Tampilkan postingan dengan label pariwisata 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pariwisata 4. Tampilkan semua postingan

pariwisata 4

n tahap-tahap Tourism Area Life Cycle yaitu  sebagai berikut : 
Tahap 1.  Penemuan (Exploration) 
Tahap ini merupakan tahap awal berkembangnya suatu area  menjadi area  
tujuan wisata. Jumlah kunjungan turis  ke area  ini  masih dalam 
jumlah yang sangat terbatas. Pada tahap ini warga  lokal menyambut dengan 
sangat antusias kedatangan turis  ini. Kedatangan turis  merupakan 
sesuatu yang baru yang dianggap dapat memberi  wawasan baru di dalam 
kehidupan sosialnya. Tahap explorasi sering pula disebut sebagai tahap 
penemuan (discovery) suatu area  tujuan wisata. Pada tahap ini dampak 
pembangunan pariwisata masih belum tampak nyata atau masih sangat kecil. 
Meskipun muncul kegiatan yang berkaitan dengan kedatangan turis  namun 
masih pada skala yang sangat kecil.   
 
Tahap 2. Pelibatan (Involvement) 
Pada tahap pelibatan, jumlah kedatangan turis  mulai meningkat. Seiring 
dengan meningkatnya jumlah turis , penduduk lokal mulai menyediakan 
    
sarana dan fasilitas yang diperlukan  oleh turis  seperti penginapan serta 
layanan makan dan minum. Penyediaan fasilitas oleh penduduk lokal masih 
dalam bentuk usaha yang bersifat individu ataupun usaha keluarga. Pemasaran 
sarana dan fasilitas ini  hanya terbatas di dalam wilayah ini  dan 
melalui turis  yang datang. Pada tahap ini ketertarikan turis  akan cara 
hidup warga  lokal serta keinginan untuk berinteraksi secara dekat masih 
sangat tinggi. turis  masih menghormati dan menaruh simpati pada 
kehidupan warga  lokal mengambil inisiatif dengan menyediakan berbagai 
pelayanan jasa untuk para turis  yang mulai menunjukkan tanda-tanda 
peningkatan dalam beberapa periode. warga  dan pemerintah lokal sudah 
mulai melakukan sosialisasi atau periklanan dalam skala terbatas, pada musim 
atau bulan atau hari-hari tertentu misalnya pada liburan sekolah terjadi 
kunjungan turis  dalam jumlah besar, dalam kondisi ini pemerintah lokal 
mengambil inisiatif untuk membangun infrastruktur pariwisata namun masih 
dalam skala dan jumlah yang terbatas, sehingga hubungan penduduk lokal dan 
turis  masih tampak harmonis.  
 
Tahap 3. Pengembangan (Development) 
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan turis  dalam jumlah besar dan 
pemerintah sudah berani mengundang investor nasional atau internasional untuk 
menanamkan modal di area  turis  yang akan dikembangkan. 
Perusahaan asing (MNC) Multinational company) telah beroperasi dan 
cenderung mengantikan perusahan lokal yang telah ada, artinya usaha kecil 
yang  dikelola oleh penduduk lokal mulai tersisih hal ini terjadi karena adanya 
tuntutan turis  global yang mengharapkan standar mutu yang lebih baik. 
Organisasi pariwisata mulai terbentuk dan menjalankan fungsinya khususnya 
fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah sehingga 
investor asing mulai tertarik dan memilih destinasi yang ada sebagai tujuan 
investasinya. 
 Pada tahap ini, area  ini  sudah mulai dikenal sebagai area  tujuan 
wisata. Penyediaan sarana dan fasilitas pariwisata mulai dilakukan oleh orang 
orang yang lebih profesional. Pemasaran fasilitas sudah dilakukan ke luar 
wilayah khususnya ke area -area  yang menjadi asal turis . Pariwisata 
pada tahap ini sudah benar-benar telah menjadi sebuah bisnis. Interaksi langsung 
    
antara penduduk lokal dengan turis  mulai berkurang seiring dengan 
banyaknya penduduk pendatang yang bekerja di sektor pariwisata yang sedang 
berkembang ini . Di akhir tahap pembangunan (development stage), 
pertumbuhan industri pariwisata perlahan-lahan mulai melambat tidak lagi 
secepat di awal tahap pembangunan. 
 
Tahap. 4 Konsolidasi (consolidation) 
Pada tahap ini, sektor pariwisata menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi 
pada suatu area  dan ada kecenderungan dominasi jaringan internasional 
semakin kuat memegang peranannya pada area  turis  atau destinasi 
ini . Kunjungan turis  masih menunjukkan peningkatan yang cukup 
positif namun telah terjadi persaingan harga diantara perusahaan sejenis pada 
industri pariwisata pada area  ini . Peranan pemerintah lokal mulai 
semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi untuk melakukan re-
organisasional, dan balancing peran dan tugas antara sektor pemerintah dan 
swasta. 
  
Tahap. 5 Stagnasi (Stagnation) 
Pada tahapan ini, angka kunjungan tertinggi telah tercapai dan beberapa periode 
menunjukkan angka yang cenderung stagnan. Walaupun angka kunjungan masih 
relatif tinggi namun destinasi sebenarnya tidak menarik lagi bagi turis . 
turis  yang masih datang yaitu  mereka yang termasuk repeater guest atau 
mereka yang tergolong turis  yang loyal dengan berbagai alasan. Program-
program promosi dilakukan dengan sangat intensif namun usaha untuk 
mendatangkan turis  atau pelanggan baru sangat sulit terjadi.  Pengelolaan 
destinasi melampui daya dukung sehingga terjadi hal-hal negatif tentang 
destinasi seperti kerusakan lingkungan, maraknya tindakan kriminal, persaingan 
harga yang tidak sehat pada industri pariwisata, dan telah terjadi degradasi 
budaya warga  lokal. Pada tahap jenuh, industri pariwisata mulai mengalami 
persaingan yang semakin tajam karena jumlah kunjungan turis  tidak lagi 
mengalami peningkatan. Fasilitas pariwisata mulai dijual dengan harga murah 
untuk mempertahankan jumlah kunjungan turis . Kebutuhan akan tenaga 
kerja yang murah untuk mengurangi kerugian mendorong terjadinya urbanisasi. 
sesudah  lokal turut berebut sumber daya dengan penduduk pendatang yang  
memicu munculnya masalah-masalah sosial dan lingkungan di area  
tujuan wisata. Pembuat kebijakan lebih memilih mengembangkan insfrastruktur 
untuk memecahkan masalah daripada membatasi pertumbuhan. 
 
Tahapan. 6  Penurunan (Decline) 
sesudah  terjadi stagnasi, ada  dua kemungkinan bisa terjadi pada kelangsungan 
sebuah destinasi. Jika tidak dilakukan usaha-usaha keluar dari tahap stagnasi, 
besar kemungkinan destinasi ditinggalkan oleh turis  dan mereka akan 
memilih destinasi lainnya yang dianggap lebih menarik. Destinasi hanya 
dikunjungi oleh turis  domestik saja itupun hanya ramai pada akhir pekan 
dan hari liburan saja. Banyak fasilitas wisata berubah fungsi menjadi fasilitas 
selain pariwisata. Pada titik jenuh kualitas pelayanan pada berbagai fasilitas 
pariwisata mulai menurun. Penurunan kualitas memicu berkurangnya 
permintaan, hal ini akan mendorong area  tujuan wisata mulai ditinggalkan 
baik oleh turis  maupun investor yang tidak lagi bisa meraih keuntungan di 
area  ini . Jika hal ini terjadi maka area  ini  menuju tahap 
kemunduran (decline). Pada tahap ini penduduk lokal kembali mendapatkan 
otoritas di area  mereka sendiri seiring dengan menurunnya keuntungan 
ekonomi yang dapat mereka raih dari pariwisata.   
 
Tahap 7 Peremajaan (Rejuvenation) 
Jika ingin melanjutkan pariwisata, perlu dilakukan pertimbangan dengan 
mengubah pemanfaatan destinasi, mencoba menyasar pasar baru, mereposisi 
atraksi wisata ke bentuk lainnya yang lebih menarik. Jika manajemen destinasi 
memiliki modal yang cukup?, atau ada pihak swasta yang tertarik untuk 
melakukan penyehatan seperti membangun atraksi man-made, usaha seperti itu 
dapat dilakukan, namun semua usaha belum menjamin terjadinya peremajaan. 
Terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya 
pariwisata. Pendudul lokal yang kini memiliki otoritas penuh di area nya bisa 
melakukan terobosan-terobosan baru seperti menciptakan atraksi wisata artifisial 
yang baru ataupun penggunaan sumber daya alam yang belum terekplorasi 
sebelumnya untuk menarik kembali turis  untuk datang ke area  mereka.  
  
6.5 Model Index of Irritation 
 Seiring dengan dengan siklus perkembangan destinasi yang dikemukakan oleh 
Butler, pengembangan pariwisata juga harus berdimensi jangka panjang, karena 
pengembangan pariwisata yang tidak terencana justru dapat memicu  kerusakan 
lingkungan dan sosial warga  lokal, yang akan menghancurkan kehidupan jangka 
panjang bagi warga  dan keberlangsungan usaha dari pelaku usaha itu sendiri. 
Misalnya, persoalan yang timbul dari konsep wisata massal (mass tourism) yang tidak 
terencana sering berakibat pada persoalan-persoalan lokal yang sangat banyak, diantaranya 
yaitu  pada kemacetan lalu lintas, degradasi lingkungan, polusi, dan lain sebagainya. 
Terlepas dari persoalan pro dan kontra, kejenuhan destinasi terhadap meningkatnya jumlah 
kunjungan turis  ini juga dirasakan sebagian area -area  tujuan wisata seperti 
misalnya di Kuta-Bali. Akibat meningkatnya jumlah turis  yang datang, Kuta mulai 
akan mengurangi kualitas destinasi yang ada di masa depan. Dan hal ini  terekam pula 
dari keluhan warga  lokal.  
 Kehadiran turis  pada sebuah destinasi dapat berakibat positif bila terjadi 
proses interaksi yang saling melengkapi, karena sebuah interaksi sosial budaya memang 
suatu hal yang sangat diperlukan dalam pengembangan kebudayaan itu sendiri. Contohnya 
yaitu  bagaimana kearifan lokal warga  Jawa dapat memperkaya kisah Mahabarata 
yang datang dari India, dengan menambah tokoh-tokoh punakawan di dalamnya. Namun 
menghadirkan turis  yang tidak terencana pada sebuah destinasi akan dapat berakibat 
pula pada perusakan struktur sosial warga  lokal. Bahkan hal ini  dapat terjadi 
tanpa disadari oleh kedua belah pihak. Bencana budaya dapat muncul ketika warga  
lokal tidak tidak dapat secara arif menghadapi kehadiran gelombang budaya asing ini . 
Sering terjadi, justru warga  lokal yang mengikuti gaya hidup turis  dan bukan 
sebaliknya. Hasil penelitian Doxey di Barbados dan Niagara-on the Lake juga 
menunjukkan betapa berbahayanya sebuah proses pembangunan pariwisata yang tidak 
didesain dengan baik. Pembangunan pariwisata pada awalnya dapat diterima oleh 
warga  dengan antusias, namun pada akhirnya akan dapat memicu iritasi pada 
warga  lokal. Di sini warga  lokal pada akhirnya akan menerima warisan 
kerusakan fisik dan sosial dari pembangunan pariwisata di area nya sendiri. 
 Menurut Doxey ada beberapa tahapan tahapan perubahan sikap warga  lokal 
dalam perkembangan suatu destinasi. Untuk menentukan perkembangan sebuah destinasi 
dapat dipakai  analisa  Index of Irritation yang terdiri dari empat tahapan atau fase yakni: 
euphoria, apathy, annoyance, dan antagonism. Metode ini lebih mengarah pada analisa  
    
sosial yang mengukur dampak pariwisata dari sisi sosial. Hasil dari analisa  ini dapat 
mengukur perubahan perilaku warga  lokal terhadap kehadiran pariwisata di 
area nya. 
(1) Phase Euphoria ditandai dengan ditemukannya potensi pariwisata kemudian 
pembangunan dilakukan, para investor datang menanamkan modal dengan 
membangun berbagai fasilitas bisnis pendukung pariwisata, sementara 
turis  mulai berdatangan ke sebuah destinasi yang sedang dibangun, namun 
perencanaan dan kontrol belum sepenuhnya berjalan dengan baik. 
(2) Phase Apathy ditandai dengan adanya perencanaan terhadap destinasi khususnya 
berkaitan  dengan aspek pemasaran termasuk promosi pariwisata. Terjadinya 
hubungan antara penduduk lokal dengan penduduk luar dengan tujuan bisnis, 
sementara turis  yang datang berusaha menemukan keistimewaan yang 
dimiliki oleh destinasi namun tidak menemukannya. 
(3) Phase berikutnya yaitu  phase annoyance dengan ditandai terjadinya kelesuan 
pada pengelolaan destinasi mulai terasa atau dapat dikatakan mendekati titik 
jenuh. Para pemegang kebijakan mencari solusi dengan meningkatkan 
pembangunan infrastruktur tanpa berusaha mengurangi jumlah turis  yang 
datang ke destinasi sehingga kedatangan turis  dianggap sudah 
mengganggu warga  lokal. 
4) Phase yang terakhir dalam analisa  index of irriatation yaitu  antagonism 
dimana warga  lokal merasa telah terjadi gesekan sosial secara terbuka 
akibat kehadiran para turis  dan turis  dianggap sebagai penyebab dari 
segala permasalahan yang terjadi pada sebuah destinasi. Perencanaan pada 
destinasi dilakukan dengan melakukan promosi untuk mengimbangi 
menurunnya citra destinasi. Jika hal ini terus berlanjut akan muncul apa yang 
disebut antagonism di mana warga  lokal mulai membenci pembangunan 
pariwisata di area  mereka yang mendorong terjadinya pengerusakan ataupun 
ancaman bagi pariwisata di area nya. Pada tahap di mana kebencian 
warga  lokal pada pembangunan pariwisata tidak dapat merubah keadaan 
yang sudah terjadi, warga  mulai menyadari bahwa mereka harus 
beradaptasi dengan keadaan warga  yang telah berubah secara drastis akibat 
pembangunan pariwisata, tahap ini disebut tahap resignation. 
 Menurut soebandrio  perpindahan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya 
dalam model irridex Doxey disebabkan oleh tiga hal yaitu : pertama yaitu jarak, semakin 
besar jarak ini  baik ekonomi maupun budaya antara turis  dan warga  lokal, 
semakin besar akibat sosial yang ditimbulkan dan semakin besar pula kemungkinan 
terjadinya pergerakan pada tahapan tahapan yang ada. Kedua, kemampuan area  
menyerap secara fisik dan kejiwaan pertumbuhan kunjungan turis , hal ini terkait 
dengan perbandingan jumlah mereka yang datang dan jumlah penduduk. Ketiga, jumlah 
dan kecepatan perkembangan pariwisata itu sendiri, semakin cepat dan intensif tingkat 
perkembangannya, maka semakin besar kecendrungan terjadinya dampak  sosial. 
 
6.6 Daya Dukung Lingkungan Kepariwisataan  
 Seperti telah disinggung dalam uraian sebelumnya, keberlanjutan maupun 
kelestarian suatu industri kepariwisataan sangat ditentukan oleh seberapa jauh keberadaan     
faktor daya dukung (carrying capacity) lingkungan di suatu destinasi sudah 
terlanggar/terlampaui oleh beban kegiatan kepariwisataan yang ada atau belum.  
 Secara teoritik, setiap destinasi pariwisata akan memiliki  tingkat daya dukung 
lingkungannya (carrying capacity) yang berbeda-beda dalam mendukung atau menyangga 
beban aktivitas kepariwisataan yang ada. 
 Dalam pengertian yang sangat luas, pemahaman carrying capacity dari suatu 
destinasi pariwisata yang dimaksudkan dalam pengertian ini yaitu  suatu tingkat daya 
dukung lingkungan (phisik, biotik maupun sosial budaya) terhadap gangguan aktifitas 
kepariwisataan yang ada, sehingga memungkinkannya untuk dapat berlanjut dalam jangka 
waktu yang lama tanpa menimbulkan suatu perubahan lingkungan yang signifikan. 
 Dalam konteks kepariwisataan, pengertian daya dukung lingkungan (carrying 
capacity) dapat juga dimengerti sebagai suatu kondisi dimana jumlah kedatangan, lama 
tinggal dan pola perilaku turis  di destinasi yang akan memberi  dampak pada 
warga  lokal, lingkungan dan ekonomi warga  tadi, masih terjaga dalam batas 
aman dan memungkinkan untuk keberlanjutannya bagi kepentingan generasi mendatang. 
 Kondisi semacam ini dapat dihitung dan dianalisa  berdasar pada perhitungan 
beberapa variabel penting sebagai berikut : 
a. Jumlah kedatangan dan kategori turis   
b. Jangka waktu lama tinggal turis   
c. Karakter dan pola perilaku turis   
d. Karakter dan ketahanan lingkungan setempat, baik pada aspek fisik, biotik, dan 
sosial ekonomi dan sosial budaya 
 Untuk dapat menjelaskan lebih lanjut tentang beberapa faktor determinan atau 
penentu terhadap daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang terjadi dalam destinasi 
pariwisata, dalam gambar model berikut ini dapat diilustrasikan pola interaksinya antara 
kegiatan kepariwisataan yang diukur dari berbagai variabel tadi dan dampak lingkungan 
yang ditimbulkan.  
 Dari ilustrasi gambar berikut dapat dijelaskan bahwa daya dukung lingkungan 
(carrying capacity) suatu destinasi pariwisata yaitu  kondisi hasil dari fungsi berbagai 
macam faktor, baik internal maupun eksternal. 
 Bagaimanapun juga, kondisi carrying capacity dari suatu destinasi pariwisata akan 
memiliki  keterkaitan timbal balik antara fihak warga  setempat yang bermukim di 
destinasi wisata dan faktor turis  (faktor eksternal) yang berkunjung dan berinteraksi 
    
dengan warga  di destinasi. Seiring dengan berjalannya waktu kondisi warga  dan 
turis  akan bisa juga berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan (carrying 
capacity) dari suatu destinasi pariwisata.  
 Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep carrying capacity dalam pemahaman 
kepariwisataan yang merupakan respon lingkungan terhadap gangguang perilaku 
turis  di destinasi ini  yaitu  bersifat dinamis. Secara skematis proses interaksi 
antara faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal dalam kepariwisataan yang akan 
berakibat pada beban tekanan kepariwisataan terhadap daya dukung lingkungan , dapat dielaborasi lebih lanjut bahwa faktor-faktor internal 
yang bisa menjadi penentu dari tingkat kondisi daya dukung lingkungan dalam suatu 
destinasi pariwisata yaitu  sebagai berikut : 
1. Daya dukung sosial  
Struktur sosial dan ketahanan warga  di suatu destinasi memiliki peran penting 
dalam menentukan tingkat daya serap destinasi terhadap turis  untuk 
mengunjunginya. Sebagai contoh destinasi kota-kota besar seperti London dan New 
York yang memiliki kemampuan yang sangat besar dalam menerima dan menyerap 
kehadiran turis  dan sangat berbeda jauh dari kondisi kemampuan dari warga  
    
di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur yang memiliki  tingkat daya serap terhadap 
kehadiran turis  yang jauh lebih terbatas dan memiliki  kerentanan yang lebih 
tinggi terhadap dampak negatif yang berasal dari turis  yang berkunjung ke 
destinasi itu. 
2. Daya dukung budaya 
sifat  dan ketahanan sosial budaya dari suatu destinasi wisata juga memiliki 
peran yang sangat menentukan dalam menyerap dampak dari kunjungan turis  ke 
destinasi ini . Secara teoritik, sifat  sosial budaya yang unik (lain dari yang 
ada pada umumnya) akan memiliki peluang lebih besar dalam menarik jumlah 
turis  untuk datang berkunjung. Namun demikian manakala kondisi tadi tidak 
disertai dengan pengelolaan ketahanan sosial budaya dengan baik, akan cenderung 
menimbulkan dampak yang berupa rusaknya tatanan dan perilaku sosial budaya dan 
adat serta tradisi dari warga  setempat. Salah satu perwujudan dari keterlanggaran 
daya dukung budaya di suatu destinasi yaitu  terjadinya komersialisasi dan provanisasi 
nilai budaya, seperti : upacara ritual, kesenian tari, seni pertunjukkan, tata busana, 
maupun seni kerajinan yang sudah terkooptasi oleh pasar. 
3. Daya dukung fisik  
Daya dukung lingkungan suatu destinasi, baik pada aspek biotik maupun aspek abiotik 
(phisik) juga akan sangat menentukan jumlah maksimum turis  yang dapat 
ditampung oleh destinasi ini . Seperti halnya yang telah dibicarakan dalam 
pembahasan sebelumnya, faktor lingkungan di destinasi wisata akan dapat berubah 
karena pengaruh dari kehadiran dan interaksi turis  di destinasi ini . Secara 
teoritik dapat dikatakan bahwa aspek lingkungan alam lebih rentan dibandingkan 
dengan lingkungan buatan dari dampak negatif yang timbul dari aktifitas kepariwisataan 
yang ada. Secara hipotetik, tingkat keterlanggaran daya dukung lingkungan phisik di 
suatu destinasi yang diakibatkan oleh beban kunjungan turis , akan dapat 
dikendalikan melalui langkah-langkah pembatasan pengendalian : jumlah, lama tinggal, 
serta perbaikan manajemen perilaku kunjungan turis  di destinasi. 
4. Daya dukung ekonomi  
Secara luas dapat dikemukakan bahwa daya dukung ekonomi di suatu destinasi 
merupakan parameter pokok dalam menentukan besaran investasi pengembangan 
kepariwisataan di suatu destinasi. Struktur dan kekenyalan sistem ekonomi di suatu 
destinasi akan dapat menentukan rasio perbandingan manfaat dan biaya yang terkait 
dengan investasi kepariwisataan di suatu destinasi. Semakin berkembang dan maju  
perekonomian, maka kondisi industri kepariwisataan di destinasi ini  juga akan 
semakin kuat. Di samping itu dapat dikatakan bahwa industri kepariwisataan dapat 
memberi  manfaat yang maksimal dalam arti ekonomi walaupun dengan biaya dan 
besaran investasi yang relatif kecil.  
5. Daya dukung politik  
Daya dukung politik terhadap keberadaan industri kepariwisataan di suatu destinasi 
pada hakekatnya merupakan gambaran derajad legitimasi dan akseptabilitas dari 
warga  yang sekaligus mencerminkan : harapan, cita-cita dan mandat dari 
warga  pada kinerja kepariwisataan di suatu destinasi wisata. Daya dukung politik 
dapat berperan secara aktif untuk mendorong pengembangan industri kepariwisataan di 
suatu destinasi. Namun demikian di sisi lain, dukungan warga  yang rendah bahkan 
mungkin antagonism, menjadi penghalang besar bagi pengembangan industri 
kepariwisataan pada destinasi itu sendiri. 
6. Daya dukung sumber daya lokal 
Daya dukung lingkungan yang berupa ketersediaan sumber daya lokal di destinasi, baik 
yang berupa : tenaga kerja, sumber pendanaan, penyediaan lahan maupun peran aktif 
para pelaku usaha kepariwisataan dari warga  setempat, ternyata akan sangat 
berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kepariwisataan di destinasi ini . 
Saat ketersediaan sumber daya lokal di destinasi mengalami kelangkaan, maka tingkat 
persaingan untuk pemanfaatannya juga akan semakin meningkat dan kesempatan untuk 
memanfaatkan sumber daya ini  juga akan tinggi, sehingga biaya total yang harus 
dibayar dalam penyelenggaraan kepariwisataan akan semakin besar dan keberlanjutan 
usaha kepariwisataan akan terganggu. 
 Di samping faktor-faktor internal, ada beberapa faktor yang bersifat eksternal yang akan 
berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan suatu destinasi pariwisata. Beberapa faktor 
eksternal ini  yaitu  : 
1. Jumlah dan karakter turis   
Seperti telah banyak diuraikan di penjelasan sebelumnya, bahwa sifat  
turis  akan berpengaruh besar pada perilakunya di destinasi. Interaksi perilaku 
turis  dengan lingkungan warga  akan menjadi faktor penting dalam 
menentukan dampak sosial dan budaya warga  lokal. Sebagai contoh, pengunjung 
yang termasuk dalam kelompok pariwisata (rombongan) cenderung memiliki dampak 
sosial dan budaya yang jauh lebih besar daripada mereka yang termasuk kategori 
explorer dan petualang yang biasanya tidak berombongan dalam melakukan perjalanan 
    
wisata. Secara umum dapat dihipotesiskan, semakin besar perbedaan latar belakang 
sosial budaya antara warga  lokal dan turis , maka akan semakin besar pula 
konsekuensi dampak perubahannya. sifat  turis  ini juga termasuk pola 
pengeluaran pengunjung, moda transportasi, struktur kelompok, usia, latar belakang 
pendidikan, pendapatan dan tujuan kunjungan, semua faktor ini  akan berpengaruh 
pada sifat dan besarnya dampak aktivitas kepariwisataan pada warga  di destinasi. 
2. Jenis aktivitas turis   
Seperti telah dijelaskan di atas, perilaku kunjungan turis  terkait erat dengan 
sifat  turis  yang berkunjung ke destinasi ini . Khususnya pada 
aktivitas turis  yang tergolong pada segmen turis  minat khusus, dalam hal-
hal tertentu memerlukan  pengaturan dan cara penanganan secara khusus untuk 
meminimalkan dampak negatif. Aktivitas turis  yang tergolong dalam gambling 
misalnya, kalau tidak diatur secara khusus dalam wujud pembatasan tempat (lokalisasi) 
akan dapat dengan mudah meningkatkan aktivitas-aktivitas yang terkait lainnya seperti : 
prostitusi, narkoba, dan kejahatan, yang akan menjadi ancaman bagi warga  
setempat. 
3. Faktor lainnya 
Daya dukung infrastruktur yang merupakan ketersediaan berbagai fasilitas pendukung 
kepariwisataan seperti : ketersediaan air tanah, sistem pembuangan limbah, sistem 
transportasi, jumlah kamar untuk menampung turis , keamanan, fasilitas 
kesehatan, fasilitas perbankan dan sebagainya, semua akan sangat berpengaruh pada 
kenyamanan turis  dalam berinteraksi dengan lingkungan di destinasi. 
Keterlanggaran terhadap daya dukung dari infrastruktur ini pada gilirannya akan 
menjadi bentuk kampanye negatif terhadap calon turis  yang akan berkunjung ke 
destinasi ini  (Pariwisata Sebagai Industri   
Pariwisata yaitu  suatu gejala sosial yang sangat kompleks, yang menyangkut 
manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek : sosiologis, psikologis, ekonomis, 
ekologis, dan sebagainya. Aspek yang mendapat perhatian yang paling besar dan hampir-
hampir merupakan satu-satunya aspek yang dianggap penting ialah aspek ekonomisnya. 
 Untuk mengadakan perjalanan orang harus mengeluarkan biaya, yang diterima oleh 
orang-orang yang menyelenggarakan angkutan, menyediakan bermacam-macam jasa, 
atraksi, dan lain-lainnya. Keuntungan ekonomis untuk area  yang dikunjungi turis  
itulah merupakan salah satu tujuan pembangunan pariwisata. 
Dalam hubungan dengan aspek ekonomis dari pariwisata ini, orang telah 
mengembangkan konsep ”industri pariwisata”. Banyak pihak yang hampir tidak bisa 
menerima pariwisata sebagai industri, padahal banyak literatur pariwisata di awal 
dasawarsa 1960-an sudah menyebutkan pariwisata sebagai industri. Pemahaman tentang 
istilah “industri” itu sendiri dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang. Bila kita 
mendengar istilah “industri” selalu dihubungkan dengan pengertian yang terkandung di 
dalamnya, yaitu “proses produksi” yang menghasilkan suatu produk, baik dalam kaitan 
perubahan bentuk, peningkatan nilai maupun kegunaannya. Namun dalam beberapa hal, 
istilah “industri” diartikan juga dalam pengertian lebih modern: sekumpulan usaha bidang 
produksi yang menghasilkan produk (barang atau jasa) yang sejenis. Misalnya industri ban, 
industri kimia, industri pharmasi, industri kertas, industri textil, industri perhotelan, 
industri catering (hidangan makan/minum), dan sebagainya. Di samping itu, istilah 
“industri” juga dapat diterapkan sebagai sebutan terhadap kelompok usaha produksi 
dengan proses yang sama, seperti industri batik, industri tenun, industri rekaman, industri 
tata busana (fashion), dan sebagainya yang dewasa ini mendapat tempat dalam “industri 
kreatif”. 
Kalau ada industri tentu ada produk tertentu, di sini produk kepariwisataan. Ada 
konsumen, permintaan (demands), dan penawaran (supply). Ada produsen yang 
menghasilkan produk untuk memenuhi permintaan konsumen. Dalam hal industri 
pariwisata itu agaknya jelas bahwa konsumen itu ialah turis . turis lah yang 
memiliki  kebutuhan dan permintaan-permintaan yang harus dipenuhi dan untuk itu 
turis  mengeluarkan uang.  
 Harus diperhatikan bahwa meskipun kita dapat berbicara tentang industri 
pariwisata, akan tetapi industri di sini tidak dalam arti ekonomis biasa. Ada perbedaan-
perbedaan yang nyata. Industri pariwisata yaitu  industri yang kompleks, yang meliputi 
industri-industri lain. Dalam kompleks industri pariwisata ada  industri perhotelan, 
industri rumah makan, industri kerajinan/cinderamata, indsutri perjalanan, dan sebagainya.  
 Di samping itu ada perbedaan-perbedaan lain. Di antaranya yang terpenting ialah 
sebagai berikut : 
1. Produk tidak dapat dibawa ke tempat kediaman turis , akan tetapi harus 
dinikmati di tempat dimana produk itu tersedia. 
2. Wujud produk wisata akhirnya ditentukan oleh konsumen sendiri, yaitu turis . 
Bagaimana bentuk komponen-komponen produk wisata itu akhirnya tersusun 
menjadi suatu produk wisata yang utuh, pada dasarnya turis lah yang 
menyusunnya. Atraksi yang dipilihnya, angkutan apa yang akan dipakai nya, 
berapa lama dan di hotel mana ia akan singgah, itu semua turis  sendirilah 
yang menentukan. Sering karena kurang pengalaman dan pengetahuan si calon 
turis  produk itu diramu oleh perusahaan perjalanan, akan tetapi perusahaan 
perjalanan yang berpengalaman selalu menyediakan kemungkinan bagi turis  
yang diurusnya untuk mengubah acara perjalanan yang disusunnya itu, misalnya, 
dengan memberi waktu bebas yang dapat diisi dengan kegiatan yang dipilih oleh 
turis  sendiri. 
3. Apa yang diperoleh oleh turis  sebagai konsumen kalau ia membeli produk 
kepariwisataan tidak lain daripada sebuah pengalaman (experiences)   
 
Menurut soebandrio , Pariwisata sebagai suatu industri masih diperdebatkan 
diantara para pakar. Batasan pariwisata sebagai suatu industri diberikan secara terbatas, 
hanya sekedar untuk menggambarkan apa sebenarnya pariwisata itu. Dengan demikian 
dapat memberi  pengertian yang lebih luas. Jadi sebenarnya, ide memberi  istilah 
industri pariwisata (tourism industry) lebih banyak bertujuan memberi  daya tarik 
susaha  pariwisata dapat dianggap sebagai sesuatu yang berarti bagi perekonomian suatu 
negara, terutama pada negara-negara sedang berkembang.   
 Gambaran pariwisata sebagai suatu industri diberikan hanya untuk menggambarkan 
pariwisata secara konkret, dengan demikian dapat memberi  pengertian yang lebih jelas. 
Jadi ide sebenarnya memakai  istilah “industri pariwisata” itu lebih banyak bertujuan 
untuk meyakinkan orang-orang bahwa pariwisata itu memberi  dampak positif dalam 
perekonomian, terutama dampak dari multiplier effect yang ditimbulkan.  
 Sebagai suatu industri, pariwisata tidak dapat diukur, karena tidak memiliki standar 
nomor klasifikasi seperti dikatakan oleh Robert Cristie soebandrio  dan Alais M. Morrison : 
“There is no standard industrial classification number for tourism”. Oleh karena itu seperti 
apa pariwisata sebagai suatu industri sukar menjelaskan. namun, keberadaannya dapat 
dijelaskan dengan adanya sekelompok perusahaan yang hidup dan kehidupannya sangat 
tergantung dari kunjungan turis . Dengan perkataan lain, bila tidak ada turis , 
maka dapat dikatakan kelompok perusahaan ini tidak eksis, karena tidak ada orang yang 
akan dilayani 
 Hanya saja, keberadaan kelompok perusahaan ini tidak berada dalam suatu 
kelompok seperti halnya suatu pabrik yang terletak pada suatu lokasi yang sama seperti 
halnya dengan suatu pabrik yang biasanya kita kenal. Perusahaan-perusahaan kelompok 
industri pariwisata ini berbeda dalam hal : kepemilikan (ownership), manajemen 
(management), produk (products), pemasaran (marketing), lokasi (lacation).   
 Di bawah ini kita coba untuk memberi  penggolongan perusahaan-perusahaan 
yang dapat diklasifikasikan sebagai industri pariwisata dengan maksud agar dapat 
dipergunakan sebagai patokan dalam merumuskan investasi modal dan perkiraan 
pendapatan dari sektor ini. 
1. Perusahaan Pariwisata Utama langsung  
 Yang dimaksud dengan perusahaan-perusahaan pariwisata utama langsung yaitu  
semua perusahaan yang tujuan pelayanannya khusus diperuntukkan bagi perkembangan 
kepariwisataan dan kehidupan usahanya memang benar-benar tergantung padanya. Bila 
pemikiran untuk menggolongkan rincian-rincian perusahaan-perusahaan ini dipergunakan 
dengan istilah-istilah objek sentra dan subjek sentra, yaitu yang berkisar pada objek dan 
pada subjek masing-masing, maka pembagian perusahaan-perusahaan pariwisata dapat 
juga dimasukkan ke dalam kategori demikian, tergantung pada kegiatan perusahaan-
perusahaan itu sendiri, apakah kegiatan itu termasuk objek atau subjek pariwisata. Di 
bawah ini yaitu  perusahaan-perusahaan tergolong dalam objek sentra. 
1. Perusahaan akomodasi, termasuk hotel, losmen, tempat berlibur, asrama, bungalow, 
homestay, inn, dan lain sebagainya.  
2. Tempat peristirahatan khusus bagi pengunjung yang sakit beserta kliniknya, 
termasuk pemandian, khusus untuk orang sakit, spa, steambath, peristirahatan 
dengan tempat pijatnya, dan sebagainya. 
3. Perusahaan angkutan publik, termasuk pengangkutan udara, laut, maupun darat 
seperti pengangkutan dengan kereta api, bis, dan mobil (taksi) yang teratur menurut 
jaringan-jaringan yang telah ditetapkan bagi pengangkutan umum tidak termasuk 
dalam kategori perusahaan angkutan pariwisata. Tetapi mobil, bus, kereta api, 
pesawat udara, atau kapal laut, yang dipergunakan khusus untuk keperluan 
pariwisata seperti, misalnya untuk berdarmawisata, piknik, berlayar pesiar (cruise), 
bersenang-senang dan alat-alat pengangkutan yang diborong (charter) untuk 
keperluan ini , mobil dan sepeda motor (rental car or motorcycle) dan 
sebagainya yang khusus disewakan kepada turis  yaitu  termasuk kategori 
perusahaan angkutan pariwisata.  
4. Perusahaan pengrajin atau manufaktur, seperti perusahaan kerajinan tangan atau 
barang-barang kesenian (terkenal dengan nama souvernir), kartu pos bergambar 
untuk turis , penerbitan buku-buku petunjuk kepariwisataan dan lain 
sebagainya.  
5. Toko-toko penjual souvernir, seperti barang-barang kerajinan tangan atau benda-
bend lain khusus untuk turis . 
6. Usaha-usaha khusus menyediakan dan menyajikan tempat-tempat rekreasi dan 
hiburan-hiburan lain khusus untuk turis . 
7. Organisasi atau usaha yang menyediakan pramuwisata (guide), penerjemah, 
sekretaris, juru tik, juru strankripsi, perlengkapan konvensi, dan sebagainya. 
8. Klab atau lembaga khusus mempromosikan pariwisata dengan jalan mengelola, 
mengatur perbaikan, dan kebersihan objek-objek yang dikunjungi para turis  
dalam dan luar negeri.  
Perusahaan-perusahaan pariwisata yang termasuk dalam kategori ”subjek sentra” 
yaitu  perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha-usaha bagi orang yang 
merasa tertarik akan kebutuhan untuk mengadakan perjalanan atau memberi kesempatan 
kepada mereka untuk menikmati perjalanan apabila mereka sendiri tidak mampu untuk 
berbuat demikian. Dalam kategori ini, perusahaan yang termasuk subjek sentra yaitu : 
1. Perusahaan-perusahaan penerbit kepariwisataan yang memajukan promosi 
pariwisata secara umum ataupun khusus  
2. Usaha-usaha yang membiayai kepariwisataan seperti bank pariwisata, usaha kredit 
pariwisata, badan-badan yang membiayai wisata sosial atau wisata remaja.  
3. Perusahaan asuransi pariwisata seperti asuransi kecelakaan, sakit, biaya rumah 
sakit, kematian pada waktu mengadakan perjalanan. 
Kategori ketiga yaitu  perusahaan pariwisata yang menyangkut objek maupun 
subjek pariwisata sendiri. Adapun kegiatan usahanya yaitu  terdiri dari bentuk, 
hubungannya dengan kedua kategori perusahaan di atas. Prototip bentuk hubungan ini 
yaitu  biro perjalanan umum dan agen perjalanan yang memiliki  dwifungsi, yaitu 
keagenan pariwisata dan pengaturan perjalanan. Tugasnya yaitu  membawa subjek 
pariwisata ke objek pariwisata, dengan jalan menyajikan objek ini  bagi kebutuhan 
turis  sebagai subjek (dalam hal ini fungsinya yaitu  pengaturan perjalanan) atau 
dengan jalan mengatur objek pariwisata yang dikehendaki oleh subjek pariwisata (di sini 
fungsinya yaitu  sebagai agen pariwisata atau agen perjalanan) 
 
 Ciri-ciri Industri Pariwisata 
1. Service Industry 
Pariwisata disebut sebagai industri jasa karena masing-masing perusahaan yang 
membentuk indutri pariwisata yaitu  perusahaan jasa (service industry) yang 
masing-masing bekerja sama menghasilkan produk (goods and service) yang 
diperlukan  turis  selama dalam perjalanan wisata yang dilakukan pada suatu 
area  tujuan wisata. Atas dasar itulah pariwisata dapat disebut sebagai industri 
jasa (service industry). Adapun faktor-faktor produksinya yaitu  : 
1. Kekayaan alam (natural resources) 
2. Modal (capital) 
3. Tenaga kerja (manpower) 
4. Keterampilan (skill) 
2. Labor intensive 
Industri pariwisata mampu menumbuhkan dan menciptakan kesempatan kerja, baik 
langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan keperluan manusia yang 
melakukan perjalanan wisata. Oleh sebab itu, sektor pariwisata tergolong dan 
berpeluang sebagai kegiatan padat karya. Mulai dari usaha jasa pariwisata, usaha 
objek dan daya tarik wisata (alam, budaya, maupun minat khusus) sampai dengan 
usaha sarana pariwisata (akomodasi, restoran, dan area ) secara langsung 
menciptakan lapangan kerja yang tidak kecil jumlahnya. Apalagi secara tidak  
langsung atau yang merupakan dampak pengganda (multiflier effect) 
pengembangan pariwisata itu sendiri, dapat menimbulkan kesempatan bekerja dan 
kesempatan berusaha yang cukup luas. Misalnya, pembangunan konstruksi 
prasarana dan sarana pariwisata, termasuk apabila dikaitkan dengan 
berkembangnya kerajinan rakyat dan kreasi-kreasi baru bidang seni pertunjukkan di 
area -area  padat wisata. Hal ini menandakan bahwa dengan banyaknya industri 
pariwisata yang ada pada suatu wilayah atau area  membawa dampak positif 
terhadap pengentasan kemiskinan dan pengangguran pada wilayah yang 
bersangkutan.  
3. Capital intensive 
Untuk membangun sarana dan prasarana industri pariwisata diperlukan modal yang 
besar untuk investasi, akan tetapi di lain pihak pengembalian modal yang 
diinvestasikan itu relatif lama dibandingkan dengan industri manufaktur lainnya. 
4. Sensitive  
Industri perjalanan itu sangat peka sekali terhadap keadaan sosial, politik, 
keamanan (security), dan kenyamanan (comportably). Kita mengetahui turis  
yaitu  orang-orang yang mencari kesenangan pada suatu destinasi, sehingga 
dengan adanya situasi politik, kondisi sosial keamanan yang stabil, baik di negara 
asal turis  maupun di negara yang akan dikunjungi, biasanya menjadi faktor 
penentu bagi turis , apakah akan melakukan perjalanan wisata atau tidak.   
5. Seasonal 
 Permintaan akan perjalanan wisata juga ditentukan oleh musim ramai (peak season) 
atau musim sepi (off season). Musim ramai (peak season) terjadi pada hari-hari 
libur seperti libur sekolah (school holiday), atau libur akhir tahun seperti Natal dan 
Tahun Baru. Pada musim ramai ini dapat dikatakan permintaan meningkat 
dibandingkan dengan hari biasanya. Pada musim ramai ini, walau harga-harga 
relatif meningkat, namun permintaan untuk melakukan perjalanan wisata umumnya 
tetap tinggi. Sebaliknya, pada musim sepi (off season) permintaan untuk melakukan 
perjalanan wisata akan menurun. Adanya fluktuasi naik atau turunnya permintaan 
untuk berkunjung pada suatu area  tujuan wisata (DTW) tertentu, merupakan 
masalah bagi industri pariwisata. Sebagai akibat terjadinya fluktuasi itu, banyak 
biro perjalanan wisata dan area  tujuan wisata mengalami kesulitan, karena pada 
musim ramai dirasakan kekurangan sarana atau tenaga yang melayani turis ,  
sedangkan pada musim sepi semua sarana dan karyawan menjadi menganggur 
karena tidak ada yang dilayani, sehingga menimbulkan pengangguran.  
6. Quick yielding industry 
 Dengan mengembangkan pariwisata sebagai industri, devisa (foreign exchanges) 
akan lebih cepat bila dibandingkan dengan kegiatan ekspor yang dilakukan secara 
konvensional. Hal ini bisa dilihat dari sejak turis  menginjakkan kakinya di 
negara yang dikunjungi, karena saat itu wisatawna harus membayar semua 
kebutuhannya, mulai dari akomodasai, hotel, makanan dan minuman, transportasi, 
souvernir, dan lain-lain.   

Produk yaitu  suatu barang atau jasa yang ditawarkan pada konsumen untuk 
memperoleh pendapatan (income) melalui sistem perdagangan yang umum berlaku. Pada 
umumnya, produk juga didefinisikan sebagai segala sesuatu (benda fisik, jasa, tempat, 
organisasi, dan ide) yang dapat ditawarkan (ke pasar) untuk diperhatikan, dipakai , 
diakuisisi, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan pelanggan. 
Globalisasi meningkatkan keseragaman dan modifikasi produk-produk pariwisata melalui 
ekspansi dan atau outsourcing yang membentuk homogenitas standar rantai nilai produk 
destinasi, hotel, lingkungan dan penjual, oleh karena itu sangat mungkin, perusahaan akan 
dikejutkan oleh penurunan pengalaman berwisata dan di sisi lain meningkatnya kesulitan 
dalam menggerakkan pemasaran untuk membedakan diri dari pesaing. Sistem pemasaran 
berbasis pasar dipandu oleh nilai, minat, motivasi dan keuntungan. Oleh karena itu, secara 
umum, nilai dari sebuah produk yaitu  segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar 
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen (turis ) dapat terwujud atau 
tidak berwujud atau kombinasi keduanya.  
Produk industri pariwisata tidak banyak berbeda dengan komoditi yang banyak 
diperdagangkan seperti yang kita ketahui, dalam perdagangan produk industri pariwisata 
juga berlaku hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply). Produk pariwisata 
(tourism product) merupakan suatu bentukan yang nyata (tangible product) dan tidak nyata 
(intangible product), dikemas dalam suatu kesatuan rangkaian perjalanan yang hanya dapat 
dinikmati, apabila seluruh rangkaian perjalanan ini  dapat memberi  pengalaman 
yang baik bagi orang yang melakukan perjalanan atau yang memakai  produk ini . 
Sehingga bentuk dari produk pariwisata itu pada hakikatnya yaitu  tidak nyata, karena     
dalam suatu rangkaian perjalanan ada  berbagai macam unsur yang saling melengkapi, 
tergantung pada jenis perjalanan yang dilakukan oleh turis . Seperti ilustrasi misalkan 
turis  akan melakukan perjalanan ke sebuah pulau dengan tujuan menikmati 
keindahan taman alam bawah laut di sekitar pulau ini , tentunya turis  akan 
memerlukan  fasilitas penunjang, seperti perahu untuk menyeberang ke pulau, fasilitas 
kendaraan yang membawa mereka dari rumah ke pulau yang dituju dan setibanya di pulau, 
turis  memerlukan  fasilitas akomodasi dilengkapi makan dan minum selama berada 
di pulau itu, serta tentu adanya perlengkapan untuk menyelam. Dengan demikian, 
berdasar ilustrasi di atas jelas bahwa rangkaian perjalanan turis  ke sebuah pulau 
memerlukan  komponen produk pariwisata secara holistik dan tidak bisa berdiri sendiri-
sendiri, yang berarti bahwa fasilitas penunjang, transportasi, akomodasi, makan dan minum 
serta perlengkapan menyelam dan bahkan atraksi wisata di pulau ini  merupakan satu 
kesatuan yang saling mengikat dan melengkapi untuk tujuan menciptakan kepuasan 
pengalaman rekreasi bagi turis . Dan masih banyak komponen produk pariwisata lain 
yang tidak nampak dalam ilustrasi ini , yang pada umumnya disebut sebagai 
komponen pelayanan, seperti yang terjadi pada saat petugas memberi  layanan kepada 
turis  pada saat turis  berada di berbagai fasilitas yang dipakai . Dari uraian 
ini , secara umum mudah dikenali bahwa produk pariwisata terdiri dari aksesibilitas, 
fasilitas dan pelayanan serta atraksi wisata dan hiburan.  
Produk industri itu dikemas dari bermacam-macam produk perusahaan kelompok 
industri pariwisata yang dikonsumsi turis  dalam perjalanan wisata yang 
dilakukannya. Produk-produk yang membentuk suatu paket wisata (package tour) itu 
paling sedikit terdiri dari tempat duduk (seat) di pesawat, kamar hotel (rooms) tempat 
dimana akan menginap, makan dan minum di restoran, objek dan atraksi wisata (tourist 
attractions) yang akan dilihat atau disaksikan di area  tujuan wisata yang akan 
dikunjungi.  
Menurut soebandrio (1994:14), kegiatan pariwisata dapat menjadi besar disebabkan 
tiga hal. Pertama, penampilan yang eksotis dari pariwisata; kedua, adanya keinginan dan 
kebutuhan orang modern yang disebut hiburan waktu senggang; dan ketiga, memenuhi 
kepentingan politis pihak yang berkuasa dari negara yang dijadikan area  tujuan 
pariwisata. Memang, sebagian besar aktivitas pariwisata berkaitan  dengan mobilitas 
dengan istilah pariwisatanya disebut tur, yaitu suatu kegiatan perjalanan yang memiliki  
ciri-ciri tersendiri yang memberi warna wisata, bersifat santai, gembira, bahagia, dan untuk 
bersenang-senang ,
 berdasar aktivitasnya, penyelenggaraan pariwisata harus memenuhi tiga 
determinan yang menjadi syarat mutlak. Pertama, harus ada komplementaritas antara motif 
wisata dan atraksi wisata, kedua, komplementaritas antara kebutuhan turis  dan jasa 
pelayanan wisata, ketiga, transferbilitas, artinya kemudahan untuk berpindah tempat atau 
bepergian dari tempat tinggal turis  ke tempat atraksi wisata (Soekadijo, 1997:23). 
Dipertegas oleh Witt dan Motinho (1994:2) yang menjelaskan sistem pariwisata 
menunjukkan bahwa pariwisata berada di dalam lingkungan fisik, teknologi, sosial, 
budaya, ekonomi dan politik. Sistem ini melibatkan dua tipe area yaitu area yang 
menghasilkan dan area yang menerima. Bagian dari area yang menghasilkan terdiri dari 
pelayanan tiket, tur operator, dan agen perjalanan, ditambah dengan pemasaran dan 
kegiatan promosi dari persaingan area  tujuan. Saluran tranportasi dan komunikasi 
yang menghubungkan bagian dari sistem pariwisata melalui tranportasi udara, daratan dan 
air yang membawa turis ke dan dari yaitu  ketiga bagian ini . Sedangkan area 
penerima menyediakan fungsi akomodasi, catering, minuman, industri hiburan, obyek dan 
atraksi wisata, tempat pembelanjaan dan pelayanan wisata. Atas penegasan ini  
memperjelas bahwa produk pariwisata meliputi keseluruhan pelayanan yang diperoleh, 
dirasakan atau dinikmati turis , semenjak ia meninggalkan rumah dimana biasanya ia 
tinggal, sampai ke area  tujuan wisata yang telah dipilihnya dan kembali ke rumahnya 
(soebandrio ,1996:172). Ditambahkan oleh Baud-Bovy (soebandrio , 2002:128) bahwa produk 
pariwisata yaitu  sejumlah fasilitas dan pelayanan yang disediakan dan diperuntukkan bagi 
turis  yang terdiri dari tiga komponen, yaitu sumber daya yang ada  pada suatu 
area  tujuan wisata, fasilitas yang ada  di suatu area  tujuan wisata dan transportasi 
yang membawa dari tempat asalnya kesuatu area  tujuan wisata tertentu.  
 Bagaimana kalau seorang turis  yang melakukan perjalanan wisata secara 
individu dan membeli komponen paket wisata secara terpisah (tiket dipesan sendiri, kamar 
hotel dicari pada waktu di kota yang dikunjungi, makan dipilih dimana mereka suka, 
hiburan sesuai dengan event yang ada, obyek dan atraksi wisata dipilih setelah sampai di 
area  tujuan wisata yang dikunjungi) yang mana dalam hal ini dapat disebut sebagai 
produk industri pariwisata ? Dalam hal ini, soebandrio  (2002:128) menjelaskan si turis  
membeli ketenangan secara terpisah (buy separately) yang langsung membeli kepada unit-
unit usaha yang termasuk dalam kelompok industri pariwisata. Hal seperti ini tidak dapat 
dikatakan membeli produk industri pariwisata, tetapi membeli produk airline (tiket), hotel 
(kamar), restaurant (food and beverages), entertainment (cultural performance), tourist 
attractions (natural and cultural resources).  
Dari uraian ini , semakin jelas bahwa produk industri wisata merupakan 
produk gabungan (composite product), campuran dari berbagai obyek dan atraksi wisata 
(tourist attractions), tranportasi (transportation), akomodasi (accommodations) dan 
hiburan (entertainment). Tiap komponen disuplai oleh masing-masing perusahaan atau unit 
kelompok industri pariwisata. Kini semakin jelas, bila dilihat dari sisi turis , produk 
industri pariwisata itu tidak lain yaitu  suatu pengalaman yang lengkap semenjak ia 
meninggalkan negara asal dimana ia biasa tinggal berdiam, selama di area  tujuan wisata 
yang dikunjungi, hingga ia kembali pulang ke tempat asalnya semula di mana ia biasa 
tinggal. 
Berkaitan dengan produk pariwisata menurut Marrioti 
manfaat dan kepuasan berwisata ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan, yaitu 
pertama, tourist resources yaitu segala sesuatu yang ada  di area  tujuan wisata yang 
merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat area  
tujuan wisata dan kedua, tourist service yaitu semua fasilitas yang dapat dipakai  dan 
aktifitas yang dapat dilakukan yang pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara 
komersial. 
Produk pariwisata merupakan produk jasa yang bersifat kompleks dan memiliki  
sifat  spesial, dimana akan membedakan mereka dengan produk manufaktur, seperti 
produk barang-barang elektronik ataupun hasil bumi. Pemahaman atas sifat  produk 
pariwisata sangat diperlukan dalam keberhasilan suatu pemasaran produk pariwisata 
ini . Untuk lebih jelasnya, sifat  tentang produk pariwisata yang merupakan 
produk jasa, sifat nya antara lain sebagai berikut. 
1) Intangibilty  
Sebuah produk jasa yang bersifat intangible artinya produk ini  tidak dapat 
didemontrasikan atau dicoba (dites) sebelum dibeli atau dipakai . Berbeda dengan 
produk mobil yang bisa dicoba pada show room atau produk televisi yang dapat 
disaksikan kejernihan gambarnya karena bisa dicoba. Produk jasa atau pariwisata 
hanya dapat sebatas menawarkan janji atau garansi serta ketepatan waktu penyediaan 
jasa kepada turis  yang akan melakukan perjalanan wisata. Penyediaan brosur, 
video, dan media lainnya kurang lebih dapat menutupi permasalahan yang timbul 
sebagai akibat dari tidak memungkinkannya seorang calon turis  bisa mencoba 
suatu produk pariwisata.  
2) Perishability 
Artinya, sebuah produk jasa seperti produk pariwisata (tidak seperti produk barang) 
yang tidak dapat disimpan lama, dan kemudian untuk dijual saat harga tinggi. Produk 
pariwisata yang tidak dapat terjual pada saat itu, artinya tidak dapat dijual selama-
lamanya. Seperti contoh: penjualan kamar hotel, penjualan tempat duduk pada pesawat 
terbang, penjualan tempat seminar pada convention center. 
3) Inseparibility 
Pada umumnya, produk jasa diproduksi dan dikonsumsi pada tempat yang sama dan 
bersamaan. Tidak sama seperti barang, suatu produk pariwisata harus dikonsumsi pada 
tempat di mana produk itu dihasilkan. Contohnya: Jika seorang turis  ingin 
berlibur dan menikmati keindahan suasana pantai Kuta, gemerlapnya suasana Kuta - 
Bali di malam hari, maka seorang turis  harus datang ke Bali. Artinya, tidak 
mungkin pantai Kuta yang indah itu dibawa ke area  asal turis  ini . 
Berbeda dengan produk barang seperti: DVD player, sebuah produk yang dibuat di 
Jepang tetapi dapat diperoleh atau dikonsumsi di mana saja. Jadi, tidak harus pergi 
jauh-jauh ke Jepang hanya untuk mendapatkan atau membeli sebuah DVD player. 
Dengan mengetahui sifat  suatu produk pariwisata, maka juga dapat diketahui 
betapa sensitifnya dan penuh resiko yang tinggi. Suatu produk pariwisata akan 
dipengaruhi oleh hal-hal, seperti terorisme, wabah penyakit, keamanan politik suatu 
negara, dan isu-isu lainnya.   
4) Complementarity of tourist service 
Produk masing-masing perusahaan pariwisata itu baru akan tinggi nilainya bila produk 
yang satu dikombinasikan dengan produk yang lain hingga memiliki nilai yang lebih 
tinggi (value added) bagi konsumen pemakainya seperti turis .  
5) Pemasaran memerlukan dukungan organisasi resmi  
Karena sifat dan karakter produk industri pariwisata yang jauh berbeda dengan produk 
manufaktur, apalagi dengan karakter supply yang terpisah-pisah dan terdiri perusahaan 
kecil menengah, sedang permintaan dalam satu paket wisata yang utuh, maka wajar 
pemerintah ikut membantu suksesnya pemasaran dalam kepariwisataan. 
6) Memerlukan after sales service 
Salah satu faktor yang paling penting dan menentukan yaitu  pelayanan purna jual 
(after sales service). Umumnya orang tidak mau membeli barang berharga yang tidak 
disertai pelayanan purna jual.   
Di samping itu, turis  akan melakukan perjalanan wisata bila ada  
hubungan antara motif melakukan wisata dengan area  yang dituju. Sedangkan 
perjalanan wisata dapat dilakukan bila ada sarana untuk mencapai tempat ini , seperti 
pesawat terbang, kereta api, kapal laut dan kereta. Sarana ini tidak cukup memenuhi syarat 
bila di area yang menjadi area  tujuan wisata tidak dilengkapi sarana untuk keperluan 
hidup turis  selama berwisata, seperti jasa makanan dan minuman, akomodasi, 
hiburan, tempat perbelanjaan dan sarana tranportasi yang dapat mengantarkan ke tempat-
tempat wisata yang lainnya. Agar perjalanan wisata ke area  tujuan wisata dapat 
terpuaskan, maka diperlukan pengemasan produk pariwisata yang sesuai dengan kebutuhan 
dan keinginan turis . 
 Pandangan keseluruhan produk pariwisata sangat relevan dengan keputusan 
pemasaran yang diambil oleh usaha perorangan di sektor pariwisata. Hal ini menentukan  
hubungan timbal balik dan cakupan untuk kerjasama dan kemitraan antara pemasok di 
berbagai sektor industri, misalnya antara transportasi dan akomodasi. Tapi dalam 
merancang produk mereka menawarkan layanan khusus di sekitar wilayah kerja mereka, 
ada yang dimensi internal produk untuk pemasar untuk mempertimbangkan. Ini yang 
umum untuk semua bentuk pemasaran konsumen dan bagian teori pemasaran secara luas 
diterima. Produk pariwisata merupakan produk komposit yang tidak bisa dipisahkan satu 
sama lainnya dalam membentuk pengalaman berwisata. Hal ini menunjukkan totalitas 
produk yang terdiri dari packaging, programming, people, dan partnership sebagai bagian 
yang tidak dapat dipisahkan dari core product, facilitating product, supporting product dan 
augmented product.  
1. Core Product  
Core product dalam pariwisata yaitu  serangkaian layanan penting dari sebuah produk 
intangible yang dirancang dan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan turis , 
manfaat inti yang dirasakan dan dicari oleh pelanggan, dinyatakan dalam kata-kata dan 
image yang dirancang untuk memotivasi pembelian. Untuk kegiatan akhir pekan, 
manfaat inti dapat didefinisikan sebagai relaksasi, istirahat, menyenangkan dan 
pemenuhan kebutuhan dalam konteks keluarga. Jika terpenuhi maka inilah sebetulnya 
jawaban terhadap apa yang sebenarnya akan dibeli oleh konsumen. Setiap produk 
yaitu  paket untuk memecahkan masalah konsumen. Jika sebaliknya maka produk 
bukan produk inti.  
Perlu dicatat bahwa produk inti mencerminkan sifat  dan kebutuhan target 
pelanggan, bukan hotel atau destinasi. Produk inti menetapkan pesan utama dimana  
destinasi atau hotel mengomunikasikan dirinya. Destinasi dirancang untuk 
mengkomunikasikan produk inti yang lebih baik dibandingkan pesaingnya, dan 
menyampaikan pesan manfaat yang jauh lebih baik dibandingkan lainnya. Semua 
perusahaan mengarah pada kebutuhan dasar pelanggan biasanya cenderung tidak terlalu 
cepat berubah, tetapi perusahaan harus berubah secara drastis dalam memenuhi 
kebutuhan turis  dengan lebih baik, ini mungkin karena (1) tekanan pesaing 
sehingga pelanggan beralih, atau (2) persepsi pelanggan tidak pernah dipahami dengan 
cepat.  
Produk inti ini menjadi produk formal (berwujud) yang ditawarkan secara khusus dan 
juga resmi sebagaimana tercantum dalam situs brosur atau web, menyatakan apa yang 
akan diberikan kepada turis  pada waktu tertentu pada harga tertentu, misalnya 
kunjungan dua hari-malam dan dua kali sarapan di lokasi tertentu, memakai  kamar 
standar : kamar mandi, telepon, televisi, lift, kedai kopi, AC, dan kolam renang semua 
dalam bentuk formal dan nama hotel beserta destinasi juga disertakan.  
Dalam produk hotel umumnya, dianggap sebagai komoditas dan harga mungkin 
menjadi alasan utama para turis  untuk menentukan pilihan, atau setidaknya 
pelanggan akan mudah mengenali identitas perusahaan. Gambaran produk resmi, bukti 
fisik, penggunaan desain dan identifikasi sebagai salah satu cara untuk membedakan, 
membuat lebih nyata dan mengkomunikasikan produk formal dalam pikiran calon 
pembeli dan membentuk dasar atau berlanjut pada sebuah kontrak atau transaksi 
penjualan. 
2. Facilitating product  
 Jasa atau barang harus hadir untuk tamu/pengunjung agar bisa memakai  produk 
inti. Ini sangat bervariasi untuk produk dan jasa yang berbeda dan sangat tergantung 
pada espektasi para tamu. Sebagai contoh, sebuah hotel berkelas dimana tamu 
memerlukan layanan check in dan layanan check out, telepon, restoran, dan layanan 
lainnya. Di sisi lain, di sebuah hotel melati dengan layanan terbatas, fasilitas layanan 
mungkin tidak lebih dari layanan check in dan layanan check out , telepon umum. Selain 
itu, salah satu aspek penting dalam facilitating product yaitu  aksesibilitas. Misalnya, 
tamu mengharapkan hotel berbintang untuk menyediakan fasilitas bisnis dan dapat 
diakses ketika tamu ingin memakai  layanannya. Oleh karena itu, desain produk  
sangat memerlukan pemahaman target pasar dan fasilitas layanan yang mereka 
butuhkan.   
3. Supporting product  
Produk inti umumnya memerlukan facilitating product tetapi belum tentu memerlukan  
supporting product. Supporting product tambahan yang ditawarkan untuk menambah 
nilai produk inti dan membantu memberdayakan posisinya diantara pesaing. Sebagai 
contoh, supporting product dalam sebuah hotel misalnya menyediakan layanan pusat 
bisnis, spa, atau layanan purna jual dapat membantu untuk menarik pelanggan ke hotel, 
atau repeater. Facilitating product untuk satu segmen pasar dapat mendukung produk 
yang lain, sementara supporting product tidak selalu, misalnya keluarga mungkin tidak 
memerlukan restoran dan layanan lainnya ketika menginap di sebuah hotel, turis  
bisnis tergantung diri mereka sendiri. 
4. Augmented product  
Augmented product (produk tambahan) terdiri dari semua bentuk nilai tambah yang 
disediakan oleh produsen untuk memperkuat tawaran produk inti, untuk membuat 
tawaran kita lebih menarik dari tawaran pesaing kepada calon turis . Augmented 
product termasuk aksesibilitas, atmosfer, interaksi pelanggan dengan layanan 
organisasi, partisipasi atau keterlibatan pelanggan, dan interaksi antar pelanggan. Unsur-
unsur ini harus terintegrasi dengan produk inti, facilitating product, dan supporting 
product akan menentukan apa yang akan diterima oleh pelanggan, bukan persoalan 
bagaimana mereka menerimanya. Menawarkan produk inti dan produk tambahan, 
menggabungkan apa yang akan ditawarkan dan cara menyampaikannya itulah masalah 
yang tidak pernah usang dalam bisnis. Augmented product berwujud dan tidak berwujud 
sulit didefinisikan dengan presisi yang tepat, terutama untuk mencari keunggulan 
kompetitif dan perbedaan penting sebuah produk formal dan totalitas semua manfaat 
produk dalam kaitannya dengan penyampaian produk kepada pelanggan. Produk 
tambahan harus dapat mengekspresikan nilai tambah di atas tawaran resmi. Ini 
merupakan area penting bagi kesempatan produsen untuk membedakan produk mereka 
dari pesaing. 
Perusahaan dapat menambahkan manfaat tambahan tangible ke produk inti formal 
walaupun terkesan sepele seperti kotak cokelat gratis, atau segelas es teh atau lainnya 
pada saat kedatangan, sampai pada bentuk yang signifikan, seperti tiket masuk ke 
tempat-tempat hiburan lokal. Tambahan lain mungkin dalam bentuk intangible, seperti 
kualitas layanan yang disediakan, keramahan staf dan suasana yang hangat dan 
menyenangkan. Prinsipnya semua elemen tambahan harus dirancang dan dikembangkan 
untuk menambah manfaat produk inti dan dihitung seberapa kekuatannya dalam  
meningkatkan daya tarik untuk memenuhi kebutuhan segmen sasaran. Dengan 
demikian, produk pariwisata merupakan 1) totalitas tawaran manfaat dari sebuah paket 
produk berwujud dan tidak berwujud yang dimaknai atau dipersepsikan oleh turis  
sebagai suatu pengalaman dari setiap destinasi yang berbeda dengan harga yang sama 
atau berbeda; 2) total tourist product yaitu  totalitas mental construction dalam benak 
konsumen saat melakukan transaksi produk wisata, misalnya keinginan dan harapan; 3) 
specific tourist product yaitu  produk yang dikonsumsi oleh turis  untuk produk 
utama, misalnya akomodasi, transportasi, atraksi, daya tarik wisata, dan fasilitas 
pendukung lainnya seperti persewaan mobil dan penukaran uang asing.  
5. Partnership 
Kemitraan (partnership) pemasaran menjadi sangat relevan dalam pemasaran 
pariwisata, konsep relationship marketing (membangun, memelihara, dan 
meningkatkan relasi jangka panjang) dengan turis , pemasok, dan perantara dalam 
travel trade mendapat nilai strategisnya dalam pemasaran pariwisata. Kemitraan bisa 
berbentuk kerjasama promosi (joint promotion) maupun kerjasama penjualan (sales 
cooperation) diantara pelaku usaha maupun dengan pemerintah. Bentuk kerjasama bisa 
berdurasi pendek maupun perjanjian kerjasama pemasaran jangka panjang yang 
melibatkan penyedia produk lintas industri maupun pemerintah lintas wilayah . 
6. People  
Seperti telah disebutkan sebelumnya, produk pariwisata yang mengandung banyak 
komponen jasa dan pelayanan. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya manusia 
menjadi tantangan tersendiri dalam pemasaran pariwisata. Service culture dan 
kreativitas packaging dan programming memerlukan  pengelolaan sumber daya 
manusia dan intellectual capital secara strategis. Dalam hal ini, pelatihan, pengendalian 
kualitas, standarisasi kualifikasi dan sertifikasi kompensasi sumber daya bidang 
pemasaran pariwisata menjadi bagian penting dalam menentukan keberhasilan 
pemasaran suatu destinasi wisata.  
7. Packaging  
Dalam industri pariwisata, packaging merupakan elemen yang ikut menentukan daya 
saing produk wisata. Serangkaian produk wisata yang dikemas dan dijual dengan 
menarik akan membentuk pengalaman berwisata yang menarik pula. Packaging yaitu  
kombinasi dari jasa dan daya tarik wisata yang saling berkaitan dalam satu paket 
penawaran harga.  
8. Programming  
Programming yaitu  suatu teknik yang berkaitan dengan packaging, yaitu 
pengembangan aktivitas tertentu, acara atau program untuk menarik dan meningkatkan 
pembelajaan turis , atau memberi  nilai tambah pada paket atau produk wisata. 
9. Kemasan atraksi  
Kesempatan besar lainnya manfaat ekonomi yang signifikan yaitu  mendorong dan 
memfasilitasi peluang kemasan paket produk liburan dalam jumlah hari (misalnya 3, 5,7 
hari) yang sepenuhnya inklusif dalam menciptakan dominasi pengalaman liburan dalam 
berbagai ragam produk. Kemasan atraksi berpotensi positif terhadap semua sektor 
industri dan akan mendorong operator wisata terisolasi ke jaringan korporasi 
 Oleh karena itu, kemampuan untuk memenuhi memotivasi perjalanan seperti 
kebutuhan untuk menghilangkan kejenuhan, relaksasi, petualangan atau lainnya bervariasi 
antar segmen dan tergantung pada tujuan perjalanan. Produk destinasi yang disediakan 
mungkin menawarkan produk inti yang berbeda untuk pasar yang berbeda dan pada waktu 
yang berbeda karena destinasi dilihat oleh turis  sebagai bagian dari dirinya sendiri. 
Produk tambahan merupakan komponen yang memberi  nilai tambah terhadap produk 
inti, itulah sebabnya provider, travel agent dan host lainnya sebagai bagian dari totalitas 
produk harus memastikan bahwa mereka dapat memberi  jaminan kepuasan untuk 
mengatasi resiko perjalanan yang mungkin akan dialami
 
 Siklus Hidup Produk Pariwisata 
 Konsep pemasaran produk dirancang untuk memenuhi kebutuhan target pasar. 
Namun produk utama destinasi wisata terbaik biasanya sulit untuk beradaptasi dengan 
perubahan permintaan. Misalnya perang harga antar tour operator yang memicu 
parmintaan akomodasi meningkat, mendorong pembangunan hotel baru. Pergeseran 
permintaan pasar dan destinasi berkembang melalui siklus hidup produk yang 
menunjukkan fluktuasi permintaan dan munculnya kesempatan baru, mengidentifikasi 
potensi peluang dan permasalahan yaitu  cara bijak untuk menyelamatkan kegagalan 
usaha. Siklus hidup produk (product life cycle) pariwisata ditandai oleh lima tahapan yang 
berbeda : 
1. Pengembangan produk  
Tahap ini dimulai ketika perusahaan menemukan dan mengembangkan ide produk 
baru. Selama pengembangan produk, penjualan nol dan biaya investasi bertambah. 
Dalam pengembangan produk wisata perlu mempertimbangkan : 
    
a) Dalam kondisi tertentu, pengembangan produk dilakukan dari produk yang 
sudah ada, dengan lebih menekankan pada peningkatan style, tampilan produk 
dan nilai tambah untuk meningkatkan daya tarik yang lebih besar, daripada 
membuka destinasi wisata baru 
b) Pengembangan produk harus mempertimbangkan partisipasi warga  lokal, 
budaya, karakter ikatan sosial, dan lingkungan alam. Manajemen dan 
warga  lokal dapat menikmati keuntungan dari pariwisata dalam 
keselarasan dengan budaya, sosial, dan lingkungan setempat. 
c) Kerjasama antar unit di area , dikoordinasikan dengan dukungan teknologi 
informasi dan komunikasi untuk merangsang apresiasi terhadap pentingnya 
pengembangan produk untuk kepentingan warga  lokal secara 
keseluruhan. 
d) Situasi dan tren pariwisata dipertimbangkan, karena akan menjadi faktor 
penentu permintaan pasar. 
2. Tahap introduksi  
Sebagai produk yang diperkenalkan ke pasar, keuntungan belum ada, biaya-biaya 
tambahan masih diperlukan dalam pengenalan produk. Tahap pengenalan 
memerlukan  waktu, dan pertumbuhan penjualan cenderung masih lambat. 
Misalnya, ketika hotel berbintang yang baru diperkenalkan, sementara pemain 
sudah banyak maka budget tambahan untuk promosi diperlukan sampai hotel 
ini  membuktikan diri di pasar. 
3. Tahap pertumbuhan  
Ini merupakan tahap penerimaan pasar yang cepat dan keuntungan mulai 
meningkat. Perusahaan memakai  beberapa strategi untuk mempertahankan 
pertumbuhan pasar yang cepat selama mungkin, dengan cara : 1) meningkatkan 
kualitas produk, layanan dan menambah fitur dan varians produk, 2) 
mengembangkan segmen pasar baru, 3) memperluas saluran distribusi baru, 4) 
pergeseran pesan iklan dari membangun kesadaran produk menjadi membangun 
keyakinan terhadap produk dan pembelian, atau 5) menurunkan harga pada saat 
yang tepat untuk menarik lebih banyak pembeli 
4. Tahap Kedewasaan  
Tahap ini menunjukkan masa perlambatan pertumbuhan penjualan karena produk 
telah mencapai penerimaan oleh sebagian besar pembeli potensial. Laba sering 
mendatar atau menurun akibat persaingan dan strategi pertahanan produk. Tahap 
    
ini biasanya berlangsung lebih lama dari tahap 2 dan 3 sebelumnya. Tahap ini 
merupakan tantangan terbesar bagi marketer. Sebagian besar produk dalam tahap 
ini berisi pesaing-pesaing yang sudah mapan di segmen pasar utama. Dengan 
demikian, manajer produk seharusnya tidak hanya mempertahankan produk tetapi 
harus mempertimbangkan memodifikasi target pasar, produk, dan bauran 
pemasarannya.  
5. Tahap penurunan  
Pada tahap ini ditandai oleh penjualan dan keuntungan yang menurun dengan cepat. 
Penurunan ini karena berbagai alasan, misalnya kemajuan teknologi, pergeseran 
selera konsumen, dan meningkatnya persaingan. Akibatnya, beberapa perusahaan 
menarik diri dari pasar karena mempertahankan produk yang lemah bisa sangat 
mahal, dan bukan hanya dalam hal penjualan dan keuntungan berkurang, tetapi 
juga menguras waktu manajemen. Oleh karena itu, manajemen harus memutuskan 
apakah akan mempertahankan, memanen, atau menjualnya. 
Kegunaan Product Life Cycle (PLC) dapat menggambarkan kelas produk (restoran 
cepat saji) bentuk produk (makanan cepat saji). Product Life Cycle disamping sebagai alat 
prediksi, tetapi juga sebagai cara mengonseptualisasikan pengaruh pasar, lingkungan, dan 
persaingan. Tidak semua produk mengikuti siklus hidup produk. Beberapa produk yang 
diperkenalkan dan cepat mati, misalnya, klub malam trendi seringkali akan memiliki siklus 
hidup yang pendek dengan kurva yang lebih curam. Hotel sering mulai mengalami 
penurunan dan kemudian melalui renovasi dan reproduksi, popularitasnya kembali menjadi 
besar dan memasuki tahap pertumbuhan baru.  
 
 Menciptakan Daya Saing Produk  
 negara kita  sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 
pulau, 300 lebih suku bangsa merupakan sebuah destinasi pariwisata yang sangat besar dan 
kaya dengan keragaman sumber daya wisata, baik alam, dan budaya. Ini memerlukan 
manajemen atraksi, dukungan sarana-prasarana dan infrastruktur, serta dukungan 
warga  di sekitar destinasi perlu diperkuat agar potensi-potensi kepariwisataan dan 
produk-produk pariwisata dapat dikelola dan dikemas sebagai produk wisata yang 
menarik, berdaya saing tinggi, dan menciptakan unique selling points bagi turis .  
 Menciptakan daya saing dapat dilakukan melalui inovasi brand. Produk wisata 
dengan konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan mampu menciptakan jenis wisata  
baru, yaitu produk wisata yang ramah lingkungan (green tourism). Inovasi brand sebagai 
bagian penting dari konsep marketing dalam menghasilkan : 
a) Atraksi wisata alam atau budaya yang sesuai dengan prinsip kelestarian 
lingkungan, misalnya model ecotourism, adventure tourism, wildlife tourism, dan 
community based tourism 
b) Akomodasi wisata, misalnya penginapan dan restoran yang ramah lingkungan  
c) Aksesibilitas wisata seperti jalan dan transportasi yang ramah lingkungan  
d) USP (Unique selling point) keunikan nilai jual dari sebuah produk wisata 
Dalam konteks green tourism, secara umum cara-cara yang dapat dipakai  untuk 
mencipatakan daya saing produk wisata, sebagai berikut : 
a) Mengidentifikasi peluang produk wisata baru 
Salah satu tren wisata yaitu  eco-lodge, yaitu penginapan yang bernuansa alam dan 
dibangun dengan memakai  material yang ramah lingkungan dan dikelola 
dengan sustainable management. Misalnya Bali mountain eco-lodge yaitu  bentuk 
eco-lodge yang terletak di Gunung Batukaru, Sarinbuana Bali yang menawarkan 
berbagai atraksi wisata alam dan budaya warga  lokal. 
Eco-lodge ini umumnya dilengkapi dengan penawaran produk tambahan, seperti 
trekking, hiking, swimming dengan kolam alami yang ada air terjunnya, melihat 
burung misalnya di jam 6-7 pagi, memetik padi pada musim panen, berkebun dan 
memasak dengan warga setempat, traditional massage oleh warga warga  
setempat yang terlatih. 
Paluang baru seperti ini bagi area -area  di negara kita  yang memiliki potensi 
alam dan budaya warga  lokal yang masih asli. Atraksi wisata alam dan budaya 
warga  lokal yang dikelola dan dijaga keasliannya, dikemas dalam satu paket 
wisata atraktif dan ramah dengan lingkungan sekitar yang masih alami untuk 
menciptakan daya tarik unik tersendiri bagi green tourist (turis  suka atau 
cinta atau ramah lingkungan). 
Untuk menciptakan kepuasan turis  minat khusus ini, misalnya saja berwisata 
ke Taman Nasional Komodo, maka inovasi baru berbasis sustainable tourism 
development dengan memakai  konsep Komodo Dragon Eco-lodge. Sebuah 
penginapan di area  Labuan Bajo yang terletak paling dekat dengan Taman 
Nasional Komodo yang dikembangkan dengan konsep eco-hotel. Dengan konsep 
ini turis  bisa menikmati atraksi wisata Pulau Komodo untuk beberapa lama,  
termasuk melihat kupu-kupu, burung, trekking, safari sungai, menyelam, dan 
snorkling.  
b) Menambah nilai sustainabilitas 
Seolah-olah souvernir merupakan barang yang dianggap wajib dibeli turis  
setiap berkunjung ke objek wisata. Seiring dengan adanya isu pemanasan global, di 
mana bumi mengalami kerusakan akibat berbagai tindakan manusia. Misalnya 
industri-industri yang menghasilkan berbagai limbah. Kesadaran akan bahaya 
pemanasan global ini sekarang muncul berbagai produksi yang ramah lingkungan 
seperti : 
1. Kerajinan tangan dari bahan daur ulang atau bahan ramah lingkungan, 
hotel-hotel yang menjual kerajinan warga  lokal dan menyajikan 
makanan lokal  
2. Hotel resort yang memakai  bahan dan sistem pengelolaan limbah yang 
ramah lingkungan, memakai  pembangkit tenaga surya. Misalnya : 
Sarinbuana eco-lodge, Tangkahan Nature Reserve, Bajo Komodo Eco-
lodge. 
3. Waterboom yang memakai  sistem sterilisasi air yang ramah 
lingkungan. Air disterilkan dan dapat dipakai  kembali, sehingga terjadi 
penghematan penggunaan air. 
c. Pengembangan kemitraan  
Pengembangan kemitraan dengan warga  lokal, akan berdampak pada 
kehidupan sosial warga  dan kelangsungan perekonomian warga  di 
sekitar area . Munculnya desa sebagai atraksi wisata di beberapa area  
memicu  warga  lokal bermata pencaharian, misalnya pertunjukan 
kesenian (penari), pedagang souvernir, pemandu wisata, penyewa homestay, dan 
lainnya yang dapat meningkatkan penghasilan warga  setempat. 
Memfasilitasi kemitraan antara warga  dengan komunitas bisnis pariwisata 
lainnya, misalnya dengan : 
a. Pembuatan outlet kerajinan khas (souvernir shop) di restoran dan hotel 
b. Kemitraan plasma inti antara hotel dan pengrajin khas sekitar hotel, hotel 
mendapat suplai dari pengrajin sekitar hotel, seperti sandal, kap lampu, kotak 
tisu, dan lain-lain.  
  
Langkah awal yang dianjurkan  dalam 
mengemas produk pariwisata yaitu  membagi pasar menjadi kelompok-kelompok pembeli 
khas yang mungkin memerlukan  produk yang disebut dengan segmentasi pasar. Langkah 
selanjutnya yaitu  membidik pasar dengan cara mengevaluasi daya tarik masing-masing 
segmen dan memilih satu atau beberapa segmen pasar. Maksudnya, tindakan yang harus 
dilakukan setiap area  tujuan wisata yaitu  mengemas produknya disesuaikan dengan 
keinginan dan kebutuhan turis  mancanegara yang dibidiknya. Mendukung tindakan 
ini , area  tujuan wisata harus mengembangkan posisi bersaing produk pariwisatanya 
dengan area  tujuan wisata yang lainnya yang disebut menetapkan posisi. 
Banyak obyek dan atraksi wisata di negara kita  yang ditawarkan akan tetapi pada 
beberapa tempat dikeluhkan oleh Tour Leader luar negeri karena tidak ada perubahan 
(soebandrio :1997:58). Ini, perlu diperhatikan, karena Tour Leader yaitu  perwakilan dari tur 
operator yang mempromosikan dan membawa turis  datang ke area  tujuan wisata. 
Bilamana obyek yang dipromosikan terbatas pada atraksi yang terbatas, suatu saat dia akan 
menghentikan promosi area  ini  kemudian memilih area  tujuan wisata lain. Harus 
disadari bahwa turis  melakukan perjalanan wisata ke suatu area  tujuan wisata 
tertentu yaitu  untuk mencari pengalaman-pengalaman baru, menemukan sesuatu yang 
aneh dan belum pernah disaksikannya. turis  biasanya lebih menyukai sesuatu yang 
berbeda (something different) dari apa yang pernah dilihat, dirasakan, dilakukan di negara 
dimana biasanya ia tinggal. menyarankan bahwa mengemas produk 
pariwisata harus mempertahankan keaslian lingkungan karena selalu lebih menarik 
daripada yang dibuat-buat. Oleh karena itu, menciptakan suatu lingkungan yang tidak asli 
(artificial) dari keadaan yang sebenarnya pasti tidak akan bertahan lama dan bagi promosi 
kepariwisataan jangka panjang tidak menguntungkan bagi negara kita . Bukan hanya 
keasliannya, tetapi keseluruhan pelayanan yang diberikan kepada turis  hendaknya 
memiliki style yang beda dari yang lain tetapi tetap memuaskan turis . Style produk 
sangat diperlukan dalam mengemas area  tujuan wisata, tujuannya ialah untuk 
memperbaharui dan menguasai pasar ( to re-new dan re-sell the market) sehingga dapat 
menjamin penjualan. Dikatakan oleh soebandrio  dalam kepariwisataan product style 
yang baik, misalnya (1) obyek harus menarik untuk disaksikan maupun dipelajari, (2) 
memiliki  kekhususan dan berbeda dari obyek yang lain, (3) prasarana menuju ke tempat 
ini  terpelihara dan baik, (4) tersedia fasilitas something to see, something to do dan 
something to buy, (5) kalau perlu dilengkapi dengan sarana-sarana akomodasi dan hal lain  
yang dianggap perlu. Bilamana produk yang ditawarkan oleh berbagai produsen dianggap 
sama oleh turis , maka perbedaan yang menguntungkan terletak pada product style 
yang dimiliki. Oleh sebab itu,diperlukan suatu seni (art) untuk mengolah satu obyek wisata 
sedemikian rupa sehingga dengan adanya obyek ini  beserta segala fasilitas yang 
tersedia dapat menjadikan suatu area  tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi. 
Mendukung mengemas product style sistem pariwisata perlu diadakan survey obyek dan 
atraksi wisata yang potensial untuk ditawarkan. 
Hadinoto (1996:69-70) menjelaskan bahwa survey diadakan untuk penggolongan 
obyek danatraksi wisata yang digolongkan, menjadi (1) penggolongan jenis kepariwisataan 
berupa destination tourism (untuk turis  yang tinggal lama), touring tourism (untuk 
turis  yang tinggal sebentar), (2) penggolongan atraksi berupa atraksi utama (core 
attraction), atraksi pendukung (supporting attraction), (3) penggolongan jenis atraksi 
terdiri dari resource-based attraction, dan user-oriented attraction. 
Pada penjelasan di atas yang dimaksud dengan touring tourism ialah atraksi, 
transportasi, fasilitas pelayanan, dan pengarahan promosi yang dipakai  di dalam tour ke 
beberapa lokasi selama perjalanan akhir minggu atau libur. Atraksi terletak dekat rute 
perjalanan, dipersimpangan jalan, dan hanya dikunjungi satu kali oleh masing-masing 
kelompok pengunjung. Aktivitas hampir pasif karena waktu hampir terbatas, sebab jadwal 
perjalanan tertentu. Distribusi geografis yaitu  suatu sirkuit, bukan suatu titik. Sedangkan 
destination tourism yaitu  geografis suatu kelengkapan sendiri. Semua aktivitas dilakukan 
di satu titik destinasi,yang harus direncanakan untuk kunjungan berulang . Mengemas obyek dan atraksi wisata sesuai bentuk touring tourism bertujuan 
untuk memenuhi kebutuhan turis  yang tinggal sebentar, sebaliknya untuk turis  
yang hendak tinggal lebih lama dikemas dalam bentuk destination tourism. Mengemas 
obyek wisata candi Borobudur, candi Prambanan dan Monjali di Jawa Tengah merupakan 
bagian dari konsep touring karena obyek ini  tidak didukung oleh sarana yang dapat 
menahan lama turis . Sedangkan pengemasan berdasar konsep destination tourism 
dapat diperhatikan pada obyek wisata Pantai Kuta di Bali, Gunung Bromo di Jawa Timur, 
dan Pantai Senggigi di Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini dipenuhi oleh fasilitas-fasilitas 
yang menahan turis  seperti hotel, restoran, tempat hiburan dan sejenisnya. 
Di samping itu, perlu pula diperhatikan dalam penataan obyek wisata dan atraksi 
wisata yang menarik. Tindakan yang harus dilakukan yaitu  menetapkan obyek dan atraksi 
wisata sebagai obyek wisata inti (core attraction) dan pendukungnya (supporting 
attraction). Contoh penataan ini dapat dipelajari pada area  tujuan wisata di Bali, di mana     
inti atraksinya yaitu  danau Kintamani dengan pendukungnya yaitu  kesenian tari barong, 
kerajinan perak, pasar Sukawati, pemandian tirta empul dan sejenisnya. Jarak antara obyek 
inti dan pendukungnya dekat sehingga dapat dikunjungi kurang dari satu hari dan rutenya 
dirancang berbentuk lingkaran (cycle) sehingga dapat kembali ke tempat keberangkatan 
semula. 
Dalam menata obyek dan atraksi wisata penyelenggara di area  tujuan wisata 
lebih mencermati jenis atraksinya yang mampu mendatangkan turis  jarak jauh/luar 
negeri, atraksi jenis ini misalnya Candi Borobudur, Danau Toba, Gunung Bromo dan 
sejenisnya. Perlu digolongkan pula obyek dan atraksi wisata yang mampu menarik orang 
lokal berekreasi, misalnya air terjun Sedudo, Kolam Renang Selecta dan lain-lain. 
Penggolongan atraksi pertamayang disebut dengan resource-based attraction sedangkan 
penggolongan kedua disebut sebagaiuser-oriented attraction. 
Selain obyek dan atraksi wisata, sarana akomodasi harus direncanakan secara 
matang dalam mengembangkan dan menetapkan lokasinya. Sarana akomodasi berperan 
sangat penting dalam pariwisata sebab turis  yang meninggalkan tempat tinggalnya 
memerlukan sarana penginapan di area  tujuan wisata yang mereka kunjungi. 
Perencanaan pengembangan sarana akomodasi yang dikerjakan secara sembarangan akan 
berdampak pada lama tinggal (length of stay) turis  di area  tujuan wisata, maka 
dalam mengembangkan sarana akomodasi yang baik harus memenuhi persyaratan fasilitas, 
pelayanan, tarif dan lokasi (Soekadijo, 1997:95). Syarat-syarat fasilitas akomodasi yang 
terpenting, yaitu pertama, bentuk fasilitas akomodasi harus dapat dikenal (recognizable), 
misalnya fasilitas mandi di dalam hotel yang paling baik dalam kepariwisataan ialah bak 
mandi rendam (bathtub). Kedua, semua fasilitas-fasilitas di dalam hotel harus berfungsi 
dengan baik. Ketiga, penempatan fasilitas yang ada  di dalam hotel harus dapat dilihat 
oleh turis  sehingga mempermudah turis  untuk mempergunakan; Keempat, 
fasilitas-fasilitas yang dipakai  di dalam hotel harus memiliki kualitas yang baik atau 
bermutu. 
Sedangkan syarat pelayanan, wajib memperhatikan tentang unsur aktornya 
terutama mengenai kegiatan aktornya, apa yang dikerjakan dalam memberi  pelayanan. 
Pelayanannya harus dapat diandalkan dan kemudahan untuk dihubungi serta selalu siap 
membantu kesulitan turis . Demikan pula kualitas pelayanannya harus bermutu, 
artinya pelayanan yang dikerjakan oleh aktor ini  harus bebas dari kesalahan. Agar 
hotel dapat memberi  jasa dengan baik, disamping fasilitas dan pelayanannya faktor 
menetapkan tarif tidak boleh diabaikan. Tarif akomodasi dalam pariwisata tidak berdiri  
sendiri, akan tetapi merupakan komponen dari biaya perjalanan seluruhnya yang harus 
dikeluarkan oleh turis . Penetapan tarif akomodasi harus direncanakan dengan cermat 
karena merupakan salah satu bahan pertimbangan turis  untuk berwisata ke suatu 
area  tujuan wisata. 
Disamping persyaratan-persyaratan yang telah dijelaskan di atas, pembangunan dan 
pengembangan sarana akomodasi harus memperhatikan masalah lingkungan. Persyaratan 
lingkungan hotel menuntut bahwa citra hotel dengan citra lingkungan itu harus saling 
sesuai, artinya menetapkan lokasi pengembangan dan pembangunan sarana akomodasi 
harus dapat mengangkat citra lingkungannya di mana hotel ini  berdiri. Jangan sampai 
berdirinya suatu hotel berakibat timbulnya ekses-ekses dan citra negatif di lingkungan 
warga . 
 Dalam merencanakan area  sarana akomodasi wisata patut mempertimbangkan 
juga syarat sentralitas akomodasi, maksudnya lokasi sarana
Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate