Home »
kolonial belanda
» kolonial belanda
kolonial belanda
Benteng VOC di Jepara atau Fort
Japara , yang oleh masyarakat setempat
lebih dikenal dengan nama Lodji
Gunung, terletak di bukit Donorojo,
Jepara. Benteng itu dibuat oleh VOC
pada pertengahan kedua abad 17,
dengan tujuan untuk melindungi aktivitas perdagangan Belanda. Namun
demikian pendirian benteng VOC di
Jepara itu, yang bahkan kemudian menjadi pusat kekuasaan VOC di Pantai Timur Laut Jawa (Java Noord Oostkust),
memiliki kaitan yang erat dengan sejarah kerajaan Demak dan Jepara di
bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Pada jaman Demak, Jepara merupakan pelabuhan militer kesultanan Demak, dan dari Jepara pula ekspedisi militer laut ke Malaka untuk mengusir
Portugis dipersiapkan dan diberangkatkan. Pada jaman pemerintahan Ratu Kalinyamat, pelabuhan Jepara makin
berkembang menjadi bandar yang besar
yang mempunyai fungsi baik dalam bidang ekonomi dan militer. Meskipun
kemudian Jepara dikuasai oleh Mataram Islam, pelabuhan Jepara masih difungsikan sebagai pusat perdagangan
terutama untuk ekspor beras oleh
kesultanan Mataram, dan juga membawahi daerah-daerah pantai lainnya
seperti Jepara, Gresik, Tuban, Rembang,
Pati, Kudus, Surabaya, Pasuruan dan
sebagainya.
Sampai dasawarsa pertama abad
ke 18 Jepara yang dilengkapi dengan
benteng yang megah masih merupakan
pusat kekuasaan VOC di wilayah pantai
Timur Laut Jawa. Namun demikian
fungsi benteng semakin menurun sejalan dengan semakin merosotnya aktivitas perdagangan. Sebagai penyebab
utamanya adalah dipindahkannya pusat
kekuasaan VOC di wilayah Pantai Timur Laut Jawa dari Jepara ke Semarang. Sejak saat itu fungsi Jepara dan
pelabuhan Jepara sebagai pusat
p e r d a g a n g a n s e m a k i n m e r o s o t .
Demikian juga keberadaan Fort Japara
menjadi semakin tidak terurus, rusak,
meskipun puing-puing bekas kemegahannya masih bisa disaksikan sampai
sekarang ini.
Permasalahan utama yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah
mengenai latar belakang dan tujuan
pembangunan benteng VOC di Jepara.
Di samping itu juga akan disajikan bukti
-bukti sejarah yang berupa gambaran
mengenai keberadaan benteng VOC di
Jepara.
Keruntuhan Kota-Kota Maritim di
Jawa dan Munculnya Benteng VOC
Pembangunan benteng-benteng
VOC di Nusantara merupakan awal
dari kolinialisme Barat khususnya Portugis dan Belanda di Nusantara, sebab
dengan benteng-benteng itu Belanda
tidak hanya melakukan kegiatan
perdagangan, tetapi juga melakukan
ekspansi dan intervensi dengan
kekuatan militer. Kedatangan bangsa
Barat pertama di Nusantara misalnya,
dilakukan dengan penaklukan Malaka
oleh Portugis pada tahun 1511. Pada
waktu itu para pelaut dan pedagang
yang bermukim di Malaka terutama
terdiri dari suku bangsa Jawa seperti,
Jepara, Tuban, Gresik dan para pedagang Timur asing lainnya. Sebagai salah
satu reaksi direbut dan dikuasainya Malaka oleh Portugis adalah dilakukannya
ekspedisi militer dari kesultanan Demak
dan Jepara dengan tujuan untuk mengusir Portugis. Ekspedisi itu pernah dilakukan dua kali, yang pertama di
bawah pimpinan Pangeran Sabrang Lor
atau juga Pati Unus pada tahun 1512
dan 1513, dan atas perintah Ratu Kalinyamat pada 1551 dan tahun 1574 (de
Graaf & Pigeaud, 1974: 440). Tujuannya
tentu saja untuk mengusir Portugis dari
Malaka. Reaksi lainnya, yang juga diwarnai oleh alasan sentimen keagamaan, para pedagang dari Jawa, India
dan Timur Tengah dan sebagainya
menghindar untuk melakukan hubungan dagang dengan orang-orang
Portugis yang Kristen. Dalam hal ini
mereka mencari kota-kota pelabuhan
yang berpenduduk Muslim, antara lain
ada yang berpindah ke Aceh, Makasar,
Banten, Sunda Kelapa, Brunai, Johor
dan kota-kota pelabuhan lainnya di
sepanjang pantai utara pulau Jawa. Untuk yang disebut terakhir, jatuhnya Malaka tersebut semakin mendorong
berkembangnya beberapa emporium di
sepanjang pantai utara Jawa seperti Demak, Jepara, Banten, Cirebon, Surabaya,
dan sebagainya. Artinya bahwa kehadiran Portugis sebagai pesaing utama
para pedagang Islam di Asia Tenggara
secara tidak langsung semakin mendorong militansi dan spirit orang-orang
Jawa dalam perdagangan dan pelayaran. Akan tetapi pertumbuhan
ekonomi kerajaan-kerajaan pantai di
sepanjang pantai utara Jawa itu menimbulkan kecurigaan atau bahkan ancaman bagi Portugis di Malaka.
Pada saat yang sama, kota-kota
pelabuhan atau emporium di sepanjang
pantai utara Jawa juga terancam oleh
munculnya pusat kekuasaan baru di
Jawa yang menggantikan Demak yaitu
Kasultanan Pajang, setelah meninggalnya Sultan Trenggono pada tahun 1546.
Sultan Trenggono wafat ketika sedang
memperebutkan kota Pasuruhan.
Setelah Trenggono wafat, para pengikut
Sultan Trenggono saling bertempur
sendiri tidak hanya untuk memperebutkan Pasuruhan, akan tetapi juga Demak,
sehingga banyak rakyat yang meninggal
dan kapal-kapal perang menjadi hilang.
Kemunduran Demak ini berimbas pada
Jepara, tetapi dengan melemahnya para
pedagang dan pelaut Jawa ini justru
membuat Portugis mengambil alih
perdagangan orang-orang Jawa di Maluku, dan orang-orang Moor (Islam), di
Lautan Hindia.
Pada waktu itu Sultan Pajang memang mempunyai ambisi untuk memperluas wilayah kekuasaannya, terutama ke daerah-daerah atau kota-kota
pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa.
Motivasi utamanya adalah untuk men-guasai perdagangan ekspor-impor Jawa
dengan daerah-daerah sebarang melalui
kota-kota pelabuhan tersebut. Untuk
mewujudkan citacita-nya itu, Sultan Pajang mulai melakukan ekspedisi militer
atau penyerangan-penyerangan, dengan
Kudus dan Demak sebagai korban pertamanya. Baru pada tahun 1599 Jepara
dengan susah payah berhasil dit u nd u k ka n. Se lan j ut ny a s et el ah
Kesultanan Pajang surut, kerajaan Mataram sebagai penggantinya pada awal
abad XVII melanjutkan melakukan ekspansi ke wilayah kota-kota pantai utara
Jawa. Khusus untuk kesultanan Cirebon
tidak dihancurkan, tetapi secara bertahap didorong oleh Mataram untuk
menjadi negara feodal. Kerajaan ini
akhirnya tertarik dalam orbit kerajaan
Mataram dan berubah menjadi sebuah
kerajaan pantai feodal (Sulistiyono,
1994: 135-139). Sebagai akibat ekspansi
dan penaklukan-penaklukan itu adalah
rusaknya hampir semua sumber
ekonomi kerajaan-kerajaan pantai ini,
dan terjadinya eksodus para pelaut dan
pedagang ke berbagai pelabuhan di Luar Jawa seperti Makassar dan Banjarmasin (De Graaf & Pigeaud, 1989: 24-29;
Burger, 1975, I: 26).
Setelah surutnya Kesultanan Pajang, muncul kasuktanan Mataram di
Yogyakarta di bawah pemerintahan raja
Sultan Agung (1613-1645). Seperti Sultan Pajang, ia berusaha melanjutkan
penaklukan kota-kota pelabuhan di
sepanjang pantai utara Jawa. Hasilnya
seluruh pelabuhan di pantai utara Jawa
Tengah dan Jawa Timur, termasuk Madura, berada dalam wilayah kekuasaan
Mataram. Keberhasilan itu memang bisa
dimengerti, karena dari segi militer,
pemerintahan Sultan Agung dalam sejarah kerajaan Mataram Islam bisa
dikatakan yang terkuat di antara rajaraja Mataram sebelumnya. Namun
demikian pada masa itu ia harus berhadapan dengan armada laut Belanda
(VOC) yang jauh lebih kuat. Sebagai
contoh dalam peperangan menumpas
pemberontakan Trunajaya dari Madura
armada raja Mataram walaupun
jumlahnya banyak yaitu sekitar 1000
perahu, tetapi hanya terdiri dari perahuperahu nelayan yang lebih pantas untuk
angkutan penumpang. Sebaliknya
Kompeni memiliki armada khusus, yaitu fregat-fregat yang dirancang untuk
pertempuran laut. Dengan demikian
dari segi kemampuan tempur armada
laut Mataram jauh di bawah tandingan
armada kompeni (Nagtegaal, 1996: 68-
69).
Sementara itu, kedatangan Portugis di Nusantara yang telah berhasil
menguasai Malaka, disusul dengan kedatangan Belanda dengan VOCnya yang
tujuannya tidak lain untuk menguasai
dan memonopoli aktivitas perdagangan.
Apalagi berbagai komoditi dari Nusantara, khsusnya rempah-rempah, sudah
memiliki supply and demand yang relatif
mapan baik dalam perdagangan internasional maupun perdagangan antar
daerah. Akan tetapi untuk memperoleh
dominasinya di Nusantara, baik Belanda maupun Portugis menjalankan
sistem perdagangan yang dipersenjatai
(armed-trading system) (Pierre-Ives
Manguin, dalam Reid (ed.), 1993: 198-
199). Selanjutnya sistem perdagangan
yang dipersanjatai cenderung mendorong terjadinya proses militerisasi
akivitas perdagangan di Nusantara.
Artinya baik Portugis maupun Belanda
menggunakan kekuatan militer untuk
mendukung ekspansi perdagangannya.
Hal itu bisa dimengerti, apalagi semboyan mereka adalah ‘no naval do trading, no fear no friendly’, dan Portugis juga mengumumkan ‘Perang Salib di lautan’(Chauduri, 1989: 15).
O l eh k a r en a Ma la ka s u da h
dikuasai Portugis, Belanda mengalihkan
perhatiannya ke Maluku sebagai pusat
produsen rempah-rempah. Sesudah
menguasai Maluku, termasuk Ambon,
Belanda bergerak ke Jawa, yang sebagian besar sudah dikuasai oleh Mataram.
Dengan cara militer, intervensi dalam
konflik intern kerajaan-kerajaan di Jawa
dan adu domba (devide et impera)
kompeni VOC akhirnya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa. Di setiap kota
yang berhasil dikuasai, VOC mendirikan benteng untuk melindungi kepentingan bisnis mereka ,Selanjutnta kota-kota pelabuhan itu
ditempatkan atau diintegrasikan dalam
sistem jaringan dagang VOC. Dalam
banyak kasus, Belanda berusaha untuk
membuat perjanjian-perjanjian yang
berfungsi untuk menjamin keuntungan
monopoli mereka dalam produksi dan
perdagangan . Perjanjian-perjanjian yang mengikat itu merupakan hal baru, menjerat dan tidak
lazim di antara para penguasa pribumi
di Nusantara.
Setelah berhasil menguasai kotakota pelabuhan di pantai utara Jawa,
VOC mulai menaruh perhatiannya ke
luar Jawa. Di Banjar atau Banjarmasin
yang telah dikenalnya sejak 1596, sementara orang Portugis sebelumnya telah membeli kapur barus, berlian dan
batu bezoar, Belanda berusaha mengusai atau memonopoli perdagangan lada.
Akan tetapi usaha itu tidak berjalan
dengan tanpa hambatan karena para
kepala pribumi di sana selalu menolaknya. Baru pada 1635 baru berhasil dibuat kontrak monopoli perdagangan lada.
Setelah beberapa dekade sebelumnya berhasil menancapkan monopolinya atas kepulauan Maluku seperti
Ambon dan Ternate pada tahun 1605
dan Banda pada tahun 1609, dan merebut Malaka dari tangan Portugis tahun
1641 ,VOC berusaha untuk menguasai Makasar di Sulawesi,
yang bagi Belanda dipandang sebagai
musuh yang paling berbahaya di Indonesia bagian timur dalam rangka menegakkan monopolinya. Demikianlah
setelah melaui perang yang kejam, Belanda berhasil menaklukkan Makasar
pada tahun 1667. Pada tahun itu Sultan
Hasanuddin menandatangani Perjanjian
Bongaya. Setelah penaklukan Makasar
bisa dikatakan VOC berhasil menguasai
hampir kota-kota pelabuhan atau kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara. Selanjutnya dengan politik dagang monopolinya, VOC semakin berjaya di
Nusantara. Akan tetapi monopoli itu
t i d a k h a n y a d i k e n a k a n k e p a d a
penduduk pribumi, tetapi juga kepada
bangsa Eropa yang lain. Dalam
perdagangan misalnya, VOC merupakan kekuatan yang memaksa dalam
menentukan harga penjualan produk
lokal. VOC juga melarang penjualan
rempah-rempah kepada orang Eropa
lain dengan ancaman hukuman. Dengan
cara begitu VOC telah mempermiskin
daerah Luar Jawa, menghancurkan
perdagangan masyarakat setempat sehingga sulit untuk bisa bangkit kembali
Rempah-rempah
dan hasil-hasil hutan dari Luar itu Jawa
dikirim ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa untuk selanjutnya dikapalkan ke
Eropa oleh VOC. Dengan demikian
VOC melakukan reformasi jaringan
perdagangan di Nusantara, dan disesuaikan dengan jaringan pelayaran
global
Salah satu kunci keberhasilan
VOC menguasai kerajaan-kerajaan pribumi adalah penggunaan taktik/ politik
devide at impera, yang berarti memecah
belah dan menguasainya. Taktik ini biasanya lebih sering digunakan untuk
memperbesar atau memperparah konflik-konflik intern dalam kerajaankerajaan di Nusantara, terutama konflik
-konflik atau perang-perang suksesi.
Rentetan tahun-tahun berikut menunjukkan betapa efektifnya penguasaan
VOC di Indonesia. Setelah VOC menjadikan Batavia
sebagai pusat jaringan perdagangan di
Asia Tenggara, Belanda banyak terlibat
dalam konflik perebutan tahta di Jawa
Sebagai contoh
pengganti Sultan Agung yaitu Sunan
Amangkurat I (1645-1677) yang membangun kraton di Plered, tidak jauh dari
Karta dan masih termasuk wilayah Yogy a k a r t a , h a r u s m e n g h a d a p i
persekongkolan Kajoran (1662-1667)
dengan pemberontak Trunajaya yang
mengancam dan membahayakan singgasana Mataram. Berkat bantuan
Kompeni VOC, perlawanan Kajoran
berhasil dipadamkan, sedangkan
Trunajaya berhasil menyelamatkan diri
ke Jawa Timur. Sebagai imbalan atas
jasa Kompeni tersebut, maka ditandatangani 2 perjanjian yang dipaksakan,
yaitu pada bulan Agustus dan September 1646 , Dalam perjanjian itu VOC diijinkan mendirikan loji (kantor dagang) di Semarang,
d a n m e n e r i m a h a k m o n o p o l i
perdagangan dari raja ,
Dengan mengeksploitasi konflik
internal di kalangan bangsawan, Belanda dapat mengambil keuntungan
untuk mengurangi kekuasaan penguasa
pribumi sehingga tergantung kepada
Belanda. Hingga perempatan terakhir
abad XVIII secara bertahap Belanda telah berhasil menempatkan Mataram,
Banten, dan dalam derajat tertentu Cirebon berada di bawah ‘perlindungan’
VOC, setelah sebagian besar wilayah
kekuasaannya jatuh ke tangannya.
Lebih dari pada itu, dengan menguasai
daerah-daerah yang sangat produktif di
Jawa, khususnya kota-kota pelabuhan,
VOC mendapatkan penghasilan pajak
(cukai) pajak dan berbagai penyerahan
dari beberapa daerah secara langsung.
VOC juga mengintroduksikan tanaman
baru yang laku keras di pasaran internasional seperti kopi. Oleh karena sangat manguntungkan, maka VOC cenderung menjadikan Jawa sebagai pusat
kekuasaannya dengan memprioritaskan
eksploitasi sumber kekayaan dan
kesuburan alam Jawa, sementara
kekuasaan maritim atas daerah-daerah
Luar Jawa (termasuk Malaka) cenderung menurun hingga hancurnya kongsi
dagang ini pada tahun 1799 ,
Pembangunan Benteng VOC di Jepara
Benteng Jepara atau dalam bahasa
Belanda disebut dengan istilah Fort Japara, dan yang oleh masyarakat Jepara
lebih dikenal dengan sebutan Lodji
Gunung, sekarang ini bisa diketahui terletak di sebuah bukit sekitar 0,5 km ke
arah utara alun-alun Jepara dengan
ketinggian 85 meter dari permukaan
laut. Pada Gerbang masuk lokasi benteng itu tertera tulisan yang besar yaitu
"Fort Japara XVI". Ia merupakan salah
satu dari banyak benteng yang dibuat
oleh Kompeni Belanda (VOC) dengan
tujuan untuk melindungi daerah-daerah
atau pelabuhan-pelabuhan yang telah
dikuasai terhadap ancaman atau serangan dari laut.
Benteng-benteng yang dibuat
sekitar tahun 1680an itu antara lain
benteng di Tegal, Semarang, Jepara,
Rembang dan Surabaya serta bentengbenteng yang lebih kecil di kota-kota
pelabuhan lainnya. Disamping sebagai
markas pertahanan dan kantor dagang,
benteng-benteng tersebut juga berfungsi
sebagai tempat tinggal masyarakat Eropa, yang oleh karena itu juga diberi
sebutan sebagai kota-kota benteng
Dengan demikian
kemunculan benteng-benteng tersebut
sebagai tanda kemunduran kerajaankerajaan maritim di Nusantara, khususnya di sepanjang pantai utara Jawa.
Hal itu terjadi sebagai akibat kedatangan bangsa Barat khususnya Belanda,
yang kemudian mendominasi dan
menguasai kerajaan-kerajaan tersebut.
Seperti telah disebutkan di depan,
sebelum kedatangan Belanda di Jawa,
yaitu pada masa kejayaan kasultanan
Demak (1475-1568), Jepara merupakan
bagian dari wilayah kasultanan itu.
Oleh karena posisi kota pelabuhan Jepara di sebuah teluk yang lebih aman untuk berlindung kapal-kapal, maka
pelabuhan Jepara juga berfungsi sebagai
pusat perdagangan dan pelayaran bagi
kasultanan Demak. Lebih dari itu
pelabuhan Jepara juga merupakan
pelabuhan militer dari kasultanan Demak. Posisi dan fungsi pelabuhan Jepara
semacam itu tetap bertahan ketika
kemudian Jepara berada di bawah
pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549–
1579). Bahkan pelabuhan Jepara semakin berkembang baik sebagai
pelabuhan perdagangan dan militer.
Berdasarkan sumber Belanda awal abad
XVII dapat diperkirakan bahwa selama
menjadi penguasa di Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di istana Kalinyamat ,akan tetapi di suatu tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara,
dan orang Belanda waktu itu menyebutnya dengan istilah koninghof , yang
artinya istana raja ,
Meskipun kerajaan Jepara telah
mengalami kemerosotan bukan berarti
bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi
lagi, dan peranan Jepara sebagai kota
dan pelabuhan perdagangan menjadi
sama sekali terhenti. Pelaut Belanda
yang pertama kali datang ke Jepara
mengambarkan Jepara masih berfungsi
sebagai pelabuhan ekspor yang terpenting dari kerajaan Mataram di
pedalaman yang semakin besar.
Disamping orang-orang Jawa, juga
banyak bangsa lain yang berdagang di
pelabuhan Jepara antara lain Persia, Arab, melayu, Cina, Aceh, Gujarat, Koramandel, Pegu dan lain sebagainya
Pada tahun 1613 oleh Gubernur
Jendral VOC yaitu Jan Pieter Both didirikan factorij, atau semacam kantor dagang di Jepara, atas seijin raja Mataram
waktu itu yaitu Sultan Agung. Bahkan
r a j a M a t a r a m w a k t u i t u t i d a k
mengajukan persyaratan uang sewa
atau cukai jika factorij itu sudah dioperasionalkan. Sementara sebagai alasan
pendirian kantor di Jepara karena kantor VOC di Gresik selalu mendapat
gangguan dari para pedagang Islam
yang tinggal dan berdagang di sana, karena mereka menentang sistem politik
dagang monopoli dari VOC (Van
Wales, 1874, TVNI, II: 429). Kemudian
Pada tahun 1615, VOC diberi izin anggota Raad van Indie (Dewan Hindia)
yang bernama Gerard Reynst untuk
memperkuat dan mengembangkan factorij itu sehinggga menjadi semacam
kota kecil khusus bagi orang-orang
Belanda (kompeni) dan sebagai sebagai
perwakilan perdagangan VOC di daerah itu Sementara
pada tahun 1617 factorij itu dikunjugi
oleh anggota Raad yang lain yaitu Laurens Reael. Namun demikian pada tahun 1618 factorij itu diserang oleh Mataram, sehingga mengakibatkan tiga
orang terbunuh, tiga orang lagi terluka,
dan sebanyak 17 orang ditawan.
Menurut pihak Belanda penyebab serangan Mataram itu adalah karena
perompakan yang dilakukan oleh orang
-orang Inggris, sedangkan menurut
pihak Inggris disebabkan oleh penolakan Belanda untuk membayar tol
atau cukai kepada Mataram. Akan tetapi pihak Mataram menyatakan bahwa
penyerangan itu disebabkan adanya
hubungan atau skandal asmara antara
orang-orang Belanda dengan gadisgadis pribumi di Jepara, yang hal itu
dianggap merendahkan kehormatan
bangsa pribumi ,
Untuk membebaskan tawanan
tersebut, maka VOC mengirim pasukan
ke Jepara sebanyak 2 kali. Yang pertama
pada bulan November 1618 VOC di
bawah pimpinan Adriaen Maertensz
Block, dan yang kedua pada bulan Mei
1619 di bawah pimpinan J.P. Coen.
Dengan dua kali pengiriman pasukan
itu kota (factorij) Jepara betul-betul dihancurkan. Namun demikian sumber
lain menyebutkan bahwa penyerangan
dan pembakaran atas kantor dagang itu
juga dilakukan oleh para pelaut dan
pedagang Muslim baik yang berasal
dari Jepara sendiri maupun dari daerahdaerah atau pulau-pulau yang lain,
yang merasa dirugikan oleh kehadiran
Belanda VOC dengan lojinya dan sistem
monopolinya ,
Sumber Belanda lainnya menyebutkan bahwa sesudah dibumihanguskan oleh pasukan kompeni, pada
tahun 1621 Mataram meminta kepada
kompeni untuk datang lagi ke Jepara,
dan mempersilahkan untuk membangun kantor dagang lagi, tetapi permintaan itu ditolak. Akan tetapi ketika
kompeni mengirim rombongan utusan
ke Mataram pada tahun 1632, mereka
justru ditawan oleh Mataram, dan baru Meskipun kerajaan Jepara telah
mengalami kemerosotan bukan berarti
bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi
lagi, dan peranan Jepara sebagai kota
dan pelabuhan perdagangan menjadi
sama sekali terhenti. Pelaut Belanda
yang pertama kali datang ke Jepara
mengambarkan Jepara masih berfungsi
sebagai pelabuhan ekspor yang terpenting dari kerajaan Mataram di
pedalaman yang semakin besar.
Disamping orang-orang Jawa, juga
banyak bangsa lain yang berdagang di
pelabuhan Jepara antara lain Persia, Arab, melayu, Cina, Aceh, Gujarat, Koramandel, Pegu dan lain sebagainya
Pada tahun 1613 oleh Gubernur
Jendral VOC yaitu Jan Pieter Both didirikan factorij, atau semacam kantor dagang di Jepara, atas seijin raja Mataram
waktu itu yaitu Sultan Agung. Bahkan
r a j a M a t a r a m w a k t u i t u t i d a k
mengajukan persyaratan uang sewa
atau cukai jika factorij itu sudah dioperasionalkan. Sementara sebagai alasan
pendirian kantor di Jepara karena kantor VOC di Gresik selalu mendapat
gangguan dari para pedagang Islam
yang tinggal dan berdagang di sana, karena mereka menentang sistem politik
dagang monopoli dari VOC , Kemudian
Pada tahun 1615, VOC diberi izin anggota Raad van Indie (Dewan Hindia)
yang bernama Gerard Reynst untuk
memperkuat dan mengembangkan factorij itu sehinggga menjadi semacam
kota kecil khusus bagi orang-orang
Belanda (kompeni) dan sebagai sebagai
perwakilan perdagangan VOC di daerah itu Sementara
pada tahun 1617 factorij itu dikunjugi
oleh anggota Raad yang lain yaitu Laurens Reael. Namun demikian pada tahun 1618 factorij itu diserang oleh Mataram, sehingga mengakibatkan tiga
orang terbunuh, tiga orang lagi terluka,
dan sebanyak 17 orang ditawan.
Menurut pihak Belanda penyebab serangan Mataram itu adalah karena
perompakan yang dilakukan oleh orang
-orang Inggris, sedangkan menurut
pihak Inggris disebabkan oleh penolakan Belanda untuk membayar tol
atau cukai kepada Mataram. Akan tetapi pihak Mataram menyatakan bahwa
penyerangan itu disebabkan adanya
hubungan atau skandal asmara antara
orang-orang Belanda dengan gadisgadis pribumi di Jepara, yang hal itu
dianggap merendahkan kehormatan
bangsa pribumi .
Untuk membebaskan tawanan
tersebut, maka VOC mengirim pasukan
ke Jepara sebanyak 2 kali. Yang pertama
pada bulan November 1618 VOC di
bawah pimpinan Adriaen Maertensz
Block, dan yang kedua pada bulan Mei
1619 di bawah pimpinan J.P. Coen.
Dengan dua kali pengiriman pasukan
itu kota (factorij) Jepara betul-betul dihancurkan. Namun demikian sumber
lain menyebutkan bahwa penyerangan
dan pembakaran atas kantor dagang itu
juga dilakukan oleh para pelaut dan
pedagang Muslim baik yang berasal
dari Jepara sendiri maupun dari daerahdaerah atau pulau-pulau yang lain,
yang merasa dirugikan oleh kehadiran
Belanda VOC dengan lojinya dan sistem
monopolinya
Sumber Belanda lainnya menyebutkan bahwa sesudah dibumihanguskan oleh pasukan kompeni, pada
tahun 1621 Mataram meminta kepada
kompeni untuk datang lagi ke Jepara,
dan mempersilahkan untuk membangun kantor dagang lagi, tetapi permintaan itu ditolak. Akan tetapi ketika
kompeni mengirim rombongan utusan
ke Mataram pada tahun 1632, mereka
justru ditawan oleh Mataram, dan baru Meskipun kerajaan Jepara telah
mengalami kemerosotan bukan berarti
bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi
lagi, dan peranan Jepara sebagai kota
dan pelabuhan perdagangan menjadi
sama sekali terhenti. Pelaut Belanda
yang pertama kali datang ke Jepara
mengambarkan Jepara masih berfungsi
sebagai pelabuhan ekspor yang terpenting dari kerajaan Mataram di
pedalaman yang semakin besar.
Disamping orang-orang Jawa, juga
banyak bangsa lain yang berdagang di
pelabuhan Jepara antara lain Persia, Arab, melayu, Cina, Aceh, Gujarat, Koramandel, Pegu dan lain sebagainya
Pada tahun 1613 oleh Gubernur
Jendral VOC yaitu Jan Pieter Both didirikan factorij, atau semacam kantor dagang di Jepara, atas seijin raja Mataram
waktu itu yaitu Sultan Agung. Bahkan
r a j a M a t a r a m w a k t u i t u t i d a k
mengajukan persyaratan uang sewa
atau cukai jika factorij itu sudah dioperasionalkan. Sementara sebagai alasan
pendirian kantor di Jepara karena kantor VOC di Gresik selalu mendapat
gangguan dari para pedagang Islam
yang tinggal dan berdagang di sana, karena mereka menentang sistem politik
dagang monopoli dari VOC Kemudian
Pada tahun 1615, VOC diberi izin anggota Raad van Indie (Dewan Hindia)
yang bernama Gerard Reynst untuk
memperkuat dan mengembangkan factorij itu sehinggga menjadi semacam
kota kecil khusus bagi orang-orang
Belanda (kompeni) dan sebagai sebagai
perwakilan perdagangan VOC di daerah itu Sementara
pada tahun 1617 factorij itu dikunjugi
oleh anggota Raad yang lain yaitu Laurens Reael. Namun demikian pada tahun 1618 factorij itu diserang oleh Mataram, sehingga mengakibatkan tiga
orang terbunuh, tiga orang lagi terluka,
dan sebanyak 17 orang ditawan.
Menurut pihak Belanda penyebab serangan Mataram itu adalah karena
perompakan yang dilakukan oleh orang
-orang Inggris, sedangkan menurut
pihak Inggris disebabkan oleh penolakan Belanda untuk membayar tol
atau cukai kepada Mataram. Akan tetapi pihak Mataram menyatakan bahwa
penyerangan itu disebabkan adanya
hubungan atau skandal asmara antara
orang-orang Belanda dengan gadisgadis pribumi di Jepara, yang hal itu
dianggap merendahkan kehormatan
bangsa pribumi
Untuk membebaskan tawanan
tersebut, maka VOC mengirim pasukan
ke Jepara sebanyak 2 kali. Yang pertama
pada bulan November 1618 VOC di
bawah pimpinan Adriaen Maertensz
Block, dan yang kedua pada bulan Mei
1619 di bawah pimpinan J.P. Coen.
Dengan dua kali pengiriman pasukan
itu kota (factorij) Jepara betul-betul dihancurkan. Namun demikian sumber
lain menyebutkan bahwa penyerangan
dan pembakaran atas kantor dagang itu
juga dilakukan oleh para pelaut dan
pedagang Muslim baik yang berasal
dari Jepara sendiri maupun dari daerahdaerah atau pulau-pulau yang lain,
yang merasa dirugikan oleh kehadiran
Belanda VOC dengan lojinya dan sistem
monopolinya
Sumber Belanda lainnya menyebutkan bahwa sesudah dibumihanguskan oleh pasukan kompeni, pada
tahun 1621 Mataram meminta kepada
kompeni untuk datang lagi ke Jepara,
dan mempersilahkan untuk membangun kantor dagang lagi, tetapi permintaan itu ditolak. Akan tetapi ketika
kompeni mengirim rombongan utusan
ke Mataram pada tahun 1632, mereka
justru ditawan oleh Mataram, dan baru Meskipun kerajaan Jepara telah
mengalami kemerosotan bukan berarti
bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi
lagi, dan peranan Jepara sebagai kota
dan pelabuhan perdagangan menjadi
sama sekali terhenti. Pelaut Belanda
yang pertama kali datang ke Jepara
mengambarkan Jepara masih berfungsi
sebagai pelabuhan ekspor yang terpenting dari kerajaan Mataram di
pedalaman yang semakin besar.
Disamping orang-orang Jawa, juga
banyak bangsa lain yang berdagang di
pelabuhan Jepara antara lain Persia, Arab, melayu, Cina, Aceh, Gujarat, Koramandel, Pegu dan lain sebagainya
Pada tahun 1613 oleh Gubernur
Jendral VOC yaitu Jan Pieter Both didirikan factorij, atau semacam kantor dagang di Jepara, atas seijin raja Mataram
waktu itu yaitu Sultan Agung. Bahkan
r a j a M a t a r a m w a k t u i t u t i d a k
mengajukan persyaratan uang sewa
atau cukai jika factorij itu sudah dioperasionalkan. Sementara sebagai alasan
pendirian kantor di Jepara karena kantor VOC di Gresik selalu mendapat
gangguan dari para pedagang Islam
yang tinggal dan berdagang di sana, karena mereka menentang sistem politik
dagang monopoli dari VOC (Van
Wales, 1874, TVNI, II: 429). Kemudian
Pada tahun 1615, VOC diberi izin anggota Raad van Indie (Dewan Hindia)
yang bernama Gerard Reynst untuk
memperkuat dan mengembangkan factorij itu sehinggga menjadi semacam
kota kecil khusus bagi orang-orang
Belanda (kompeni) dan sebagai sebagai
perwakilan perdagangan VOC di daerah itu (de Graaf, 1974: 56). Sementara
pada tahun 1617 factorij itu dikunjugi
oleh anggota Raad yang lain yaitu Laurens Reael. Namun demikian pada tahun 1618 factorij itu diserang oleh Mataram, sehingga mengakibatkan tiga
orang terbunuh, tiga orang lagi terluka,
dan sebanyak 17 orang ditawan.
Menurut pihak Belanda penyebab serangan Mataram itu adalah karena
perompakan yang dilakukan oleh orang
-orang Inggris, sedangkan menurut
pihak Inggris disebabkan oleh penolakan Belanda untuk membayar tol
atau cukai kepada Mataram. Akan tetapi pihak Mataram menyatakan bahwa
penyerangan itu disebabkan adanya
hubungan atau skandal asmara antara
orang-orang Belanda dengan gadisgadis pribumi di Jepara, yang hal itu
dianggap merendahkan kehormatan
bangsa pribumi
Untuk membebaskan tawanan
tersebut, maka VOC mengirim pasukan
ke Jepara sebanyak 2 kali. Yang pertama
pada bulan November 1618 VOC di
bawah pimpinan Adriaen Maertensz
Block, dan yang kedua pada bulan Mei
1619 di bawah pimpinan J.P. Coen.
Dengan dua kali pengiriman pasukan
itu kota (factorij) Jepara betul-betul dihancurkan. Namun demikian sumber
lain menyebutkan bahwa penyerangan
dan pembakaran atas kantor dagang itu
juga dilakukan oleh para pelaut dan
pedagang Muslim baik yang berasal
dari Jepara sendiri maupun dari daerahdaerah atau pulau-pulau yang lain,
yang merasa dirugikan oleh kehadiran
Belanda VOC dengan lojinya dan sistem
monopolinya (De Graaf & D.G. Stibbe,
1918: 183).
Sumber Belanda lainnya menyebutkan bahwa sesudah dibumihanguskan oleh pasukan kompeni, pada
tahun 1621 Mataram meminta kepada
kompeni untuk datang lagi ke Jepara,
dan mempersilahkan untuk membangun kantor dagang lagi, tetapi permintaan itu ditolak. Akan tetapi ketika
kompeni mengirim rombongan utusan
ke Mataram pada tahun 1632, mereka
justru ditawan oleh Mataram, dan baru pada tahun 1647 dibebaskan (de Graaf
& Pigeaud, 1974: 178). Dengan terjadinya peristiwa tersebut hubungan
antara Mataram dan kompeni Belanda
terputus. Baru pada tahun 1651, ketika
Sultan Agung sudah meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I, kompeni
Belanda mulai lagi membangun tempat
kedudukan di Jepara yang dilengkapi
dengan comptoir (kantor dagang) dan
tidak lama sesudahnya dikembangkan
menjadi hoofdcomptoir (kantor dagang
besar) (Nagtegaal, 1996: 76). Sebagai
pertimbangannya adalah karena
pelabuhan Jepara memang memainkan
peranan yang penting sebagai pusat
jaringan perdagangan dengan daerahdaerah pedalaman, termasuk Mataram,
khususnya beras dan kayu yang dijual
atau dikirim ke Maluku dan Batavia.
Ketika di kerajaan Mataram terjadi
konflik intern di antara bangsawan kerajaan yang kemudian berkembang
menjadi pemberontakan, maka raja
Mataram meminta bantuan VOC untuk
meredamnya. Untuk itu pada tahun
1676 tempat kedudukan VOC di Jepara
semakin diperkuat, dan pada tahun
1677 dijadikan markas (legerkamp) tentara kompeni yang bertugas menumpas
pemberontakan baik di Jawa Tengah
mauun di Jawa Timur. Diperkirakan
tahun itu pulalah benteng Jepara yang
k u a t d i b a n g u n . M a r k a s t e n t a r a
(legerkamp) yang tidak lain benteng Jepara itu terletak pada ketinggian di sebelah timur sungai Jepara dan loji (loge) di
kota yang sudah dilengkapi dengan
tanggul rendah (omwalling) dan benteng
kecil (bolwerk).
Mengenai pemberontakan yang
sulit dipatahkan pada waktu itu adalah
yang dipimpin oleh Raden Trunajaya,
sehingga terkenal dengan sebutan pemberontakan Trunajaya. Ia sesungguhnya
adalah seorang bangsawan Madura
yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan
A m a n g k u r a t I I d a r i M a t a r a m .
Pasukannya yang bermarkas di Kediri
pernah berhasil menyerang dan menguasai serta menjarah isi kraton Mataram tahun 1677. Akan tetapi berkat bantuan pasukan kompeni Trunajaya dapat
ditangkap oleh pasukan kompeni di
bawah pimpinan Kapitan Jonker pada
27 Desember tahun 1679
Pada tahun 1680an VOC memperoleh konsesi dalam bentuk sewa
( g a d a i ) d a r i r a j a M a t a r a m a t a s
pelabuhan Jepara ,Konsesi itu diberikan oleh
Amangkurat II, sebagai imbalan jasa
a t a s b a n t u a n k o m p e n i d a l a m
menumpas pemberontakan Trunajaya.
Pelabuhan-pelabuhan lain yang diserahkan oleh Amangkurat II antara lain
Tegal, pelabuhan Kaligawe dan Semarang di Semarang, Rembang , Surabaya
dan lain-lain. Untuk melindungi daerahdaerah atau pelabuhan-pelabuhan yang
sudah dikuasai, khususnya terhadap
ancaman serangan dari laut, maka pada
tahun 1680an VOC membangun benteng-benteng utama di pantai utara Jawa yaitu di Tegal, Semarang, Jepara,
Rembang dan Surabaya serta bentengbenteng yang lebih kecil di kota-kota
pelabuhan lainnya. Disamping sebagai
kantor tempat pertahanan dan kantor
dagang, benteng-benteng tersebut juga
berfungsi sebagai tempat tinggal
masyarakat Eropa, yang oleh karena itu
juga diberi sebutan sebagai kota-kota
benteng . Dengan
demikian disamping sebagai kantor dagang dan tempat tinggal masyarakat
Eropa, benteng-benteng tersebut juga
berfungsi sebagai pertahanan terhadap
serangan dari laut baik oleh pelautpelaut Nusantara maupun pelaut-pelaut
Eropa lainnya.
Khusus untuk kota pelabuhan
Jepara di samping dilengkapi dengan
benteng yang kuat, juga dijadikan se-bagai pusat kekuasaannya di wilayah
Pantai Timur Laut Jawa (Noord Oostkust
van Java). Pemilihan Jepara sebagai salah
satu pusat kekuasaan VOC disamping
Batavia pada waktu itu tentu saja atas
dasar pertimbangan-petimbangan yang
menguntungkan. Pertama-tama, VOC
tinggal memanfaatkan sarana dan
prasarana pelabuhan Jepara yang sudah ada yang posisinya strategis, dan
yang telah dibangun dan dikembangkan
pada masa kejayaan Jepara khususnnya
pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat.
Hal kedua, Jepara pada saat itu masih
memiliki daerah-daerah pedalaman
yang banyak menghasilkan produk pertanian khususnya beras. Artinya, walaupun dengan pemain yang berbeda,
Jepara pada waktu itu masih merupakan kota pelabuhan yang penting.
Berbagai sumber yang sedikit
banyak berisi informasi mengenai bentuk fisik benteng Jepara adalah sebagai
berikut. Pertama, adalah surat residen
Jepara J.P. Metman kepada gubernur
Jendral Hindia Belanda pada tanggal 15
Maret 1889, yang salah satu isinya adalah mengenai gambaran singkat
m e n g e n a i b e n t e n g J e p a r a y a n g
dilampiri dengan peta skesa yang dibuat oleh asisten residen Jepara yang bernama Crane pada tanggal 12 Maret
1889. Meskipun sudah rusak dan hanya
berupa puing-puing, kondisi benteng
tersebut masih kokoh berdiri. Hanya
saja dalam sketsa peta itu tidak dilukiskan bagaimana kira-kira bentuk benteng tersebut. Oleh karenanya manfaat
dari sumber ini terbatas sebagai
koroborasi (penguat) dan informasi
yang kredibel mengenai keberadaan
atau lokasi benteng Jepara di kota Jepara.
Kedua, peta benteng Jepara dalam
Kota Jepara, termasuk pos-pos VOC
yang diperintahkan untuk dibangun
oleh Cornelis Speelman pada tahun
1677. Peta itu sesungguhnya merupakan
peta kota pelabuhan Jepara, sehingga
termasuk di dalamnya dapat diketahui
posisi (letak) pos-pos VOC, loji, sungai,
pelabuhan dan sebagainya. Dengan
demikian peta itu tidak menunjukkan
bentuk benteng Jepara, tetapi hanya lokasi benteng tersebut dalam wilayah
kota Jepara pada jaman VOC, ketika Jepara masih menjadi pusat kekuasaan
VOC di seluruh wilayah pantai utara
bagian timur Jawa (Noord Oostkust van
Java)
Ketiga, peta benteng Jepara yang
berisi informasi khusus mengenai bentuk datar (peta) benteng tersebut. Dari
p e t a t e r se b u t te ntu a k a n d a p a t
digunakan untuk merekonstruksi bentuk bangun benteng dalam bidang datar, yang kemudian bisa dikombinasikan dengan sumber-sumber yang lain
untuk merekonstruksi gabaran tiga demensi benteng Jepara. Untuk lebih
jelasnya lihat gambar 4.
K e e m p a t , l u k i s a n p e n s i l
pemandangan kota Jepara dengan latar
belakang “Benteng Jepara” Dari gambar
tersebut diinformasikan pada sisi timur
depan benteng adalah muara sungai
Jepara, dan di sebelah bawah kirinya
adalah gambar kapal Belanda yang
dilengkapi dengan tiga bendera. Agak
ke dalam ke arah daratan adalah jembatan yang bisa dibuka dan ditutup
(ophaalbrug) dan kandang kuda. Dalam
gambar itu letak benteng Jepara adalah
pada tepi seberang sungai Jepara.
Dengan demikian seperti yang bisa disaksikan sekarang ini, bahwa letak benteng Jepara adalah pada posisi agak
tinggi di atas perbukitan. Meskipun tidak secara detail lukisan tersebut sedikit
banyak memberi gambaran mengenai
bentuk benteng Jepara. V e r s i l a i n d a r i g a m b a r
pemandangan kota Jepara, termasuk
benteng Jepara dengan judul “Gezicht op
Japara, richting oosten naar de monding van
de Japara rivier, met linksonder een schip
met drie Nederlandse vlaggen.- Aan de overzijde van de rivier is een Hollands fort, een
beetje landinwaards zijn een ophaalbrug en
stallen”. Gambar tersebut memberikan
informasi yang melengkapi gambar
sebelumnya.
Dari seluruh uraian dan pembahasan dalam laporan ini dapat ditarik
simpulan sebagai berikut .Pertama bahwa pembangunan benteng-benteng
VOC di Nusantara, khususnya di sepanjang pantai utara Jawa merupakan awal
dari ekspansi kolinialisme. Ekspansi itu
dilakukan dengan berbagai cara, baik
secara militer, intervensi maupun politik adu domba (devide et impera). Setelah
berhasil menguasai kota-kota atau kerajaan-kerajaan maritim, di samping
mendirikan kantor-kantor dagang
(comptoir) VOC juga mendirikan benteng-benteng dengan tujuan untuk
melindungi kepentingan bisnisnya. Selanjutnya kota-kota pelabuhan itu
ditempatkan atau diintegrasikan dalam
sistem jaringan dagang VOC di Nusantara.
Salah satu benteng VOC di Jawa
adalah benteng di Jepara, yang sengaja
dibuat dengan tujuan untuk melindungi
kantor dagang di Jepara, dan daerahdaerah atau pelabuhan-pelabuhan yang
telah dikuasai terhadap ancaman atau
serangan dari laut. Namun demikian
terdapat alasan lain yang menyebabkan
VOC memilih membangun benteng di
Jepara dan bahkan dijadikan sebagai
pusat pemerintahan VOC di pantai Timur Laut Jawa (Noord Oostkust van Java). Alasan itu adalah bahwa pelabuhan
Jepara merupakan pelabuhan militer
pada jaman kerajaan Demak yang semakin dikembangkan ketika Jepara diperintah oleh Ratu Kalinyamat, dan
tetap berfungsi ketika Jepara dikuasai
oleh kerajaan Mataram Islam. Dengan
V e r s i l a i n d a r i g a m b a r
pemandangan kota Jepara, termasuk
benteng Jepara dengan judul “Gezicht op
Japara, richting oosten naar de monding van
de Japara rivier, met linksonder een schip
met drie Nederlandse vlaggen.- Aan de overzijde van de rivier is een Hollands fort, een
beetje landinwaards zijn een ophaalbrug en
stallen”. Gambar tersebut memberikan
informasi yang melengkapi gambar
sebelumnya.
SIMPULAN
Dari seluruh uraian dan pembahasan dalam laporan ini dapat ditarik
simpulan sebagai berikut .Pertama bahwa pembangunan benteng-benteng
VOC di Nusantara, khususnya di sepanjang pantai utara Jawa merupakan awal
dari ekspansi kolinialisme. Ekspansi itu
dilakukan dengan berbagai cara, baik
secara militer, intervensi maupun politik adu domba (devide et impera). Setelah
berhasil menguasai kota-kota atau kerajaan-kerajaan maritim, di samping
mendirikan kantor-kantor dagang
(comptoir) VOC juga mendirikan benteng-benteng dengan tujuan untuk
melindungi kepentingan bisnisnya. Selanjutnya kota-kota pelabuhan itu
ditempatkan atau diintegrasikan dalam
sistem jaringan dagang VOC di Nusantara.
Salah satu benteng VOC di Jawa
adalah benteng di Jepara, yang sengaja
dibuat dengan tujuan untuk melindungi
kantor dagang di Jepara, dan daerahdaerah atau pelabuhan-pelabuhan yang
telah dikuasai terhadap ancaman atau
serangan dari laut. Namun demikian
terdapat alasan lain yang menyebabkan
VOC memilih membangun benteng di
Jepara dan bahkan dijadikan sebagai
pusat pemerintahan VOC di pantai Timur Laut Jawa (Noord Oostkust van Java). Alasan itu adalah bahwa pelabuhan
Jepara merupakan pelabuhan militer
pada jaman kerajaan Demak yang semakin dikembangkan ketika Jepara diperintah oleh Ratu Kalinyamat, dan
tetap berfungsi ketika Jepara dikuasai
oleh kerajaan Mataram Islam. Dengan
V e r s i l a i n d a r i g a m b a r
pemandangan kota Jepara, termasuk
benteng Jepara dengan judul “Gezicht op
Japara, richting oosten naar de monding van
de Japara rivier, met linksonder een schip
met drie Nederlandse vlaggen.- Aan de overzijde van de rivier is een Hollands fort, een
beetje landinwaards zijn een ophaalbrug en
stallen”. Gambar tersebut memberikan
informasi yang melengkapi gambar
sebelumnya.
bahwa pembangunan benteng-benteng
VOC di Nusantara, khususnya di sepanjang pantai utara Jawa merupakan awal
dari ekspansi kolinialisme. Ekspansi itu
dilakukan dengan berbagai cara, baik
secara militer, intervensi maupun politik adu domba (devide et impera). Setelah
berhasil menguasai kota-kota atau kerajaan-kerajaan maritim, di samping
mendirikan kantor-kantor dagang
(comptoir) VOC juga mendirikan benteng-benteng dengan tujuan untuk
melindungi kepentingan bisnisnya. Selanjutnya kota-kota pelabuhan itu
ditempatkan atau diintegrasikan dalam
sistem jaringan dagang VOC di Nusantara.
Salah satu benteng VOC di Jawa
adalah benteng di Jepara, yang sengaja
dibuat dengan tujuan untuk melindungi
kantor dagang di Jepara, dan daerahdaerah atau pelabuhan-pelabuhan yang
telah dikuasai terhadap ancaman atau
serangan dari laut. Namun demikian
terdapat alasan lain yang menyebabkan
VOC memilih membangun benteng di
Jepara dan bahkan dijadikan sebagai
pusat pemerintahan VOC di pantai Timur Laut Jawa (Noord Oostkust van Java). Alasan itu adalah bahwa pelabuhan
Jepara merupakan pelabuhan militer
pada jaman kerajaan Demak yang semakin dikembangkan ketika Jepara diperintah oleh Ratu Kalinyamat, dan
tetap berfungsi ketika Jepara dikuasai
oleh kerajaan Mataram Islam. Dengan
demikian secara fisik kondisi pelabuhan
itu masih bagus, sehingga VOC bisa
langsung memanfaatkannya. Di
samping itu Jepara pada saat itu masih
memiliki daerah-daerah pedalaman
yang banyak menghasilkan produk pertanian khususnya beras.
Meskipun terdapat pertimbangan
ekonomis, pertimbangan politik dan
militer juga merupakan alasan penting
dibangunnya benteng Jepara oleh VOC.
Hal itu berkaitan dengan terjadinya
pemberontakan Trunajaya di kerajaan
Mataram Islam, dan raja Mataram waktu itu memang meminta bantuan kepada VOC untuk menumpasnya. Untuk
menghadapi pemberontakan yang
meluas di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada tahun 1677 VOC
melengkapi loji atau kantor dagangnya
dengan markas tentara (legercamp), dan
yang semakin dikembangkan menjadi
benteng. Berdasarkan peta yang terlampir, benteng Jepara itu terletak pada
ketinggian di sebelah timur sungai Jepara dan loji (loge) yang dilengkapi dengan
tanggul rendah (omwalling) dan benteng
kecil (bolwerk).
Sebagai imbalan jasa atas bantuan
kompeni VOC dalam menumpas pemberontakan Trunajaya, maka pada tahun 1680 VOC memperoleh konsesi dari
raja Mataram yaitu Amangkurat II dalam bentuk sewa (gadai) dari raja Mataram atas pelabuhan Jepara. Sejak saat
itu kota pelabuhan Jepara yang sudah
dilengkapi dengan benteng yang kuat
dijadikan sebagai pusat kekuasaannya
di wilayah Pantai Timur Laut Jawa.
Sesudah itu VOC juga membangun benteng-benteng di kota-kota pelabuhan
sepanjang pantai utara Jawa. Disamping
sebagai kantor dagang, benteng-benteng
tersebut juga berfungsi sebagai pertahanan terhadap serangan dari laut
baik oleh pelaut-pelaut Nusantara maupun pelaut-pelaut Eropa lainnya, dan
sebagai tempat tinggal masyarakat Eropa. Demikianlah, seperti telah disebutkan di depan, di kota-kota pelabuhan
dimana didirikan benteng VOC disebut
dengan istilah sebagai kota-kota benteng.