Home »
jayabaya 1
» jayabaya 1
jayabaya 1
Punika cariyosipun Prabu
Jayabaya kala katamuan
pandhita saking Rum anama
seseorang akan mampu menjadi
humanitarian tatkala didalam dirinya
memiliki kompetensi intelektual. maka
pengetahuan pada hakikatnya merupakan
sebuah perantara dalam memahami
berbagai fenomena sosial secara bijaksana.
Molana Ngali Samsujen. Prabu
Jayabaya langkung kurmat
dening katamuan pandhita
linuwih, misuwur, saget
amemaca, uninga saderenging
winarah. Prabu Jayabaya
lajeng puruhita ing
sasuraosing jangka ingkang
gaib-gaib, wadosing cipta
sasmita,....
Sasampunipun rampung
panganggiting jangka Prabu
Jayabaya ingkang
kababaraken dados
lalampahaning jaman
satunggal-satunggal,
kestokaken dening Molana
Ngali Samsujen.
Prabu anom adhiku, lajeng
matur menggah tegesipun
sesegah wau, dumungipun ing
kraton satunggal-satunggal.
dalam tataran intelektual tersebut
kemudian mendorong terciptanya nalar
kritis atau dalam ranah pendidikan dikenal
dengan High Order Thinking Skill.
Penokohan Jayabaya dalam serat ini
merupakan simbolisme kompetensi
intelektual seorang humanis. raja dianggap
sebagai seorang yang diagungkan dalam
berbagai hal baik secara intelektual
maupun spiritual seperti halnya jayabaya
yang dianggap sebagai pengejawantahan
Dewa Wisnu dimuka bumi. Jayabaya
memiliki kepedulian terhadap rakyatnya.
Tanggung jawab akan kemampuan yang
dimilikinya semata-mata ia gunakan
sebagai kemaslahatan umat manusia. maka
ia menemui pendeta dari Rum, Maulana
Ngali Samsujen untuk “ngangsu kaweruh”
dengan dibukakannya jangka atau ramalan
tentang zaman-zaman. Dalam hal ini
Jayabaya menggunakan local knowledge
sebagai refleksi historis dalam menjawab
tantangan zaman.
Jayabaya sebagai seorang raja tidak lantas
congkak dan merasa puas terhadap
pengetahuan yang dimilikinya. Maka
seseorang yang belajar sesuai dalam teori
konstruktivisme ialah mampu
mengkonstruksi pengetahuannya secara
mandiri. Disini Jayabaya melalukan tapa
semedi setelah mendapatkan „kaweruh”
dari Maulana Ngali Samsujen. Kemudian
ia mampu mengartikan arti dari
simbolisme 7 suguhan yang pernah
diberikan oleh Ajar Subrata.
Ramalan atau jangka sesungguhnya
merupakan pengejawantahan dari ngelmu
titen sebagaimana pengetahuan lokal
masyarakat jawa, ia ecara empirik
memaknai dari setiap kejadian baik yang
telah atau sedang terjadi agar bermakna
untuk sesama menunjukkan sebagaimana
ungkapan “history make man wise” dan
historie vitae magistra yakni pembelajaran
sejarah sebagai guru terbaik dalam
megantarkan umat manusia menjadi
bijaksana dan bermartabat.
Maka diharapkan mahasiswa
menggunakan berbagai pengetahuan lokal
yang memang telah terwujud mampu
menjawab segala tantangan zaman.
Equity
Keadilan
Ing sajroning jaman kalabendu
ana jamaning ratu hartati,
tegese sarupaning manungsa
kang kaesthi mung harta...
wadale wong cilik warna-
warna, ana metu mas saloka,
beras pari sapanunggalane,
karana sangsaya mundak-
mundak muksibating nagara,
kongsi retu adiling ratu,
amarga wong agunge pada
jahil...
apngaling wong asalin-salin...
kerep ana prang, sujana-
sarjana kontit, durjana dursila
saya andadra,... ing wektu iku
wus parek wekasaning jaman
kalabendu,
ing kana harjaning tanah jawa
wus ilang mamalaning bumi,
amarga sinapih tekaning ratu
ginaib, wijiling utama......
jumeneng ratu pinandhita adil
paramarta, lumuh maring arta,
kasebut nama sultan
Herucakra...
Keadilan merupakan sebuah simbol
kesejahteraan. Maka seorang yang
humanis adalah seseorang menjunjung
tinggi nilai keadilan. Didalam serat jangka
jayabaya khususnya pada pembabakan
zaman kalabendu ditampilkan berbagai
kekacauan yang terjadi dalam suatu
masyarakat. Bagaimana setiap orang
kehilanagan jatidirinya akibat kurangnya
pedoman akan nilai-nilai moral sehingga
menampilkan berbagai perilaku ahumanis.
Hal ini ditunjukkan berdasarkan ungkapan
apngaling wong asalin-salin, perilaku
orang berubah-ubah atau plin-plan sangat
relevan dengan masa kini yang terjadi .
Kongsi retu adiling ratu, adanya keadaan
yang buruk/kekacauan tanpa hadirnya ratu
adil. Serta berbagai ungkapan lainnya yang
mengindikasikan bahwa tanpa adanya
keadilan maka berbagai kekacauan akan
terjadi dalam suatu masyarakat. Maka
konsep ratu adil ditampilkan sebagaimana
harapan terhadap pembebasan berbagai
kekacauan tersebut. Setiap manusia
memiliki sosok heru cakra didalam dirinya
masing-masing. Karena keadilan
diciptakan dan bukan ditemukan. Maka
seharusnya setiap pijakan dalam
kehidupan seharusnya selalu bertitik
tumpu pada nilai keadilan. Heru berarti
huru hara, cakra berarti senjata atau siklus
kehidupan. Jika dikaitkan dengan senjata
cakra, senjata milik dewa krisna yang
mampu menghentikan jagad raya termasuk
matahari, maka hal ini dapat dimaknai
bahwa seorang heru cakra merupakan
orang yang mampu menghentikan suatu
keadaan yang kacau atau huru hara.
Equality
Persamaan dan kesederajatan
karana ratu amrih kartaning
nagara, raharjaning jagad
kabeh, ... marmaning pada
enak ating wong cilik
Persamaan dan kesederajatan dalam nilai
humanis barat diartikan dengan
penyamarataan atas hak dan kewajiban
yang diperoleh setiap orang. Namun
kesederatajan dalam konteks serat ini
adalah bagaimana seseorang mampu
bertindak sesuai derajatnya. Sehingga ia
“duh wruhanira kulup kulup
ingsun, iki panjanmaning
wisnu murti, kabubuhan agawe
harjaning bumi-bumi....
mampu mengenali siapa dirinya. Maka
seorang penguasa harus mampu
menempatkan diri layaknya “heru cakra”.
Konsep ini juga berkaitan dengan
kemampuan intelektual. Seorang jayabaya
dalam serat jangka jayabaya menyatakan
diri sebagai pengejawantahan atau titisan
dewa wisnu mengisyaratkan bahwa ia
adalah seorang yang beragama hindu
tetapi tetap menjunjung tinggi nilai
kesederajatan tatkala ia menerima
pengetahuan dengan seorang pendeta dari
rum, yang beragama islam maulana ngali
samsujen. Disini jayabaya mengakui
adanya kesederajatan walaupun dalam
bingkai perbedaan.
Dignity
Martabat
kongsi retu adiling ratu,
amarga wong agunge pada
jahil, wong cilik padha jawal,
marmane ratu tanpa
paramarta...
Nilai humanis akan menjadikan seseorang
bermartabat. Bermartabat dapat
disejajarkan dengan bagaimana seseorang
bertindak sesuai dengan posisinya. Maka
baik nilai moral dan etika adalah dasar
terbentuknya martabat tersebut. Dalam
setiap serat memiliki berbagai tuntunan
atau wejangan kepada generasi muda
sembari mengingatkan nilai budaya luhur
yang perlu dilaksanakan dan dilestarikan.
Dengan Martabat Akan Terciptanya
Sebuah Keadaan Yang Harmonis Dalam
Kehidupan. Sebaliknya, Hilangnya
Martabat Pada Diri Sseorang Akan
Menyebabkan Kekacauan Terjadi. Maka
Dalam Hal Ini Martabat Akan Tercapai
Ketika Seseorang Mampu Menempatkan
Diri Di Dalam Perannya Di Masyarakat.
Dan Proses Pemartabatan Diri Adalah
Melalui Pendidikan Yang Mengarah Pada
Transfer Of Knowledge And Value.
Moral history
Moral sejarah
permasalahan
Ing sajroning jaman
kalabendhu ...
wadale wong cilik warna-
warna, ana metu mas saloka,
beras pari sapanunggalane,
karana sangsaya mundak-
mundak muksibating nagara,
Moral history sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat terutama demi
terciptanya kesejahteraan sosial. Nilai-
nilai ini senantiasa relevan diterapkan
diberbagai zaman walaupun masyarakat
telah mengalami pergeseran sosial budaya
karena moral history lahir dari dalam
masyarakat itu sendiri. Maka revitalisasi
nilai-nilai local knowledge sebagai wujud
dari moral history diperlukan dalam
pembelajaran. Serat jangka jayabaya
kongsi retu adiling ratu,
amarga wong agunge pada
jahil...
penyelesaian
ing kana harjaning tanah jawa
wus ilang mamalaning bumi,
amarga sinapih tekaning ratu
ginaib, wijiling utama......
jumeneng ratu pinandhita adil
paramarta, lumuh maring arta,
kasebut nama sultan
Herucakra...
sebagai salah satu sumber sejarah
menggambarkan bagaimana kekacauan
dalam setiap zaman pasti memiliki
penyelesaian. Dan penyelesaian tersebut
bukan hadir dari orang asing melainkan
pada jati diri yang dihayati bersama sesuai
dengan nilai budaya jawa. Penyelesaian
dapat berupa pembebasan yang
dudapatkan dari refleksi historis untuk
mengatasi masalah masa kini, dan
meminimalisir masalah dikemudian hari
dengan melangkah lebih baik daripada
masa lalu.
Kolonialisme Barat dan penguasaan terhadap kerajaan-kerajaan jawa abad 18
Modernisasi kolonial Belanda dalam berbagai bidang serta implikasinya terhadap
berbagai permasalah sosial masyarakat daerah jajahan.
Kolonialisme, Implikasi Dan Solusi
Dalam semangat Imperialisme Barat, kolonialisme memiliki misi terhadap
tercapainya GOLD, GLORY, GOSPEL yakni kekayaan, kejayaan dan menyebarkan
agama nasrani. Beberapa fase penguasaan nusantara ditangan bangsa barat yang semula
berfokus terhadap monopoli perdagangan kemudian beralih menjadi suatu bentuk
pemerintahan kolonial semenjak dibubarkannya VOC. Dalam hal ini pemerintah kolonial
dengan superioritas budaya berusaha membenahi sistem di negara jajahan yang dianggap
kurang beradab. Sistem feodalisme negara jajahan tidak serta dihilangkan begitu saja,
namun pengaruh feodalisme ini perlahan digantikan dengan relasi terhadap pemerintah
kolonial. Dalam birokrasi, pemerintah kolonial memperkenalkan berbagai bentuk
birokrasi rasional dan memutus tali kesetiaan feodalisme. Dalam hal ekonomi, negara
jajahan mulai dikenalkan berbagai sistem pajak yang berorientasi pada penggunaan uang
tunai. Hal ini dianggap merupakan sebuah keringanan yang lebih manusiawi daripada
kerja paksa, perbudakan dan tanam paksa. salah satu diantaranya adalah Penghapusan
kerja rodi di Indonesia berlangsung ratusan tahun, yaitu berlangsung sampai pada tahun
1880 – an. Kepada penduduk baru pemerintah meberi kesempatan untuk tidak bekerja
rodi namun sebagai gantinya harus membayar semacam pajak yang disebut pajak rodi
dalam bahasa Belanda “ hoofdgeld “. Apakah hoofdgeld itu artinya uang kepala, ataukah
kepala uang, yang jelas tiap penduduk laki – laki sudah bisa untuk tidak bekerja rodi asal
membayar uang kepala atau kepala uang itu. Hoofdgeld itu masuk ke kas Gubernemen.
Dari tahun 1880 hoofdgeldI ini terus dibayarkan oleh mereka yang tidak bekerja rodi.
Dalam hal budaya, daerah jajahan mulai dikenalkan dengan berbagai gaya hidup
barat. Mulai dari cara berpakaian, dikenakannya baju tertutup untuk kalangan wanita
priyayi, sedangkan kemben untuk kalangan bawah. Penggunaan sepatu slop, penggunaan
beskap yang diadopsi dari gaya hidup eropa dalam penggunaan jas, penggunaan bahasa
Belanda sebagai bahasa resmi, serta diadakannya sekolah formal. Walaupun pada
kenyataannya perkenalan budaya tersebut memunculkan berbagai macam diskriminasi
terhadap masyarakat pribumi. Dalam hal agama misalnya, pemerintah melakukan
penetrasi pada pengaruh islam dalam berbagai hal yang berbau politik. Sebelumnya,
dalam praktek feodalisme, terjadi relasi dua arah antara sultan/raja dengan ulama dalam
setiap pengambilan kebijakan atau keputusan. Karena disini raja/sultan/pemimpin bukan
hanya diharuskan memiliki kompetensi di bidang keilmuan, dan berdarah bangsawan,
tetapi juga harus memiliki kemampuan spiritual yang lebih.
Berbagai bentuk kolonialisme memang telah mendapatkan pertentangan dari
masyarakat pribumi, akan tetapi hal tersebut mudah dilumpuhkan karena belum adanya
kesadaran antara persatuan dan kesatuan. Namun, jauh sebelum nasionalisme menjadi
semangat perjuangan hingga diikrarkannya sumpah pemuda, embrio kebangsaan telah
lahir malalui berbagai gerakan beriodologi keagamaan. gerakan dengan dasar
keyakinan/keagamaan dianggap mampu menggerakkan masyarakat karena bersifat
sensitif. Hal ini merujuk pada bagaimana dasyatnya perang salib yang merepresentasikan
peperangan antara dunia barat dan timur dengan menggunakan ideologi keagamaan
dalam pembakar semangat guna menggerakkan masa melalui konsep perang suci/jihad.
Meluasnya gerakan Islam pada paruh kedua abad ke-19, menurut Sartono
Kartodirdjo dalam Protest Movement in Rural Java (1978), bhw gerakan
perlawanan tsb merupakan embrio gerakan kebangsaan pada abad ke-20.
Maruli Tobing berpendapat bahwa pergantian zaman selalu muncul gejala
radikalisme yang dimotori kelompok yang memiliki status ekonomi baik.
Elit yang terpinggirkan secara ekonomi dan politik, sangat kecewa dan
benci thd rezim penguasa. Komunikasi politik yg dilakukan dgn mengolah
mitos ratu adil, yg memacu mobilisasi massa dan melegitimasi gerakan
perlawanan. Konsep ratu adil sebagai pembebas/ messiasis merujuk
terhadap romantisme keemasan di masalalu dg semangat revivalisme
yakni membangun kembali sesuatu yg hilang.
Meluasnya gerakan politik Islam di samping faktor perubahan ekonomi
dan politik, juga semakin menyempitnya ruang gerak Islam di kota besar
akibat birokrasi modern dan sekularisasi yg terbentuk di kalangan priyayi
pangreh praja. Kebijakan modernisasi dan sekularisasi yang dijalankan
Belanda memperlemah peran elit agama maupun institusi keagamaan,
karena modernisasi ditafsirkan pembatasan atau menekan pengaruh dan
wibawa politik para elit agama.
Pendukung gerakan politik melawan hegemoni Belanda adlh:
1. Aristokrat protagonis, lawan dari aristokrat status quo;
2. Intelektual organik, lawan dari intelektual mekanik;
3. Jurnalis, yg melaporkan gerakan perlawanan politik;
4. Pengusaha Muslim di Solo, Jogja, dan Pekalongan;
5. Buruh dan tani sebagai man power gerakan perlawanan.
Aristokrat protagonis dirugikan secara ekonomi, krn lahan per-tanian
diambilalih utk perkebunan ekspor. Struktur politik kala itu melihat
aristokrat protagonis memiliki massa yg dpt direkrut menjadi power
organisasi politik. Intelektual organik pendiri organisasi politik, sedangkan
pengusaha Muslim cenderung sbg pencari dan pemberi dana gerakan
politik.
Diskursus (wacana) Ratu Adil dalam perjuangan pergerakan
Arogansi Belanda terhadap cara pandangnya terhadap pribumi nampaknya
memberikan dampak yang signifikan terhadap keberterimaan perubahan
diberbagai bidang. Terdapat dua pola yang berbeda antara respon aristokrat jawa
dengan golongan bawah. Golongan penguasa cenderung memilih untuk
disibukkan dengan menjaga eksistensi kekuasaannya yang bersifat feodal ditengah
revolusi birokrasi dan berbagai sistem pemerintahan sedangkan pada masyarakat
kelompok bawah yang merasakan berbagai kerugian akibat sistem kolonialisme
yang memberatkan, baik berupa pajak, kerja paksa, sistem pertanian, dan berbagai
eksploitasi Belanda memilih melakukan penolakan melalui gerakan-gerakan
radikalisme berideologi mistis-religius, yakni dengan mengangkat konsep Ratu
Adil dalam menghimpun solidaritas sebagai resistensi atas ketidakadilan.
Sebenarnya ideologi perang suci merupakan salah satu strategi paling berhasil
dalam menghimpun masa berdasar ikatan emosionalitas. Hal ini dapat kita lihat
dasyatnya perang salib dalam memanfaatkan agama sebagai pengabsahan ideologi
barat dan timur menanamkan konsep perang suci atau jihad fissabillilah sebagai
motivasi spiritual muslim dalam melakukan gempuran kepada umat nasrani.
Resistensi jihad memberikan garis tegas dalam memberikan label pihak-pihak
yang tidak sesuai sebagai kaum kafir yang harus diperangi. Penguatan gerakan ini
menggunakan ritual atau magis sebagai alat legitimasi. Sebagaimana pengetahuan
masyarakat jawa terhadap akumulasi ngelmu titen menjadi dasar penguat
terhadap berbagai ramalan akan datangnya Ratu Adil.
Diskursus Ratu Adil yang demikian merupakan cara berfikir historis yang
sebenarnya telah dimiliki pada setiap diri manusia dalam proses kehidupan.
Dianatara berbagai guncangan dan perubahan sosial seseorang akan memandang
masa lalu sebagai pijakan dalam menentukan sikap dimasa depan. Maka gerakan
resistensi ini menggunakan nilai-nilai lokal genius yang secara empiris dipahami
melalui kebenaran yang universal. Walaupun belum diketahui pasti tentang
siapakah pengarang serat Jangka Jayabaya yang sebenarnya, apakah memang
kemampuan Raja Jayabaya atau memang sengaja diangkat sebagai figur dalam
karya sastra tetapi eksistensi konsep keadilan seperti dalam serat Jangka Jayabaya
datangnya Heru Cakra, merupakan sang juru selamat / misianis yang selalu
dinantikan oleh rakyat tatkala dihadapkan dengan dilematis akibat realitas yang
tak sesuai dengan apa yang di idealkan sebelumnya.
Konsep Ratu Adil demikian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
berbagai protes sosial atau pergantian kekuasaan ini selalu dimunculkan kembali
dalam berbagai fase dalam Sejarah hingga era kontemporer. Konsep Ratu Adil
atau seorang juru selamat kian mendapat perhatian dan meningkat popularitasnya
ketka Rng Ranggawarsita seorang pujangga keraton, membuat diskursus
mengenai berbagai kekacauan dengan sebutan “zaman edan”. Adapun didalam
zaman edan sesungguhnya diidamkan adanya seorang pemimpin yang adil “ratu
adil” sebagai sang pembebas. Bahkan popularitas Jangka Jayabaya/ ramalan
Jayabaya dikalangan masyarakat jawa secara umum tengah mempengaruhi
perkembangan teks dari serat jangka jayabaya itu sendiri. Perkembangan isi
jangka kemudian disesuaikan oleh berbagai situasi yang esensinya merujuk pada
ketimpangan sosial di masayarakat. Salah satu bukti besarnya pengaruh diskursus
ratu adil sebagai resistensi melawan kolonialisme ditunjukkan oleh Pangeran
Diponegoro dalam perang jawa. Segala bentuk kolonialisme ibarat arang disetiap
sudut yang menunggu percikan api untuk dapat membara. Hal ini esensinya
merupakan salah satu cikal bakal lahirnya nasionalisme pada pergerakan nasional
yang cenderung berazazkan agama dan kepercayaan. Pangeran Diponegoro
dengan pengetahuannya tentang Islam kemudian mengobarkan semangat perang
suci melawan kolonialisme. Ideologi pengabsahan pergerakan mengasimilasi
konsep jihad dan berbagai strategi perang Islam dengan konsep ratu adil sesuai
dengan Jangka Jayabaya dalam mengikat kepercayaan anggota.
Dalam perkembangan selanjutnya, adapun kaum nasionalis juga
memanfaatkan ramalan dan mitos sebagai alat legitimasi perjuangan resistensi
mereka terhadap kolonial dengan mempopulerkan ramalan Jayabaya sebagai
ideologi pengabsahan (Purwasito, 2017, hal. 163). Bahkan kekalahan Belanda
yang berganti pada penguasaan Jepang di Indonesia dianggap sebagai sebuah
pembebasan terhadap situasi kekacauan yang selama ini terjadi. Menangkap hal
tersebut, Jepang memanfaatkan situasi dengan membangun diskursus tentang
Ratu Adil pada awal penguasaan dengan pamflet-pamflet yang berisi ramalan
Jayabaya yang isinya mengajak sultan Yogyakarta dan susuhan Surakarta
membantu Jepang Sang Pembebas rakyat. Konsep Ratu Adil masa-masa setelah
kemerdekaan masih memiliki pengaruh terhadap mentalitas masyarakat jawa
dalam merespon keguncangan sosial. Maka seberapa besar guncangan yang
terjadi, berimplikasi terhadap besarnya harapan terhadap datangnya Ratu Adil.
Momen seperti inilah yang kemudian ditangkap oleh partai politik dalam
mengambil figur pemimpin yang memiliki popularitas kedekatan dengan wong
cilik. Berdasarkan uraian tersebut dapat kita pahami bahwa sebelum nasionalisme
lahir, konsep Ratu Adil telah digunakan dalam menghimpun suatu kesadaran
bersama akan nasionalisme itu sendiri. Yang kemudian penyatuan identitas
beralih dari wacana Ratu Adil menjadi diskursus nasionalis sejak sumpah pemuda
di ikrarkan.
Nilai Humanisme Serat Jangka Jayabaya
Secara harfiah, Nilai moral dan budi pekerti yang ditampilkan dalam serat
jangka jayabaya merupakan pencerminan nilai humanis yang hendak diungkapkan
pengarang melalui pencitraan tokoh Jayabaya dalam jangka 7 zaman. Serat Jangka
Jayabaya gubahan Raden Ngabei Ranggawarsita merupakan salah satu bentuk
sumber sejarah berbentuk prosa yang berisikan ramalan atau jangka. Jangka disini
merujuk pada makna “keterangan” atau petunjuk agar terciptanya harmonisasi
dalam kehidupan. Sikap ranggawarsita yang terkenal sebagai pujangga yang
kritis terhadap pemerintahan, memiliki sikap keberanian dalam mengungkapkan
argumentasi dalam bentuk serat. Karena seorang pujangga memiliki tanggung
jawab bukan hanya kepada raja tetapi juga terhadap sesama manusia lainnya.
Berikut nilai-nilai humanisme yang dapat kita ambil berdasarkan cuplikan-
cuplikan serat Jangka Jayabaya.
Punika cariyosipun Prabu
Jayabaya kala katamuan
pandhita saking Rum anama
Molana Ngali Samsujen.
Prabu Jayabaya langkung
kurmat dening katamuan
pandhita linuwih, misuwur,
saget amemaca, uninga
saderenging winarah. Prabu
Jayabaya lajeng puruhita ing
sasuraosing jangka ingkang
gaib-gaib, wadosing cipta
sasmita,....
Sasampunipun rampung
Seseorang akan mampu menjadi humanitarian
tatkala didalam dirinya memiliki kompetensi
intelektual. Maka pengetahuan pada hakikatnya
merupakan sebuah perantara dalam memahami
berbagai fenomena sosial secara bijaksana. Dalam
tataran intelektual tersebut kemudian mendorong
terciptanya nalar kritis atau dalam ranah
pendidikan dikenal dengan high order thinking
skill. Penokohan jayabaya dalam serat ini
merupakan simbolisme kompetensi intelektual
seorang humanis. Raja dianggap sebagai seorang
yang diagungkan dalam berbagai hal baik secara
intelektual maupun spiritual seperti halnya
jayabaya yang dianggap sebagai pengejawantahan
Dewa Wisnu dimuka bumi. Jayabaya memiliki
kepedulian terhadap rakyatnya. Tanggung jawab
akan kemampuan yang dimilikinya semata-mata
ia gunakan sebagai kemaslahatan umat manusia.
panganggiting jangka Prabu
Jayabaya ingkang
kababaraken dados
lalampahaning jaman
satunggal-satunggal,
kestokaken dening Molana
Ngali Samsujen.
Prabu anom adhiku, lajeng
matur menggah tegesipun
sesegah wau, dumungipun ing
kraton satunggal-satunggal.
Maka ia menemui pendeta dari Rum, Maulana
Ngali Samsujen untuk “ngangsu kaweruh”
dengan dibukakannya jangka atau ramalan
tentang zaman-zaman.
Jayabaya sebagai seorang raja tidak lantas
congkak dan merasa puas terhadap pengetahuan
yang dimilikinya. Jayabaya berusaha
mengkonstruksi pengetahuan yang ia miliki.
Disini jayabaya melalukan tapa semedi setelah
mendapatkan „kaweruh” dari Maulana Ngali
Samsujen. Kemudian ia mampu mengartikan arti
dari simbolisme 7 suguhan yang pernah diberikan
oleh Ajar Subrata.
Ramalan atau jangka sesungguhnya merupakan
pengejawantahan dari ngelmu titen. Maka
Jayabaya secara empirik memaknai dari setiap
kejadian baik yang telah atau sedang terjadi agar
bermakna untuk sesama menunjukkan
sebagaimana ungkapan “history make man wise”
dan Historie vitae magistra yakni pembelajaran
sejarah sebagai guru terbaik dalam megantarkan
umat manusia menjadi bijaksana dan bermartabat.
Ing sajroning jaman
kalabendu ana jamaning ratu
hartati, tegese sarupaning
manungsa kang kaesthi mung
harta...
wadale wong cilik warna-
warna, ana metu mas saloka,
beras pari sapanunggalane,
karana sangsaya mundak-
mundak muksibating nagara,
kongsi retu adiling ratu,
amarga wong agunge pada
jahil...
apngaling wong asalin-salin...
kerep ana prang, sujana-
sarjana kontit, durjana dursila
saya andadra,... ing wektu iku
wus parek wekasaning jaman
kalabendu,
ing kana harjaning tanah jawa
wus ilang mamalaning bumi,
amarga sinapih tekaning ratu
Keadilan merupakan sebuah simbol
kesejahteraan. Maka seorang yang humanis
adalah seseorang menjunjung tinggi nilai
keadilan. Didalam serat jayabaya khususnya pada
pembabakan zaman kalabendu ditampilkan
berbagai kekacauan yang terjadi dalam suatu
masyarakat. Bagaimana setiap orang kehilanagan
jatidirinya hingga menampilkan berbagai perilaku
ahumanis. Hal ini ditunjukkan berdasarkan
ungkapan apngaling wong asalin-salin, perilaku
orang berubah-ubah atau plin-plan. Kongsi retu
adiling ratu, adanya keadaan yang
buruk/kekacauan tanpa hadirnya ratu adil. Serta
berbagai ungkapan lainnya yang mengindikasikan
bahwa tanpa adanya keadilan maka berbagai
kekacauan akan terjadi dalam suatu masyarakat.
Maka konsep ratu adil ditampilkan sebagaimana
harapan terhadap pembebasan berbagai
kekacauan tersebut. Setiap manusia memiliki
sosok heru cakra didalam dirinya masing-masing.
karena keadilan diciptakan dan bukan ditemukan.
Maka seharusnya setiap pijakan dalam kehidupan
seharusnya selalu bertitik tumpu pada nilai
keadilan.heru berarti huru hara, cakra berarti
senjata atau siklus kehidupan. Jika dikaitkan
dengan senjata cakra, senjata milik dewa krisna
yang mampu menghentikan jagad raya termasuk
matahari, maka hal ini dapat dimaknai bahwa
ginaib, wijiling utama......
jumeneng ratu pinandhita adil
paramarta, lumuh maring
arta, kasebut nama sultan
Herucakra...
seorang heru cakra merupakan orang yang
mampu menghentikan suatu keadaan yang kacau
atau huru hara.
karana ratu amrih kartaning
nagara, raharjaning jagad
kabeh, ... marmaning pada
enak ating wong cilik
“duh wruhanira kulup kulup
ingsun, iki panjanmaning
wisnu murti, kabubuhan
agawe harjaning bumi-bumi....
Persamaan dan kesederajatan dalam nilai humanis
barat diartikan dengan penyamarataan atas hak
dan kewajiban yang diperoleh setiap orang.
Namun kesederatajan dalam konteks serat ini
adalah bagaimana seseorang mampu bertindak
sesuai derajatnya. Sehingga ia mampu mengenali
siapa dirinya. Maka seorang penguasa harus
mampu menempatkan diri layaknya “heru cakra”.
Konsep ini juga berkaitan dengan kemampuan
intelektual. Seorang jayabaya didalam serat
jangka jayabaya menyatakan diri sebagai
pengejawantahan atau titisan dewa wisnu
mengisyaratkan bahwa ia adalah seorang yang
beragama Hindu tetapi tetap menjunjung tinggi
nilai kesederajatan tatkala ia menerima
pengetahuan dengan seorang pendeta dari Rum,
yang beragama Islam Maulana Ngali Samsujen.
Maka disini jayabaya mengakui adanya
kesederajatan walaupun dalam bingkai
perbedaan.
kongsi retu adiling ratu,
amarga wong agunge pada
jahil, wong cilik padha jawal,
marmane ratu tanpa
paramarta...
Nilai humanis akan menjadikan seseorang
bermartabat. Bermartabat dapat disejajarkan
dengan bagaimana seseorang bertindak sesuai
dengan posisinya. Maka baik nilai moral dan
etika adalah dasar terbentuknya martabat tersebut.
Dalam setiap serat memiliki berbagai tuntunan
atau wejangan kepada generasi muda sembari
mengingatkan nilai budaya luhur yang perlu
dilaksanakan dan dilestarikan.
Dengan martabat akan terciptanya sebuah
keadaan yang harmonis dalam kehidupan.
Sebaliknya, hilangnya martabat pada diri
sseorang akan menyebabkan kekacauan terjadi.
Maka dalam hal ini martabat akan tercapai ketika
seseorang mampu menempatkan diri di dalam
perannya di masyarakat. dan proses pemartabatan
diri adalah melalui pendidikan yang mengarah
pada transfer of knowledge and value.
permasalahan
Ing sajroning jaman
kalabendhu ...
wadale wong cilik warna-
Nilai etika dan moral merupakan pedoman
kehidupan bermasyarakat. Serat Jangka Jayabaya
sebagai salah satu sumber sejarah
menggambarkan bagaimana kekacauan dalam
setiap zaman yang memiliki penyelesaian pada
jati diri yang dihayati bersama sesuai dengan nilai
etika dan moral. Yakni esensi tentang bagaimana
arna, ana metu mas saloka,
beras pari sapanunggalane,
karana sangsaya mundak-
mundak muksibating nagara,
kongsi retu adiling ratu,
amarga wong agunge pada
jahil...
penyelesaian
ing kana harjaning tanah jawa
wus ilang mamalaning bumi,
amarga sinapih tekaning ratu
ginaib, wijiling utama......
jumeneng ratu pinandhita adil
paramarta, lumuh maring
arta, kasebut nama sultan
Herucakra...
Penelitian ini dilatar belakangi hasil pengamatan dan pengalaman peneliti, bahwa dalam
silsilah raja-raja tanah Jawa, Jayabaya (salah satu keturunan Batara Wisnu) adalah seorang yang
kemudian melahirkan raja-raja Jawa berikutnya. Dalam tradisi Jawa, nama besar Jayabaya
tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa. Sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa
zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Contoh naskah yang
menyinggung tentang Jayabaya adalah Babat Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa, Petilasan
Petilasan adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa (kata dasar tilas atau bekas)yang
menunjuk pada suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang (yang penting).
Tempat yang layak disebut petilasan biasanya adalah tempat tinggal, tempat beristirahat (dalam
pengembaraan) yang relatif lama, tempat pertapaan, tempat terjadinya peristiwa penting, atau
ketika terkait dengan legenda tempat moksa.Fokus penelitian ini adalah mengenai sejarah dan
wujud fisik bangunan petilasan Sri Aji Jayabaya serta ritual yang di adakan di petilasan Sri Aji
Jayabaya, Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui mengenai sejarah dan wujud fisik
bangunan petilasan Sri Aji Jayabaya serta ritual yang di adakan di petilasan Sri Aji Jayabaya,
sebagai salah satu warisan leluhur.
Berdasarkan latar belakang diatas tersebut, peneliti ini memiliki 3 rumusan masalah yaitu
sebagai berikut (1) Bagaimana sejarah petilasan Sri Aji Jayabaya ? (2) bagaimana wujud fisik
bangunan petilasan Sri Aji Jayabaya? (3) serta ritual yang di adakan di petilasan Sri Aji
Jayabaya? (4) bagaimana sejarah Kerajaan Kediri? (5) ) Siapa sosok prabu Sri Aji Jayabaya ?
(6) Apa sajakah keagungan dari prabu Sri Aji Jayabaya ? (7) Apa sajakah isi dari ramalan prabu
Sri Aji Jayabaya, yang dikenal dengan sebutan jangka Jayabaya ?
Dalam penelitian ini pendekatan atau jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif.
Sesuai dengan jenis pendekatan kualitatif, maka kehadiran peneliti di lokasi sangat penting.
Kata- kata dan tindakan yang diperoleh dari informan merupakan sumber data utama dalam
peneltian ini, Sedangkan data tambahan berupa hasil wawancara, observasi, dokumentasi,analisi
data yang dilakukan dengan cara menelaah seluruh data, lalu mengadakan reduksi data, lalu
menarik kesimpulan,tahap akhir adalah analisis data ini dengan melakukan pengecekan
keabsahan data dengan menggunakan teknik triangulasi.
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah : (1) Sejarah petilasan Jayabaya semula hanya
seonggok tanah bernisan, bersemak belukar dan batu-batu berserakan dibawah naungan sebuah
pahon kemuning yang rindang. (2) Bangunan terdiri dari 3 bangunan pokok, yaitu Loka Muksa
atau tempat Jayabaya muksa, Loka Busana (Lambang tempat busana diletakkan sebelum muksa),
serta Loka Mahkota (lambang tempat Mahkota diletakkan sebelum muksa) serta bangunan
Sendang Tirto Kamandanu yang merupakan taman atau kolam berbentuk empat persegi panjang
dengan pagar keliling transparan dan dilengkapi dengan empat buah patung dewa di ke empat
sudutnya.(3) Ritual atau kegiatan yang biasa dilakukan dalam petilasan antara lain diadakan do’a
atau sembahyangan setiap hari malam Jum’at Legi, upacara ritual malam 1 suro, upacara Labuan
Parang Kusumo yang diadakan pada tanggal 5 suro, serta pensucian pusaka pada tanggal 1
suro.(4) Kerajaan Kediri atau yang disebut Kerajaan Panjalu merupakan kerajaan yang bercorak
Hindu, yang terdapar di Jawa Timur antara tahun 1042-1222.(5) Sosok prabu Sri Aji Jayabaya
yaitu beliau merupakan seorang raja yang pernah bertahta dikediri,dan beliau terkenal dengan
ramalannya yang disebut dengan jangka Jayabaya.(6) Keagungan yang dimiliki oleh prabu Sri
Aji Jayabaya antara lain Raja Jayabaya memiliki gelar sang apanji, prabu Jayabaya juga terkenal
akan ramalannya yang dikenal dengan serat jangka Jayabaya.(7) Beberap ramalan prabu
Jayabaya antara lain : Tanah Jawa kalungan wesi artinya Pulau Jawa berkalung besi, Prahu
mlaku ing dhuwur awang-awang artinya Perahu berjalan di angkasa. Kali ilang kedhunge artinya
Sungai kehilangan mata air.
Berdasarkan simpulan hasil penelitian ini, untuk masyarakat pada khususnya masyarakat
desa menang, Untuk tetap terus melestarikan serta merawat bangunan petilasan,yang diwariskan
nenek moyang kepada kita, agar nantinya para generasi muda dan anak cucu kita juga bisa
merawat dan melestarikan warisan tersebut.
Dalam silsilah raja-raja tanah Jawa,
Jayabaya (salah satu keturunan Batara
Wisnu) adalah seorang yang kemudian
melahirkan raja-raja Jawa berikutnya.
Dalam tradisi Jawa, nama besar Jayabaya
tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa.
Sehingga namanya muncul dalam
kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam
atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya.
Contoh naskah yang menyinggung tentang
Jayabaya adalah Babat Tanah Jawi dan Serat
Aji Pamasa.
Pada abad XII kerajaan Kediri pernah
dipimpin oleh seorang raja yang bergelar
prabu Sri Aji Jayabaya. Dalam sejarah
kerajaan Kediri, Jayabaya adalah raja yang
dikenal sakti dan mampu meramalkan
kejadian yang akan datang. Ramalan itu
dikenal dengan “Jongko Joyoboyo”. Bahkan
beberapa masyarakat percaya ramalan
tersebut masih berlaku hingga sekarang.
Terdapat beberapanaskah yang berisi
ramalan Jayabaya, antara lain Serat
Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan
lain sebagainya.Dikisahkan dalam Serat
Jayabaya Musarar, pada suatu hari, Jayabaya
berguru pada seorang ulama’ bernama
Maolana Ngali Sansujen. Dari ulama’
tersebut, Jayabaya mendapat gambaran
tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman
disi oleh Aji Saka sampai datangnya hari
kiamat.
Menurut para sesepuh desa Menang,
Jayabaya adalah titisan dari dewa Wisnu.
Yaitu dewa yang menjaga keselamatan dan
kesejahteraan di muka bumi. Cerita rakyat
yang berkembang di masyarakat pada akhir
hidupnya Jayabaya tidaklah meninggal.
Melainkan muksa atau raib jiwa beserta
jasadnya. Tempat muksa Jayabaya terletak
di desa Menang, kecamatan Pagu. Tepatnya
sekitar 8 km dari kota Kediri.
Pada saat ini setiap awal tahun baru
Hijriyah atau 1 Muharam diadakan upacara
adat oleh Yayasan Hondodento-Yogyakarta
bersama dengan pemerintah kabupaten
Kediri. Dimana dalam pelaksanaannya
digelar berbagai prosesi ritual napak tilas.
Acara ini diadakan untuk menghormati
Jayabaya dan sekaligus dijadikan agenda
wisata budaya rutin tiap tahun. Rangkaian
prosesi tersebut diawali dengan doa bersama
yang digelar di balai desa Menang.
Setelah prosesi doa selesai, prosesi
dilanjutkan dengan Upacara adat yaitu
berupa kirab atau iring-iringan dari kraton
Yogyakarta. Salah satu ritual utama yang
ada didalamnya adalah Kirab Tombak Kiai
Bimo.
Tombak Kiai Bimo sendiri merupakan
salah satu peninggalam Prabu Sri Aji
Joyoboyo yang penemuannya terjadi hampir
bersamaan dengan ditemukannya petilasan
tempat Prabu Joyoboyo muksa. Pusaka ini
berwujud kayu melengkung yang terbuat
dari batang pohon sambi, yang konon berdiri
di sekitar petilasan.
Selama ini Tombak Kiai Bimo
disimpan di Kantor Yayasan Hondodento
yang didirikan sekelompok orang pengikut
setia sang prabu, dan berkedudukan di
Yogyakarta. Kirab Tombak Kiai Bimo
sendiri diawali dari Balai Desa Pamenang ke
lokasi pamuksan yang berjarak sekitar 300
meter. Selanjutnya rombongan warga yang
mengenakan busana Jawa tersebut,
melakukan kirab atau berarakan menuju
petilasan. Dalam barisan kirab terdiri dari
para sesepuh, pembawa payung pusaka,
pembawa bunga dan warga sekitar.
Rombongan pembawa ubo rampe atau
segala kebutuhan upacara lebih didominasi
oleh para gadis yang masih perawan dan
para jejaka. Setelah memasuki area petilasan
tidak semua rombongan bisa memasuki
petilasan. Hanya para sesepuh dan pembawa
ubo rampe saja yang boleh masuk. Setelah
prosesi upacara selesai, rombongan yang
lain baru diperbolehkan masuk.
Di area petilasan digelar beberapa
prosisi upacara, antara lain prosesi tabur
bunga yang dilakukan oleh para perawan
disekitar tempat muksanya Jayabaya. Tak
jarang dalam prosesi ini para pengunjung
berebut bunga yang digunakan ritual tabur
bunga. Menurut para peziarah, bunga yang
digunakan dalam upacara ini banyak
memiliki berkah. Selanjutnya prosesi utama
adalah penyemayaman pusaka Jayabaya di
lokasi petilasan. Dalam ritual ini dilanjutkan
permohonan doa yang dipimpin oleh
seorang sesepuh.
Seluruh rangkaian ritual tersebut,
diakhiri di Sendang Tirto Kamandanu.
Sebuah sendang yang terletak sekitar 1 km
dari petilsan tempat muksa Jayabaya. Hal ini
dilakukan untuk membuang sial dan
pengaruh jahat yang bisa mengganggu para
peserta ritual. Meskipun seluruh prosesi ini
dilakukan setiap satu tahun sekali, tapi pada
hari-hari tertentu petilasan Jayabaya juga
ramai dikunjungi orang baik dari dalam
maupun luar kabupaten Kediri. Menurut
warga sekitar petilasan, tak jarang para
tokoh politik juga sering melakukan ziarah
ditempat ini. (Sumber data Kantor Arsip
daerah Kabupaten Kediri 2007).
Disini penulis akan melakukan
penelitian tentang petilasan Jayabaya yang
sampai sekarang masih di anggap sebagai
tempat yang keramat dan banyak warga
sekitar yang memanfaatkan tempat tersebut
sebagai tempat ritual dan pemujaan.
Maka, berdasarkan latar belakang di
atas penulis sangat tertarik untuk
mengetahui lebih dalam lagi tentang
Petilasan Aji Jayabaya di Desa Pamenang
Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.
Dalam tahapan penelitian, paling tidak
ada enam tahap yang harus ditempuh dalam
penelitian sejarah, yaitu:Memilih suatu topik
yang sesuai yaitu :Disini saya mengambil
topik mengenai petilasan Sri Aji jayabaya
didesa menang kecamatan pagu kabupaten
kediri.
Mengusut semua evidensi (bukti) yang
relevan dengan topik yaitu dengan mencari
bukti-bukti yang berkaitan dengan petilasan
Sri Aji jayabaya.
Petilasan Jayabaya merupakan tempat
muksa Raja Kediri yaitu Sri Aji Jayabaya,
yang bertempat di Desa Pamenang
Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
Petilasan ini dulunya hanya undukan tanah
yang bernisan kemudian setelah dilakukan
pemugaran tempat ini menjadi megahdan
berubah menjadi sebuah monumen spiritual.
Bangunan yang ada didalam petilasan ini
antara lain, Loka Muksa (tempat muksanya
Jayabaya), Loka Busana (tempat
penanggalan busana Jayabaya sebelum
muksa), Loka Mahkota (tempat mahkota
Jayabaya) dan Sendang Tirta Kamandanu (
taman kaputren/tempat mandi para putri).
Dengan demikian Petilasan Jayabaya
merupakan peninggalan leluhur yang
berbudaya sangat tinggi yang perlu di jaga
dan dilestarikan. Dalam menjaga dan
melestarikan tempat ini perlu adanya peran
seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat
dari kalangan bawah maupun kalangan atas.
Petilasan Jayabaya, semula hanya seongkok
tanah bernisan, bersemak belukar dan batu-
batu berserakan, dibawah naungan sebuah
pahon kemuning yang rindang.Kini
petilasan telah berubah menjadi sebuah
monumen spiritual yang megah, bersama-
sama masyarakat luas, keluarga besar
Yayasan Hondodento berhasil memugarnya
secara gotong – royong. Proses
pemugarannya memakan waktu kurang
lebih 1 tahun yaitu sejak peletakan batu
pertama tanggal 22 februari 1975 sabtu
pahing sampai tanggal 17 april 1976 sabtu
pahing saat diresmikannya dan diserahkan
kepada pemerintah daerah kabupaten kediri
atau secara keseluruhan 420 hari, dengan
total biaya 24 juta rupiah.
Bangunan Loka muksa yaitu tempat
moksanya prabu Sri Aji Jayabaya,
bangunannya berupa bentuk menyatunya
lingga dan yoni serta diberi batu manik (
batu bulat berlubang ditengahnya seperti
mata ),bangunan ini dikelilingi pagar beton
bertulang yang tembus pandang dan
dilengkapi 3 buah pintu yang
menggambarkan tingkatan kehidupan
manusia yaitu lahir, dewasa, dan
mati.Bangunan loka busana, yaitu tempat
penangalan busana kebesaran prabu Sri Aji
Jayabaya, bangunannnya terletak disebelah
timur loka muksa membujur kerah utara dan
selatan dan dikelilingi dengan pagar
besi.Bangunan loka mahkota yaitu tempat
peletakan mahkota prabu Sri Aji
Jayabaya,bangunan ini terletak disebelah
utara tau diluar pagar petilasan sebagai
lambang bahwa zaman kerajaan sudah
berakhir.Sendang tirta Kamandanu
Pemugaran bangunan berupa sendang tirta
kamandanu disyahkan dalam musyawarah
desa menag kecamatan pagu, kabupaten
kediri nomer 16/ IV /1980 tentang
pemugaran sumber didesa menang yang
berkaitan dengan mengenang keluhuran dan
kejayaan nenek moyang bangsa indonesia.
Peletakan batu pertama pemugaran
dilakukan oleh bapak sekwilda kabupaten
kediri pada tanggal 26 april 1980, hari sabtu
pahing.
Ritual yang rutin dilakukan di
Petilasan Jayabaya antara lain : Ritual
Malam Jum’at Legi (acara yang rutin
diadakan pada hari malam jum’at legi),
Ritual 1 suro(acara yang rutin diadakan pada
malam 1 suro), Ritual Pensucian benda
Pusaka(acara ini diadakan pada tanggal 1
suro), Ritual Labuan Parang Kusumo(acara
ini diadakan pada tanggal 5 suro bertempat
di pantai laut Ratu Kidul Yogyakarta)