wisata 4

yaitu  
usaha  membangun pengetahuan tentang peristiwa atau 
fakta yang berkaitan dengan warga  dan budayanya 
yang pernah terjadi dalam warga .
Dalam konteks peninggalan sejarah peradaban insitu inilah PaEni (2008) menjelaskan bahwa benda cagar 
budaya yaitu  aset kekayaan budaya bangsa yang 
penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan 
sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan itu 
sendiri, sehingga perlu dilestarikan (dilindungi, 
dikembangkan, hingga dimanfaatkan) dan menjadi 
subjek dalam pembangunan kebudayaan nasional untuk 
membangkitkan dan memupuk kesadaran terhadap 
pentingnya jati diri bangsa dan kepentingan nasional yang lain. Benda budaya memiliki fungsi dan bermakna 
penting sebagai bukti sejarah karena mengandung nilainilai inspiratif yang mencerminkan tingginya nilai budaya 
dan dapat dimanfaatkan sebagai pencitraan kehidupan 
berbangsa, yaitu sebagai kebanggaan kebudayaan 
nasional danlandasan pengembangan jati diri bangsa. 
Untuk menentukan benda tinggalan sejarah kebudayaan 
yang bernilai penting dan berpeluang dijadikan sebagai 
benda cagar budaya perlu dilakukan penilaian dan kajian 
melalui lembaga kepakaran. usaha  pelestarian terhadap 
benda cagar budaya dilakukan melalui ketentuanketentuan dalam pelbagai prinsip pelindungan, 
pengembangan, dan pemanfaatan yang, setidaknya, 
berdasarkan pada UndangUndang No. 11 tahun 2010 
tentang Cagar Budaya. Pemahaman mengenai sejarah 
peradaban sebagaimana dijelaskan sebelumnya sangat 
erat kaitannya dengan realita warga  dan kebudayaan 
bangsa negara kita  di masa sekarang. Selanjutnya mengenai 
sosio-kultural bangsa negara kita , premis bahwa karakter 
setiap kebudayaan itu bersifat partikular, tumbuh dalam 
lingkup area  yang relatif “kecil” atau terbatas, dan oleh 
karenanya kecil kemungkinan untuk terjadi homogenisasi, 
itu benar adanya. Kendati demikian, tidak bisa dimungkiri 
juga bahwa kebudayaan satu dengan yang lain dapat saling 
mempengaruhi, bertukar atau “saling meminjamkan” 
unsur-unsurnya, sehingga dalam proses yang demikian 
itu dapat melahirkan apa yang disebut sebagai akulturasi 
maupun asimilasi budaya, yang secara kasat mata dapat 
disaksikan berbagai gejalanya dari masa lalu sampai saat 
ini, seperti kisah-kisah dan penokohan wayang Jawa 
yang erat hubungannya dengan tradisi bangsa India di 
Asia Selatan, hingga globalisasi bahasa, gaya hidup, dan fesyen pada warga  perkotaan di masa kini. Gejalagejala yang demikian itu dapat dibuktikan dan ditelusuri 
lebih jauh dengan melihat lansekap kebudayaan bangsa 
negara kita , dulu dan sekarang.
Lebih lanjut, secara sosiologis kekayaan bangsa ini 
secara kultural itulah yang dapat dijadikan sebuah potensi 
tersendiri bagi bangsa negara kita  jika dibandingkan 
dengan negara-negara lain di dunia. Potensi sosio-kultural 
bangsa negara kita  yang khas ini ketika dijabarkan lebih 
lanjut secara terperinci, setidaknya ada beberapa 
hal yang yaitu  lansekap kebudayaan nasional 
secara umum, yaitu: (1) keanekaragaman kearifan lokal, 
(2) keanekaragaman bahasa, (3) keanekaragaman seni, (4) 
keaneka-ragaman warisan budaya, (5) keanekaragaman 
religi, (6) keanekaragaman falsafah hidup, dan (7) budaya 
nasional dan globalisasi. Ketujuh ragam potensi itu 
yaitu  intisari yang termanifestasi dalam tiap-tiap 
diri pada ratusan etnis, subetnis tempatan (lokal), dan juga 
pada warga  perkotaan yang telah termodernisasi di 
seantero Nusantara.
6. Pengembangan Karakter Bangsa
Lansekap karakter bangsa yang yaitu  ciri bangsa 
negara kita  jika dipandang dari aspek-aspek sosial 
setidaknya memiliki tiga elemen atau unsur sebagai halhal strategis, yaitu: (1) pluralitas dalam warga , (2) 
pluralitas institusi sosial, dan (3) pluralitas pola adaptasi 
(atau sistem ekonomi). Ketiga unsur ini yaitu  
sebuah fakta sosial, yang telah ada sebelum munculnya 
negera negara kita  sebagai kesatuan politik. Berbagai 
fakta sosial ini tidak terlepas dari realita sosial yang 
sebenarnya juga yaitu  posisi strategis bagi bangsa negara kita , yakni bahwa secara kuantitas atau dengan 
jumlah penduduk sekitar 231 juta jiwa, yang mana 
total populasi warga  negara kita  menempati posisi 
keempat i dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. 
Sehubungan dengan total populasi itu, maka secara 
sosiologis warga  negara kita  terbentuk ke dalam 
realitas sosial dan kultural yang khas. Artinya, bahwa 
keberagaman atau kemajemukan dalam warga  
sangat kentara dalam kehidupan sehari-hari dan terbagi 
ke dalam kategori-kategori sosial tertentu, yaitu berupa 
kelompok, golongan, lapisan, relasi, hingga jejaring 
sosial. Kategorisasi sosial semacam ini bisa kita tengarai 
lebih lanjut dan lebih menukik ke dalam dengan melihat 
pada sistem sosial yang berlaku di sana, seperti adanya 
berbagai pranatapranata sosial berupa perangkat nilai, 
kepercayaan, pandangan hidup, norma, dan aturan-aturan. 
Norma-norma atau tata-aturan yang disepakati dan ditaati 
bersama dan biasanya telah ditetapkan terlebih dahulu 
dalam kelompok-kelompok maupun melalui organisasiorganisasi atau institusi-institusi sosial sebagaimana telah 
disinggung sebelumnya. Mengenai sistem sosial yang 
berlaku ini biasanya mewujud dalam lingkup keluarga, 
kampung, desa, hingga kelompok sosial yang lebih luas, 
yaitu negara. Dalam konteks pembangunan nasional 
kebudayaan, keberagaman atau pluralitas sosial yang 
demikian itu tentu saja dapat menjadi modal penting.D. Paham Negara Kesejahteraan dalam Pengaturan 
Kepariwisataan di negara kita 
1. Pewadahan dalam Konstitusi
Paham sosialis yang berkembang pada abad ke-19 
memunculkan gagasan tentang negara kesejahteraan 
sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah yang 
Kapitalis-Liberalis. Sistem kapitalis sangat mengagungkan 
produksi sebagai kekuatan dalam menentukan 
kompetisi.119 Dalam sistem ini pemodal-pemodal besar 
memiliki kekuasaan atas kebijakan perekonomian di dalam 
suatu negara. Pada beberapa kasus, kapitalis melahirkan 
monopoli perdagangan. 
Paham negara kesejahteraan (welfare state) menjadi 
“penawar” dalam menghadapi sistem kapitalis yang 
berkembang semakin pesat.120 Tidak mengherankan 
jika sejarah mencatat bahwa paham negara 
kesejahteraan justru lahir dan berkembang dari negaranegara kapitalis yang kuat dominasi individualisme dan 
produksi, seperti Inggris dan Prancis.121 Program dari 
119 Ariza Fuadi, “Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam Pandangan 
Islam dan Kapitalisme,” Jurnal Ekonomi Syariah negara kita  5, no. 5 
(2015): 14.
120 Duco Bannink dan Marcel Hoogenboom, “Hidden change: disaggregation 
of welfare state regimes for greater insight into welfare state change,” 
Journal of European Social Policy 17, no. 1 (2007): 19–32.
121 Ahmad Dahlan dan Irfaan Santoso, “Menggaas Negara Kesejahteraan,” 
Jurnal el-Jizya 2, no. 1 (2014): 1–22. Di Inggris, implementasi paham 
negara kesejahteraan bermula dari kebijakan atas kesehatan yang 
digagas oleh William Henry Beveridge sehingga berdiri British National 
Health Service. Di Jerman, negara kesejahteraan lazim dikenal dengan 
wohlfahrstat, bermula dari gagasan Otto von Bismarc membentuk 
sistem asuransi sosial. Di Prancis, dikenal kebijakan solidarity and 
insertion yang menekankan pada sikap saling menguntungkan dan 
saling membantu. Negara kesejahteraan yang konon paling ideal yakni 
Swedia, Gunnar Myrdal menggagas kebijakan terkait standar gizi dan 
full employment. Diskusi lebih lanjut, lihat Ahmad Dahlan, “Krisis negara kesejahteraan ini bertujuan untuk mengangkat 
kondisi warga negara yang lemah agar tetap bertahan 
hidup dan menikmati kesejahteraan warga  
kapitalis.122 Negara kesejahteraan yang dipraktekkan 
di Eropa dan AS yaitu  bentuk perlindungan dari 
negara terhadap warga  kelompok miskin, penderita 
cacat fisik serta pengangguran agar tidak tergilas oleh 
mesin kapitalisme.123 Khusus di Eropa, perlindungan 
negara ini dikonkretkan dengan berbagai program 
jaminan sosial baru seperti program pensiun, program 
jaminan orang cacat dan santunan bagi pengangguran.124
Negara kesejahteraan atau welfare state yaitu suatu 
negara yang memberikan tunjangan jaminan sosial 
(social security benefits) yang luas seperti pelayanan 
kesehatan negara, pensiun negara, tunjangan sakit 
dan pengangguran, dan lain sebagainya.125 Kamus 
Besar Bahasa negara kita  memberikan definisi negara 
kesejahteraan negara yaitu  “negara yang mengusahakan 
kesejahteraan rakyat dengan mengatasi anarki produksi 
dan krisis ekonomi, meningkatkan jaminan hidup 
warga dengan memberantas pengangguran”.126 Negara 
kesejahteraan juga di definisikan sebagai model idealpembangunan yang fokus pada optimalisasi peran negara 
dalam memberikan pelayanan sosial kepada warga negara 
secara universal dan komprehensif.127
Pada perkembangannya, paham negara kesejahteraan 
ini dianut oleh negara modern, maju dan berkembang. 
Setelah Perang Dunia II, negara baru terutama di Asia 
memiliki obsesi membangun negara kesejahteraan, 
seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, telah cukup 
berhasil membangun negara kesejahteraannya.128
Menurut Pierson, 
“Kata kesejahteraan (welfare) di dalamnya 
paling tidak mengandung tiga subklasifikasi, 
yakni: (1) Social welfare, yang mengacu kepada 
penerimaan kolektif kesejahteraan; (2) Economic
welfare, yang mengacu kepada jaminan 
keamanan melalui pasar atau ekonomi formal; 
dan (3) State welfare, yang mengacu kepada 
jaminan pelayanan kesejahteraan sosial melalui 
agen dari negara. Negara Kesejahteraan (welfare 
state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu 
negara dimana pemerintahan negara dianggap 
bertanggung jawab dalam menjamin standar 
kesejahteraan hidup minimum bagi setiap 
warga negaranya”.129
Negara kesejahteraan yaitu  strategi 
memberikan peran lebih besar kepada negara dalam 
menyelenggarakan sistem jaminan sosial (social security).130 Kati , turner jeanSistem jaminan sosial yang 
diberikan disusun secara terencana, terlembaga dan 
berkesinambungan. ada tiga sumber struktural 
welfare state, Pertama, kebijakan institusi ditujukan pada 
usaha  menciptakan warga  pekerja. Kedua, niat atau 
keinginan dari otoritas yang berkuasa untuk mendorong 
solidaritas nasional bersama-sama meningkatkan 
kesejahteraan sosial. Ketiga, skema yang jelas mengenai 
kesejahteraan sebagai bentuk jaminan sosial untuk 
mewujudkan kesejahteraan warga .131
Di awal kemerdekaan, negara kita  juga menegaskan 
diri sebagai negara yang menganut paham negara 
kesejahteraan sebagai implementasi dari negara hukum. 
Pendiri bangsa menganggap bahwa bentuk negara 
kesejahteraan yaitu  pilihan tepat. Gagasan 
mengenai negara kesejahteraan dalam konteks negara kita  
ini dituangkan dalam rumusan sila kelima Pancasila 
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat negara kita ”. Pancasila 
yaitu  dasar negara dan sumber dari segala sumber 
hukum dalam tata hukum negara kita , sehingga semua 
rumusan dalam Pancasila harus dipedomani dalam 
penyusunan kebijakan.
Negara modern yaitu  personifikasi dari tata hukum 
yang kemudian disebut sebagai negara hukum.132 Negarakesejahteraan yaitu  kelompok negara hukum 
materiil. negara kita  yaitu  “Negara Kesejahteraan” 
(walvaarstaat) dan bukan “Negara Penjaga Malam” 
(nachtwachterstaat). Moh. Hatta memakai istilah 
“Negara Pengurus”.133
Soekarno memandang bahwa keadaan kapitalisme 
Eropa berbeda dengan kapitalisme di negara kita . 
Kapitalisme Eropa terfokus pada kepabrikan dan industrial 
yang menghasilkan kaum protelar yang tidak memiliki alat 
produksi, sedang negara kita  terfokus pada perkebunan 
yang menghasilkan kaum petani yang melarat yang tidak 
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.134
negara kita  mencoba membangun sistem ideal untuk 
memberikan jaminan kesejahteraan sosial kepada warga 
negara. Salah satunya dengan ratifikasi Deklarasi Universal 
Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948) yang pada Pasal 22 dan 
Pasal 25 mengatur mengenai jaminan sosial.135 Pembukaan 
UUD 1945 menuangkan komitmen atas paham negara 
kesejahteraan ini, “Pemerintah melindungi segenap bangsa 
dan seluruh tumpah darah dan memajukan kesejahteraan 
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. UUD 1945 
sebelum amandemen mengatur kesejahteraan sosial 
dalam Bab XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang 
sistem perekonomian dan Pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak 
telantar) serta sistem jaminan sosial.136 Artinya, platform 
sistem perekonomian dan sistem sosial di negara kita  
yaitu  kesejahteraan sosial. Dalam berbagai literatur 
disebutkan bahwa sejatinya negara kita  menganut model 
“Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare 
state) atau dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan 
atau welfare pluralism. Model ini menekankan kewajiban 
negara dalam memberikan jaminan sosial, dan 
pelibatan warga  untuk berpartisipasi mewujudkan 
kesejahteraan sosial yang merata. 
Konstitusi pasca amandemen menegaskan kembali 
tentang negara kesejahteraan. ini dapat 
dicermati dalam tambahan ketentuan-ketentuan sosial 
ekonomi, yakni terakomodirnya ketiga konsep rezim 
negara kesejahteraan. Yakni residual welfare state, universal 
welfare state, social insurance welfare state.137
 Pertama, 
konsep residual welfare state tertuang dalam Pasal 34 
ayat (1), kedua, konsep universal welfare state tertuang 
dalam Pasal 27 ayat (2) yang mengatur mengenai 
ketenagakerjaan yakni bahwa setiap warga negara berhak 
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Pasal 28H 
menuangkan kebijakan sosial berupa jaminan sosial, 
Pasal 31 yang memetakan kebijakan pendidikan bahwa 
Pemerintah mengusahakan satu pendidikan nasional bagi 
semua warga negara dan wajib membiayainya, Pasal 33 
mengenai kebijakan ekonomi dan Pasal 34 ayat (2) (3), (4). Ketiga, konsep social insurance welfare state yang tertuang 
pada Pasal 28C ayat (2). Pada Pasal 34 ayat (2) dan ayat 
(3). Pada Pasal 34 ayat (2) muncul klausula mengenai 
sistem jaminan sosial (social security system). Sistem ini 
sudah terlembaga dengan baik di negara-negara Eropa 
Barat dan Amerika Utara. Kekuatan sistem ini terketak 
pada iuran jaminan sosial yang yaitu  faktor utama 
terlaksananya Pasal 34 ayat (1) mengenai pemeliharaan 
fakir miskin dan anak terlantar oleh negara. 
E. Negara Kesejahteraan dalam Formulasi 
Peraturan dan Kebijakan Kepariwisataan
a. Masa Hindia Belanda Hingga Orde Lama
Industri pariwisata dimulai pada masa Hindia Belanda.138
Pariwisata di Hindia Belanda yaitu  suatu gagasan 
dari para individu dan sekelompok individu yang diawali 
dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat lain di 
luar tempat tinggalnya.139 Cikal bakal pariwisata di Hindia 
Belanda yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan suatu 
perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan 
motor), perkumpulan sosial warga  dan komersial, 
serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis 
pariwisata di Hindia Belanda seperti pendeta Marius 
Buys, wartawan Karel Zaalberg, profesional bidang 
perhotelan Johan Martinus Gantvoort, pegawai negeri 
Louis Constant Westenenk, dan militer yang kemudian 
menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van 
Heutsz.140 Pada masa ini tepatnya pada tahun 1908 
terbentuk asosiasi bernama Vereeniging Toeristenverkeer 
in Nederlandsch Indie yang mengatur lalu lintas pariwisata. 
Kemudian pada tahun 1910 terbentuklah Vereeneging 
Toeristen Verkeer (VTV) yang yaitu  biro pariwisata 
pertama di negara kita .141
Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J. 
Barendrecht mengirim surat kepada Gubernur Jenderal 
Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar 
pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai dalam 
mengelola pariwisata. Sebelumnya, pada 1905, Karel 
Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menuliskan 
pendapatnya tentang pariwisata yang menurutnya 
jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi 
pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M. 
Gantvoort, direktur Hotel des Indes, juga mengusulkan 
soal promosi pariwisata di Hindia Belanda. Akhirnya, 
pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata 
(Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia. 
Sebagai perhimpunan pertama di Hindia Belanda, 
pendirian VTV bertujuan untuk mengembangkan 
vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) di 
Hindia Belanda. Struktur organisasi VTV mirip dengan 
Kihinkai, khususnya dalam bentuk perhimpunan yang 
terdiri dari para pengusaha dan inisiatif pihak swasta. 
Seperti Kihinkai, para anggotanya terdiri dari pihak swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, dan 
perbankan. Pemerintah menempatkan wakilnya dalam 
susunan pengurus VTV. Untuk mendukung kegiatannya, 
VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun 
di luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor 
cabang di Surabaya, Semarang, Padang, dan Medan, 
serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu, 
Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan Shanghai. 
Pada periode berikutnya, VTV juga memiliki perwakilan 
baru di Amerika, Australia, dan Afrika. Selain itu, usaha  
lain yang juga dilakukan yaitu  menjalin kerjasama 
dengan organisasi sejenis dan lainnya di Belanda 
guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda. 
Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai 
organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang, 
Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan 
Batavia. Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku 
yang berperan sebagai penggerak pariwisata di Hindia 
Belanda yaitu  warga , swasta, dan pemerintah.
Pendudukan Jepang memicu kegiatan 
pariwisata di negara kita  terhenti. Geliat pariwisata 
kembali dirasakan tahun 1955, pada tahun ini 
terjadi banyak perisitiwa yang mempengaruhi 
perkembangan kepariwisataan di negara kita . Pada 
tahun yang sama dibentuk Direktorat Pariwisata dalam 
lingkungan Kementerian Perhubungan. Pada masa 
Orde Lama, pembangunan ekonomi berdasarkan 
pada Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun 
1961-1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS 
Republik negara kita  No. II/MPRS/1960 Tentang GarisGaris Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta 
Berencana Tahapan Pertama 1061- 1969. Pada masaitu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian 
pemerintah. Fokus pemerintah pada pada saat itu masih 
pada pembangunan dan pembenahan perekonomian 
nasional sehingga mampu berdiri sendiri. Pembangunan 
diprioritaskan pada bidang pertanian dan meletakkan 
dasar-dasar bagi industrialisasi terutama industri dasar 
dan industri berat. 
b. Masa Orde Baru
Memasuki era Orde Baru kondisi sosial, ekonomi 
dan politik secara bertahap mulai tertata. Pembangunan 
nasional pada masa itu mengacu pada Garis-garis 
Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh 
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). GBHN pada 
dasarnya memuat Pola Umum Pembangunan Jangka 
Panjang yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai 
pelaksanaan pembangunan Nasional untuk masa 25 
tahun, yaitu selama terlaksananya Pembangunan Lima 
Tahun (PELITA) I sampai dengan V. Di masa Orde Baru 
pembangunan pariwisata mulai mendapat perhatian 
pemerintah yang ditandai dengan dituangkannya 
kebijakan pembangunan kepariwisatan di dalam 
Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun pertama 
yang dimulai tahun 1967/68 dan berakhir pada tahun 
1998/99. Pembangungan Jangka Panjang ini 
kemudian dijabarkan ke dalam rencana lima tahunan 
yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima 
Tahun (Repelita Pertama-Repelita Keenam).
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam 
Repelita Pertama (1969/70-1973/74) tidak dilakukan 
secara menyeluruh dan bersamaan melainkan melalui 
pentahapan dengan berbasis pada pengembangan area . Tahap pertama difokuskan pada area  
negara kita  bagian Tengah dan berpusat di pulau Bali. Hal 
ini bukan berarti kegiatan pembangunan kepariwisataan 
di daerah lain tidak mendapat perhatian pemerintah. 
Pembangunan kepariwisataan tetap diarahkan untuk 
semua area  negara kita , namun akan dilakukan secara 
bertahap dengan memanfaatkan pulau Bali sebagai 
titik tolak pengembangan kepariwisataan di pulaupulau 
lainnya di negara kita , mengingat pulau Bali sudah 
terkenal di seluruh dunia sebagai destinasi pariwisata 
yang menarik baik dari segi budaya maupun alamnya. 
Kemudian tahap kedua, difokuskan di negara kita  Bagian 
Barat dan berpusat di Medan.
Selanjutnya, dalam usaha  meningkatkan 
pelayanan kepada wisatawan, pada tahun 1969 dibentuk 
“Tourist Information Center” terutama di Bali dan Jakarta. 
Sementara untuk memudahkan wisatawan mancanegara 
asing masuk ke negara kita  dibentuk “National Facilitation 
Commitee” yang bertugas mempersiapkan peraturanperaturan yang terkait dengan hambatan masuknya 
wisatawan mancanegara masuk ke negara kita , misalnya 
“special air agreement”. Dalam tahun 1972, usaha 
promosi berhasil memast ikan akan dilangsungkannya 
Konperensi Pasific Area Travel Association di negara kita  
tahun 1974. ini membuka kesemp atan yang 
sangat baik bagi promosi pariwisata negara kita  di dunia 
pariwisata Internasional umumnya dan daerah Pasifik 
khususnya.
Dalam Repelita Pertama, peranan Pemerintah 
dalam mendukung pembangunan kepariwisataan 
dipusatkan pada pengembangan prasa rana obyek 
pariwisata, dan pelayanan yang bersifat umum, selebihnya diserahkan pengusahaannya kepada sektor 
swasta. Atas dasar ini maka dalam Repelita Pertama 
telah dilaksanakan prog ram rehabilitasi obyek-obyek 
pariwisata di daerah konsentrasi usaha pariwisata. 
Tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata 
berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja 
profesional di bidang pariwisata. Oleh karenanya dalam 
rangka memenuhi pasar tenaga kerja ini telah 
didirikan berbagai pusat pendidikan pariwisata baik baik 
oleh pemerintah , sep erti Pusat Pendidikan Pariwisata 
(Hotel and Training Institute) di Bandung maupun oleh 
swasta. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 
Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan Pariwisata 
Nasional (Bapparnas) untuk menjamin pembinaan 
pengembangan pariwisata secara efektif dan kontinyu 
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. 
Badan yang beranggotakan pemerintah dan swasta 
ini bertugas membantu Menteri Perhubungan 
dengan tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal 
Pariwisata. Kebijakan-kebijakan ini telah mampu 
meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke negara kita  
cukup mencolok. Pada tahun 1974 jumlah wisman yang 
berkunjung ke negara kita  sekitar 297,6 ribu orang atau 
mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir 2 
kali lipat dari kunjungan wisman tahun 1969 yaitu sekitar 
245,64 persen. 
 Pembangunan kepariwisataan dalam Repelita 
Ketiga (1979/80-1983/84) ditujukan untuk meningkatkan 
penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan 
memperkenalkan keb udayaan bangsa dengan tetap 
berusaha  melestarikan keindahan alam dan keunikan 
budaya yang yaitu  daya tarik wisata dan difokuskanpada 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu kegiatankegiatan: 
(1) promosi pariwisata luar negeri yang akan lebih 
diintensifkan langsung ke negara-negara asal yang 
memiliki potensi pasar; (2) Pengembangan pariwisata 
dalam negeri yang bertujuan untuk memperkecil 
mengalirnya devisa ke luar negeri, mendorong industri 
dalam negeri serta menciptakan kesempatan kerja bagi 
warga ; (3) Penataan dan peningkatan obyek wisata 
akan terus dilakukan sesuai dengan Rencana Induk 
Kepariwisataan Nasional; (4) Peningkatan pelayanan 
wisata melalui usaha  pemberian kemudahan kepada 
wisatawan yang datang selama berada dan pada waktu 
meninggalkan negara kita . Untuk itu akan dilakukan 
berbagai perbaikan dalam pelayanan kepada wisatawan, 
meliputi penyederhanaan dalam memperoleh visa, 
seperti pemberian visa pada waktu tiba (visa on arrival); 
memperluas pusat penerangan pariwisata; meningkatkan 
pelayanan sarana angkutan (penerbangan, kereta api, 
bis dan lain-lain); meningkatkan pelayanan hotel dan 
biro perjalanan; meningkatkan kemampuan personal 
yang melayani wisata, seperti pramuwisata, juru 
penerang dan penterjemah; (5) Kegiatan Penunjang 
Pariwisata yang meliputi usaha  untuk (i) meningkatkan 
kemampuan lembaga pendidikan pariwisata melalui 
pembangunan Institut Pariwisata Nasional dan 
pembinaan lembaga pendidikan pariwisata swasta; (ii) 
menyusun undangundang kepariwisataan nasion al serta 
peraturanperaturan pelaksanaannya; (iii) Memberikan 
bimbingan dan penataran kepada para pengusaha biro 
perjalanan, pengusaha restoran, pengusaha hotel, dan 
pengusaha jasa usaha pariwisata.
Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjunganwisman ke negara kita , pada tahun 1983 Pemerintah 
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 
1983 Tentang Kebijakan Pengembangan Pariwisata. 
Kebijakan ini memuat kebijakan pemberian bebas 
visa kunjungan singkat (BVKS) selama 2 (dua) bulan 
untuk wisatawan dari 26 negara, kebijakan membuka 
3 pelabuhan udara sebagai pintu gerbang masuknya 
wisatawan asing ke negara kita  yaitu Mokmer (Biak), 
Sam Ratulangi (Manado), dan Pattimura (Ambon); dan 
menetapkan pelabuhan laut Belawan, Batu Ampar, 
Tanjung Priok, Tanjung Perak, Benoa, Padang Bai, Ambon 
dan Bitung sebagai pintu masuk kapal-kapal pesiar bagi 
wisatawan rombongan (cruise) dari luar negeri. Pada 
akhir Repelita ketiga pemerintah berhasil mendatangkan 
wisman sebesar 749,4 ribu orang atau meningkat sekitar 
24,89 persen dari kunjungan wisman tahun 1980.
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam 
Repelita Keempat (1984/85-1988/89) diarahkan pada 
pengembangan beberapa kawasan wisata terutama 
untuk wisata resort baik resort di kawasan pantai (termasuk 
Tirta), kawasan pegunungan maupun resort di kawasan 
wisata budaya. Disamping itu juga akan dikembangkan 
Taman wisata dan hiburan yang potensial. Dalam 
rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan 
mancanegara, disamping memberikan kemudahan bagi 
wisman masuk ke negara kita  dengan kebijakan bebas 
visa, melalui Intrusksi Presiden (Inpres) No. 46 Tahun 1988 
pemerintah juga menambah (1) empat Bandara Udara 
(Bandara), yaitu Bandara Frans Ksiepo (Biak), Supadio 
(Pontianak), El Tari (Kupang), Sepinggan (Balikpapan), 
dan Bandara Juanda (Surabaya); (2) tiga pelabuhan laut, 
yaitu Sekupang (Pulau Batam), Tanjung Mas, dan Tanjung Pinang, sebagai pintu masuk wisatawan dari luar negeri. 
Sementara itu, untuk mendorong tumbuhnya investasi 
di industri pariwisata, pemerintah memberikan insentif 
berupa keringanan perpajakan dan restribusi daerah 
bagi investor yang menanamkan modalnya di negara kita . 
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam 
Repelita Kelima (1989/90-1994/95) diarahkan pada 
usaha  memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa, 
memperkenalkan kekayaan dan keunikan budaya, 
keindahan alam termasuk alam bahari, serta menanamkan 
jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam 
rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan 
nasional di samping untuk mendorong peningkatan 
kegiatan perekonomian nasional. Untuk mendukung 
kebijakan ini diperlukan langkahlangkah antara 
lain melakukan diversifi kasi produk dan atraksi wisata 
dengan pendekatan area  Tujuan Wisata (WTW), yaitu 
suatu area  yang meliputi beberapa Provinsi atau daya 
tarik wisata (DTW) yang berdekatan, dirangkai menjadi 
suatu paket wisata yang terintegrasi dan saling mengisi. 
Selain itu, juga dikembangkan wisata konvensi mengingat 
adanya kecenderungan semakin meningkatnya kegiatan 
pertemuan internasional, konperensi, eksibisi dan 
pameran di negara kita ; dan wisata kapal pesiar me lalui 
kerja sama dengan perusahaan wisata kapal pesiar inter 
nasional untuk dapat menjaring peningkatan kunjungan 
transit ke objek-objek wisata bahari dan taman laut, 
serta obyek wisata lainnya. Dalam masa Repelita V inilah 
kemudian ditetapkan UU No. 9 Tahun 1990 tentang 
Kepariwisataan.
Mencermati UU No. 9 tahun 1990, dalam undangundang ini tampa usaha mengintegrasikan paham negara kesejahteraan. Dapat dilihat dari rumusan 
ketentuan menimbang huruf b :
“bahwa kepariwisataan memiliki 
peranan penting untuk memperluas dan 
memeratakan kesempatan berusaha dan 
lapangan kerja, mendorong pembangunan 
daerah, memperbesar pendapatan nasional 
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan 
dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa 
cinta tanah air, memperkaya kebudayaan 
nasional dan memantapkan pembinaannya 
dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa 
dan mempererat persahabatan antar 
bangsa”.142
Undang-undang ini pada awal pembentukannya 
sudah berorientasi, pertama pada masalah perluasan 
dan pemerataan kesempatan berusaha dan lapangan 
kerja. Artinya, sektor pariwisata disadari yaitu  
peluang usaha bagi warga  sekitar untuk mendapat 
pekerjaan. Dengan kesadaran tersebut, pemerintah akan 
turut andil dalam usaha mengelola usaha pariwisata. 
Kedua, sektor pariwisata disadari memiliki peran dalam 
meningkatkan pembangunan daerah. Pembangunan 
daerah berbanding lurus dengan kesejahteraan 
warga  daerah jika pengelolaannya dilakukan 
dengan baik. Ketiga, memperbesar pendapatan nasional, 
dalam ini termasuk pendapatan karena memacu 
investor yang masuk ke negara kita , maupun wisatawan 
luar negeri yang berkunjung di negara kita . Tentu 
kedatangan investor dan wisatawan manca negara akan menambah pendapatan negara, namun perlu dipahami 
pula bahwa hanya pariwisata yang pengelolaannya 
baik, yang akan dilirik oleh para pendatang tersebut. 
Sehingga pengelola usaha pariwisata musti berlombalomba untuk menyelenggarakan dan mengelola usaha 
pariwisata secara profesional untuk hasil yang maksimal. 
Dengan pendapatan nasional yang meningkat, 
harapannya yakni peningkatan kesejahteraan dan 
kemakmuran rakyat. Keempat, memperkaya kebudayaan 
nasional dan memantapkan pembinaannya dalam 
rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat 
persatuan antar bangsa. ini berhubungan dengan 
perkuatan karakter nasional untuk dapat dipertontonan 
atau dipersandingkan dengan kebudayaan negara lain 
dalam kegiatan-kegiatan pengenalan budaya. Hubungan 
antar bangsa yang terlain dengan baik akan berakibat 
baik pula pada perekonomian nasional.
Dapat dicermati pula dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 
1990 yang menegaskan asas adil dan merata dalam 
penyelenggaraan kepariwisataan,
“Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan 
berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan 
kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan 
dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada 
diri sendiri”.143
Lebih lanjut di Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1990 
menjelaskan soal tujuan kepariwisataan, yang di 
dalamnya juga memuat ketentuan mengenai perluasan 
dan pemerataan kesempatan bekerja dan lapangan kerja 
demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,Huruf c 
“memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha 
dan lapangan kerja”
Huruf d
“meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka 
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”144
negara kita  menganut paham “Negara 
Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state) 
atau dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan 
atau welfare pluralism. Paham ini menekankan kewajiban 
negara dalam memberikan jaminan sosial, dan 
pelibatan warga  untuk berpartisipasi mewujudkan 
kesejahteraan sosial yang merata. Dalam Pasal 30 UU No. 
9 Tahun 1990 diatur mengenai partisipasi warga  
dalam penyelenggaraan kepariwisataan serta proses 
pengambilan kebijakan.
Pasal 30
“(1) warga  memiliki kesempatan yang sama 
dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam 
penyelenggaraan kepariwisataan.
(2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan, 
Pemerintah dapat mengikutsertakan warga  
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui 
penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan”.
Diatas yaitu  point-point dalam UU 
No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Dalam 
ketentuannya, sudah terlihat usaha  untuk menjamin 
kesejahteraan rakyat dari sektor pariwisata. Namun 
Undang-undang ini juga memiliki kelemahan yakni 
pengaturan berfokus pada usaha pariwisata yaknipemberian izin dan penetapan retribusi.
Pada Repelita keenam (1993/94-1998/99) yang 
yaitu  tahapan pertama Pembangunan Jangka 
Panjang 25 Tahun Kedua, ditetapkan dengan Ketetapan 
MPR-RI No. II/MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar 
Haluan Negara 1993-1998. Sejalan dengan amanah 
GBHN 1993, secara umum kebijakan pembangunan 
kepariwisataan terus ditingkatkan dan dikembangkan 
untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas 
dan memeratakan kesempatan usaha dan lapangan 
kerja, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan 
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperkaya 
kebudayaan nasional dengan tetap mempertahankan 
kepribadian bangsa dan tetap terpeliharanya nilainilai agama, mempererat persahabatan antarbangsa, 
memupuk cinta tanah air, serta memperhatikan 
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. 
Pembangunan kepariwisataan juga diarahkan untuk 
mendorong pengembangan, pengenalan, dan 
pemasaran produk nasional. Pembangunan Jangka 
Panjang 25 tahun Kedua yang seharusnya berlangsung 
sampai dengan tahun 2020, hanya dapat dilaksanakan 
Pembangunan lima tahun Pertama. ini dipicu 
terjadinya gejolak politik dan ekonomi pada tahun 1998 
yang memicu jatuhnya Orde Baru dan melahirkan 
era Reformasi. Peristiwa ini memicu situasi 
dalam negeri yang kurang kondusif dan akhirnya 
berdampak pula pada menurunya jumlah kunjungan 
wisman pada tahun 1998 sebesar 12,11 persen dari 
tahun 1997.c. Masa Pasca Reformasi
Empat tahun pertama masa Reformasi dikenal 
dengan masa transisi. Dalam masa ini kebijakan 
perencaaan pembangunan kepariwisataan mengacu 
pada Program Pembangunan Nasional Lima Tahun. 
Sesuai dengan amanah GBHN 1999 – 2004, arah 
kebijakan pembangunan nasional dituangkan 
dalam Program Pembangunan Nasional Lima Tahun 
(Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama 
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui UndangUndang Republik negara kita  No. 25 Tahun 2000 tentang 
Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 
2000-2004. Propenas kemudian dirinci dalam Rencana 
Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang 
ditetapkan oleh Presiden bersama DPR. Di dalam GBHN 
disebutkan bahwa pariwisata yaitu  salah satu 
sektor yang mendukung pembangunan ekonomi. Dalam 
periode Propenas, kebijakan pengembangan Pariwisata 
diarahkan untuk mendukung kebijakan Peningkatan 
Daya Saing pariwisata dan diprioritaskan pada usaha  
pemulihan citra pariwisata yang sempat menurun 
sebagai akibat dari peristiwa bom Bali pada tahun 2002 
dan tahun 2005. Kedua peristiwa ini tentu saja 
berdampak pada menurunnya jumlah wisman yang 
berkunjung ke negara kita .
Kebijakan pariwisata ini dilaksanakan 
melalui 1 (satu) program yaitu program pengembangan 
pariwisata. Program ini bertujuan untuk mengembangkan 
dan memperluas diversifi kasi produk dan kualitas 
pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan 
warga , kesenian, dan kebudayaan, dan sumber daya alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan 
kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian 
lingkungan hidup setempatl; mengembangkan dan 
memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. 
Untuk mencapai tujuan ini kegiatankegiatan 
pokok yang akan dilakukan antara lain (i) merumuskan 
reformasi kebijakan pariwisata nasional berlandaskan 
pemberdayaan sumber daya lokal; (ii) merumuskan 
strategi pemasaran industri pariwisata dengan 
penekanan pada keterpaduan antara produk dan 
pemasaran pariwisata; (iii) mengembangkan sumber 
daya alam; (iv) mengembangkan serta pengkayaan 
kesenian dan kebudayaan tradisional sebagai produk 
wisata potensial; (v) meningkatkan profesionalisme SDM 
pariwisata; dan meningkatkan aksessbilitas ke tujuantujuan wisata potensial; (vi) meningkatkan kemampuan 
lembaga pelayanan publik; dan (vii) meningkatkan 
koordinasi.
Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka 
Panjang Nasional 2005 – 2025 dan dalam rangka 
memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi 
dan Berdaya Saing Global pembangunan Kepariwisataan 
diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi 
dan meningkatkan citra negara kita , meningkatkan 
kesejahteraan warga  lokal, serta memberikan 
perluasan kesempatan kerja. Pengembangan 
kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona 
keindahan alam dan potensi nasional sebagai 
area  wisata bahari terluas di dunia secara arif dan 
berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang 
terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Amanah 
ini kemudian dijabarkan dalam rencana lima tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan 
Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
RPJMN Pertama yaitu  penjabaran 
lima tahun pertama dari kebijakan pembangunan 
keparwisataan yang diamanahkan oleh RPJPN 2005-
2025. RPJMN ditetapkan dengan Peraturan Presiden 
Republik negara kita  No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana 
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 
2004-2009. Kebijakan pembangunan kepariwisataan 
dalam RPJMN pertama diarahkan untuk mendukung 
peningkatan daya saing pariwisata di tingkat global 
dalam rangka mencapai sasaran Prioritas Nasional 
“Peningkatan Investasi dan peningkatan ekspor”. 
Pada tahun 2009 disahkan UU No. 10 Tahun 2009 
yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1990 tentang 
Kepariwisataan. Keistimewaan UU No. 10 Tahun 2009 
salah satunya yaitu  adanya kebebasan melakukan 
perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam 
wujud berwisata yang yaitu  bagian dari hak asasi 
manusia. Ketentuan seperti ini tidak ada dalam UndangUndang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. 
Keistimewaan yang lain yaitu dengan dimasukkannya 
unsur penting yang kini tengah menjadi isu dunia pada 
umumnya.ini terkait kepariwisataan yang 
yaitu  bagian pembangunan nasional yang harus 
dilakukan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan. 
Dua istilah penting berkelanjutan dan bertanggungjawab 
belum ada pada pengaturan dalam Undang-Undang 
No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan. Ketentuan 
lain yang yaitu  suatu perubahan besar dalam 
kepariwisataan yaitu  dicantumkannya Badan Promosi 
Pariwisata. Dalam Bab X mengamanatkan pembentukan suatu Badan Promosi Pariwisata.Salah satu dari Badan 
Promosi yang diamanatkan untuk dibentuk oleh 
UndangUndang No. 10 tahun 2009 yaitu  Badan Promosi 
Pariwisata Daerah. Badan ini dibentuk karena muncul 
kebutuhan adanya sebuah lembaga/unit yang mampu 
berperan sebagai pelaksana pengembangan pemasaran 
dan promosi dalam konteks industri pariwisata secara 
keseluruhan, yang tugasnya mengembangkan program/
kegiatan pemasaran dan promosi secara profesional. 
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 
2009 tentang Kepariwisataan, maka keberadaan Badan 
Promosi Pariwisata (baik di tingkat pusat maupun daerah) 
telah memiliki payung hukum bagi pembentukannya. 
Badan Promosi Pariwisata diatur secara khusus dalam 
Bab X Undang-Undang tersebut, dan khusus untuk 
Badan Promosi Pariwisata Daerah diatur dalam Pasal 
43-49. Sesuai Undang-Undang tersebut, pembentukan 
Badan Promosi Pariwisata Daerah ditetapkan dengan 
Keputusan Bupati/Walikota. 
ada beberapa perbedaan antara UU No. 9 
Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dengan UU No. 10 
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Setidaknya ada 
10 (sepuluh) hal yakni:
1. Perubahan paradigma, konsepsi dan perubahan 
regulasi di bidang kepariwisataan. Dapat dilihat dari 
prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan 
yakni:
(a). menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya 
sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam 
keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan 
Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan 
sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi 
manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; 
(c). memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, 
keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; (d.) 
memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; 
(e). memberdayakan warga  setempat; (f). 
menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, 
antara pusat dan daerah yang yaitu  satu 
kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, 
serta keterpaduan antar pemangku kepentingan; 
(g). mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan 
kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; 
dan (h). memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan 
Republik negara kita .
2. Ketentuan menimbang pada UU. No 10 tahun 2009 
yang menjelaskan bahwa tujuan dari pariwisata untuk 
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana 
terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 
1945.
3. Ketentuan menimbang pada UU No. 10 tahun 2009 
yang menjelaskan bahwa peraturan dimaksudkan 
untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam 
berpariwisata.
4. UU No. 9 Tahun 1999 berorientasi pada usaha 
pariwisata, ini dikritik dan kemudian dirumuskan 
dalam UU No. 10 Tahun 2009 yang menyatakan 
bahwa pembangunan kepariwisataan meliputi 
industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, 
dan kelembagan kepariwisataan
5. UU No. 10 tahun 2009 menganut asas demokrasi 
dalam berpariwisata.
6. Tujuan dalam pariwisata yang tertuang dalam UU No. 10 tahun 2009 salah satunya yaitu mengangkat citra 
bangsa, Ketentuan ini tidak ada dalam UU 
No. 9 tahun 1990.
7. ada perluasan ruang lingkup usaha dalam UU 10 
tahun 2009 yakni penambahan pengaturan tentang 
kegiatan hiburan dan Spa.
8. Era otonomi daerah, memengaruhi pengaturan 
dalam UU No.10 tahun 2009 yang memberikan 
amanat kepada Pemerintah daerah untuk memegang 
peranan penting dalam mengatur dan mengelola 
pelaksanaan pariwisata.
9. Dalam UU No. 10 tahun 2009 ada pembagian 
kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah 
provinsi dan pemerintah kabupaten dalam mengelola 
pariwisata.
10. Dalam UU No 10 tahun 2009 ada badan promosi 
pariwisata.
Pemerintah dan Pemerintah daerah memiliki 
peran penting dalam membentuk peraturan dan 
kebijakan pariwisata yang ideal untuk mewujudkan 
negara kesejahteraan. Peraturan dan kebijakan 
pariwisata yang ideal perlu dirumuskan mengingat 
pariwisata yaitu  salah satu andalan perolehan 
devisa yang dapat meningkatan pendapatan nasional 
maupun daerah.145
negara kita  yaitu  salah satu negara 
berkembang di dunia, artinya negara kita  seharusnya 
menunjukkan antusiasmenya dalam melaksanakan 
pembangunan negara. Pembangunan perlu 
dilaksanakan dari berbagai aspek kehidupan warga . Pembangunan perlu diimbangi dengan peraturan 
agar berjalan dengan lancar, sesuai dan mencapai 
tujuannya. Formulasi peraturan yang baik dibutuhkan 
untuk membentuk suatu peraturan sebagai pendobrak 
pembangunan nasional.146
Salah satu amanah Undang-undang No. 10 
Tahun 2009 yaitu  pemerintah harus segera menyusun 
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional 
(RIPPARNAS) dan Rencana Induk Pembangunan 
Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) bagi daerah sebagai 
acuan pokok pembanguan kepariwisataan. Sejalan 
dengan amanah ini pemerintah mengeluarkan 
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang 
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional 
(RIPPARNAS) 2010-2025. Berdasarkan RIPPARNAS, 
pendekatan pembangunan yaitu  pendekatan 
perarea an, yaitu Perarea an Destinasi Pariwisata 
Nasional (DPN). Perarea an pembangunan DPN 
yaitu  hasil perarea an pembangunan 
kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk DPN 
(ada 50 DPN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional 
yang selanjutnya disingkat KSPN (ada 88 KSPN). 
Disamping RIPPARNAS, pembangunan kepariwisataan 
juga harus tetap mempertimbangkan tata ruang 
nasional yang tertuang dalam Undang-undang RI 
No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan 
Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 Tentang 
Rencana Tata Ruang area  Nasional. Pengembangan 
ke 50 DPN ini tidak mungkin dilakukan secara 
bersamaan melainkan dilakukan secara bertahap dan terfokus selama 15 tahun sehingga pemanfaatan dana 
pembangunan baik yang bersumber dari Pemerintah 
maupun Swasta dapat optimal. Dalam periode 5 (lima) 
tahun kedua pelaksanaan RIPPARNAS, pembangunan 
kepariwisataan diprioritaskan pada (i) mengembangkan 
DPN yang berpotensi untuk menjadi titik tolak 
penyebaran wisatawan ke daerah lain dan mampu 
menciptkan multiplier effect perekonomian bagi daerah 
lain di negara kita ; (ii) mengembangkan destinasi wisata 
lainnya yang yaitu  rangkaian dari destinasi yang 
telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya ; 
dan (iii) Destinasi yang terletak dalam Kawasan Strategis 
Nasional (KSN) dan Kawasan Andalan menurut Undangundang No. 26 Tahun 2007.
Dalam Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2011 
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan 
Nasional Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa 
pembangunan kepariwisataan nasional meliputi 
destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata, industri 
parisiwata dan kelembagaan kepariwisataan. 
Pembangunan industri pariwisata bertujuan untuk 
menggerakan perekonomian nasional. Oleh karena itu, 
pembangunan industri wisata selain harus memberikan 
dampak positif berupa peningkatan terhadap devisa 
Negara juga harus dapat meningkatkan perekonomian 
di lokasi-lokasi tujuan wisata misalnya meningkatkan 
jumlah tenaga kerja, meningkatkan jumlah wisatawan 
lokal maupun mancanegara, meningkatkan 
perkembangan kebudayaan dan seni budaya negara kita , 
semakin maraknya bisnis kuliner, perhotelan, restoran 
serta sarana dan transportasi yang lebih mudah. Dengan 
kata lain pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan warga  lokal. warga  juga terus dituntut aktif 
untuk mengembangkan industri kreatif.
Pembangunan industri pariwisata masih 
terhambat perkembangannya karena masih belum 
maksimalnya pengaturan terkait sertifikasi usaha 
pariwisata bagi pengusaha pariwisata (Pasal 53, 
Pasal 54 dan Pasal 55 UU No 10 Tahun 2009 tentang 
Kepariwisataan). Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 
2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi 
Usaha Pariwisata menyatakan bahwa Pengusaha 
Pariwisata wajib memiliki Sertifikat Usaha Pariwisata 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 24 PP No 52 Tahun 2012), namun belum 
ada penegakan hukum yang tegas bagi pengusaha 
yang tidak memiliki sertifikasi usaha Selain itu adanya 
isu kepemilikan di tempat tujuan wisata (destinasi) 
yang sering memunculkan konflik antara pengusaha 
pariwisata dan nelayan dalam kaitanya dengan Rencana 
Zonasi area  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (amanat 
Pasal 7 UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU 
No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan area  Pesisir 
dan Pulau Pulau Kecil ) belum banyak ditindaklanjuti 
oleh pemerintah daerah setempat.
d. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki dan Materi Muatan 
Peraturan Perundang-Undangan terkait Kebijakan 
Kepariwisataan
Hasil inventarisasi regulasi yang terkait kebijakan 
kepariwisataan, ditemukan sebanyak 47 (empat puluh 
tujuh ) peraturan perundang-undangan, yang terdiri 
dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang, 21 (dua puluh satu) 
Peraturan Pemerintah, 10 (sepuluh) Peraturan Presiden, 
dan 6 (enam) Peraturan Menteri. Dari ke-47 regulasi tersebut, analisis terhadap 28 ( dua puluh delapan) 
PUU, yaitu: 10 (sepuluh) Undang-undang, 9 (sembilan) 
Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden dan 2 
(dua) Peraturan Menteri terkait. Metode yang dipakai 
dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap 
peraturan perundang-undangan yaitu  didasarkan 
pada 5 dimensi penilaian, yaitu: (1) Dimensi Ketepatan 
jenis peraturan perundang-undangan; (2) Dimensi 
kejelasan rumusan; (3) Dimensi kesesuaian dengan asasasas; (4) Dimensi potensi disharmoni ketentuan: dan (5) 
Efektivitas pelaksanaan Peraturan perundang-undangan.
Penilaian ketepatan jenis peraturan ditinjau dari 
berbagai sudut pandang, yaitu dimulai dari namanya, 
politik hukumnya, dasar hukumnya, maupun dari materi 
muatannya. Penamaan suatu peraturan perundangundangan seharusnya mencerminkan materi muatannya. 
ini juga dijelaskan dalam Lampiran II UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan, petunjuk No 3. 
Disebutkan dalam petunjuk ini bahwa nama 
peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat 
dengan hanya memakai satu kata atau frasa, namun 
secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi 
peraturan perundang-undangan. Politik hukum suatu 
peraturan perundang-undangan dapat diketahui dari 
konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya, dari 
penjelasan ini dapat diketahui arah kebijakan yang 
ingin dicapai dengan peraturan perundang-undangan 
dimaksud. Dengan demikian dapat dianalisis apakah 
materi muatan yang tercantum dalam ketentuan pasal 
sudah sejalan dengan arah yang ingin dicapai.
Analisis juga ditinjau dari dasar hukum yang mengamanatkan dibentuknya suatu peraturan 
perundang-undangan. Pada dasarnya Undang-Undang 
yaitu  pelaksanaan dari amanat atau penjabaran dari 
ketentuan pasal dalam UUD 1945, Peraturan Pemerintah 
pelaksanaan amanat atau menjalankan ketentuan pasal 
dalam Undang-Undang, Peraturan Presiden pelaksanaan 
amanat atau penjabaran ketentuan pasal dari UndangUndang atau Peraturan Perundang-undangan dan/
atau dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan 
kekuasaan pemerintahan. sedang Peraturan Menteri 
pelaksanaan amanat atau penjabaran ketentuan pasal 
dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, 
Peraturan Menteri dapat pula mengatur lebih lanjut 
atas dasar kewenangan pendelegasian dari UndangUndang, namun hanya sebatas peraturan yang bersifat 
teknis administratif (petunjuk No. 211 Lampiran II UU 
No. 12 Tahun 2011). Pada bagian dasar hukum dalam 
suatu peraturan perundang-undangan, memuat dasar 
kewenangan pembentukan peraturan perundangundangan (dasar hukum formil) dan PUU yang 
secara materiil dirujuk dalam membentuk peraturan 
perundang-undangan lebih lanjut (dasar hukum 
materiil). Suatu norma yang lebih rendah berlaku 
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, 
norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar 
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya 
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri 
lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar (Grundnorm). 
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka 
dapat dianalisis apakah materi muatan dalam suatu 
peraturan perundang-undangan sesuai dengan tingkat 
hierarkinya. Dengan demikian, materi muatan masing-masing hierarki dapat dibedakan, perbedaan ini 
dilihat dari cara perumusan normanya pada masingmasing jenis peraturan peraturan perundang-undangan. 
Norma dalam peraturan perundang-undangan pada 
jenjang yang semakin ke atas, maka seharusnya semakin 
abstrak, begitu juga sebaliknya. Norma dalam peraturan 
perundang-undangan pada jenjang yang semakin ke 
bawah mudah dilaksanakan, begitu juga sebaliknya. Dari 
hasil analisis terhadap 28 (dua puluh delapan) peraturan 
perundang-undangan, berdasarkan ketepatan jenis 
peraturan perundang-undangan pada umumnya sudah 
sesuai dengan jenis hierarki dan materi muatan peraturan 
perundang-undangan. Semua peraturan perundangundangan yang di analisis telah memenuhi ketepatan 
jenis peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini, dapat ditunjukkan melalui analisis 
sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomo 10 Tahun 2009 tentang 
Kepariwisataan, yang yaitu  delegasi dari Pasal 
20 dan Pasal 21 UUD 1945;
2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana 
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 
2014 tentang Pengelolaan area  Pesisir dan PulauPulau Kecil, yang yaitu  delegasi dari Pasal 5 ayat 
(1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 25A, serta Pasal 
33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang 
Kelautan yang yaitu  delegasi Pasal 20, Pasal 
22D ayat (1), Pasal 25A ayat (3), dan Pasal 33 ayat (3) 
UUD 1945.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang 
Pemerintahan Daerah, yang yaitu  delegasiPasal 1, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan 
ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 
22D ayat (2), dan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945;
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang 
Penataan Ruang, yang yaitu  delegasi Pasal 5 
ayat(1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 
1945;
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang 
Pelayaran, yang yaitu  delegasi Pasal 5 ayat(1), 
Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3);
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang 
Keimigrasian, yang yaitu  delegasi Pasal 5 ayat 
(1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1).
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang 
Perindustrian, yang yaitu  delegasi Pasal 5 ayat 
(1), Pasal 20, dan Pasal 33 serta Ketetapan MPR Nomor 
XVI/MPR/1998;
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang 
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan 
Ekosistemnya; dan
10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang 
Ketenagakerjaan, yang yaitu  delegasi Pasal 5 
ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, 
dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya, untuk tingkat Peraturan Pemerintah, 
kesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi ini 
dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang 
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan 
Nasional 2010-2025, yang yaitu  delegasi Pasal 
9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
2. Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2012 tentang 
Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di 
bidang Pariwisata, yang yaitu  delegasi Pasal 
55 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang 
Kepariwisataan;
3. Peraturan Pemerintah No 62 Tahun 2010 Tentang 
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, yang 
yaitu  delegasi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang 
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan area  
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
4. Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 Tentang 
Mitigasi Bencana di area  Pesisir dan Pulau-Pulau 
Kecil, yang yaitu  delegasi Pasal 59 ayat (4) 
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang 
Pengelolaan area  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
5. Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 tentang 
Perangkat Daerah, yang yaitu  delegasi Pasal 
232 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 
tentang Pemerintahan Daerah;
6. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 Tentang 
Rencana Tata Ruang area  Nasional, yang 
yaitu  delegasi Pasal 20 ayat (6) tentang 
Penataan Ruang;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 Tentang 
Penyelenggaraan Penataan Ruang tentang Pasal 
13 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), Pasal 37 ayat (8), Pasal 
38 ayat (6), Pasal 40, Pasal 41 ayat (3), Pasal 47 ayat 
(2), Pasal 48 ayat (5), Pasal 48 ayat (6), dan Pasal 64, 
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang 
Penataan Ruang;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran warga  Dalam 
Penataan Ruang, yang yaitu  delegasi Pasal 
65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 
tentang Penataan Ruang;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang 
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 
Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan, yang 
yaitu  delegasi Pasal 10, Pasal 12, 14, Pasal 17, 
Pasal 20, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 
37, Pasal 39, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 58, Pasal 59 ayat 
(3), Pasal 268, dan Pasal 273 ayat (2) Undang-Undang 
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang 
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 
Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, yang yaitu  
delegasi Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat 
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang 
Penerimaan Negara Bukan Pajak;
11. Peraturan Pemerintah Nomor No. 5 Tahun 2010 
tentang Kenavigasian, yang yaitu  delegasi 
Pasal 177, Pasal 183 ayat (2), Pasal 184, Pasal 186 ayat 
(2), Pasal 196, dan Pasal 206 ayat (2) Undang-Undang 
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 Tentang 
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 3 
Tahun 2013Tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, 
yang yaitu  delegasi Undang-Undang Nomor 6 
Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
13. Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2017 tentang 
Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, yang 
yaitu  delegasi Pasal 61, Pasal 71, dan Pasal 111 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 
tentang Perindustrian;
14. Peraturan Pemerintah No.142 Tahun 2015 tentang 
Kawasan Industri, yang yaitu  delegasi Pasal 63 
ayat (5) dan Pasal 108 UndangUndang Nomor 3 Tahun 
2014 tentang Perindustrian;
15. Peraturan Pemerintah No PP No.107 Tahun 2015 
tentang Izin Usaha Industri, yang yaitu  delegasi 
Pasal 108 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014 
tentang Perindustrian;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang 
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 
Tahun Tahun 2015-2035, yang yaitu  delegasi 
Pasal 9 ayat (5) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014 
tentang Perindustrian;
17. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang 
Pengelolaan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian 
Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan 
Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015 tentang 
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Suaka Alam dan 
Kawasan Pelestarian Hutan, yang yaitu  delegasi 
Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 29 ayat (2), 
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 35, dan Pasal 37 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi 
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
18. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 tentang 
Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, 
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman 
Wisata Alam, yang yaitu  delegasi Pasal 17 
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya;
19. Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2004 tentang 
Badan Nasional Sertifikasi Profesi, yang yaitu  
delegasi Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Nomor 13 
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan
20. Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2006 tentang 
Sistem Pelatihan Kerja Nasional, yang yaitu  
delegasi Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 
Tahun 2003.
Selanjutnya, ada 12 (dua belas) Peraturan 
Presiden yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan 
kepariwisataan, yang jika dianalisis kesesuaian dengan 
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi 
menampakkan hal sebagai berikut:
1. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2005 tentang 
Lembaga Produktivitas Nasional, yang yaitu  
delegasi Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2016 tentang 
Penghargaan Kepariwisataan, yang yaitu  
delegasi Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
3. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2014 tentang 
Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan 
Kepariwisataan, yang yaitu  delegasi Pasal 35 
UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2014 Tentang 
Pengawasan Dan Pengendalian Kepariwisataan, yang 
yaitu  delegasi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang 
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
5. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan area  
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional, 
yang yaitu  delegasi Pasal 53 ayat (3) UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan 
area  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana 
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang 
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan area  
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
6. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Tentang 
Reklamasi Di area  PesisirDan Pulau-Pulau Kecil, 
yang yaitu  delegasi Pasal 34 ayat (3) UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan 
area  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
7. Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012 tentang 
Rehabilitasi area  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 
yang yaitu  delegasi Pasal 33 ayat (2) UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan 
area  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
8. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang 
Kebijakan Kelautan negara kita , yang yaitu  
delegasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
9. Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2015 tentang 
Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing Ke negara kita , 
yang tidak ditemukan dasar pengaturan dalam 
peraturan yang lebih tinggi;
10. Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2016 tentang 
Bebas Visa Kunjungan, yang yaitu  yaitu  
delegasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
11. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 Tentang 
Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri 
Perikanan Nasional, yang yaitu  delegasiInstruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang 
Percepatan Pembangunan Industri Perikanan 
Nasional; dan
12. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang 
Kerangka Kualifikasi Nasional negara kita , yang 
yaitu  delegasi Pasal 5 ayat (3) Peraturan 
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem 
Pelatihan Kerja Nasional.
Sementara itu, dalam jenjang Peraturan Menteri, 
ada 6 (enam) peraturan, yang jika dianalisis 
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan 
yang lebih tinggi menampakkan analisis sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun 
2016 tentang Pendaftaran usaha Pariwisata, yang 
yaitu  delegasi Pasal 15 ayat (2) UndangUndang 
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
2. Peraturan Menteri Pariwisata No 1 Tahun 2016 
tentang Penyelenggaraan Sertfikasi Usaha Pariwisata, 
yang yaitu  delegasi Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 
ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah 
Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi 
dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata;
3. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 
Per.17/Men/2008 Tentang Kawasan Konservasi 
Di area  Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yang 
yaitu  delegasi Pasal 28 Undang-Undang Nomor 
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan area  Pesisir 
dan Pulau-Pulau Kecil;
4. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 
Per. 20/Men/2008 Tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau 
dan Perairan di Sekitarnya, yang yaitu  delegasi Pasal 26 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 
tentang Pengelolaan area  Pesisir dan Pulaupulau 
Kecil;
5. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 
17/Permen-Kp/2013 Tentang Perizinan Reklamasi Di 
area  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana 
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan 
dan Perikanan KP No 28/Permen-KP/2014, yang 
yaitu  delegasi Pasal 21 dan Pasal 28 Peraturan 
Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di 
area  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan
6. Peraturan Menteri Pariwisata No 3 Tahun 2017 
tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu 
Bidang Pariwisata di Bidang Koordinasi Penanaman 
Modal, yang yaitu  delegasi Peraturan Menteri 
Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan 
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Pariwisata dan 
Ekonomi Kreatif di Badan Koordinasi Penanaman 
Modal dan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 
1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan 
Menteri Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 tentang 
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang 
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Badan Koordinasi 
Penanaman Modal.
Jika dicermati lebih lanjut, nampak bahwa dalam 
rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 
2009 tentang Kepariwisataan sebagian telah dapat 
disusun dan diundangkan seperti:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang 
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan 
Nasional 2010-2025 yaitu  delegasi dari Pasal 9 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang 
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan 
Nasional 2010-2025 yaitu  delegasi dari Pasal 9 
UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
3. Peraturan Presiden Nomor No 64 Tahun 2014 tentang 
Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan 
Kepariwisataan yaitu  delegasi Pasal 35 UU 
Kepariwisataan;
4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2014 tentang 
Pengawasan dan Pengendalian Kepariwisataan 
yaitu  delegasi Pasal 23 ayat (4) UU No 10 Tahun 
2009 tentang Kepariwisataan; dan
5. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun 
2016 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata, yang 
yaitu  delegasi Pasal 15 ayat (2) UU No 10 Tahun 
2009 tentang Kepariwisataan;
6. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 1 Tahun 2016 
tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata 
yang yaitu  delegasi dari Pasal 22 ayat (2), Pasal 
23 ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah 
Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi 
dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata.
Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang 
Kepariwisataan sebagaimana ini diatas telah 
sesuai dengan jenis, hierarki dan materi muatan 
sebagaimana yang didelegasikan oleh peraturan 
perundang-undangan diatasnya. Di samping itu ada 
satu peraturan perundang-undangan yang belum 
disusun yang yaitu  amanat Undang-Undang 
Kepariwisataan yaitu terkait Kawasan Pariwisata Khusus yang diamanatkan untuk disusun Undang-undangnya, 
namun sampai saat ini Undang-Undang ini 
belum terbentuk. Selanjutnya, Ada 3 (tiga) peraturan 
perundang-undangan yang tidak didelegasikan secara 
tegas dan peraturan perundang-undangan yang disusun 
untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan, yaitu 
(1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang 
Kebijakan Kelautan negara kita ; (2) Peraturan Presiden 
Nomor 105 Tahun 2015 tentang Kunjungan Kapal Wisata 
(Yacht) Asing ke negara kita ; dan (3) Peraturan Presiden 
Nomor 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan.
Mengingat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 
20009 tentang Kepariwisataan dan peraturan perundangundangan di bawahnya yaitu  norma pangkal 
dalam kebijakan terkait, maka penelitian ini mencoba 
melakukan kajian dan analisis terhadap regulasi ini. 
Undang-Undang ini meliputi 70 pasal dan seluruhnya 
masih berlaku karena belum pernah perubahan, 
pencabutan, dan pernyataan tidak berlaku mengikat 
oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun analisis yang dapat 
disajikan yaitu  sebagai berikut:
1. Dalam Undang-Undang ini tidak ditemukannya 
ketentuan yang dapat memicutidak 
terjaminnya pemberian peluang kepada warga  
dalam memberikan pendapat terhadap pengambilan 
keputusan. Dengan kata lain, Undang-Undang belum 
mengatur partisipasi warga  agar warga  
mudah memberikan informasi kepada pemerintah 
tentang kepariwisataan; mendorong warga  
untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan 
kepariwisataan; mengembangkan pelembagaan 
dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok atau organisasi warga  
dapat terlibat secara efektif. Bentuk partisipasi 
ini mislanya keikutsertaan dalam penyusunan 
peraturan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, 
pengawasan sampai dengan evaluasi. Caranya 
dengan musyawarah, konsultasi publik, kemitraan 
atau penyampaian aspirasi melalui e-gov. Oleh karena 
itu perlu ditambahkan ketentuan terkait Partisipasi 
warga  untuk mengisi kekosongan hukum;
2. Dalam Undang-Undang tidak diketemukan 
ketentuan yang mendorong peningkatan 
kemandirian bangsa dan adanya ketentuan yang 
mendorong kesejahteraan bangsa. Dalam UU 
kepariiwstaan ini , konsep komponen 4A ( Attraction, 
Ammenity, Accesibility dan Anciliary) belum diatur 
tersendiri meskipun dalam Ketentuan Umum 
(lihat Pasal 1 angka 6) sudah disinggung, padahal 
komponen ini harus ada dalam obyek untuk 
pengembangan obyek pariwisata dikembangkan 
juga di dunia. Memberikan arahan kepada Daerah 
jika ingin mengembangkan pariwisata harus 
mengembangkan komponen 4A tersebut, dengan 
berhasilnya pemerintah mengembangkan konsep 4A 
ini akan menghasilkan kontribusi investasi yang 
besar bagi pemerintah, sehingga pemerintah bisa 
mandiri otomatis warga nyapun akan sejahtera;
3. Pasal 2 berisi maksud dan tujuan. Sebagaimana 
petunjuk No. 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011 
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa 
ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan 
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab;
4. Pasal 3 berisi fungsi kepariwisataan. Penyebutan 
fungsi kepariwisataan tidak diperlukan, karena tidak 
akan operasional (tidak memiliki operator norma). 
Fungsi dapat dituangkan dalam penjelasan umum 
Undang-Undang, ketentuan umum atau dalam 
Naskah Akademik;
5. Pasal 4 mengatur mengenai tujuan kepariwisataan. 
Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum 
dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat 
diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk 
penulisan norma tingkah laku yang memerlukan 
operator norma agar dapat dioperasionalkan. Perlu 
ditambahkan kata “harus” sebagai operator norma 
tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi 
jika tidak tercapai tujuannya;
6. Pasal 5 UU kepariwisataan memuat prinsip 
penyelenggaraan kepariwisataan. Prinsip prinsip 
ini perlu ditambahkankan : (a) Prinsip 
untuk memberikan kemudahan kepada para 
pengusaha lokal dalam sekala kecil, dan menengah 
(Program pendidikan yang berhubungan dengan 
kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal 
dan industri yang berkembang pada area  ini 
harus mampu menampung para pekerja lokal 
sebanyak mungkin); (b) Prinsip bahwa pembangunan 
pariwisata harus mampu menjamin keberlanjutan, 
memberikan keuntungan bagi warga  saat ini 
dan tidak merugikan generasi yang akan dating 
(Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata 
berpotensi merusak lingkungan jika dihubungkan 
dengan peningkatan jumlah wisatawan dan degradasi daerah tujuan pariwisata yaitu  sesuatu 
yang logis); (c) Prinsip adanya keterbukaan terhadap 
penggunaan sumber daya seperti penggunaan air 
bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan 
sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan tidak 
disalah gunakan; dan (d) Prinsip adanya program 
peningkatan sumberdaya manusia dalam bentuk 
pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang 
keahlian pariwisata sehingga dapat dipastikan bahwa 
para pekerja siap untuk bekerja sesuai dengan uraian 
tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya 
masingmasing sehingga program sertifikasi akan 
menjadi pilihan yang tepat;
7. Pasal 6 mengatur asas-asas pembangunan 
kepariwisataan. Penyebutan “pembangunan 
kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ......”,tidak perlu 
karena sebagaimana telah diuraikan diatas ketentuan 
tentang asas, maksud dan tujuan tidak perlu di 
masukan dalam pasal atau bab tersendiri. Ketentuan 
asas seyogyanya tercermin dalam setiap perumusan 
norma dalam Undang-Undang tersebut;
8. Pasal 13 ayat (4) mengatur perintah pembentukan 
Undang-Undang Kawasan Pariwisata Khusus. Namun 
dalam penjelasan hanya disebutkan kawasan strategis 
yang memiliki kekhususan area  menjadi kawasan 
pariwisata khusus ditetapkan dengan undangundang sehingga tidak dirinci apa yang dimaksud 
dengan kekhususan area  tersebut. ini dapat 
menimbulkan multi tafsir. Kata “ditetapkan “ kurang 
tepat karena undang-undang sifatnya mengatur, 
sehingga tidak memiliki kejelasan rumusan. Kalimat yang tepat yaitu  kawasan pariwisata khusus diatur 
dengan Undang-Undang;
9. Pasal 15 mengatur kewajiban pendaftaran usaha 
pariwisata. Kewajiban mendaftarkan usaha pariwisata 
apakah sama halnya dengan perizinan dan apakah 
itu berlaku untuk semua jenis pariwisata termasuk 
pariwisata bahari? Jika memang untuk semua jenis 
pariwisata, bagaimana dengan izin lokasi dan izin 
pengelolaan yang harus diperoleh bagi pengusaha 
wisata bahari sebagaimana diatur dalam UU No 27 
tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No 
1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan area  Pesisir dan 
Pulau-pulau Kecil? Demikian pula di dalam penjelasan 
umum terkait Pasal 15 ayat (2) bahwa “Tata cara 
pendaftaran yang diatur dalam Peraturan Menteri 
bersifat teknis dan administratif yang memenuhi 
prinsip dalam penyelenggaran pelayanan publik yang 
transparan meliputi, antara lain prosedur pelayanan 
yang sederhana, persyaratan teknis dan administratif 
yang mudah waktu penyelesaian yang cepat, lokasi 
pelayanan yang mudah dijangkau, standar pelayanan 
yang jelas, dan informasi pelayanan yang terbuka”. 
ini belum memberi kejelasan apakah pelayanan 
pendaftaran ini dilakukan melalui pelayanan 
terpadu satu pintu?;
10. Pasal 25-Pasal 26 menunjukkan tidak adanya akses 
partisipasi warga  dan belum ada pengaturaan 
terkait partisipasi warga . Pasal 25 huruf a dan 
Pasal 26 huruf a memuat kewajiban wisatawan 
maupun pengusaha untuk menjaga dan menghormati 
norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai 
yang hidup dalam warga  setempat. Dalam implementasinya sering terjadi konflik kepemilikan 
lahan dalam untuk menjadi objek pariwisata, 
khususnya terkait pariwisata bahari dimana sering 
terjadi konflik kepemilikan lahan antara nelayan dan 
pengusaha. ini dipicu karena seringkali 
pengusaha tidak melibatkan warga . Kewajiban 
menghormati norma agama maupun adat istiadat dan 
budaya yang ada di warga  belum sepenuhnya 
menjadi perhatian pengusaha maupun pemerintah. 
Partisipasi warga  penting agar warga  
mudah memberikan informasi kepada pemerintah 
tentang kepariwisataan; mendorong warga  
untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan 
kepariwisataan;
11. Pasal 36 menunjukkan adanya kelembagaan dan 
kewenangan yang tumpang tindih. Keberadaan 
Badan Promosi Pariwisata negara kita  (BPPI) yang 
berfungsi sebagai koordinator promosi pariwisata 
saat ini dinilai tidak efektif karena fungsinya tumpang 
tindih dengan organisasi kepariwisataan yang ada di 
pusat dan daerah (Kemenpar dan dinas pariwisata di 
daerah).Pembagian kewenangan dan tugas dalam 
melakukan promosi pariwisata dengan lembaga/
organisasi kepariwisataan yang ada di pusat dan 
daerah tidak jelas. Keberadaan BPPI malah semakin 
membebani keuangan negara karena BPPI diberikan 
bantuan dana yang bersumber dari Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah, 
padahal BPPI yaitu  lembaga swasta dan 
bersifat mandiri (Pasal 36 ayat 2);
12. Pasal 52-Pasal 53 belum mendorong optimalisasi pengembangan sumber daya manusia. Pemerintah 
dan Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan 
sumber daya manusia. Dalam implementasinya 
sumber daya manusia pariwisata yang diikutsertakan 
pelatihan jumlahnya masih sedikit dibandingkan 
dengan potensi pariwisata bahari yang ada di 
negara kita . ini dipicu biaya pelatihan di sektor 
pariwisata yang sulit dijangkau apalagi jika pelatihan 
yang diselenggarakan bersertifikat internasional;
13. Pasal 54 belum mendorong ada penegakan hukum 
yang efektif. Belum efektifnya pengaturan terkait 
sertifikasi usaha pariwisata bagi pengusaha pariwisata 
(Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang No 10 Tahun 
2009 tentang Kepariwisataan jo Peraturan Pemerintah 
No 52 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi 
dan Sertifikasi Usaha Pariwisata) yang menyatakan 
bahwa Pengusaha Pariwisata wajib memiliki Sertifikat 
Usaha Pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundangundangan (Pasal 24 Peraturan Pemerintah 
No 52 Tahun 2012), namun belum ada penegakan 
hukum yang tegas bagi pengusaha yang tidak 
memiliki sertifikasi usaha;
14. Pasal 62 mengatur sanksi bagi wisatawan. Setiap 
wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi 
berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan 
mengenai hal yang harus dipenuhi. Pasal ini tidak 
sesuai dengan teknik penyusunan pembentukan 
peraturan perundang-undangan. Dalam Lampiran 
II Nomor 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 
2011, dikatakan bahwa substansi yang berupa 
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian 
(pasal) dengan norma yang memberikan sanksi 
administratif atau sanksi keperdataan; 
15. Pasal 63 mengatur sanksi penguasaha pariwisata. 
Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi 
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 
dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif. Dalam 
Lampiran II Nomor 64 Undang-Undang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa 
substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi 
keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan 
menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang 
memberikan sanksi administratif atau sanksi 
keperdataan. Kemudian jika norma yang memberikan 
sanksi administratif atau keperdataan lebih dari satu 
pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan 
ini dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian 
(pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan 
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanki 
pidana, sanksi perdata, dan sanki administratif dalam 
satu bab; 
16. Pasal 64 mengatur sanksi pidana. Penegakan hukum 
untuk sanksi pidana perlu merujuk pada hukum 
materiil dan hukum formil dalam hukum pidana 
(KUHP dan KUHAP). Dalam KUHP membedakan antara 
aturan umum untuk kejahatan dan aturan umum 
untuk pelanggaran (antara lain dalam aturan atau 
ketentuan tentang percobaan, concursus daluwarsa 
dan sebagainya). Tidak ditetapkanya kualifikasi delik 
apakah tindak pidana yang dimuat ini apakah 
kejahatan ataukah pelanggaran telah memicu
tidak dapat diberlakukannya beberapa aturan umum dalam KUHP. Petunjuk No. 121 Lampiran II UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa 
sehubungan adanya pembedaan antara tindak 
pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran 
dalam KUHP, maka rumusan ketentuan pidana harus 
menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbatan 
yang diancam pidana, apakah kejahatan atau 
pelanggaran. Oleh karena itu perlu ada penambahan 
pasal yang menyatakan kualifikasi perbuatan yang 
diancam pidana pada pasal 64 apakah pelanggaran 
atau kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 64 lamanya 
pidana penjara bagi pelaku yang dengan sengaja dan 
melawan hukum dengan pelaku karena kelalaiannya 
sangat jauh bedanya sehingga kurang memenuhi 
rasa keadilan. Oleh karena itu sesuai dengan petunjuk 
No 114 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 
2011 menyatakan bahwa dalam menentukan lamanya 
pidana atau banyaknya denda perlu di pertimbangkan 
dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam 
warga  serta unsur kesalahan pelaku.

Analisis Kebijakan Kepariwisataan Berbasis 
Pluralisme Lokal untuk Mewujudkan Negara 
Kesejahteraan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, Pemerintah dan 
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam 
membentuk peraturan dan kebijakan pariwisata yang ideal 
untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Hasil inventarisasi 
regulasi yang terkait kebijakan kepariwisataan, ditemukan 
sebanyak 47 (empat puluh tujuh ) peraturan perundangundangan, yang terdiri dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang, 
21 (dua puluh satu) Peraturan Pemerintah, 10 (sepuluh) 
Peraturan Presiden, dan 6 (enam) Peraturan Menteri. Dari ke-
47 regulasi tersebut, analisis terhadap 28 ( dua puluh delapan) 
PUU, yaitu: 10 (sepuluh) Undang-undang, 9 (sembilan) 
Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden dan 2 
(dua) Peraturan Menteri terkait.
Kebijakan pariwisata harus memberikan dampak 
positif berupa peningkatan terhadap devisa Negara juga 
harus dapat meningkatkan perekonomian di lokasi-lokasi 
tujuan wisata misalnya meningkatkan jumlah tenaga kerja, meningkatkan jumlah wisatawan lokal maupun mancanegara, 
meningkatkan perkembangan kebudayaan dan seni budaya 
negara kita . Pembangunan pariwisata berbasis warga  
yaitu  sebuah teori yang menekankan pada ekonomi 
rakyat dan pemberdayaan rakyat. Teori ini dipergunakan 
sebagai reaksi dari kegagalan modernisasi yang diterapkan 
selama ini di negara-negara berkembang. Pengambilan 
kebijakan top-down dianggap telah melupakan hakikat dasar 
pembangunan itu sendiri sehingga rakyat bukannya semakin 
meningkat kualitas hidupnya, namun malah dirugikan dan 
cenderung termarjinalkan di lingkungan miliknya sendiri. 
Keterlibatan warga  setempat menjadi penting, 
mengingat kenyataan selama ini, yaitu manfaat pariwisata 
lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang umumnya 
berasal dari luar warga  setempat.
Pada penelitian ini, dengan demikian dapat dirumuskan 
bahwa kebijakan pariwisata berbasis pluralisme lokal untuk 
mewujudkan negara kesejahteraan mengandung elemenelemen sebagai berikut: (1) Dukungan peraturan dan 
kelembagaan yang memihak warga  lokal; (2) Daya tarik 
alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan yaitu  tiga 
komponen pembentuk produk wisata, dimana ketiganya 
dapat digabung  satu dengan yang lainnya; (3) Karakter 
kebijakan berbasis integrasi dan karakteristik budaya; (4) 
Desa wisata sebagai produk wisata alternatif disajikan 
untuk menjawab kejenuhan yang dialami wisatawan dalam 
mengkonsumsi produk wisata. Jika digambarkan, visualisasi 
model ini yaitu  sebagai berikut:
Data penelitian juga menunjukkan bahwa dalam relasi 
dengan kerangka kebijakan nasional, kebijakan pariwisata di 
lokasi penelitian (Kota Surakarta, Kota Batu, dan Provinsi Bali) 
menunjukkan focus dan skala prioritas yang tidak sama. Hal 
ini nampak dalam analisis di bawah ini.
nampak bahwa ada 
perbedaan dalam perspektif pemerintahan untuk 
melaksanakan kebijakan pariwisata berbasis pluralisme lokal 
untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Di Kota Surakarta, 
elemen desa wisata sebagai alternatif tidak dijumpai. ini 
karena dalam lingkungan pemerintahan tidak ada satuan 
area  berupa desa. Sisi yang berbeda dijumpai di Kota 
Batu, sebagai akibat sejarah perkembangan area , masih 
dijumpai satuan area  desa yang kemudian dicoba untuk 
pengembangan dan inisiasi desa wisata. Namun demikian, 
Kota Batu tidak memiliki peraturan mengenai desa wisata. Di 
Bali, seluruh area  penelitian memiliki, baik dalam taraf lama 
maupun baru, komitmen pengembangan desa wisata. Hanya 
saja Kabupaten Badung sejak awal telah memiliki peraturan 
mengenai desa wisata. Sementara Kabupaten Tabanan baru 
tahun 2018 disahkan dan bahkan Kabupaten Gianyar belum 
memiliki.
Seluruh lokasi penelitian telah memiliki dokumen 
perencanaan pembangunan jangka menengah, yang 
yaitu  penjabaran visi dan misi Kepala Daerah, kecuali 
Kabupaten Tabanan yang belum disahkan hingga 2018 ini. 
Kecuali Kota Surakarta dan Kabupaten Badung, seluruh lokasi 
penelitian tidak memiliki Rencanan Induk Pembangunan 
Pariwisata Daerah yang diamanahkan oleh Undang-Undang 
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sebaliknya, 
semua lokasi penelitian memiliki Peraturan Daerah tentang 
Kepariwisataan. Hanya Kota Surakarta yang memiliki Peraturan 
Daerah ini dengan nama yang spesifik yaitu penyelenggaraan 
usaha pariwisata.
Kota Surakarta tidak memiliki daya tarik alam dan daya 
tarik buatan, namun mayoritas kebijakan pariwisata ditopang 
oleh daya tarik budaya. Kebudayaan juga menjadi komponen utama kepariwisataan, dilembagakan dalam pemerintahan 
daerah, dan ada beberapa  atraksi dan eksplorasi yang 
digelar secara rutin. Seluruh lokasi penelitian di Provinsi Bali 
memiliki daya tarik budaya dan daya tarik alam, namun tidak 
mengembangkan daya tarik buatan. Di Bali, basis integrasi dan 
karakteristik budaya yaitu  hal yang paling menonjol 
dibandingkan lokasi penelitian yang lain. 
Kota Batu menjadi masalah unik. Komitmen dan karakter 
kebijakan kepariwisataan sangat kuat namun didominasi 
oleh daya tarik buatan. Kohesi dengan budaya tidak ada. 
Pada tahun 2003, Kota Batu mengakui bahwa seni Tari 
Bantengan yaitu  seni tari yang berasal dari area  
itu. Namun kebenarannya masih diragukan, pengakuan Kota 
Batu menjadi kontroversi di antara warga  pecinta seni 
serta para seniman tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota 
Batu ini mencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan 
berkembang di seluruh area  Malang.
Kabupaten Badung, dengan komponen kebijakan 
paling lengkap, mendukung kenyataan bahwa area  ini 
yaitu  penopang utama kepariwisataan di Bali, yang karena 
posisi kepulauan ini, lantas juga menjadi penopang utama 
kebijakan serupa di negara kita . Kota Batu menyusul dalam hal 
perolehan pendapatan asli daerah, namun segera nampak 
kekurangannya dibandingkan Kabupaten Badung. Perbedaan 
hasil dan kebijakan di ketiga lokasi penelitian di Provinsi 
Bali, mengkonfirmasikan bahwa dalam area  yang sama 
ada keragaman. Kota Surakarta diuntungkan dengan 
aspek budaya dan dominasi daya tarik kebudayaan, sambil  
menegaskan posisi di masa lalu, yang masih terus berpacu 
untuk mengembangkan kohesi dalam aspek lain.
Penelitian ini dengan demikian memberikan peluang 
untuk kajian yang lebih mendalam. Mengapa terjadi perbedaan focus dan skala prioritas pluralisme lokal dalam 
kebijakan kepariwisataan pada masing-masing daerah? 
Apakah perolehan pendapatan asli daerah seperti dalam 
masalah Kota Baru dapat dipertahankan dalam jangka panjang 
untuk pelaksanaan kebijakan kepariwisataan dibandingkan 
usaha melengkapi elemen-elemen lainnya? Daya tarik 
alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan yaitu  tiga 
komponen pembentuk produk wisata, dimana ketiganya 
dapat digabung  satu dengan yang lainnya. Ketiga 
komponen produk wisata ini dapat mempengaruhi 
satu dengan yang lainya secara langsung maupun tidak 
langsung. Akan namun bagaimanakah pengaruh itu dapat 
digambarkan dan kemudian dilembagakan dalam kebijakan 
kepariwisataan? Sisi penting berikutnya, dikaitkan dengan 
kebijakan kepariwisataan nasional, apakah mungkin akan 
terjadi proses social learning sehingga warga  setempat 
disyaratkan terlibat dalam berbagai tahap pembangunan? 
Dan kemudian, bagaimanakah fasilitais ideal pemerintah 
pusat dalam kerangka tersebut, dan kemudian, bagaimanakah 
tipologi formulasi ideal dalam pembentukan hukum yang 
sesuai?











Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate