Home »
solo dan bali
» solo dan bali
solo dan bali
SOLO
Kota Sala adalah salah satu kota besar di
Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam
perkembangannya. Semenjak terbentuk dari
zaman kerajaan hingga sekarang, pertumbuhan
dan perkembangan Kota Sala sangat dipengaruhi
oleh dinamika pemerintahannya. Dualisme
kepemimpinan yang terjadi pada masa kerajaan,
yaitu antara Kraton Surakarta dengan Pemerintah
Kolonial, menentukan pola bentukan ruang kota
dengan unsur nilai dan simbol kebudayaan yang
dianut dua penguasa tersebut.
Menurut Kuntjoroningrat, kebudayaan
dibedakan menjadi tiga unsur, yaitu ide/ norma,
perilaku dan karya/artefak. Sedangkan
Kuntowijoyo membedakannya menjadi dua unsur,
yaitu nilai dan simbol. Nilai merupakan
kebudayaan yang tidak kasat mata, sedangkan
simbol merupakan perwujudan nilai yang kasat
mata.
Menurut Jo Santoso (2002), kota adalah
oikos, yang didalamnya terdapat empat komponen
pokok, yaitu humus adalah tempat produksi, home
adalah tempat berlindung, homo adalah tempat
untuk mengembangkan diri, serta habitat adalah
tempat yang digunakan untuk menjalankan proses
produksi dan reporoduksi. Sementara itu, kota
adalah sebuah sistem yang didalamnya terdiri dari
komponen-komponen sistem dengan fungsinya
masing-masing untuk mendukung fungsi kota.
Maka dapat disimpulkan bahwa keempat
komponen oikos tersebut adalah komponenkomponen pembentuk kota yang akan tumbuh dan
berkembang seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan kota. Tumbuh dan berkembangnya
kota terwujud dalam bentuk berbagai macam
simbol kebudayaan sebagai perwujudan dari nilai
budaya yang dianut oleh penguasanya
(pemerintahannya) seperti pola bentuk ruang kota
dan bangunan-bangunan yang ada di pusat kota.
Berdasarkan deskripsi di atas maka tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
dan mengkaji pengaruh budaya dalam
pembentukan ruang kota sebagai bentuk dari nilai
dan simbol budaya.METODE
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif. Menurut
Singarimbun (1986), tujuan dari penelitian
deskriptif adalah untuk mengetahui
perkembangan sarana fisik dan sebaran suatu
aspek dari fenomena sosial, dalam penelitian ini
adalah pola bentukan ruang dari fenomena
dualisme kepemimpinan. Sedangkan penelitian
kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif dari obyek yang
diamati dengan dasar teori berdasarkan
pendekatan fenomenologis dan kebudayaan,
dalam penelitian ini adalah fenomena dualisme
kepemimpinan yang mempengaruhi pola
bentukan ruang.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan
dengan studi literature dan observasi/ pengamatan
lapangan. Observasi dilakukan terhadap bentuk
ruang Kota Sala dan simbol-simbol kebudayaan
yang ada di dalamnya. Sedangkan studi literatur
dilakukan terhadap peta-peta dan buku-buku
literatur yang berhubungan dengan penelitian,
yaitu pada kurun waktu perpindahan kraton
sampai dengan peletakan motif dasar Kolonial.
Metode Analisis Data
Analisis data menggunakan metode
kualitatif. Langkah pertama dari analisis data
kualitatif adalah melakukan penafsiran data
dengan menelaah data-data dari hasil observasi
lapangan, peta, gambar dan literatur yang
berhubungan dengan simbol dan nilai budaya,
serta bentuk ruang Kota Sala sejak perpindahan
kraton hingga peletakan dasar motif Kolonial.
Data-data tersebut kemudian dikelompokkan
sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu budaya
yang mempengaruhi pembentukan ruang Kota
Sala, yaitu pada masa kraton dan pada masa
Kolonial Belanda. Setelah itu proses penulisan
dilakukan dengan melakukan reduksi terhadap
beberapa data yang dianggap tidak relevan dengan
tujuan penelitian.
ANALISIS DAN INTERPRETASI
Desa Sala, dari Bandar Perdagangan menjadi
Oikos
Pada abad XIII-XIV, ketika Kerajaan
Majapahit masih berada pada puncak kejayaannya
di Jawa Timur, sungai menjadi alat transportasi
utama. Hal tersebut ditunjukkan pula pada gambar
1 bahwa wilayah geografis Desa Sala dikelilingi
oleh sungai-sungai kecil sehingga memudahkan
bagi para pedagang untuk mendapatkan komoditi
perdagangan dari wilayah pedalaman. Pada saat
itu, Sungai Bengawan Solo menjadi jalur utama
perdagangan dan pelayaran yang menghubungkan
antara wilayah pedalaman Jawa (terutama Jawa
Tengah) dengan laut serta menjadi jalur
pertukaran ekonomi dan peradaban antara
wilayah pedalaman dengan dunia luar. Maka
tidaklah mengherankan apabila sejarah mencatat
bahwa di sepanjang Sungai Bengawan Solo
terdapat 44 bandar perdagangan, artinya hal itu
menggambarkan betapa kaya wilayah ini
sehingga mampu menghasilkan komoditi
perdagangan dan menumbuhkan kegiatan
perdagangan yang sangat ramai.
Desa Sala merupakan daerah perdikan
yang dikuasai oleh Dinasti Kyai Sala. Di desa ini
terletak sebuah bandar perdaganan dibawah
kekuasaan dinasti ini. Keramaian perdagangan
dan pelayaran di Sungai Bengawan Solo membuat
Desa Sala meningkat kesejahteraannya.Interaksi
antara masyarakat dengan kaum pendatang yang
sebagian besar merupakan kaum pedagang
meningkat seiring dengan aktivitas niaga. Para
pedagang yang menyusuri sungai sebagai
distributor barang-barang dari luar dan
menampung produk-produk domestik bukan
hanya terdiri atas orang-orang pribumi, akan
tetapi juga orang-orang asing seperti Cina, Arab
dan Moor. Para pedagang ini sebagai pelaku
bisnis aktif dipedalaman Jawa terutama sejak
penghancuran pelabuhan-pelabuhan di pesisir
Jawa oleh Sultan Agung dan penerapan monopoli
oleh VOC (Solo Heritage Society, 2003).
Para pedagang asing yang kemudian
melayani perdagangan dan aktivitas niaga
disepanjang Sungai Bengawan Solo ini juga
memiliki tempat singgah tetap di setiap bandar.
Persinggahan tetap ini digunakan oleh mereka
apabila harus menunggu persediaan produk yang
akan dibawa, menjual habis produk yang diangkut
dari daerah hilir maupun untuk menunggu arah
angin bagi kepentingan pergerakan perahu
mereka. Dalam perkembangan lebih lanjut, lokasi
persinggahan itu berubah menjadi perkampungan
orang asing. Di beberapa bandar sepanjang sungai
itu bisa ditemukan sejumlah perkampungan
pedagang Cina yang tinggal permanen disana. Di
Sala, sejak tahun 1744 telah ditemui adanya
komunitas pedagang Cina yang bertempat tinggal
disebelah utara Kali Pepe dan menjadi salah satu
pusat penting yang memainkan peranan bagi
perdagangan didaerah ini dan sepanjang Sungai
Bengawan Solo (Solo Heritage Society, 2003).
Komunitas yang terdapat di Desa Sala
merupakan perpaduan antara komunitas pedagang
dan petani. Para petani tradisional tidak banyak
menunjukkan perkembangan, diduga hal ini
berkaitan dengan letak Desa Sala yang terletak di
tanah yang rendah dan berawa-rawa. Sebelum
pusat kekuasan Kerajaan Mataram pindah ke
Desa Sala, di desa ini telah ada permukiman,
antara lain Kampung Sampangan yang dihuni
etnis Madura, Kampung Banjar yang dihuni etnis
Banjar Kalimantan, Kampung Kebalen yang
dihuni etnis Bali dan Kampung Pasar Kliwon
yang dihuni etnis Arab. Oleh karena itu,
kehidupan di Desa Sala lebih kuat bercorak desa
niaga atau komunitas dagang dibandingkan
agraris (Solo Heritage Society, 2003).
Desa Sala, merupakan daerah perdikan,
yaitu suatu daerah otonom yang tidak memiliki
kewajiban membayar pajak kepada penguasa
kerajaan. Penguasa desa perdikan mendapatkan
kewenangan memerintah suatu daerah atau
wilayah karena jasanya kepada kerajaan di masa
lalu. Desa Sala ini karena letaknya di jalur urat
nadi perdagangan, memiliki bandar yang sangat
ramai dengan kegiatan perniagaan sehingga
bandar ini memberikan penghasilan yang sangat
besar bagi dinasti yang menguasainya. Namun hal
tersebut berubah sejak pusat Kerajaan Mataram
berpindah ke Desa Sala. Perpindahan tersebut
terjadi karena peristiwa geger Pecinan pada tahun
1741 yang menyebabkan terbakarnya kraton pusat
Kerajaan Mataram di Kartosuro. Mitos yang
menganggap istana yang sudah dihancurkan oleh
musuh tidak lagi pantas dipakai sebagai pusat
pemerintahan menyebabkan dipindahkannya
pusat Kerajaan Mataram di Kartosuro. Setelah
melalui berbagai pertimbangan para penasehat
dan ahli nujum serta nasehat dari Kapten VOC
maka akhirnya dipilihlah Desa Sala sebagai lokasi
keraton yang baru.
Aplikasi Konsep Kota “Kosmologi” Jawa di
dalam Kota Sala
Pada masa kerajaan, Kota Sala
merupakan ibu kota baru yang memiliki
kekhususan dibanding semua ibu kota kerajaan
dari Kota Gede sampai Kartasura. Dilihat dari
pola dan morfologi pusat kotanya, Kota Sala
tampak meniru pola yang ada di Kartosuro. Ini
berbeda dengan Plered dan Kota Gede, karena
letak geografisnya, kedua kota ini mengambil
Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan
sebagai orientasi makrokosmosnya. Di Kartosuro
hal ini tidak mungkin, karena lokasinya berada
disebelah timur gunung Merapi. Sehingga
kemudian dikembangkan sumbu timur-barat yang
melintang alun-alun (lor) sejak pusat kota
Kartosuro agar tidak kehilangan legitimasi
spiritual. Di Kota Sala sumbu timur-barat juga
hadir. Meskipun tidak dalam satu garis lurus di
tengah alun-alun karena adanya masjid Agung
(Adrisijanti,2000).
Tatanan kosmologi kota Kerajaan
Surakarta diterangkan oleh Behren (1984)
mengikuti pola lingkaran-lingkaran konsentris
yang berpusat di Probosuyoso sebagai dalem Raja.
Setiap lapis lingkaran diwujudkan dalam bentuk
halaman-halaman kraton yang dibatasi oleh
regol/kori, yaitu lapis terdalam sampai
Srimanganti, berikutnya Kamandungan,
kemudian Brajanala, dan terakhir Sitinggil.
Lingkar-lingkaran tersebut mencitrakan dunia
kosmos. (lihat gambar 3 dan 4).
Kota Sala sebagai Kota Kolonial dengan “Dual”
Konsep Budaya
Kota Sala merupakan sebuah kota yang
memiliki peninggalan budaya karena perjalanan
sejarahnya sehingga mempengaruhi
kebudayaannya. Kuntowijoyo mengatakan, nilainilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan
fisik apakah ruang/bangunan atau konstruksi.
Sebuah pabrik, misalnya juga mengandung nilai
budaya. Nilai itu ialah efisiensi, kerjasama
terorganisasi, pembagian kerja, dan hierarki sosial.
Sejak abad XVI orang-orang Belanda
datang ke Indonesia dengan tujuan awal untuk
berdagang, tapi pada akhirnya kemudian menjadi
penguasa. Belanda mulai menjajah ketika VOC
menguasai perdagangan komoditi pertanian di
Indonesia yang merupakan komoditi pasar dunia,
seperti, lada, vanilla, kopi, gula, nila dan karet.
Pada awal kehadirannya, perusahaan dagang
Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) mendirikan gudang-gudang
(pachuizen) untuk menimbun barang-barang
dagangan (rempah - rempah) serta kantor dagang
sebagai contoh di Banten, Jepara dan Jayakarta
(Jakarta lama). Pada perkembangannya mereka
kemudian membuat pengamanan dengan
memodifikasi gudang dan kantor tersebut menjadi
benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat
tinggal warganya. Sistem pertahanan ini
dimaksudkan untuk pertahanan dalam bersaing
dengan pedagang-pedagang bangsa lain
(Soekiman, 2000). Dalam kegiatan perdagangan,
VOC tidak hanya menguasai jalur-jalur
perdagangan di daerah pesisir Jawa, tetapi mereka
juga berusaha menguasai daerah pedalaman.
Kebetulan Kerajaan Mataram pada abad XVIIXVIII pusatnya selalu di wilayah pedalaman Jawa
dengan wilayah yang sangat luas dan subur.
Kegiatan VOC mengintervensi kekuasaan
Kerajaan Mataram mulai terasa diwilayah Sala
sejak pengambil-alihan Keraton Kartosuro oleh
PB II dengan bantuan VOC (kumpeni). Intervensi
ini juga meninggalkan jejak sejarah dalam tataruang kota kerajaan yang dibangun kemudian
sesudah pusat kerajaan pindah dari Kartosuro ke
Desa Sala.
Kecerdikan VOC menerapkan konsep
kebudayaan lewat tata ruang Kota Sala
menghasilkan sebuah kota konsep “dualism”, kota
dengan dua konsep kebudayaan, yaitu konsep
kota kosmologi Jawa dan konsep kota kolonial
(Gambar 5). Hal ini dilakukan untuk menghindari
konflik/ peperangan akibat adanya perbedaan
budaya. Simbol-simbol budaya dibiarkan berdiri
di dalam ruang kota, sementara itu VOC
memperkuat cengkeraman kekuasaannya melalui
pembangunan-pembangunan infrastruktur
pertahanan seperti beteng, jalan militer, barakbarak militer sembari mereka melakukan
pelemahan pada sisi kekuasaan kerajaan
(tradisional) dengan melalui perjanjian-perjanjian
yang tidak adil dan intervensi pada konflikkonflik keluarga keraton bahkan pengaturan
kehidupan keluarga raja.
Konsep Kota Kolonial tidak bisa lepas
dari budaya kolonial, dimana proses pengambilan
keputusan di negara jajahan, terjadi di negara
induk. Artinya negara jajahan didominasi oleh
sistem nilai, model dan penyelesaianpenyelesaian masalah perkotaan dengan cara
masyarakat metropolitan kolonial yang berbeda
jauh budayanya dengan masyarakat Sala yang
cenderung tradisional.Para perencana kolonial
tidak mempedulikan dan cenderung menolak
sistem nilai tradisional yang dipegang oleh
penduduk pribumi.
Kota-kota yang dikembangkan oleh VOC
di Indonesia selalu didasarkan atas suatu konsep
yang disebut “founded Settlement” atau cikalbakal permukiman Kolonial Belanda (gambar 4).
Konsep ini terdiri atas tata-ruang dan elemenelemen bangunan yang menganut pedoman dan
petunjuk teknis yang dikendalikan dari
Netherland dan diawasi oleh Gubernur Jendral,
Residen serta para insinyur. Hal ini berhubungan
dengan konsep kolonialisasi dimana terjadi
hubungan dominansi-dependensi. Hubungan ini
menunjukkan ketergantungan masyarakat yang
dijajah terhadap yang menjajah, akibat penekanan
fungsi militer dan administrasi yang dilakukan
oleh penjajah.
Sejak perpindahan Keraton Mataram dari
Kartosuro ke Sala, maka tata ruang Kota Sala
tanpa disadari telah terinvensi dengan konsep kota
“dualism”, kota dengan dua konsep kebudayaan,
yaitu konsep kota kosmologi Jawa dan konsep
kota kolonial. Penerapan konsep ini tidak lepas
dari campur tangan Pemerintah Kolonial untuk
menguasai Kota Sala dari segi budaya dengan
alasan untuk menghindari konflik/ peperangan
akibat perbedaan budaya. Oleh karena itu, simbolsimbol budaya dibiarkan tetap berdiri dalam ruang
kota. Konsep kota kolonial menganut pedoman
dan petunjuk teknis yang dikendalikan dari
Netherland dan diawasi oleh Gubernur Jendral,
Residen serta para insinyur. Oleh karena itu, para
perencana kolonial tidak mempedulikan dan
cenderung menolak sistem nilai tradisional yang
dipegang oleh penduduk pribumi dalam
mewujudkan ruang kota.
Namun demikian, simbol-simbol budaya
keraton tetap terjaga meskipun dalam tataran yang
sangat mikro, hanya berada di pusat kota.
Orientasi makrokosmos keraton mengambil
sumbu utara selatan di utara dan Laut Kidul di
selatan. Sementara itu, dalam tatanan kosmologi
kota kerajaannya mengikuti lingkaran-lingkaran
konsentris yang berpusat di Probosuyoso sebagai
dalem Raja. Bentuk ruang kota yang diterapkan
keraton ini menunjukkan bahwa hubungan antara
rakyat dengan penguasa bersifat simbolik karena
rakyat hanya dapat berhubungan dengan rajanya
pada peristiwa-peristiwa tradisi budaya.
Selebihnya, rakyat hanya menjadi pelayan bagi
Raja yang dalam budaya Jawa dianggap sebagai
sosok titisan Tuhan.
BALI
Kajian ini merupakan suatu studi perkembangan kebijakan pengaturan
penguasaan tanah pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan diferensiasi pedesaan
di Bali.
1 Dalam kajian ini, pembahasan lebih ditekankan pada periode historis
penguasaan tanah sejak kedatangan pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada pertengahan abad ke-19, ditandai oleh upaya-upaya sistematis pemerintah kolonial
Hindia-Belanda menerapkan berbagai kebijakan yang menjadikan Bali sebagai
bagian dari sistem perdagangan satu ring fence economy.
2
Tujuan studi ini hendak
berupaya mendeskripsikan bahwa berbagai kebijakan kolonial tersebut; khususnya
kebijakan politik hukum pertanahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah
mengakibatkan tanah, tenaga kerja, dan hasil bumi dieksploitasi melalui jalur-jalur
tradisional dengan memanfaatkan kekuasaan para elit pribumi (indirect-rule)
untuk melaksanakan imperialisme ekonomi sebagai kekuatan eksternal dengan
tujuan mendapatkan pemasukan lebih banyak (besar) lagi bagi pemerintah
kolonial dengan mengabaikan kesejahteraan kehidupan petani di pedesaan Bali.3
Kehadiran imperialisme ekonomi pemerintah kolonial Hindia-Belanda,
sebenarnya telah ada sebelum ring fence economy diterapkan di Bali dan Lombok,
tepatnya ketika VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) mendirikan satu
kantor dagang tahun 1620 di Bali.4 Mulai periode inilah Bali dianggap sebagai
wilayah monopoli perdagangan VOC, dan selalu berusaha menghindarkan
sebanyak-banyaknya kedua pulau tersebut dikunjungi oleh pedagang asing yang
bersaing dengan VOC. Kemudian, mulai pertengahan abad ke-19 pemerintah
kolonial Hindia-Belanda menerapkan bentuk-bentuk imperialisme yang lebih
menyeluruh di Bali, ditandai dengan perang kolonial yang dilaksanakan dengan
maksud menanamkan akar kolonialisme di Bali. Di sini, pemerintah kolonial
berkepentingan mencegah dan menyelamatkan pulau Bali dan Lombok dari
Wedloop om Kolonien negara-negara Barat, terutama Inggris yang imperialistis.
Kolonialisme Belanda, terutama di Bali ini tidak lain merupakan produk ekspansi
negara-negara Barat dengan tujuan utama menguasai perekonomian dan
perdagangan, kemudian berkembang menjadi suatu kekuasaan politik pemerintah
kolonial.
1. Penguasaan Tanah di Bali pada Periode Pra-Kolonial
Perkembangan struktur sosial-ekonomi masyarakat petani di pedesaan Bali
sampai permulaan abad ke-19 masih terhindar dari pengaruh kekuatan asing dan
penetrasi politik kekuasaan negara-negara Barat. Ketika itu, struktur masyarakat
di pedesaan Bali dapat digambarkan terdiri dari pelbagai persekutuan di pedesaan
yang tersusun rapi hidup berdampingan dengan suatu tata pemerintahan dari
kerajaan-kerajaan yang bersifat feodal, merdeka dan berdaulat menjalankan
pemerintahan sesuai dengan paswara (peraturan-peraturan dan perundangundangan) yang dibuat oleh raja-raja Bali berdasarkan adat-istiadat yang berlaku
dan diwarisi secara turun-temurun.5 Berbagai pungutan pada petani pedesaan di
Bali dilakukan kerajaan melalui sistem perpajakan yang diatur berdasarkan sistem
pengairan dalam pemerintahan yang bertingkat-tingkat dengan kerajaan sebagai
pusat pemerintahan.6 Dengan kata lain, tidak hanya raja yang berhak
mengeluarkan peraturan-peraturan perpajakan, melainkan punggawa dan sedahan
pun dapat mengeluarkan peraturan serupa. Karena itu, seorang petani tidak hanya
membayar pajak pada seorang bangsawan, ia mungkin sekali sebagai pembayar
pajak dari bangsawan lain. Bahkan, petani masih harus membayar pajak dan
pungutan lain dari raja dan sedahan. Perubahan-perubahan politik di tingkat
supra-lokal pun hanya merupakan pergantian pemungutan pajak saja, yang terus
berjalan selama berabad-abad. Pengaruh kekuasaan raja/ bangsawan kini telah
sampai pada pengaruh yang mendasar atas struktur sosial pedesaan, tetapi lebih
dari itu menentukan bentuk dari struktur pedesaan tersebut.
Ketika itu, kehidupan masyarakat petani pedesaan di Bali sebagian besar
terdiri dari petani yang mengolah sawah atau ladang dengan padi (beras) sebagai
hasil pertanian pokok, mereka pun masih belum berminat untuk melakukan
perdagangan yang pada waktu itu dikuasai atau berada di tangan orang Cina dan
Bugis.
Penguasaan tanah kerajaan mempunyai arti politis dalam mengendalikan
kekuatan-kekuatan di pedesaan Bali. Kekuatan-kekuatan eksternal dalam
melakukan penekanan pada petani di pedesaan dapat dilihat dari pengaruh
kerajaan sampai di tingkat pedesaan melalui hubungan produksi tanah pertanian
milik raja atau keluarga kerajaan disakapkan kepada petani penyakap yang
menyerap tanah tersebut dengan sistem bagi hasil pertanian.
8 Dalam hubungan
produksi ini petani penyakap harus memberikan tenaga kerja mereka kepada raja
atau kaum bangsawan untuk melaksanakan pekerjaan domestik yang di Bali
sering dikenal dengan sebutan ayahan dalem, yaitu berbagai kewajiban demi
kepentingan puri (kerajaan). Untuk menekan kekuatan di pedesaan kerajaan
membagi-bagikan tanah druwe dalem sebagai tanah jabatan atau tanah pecatu,
dari segi politis kerajaan mengendalikan petani.
2. Penguasaan Tanah pada Era Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda
Perkembangan kebijakan pengaturan penguasaan tanah di Bali setelah
kedatangan pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada pertengahan abad ke-19,
mulai ditandai dengan upaya-upaya sistematis pemerintah kolonial dalam
menerapkan kebijakan dengan tujuan melakukan intervensi terhadap persoalanpersoalan luar negeri maupun dalam negeri kerajaan-kerajaan di Bali.
9 Konsep
traktat-traktat politik tahun 1841 dan 1843 menjalankan politik baru yang dianut
pemerintah kolonial, mulai tahun 1843 diubah haluan politik absolute onthouding
menjadi secara nyata - gedwongen (terpaksa) satu haluan politik beperkte
onhouding, dan justru politik baru ini memperoleh realisasi dalam perjanjian
tahun 1841 dan 1843. Perjanjian itu berisi upaya pemerintah Hindia-Belanda
untuk memperoleh satu wilayah berpengaruh (invloedssfeer) yang nyata dan
dapat dipertahankan terhadap kekuatan Barat yang lain dengan memperlihatkan
satu hak (rechtstitel). Usaha memperoleh rechtstitel yang menjelmakan
Souvereiniteitsrechten atau Bezitsrechten pemerintah berfungsi sebagai
pembuktian secara terus menerus dari kekuasaan pemerintah kolonial HindiaBelanda dengan maksud memagari kekuatan-kekuatan Barat yang lain jangan
sampai memasuki Bali.
Dalam Pasal 1 Perjanjian tahun 1841, dijumpai rumusan yang diakui oleh
raja-raja di Bali, ialah: “mengakui negeri-negeri kupernement Hindia-Belanda,”
juga punya adanya,
10 (teks bahasa Belanda menyebutkan het eigendom van het
Nederlandsch Indisch Gouvernement).11 Di sisi lain, pendapat
Regeeringskommissaris semacam Oostersche beleidheid - Condominium (Medeeigendomschap). Pendapat tersebut mempunyai landasan kebenaran dari
pemakaian kata “juga” yang ditempatkan di depan kata “punya adanya”. Di balik
itu, terdapat Begriffsjurisprudenz yang menyesatkan karena pemerintah kolonial
menghendaki eigendom, justru mede-eigenaar akan sangat membatasi Pemerintah
kolonial Hindia-Belanda. Pendapat Regeeringskommissaris semacam oosfeschs
beleidheid, dengan memakai teori condominium (mede-eigendomschap) dapat
dikatakan merupakan tipu-muslihat yang digunakan pihak pemerintah kolonial
Hindia-Belanda untuk meyakinkan raja-raja supaya meratifikasi perjanjian; itu
digunakan agar tidak terlalu mengagetkan raja-raja, maka disebutkan di samping
gubernemen, raja pun menjadi eigenaar wilayah kerajaan?
Dalam perjanjian tahun 1849 baru dinyatakan dengan tegas dan justru
berbeda dengan perjanjian tahun 1841 dan 1843. Ditegaskan “...(negeri-negeri itu
gupermenent Hindia-Nederland) juga punya adanya” (teks bahasa Belanda,
eigendom) Penggunaan kata-kata tersebut telah menimbulkan perselisihan paham
antara raja-raja dan pemerintah kolonial, yang menimbulkan perang dua kali,
yaitu tahun 1846, dan tahun 1848/ 1849. Perjanjian tahun 1849 tidak lagi
menggunakan kata tersebut dan diganti “(kita punya kerajaan) ada sebagian dari
tanah Hindia-Belanda: (dat het rijk) een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch
Indie”. Di sini dinyatakan lebih tegas dan tidak memberi banyak kemungkinan
untuk membuat penafsiran yang berbeda. Kondisi seperti itu dijadikan bagian
integral (inlijving) dan oleh karena itu, kerajaan-kerajaan di Bali ditempatkan di
bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda benar-benar telah melakukan
bezitsdaad, dengan mendaratkan kekuatan militer di tanah Bali untuk merealisasi
eigendom-nya berdasarkan pada perjanjian kedua tanggal 9 Juli tahun 1846,
eigendom bukan hanya formal saja, melainkan sudah bersifat material. Kerajaankerajaan di Bali ditempatkan di bawah kekuasaan nyata kekuatan kolonial HindiaBelanda, melalui suatu politik menganeksasi kerajaan yang tidak menjalankan
kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam perjanjian (kontrak).
Penaklukan secara nyata oleh rezim kolonial Hindia-Belanda baru terjadi pada
tahun 1854, 1855 (Buleleng dan Djembrana). Setelah itu satu persatu kerajaan di
Bali Selatan kehilangan kemerdekaan mereka, tahun 1894 (Karangasem), tahun
1900 (Gianyar), tahun 1906 (Badung) dan terakhir tahun 1908 (Klungkung).
Mulai saat itulah, di Bali berlangsung “Tropisch Nederland” atau “Nederland
Overzee”, yaitu era (periode) kolonial penuh. Periode ini ditandai oleh runtuhnya
kerajaan Klungkung, melalui puputan Klungkung pada tanggal 28 April 1908 dan
mulai saat itu seluruh Bali berada di bawah pemerintahan langsung kekuasaan
pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Namun, pada masa permulaan Administratie Toezicht di Bali Utara dan
Barat, ketika itu dikenal sebagai masa transisi karena telah diangkat Controleur
yang mewakili kepentingan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan
kewenangan yang masih sangat terbatas dan kemudian diperluas.
13 Kemudian
setelah Buleleng berstatus sebagai daerah Swapraja. Berdasarkan Ind. Stbl. 1860
nr 107., ditempatkan seorang Assistent Resident dan seorang kontrolir 3de klasse.
Kewenangan Assistant Resident ditempatkan di bawah perintah Gecommitteerd di
Banyuwangi dan dibebani dengan de leiding van het Inlandsch Bestuur en met de
functien Gouvernements Agent. Berdasarkan Ind. Stbl. 1861 nr 47, Assistent
Resident yang ditetapkan di bawah Gecommitterde di Banyuwangi dianggap
sebagai Hoofd van Gewestelijk Bestuur, yaitu sebagai satu Administrative Indeling
yang meliputi Bali dan Lombok.14 Menyusul setelah Djembrana diberi perluasan
Administrative Toezicht, berdasarkan Ind. Stbl 1862 nr 30, di situ ditempatkan
seorang Kontrolir di bawah Assistent Resident di Buleleng. Pengawasan
terhadap raja-raja di Bali dan Lombok, untuk menaati perjanjian tersebut,
dilakukan oleh Assistant Resident dari Afdeling Banyuwangi di Jawa Timur (Ind
Stbl 1849 nr 39). Diangkat juga Gecommitteerde voor de Zaken van Bali en
Lombok, bertugas mengawasi dan tidak ikut campur urusan dalam negeri kerajaan
di Bali sampai 1882. Kerapkali Gecommitetterde hanya menjalankan satu tugas
volkenrechtelijk, yaitu bertindak sebagai juru damai – mediator - antara raja-raja
yang terus-menerus berselisih.15
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1861 membuat keputusan
penting dengan mengeluarkan dua Gouvernementbesluit tertanggal 20 April 1861
nr 7 dan Gouvernementbesluit tanggal 13 Oktober 1861 nr 9, yang memuat
regelen van bestuur untuk swapraja-swapraja Buleleng dan Djembrana, yang
terdiri dari 24 Pasal dan dianggap sebagai kcnstitusi tertulis bagi swapraja
Buleleng dan Djembrana. Meskipun regelen van bestuuur ini resmi merupakan
hasil perundingan dengan raja-raja di kedua wilayah tersebut, tetapi mengingat
dibuat dalam situasi tekanan pihak pemerintah kolonial, tentu sangat membatasi
kewenangan raja-raja, jika dibandingkan kekuasaan mereka sebelum tahun 1854
dan tahun 1855.16 Pemerintah kolonial Hindia-Belanda secara resmi melakukan
pembagian wilayah (teritorial) administratif setelah tanggal 1 Juli 1881 dengan
membentuk Karesidenan Bali dan Lombok di bawah pimpinan seorang residen
yang bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Jenderal di Batavia dan
berkedudukan di Singaraja (Bali). Ketika itu, Bali dibagi atas dua afdeling
(wilayah) meliputi Bali Utara dan Bali Selatan dan Assistant Resident-lah
bertanggungjawab atas kedua wilayah tersebut.
17
Ketika pulau Bali sudah di bawah kekuasaan pemerintah kolonial HindiaBelanda pada tahun 1908, Karangasem, Bangli, dan Gianyar kemudian diberi
status yang sama, yakni sebagai gouvernements landschappen (daerah-daerah
swapraja di lingkungan kekuasaan Gouvernement) dan diperintah oleh seorang
pegawai Bumiputera sebagai penguasa tertinggi, yang masih berasal dari
keturunan raja-raja di daerah itu dan dalam pelaksanaan pemerintahan seharihari didampingi oleh controleur (kontrolir) seorang pegawai kolonial HindiaBelanda. Berbeda halnya dengan Klungkung, Badung, Tabanan, Djembrana, dan
Buleleng masih berstatus sebagai onderafdeling (sub-wilayah) biasa, yang
dipimpin oleh pejabat pegawai Hindia-Belanda yang disebut kontrolir tadi.
18
Kemudian pada tahun 1929 Residen J.J. Caron mengadakan perombakan
birokrasi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda besar-besaran di Bali. Daerahdaerah gouvernements landschappen dihapuskan dan dibentuk delapan subwilayah. Buleleng dan Djembrana di lingkungan wilayah Bali Utara langsung
ditempatkan di bawah daerah kekuasaan Residen, sedangkan Bali Selatan terdiri
dari sub-wilayah Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem
di bawah Assistant Resident yang berkedudukan di Denpasar. Di setiap subwilayah tersebut diangkat seorang petugas bumiputera yang memegang kekuasaan
tertinggi dan diberi nama negara bestuur (penguasa negara), yang belum
mempunyai negara bestuurder baru dapat dipilih dari keluarga raja-raja dan
didampingi oleh seorang kontrolir.
Berdasarkan perubahan pemerintahan di seluruh Hindia-Belanda secara
besar-besaran mulai tanggal 1 Juli 1938 dibentuklah Het Gewest de Grote Oost
(Propinsi Timur Besar) dan Bali termasuk dalam wilayah itu. Pemerintah kolonial
kemudian membentuk daerah-daerah swapraja yang terdiri dari delapan subwilayah. Kemudian negara bestuurder berubah menjadi Zelfbestuur. Kedudukan
raja dikukuhkan melalui suatu Korte Verklaring,
19 (Pernyataan dari raja untuk
tetap setia kepada Raja Belanda dan peraerintah kolonial Hindia-Belanda). Daerah
swapraja diberi otonomi dan mempunyai peraturan sendiri (Zelfbestuursregelen,
1938), raja pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda
diwakili kontrolir sebagai “penasehat raja” di dalam wilayah swapraja. Kenyataan
memperlihatkan lain bahwa kontrolir yang bertugas sebagai penasehat raja, justru
kelihatan lebih berkuasa dan kerapkali ikut campur dalam urusan pemerintahan di
daerah tersebut.
20 Pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah mengembangkan
suatu birokrasi pemerintahan Belanda-Bali yang berpautan dan tersusun rapi:
residen dan kontrolir, raja (regent), dan punggawa (kepala distrik) membentuk
susunan hierarkis dengan tujuan mengatur seluruh persoalan orang pribumi
termasuk kehidupan petani di pedesaan Bali.
Kehadiran birokrasi baru pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah
menghancurkan ikatan pelayanan perseorangan antara bangsawan dan bawahan
yang dihapuskan dan diganti dengan hubungan pemerintahan wilayah (teritorial).
Pemerintah kolonial menempatkan posisi mereka sedemikian rupa dengan
berupaya mengurangi peranan raja atau kaum bangsawan dalam memanipulasi
ikatan tradisional yang menjerat petani melalui sistem persekutuan-persekutuan
pedesaan di Bali. Kekuasaan raja yang sangat besar pun semakin dikurangi; bukan
hanya oleh seringnya terjadi pertempuran yang dilakukan melainkan juga dengan
dihapuskannya berbagai sistem perpajakan tradisional dan sistem ikatan patronklien yang sengaja diciptakan raja atau kaum bangsawan.
Bali, sebelum di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda
secara keseluruhan pada tahun 1908. Di Bali Selatan, masih dijumpai pemisahan
antara pemerintahan banjar dan desa dengan kepala-kepala pengayah kedalem;
persekutuan-persekutuan tersebut hanya mengurusi kepentingan mereka sendirisendiri, misalnya mengurusi tempat pemujaan. Kepala pengayah kedalem
mengurusi berbagai kepentingan pemerintahan raja. Menyelenggarakan
pelaksanaan upacara di tempat pemujaan milik puri, mengurusi kepentingan purapura yang besar, mengadakan perbaikan dan pemeliharaan tanggul-tanggul dan
pipa saluran air. Selain itu, kepala pengayah ini menjadi perantara dari subak di
pedesaan dengan raja-raja di Bali Selatan. Tetapi, pada tahun 1908, ketika seluruh
Bali sudah ditempatkan di bawah kekuasaan birokrasi pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda dilakukan penataan (penyusunan) kembali pelbagai struktur
kemasyarakatan yang berkembang di Bali. Kebijakan pemerintah kolonial Hindia
Belanda mulai sejak itu memasukkan kekuasaan pemerintah teritorial, berlawanan
dengan keadaan sebelum itu yang hanya mengenal kepala-kepala pengayah
kedalem yang tinggal dan bercampur-baur dengan masyarakat petani di
pedesaan.21
Dalam memudahkan pelaksanaan pemerintahan dimasukkan kepalakepala pengayah kedalem yang lama ke dalam struktur birokrasi baru sebagai
perantara antara punggawa dengan desa atau perkumpulan bumiputera
(rechtsgemeenschap), karena jumlah desa dan banjar terlampau besar untuk
dikepalai oleh satu orang punggawa .
Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda yang baru telah melakukan
retrukturisasi sistem pemerintahan di daerah swapraja Klungkung, ialah dengan
melakukan pembentukan tiga distrik di Klungkung terdiri dari Banjarangkan,
Klungkung, dan Dawan. Pemerintahan setempat sebelumnya dihapuskan dan
kepala-kepala pengayah kedalem yang dulu dijadikan kepala pemerintah. Klian
pengliman memimpin kurang lebih 200 orang berdinas wajib dan di atas
beberapa pengliman ada perbekel (yang dinamakan bendesa). Dengan
demikian, klian pengliman membawahi satu banjar gede atau beberapa banjar
kecil.22 Berlainan dengan penyusunan kembali pemerintahan di Gianyar
yang dikaitkan dengan persekutuan banjar dan memakai klian banjar dengan
memberi dua fungsi, ialah: mengurusi persoalan-persoalan intern banjar (namun
kadangkala dijumpai dua banjar kecil digabungkan menjadi satu) dan mengurusi
berbagai kepentingan pemerintah sebagai kepala pemerintahan terendah.
Penyusunan atau pembentukan kembali pemerintahan di desa; di mana di daerah
kekuasaan desa tersebut ditempatkan seorang perbekel yang dulu sebagai kepala
pengayah kedalem sedangkan kepala desa sebenarnya, klian desa atau bendesa
tetap diberi kewenangan menangani segala urusan yang dianggap penting dari
desa tersebut.
Kerajaan-kerajaan feodal bumiputera di Bali masih tetap mengikat petani
setelah pemerintah kolonial menguasai seluruh Bali berkenaan dengan tanah
pertanian di pedesaan? Kekuasaan raja di Bali kerapkali tampak melalui hubungan
pemberian tanah/ sawah pecatu.
24 Dalam pemberian tanah pecatu raja mempunyai
kekuasaan yang meliputi: - menuntut penyerahan hasil pertanian yang kurang baik
atau penggarap tanah pecatu meninggalkan lahan - tanah dapat dikuasai kembali
tetapi terbatas pada sawah yang ditempati petani-petani yang melarikan diri
karena peperangan - raja mempunyai kewenangan menguasai tanah kembali
karena pengayah kedalem meninggal dunia atau camput (mati punah) tanpa
meninggalkan keturunan pun atau sentana.
25 Petani sebagai produsen langsung
yang memperoleh tanah pecatu masih dikenai dengan memikul berbagai
kewajiban, misalnya seperti (1) Menjalani dinas sebagai prajurit kerajaan. (2)
Setiap saat diwajibkan melakukan berbagai pekerjaan di lingkungan puri (istana
raja rumah bangsawan tinggi). (3) Menyerahkan bahan-bahan mentah atau hasil
bumi untuk kepentingan puri. (4) Melaksanakan pekerjaan dalam
menyelenggarakan pesta upacara nyepi yang dilakukan setiap tahun. (5)
Menyerahkan ayam jantan sebagai kegemaran raja untuk sabungan ayam
yang diadakan setiap tahun. (6) Melaksanakan pekerjaan untuk keperluan upacara
di pura negara yang besar atau di pura keluarga raja. (7) Pekerjaan-pekerjaan di
empelan (bendungan) dan tanggul-tanggul oleh pengayah kedalem yang menjadi
kepunyaan persekutuan pertanian.
Keadaan pemerintahan banjar dan desa sebelum tahun 1908 di Bali tidak
mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan
pemimpin persekutuan-persekutuan ini hanya mengurusi kepentingan intern
banjar dan desa. Perbekel, pengayah kedalem memimpin perbuatan-perbuatan
dari dinas ayahan kedalem, termasuk ayahan pura dan sebagainya. Dengan
demikian, perbekel menyalurkan orang-orang pekerja dari pemerintahan kerajaan
di Bali. Kepentingan raja dan keluarga raja jatuh bersamaan dengan kepentingan
pemerintahan kerajaan. Panglima-panglima dari orang-orang pekerja memperoleh
keuntungan materi, jika raja memberi mereka satu atau lebih tanah garapan dari
tanah druwe atau dari tanah pecatu dalam menikmati hasil tanpa memiliki tanah
sebagai imbalan.
Keseluruhan masalah yang berkaitan dengan tanah pertanian milik raja
ditangani oleh seorang sedahan agung (administrator kerajaan) yang diangkat raja
dan diberi tugas mengurusi semua hal yang berkaitan dengan penghasilan sawah
dan ladang yang beraneka ragam. Misalnya, bagi hasil antara pemilik (raja)
dengan petani penggarap tanah sawah druwe dalem, mengurusi berbagai
pengeluaran biaya produksi sawah-sawah tersebut seperti sumbangan wajib yang
harus dibayar untuk pemeliharaan saluran irigasi, dan biaya selamatan di pertanian
untuk memuja Dewi Sri (dewi padi). Berhubung tanah milik raja berjumlah
banyak dan berpencar-pencar di berbagai tempat, maka untuk satu kelompok
sawah diangkat semacam petugas atau mandor yang bertugas memeriksa
tanaman-tanaman yang ditanam penggarap dan mengawasi pada saat panen serta
membagi hasil yang menjadi hak penggarap dan pemilik (raja). Mandor
bertanggung-jawab kepada sedahan (administrator) yang melakukan pembukuan
mengenai hasil penjualan yang diperoleh dari proses produksi. Pembukuan dari
administrator dan kasir yang memegang uang kontan terakhir diperiksa oleh raja.
Pengeluaran rumah tangga kerajaan di Bali dibiayai dari penghasilan tanah
milik pribadi raja. Ide Anak Agung Gde Agung raja menyatakan, raja Gianyar
memiliki tanah sekitar 200 hektar, suatu jumlah yang besar sekali dibandingkan
dengan milik petani.26 Penghasilan dari tanah pertanian digunakan raja untuk
membiayai keperluan rumah tangga raja termasuk mengadakan pesta dan jamuan
makan tamu agung kerajaan; memberi makan begitu banyak orang yang
bertempat tinggal di puri; melaksanakan pesta upacara adat dan agama. Pekerjaan
bangunan dilakukan oleh tukang-tukang yang diberi tanah oleh raja di mana
seluruh hasil produksi tanah tadi diberikan kepada mereka yang tetap bekerja
untuk kepentingan puri. Pekerjaan tukang dibantu buruh yang terdiri dari petani
penyakap tanah milik raja yang cukup diberi makan jika tenaga mereka
diperlukan. Pemberian pelayanan pribadi kepada raja di Bali tersebut diikat oleh
tradisi yang dilandasi adat-istiadat tradisional bahwa petani penyakap
berkewajiban untuk membantu pemilik tanah bila diperlukan tenaga kerja
tambahan dalam melakukan suatu pekerjaan pada pemilik tanah.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda membuat ketentuan dalam satu
paswara pada tahun 1908 yang membatasi ketentuan-ketentuan pemberian
pelayanan pribadi dan memberikan bahan mentah untuk kepentingan puri.
Ketentuan baru pemerintah kolonial tersebut menegaskan pemilik sawah pecatu
harus menunaikan kerja paksa selama dua puluh hari kerja, menyerahkan dua
bambu, tiga atap, dan enam batu paras, sedangkan untuk pecatu tegalan satu
bambu dan lima ratus genteng bambu. Kewajiban-kewajiban dari nomor 4 sampai
dengan 7 dihapuskan, karena kewajiban terhadap ucapara nyepi, tanggul-tanggul
dan saluran tidak pernah terdapat dalam kesusasteraan di Bali. Karena itu dinasdinas ayahan kedalem yang dianggap sama dengan dinas-dinas puri dihapuskan
pemerintah kolonial tanpa diketahui keadaan di lapangan. Pengayah kedalem di
Bangli masih mengerjakan perawatan pura-pura negara yang besar dan pura-pura
keluarga raja (regent), yang mana mereka manaruh perhatian.
Penghapusan berbagai kewajiban melaksanakan pekerjaan di puri Gianyar
dan Bangli tidak pernah dihapuskan tanpa suatu alasan. Menurut peraturan
perundang-undangan pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1917,
dinas-dinas ayahan kedalem tidak sesuai lagi. Dalam melakukan penghapusan
dinas-dinas tersebut yang dianggap sebagai hukum yang mengatur hubungan
antara warga negara dengan pemerintah disertai dengan memberikan biaya pribadi
kepada orang yang namanya tercantum dalam Staatsblad 1917 Nomor 518, karena
mereka kehilangan dinas-dinas ayahan kedalem. Meskipun demikian, regent
Bangli menolak menerima tunjangan pribadi, regent Bangli menerangkan bahwa
telah terdapat kesepakatan antara raja dengan petani yang memegang tanah pecatu
menurut hukum perdata, yang mana penyerahan tanah pecatu kepada pemilik atau
penggarap disertai kewajiban-kewajiban terhadap raja. Pemerintah kolonial
Hindia-Belanda boleh menghapuskan dinas-dinas ayahan kedalem, tetapi raja
minta kembali sawah pecatu sebagai druwe (tanah itu ketnbali menjadi milik raja
sendiri).
Berbeda halnya dengan keadaan di Klungkung, dinas-dinas ayahan
kedalem telah dihapuskan sejak tahun 1908, setelah itu dibuat perbedaanperbedaan tegas antara dinas-dinas wajib pengayah kedalem dengan pekerjaan
yang lain. Disebutkan tidak ada lagi dinas-dinas ayahan kedalem dilakukan
kepada raja, oleh karena itu petani yang memiliki tanah pecatu ditetapkan
memperoleh dua bagian sedangkan satu bagian lagi diserahkan sebagai kerja
paksa biasa sampai ketentuan ini dihapuskan tahun 1916. Kenyataan
menunjukkan lain sampai tahun 1922 pemilik tanah pecatu di Bali masih dibebani
oleh pekerjaan menyelenggarakan upacara nyepi. Keadaan pengaturan masih tidak
teratur. Kebijaksanaan pertanahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda terkait
dengan tanah pecatu di Klungkung sejak tahun 1908, di Gianyar dan Bangli sejak
1917 masih tidak pasti. Apakah dalam dinas-dinas puri yang sudah dihapuskan
pemerintah kolonial itu juga termasuk dinas-dinas yang lain? Hal ini tidak dapat
dipastikan dan penyelesaian persoalan ayahan dalem makin lama menjadi
semakin rumit, karena banyak dijumpai tanah pecatu yang digadaikan atau dijual
oleh petani.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Bali melakukan penggantian dari
perbekel pengayah kedalem diganti menjadi perbekel atau kepala kumpulan
perbekel di distrik Gianyar; klian banjar, pekaseh dan pemangku sebagian
dipecat, sedangkan perbekel yang dipecat kadangkala tidak kehilangan lapangan
pekerjaan mereka karena diberikan tanah bukti atau pecatu; kepala pengayah
kedalem yang diangkat dalam organisasi pemerintahan desa yang baru masih
memegang tanah jabatan yang dulu atau pemerintah kolonial memberikan
sebagian dari tanah jabatan. Di distrik Gianyar, ditetapkan bahwa setiap perbekel
atau kepala kumpulan perbekel memperoleh lapangan kerja berupa lahan empat
tenah dan setiap klian banjar, klian subak dan bendesa satu tenah.
Ketika puputan Klungkung diakhiri dengan kekalahan di pihak kerajaan
Klungkung dari penjajah Belanda mengakibatkan tanah druwe atau tanah
kepunyaan Dewa Agung dan keluarga kerajaan dirampas dan menjadi milik
pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian tanah milik raja atau tanah druwe
diberikan kepada pribumi yang telah diangkat menjadi regent dan tanah tersebut
didaftarkan seperti tanah bukti kepunyaan perbekel pengayah kedalem yang
dimasukkan sebagai perbekel (yang kemudian di Klungkung disebut bendesa),
kepala kumpulan perbekel dan sebagai klian pengliman ke dalam organisasi baru
pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Pemerintah mencatat berbagai tanah jabatan
yang terdiri dari (1) tanah jabatan yang benar-benar diperoleh dari sawah druwe;
(2) bukti pengayah kedalem yang dulu; (3) bertalian dengan sejumlah klian subak,
dan juga sawah pecatu.
Kebijakan pertanahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda di pedesaan
Bali dimaksudkan untuk melakukan terobosan di bidang ekonomi. Langkahlangkah yang ditempuh tidak hanya memperbaiki struktur supra-lokal, tetapi
lebih jauh dari itu, dengan meletakkan perubahan struktur pemerintahan
desa dan fungsi posisi pejabat desa di Bali sebagai basis yang dapat
menunjang kepentingan perekonomian dan keberadaan pemerintah kolonial
dengan mengurangi dan menekan sedikit mungkin seluruh kekuatan
politik, baik di tingkat lokal maupun supra-lokal. Untuk itu, pemerintah
kolonial Hindia-Belanda mengangkat kepala persekutuan pertanian sebagai
pegawai pemerintah. Dengan begitu segala kegiatan petani di pedesaan pun dapat
diketahui, karena petugas pemerintah ini bertugas selain mengurusi pengairan,
juga membantu melakukan registrasi tanah pertanian untuk kepentingan
pemerintah kolonial.
Kondisi perekonomian pemerintah kolonial Hindia-Belanda itu sebenarnya
baru mulai tampak mantap sekitar 1859; tanah-tanah yang tidak terdaftar dirampas
oleh pemerintah Hindia-Belanda; peningkatan produksi komoditi masih
diletakkan pada komoditi padi, tembakau, kopi, kelapa, minyak kelapa, dan
babi.27 Peningkatan produksi padi dan komoditi lain diikuti oleh indikasi
peningkatan penerimaan pajak oleh pemerintah kolonial. Pada tahun 1859 di
daerah Buleleng pajak padi yang masuk sebesar f 1. 5.900 dan setelah itu di tahun
1880 pemasukan pajak meningkat, baik dari daerah Buleleng maupun Djembrana
mencapai fl. 149.600 belum lagi ditambah dengan pemasukan f 1. 33.300 pajak
tanah kering maupun dari pemungutan pajak-pajak yang lain.
Kebijakan perekonomian pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Bali kini
mengalami perubahan orientasi dari yang ditujukan untuk kepentingan
menghidupi kerajaan menjadi berorientasi ke pasaran luar negeri. Dengan
perkataan lain, Bali telah membuka diri dalam sistem perdagangan dengan daerah
lain di luar negeri maupun daerah lain di dalam negeri. Peningkatan ini tampak
dalam kalkulasi ekspor padi daerah Buleleng pada tahun 1859 telah mencapai
30.000 pikul seharga f 1. 100.000; padahal sebelum itu Bali secara umum belum
berperan dalam ekspor padi. Kemampuan ekspor padi semakin meningkat dan
mencapai titik tertinggi pada permulaan abad ke-20, yaitu sampai mencapai f 1.
500.000, ini merupakan ekspor tertinggi kedua setelah candu/ opium.
Dampak dari keinginan pemerintah Hindia-Belanda menguasai
perekonomian di seluruh Bali telah menjadi beban yang sangat berat bagi petani
di pedesaan. Pemerintah kolonial tidak hanya melakukan pencatatan pemilikan
tanah dan melakukan penaksiran baru terhadap tanah pertanian, lebih jauh dari itu,
pemerintah kolonial melakukan reorganisasi pemerintahan di pedesaan melalui
penyatuan-penyatuan desa di Bali menurut kehendak pemerintah kolonial itu
sendiri. Terlebih lagi setelah tahun 1908, penyatuan itu dimaksudkan untuk
mendapatkan kelompok-kelompok 200 orang wajib kerja rodi di sektor pertanian.
Mengingat sampai permulaan abad ke-20 pemerintah kolonial masih ingin
mempertahankan padi sebagai tujuan pokok ekspor Bali.
Perubahan-perubahan sistem perpajakan dilakukan secara besar-besaran
oleh pemerintah Belanda, seperti pernah dilaporkan oleh seorang kontrolir
bernama Bloemen Waanders, yang telah melakukan penelitian mengenai sistem
pemungutan pajak menurut sistem lama yang melalui beberapa tingkatan.28
Kemudian sistem pemungutan pajak oleh bangsawan lain mulai dihapuskan, dan
khususnya sedahan oleh pemerintah Belanda diintegrasikan dalam struktur baru
serta diharuskan memungut berbagai-macam pajak pemerintah kolonial.29
Kedudukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang semakin kokoh
mengakibatkan peranan kaum bangsawan terus semakin mengalami tekanan dari
pihak pemerintah kolonial.
Kebijakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk menata kembali
sistem perpajakan yang bertingkat-tingkat di Bali semakin menyudutkan
kedudukan petani sebagai produsen langsunglah, karena petani sebagai kekuatan
yang paling lemah/ bawah tentu lebih banyak terpukul dari kebijakan pemerintah
kolonial tersebut karena surplus yang dihasilkan petani dieksploitasi oleh
kekuatan-kekuatan dari luar.30 Begitu besar kekuatan-kekuatan dari luar yang
menyerap hasil produksi mereka, sehingga petani sebagai produsen langsung
semakin tidak mampu mempertahankan tingkat kehidupan mereka di pedesaan
Bali ditunjukkan oleh penguasaan tanah yang dimiliki rata-rata tanah 1 hektar,31
lahan pertanian mereka semakin berkurang setiap tahun dan jumlah orang-orang
tidak bertanah semakin bertambah.32 Kondisi kehidupan petani di pedesaan Bali
semakin merosot, didorong pesatnya pertambahan petani tidak mempunyai tanah
maupun perubahan-perubahan di tingkat makro. Di pihak lain, tanah pertanian di
Bali sebagian besar masih dikuasai oleh kelompok kecil tuan tanah, terutama
kaum bangsawan.
Mulai permulaan abad ke-20, perkembangan masyarakat agraris di Bali
menunjukkan kehidupan di pedesaan mengalami tekanan pertambahan penduduk
meningkat terus dengan sangat cepat di atas persediaan tanah yang jumlahnya
tetap mengakibatkan setiap tahun orang-orang yang tidak mempunyai tanah
mengalami peningkatan sehingga menambah kehidupan di sektor pertanian
semakin sulit. Korn melihat kemiskinan di Bali sebagai akibat dari depresi
ekonomi, lebih diperburuk oleh kekuasaan kaum bangsawan yang mempunyai
tingkatan yang lebih tinggi yang tidak dapat dikendalikan. Bangsawan siapa pun
yang memperoleh kekuasaan pada tingkatan lebih tinggi di Bali,
bersamaan dengan kondisi seperti itu dalam kebiasaan di Bali ditemukan
kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekuasaan kaum
bangsawan selalu diidentikkan dengan memperluas kemiskinan.33
Berdasarkan hasil penelitian H. Schulte Nordholt, sebagian besar petani
Bali memiliki sawah kecil (kurang lebih 0,5 hektar) dan petani bagi hasil
atau penyakap kira-kira 40% kepala keluarga, situasi sangat berbeda dengan
sebelum itu.34 Pemerintah kolonial sejak tahun 1920-an memperkenalkan
pembaruan sistem pajak tanah kolonial yang baru. Petani kemudian tidak hanya
membayar lebih dari sebelumnya, tetapi mereka juga membayar dengan sejenis
uang Belanda (Dutch Indies) atau dengan mata uang orang Bali (kepeng) .
Pembayaran pajak tanah baru dipikul penuh oleh petani penyakap atau dibagi
dengan pemilik tanah; sampai tahun 1930 pembayaran pajak baru atau landrente
tidak tampak menjadi masalah besar bagi petani. Kondisi demikian,
mengakibatkan peningkatan ekspor babi dan kopra oleh setiap rumah tangga di Bali mengalami peningkatan, suatu arus besar uang Belanda memasuki Bali, dan
dengan uang itu petani dapat membayar landrente. Bagaimana pun, ketika dalam
tahun 1931 terjadi depresi ekonomi di Bali yang mengakibatkan ekpor hampir
gagal, beberapa orang petani Bali mengalami kesulitan karena kehilangan
kesempatan mereka membeli kebutuhan uang Belanda. Langkah-langkah
pemerintah kolonial dalam menghadapi krisis datang sangat terlambat dan ini
mempengaruhi cadangan uang Belanda menjadi habis terlebih lagi setelah ekspor
emas dan perak dari Bali menunjukkan indikasi penurunan. Meskipun tahun 1934
tingkat pendapatan pajak tanah pemerintah kolonial lebih rendah, tetapi itu bukan
disebabkan petani memperoleh keringanan pajak tanah, melainkan karena
kemampuan petani penyakap semakin berkurang dalam membayar pajak tanah.