki visi populis dengan menggunakan paham mesianistik untuk
memperoleh dukungan rakyat. Gerakan mesianistik berupa ratu adil ini sangat
dirasakan di Indonesia pada akhir abad ke-20.10 lalu hakikat politik dalam budaya Jawa adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik
dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya meraih kekuasaan. Kekuasaan
dalam warga Jawa ini sangat terkait dengan konsep kasekten (kesaktian)
seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh kewibawaan seorang
pemimpin.
Pengertian budaya atau kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat Meluasnya pengertian budaya ini membuat peneliti harus membatasi
fungsi budaya dalam penelitian ini. Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan di
sini tidak diartikan berdiri sendiri, melainkan akan melekat pada kategori-kategori
fungsi dalam proses ritual tirakatan yang lain, yaitu fungsi spiritual, sosiologis,
ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana fungsi budaya dalam proses
ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya spiritual, budaya ekonomis, budaya
sosiologis, dan budaya politis bagi pendukungnya.
Teori fungsi proses ritual tirakatan ini digunakan untuk menjelaskan
fungsi makna religius, sosiologisl, ekonomis, politis, dan budaya dari proses ritual
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa
Timur.
juru kunci dan peziarah. Juru kunci
sebagai informan dalam penelitian ini merupakan orang yang bahasa ibunya
adalah bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli pulau Jawa, dengan alasan juru
kunci merupakan pewaris dari tradisi lisan di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Suseno
(1984) menyebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa
Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa, yaitu
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan peziarah adalah orang-orang yang
datang ke petilasan Sri Aji Jayabaya untuk mengikuti proses ritual tirakatan dan
bukan pewaris asli tradisi lisan tersebut. Peziarah ini ada yang merupakan
warga sekitar atau dari luar Desa Menang.
Peneliti membatasi jumlah informan dalam penelitian ini adalah 15
(sepuluh) orang. Juru kunci sebanyak 4 orang (2 juru kunci Pamuksan Sri Aji
Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu), sedangkan peziarah dibatasi sebanyak
10 orang (warga sekitar maupun dari luar Desa Menang), dan tua Desa
Menang sebanyak 1 orang.. Pembatasan informan ini didasarkan atas pendapat
yang mengatakan bahwa dalam hal tertentu informan perlu
direkrut seperlunya dan diberitahu tentang maksud dan tujuan penelitian. Agar
peneliti memperoleh informan yang benar-benar memenuhi persyaratan dan bila
perlu mengetes informasi yang diberikannya, apakah benar atau tidak. Jadi,
informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang suatu peristiwa yang
menjadi latar penelitian Peneliti berharap dengan teknik
pemilihan sampel seperti ini dapat lebih mengungkapkan proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri Propinsi Jawa Timur.
Kota Kediri berada di ketinggian 67 m di atas permukaan air laut dan
terletak antara -111.05 s/d -112.03 Bujur Timur dan -7.45 s/d -7.55 Lintang
Selatan. Di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Gampengrejo, sebelah
timur berbatasan dengan kecamatan Wates dan Gurah, sebelah selatan berbatasan
dengan kecamatan Kandat dan Ngadiluwih, sebelah barat berbatasan dengan
kecamatan Grogol dan Semen. Luas wilayah kota Kediri mencapai 63,40 Km2
terbelah sungai Brantas yang mengalir dari selatan ke utara menjadi dua wilayah
barat sungai dan timur sungai.
Secara administratif, kota kediri yang mempunyai luas wilayah 63,40 km²
terbagi menjadi tiga kecamatan yaitu kecamatan Mojoroto, kecamatan Kota dan
kecamatan Pesantren. Wilayah barat sungai secara keseluruhan termasuk dalam
wilayah kecamatan Mojoroto; 24,6 km², dan timur sungai sebagian termasuk
dalam wilayah kecamatan Kota, 14,9 km² dan kecamatan Pesantren 23,9 km²
(BPS, 2005: 1-2).
Jumlah penduduk kota kediri pada tahun 2004 telah mencapai 241.170
jiwa, bertambah 191 jiwa dari tahun 2003. Perkembangan penduduk kota Kediri
tahun 2004 dibanding tahun 2003 adalah sebesar 0,08 persen di mana
perkembangan penduduk perempuan relatif lebih besar dibandingkan penduduk
laki-laki, yaitu 118.371 jiwa untuk perempuan dan 122.799 jiwa untuk laki-laki.
Angka petambahan alami, yang merupakan selisih antara jumlah yang lahir
dengan yang meninggal di kota Kediri tahun 2004 mencapai 923 jiwa. Jumlah
penduduk yang pindah atau keluar meninggalkan kota Kediri lebih banyak
dibandingkan yang datang ke kota Kediri. Hal ini dapat diketahui dari angka
migrasi netto yaitu selisih penduduk yang datang dikurangi yang pindah, di mana
tahun 2004 mencapai negatif 732 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk kota kediri
pada tahun 2004 telah mencapai 3.804 jiwa per km². Apabila dirinci menurut
kecamatan, maka kecamatan kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk paling
tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya yaitu mencapai 5.737 jiwa per
km², sedangkan kecamatan mojoroto mencapai 3.505 jiwa per km² dan 2.906 jiwa
per km² untuk kecamatan pesantren (BPS, 2005: 40-42).
Jumlah pencari kerja pada tahun 2004 meningkat sebanyak 1.266 orang
dari 2.632 orang pada tahun 2003. Jumlah pencari kerja pada tahun 2004
sebanyak 3.898 orang dengan persentase perempuan adalah 57 persen dan 43
persen adalah laki-laki. Peningkatan jumlah pencari kerja yang mencapai 48,1
persen pada periode 2003-2004 tidak diikuti dengan peningkatan jumlah
penempatan tenaga kerja atau yang diterima kerja yang mencapai 442 orang di
tahun 2004 (BPS, 2005: 58).
Besaran upah minimum kota Kediri terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun dengan besarnya inflasi, yaitu 361.250 rupiah pada tahun 2002
meningkat sebesar 31,36 persen dibanding tahun 2001, pada tahun 2003 mencapai
415.000 rupiah, meningkat sebesar 14,86 persen dan tahun 2004 mencapai
480.000 rupiah, meningkat sebesar 15,66 persen (BPS, 2005: 62-63).
Pada tahun 2004 di kota kediri jumlah sekolah dasar (SD) sekolah
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah umum (SMU) mengalami
penurunan karena pada tahun 2004 ada beberapa sekolah yang dimerger.
Penurunan jumlah sekolah dari tahun 2003 hingga 2004 mencapai 7 sekolah. Hal
ini berpengaruh pada penurunan jumlah murid SD dan SMU, sedangkan murid
SMP mengalami peningkatan. Penurunan jumlah murid sekolah dari tahun 2003
hingga 2004 mencapai 347 murid. Sedangkan tenaga pengajar juga mengalami
penurunan dari tahun 2003 hingga 2004 sebanyak 11 guru. (BPS, 2005: 65).
Menurut Badan Pusat Statistik kota Kediri tahun 2004 jumlah pemeluk
agama di kota Kediri diperinci sebagai berikut: Islam 215.102, Kristen 16.097,
Katholik 7.402, Hindu 817, dan Budha 1.752 (BPS, 2005: 141). Jumlah
keseluruhan pemeluk agama dan jumlah penduduk di kota Kediri adalah sama
yaitu 241.170 orang, namun menurut kenyataan di lapangan, masih banyak
warga kota Kediri yang menganut suatu aliran kepercayaan tertentu. Hal ini
senada dengan pendapat Mulder dalam Suseno (1984), yang memperkirakan
bahwa 3% sampai 5% semua orang Jawa menjadi bagian dalam salah satu
organisasi kebatinan , Kedudukan aliran kepercayaan di kota
Kediri sudah mengalami akulturasi dengan kelima agama yang berkembang baik
di Indonesia. Contohnya aliran kepercayaan Paguyuban Ngesti Tunggal
(Pangestu) yang cukup besar penganutnya di kota Kediri ini, para penganutnya
selain menganut agama tertentu mereka juga menjalankan kewajiban sebagai
anggota paguyupan.
Melihat jumlah penduduk, sekolah yang dimerger, pencari kerja, besaran
upah minimum, dan banyaknya penduduk yang keluar dari kota Kediri ini
tentunya akan mendukung pelestarian proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan
Sri Aji Jayabaya.
Mitos di sini berisi tentang beberapa contoh mitos yang masih dipercaya
dan melekat pada kehidupan sehari-hari warga Kediri. Sedangkan sejarah
kota Kediri menjabarkan penemuan penggunaan kata Kediri atau Kadiri pertama
kali dalam sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti batu atau lempengan emas
dan sumber tertulis lainnya.
Menurut Endraswara mitos disebut juga mite (myth). Mite
adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh
empunya cerita. Karena itu, dalam mite sering ada tokoh pujaan yang dipuji atau
sebaliknya (ditakuti). Baik tokoh mite yang dipuji maupun yang ditakuti
implikasinya selalu muncul dalam bentuk penghormatan. Penghormatan yang
disebut ada kalanya juga sering dimanifestasikan dalam wujud pengorbanan.
Pemahanan atas cerita yang bernuansa mitos ini pada kenyataannya menjadi
sebuah keyakinan yang berlebihan dan mempengaruhi pola pikir warga
kearah takhyul. Sehingga, tidak jarang warga menganggap keramat suatu
mitos. Mite biasanya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia, maut,
binatang, topografi, gejala alam, dan sebagainya.
Dalam warga Jawa, dikenal berbagai macam cerita rakyat. Artinya,
ragam cerita prosa seperti mitos, legenda, dan dongeng yang berkembang di
warga . Dalam cerita-cerita rakyat itu, banyak yang berbau dongeng.
Pemahaman mereka atas dongeng pun lalu menyempit, hanya terbatas pada tokoh
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda keramat lainnya. Sedangkan, cerita
yang tokohnya dominan manusia mereka pahami sebagai cerita rakyat
Demikian juga kebanyakan cerita rakyat atau mitos yang ada di kota
Kediri yang menceritakan tentang tokoh manusia di antaranya Prabu Kelono
Sewandono (sejarah kuda lumping sesuai dengan cerita Panji Asmorobangun),
Totok Kerot, Muksanya Raja Jayabaya, dan Cerita Dewi Kilisuci.
Prabu Kelono Sewandono
Alkisah, Pujonggo Anom melaporkan permintaan Dewi Songgolangit
yang tidak lain adalah Dewi Sekartaji kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena
sulitnya permintaan sang pujaan hati, akhirnya keduanya bersemedi mohon
petunjuk kepada Sang Dewata Agung. Di ujung semedinya, Sang Dewata
mengabulkan permohonan keduanya sehingga dalam waktu singkat Prabu Kelono
Sewandono dapat memenuhi patemboyo (sayembra) Dewi Sekartaji.
Dilain pihak, Prabu Singobarong yang juga menaruh hati pada Sang Dewi,
murka karena merasa dilangkahi, maka ditantanglah Prabu Kelono Sewandono.
Dengan Pecut Kyai Samandiman, Prabu Kelono Sewandono unggul dalam
peperangan dan sebagai tanda penghormatan, bersama Singo Kumbang yang
berwujud seekor babi hutan, Prabu Singobarong mengabdikan dirinya sebagai
penari untuk melengkapi patemboyo yang diajukan Dewi Sekartaji.
Totok Kerot
Pada zaman kerajaan Kadiri diperintah oleh Prabu Jayabaya, datanglah
seorang raksasa perempuan yang dikenal dengan nama dewi Totok Kerot. Seluruh
penduduk merasa ketakutan, karena raksasa itu setiap hari memakan hewan ternak
milik mereka. Awalnya penduduk desa tidak ada yang berani melawan raksasa
perempuan itu. Namun kemudian penduduk yang merasa resah memberanikan diri
untuk mengeroyok raksasa itu. Akhirnya raksasa perempuan itu roboh, tetapi
belum mati, lalu Senopati Tunggul Wulung bertanya kepadanya, “Di mana tempat
tinggalmu?” Jawab raksasa itu, “Rumahku di Lodoyong (Lodaya), di tepi laut
selatan,”. Kemudian Tunggul Wulung bertanya lagi katanya, “Apa maksudmu
masuk ke daerah kami?” Raksasa itu pun menjawab dengan lantang katanya,
“Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.”
Semua perkataan raksasa perempuan itu disampaikan Tunggul Wulung
kepada Sang Prabu Aji Jayabaya. Kemudian Sang Prabu mendatangi tempat
raksasa perempuan itu dan menjumpainya. Sang Prabu Jayabaya bertanya lagi
kepada raksasa itu tentang maksud kedatangannya ke Kadiri? Sekali lagi raksasa
itu menjawab “Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.”
Kemudian Sang Prabu berkata, ”Kalau memang benar demikian kehendakmu
dewata tak mengizinkan. Tetapi saya akan memberi tahu kepadamu, kelak sesudah
aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun kemudian, di tanah sebelah barat
kerajaan Kadiri ada orang yang mengangkat diri menjadi raja. Kerajaan itu beribu
kota di Prambanan. Nama raja itu Prabu Prawatasari, dialah yang akan menjadi
jodohmu.”
Sebelum Prabu Jayabaya melanjutkan sabdanya, raksasa itu
menghembuskan napas terakhir. Sang Prabu merasa sangat heran hati, lalu
memberi perintah kepada Tunggul Wulung sebagai berikut: pertama desa di
sebelah selatan Mamenang diberi nama Gumurah. Sebab ketika penduduk desa
mengeroyok raksasa perempuan itu dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak
sehingga menimbulkan suara hiruk-pikuk yang dalam bahasa Jawa dikatakan
gumurah atau gumerah.
Kedua, raja memerintahkan agar dibuat patung yang serupa dengan
raksasa perempuan yang baru meninggal ini, sedang wajahnya hendaklah dipahat
serupa dengan wajah patung gupala. Patung raksasa itu diberi nama patung Totok
Kerot. Desa tempat patung itu dinamakan desa Nyaen. Tinggi patung itu empat
belas kaki atau sekitar 300 cm. Bola matanya sebesar alas cawan atau lepek
(bahasa Jawa), bulat besar, posisinya berlutut. Hingga sekarang patung raksasa
perempuan atau Totok Kerot itu masih ada dan terletak di dusun Kunir desa
Bulupasar kecamatan Gurah sekitar 8 (delapan) Km di timur kota Kediri. ada
banyak versi tentang Cerita Totok Kerot ini sedangkan dalam penelitian ini
diambil dari kisah Babad Kadiri atau Cerita Kediri. Perlu diketahui bahwa tulisan Babad Kadiri dan tulisan Kalam Wadi ini termasuk ceritera
“Padalangan”. Jadi ada ketidaksamaan dengan tulisan yang ada di Pustaka Raja, Babad Tanah
Jawi, apalagi tulisan Babad Demak. Yang memperbaiki dan menyempurnakan kalimat adalah
Mangun Wijaya alih bahasa oleh Ny. Siti Halimah Suparno.
Muksanya Raja Jayabaya
Raja Jayabaya dipercaya oleh mayarakat tidak meninggal dunia,
melainkan muksa, yaitu sukma dan raganya kembali ke alam kelanggengan secara
bersama-sama. Menurut kepercayaan Hindu, seseorang yang telah mencapai
tataran muksa dapat dikatakan telah sempurna dalam menjalankan dharmanya
selama hidup di dunia. Hal ini berarti bahwa raja Jayabaya dianggap telah
mencapai tingkat jiwa tertinggi hingga dianggap muksa atau layak menempati
nirwana (Yudoyono, 1984: 39).
Alkisah semasa hidup raja Jayabaya mempunyai seorang permaisuri yang
bernama dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, raja Jayabaya mempunyai putera
empat orang. dewi Pramesti, dewi Pramuna, dewi Sasani dan raden Jayaamijaya.
Di saat kehamilan dewi Pramesti telah berumur 9 (sembilan) bulan, selama tujuh
hari beliau merasakan kesakitan yang tidak kunjung berhenti. Oleh karenanya,
raja Jayabaya beserta permaisuri masuk ke sanggar pamujaan untuk memohon
petunjuk dewata. Kemudian raja Jayabaya mendapat bisikan yang mengatakan “
Hei… prabu Jayabaya, ketahuilah bahwa cucumu tidak mungkin akan lahir bila
kamu tidak melepaskan kedudukanmu sebagai titisan dewa Wisnu. Apabila hal ini
terjadi berkepanjangan, maka akan merusakkan segalanya.”
Tanggap akan maksud bisikan tersebut raja Jayabaya segera memanggil
seluruh perwira dan kerabat kerajaan. Dalam pertemuan itu raja Jayabaya
menceritakan kembali wahyu yang dibisikkan dewata kepadanya. sesudah usai
memaparkan segalanya raja Jayabaya kemudian melakukan ritual “ngraga sukma”
(melepaskan sukmanya) sebagai titisan dewa Wisnu. Tidak lama kemudian dari
rahim dewi Pramesti lahirlah bayi laki-laki. Bayi tersebut kemudian diberi nama
raden Anglingdarma oleh raja Jayabaya. Tiba-tiba cahaya terang memancar dari
tubuh bayi hingga menyilaukan semua yang hadir di situ. sesudah cahaya itu
meredup jasad raja Jayabaya seakan ikut meredup dan menghilang. Raja Jayabaya
muksa, kembali kealam kelanggengan. Suatu pertanda bahwa beliau telah
sempurna dalam menjalankan dharmanya selama hidup di dunia
Cerita mitos ini sangat mempengaruhi terhadap proses ritual tirakatan
di petilasan Sri Aji Jayabaya. Hal ini terlihat jelas dari doa-doa yang dihantarkan
kepada Tuhan selalu lewat perantara Sri Aji Jayabaya dan juga pujian-pujian yang
menyatakan keluhuran namanya.
Dewi Kilisuci
Mitologi warga Kediri mengatakan bahwa nama Kediri berasal dari
nama kedi yang artinya mandul atau tidak berdatang bulan dan dikaitkan dengan
Rara Kilisuci yang bertapa di gua Selamangleng (kaki gunung Klotok di sebelah
barat kota Kediri). Mitologi tersebut disinggung pula dalam makalah Bapak
Sunarto Timur mengenai etimologi Kadiri yang dihubungkan dengan semacam
kakografi, yaitu berdasarkan kalimat sang rara kêdi ring daha, perkataan kêdi
diartikan: mandul, tidak berdatang bulan. Di dalam bahasa Jawa Kuna kêdi berarti
orang dikebiri, bidan, dukun (Kartoadmodjo, 1985: 40).
Walaupun Rara Kilisuci sebagai orang yang mandul namun mempunyai
pribadi yang tinggi, mampu melaksanakan segala sesuatu tanpa pertolongan orang
lain, atau dhiri yang berarti dapat berdikari. Rara Kilisuci juga tidak mau
berhubungan dengan lelaki, tak mau bersuami atau wadat dalam bahasa Jawa.
sesudah lama bertapa di gua selomangleng akhirnya Rara Kilisuci pun menjadi
Dewi Kilisuci yang menjaga ketentraman hidup pada warga di kota Kediri.
Babad Kediri juga menuliskan bahwa dalam perjalanan waktu, banyak
wanita di Kediri yang meniru perbuatan Rara Kilisuci yang dhiri atau angkuh itu,
merasa mampu melakukan pekerjaan apapun juga, termasuk pekerjaan kaum
lelaki. Tetapi mereka hanya menirukan angkuhnya saja, bukan meniru pribadi
yang tidak berhubungan dengan pria dan rela mengorbankan kesenangan duniawi
dengan menjadi pendeta yang suci. Perbuatan Rara Kilisuci itu tidak hanya
ditirukan kaum wanita, tetapi kaum lelaki juga ikut-ikutan menjadi angkuh atau
sombong dan dhiri, namun memiliki sifat seperti wanita. Karenanya bila seorang
pria dari kediri berperang, jika yang menantang perang orang Kediri, maka orang
Kediri ini akan menang. Tetapi bila yang menyerbu orang luar atau orang asing
terlebih dahulu, orang Kediri biasanya kalah. Sebab wanita itu bila di tempat lain
dihormati, tetapi bila di rumah selalu mengalah. Cerita Dewi Kilisuci ini diambil
dari buku Babad Kediri.
Sejarah Kota Kediri
Bertentangan dengan mitologi kota Kediri tentang penyebutan kata kêdi
yang dikaitkan dengan Rara Kilisuci, Kartoadmodjo mengatakan,
bahwa nama Kediri tidak ada kaitannya dengan kêdi maupun tokoh Rara Kilisuci
(Rara Kapucangan) yang dikatakan di dalam dongeng bertapa di gua
Selamangleng (kaki gunung Klotok di dekat Kêdiri). Kalimat sang rara kêdi ring
daha kemudian di eja dan dibaca sang rara Kêdiri (i)ng Daha. Dengan demikian
kata Kêdiri berasal dari kata diri (adeg) mendapat awalan ka (di, ter). Dalam
bahasa Jawa Kuna angdiri (mangdiri) berarti: berdiri, menjadi raja. Selain itu
Kêdiri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau
berswasembada. Jadi pendapat yang mengkaitkan kêdiri dengan perempuan,
apalagi dengan kêdi kurang beralasan.
Menurut Soedarmo dalam Kartoadmodjo . kata kediri dan
kendiri dalam kamus Melayu sering menggantikan kata sendiri. Sedangkan
mengenai perubahan pengucapan Kadiri menjadi Kêdiri dikatakannya, bahwa hal
itu menunjukkan kepada kita adanya paling tidak dua buah gejala, pertama gejala
usia tua, dan kedua gejala informalisasi. Dalam bahasa Jawa, dan juga bahasa-
bahasa lain di Austronesia sebelah barat perubahan suatu bunyi menjadi pêpêt
seringkali terjadi karena dua hal tersebut.
Sejarah Kediri menurut Babad Kadiri yang ditulis oleh Mas Ngabehi
Purbowijaya, seorang Beskal I Kediri pada jaman Belanda, yang dibantu Ki
Dermakanda, seorang dalang, mengatakan bahwa mula-mula daerah Kediri
berupa hutan belantara di tepi sungai Brantas yang belum berpenghuni. Kemudian
datang dua bersaudara kakak-beradik membuka daerah tersebut untuk dijadikan
pemukiman. Kedua orang ini adalah “Kyai Daha” dan adiknya bernama “Kyai
Daka”. Lama-kelamaan diikuti oleh orang lain sehingga menjadi suatu daerah
yang ramai. Keduanya lalu diangkat sebagai sesepuh desa. Dalam Babad Kediri
secara garis besar berisi tentang uraian pertama kali pembukaan daerah yang
bernama Kadiri. Sayang sekali dalam manuskrip ini tidak disertakan tahun-tahun
pendirian daerah yang bernama Kadiri. Terlebih menurut beberapa sumber
manuskrip ini hanyalah cerita pedalangan belaka. Selain dari sumber mitos dan
Babad Kediri sebenarnya nama Kadiri juga ada di dalam berbagai karya
sastra (manuskrip) Jawa Kuna lainnya, misalnya: Kitab Samaradahana,
Nagarakrtagama, Pararaton, dan Calon Arang.
lalu Kartoadmodjo mengatakan nama Kadiri
pertama kali disebutkan di dalam prasasti batu Hariñjing B yang berangka tahun
843 S. (25 Maret 921 M) dari daerah Pare (Kêdiri). Prasasti Hariñjing dipahat
pada sebuah batu utuh (monolith) berukuran tinggi termasuk alas padmãsana
(bantalan teratai) 1.18 cm (tanpa padmãsana: 1.03 cm). Tulisan Jawa Kuna
melingkar di bagian depan (recto), belakang (verso) dan kedua belah sisi samping
kanan dan kiri. Ternyata prasasti batu Harinjing ini terdiri dari tiga buah prasasti,
namun ketiga-tiganya saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan serta
mengenai masalah yang sama. Untuk memudahkan pembahasan maka disebut
prasasti Hariñjing A berangka-tahun 726 S. (25 Maret 804 M), Hariñjing B
berangka tahun 843 S. (19 September 921 M.) dan Hariñjing C berangka-tahun
849 S. (7 Maret 927 M.).
Mengingat prasasti Hariñjing A, B, dan C dipahat pada sebuah batu
tunggal (monolith), demikian pula ketiga-tiganya berkisar sekitar tokoh
Bhagawanta Bari dari desa Culanggi yang telah berjasa membuat tanggul dan kali
di Hariñjing, maka prasasti Hariñjing merupakan sumber yang penting berkaitan
dengan timbulnya Kadiri. Selain penyebutan nama tempat Kadiri, baik Hariñjing
B maupun Hariñjing C menyebutkan sang dewata lumah i kwak (sang raja betahta
di Kwak), yang letaknya dapat diperkirakan sama dengan nama dukuh Kuwak
(Kal. Ngadirejo, dekat pemandian Tirtoyoso) di kota Kediri sekarang ini.
Demikian pula nama-nama tempat (desa) di dalam prasasti Hariñjing A, B, dan C
menunjukkan beberapa persamaan. Karena itu meskipun nama Kadiri tidak
disebut dalam prasasti Hariñjing B, tetapi dapat dibayangkan bahwa nama itu juga
sudah dikenal pada jaman prasasti Hariñjing A ditulis. Sebagai contoh misalnya
prasasti Hariñjing A menyebut nama desa Paradah, dan sampai sekarang pun di
daerah Pare, masih terletak sebuah dusun di dekat kali Srinjing bernama Bogor
Nama Bogor Paradah dapat dikembalikan kepada Paradah yang memang merupakan sebuah
sima pada jaman dahulu, dan kedudukan sima tersebut masih tertinggal pada nama Siman. Ada
dua buah prasasti yang disebut Paradah I dan Paradah II. Menurut Damais Paradah I angka
tahunnya bertepatan dengan 24 Maret 934 M. (EEI.IV. hlm.121) dan Paradah II bertepatan dengan
10 Juli 943 M.
Paradah (Kal. Siman, Kec. Kepung, Kab. Kediri). Dengan demikian meskipun
nama Kadiri baru tersurat di dalam prasasti Hariñjing B, tetapi nama itu pasti
sudah ada sebelumnya, karena nama Kadiri tidak akan muncul secara mendadak.
Maka itu cukup beralasan apabila nama Kadiri harus dicari sebelum tahun 921 M.
(Hariñjing B) atau pada tahun 804 M. (Hariñjing A). Pendek kata kita tidak hanya
melihat apa yang tersurat saja, tetapi juga yang tersirat. Prasasti Hariñjing A
ditulis pada tahun 726 Ś., tanggal 11 bagian paro-terang bulan Caitra (Kêsanga),
paringkêlan Haryang, Wagai, Somawãra (Senin). Menurut perhitungan Damais
unsur penanggalan tanggal 11 Caitra 726 Ś., Ha Wa So bertepatan dengan tanggal
25 Maret 804 M.Angka tahun yang tertera 706 tetapi kemudian dihitung kembali oleh Damais dan sampai pada
kesimpulan bahwa yang benar harus 726 Saka. Kekeliruan itu mungkin terjadi karena Harinjing
rupa-rupanya ditulis pada jaman Pu Ketudhara (C) untuk memperingati tahun 921 M. (B) dan
tahun 804 M. (A). pendek kata unsure penanggalannya Damais menetapkan bahwa angka tahun
yang benar ialah 726 Saka (804 M.) Lihat EEI. IV. Hlm. 187-189. Juga unsur Haryang, Wagai,
Canaiscara (HA WA CA) diperbaiki oleh Damais menjadi Haryang, Wagai, Soma (HA WA SO).
Jadi bukannya Canaiscara (Saptu) melainkan Soma (Senin).
bahwa di dalam prasasti
Hariñjing B disebutkan nama Kwak yang sebenarnya nama Kwak ini sudah di
kenal di dalam prasasti Kwak I dan Kwak II yang ada di Jawa Tengah dan
keduanya bertarikh 801 Ś. (27 Juli 879 M.), maka dugaan bahwa nama Kadiri
sudah dikenal di Jawa Tengah bukannya tidak beralasan sama sekali.
lalu prasasti Śri Mahãdewi berangka tahun 938 Ś. yang menurut
perhitungan sementara Kartoadmojo, (1985: 82) menetapkan tarikh Masehi
prasasti Śri Mahãdewi adalah tanggal 7 Juni 1015 M. dan merupakan prasasti
turunan (tinulad). Mungkin tokoh Śri Mahãdewi ini sama dengan Śri Wijaya
Mahãdewi yang semula menjadi raja putri di Bali. Menurut Damais yang
didukung oleh Goris menuturkan bahwa Śri Wijaya Mahãdewi sama dengan Śri
Iśãnatunggawijaya, putri Pu Sindok. Dengan demikian sekembalinya Śri
Mahãdewi dari Bali, ia tetap menjadi seorang raja putri yang mempunyai
kekuasaan cukup besar dan bertahta di Kadiri (siniwi ring kadiri). Pendek kata
apabila pada tahun 921 M. (prasasti Hariñjing B) Kadiri masih merupakan sebuah
desa (daerah) kecil, maka pada tahun 1015 M. (prasasti Śri Mahãdewi) Kadiri
telah berkembang menjadi sebuah kerajaan yang besar. Hal ini membuktikan
bahwa Kadiri yang semula hanya merupakan daerah kecil yang terus berkembang
dan mampu menjawab tantangan jaman (challenge and response), sehingga dapat
menjadi kota, negara atau kerajaan yang besar, dan dikenal hingga waktu
sekarang.
Menurut surat Keputusan Bupati Kepada Daerah Tingkat II Kediri tanggal
22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, pada pasal 1
berbunyi "Tanggal 25 Maret 804 M. ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri”. Pada
pasal 3 berisi tentang peringatan pertama Hari Jadi Kediri yang akan dilaksanakan
pada tanggal 25 Maret 1985. Keputusan penetapan ini berdasarkan pada makalah
Drs. M.M. Soekarto Kartoatmodjo yang berjudul Sekitar Masalah Sejarah Kadiri
Kuna.
Pada tahun 2002 terjadi perubahan penetapan Hari Jadi Kediri dari tanggal
25 Maret 804 M. menjadi tanggal 27 Juli 879 M.. Perubahan penetapan ini
didasarkan pada prasasti Kwak I dan Kwak II, yaitu berlandaskan pada
penyebutan daerah bernama Kwak. Prasasti Kwak berupa lempengan tembaga
yang ditemukan di sebuah desa di Magelang, Jawa Tengah (Jateng). Meskipun
ditemukan di Magelang namun prasasti itu mengacu pada nama lokal Kediri, hal
ini yang menjadi dasar penentuan awal keberadaan kota Kediri. Yang menjadi
pertanyaan adalah dalam penentuan hari jadi kota Kediri menurut prasasti Kwak
ini diberlakuan pengambilan suara terbanyak oleh DPRD kota Kediri. Keputusan
dengan pengambilan suara terbanyak ini dipertanyakan oleh Guru besar
Anthropologi Ragawi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Dr Teuku Jacob
katanya, “jika ada dua pendapat yang sama kuat, maka harus diadakan penelitian
ulang untuk menentukan mana yang paling layak dipilih. Tidak bisa divoting.
Karena, misalnya ada 10 orang yang melakukan voting, sembilan memilih A dan
satu memilih B, belum tentu yang satu ini keliru. Bisa jadi justru dia yang benar
dan oleh karenanya perlu dilakukan penelitian ulang".
Semua pendapat di atas sebenarnya memiliki dasar yang kuat mengenai
awal berdirinya kota Kediri. Namun dalam penelitian ini akan mengambil
penentuan hari jadi kota Kediri berdasarkan bukti prasasti Hariñjing A yang
berangka-tahun 726 Ś. (25 Maret 804 M). Pemilihan tentang penemuan pertama
kali kata kediri ini didasarkan atas pemanfaatan hasil penelitian historiografi yang
dilakukan oleh Kartoadmodjo yang kemudian pada tanggal 22 Januari 1985
disahkan oleh pemerintah daerah kabupaten Kediri sebagai hari jadi kota Kediri.
Dalam prasasti Hariñjing A selain bukti penyebutan nama tempat (Kedhiri atau
Kadhiri), juga mampu menimbulkan rasa bangga (pride) pada warga . Rasa
bangga ini tidak semata-mata berkiblat pada tokoh seorang raja, tetapi juga dapat
bertumpu pada seorang pemimpin daerah seperti Bhagawanta Bari. Pada saat ini
warga Kediri juga patut berbangga karena prasasti Hariñjing A merupakan
penemuan prasasti tertua yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (sejauh belum
ditemukan sebuah prasasti yang lebih tua). Maka jika menurut prasasti Hariñjing
A (25 Maret 804 M.) usia kota Kediri di tahun 2007 sudah mencapai 1203 M.
Sejarah Sri Aji Jayabaya
Jayabaya adalah seorang tokoh raja yang memerintah di Kadiri antara
tahun 1135 M. hingga tahun 1157 M. Sampai sekarang hanya tiga buah prasasti
batu yang dikenal dari raja Jayabaya, yaitu prasasti Hantang tahun 1057 S. (7
September 1135 M.), prasasti Talan tahun 1058 S. (24 Agustus 1136 M.) dan
prasasti dari desa Jepun tahun 1066 S. (7 Juli 1144 M.).
Keistimewaan prasasti Hantang yaitu dengan ada nya tulisan kwadrat
(mirip huruf tebal, blokletters) yang besar melintang di tengah cap kerajaan
berupa narasingha
Narasingha yaitu inkarnasi dewa Wisnu yang keempat sewaktu menolong umat manusia dengan
cara membunuh Hiranyakaśipu yang dikatakan tidak dapat dibunuh oleh manusia maupun
binatang. Dan tidak dapat mati baik siang maupun malam hari. Akhirnya Wisnu menjelma menjadi
makhluk setengah manusia (nara) dan setengah binatang (singha) dan Hiranyakaśipu dibinasakan
pada waktu senja (antara siang dan malam hari). Sepuluh inkarnasi dewa Wisnu disebut
daśāwatāra, yaitu :
1. Matsyawatāra (Ikan), 2. Kurmawatāra (Penyu), 3. Waharawatāra (Beruang), 4.
Narasinghawatāra (Setengah Orang Setangah Singa), 5. Wamanawatāra (Cebol), 6.
Parasuramawatāra (Rama bersenjatakan kapak), 7. Ramawatāra (suami Sinta dalam Ramayana), 8.
Kresnawatāra (dalam Mahabarata), 9. Budhawatāra, 10. Kalkinawatāra.
dan berbunyi pangjalu jayati, yang artinya Pangjalu menang.
Semula oleh Brandes kalimat ini dibaca sang jalma wiyati. Kalimat pangjalu
jayati itu mungkin sekali berkaitan dengan istilah panuwal di dalam prasasti itu
sendiri yang dapat ditafsirkan sebagai perang sauradara atau perang perebutan
tahta. Di dalam Jawa Kuna panuwal (dari kata suwal) juga berarti: pembalasan
atau penyerangan kembali. Lebih-lebih jika diingat bahwa pada masa
pemerintahan Sang Mapanji Jayabhaya telah digubah kakawin Barathayuddha
pada tahun 1079 S. (6 September 1157 M.) oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
yang menguraikan kisah perang saudara atau perang perebutan tahta antara
Kaurawa dan Pandawa. Para Kaurawa memperoleh pusat kerajaan Hastinapura
yang lama, sedang para Pandawa memperoleh daerah yang semula berupa hutan
(jenggala) dan mendirikan ibu kota baru bernama Indraprastha. Dalam peperangan
yang dahsyat itu para Pandawa akhirnya memperoleh kemenangan dan bertahta
turun-temurun di Hastinapura
Prasasti Talan berisi tentang penduduk desa Talan yang datang
berbondong-bondong kepada raja memperlihatkan sebuah prasasi yang ditulis di
atas daun lontar (ripta) dengan cap garudamukha dan yang telah mereka terima
dari Bhatãra Guru (raja Airlangga) pada tahun 916 Ś. (27 Februari 1040 M.),17
sekarang mohon supaya ditulis kembali pada batu (linggopala). Karena raja
Jayabhaya semata-mata merupakan penjelmaan dewa Wisnu dan selalu menjaga
keselamatan dunia (sãksãi wisnwangśa satata sakalajagatpãlaka), lagi pula
penduduk Talan telah memperlihatkan kesetiaannya (srstabhakti) kepada raja,
maka permohonan itu dikabulkan dengan mendapat tambahan anugerah raja
Jayabhaya sendiri
lalu prasasti itu menetapkan desa Talan yang masuk wilayah
Panumbangan (thãni watêk panumbangan)
Nama desa Panumbangan sekarang menjadi Plumbangan (Jawa Timur)
menjadi sebuah sima dan dibebaskan
dari kewajiban membayar pajak (iuran).Tetapi meskipun mendapat kebebasan membayar pajak, kewajiban mereka mungkin malah
bertambah. Artinya segala keperluan desa harus dibiayai sendiri. Tentu saja status (kedudukan)
sima merupakan kebanggaan tersendiri bagi semua warga desa.
Sayang sekali prasasti Talan yang
menarik itu tidak menjelaskan apakah jasa penduduk Talan kepada Bathara Guru
(Airlangga) sehingga memperoleh anugerah prasasti di atas ripta dengan cap
garudamukha dan apa pula jasa mereka kepada raja Jayabhaya (selain kesetiaan)
sehingga memperoleh anugerah prasasti pada batu (linggopala) dengan cap
narasingha.
Prasasti dari desa Jepun belum pernah diterbitkan secara lengkap. Tetapi
transkripsi (alih aksara) 9 (sembilan) baris bagian permulaan telah diberikan oleh
Damais. Angka tahunnya tidak jelas, tetapi Damais menduga 1066 Ś. (7 Juli 1144
M.). Isi lengkapnya belum diketahui pula secara jelas, tetapi menyebutkan nama
raja Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha
Parakrama Digjayottungga-dewanama, yang merupakan nama penobatan Raja
Jayabhaya. Sesuai dengan prasasti Hantang dan Talan, prasasti dari desa Jepun
juga berisi permohonan kepada raja supaya diberi anugerah berupa prasasti batu
dengan cap kerajaan narasingha (Kartoadmodjo 1985: 29-30).
Sedangkan karya sastra di masa itu sangat berkembang dengan pesat dan
pujangga yang terkenal di masa itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, karya-
karya mereka meliputi Kakawin Hariwangsa, Gatotkacasraya, dan
Bharatayudha. Di antara karya sastra itu yang banyak menyinggung keberadaan
Sri Aji Jayabaya adalah Bharatayudha. Kitab ini berupa kakawin dalam bahasa
Jawa Kuna yang ditulis oleh dua orang pujangga besar pada masa pemerintahan
Raja Jayabaya, yaitu Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Ceritera kitab Kakawin Bharatayudha merupakan pengabdian peristiwa
sejarah peperangan antara dua keluarga satu keturunan (Kediri dan Jenggala).
Dalam kakawin ini Raja Jayabaya digambarkan sebagai Batara Kresna yang
peranannya ditonjolkan dari awal sampai akhir. Sri Kresna adalah salah satu
bentuk penjelmaan atau titisan dewa Wisnu yang diturunkan ke dunia untuk
mendampingi para Pandawa melawan Kurawa. Penonjolan Sri Kresna ini
bertalian dengan sejarah Raja Jayabaya yang berhasil mengalahkan saudara-
saudaranya sendiri di kerajaan Jenggala. Kakawin Bharatayudha ini benar-benar
dimaksudkan untuk memperingati perang yang dilakukan oleh Raja Jayabaya.
Konteks Sejarah dan Budaya di Petilasan Sri Aji Jayabaya
Konteks sejarah akan membahas masalah sejarah penemuan hingga proses
pemugaran wilayah petilasan yang terdiri dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan
Sendang Tirtokamandanu.
Dalam kenyataan dilapangan penyebutan petilasan dan pamuksan adalah sama-sama menunjuk
pada Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Untuk menghindari kerancuan di dalam penelitian ini akan
memisahkan istilah petilasan dan pamuksan itu sendiri. Petilasan di sini diartikan sebagai
keseluruhan wilayah yang meliputi: wilayah Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang
Tirtokamandanu.
Sedangkan konteks sosial dan budaya merupakan
pembahasan kehidupan budaya warga sekitar petilasan sesudah dilakukan
pemugaran oleh Yayasan Hondodento.
Petilasan Sri Aji Jayabaya Sebelum di pugar
Melihat jauh ke belakang tentang keberadaan petilasan Sri Aji Jayabaya di
desa Menang bermula dari jaman kerajaan Airlangga. Pada prasasti Wurara 1211
Ś. (21 November 1289 M.) dituliskan bahwa raja Airlangga dengan terpaksa harus
membagi kerajaannya oleh karena kedua anak Airlangga saling memperebutkan
tahta kerajaan. Sumber lainnya adalah kitab Nãgarakŗtãgama yang digubah oleh
pujangga Prapanca dan kitab Calon Arang. Pembagian wilayah tersebut dilakukan
oleh seorang pendeta bernama Ãryya Bharãd. Kedua kerajaan itu adalah Pangjalu
(juga disebut Kadiri atau Mamenang) yang beribu kota Daha dan Janggala
mempunyai pusat kerajaan Kahuripan (Kartoadmodjo 1985: 12-13).
Perkembangan lalu menurut prasasti Malênga yang berangka tahun
974 Ś. (1025 M.) kerajaan Pangjalu ditaklukkan oleh kerajaan Janggala. sesudah
nama Pangjalu seakan-akan lenyap dari percaturan sejarah, kemudian muncul
kembali di dalam prasasti Padlêgan I yang berangka tahun 1038 Ś. (1117 M.)
yang berasal dari raja Śri Bãweswara. Kemudian prasasti Hantang tahun 1057 S.
(7 September 1135 M.) yang ditulis oleh raja Jayabaya memuat tentang kata
Pangjalu mayati atau Panjalu menang. Kalimat Pangjalu jayati ini mungkin sekali
berkaitan erat dengan kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh saat raja Jayabaya berkuasa. sesudah Pangjalu mengambil alih
kekuasaan Janggala sangat dimungkinkan bahwa pusat kerajaan berpindah ke
Daha dan penyebutan nama lain dari Pangjalu yaitu Kadiri dan Mamenang dapat
muncul kembali. Menurut uraian di atas sangat dimungkinkan bahwa Petilasan Sri
Aji Jayabaya memang berada di desa Menang sekarang ini.
Penemuan petilasan Sri Aji Jayabaya bermula dari mimpi Warsodikromo
pada tahun 1860. Mimpi menceritakan tentang sebuah areal gundukan tanah yang
telah menjadi rawa dan kadangkala diselingi semak belukar dan di sana dulu
pernah bertahta seorang raja Kediri yang tersohor yaitu Sri Aji Jayabaya. Ceritera
dalam mimpi tersebut kemudian diteruskan dari telinga ke telinga penduduk
sekitar. Atas petunjuk itu seluruh penduduk secara bergotong-royong mengadakan
pencarian petilasan tersebut. Akhirnya dengan dibantu oleh seorang ahli
metaphisik, petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil
diketemukan. Letaknya di bawah naungan sebuah pohon kemuning, pohon ini
menurut cerita juga hasil peninggalan Sri Aji Jayabaya sendiri. Jadi usianya sudah
ratusan tahun
Sejak saat itu tempat yang tidak begitu luas di tengah rawa-rawa mulai
ramai dikunjungi orang. Banyak peziarah merasa terharu dan bahagia. Terharu
karena melihat keadaan petilasan yang tidak sepadan dengan keagungan Sri Aji
Jayabaya serta bahagia karena berkesempatan mengunjungi Pamuksan Sri Aji
Jayabaya. Maka banyak di antara peziarah yang berkeinginan memugar tempat
tersebut tetapi tidak ada seorangpun yang berhasil menyelesaikannya. Beberapa
orang pernah memprakarsai pemugaran areal tersebut, namun meninggal dunia
ketika baru memasuki tahap awal. Akhirnya Pamuksan Sri Aji Jayabaya dianggap
sebagai tempat yang wingit atau keramat.
Paguyuban Keluarga Besar Hondodento
Beberapa orang Yogyakarta menyebut Honggodento. Hondodento adalah sebuah paguyuban
aliran kepercayaan yang salah satu kegiatannya adalah memugar tempat-tempat sejarah untuk
melestarikan nilai-nilai budaya negara Indonesia. Berkecimpungnya yayasan Hondodento dalam
pemugaran Petilasan Sri Aji Jayabaya dilandasi oleh kepercayaan akan keluhuran Sri Aji Jayabaya
dan ramalannya. Bukan tanpa alasan jika pencarian dan pemugaran petilasan Sri Aji Jayabaya
inipun dilakukan oleh yayasan Hondodento. Tentang ramalan Sri Aji Jayabaya lihat Pethikan
Jongko Joyoboyo yang ditulis oleh Ridwan Soebandhie.
Yogyakarta sempat melihat
keadaan petilasan yang berpagar bambu dan di dalamnya ada seonggok tanah
bernisan, di tengah gundukan tanah yang bersemak belukar. Di situ juga terlihat
sejumlah batu bata merah, baik dalam keadaan berserakan maupun terjajar rapi
mengelilingi onggokan tanah tersebut hingga menyerupai makam. Hal ini
merupakan tanda bahwa ada beberapa pihak yang telah berusaha memugar,
namun tidak berlanjut atau gagal.
Petilasan Sri Aji Jayabaya sesudah di pugar
Keluarga Besar Hondodento dengan bantuan warga sekitar telah
berhasil merubah pamuksan Sri Aji Jayabaya menjadi monumen spiritual yang
megah secara bergotong-royong. Proses pemugaran memakan waktu lebih kurang
satu tahun, yaitu sejak peletakan batu pertama pada tanggal 22 Februari 1975
Sabtu Pahing sampai dengan tanggal 17 April 1976 Sabtu Pahing saat diresmikan
dan diserahkan hasil pemugaran kepada Pemerintah Daerah kota Kediri atau
secara keseluruhan selama 420 hari. Luas tanah yang dipugar meliputi + 1650 m2,
yang penggunaannya atas persetujuan pihak pimpinan desa melalui musyawarah.
Hal ini ditetapkan dalam surat keputusan desa Menang, tertanggal 20
Februari1975, model “E” Nomer 24
Pamoksan Sri Aji Jayabaya ini terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu Loka
Muksa (tempat Sri Aji Jayabaya muksa), Loka Busana (lambang tempat busana
diletakkan, sebelum muksa), serta Loka Makuta (lambang tempat mahkota
diletakkan, sebelum muksa). Bentuk bangunan merupakan hasil konsultasi segi
tiga, yaitu: dari rancangan berupa gambar yang dibuat oleh Keluarga Besar
Hondodento dikonsultasikan ke alam astral melalui perantara Pak Plered (sebagai
medium) kepada Sang Prabu Sri Aji Jayabaya (sebagai pemberi izin). Isi petunjuk
Sri Aji Jayabaya mencakup letak tempat, bentuk, dan bahan bangunan, seperti:
letak Loka Makuta berada di luar pagar sebagai lambang bahwa jaman kerajaan
sudah berakhir. Bentuk untuk semua bangunan adalah harus tanpa atap atau
langsung terkena sengatan sinar matahari serta curahan air hujan. Bahan untuk
Loka Muksa harus dari batu gunung Merapi (Jawa Tengah) yang diukir oleh
manusia. Sedangkan untuk bahan baku dari semua bangunan disesuaikan dengan
kemajuan teknologi sekarang, yaitu: diperhitungkan daya tahan bangunan bisa
mencapai umur ratusan tahun
Bentuk Loka Muksa yang terdiri dari bangunan lingga dan yoni yang
diatasnya menyatu dengan sebuah batu manik berlubang tembus. Seluruh
bangunan itu dikelilingi pagar beton bertulang yang tembus pandang dan
dilengkapi dengan tiga pintu. Bentuk bangunan lingga dan yoni mempunyai
pengertian laki-laki dan perempuan, lahir dan batin, raga dan jiwa, atau satu tetapi
sebenarnya terdiri dari dua bagian. Batu manik yang bentuknya seperti mata
berarti kewaskitaan atau penglihatan dan berlubang tembus artinya mampu
melihat jauh ke depan. Bila digabungkan akan memiliki makna penglihatan yang
mampu meneropong jauh ke depan tentang segala sesuatu yang akan terjadi
ratusan tahun mendatang seperti tertuang dalam Ramalan Jayabaya. Bangunan
pagar dengan tiga pintu bermakna tingkatan hidup manusia, yaitu: lahir, dewasa,
dan mati (
lalu pemugaran dilakukan di Sendang Tirtokamandanu yang
terletak di Timur Laut + 500 meter dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya. Sebelum di
pugar sendang ini bernama Sendang Kolosonyo yang artinya “air untuk menolong
yang sakit”. sesudah di pugar oleh Yayasan Hondodento sendang ini berubah
nama menjadi Sendang Tirtokamandanu yang artinya “air kehidupan”. Konon
sendang ini dahulu digunakan oleh keluarga raja Jayabaya untuk menyucikan diri
sebelum mendatangi pamoksan. Proses pemugaran yang dilakukan oleh Yayasan
Hondodento ini dimulai pada tanggal 26 April 1980 hingga akhir tahun 1988 saja.
Kemudian pemugaran di atas tanah seluas + 2.016 m2 dilanjutkan oleh
pemerintah daerah Kediri dan penduduk setempat desa Menang. Pemugaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah Kediri, meliputi: pintu gerbang utama, jalan
lingkar, koni agung dan koni pengapit, serta sarana pancuran air. Sedangkan dari
swadaya warga telah dibangun dua buah gapura masuk sinar kinasih pada
awal tahun 2005 dan hingga saat ini masih dalam perbaikan.
Pemugaran Sendang Tirtokamandanu yang dilakukan oleh Yayasan
Hondodento adalah bangunan kolam pemandian yang terdiri atas tiga bagian,
yaitu: bagian utama yang dilengkapi patung Syiwa Harihara dan Ganesya, bagian
tambahan berupa dua kolam pemandian dan tempat ganti pakaian untuk pria dan
wanita. Bangunan lainnya berupa pendopo, tempat untuk mengambil air dari
sendang, halaman khusus (tempat semadi) yang dilengkapi gapura, dan gapura
utama. Semua bangunan tersebut berada di dalam pagar tembus pandang yang
dilengkapi dengan empat patung dewa, yaitu Batara Indra, Bayu, Wisnu, dan
Brahma. Secara keseluruhan, konsepsi ini merupakan perpaduan antara gaya
bangunan Jawa dan Bali
Dikenalnya Petilasan Sri AJi Jayabaya sebagai obyek ziarah dan kegiatan
ritual oleh warga luas - hingga menyebar ke luar pulau Jawa - akan menarik
minat wisata warga ke Petilasan Sri Aji Jayabaya, terutama pada saat
penyelenggaraan ritual ziarah 1 Suro dengan segala rangkain kegiatan ritualnya.
Dampak positif dari pembangunan Petilasan Sri AJi Jayabaya terhadap kehidupan
sosial warga setempat, yaitu meluasnya lingkup pergaulan warga dalam
menerima dan memanfaatkan kunjungan para tamu yang merupakan para
wisatawan baik domestik maupun asing. Dengan demikian terjadi perkembangan
wawasan sosial warga dalam tata pergaulan regional, nasional bahkan
internasional, tanpa meninggalkan tata nilai luhur warisan nenek moyang serta
tradisi setempat . sesudah tahun 2000 hingga sekarang
kegiatan 1 Suro tidak begitu memikat banyak peziarah lagi, terbukti dengan
semakin menurunnya jumlah wiasatawan baik asing maupun domestik untuk
mengikuti ritual 1 Suro di desa Menang. Keterlibatan secara langsung pihak
Hondodento dan Pemerintah Daerah Kota Kediri juga semakin memudar.
Menurut pendapat juru kunci dahulu yayasan Hondodento datang dan disertai
Sultan Hamengkubuwono X, sedangkan Walikota Kediri selalu hadir selaku tuan
rumah, namun sekarang baik Sultan Hamengkubuwono X dan Walikota Kediri
jarang menghadiri proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini.
Selain usaha melestarikan warisan budaya proses ritual ziarah 1 Suro oleh
Keluarga Besar Hondodento, warga sekitar juga mengusahakan pembinaan
seni dan budaya lokal yang berkesinambungan melalui latihan dan pementasan.
Sampai saat ini ada tiga kesenian yang berkembang di desa Menang kota
Kediri, yaitu kesenian kuda lumping, pencak silat, dan kesenian karawitan
Petilasan Sri Aji Jayabaya dipercaya warga Kediri menjadi tempat
muksanya raja Jayabaya. Jayabaya adalah seorang raja yang memerintah kerajaan
Kediri sekitar tahun 1135 – 1157 M yang dikenal warga Indonesia oleh
karena ramalan-ramalannya tentang hari depan Pulau Jawa (bangsa Indonesia)
dari segala aspek. Kepercayaan ini yang kemudian mendukung kemunculan
proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji
Jayabaya. Kedatangan peziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya didorong berbagai
macam tujuan, seperti: cepat mendapatkan jodoh, sukses dalam pekerjaan,
ketetraman dalam menjalani hidup, dan masih banyak alasan lain lagi. Proses
ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya dan
berbagai macam tujuan peziarah tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Persiapan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon
Persiapan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon ini
meliputi tempat ritual , saat ritual atau pemilihan waktu, benda ritual , dan
orang yang melakukan ritual . Persiapan-persiapan tersebut dijelaskan di bawah
ini.
Tempat ritual
Persiapan yang dilakukan pada tempat proses ritual ini terdiri dari Sendang
Tirtokamandanu dan Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Persiapan di Sendang
Tirtokamandanu meliputi pembersihkan tempat penampungan air sendang yang
digunakan peziarah untuk membersihkan diri atau mandi. Tempat penampungan
air ini dibuat menyerupai kamar mandi pada umunnya, sedangkan kolam
pemandian seperti disebutkan di dalam Bab II tidak lagi digunakan untuk mandi.
Hal ini dikarenakan banyak peziarah yang merasa risih atau malu jika harus
membersihkan diri terlebih mandi di tempat terbuka seperti di kolam pemandian
Sendang Tirtokamandanu. Tempat lain yang dipersiapkan di wilayah Sendang
Tirtokamandanu adalah tempat semadi yang digunakan peziarah berdoa sesudah
membersihkan diri dan bagian pendapa yang digunakan untuk peziarah menanti
giliran membersihkan diri.
Di Pamuksan Sri Aji Jayabaya persiapan dilakukan seperti halnya di
Sendang Tirtokamandanu, yaitu dengan cara membersihkan wilayah pamuksan
yang terdiri dari Loka Muksa, Loka Busana, dan Loka Makota. sesudah semua
tempat dalam keadaan bersih, dilanjutkan dengan pemasangan kain berwarna
kuning di sekeliling pagar beton Loka Muksa hingga tertutup seperti tembok.
Penutupan ini bertujuan untuk menambah kesakralan peziarah dalam berdoa di
Loka Muksa. Pembersihan juga dilakukan di pendapa yang digunakan peziarah
untuk menunggu giliran berdoa di Loka Muksa terlebih jika ada peziarah
memakai pendapa untuk tempat menginap.
Saat ritual
Tahun 1933 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo
mengganti konsep penanggalan Jawa dari sistem penanggalan Matahari menjadi
sistem penanggalan Bulan. Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau
Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram. Sejarah
perubahan ini berkaitan proses ritual 1 Suro dan akan di bahas lebih mendalam
pada Bab proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang Kediri.
Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalannya sama
yaitu penampakan bulan, namun kalender Jawa bukanlah kalender Hijriah. Meski
mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, kalender Jawa tidak mengikuti
aturan penanggalannya. Hal ini terlihat pada konsep hari pasaran yang terdiri dari
lima hari Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage yang merupakan wujud unsur-
unsur Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah. Secara astronomis,
kalender Jawa tergolong mathematical calendar, sedangkan kalender Hijriah
astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem
penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari
fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong mathematical calendar. Adapun
astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam itu
sendiri, seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai
mathematical calendar membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa
atau kerancuan dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.
Menurut penanggalan Jawa, pergantian hari dimulai pada pukul 18.00.
Jadi hari Jumat dalam penanggalan Jawa sama dengan hari Kamis dalam
penanggalan Masehi. Hal ini dikarenakan penanggalan Jawa yang menggunakan
sistem penampakan bulan, bukannya sistem penampakan matahari seperti pada
penanggalan Masehi. Jadi jika dalam penanggalan masehi pergantian hari dihitung
mulai pukul 00.00 dalam penanggalan Jawa dimulai pukul 18.00.
Pemilihan hari Jumat Legi untuk melaksanakan proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya dipercayai merupakan hari baik untuk meminta berkah
kepada Sang Hyang Widi melalui perantara Sri Aji Jayabaya. Dan pemilihan hari
Selasa Kliwon selain merupakan hari baik juga dikeramatkan oleh sebagian
warga Kota Kediri, khususnya di wilayah Petilasan Sri Aji Jayabaya ini.
Benda ritual
Persiapan benda ritual ini terdiri dari anglo, sesaji bunga, dan makanan
untuk ritual syukuran. Anglo atau tungku untuk membakar kemenyan sebelum
dipakai dalam proses ritual Jumat Legi dan Selasa Kliwon, selalu dibersihkan
dahulu dari sisa-sisa abu arang maupun dari gumpalan kemenyan yang menempel.
Pembersihan ini dilakukan dengan cara menyikat tungku hingga bersih. Sesaji
bunga terdiri dari bunga sekar telon dan kemenyan. Sesaji bunga ini bisa dibeli di
sekitar wilayah petilasan atau dibawa peziarah dari di rumah masing-masing.
Bunga yang digunakan untuk sesaji ini harus dalam keadaan segar atau minimal
dipetik pada pagi hari.
Peziarah yang akan mengadakan syukuran selain membawa sesaji bunga
juga mempersiapkan beberapa jenis makanan untuk acara makan bersama. Proses
ritual syukuran (dengan cara makan bersama) merupakan upaya peziarah dalam
menjalin hubungan dengan Sri Aji Jayabaya sendiri pada suatu perjamuan makan
bersama. Undangan kepada Sri Aji Jayabaya ini dimaksudkan agar segala
permintaan peziarah dapat direstui oleh Tuhan melalui perantara Sri Aji Jayabaya.
lalu makanan untuk ritual makan bersama ini akan disebut
sebagai sesaji makanan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mempersiapkan sesaji makanan. Pertama, sebelum memulai memasak sesaji
makanan terlebih dahulu dilakukan doa dengan mengucap “Bismillah, sak perlu
unjuk caos dahar kagem Sri Aji Jayabaya” yang artinya kurang lebih “Bismillah,
sesaji makan ini digunakan untuk persembahan kepada Sri Aji Jayabaya”
(wawancara dengan Bapak. Kamdani, laki-laki, 55 tahun, juru kunci, Desa
Menang. Direkam pada hari Kamis, 15-9-2005 oleh Joko Nugroho, di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang). Dalam doa di atas terlihat bahwa makanan
tersebut merupakan bentuk sesaji dalam proses ritual syukuran. Cara memasak
makanan untuk acara syukuran ada sebuah pantangan, yaitu bahan baku dan
dalam proses memasak tidak boleh dicicipi terlebih dahulu. Alasan yang
mendasarinya adalah karena acara makan bersama bermakna mengundang roh
nenek moyang (Sri Aji Jayabaya) ke dalam sebuah perjamuan makan bersama.
Menurut kepercayaan warga Jawa roh nenek moyang hanya memakan rasa
dan aroma dari makanan tersebut maka secara kuantitas wujud makanan tidak
akan berkurang namun rasa dan aromanya akan memudar dan hilang (menjadi
hambar). Jadi jika di dalam mepersiapkan sesaji makanan untuk proses ritual
syukuran dicicipi terlebih dahulu maka orang yang mempersiapkan dianggap telah
berani mendahului roh nenek moyang (Sri Aji Jayabaya) dan sesaji makanan itu
diangga tidak layak untuk dijadikan sesaji makanan.
Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual
Persiapan yang dilakukan oleh juru kunci adalah berdoa secara pribadi di
Loka Muksa memohon izin kepada Sri Aji Jayabaya untuk melaksanakan
tugasnya dalam memimpin proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon.
Persiapan yang dilakukan peziarah, yaitu: meminta izin kepada juru kunci yang
ada di Sendang Tirtokamandanu untuk melakukan ritual pembersihan diri sebelum
mendatangi pamuksan. Membersihkan diri ini dikaitkan dengan kegiatan mandi di
Sendang Tirtokamandanu. lalu peziarah berdoa di tempat semadi yang ada
di Sendang Tirtokamandanu bersama juru kunci sendang. sesudah melakukan
persiapan di Sendang Tirtokamandanu peziarah diperbolehkan datang ke
Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kedatangan peziarah ke pamuksan dengan membawa
bunga untuk sesaji, baik bunga yang dibawa dari rumah maupun yang telah dibeli
di sekitar wilayah petilasan. Terakhir peziarah meminta izin kepada juru kunci
yang ada di pamuksan untuk melakukan proses ritual tirakatan pribadi di Loka
Muksa Sri Aji Jayabaya.
Pelaksanaan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon
Pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di
Petilasan Sri Aji Jayabaya meliputi dua bagian, yaitu: proses ritual pribadi dan
bancakan
Bancakan adalah nama lain yang digunakan oleh warga Kediri untuk mengantikan istilah
ritual ungkapan syukur yang diwujudkan dengan acara makan bersama.
Proses ritual pribadi dilakukan oleh peziarah sendirian di Loka
Muksa, namun dalam perjalanan waktu peziarah lebih senang meminta bimbingan
juru kunci dalam melakukannya. Proses ritual bancakan atau syukuran merupakan
ungkapan terima kasih seorang peziarah yang diwujudkan dengan acara makan
bersama. Makan bersama ini mengikutsertakan peziarah lain yang hadir di
Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Proses ritual syukuran ini diadakan di pendapa
Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan dipimpin oleh seorang juru kunci.
Proses Ritual Pribadi
Proses ritual tirakatan secara pribadi ini merupakan kegiatan nyekar atau
mengunjungi makam leluhur dan dilakukan di Loka Muksa Sri Aji Jayabaya..
Mengunjungi makam leluhur ini sering disertakan doa-doa permohonan yang
ditujukan kepada Tuhan melalui Sri Aji Jayabaya. Proses ritual pribadi pada hari
Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini akan dijelaskan
lebih mendalam di bawah ini.
Tempat ritual
Sendang Tirtokamandanu merupakan tempat untuk persiapan proses ritual
tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon. Maka Sendang Tirtokamandanu di dalam
pelaksanaan proses ritual tirakatan tidak digunakan sama sekali. Namun ada juga
beberapa peziarah yang menggunakan Sendang Tirtokamandanu sebagai tempat
untuk melakukan semadi. Hal ini tergantung pada peziarah secara pribadi.
Wilayah pamuksan yang digunakan untuk proses ritual pribadi Jumat Legi dan
Selasa Kliwon adalah bagian Loka Muksa dan pendapa. Loka Busana dan Loka
Makuta tidak digunakan secara langsung melainkan sebagai simbol saja. Loka
Muksa merupakan tempat utama untuk kegiatan proses ritual pribadi pada hari
Jumat Legi dan Selasa Kliwon. Dan pendapa pamuksan berfungsi sebagai tempat
untuk menunggu giliran berdoa jika di Loka Muksa masih dipadati oleh peziarah
lain yang melakukan proses ritual pribadi. Terkadang pendapa ini juga digunakan
sebagai tempat untuk menginap atau begadang oleh peziarah seusai melakukan
proses ritual pribadi.
Saat ritual
Proses ritual pribadi di Pamuksan Sri Aji Jayabaya ini seharusnya dimulai
pada sore hari pukul 18.00. Namun dalam kenyataannya banyak di antara peziarah
yang menganggap bahwa suasana paling sakral adalah pada malam hari di saat
banyak orang sedang nyenyak tertidur atau sekitar pukul 00.00-02.00 WIB.
Menurut mereka suasana hening dan khitmat ini akan menambah kekuatan magis
dari doa-doa permohonan yang ditujukan kepada Sang Hyang Widi melalui
perantara Sri Aji Jayabaya. Maka tidak mengherankan jika pada jam-jam tersebut
Loka Muksa dipadati oleh peziarah yang ingin berdoa.
Benda ritual
Benda ritual dalam proses ritual tirakatan pribadi ini memiliki makna
yang beraneka ragam. Makna-makna tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Tungku untuk membakar kemenyan ini memiliki makna simbolis sebagai
wahana atau sarana dalam memantapkan permohonan dan permintaan yang
berupa doa atau mantra. Kemenyan yang dibakar selain sebagai sarana untuk
keharuman pada waktu berdoa juga memiliki maksud mengantarkan mantra atau
doa-doa peziarah.
Kain samir atau kain sutera berwarna kuning yang digunakan untuk
menutup pagar beton Loka Muksa melambangkan kemakmuran dan ketentraman
hidup manusia. Warna kuning juga melambangkan berbuah. Hal ini dihubungkan
dengan padi menguning di sawah. Kata menguning menunjukkan suatu harapan
adanya keberhasilan yang akan mendatangkan rejeki bagi manusia.
Bunga sekar telon meliputi bunga melati, kenanga, dan mawar. Sekar telon
ini melambangkan kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat
manusia yang serba tiga. Sifat hidup manusia itu, meliputi hidup, yang
menghidupi, yang membuat hidup. Dan kodrat manusia terdiri dari tiga, yaitu:
lahir, berkembang biak, dan mati.
Bila sekar telon diartikan secara terpisah akan memiliki makna, sebagai
berikut: bunga melati adalah bunga yang harum baunya. Ini melambangkan bahwa
orang itu harus dapat menjaga keharuman namanya sendiri. Bunga melati juga
melambangkan kesucian. Jadi seseorang itu harus melakukan sesuatu yang baik
dan menjauhi tindakan yang jahat agar namanya tetap harum dan suci. Kecuali itu
melati dihubungkan dengan kata lathi yang dalam bahasa Indonesia berarti bibir.
Bibir sebagai senjata utama manusia hendaknya dapat dikendalikan dengan tepat.
Bunga mawar dihubungkan dengan kata tawar yang mengandung makna
menawar atau menolak semua hambatan atau godaan yang tidak diinginkan,
sehingga apa yang dicita-citakan dapat terwujud. Bunga kenanga diartikan sebagai
ketentraman hidup manusia. Secara keseluruhan sekar telon memiliki makna,
bahwa di dalam sifat hidup dan kodrat yang serba tiga itu manusia diwajibkan
menjaga keharuman namanya dengan menawar atau menolak semua godaan agar
mendapatkan ketentraman di dalam menjalani hidup.
Sesaji bunga lalu adalah bunga kanthil. Bunga kanthil ini
disebarkan di sekitar Loka Muksa sebelum proses ritual tirakatan berlangsung
oleh juru kunci yang bertugas. Bunga kanthil memiliki arti katut atau dalam
bahasa Indonesia bermakna ikut. Sehingga pengertian ini mengacu pada
keberhasilan sesuatu yang diharapkan peziarah. Kata kanthil biasa dipakai dalam
kekanthilan kebahagiaan, kekanthilan rejeki, kekanthilan jodoh dan sebagainya.
Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual
sesudah peziarah melakukan persiapan di Sendang Tirtokamandanu dan
meminta izin untuk berdoa di Loka Muksa, kemudian peziarah bersama juru kunci
memasuki Loka Muksa Sri Aji Jayabaya. Sebelum memasuki wilayah Loka
Muksa, peziarah bersujud sambil menggabungkan tangan di tengah dada
kemudian mengangkat tangan tersebut hingga di atas kepala, posisinya seperti
sedang menyembah. Kegiatan bersujud ini dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu
pada anak tangga pertama, anak tangga terakhir, dan di depan pintu Loka Muksa.
Hal ini dimaksudkan sebagai permintaan izin peziarah atau mengetok pintu
dahulu supaya diperbolehkan mengunjungi makam Sri Aji Jayabaya. Untuk juru
kunci, hanya melakukan sujud ini saat berada di depan pintu masuk Loka Muksa
saja.
lalu juru kunci dan peziarah duduk berhadapan di antara bangunan
Loka Muksa dan pintu masuk. Pertama-tama juru kunci akan menanyakan maksud
dan tujuan yang menuntun peziarah datang pada hari Jumat Legi atau Selasa
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Maksud dan tujuan peziarah ini
lalu akan disebut dengan permohonan peziarah. Tanya jawab antara juru
kunci dan peziarah tersebut seperti contoh (rekaman suara Bapak Misri, laki-laki,
55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang dengan Bapak Wisnu Pamuksan
adalah peziarah. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho,
di Loka Muksa) di bawah ini.
Juru kunci: “Asmonipun panjenengan sinten lan wonten keperluan menopo?”
Peziarah: “Nami kulo Wisnu Pamungkas. Kulo kagungan usaha pabrik roti Mbah. Kalian
nyuwon keslametan kagem sak keluarga sedoyo”.
Terjemahannya:
Juru kunci: “Nama anda siapa dan ada keperluan apa?”
Peziarah: “Nama saya Wisnu Pamungkas. Saya mempunyai usaha pabrik roti Mbah. Dan
juga minta doa keselamatan untuk seluruh keluarga”.
Jawaban peziarah di sini memang tidak menjelaskan permohonannya secara rinci,
namun juru kunci mengetahui bahwa yang diinginkan adalah kesuksesan dalam
menjalankan usaha dan minta keselamatan dan kesehatan bagi seluruh
keluarganya.
sesudah peziarah menjelaskan permohonannya, juru kunci akan memulai
proses ritual pribadi ini. Juru kunci akan menghaturkan doa pembuka yang inti
dari isinya adalah meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya. Doa pembukaan tersebut
seperti contoh dalam (rekaman suara Bapak Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci
pamuksan, Desa Menang dan penyebutan nama Wisnu Pamuksan adalah peziarah.
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa)
di bawah ini.
“Ngaturaken sembah sungkem kagem Gusti Agung, nyuwun kalepatan, meniko Bapak
Wisnu Pamungkas saking Nganjuk nyuwun pandungo ingkang wilujeng”
Terjemahannya:
“Menghaturkan sembah sujud kepada Tuhan Yang Maha Agung, mohon maaf, di sini
Bapak Wisnu Pamungkas dari Kota Nganjuk memohon doa penuh berkah”.
Doa pembukaan yang dihaturkan oleh juru kunci ini bertujuan memintakan izin
peziarah kepada Tuhan Yang Maha Agung melalui Sri Aji Jayabaya. Jadi salam
Gusti Agung memiliki dua makna, yaitu: ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Agung dan Sri Aji Jayabaya.
Kemudian juru kunci akan mengucapkan mantra yang berisi doa
permohonan peziarah itu sendiri. Pengucapkan doa permohonan ini sesekali
diselingi dengan menaburkan kemenyan oleh juru kunci ke dalam anglo.
Kemenyan yang terbakar akan mengeluarkan bau harum dan menciptakan asap
tebal. Asap tebal yang tertiup angin ke atas ini dipercaya sebagai penghantar doa-
doa permohonan peziarah kepada Sang Hyang Widi lewat perantara Sri Aji
Jayabaya. Doa atau mantra tersebut seperti contoh dalam (rekaman suara Bapak
Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang dan penyebutan
nama Wisnu Pamuksan adalah peziarah. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus
2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa) di bawah ini.
“Sowanipun Bapak Wisnu Pamungkas ing Jumat Legi meniko wonten mriki kagungan
kerso usaha pabrik roti inggih pinaringono lancar. Sowanipun Bapak Wisnu Pamungkas
nyuwun tambahi pangestunipun kagem keslametan keluarganipun sedanten inggih
pinaringono katentreman. Bapak Wisnu Pamungkas anggenanipun usaha menopo mawon
inggih pinaringono sukses sak susesipun. Inggih pinaringono katah slamet kagem Bapak
Wisnu Pamungkas sak keluarga sedanten. Inggih pinaringono laris usahanipun mboten
wonten bedo menopo-menopo. Inggih pinaringono katah rejekinipun. Sowanipun putro
wayah betho caosan kormat sekar telon, dipun caosaken kagem sultan kanjeng ingkang
moho agung. Nyuwon diparingi pangestu bok bileh sak garwo putro meniko wonten
usaha menopo ke mawon pinarengono lancar lan sukses sak suksesipun mboten wonten
sambi kolo menopo ke mawon. Bapak Wisnu Pamungkas sak putro wayah pinaringono
katah keslametan mboten wonten rubedho menopo-menopo. Bapak Wisnu Pamungkas
pinarengono lancar kagem usahanipun. Putro wayah kegungan usaha pabrik roti
pinaringono langgeng. Pinaringono gampang gampil usahanipun. Wontenipun Bapak
Wisnu Pamungkas dateng mriki nyuwon wangsulan pandungo ingkang wilujeng
anggenanipun kagungan usaha menopo ke mawon sageto sukses. Sowanipun putro
wayah dugi ing mriki dinten Jemuah Legi mugi-mugi sedoyo panyuwune Bapak Wisnu
Pamungkas kinabulan. Panyuwune Bapak Wisnu Pamungkas menawi usaha pabrik roti
meniko mboten wonten bedo menopo-menopo. Inggih mugi-mugi pinaringono gampang
gampil pados usahanipun. Putro wayah pinaringono langgeng, sak garwo putro
paringono slamet. Pinarengono katah rejeki. Pinarengono slamet sak keluarganipun.
Inggih Gusti rama ageng penyuwunipun rubedho menopo-menopo. Inggih menopo
wonten kalepatan panyuwunipun mugi-mugi diparingi welas asih ingkang ageng”.
Terjemahannya:
“Kedatangan Bapak Wisnu Pamungkas pada hari Jumat Legi di sini karena memiliki
keinginan agar usaha pabrik roti bisa berjalan dengan lancar. Kedatangan Bapak Wisnu
Pamungkas juga meminta agar diberikan keselamatan dan ketentraman bagi seluruh
keluarganya. Bapak Wisnu Pamungkas bila memiliki usaha apa saja diberikan
kesuksesan-kesuksesan. Berikanlah banyak keselamatan untuk Bapak Wisnu Pamungkas
dan seluruh keluarganya. Berikanlah kelancaran dalam menjalankan usaha dan
jauhkanlah dari halangan apa saja. Berikanlah banyak berkah melimpah. Kedatangan
Bapak Wisnu Pamungkas
Putro wayah bila diartikan menurut teks memiliki arti anak cucu atau keturunan. Namun dalam
penelitian ini putro wayah diartikan sebagai peziarah atau dalam contoh teks ini Bapak Wisnu
Pamungkas, sebab di dalam warga Jawa makna keturunan itu berarti luas dan terkadang tidak
memandang hubungan darah. Peziarah di sini dianggap sebagai anak cucu atau keturunan Sri Aji
Jayabaya.
dengan membawa sesaji sekar talon, dipersembahkan kepada
Tuhan Yang Maha Agung. Mohon direstui apabila anak cucu memiliki usaha apa saja
diberikan kelancaran dan kesuksesan dan tidak ada rintangan apapun juga. Bapak Wisnu
Pamungkas beserta keluarga berilah banyak keselamatan dan tidak ada godaan apa-apa.
Bapak Wisnu Pamungkas berikanlah kelancaran dalam menjalankan usahanya. Peziarah
berikanlah kelanggengan dalam menjalankan usaha pabrik rotinya. Berilah kemudahan
dalam usahanya. Adapun Bapak Wisnu Pamungkas datang ke sini meminta diberikan doa
penuh berkah agar dalam menjalankan usaha apapun juga dapat sukses. Kedatangan
peziarah di sini pada hari Jumat Legi, semoga semua permintaan Bapak Wisnu
Pamungkas terkabulkan. Permintaan Bapak Wisnu Pamungkas apabila dalam
menjalankan usaha pabrik rotinya itu tidak ada hambatan apapun juga. Semoga diberikan
kelancaran dan kemudahan dalam usahanya. Peziarah minta diberikan kelanggengan dan
kepada keluarganya diberikan keselamatan. Berikanlah banyak keuntungan. Berilah
keselamatan bagi seluruh keluarganya. Tuhan Yang Maha Agung janganlah Engkau beri
godaan apapun juga. Dan apabila ada kesalahan dalam permintaannya semoga Engkau
berikan belas kasihMu yang sebesar-besarnya”.
Pengucapkan mantra ini, juru kunci selalu mengulang-ulang permohonan
peziarah. Pengulangan-pengulangan ini memiliki makna sebagai pemantapan doa
permohonan peziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya kepada Tuhan Yang Maha
Agung. sesudah doa permohonan dihaturkan, peziarah akan mengucapkan terima
kasih kepada juru kunci, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini.
Peziarah : “Matur nuwun Mbah”.
Juru kunci : “Inggih”.
Artinya:
Peziarah : “Terima kasih Mbah”.
Juru kunci : “Iya”
(penutur Bapak Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa
Menang dengan Bapak Wisnu Pamungkas. Direkam pada hari Kamis, 11
Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa).
Selesai berdoa dengan bimbingan juru kunci, proses ritual dilanjutkan
dengan menaburkan bunga sekar telon di sekitar bangunan Loka Muksa Sri Aji
Jayabaya. Kemudian peziarah akan mencari tempat untuk melakukan doa secara
pribadi. Terakhir peziarah akan mencari bunga kanthil yang ada di sekitar
bangunan Loka Muksa untuk dibawa pulang. Tujuan membawa pulang bunga
kanthil adalah supaya permohonan peziarah di Loka Muksa Sri Aji Jayabaya bisa
terwujud. Hal ini dihubungkan dengan makna bunga kanthil, yaitu: kekanthilan
(keikutan) kebahagiaan, rejeki, jodoh, dan sebagainya. Maka peziarah berharap
semua permintaannya dapat ikut bersama bunga kanthil yang dibawanya pulang.
Proses Ritual Syukuran
Proses ritual bancakan atau syukuran merupakan ungkapan terima kasih
seorang peziarah kepada Sri Aji Jayabaya karena permohonannya telah
dikabulkan. Namun tidak sedikit peziarah yang mengadakan proses ritual
syukuran ini untuk memantapkan permohonan agar cepat terkabulkan. Ungkapan
terima kasih dalam proses ritual syukuran ini diwujudkan dengan acara makan
bersama-sama peziarah lain yang datang di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Proses
ritual syukuran Jumat Legi dan Selasa Kliwon tersebut akan dijelaskan lebih
mendalam di bawah ini.
Tempat ritual
Pendapa yang digunakan untuk menunggu giliran berdoa di Loka Muksa
(dalam proses ritual pribadi) ternyata juga berfungsi sebagai tempat untuk
mengadakan proses ritual syukuran. Pendapa pamuksan ini memiliki luas 32 m²
dan dilengkapi dua jalan masuk tanpa pintu. Bentuk bangunan pendapa pamuksan
ini seperti bentuk pendapa-pendapa di Jawa pada umunya, yaitu beratap seperti
halnya rumah dan bertembok keliling hanya setinggi satu meter saja.
Saat ritual
Walaupun proses ritual tirakatan secara umum dimulai pada pukul 18.00,
namun kebanyakan peziarah yang mengadakan syukuran akan datang lebih awal
atau sekitar pukul 15.00. Menurut pendapat mereka jika proses ritual syukuran
diadakan lebih awal, permohonan peziarah dapat disampaikan lebih jelas oleh juru
kunci dengan tidak tergesa-gesa. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan tenaga
juru kunci yang hanya dua orang saja, sedangkan banyaknya peziarah yang
mengantri mencapai puluhan orang sesudah pukul 18.00. Namun tidak semua
peziarah yang mengadakan syukuran berpendapat sama, buktinya ada beberapa
orang yang memang memilih malam hari dengan alasan proses ritual syukuran
seharusnya dilaksanakan sesudah pukul 18.00 atau pada hari Jumat Legi bukannya
Kamis Kliwon. Hal ini dihubungkan dengan pergantian hari dalam penanggalan
Jawa yang dimulai pada pukul 18.00.
Benda ritual
Pendapa pamuksan ini dilengkapi dengan dua meja yang memiliki panjang
+ 3 meter dan lebar + 1 meter. Meja ini berfungsi sebagai tempat untuk
meletakkan sesaji makanan dalam proses ritual syukuran. Beberapa sesaji
makanan tersebut meliputi:
Nasi biasa beserta lauk pauknya ini, melambangkan keberuntungan dan
permohonan agar semua pihak yang terlihat dalam ritual dapat selamat dan
dikaruniai banyak rejeki.
Nasi gurih lengkap dengan lauk pauknya, melambangkan keselamatan dan
kesejahteraan Nabi Muhammad SAW sekeluarga dan para sahabatnya.
Nasi kabul atau kuning lengkap dengan lauk pauknya ini melambangkan
harta kekayaan, dengan sesaji makanan seperti ini diharapkan akan semakin
bertambah banyak kekayaan yang dimiliki peziarah.
Nasi golong (nasi yang dibentuk bulat-bulat) beserta lauk pauknya ini,
mengandung makna supaya semua peziarah mempunyai tekad yang bulat
(golong), sehingga segala apa yang dicita-citakan akan dapat terlaksana dengan
baik.
Tumpeng dan nasi golong beserta lauk pauknya, melambangkan kebulatan
tekad atau permintaan peziarah ini ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tumpeng yang berbentuk kerucut memiliki makna tujuan doa yang tertuju pada
Yang Satu, yaitu Tuhan. Nasi golong berbentuk bulat-bulat sebagai lambang dari
kebulatan tekad atau permohonan peziarah.
Tumpeng gundul, yaitu tumpeng tanpa nasi golong. Tumpeng gundul
dengan lauk pauknya ini, melambangkan hilangnya keruwetan yang merongrong
pikiran peziarah.
Seekor ayam kemanggang ini, Ayam kemanggang ini adalah masakan berupa ayam yang di masak dengan cara di panggang
secara utuh dan hanya di buang bagian usus dan lambung (jeroan) saja.
melambangkan bahwa pelbagai makanan
yang disajikan itu selezat daging ayam.
Ketan towo mengandung makna pengiriman doa kepada arwah leluhurnya
agar selalu dekat dengan Tuhan serta pengampunan atas segala dosa-dosa dan
kesalahannya.
Sesaji berupa jambe, badhek,
Badhek merupakan minuman yang berasal dari sari tape singkong atau singkong yang diberi
ragi dan mengandung alkohol. Dalam penyajian sesaji makanan ini, badhek akan dibungkus
dengan plastik.
dan pisang raja sesisir. Jambe atau kelapa
yang masih kecil ini, melambangkan pertumbuhan anak yang semakin sempurna.
Badhek ini melambangkan perbuatan manusia itu hendaknya sedang-sedang saja,
jangan melampaui batas, seperti halnya badhek jika diminum secukupnya akan
menjadi jamu namun jika diminum terlalu banyak akan berakibat tidak baik atau
bahkan membuat sakit. Dan pisang raja sesisir melambangkan kemuliaan seorang
raja. Bila digabungkan antara jambe, badhek, dan pisang raja sesisir ini memiliki
arti, bahwa jalan hidup manusia dari kecil hingga dewasa sebaiknya jangan
m