Tampilkan postingan dengan label bangunan zaman belanda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bangunan zaman belanda. Tampilkan semua postingan

bangunan zaman belanda

Kolonialisme Belanda merupakan salah satu babak sejarah penting yang mampu merubah 
wajah Indonesia secara keseluruhan. Dalam banyak aspek kehidupan, kolonialisme dianggap lebih 
banyak memberikan efek negatif daripada efek positif karena memunculkan banyak korban jiwa 
dan harta benda. Demikian pula pada bidang arsitektur khususnya permukiman.Permukiman 
kolonial Belanda di Indonesia terlihat berbeda dengan permukiman lokal, hal ini disinyalir karena 
permukiman kolonial Belanda lebih mendasarkan dirinya pada pertimbangan-pertimbangan logis 
dibandingkan dengan permukiman untuk masyarakat lokal yang relatif menonjolkan lebih banyak 
aspek budaya maupun kosmologi. Adapun beberapa pertimbangan logis yang dimaksud disini 
adalah kelengkapan infrastruktur, kesehatan lingkungan, serta aspek kenyamanan yang lebih 
terjamin. Hal tersebut terlihat dari kebijakan pemilihan lokasi untuk permukiman kolonial Belanda 
di Indonesia yang tidak berbaur dengan etnis lain. Dengan demikian maka kehadiran permukiman 
kolonial Belanda semakin memarginalkan permukiman tradisional yang telah ada sebelumnya, 
terlebih setelah diterapkannya beberapa kebijakan yang mengatur masalah tata wilayah seperti 
wijkenstelsel (permukiman berdasarkan etnis), decentraliewet (desentralisasi pemerintahan), 
stadvormingordonantie (pembangunan perkotaan), dan lain-lain. 
Jawa pada masa kolonialisasi Belanda memegang peranan penting sebagai pusat dari 
pemerintahan maupun ekonomi. Oleh karenanya tidak heran jika pembangunan pada masa 
penjajahan Belanda banyak dilakukan di Jawa. Dalam bidang permukiman, migrasi penduduk 
Eropa ke Indonesia membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi kemajuan maupun pemekaran 
kota dengan dibukanya daerah-daerah baru untuk permukiman bagi orang-orang Eropa khususnya 
Belanda. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki melahirkan pendekatan efektif dan efisien yang 
salah satunya diwujudkan dalam pola kemitraan pemerintah dan swasta dalam rangka 
menyediakan permukiman dengan jumlah yang banyak dan dalam waktu yang cepat khususnya 
setelah diterapkannya Politik Etis dan Decentraliewet. Selain itu kebutuhan untuk menghadirkan 
rasa aman dan nyaman melalui penyesuaian diri dengan iklim dan lingkungan setempat membawa 
pembaharuan pada wujud arsitektur permukiman Eropa yang dibawa masuk ke Indonesia. Hal 
tersebut dapat dilihat pada kemunculan Arsitektur Indo Eropa atau yang sering disebut sebagai 
Arsitektur Indis. Soekiman (2011) menjelaskan bahwasanya kehadiran orang-orang Eropa khususnya Belanda 
ke Indonesia yang semula hanya sekedar berdagang berubah menjadi ingin menguasai komoditas 
dagang dan hal ini kemudian memunculkan praktek kolonialisasi yang selanjutnya mempengaruhi 
kebudayaan asli hingga memunculkan kebudayaan baru yang belum pernah ada sebelumnya yaitu 
kebudayaan indis. Lebih lanjut Soekiman (2011) menjelaskan bahwasanya kebudayaan Indis 
tercermin pada berbagai macam elemen fisik maupun non fisik termasuk didalamnya adalah 
arsitektur.
Sejarah perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia telah dimulai sejak VOC 
memulai aktivitas perdagangannya pada tahun 1602 dan dilanjutkan oleh Pemerintah Kolonial 
Hindia Belanda pada tahun 1800 sampai dengan 1942. Selama praktek kolonialisasi Belanda di 
Indonesia, Arsitektur kolonial telah berkembang sedemikian rupa mengikuti perkembangan politik 
penjajahan dan kebudayaan yang diberlakukan oleh Belanda (Soekiman, 2011: 21-38). Senada 
dengan Soekiman, Silas (2005) berpendapat bahwa wujud arsitektur yang paling responsif 
terhadap perubahan adalah rumah tinggal, oleh karena itu maka dengan mengamati 
perkembangan arsitektur permukiman kolonial di Indonesia, kita bisa mengetahui bagaimana 
Arsitektur kolonial yang dibawa dari Eropa berkembang di Indonesia dengan pendekatan formal 
dan rasional sehingga menjadi arsitektur yang responsif terhadap keadaan lingkungannya.
Selanjutnya, Suptandar (2001), Silas (2005), De Vletter (2009), maupun Soekiman (2011) 
sepakat bahwasanya peran dari Arsitektur kolonial yang diterapkan di Indonesia khususnya Jawa 
adalah sebagai simbol kekuasaan dari kolonialisasi Belanda, dan secara perlahan namun menjadi 
simbol identitas yang diikuti oleh masyarakat lokal agar dapat dekat dengan penguasa, inilah cara 
bagainana pendekatan arsitektur dan tata kota ala barat mempengaruhi arsitektur dan tata kota 
lokal.
B. Arsitektur Kolonial, Pembangunan, dan Modernisasi Arsitektur di Indonesia
Pada sub bab ini dan seterusnya akan diperbandingkan pendapat dan teori mengenai 
perkembangan umum arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari 6 buah artikel dalam buku atau
buku yang ditulis oleh 5 orang peneliti arsitektur yang berbeda. Selain itu juga akan dikaji artikel 
lain sebagai penunjang atau tambahan dari isi tulisan ini. Lebih detail mengenai judul artikel atau 
buku dan nama penulis dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Daftar Tulisan Yang Digunakan Sebagai Rujukan Utama
No. Nama Penulis Tahun Judul Artikel dalam Buku / Buku
1. Johannes Widodo 2007 Arsitektur Indonesia Modern: Transplantasi, 
Adaptasi, Akomodasi, dan Hibridisasi
2. Cor Passchier 2007 Arsitektur Kolonial di Indonesia Rujukan dan 
Perkembangan: Masa lalu Dalam Masa Kini 
Arsitektur Indonesia
3. Handinoto 2010 Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa Pada Masa 
Kolonial
4. Cor Passchier 2012 Mencari Arsitektur Indonesia yang Utama Pada 
Masa Akhir Kolonial: Tegang Bentang
5. Amir Sidharta 2012 Ketengangan dan Perdebatan dalam Sejarah 
Arsitektur Modern Indonesia
6. Emile Leushuis 2014 Panduan Jelajah Kota-Kota Pusaka di Indonesia
Sumber: Wihardyanto, 2019
Dari keenam tulisan yang dikaji, semua peneliti membagi periode perkembangan Arsitektur 
Kolonial di Indonesia berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan pembangunan di Pulau 
Jawa pada masa pendudukan Belanda di Indonesia. Pulau Jawa digunakan sebagai representasi 
dari Indonesia karena sebagian besar pembangunan maupun kebijakan politik, ekonomi, sosial, 
dan budaya yang diterapkan oleh Belanda mengacu pada kondisi yang ada di Pulau Jawa. Hal ini 
mengakibatkan kondisi Pulau Jawa tampak berbeda dengan pulau lainnya di Indonesia dalam hal 
kemajuan pembangunan. Salah satu contohnya adalah sebagian besar jalur kereta api di Indonesia 
terdapat di Pulau Jawa yang awalnya dimaksudkan untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi 
dari pedalaman menuju pelabuhan. Oleh karena itu maka dengan mengamati perkembangan 
Arsitektur Kolonial Belanda di Jawa diharapkan dapat mewakili sebagian besar dari perkembangan 
Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. 
Dari kajian literatur yang dilakukan, diketahui bahwasanya periode perkembangan 
Arsitektur Kolonial dapat dikategorikan menjadi 2 fase, fase pertama yang berlangsung antara 
tahun 1602 M s.d. 1799 M dan fase kedua berlangsung antara tahun 1800 M samap dengan 1942 M. 
Pembagian fase tersebut tampaknya didasarkan pada perbedaan orientasi maupun visi misi dari 
pendudukan Belanda di Indonesia khususnya Jawa. Pada fase pertama, semua peneliti sepakat 
bahwasanya Belanda belum melakukan pembangunan yang terencana di Indonesia karena VOC 
memfokuskan pada usaha monopoli perdagangan, sedangkan pada fase kedua Pemerintah Kolonial 
Belanda telah melakukan pembangunan yang terencana karena telah berorientasi kepada 
penguasaan wilayah beserta sumber dayanya (kolonialisasi).
Dikarenakan orientasi yang lebih difokuskan pada perdagangan maka wujud Arsitektur 
Eropa yang muncul di Indonesia pada masa VOC terbatas pada pos perdagangan berupa benteng, 
dan rumah-rumah merangkap gudang penyimpanan bergaya Klasik Eropa yang terdapat di daerah 
sekitar benteng. Wujud arsitektur tersebut berbeda dengan arsitektur lokal yang ada dan belum 
pernah dibangun di Indonesia sebelumnya. Oleh karena itu maka Widodo (2007), dan Sidharta
(2012) menyebutkan modernisasi arsitektur di Indonesia dimulai pada masa ini (disebutkan 
sebagai Masa Modern Awal). Lebih lanjut Widodo (2007) menyatakan bahwasanya sebelum abad
ke-19 bangunan bergaya arsitektur Eropa masuk dan berkembang di Indonesia dengan cara 
transplantasi arsitektur yakni dengan menerapkan mentah-mentah arsitektur Eropa di Indonesia 
tanpa sebelumnya dikontekstualisasikan terlebih dahulu. Benteng maupun bangunan lain didirikan 
dengan cara meniru apa yg dibangun di Eropa atau Belanda tanpa adanya penyesuaian terlebih 
dahulu (Gambar 1). Berbeda dengan yang terjadi pada abad ke 19 dan setelahnya dimana 
penerapan Arsitektur Eropa di Indonesia telah terlebih dahulu mengalami proses pemikiran 
mendalam mengenai proses adaptasi, akomodasi, serta fusi. Hal senada ditambahkan oleh Sidharta 
(2012) yang menjelaskan bahwa pada abad ke 19 Arsitektur Eropa diterapkan di Indonesia melalui 
proses adaptasi dan akulturasi. Lebih lanjut Sidharta (2012) berpendapat bahwasanya dibidang 
permukiman, VOC tidak memiliki perencanaanpembangunan permukiman karena orientasi 
kegiatannya adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya dalam waktu 
cepat. Berbeda dengan masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang mulai merencanakan 
permukiman secara sistematis. Salah satu indikasinya adalah mulai adanya gambar-gambar 
rencana perluasan kota yang didalamnya terdapat rencana pengembangan kawasan permukiman 
kolonial. 
 bahwasanya modernisasi arsitektur di Indonesia 
belum terjadi pada masa VOC, melainkan baru terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia 
Belanda. Hal ini terlihat pada tidak adanya label modern yang diberikan pada kurun waktu tahun 
1602 sampai dengan 1799 oleh para peneliti tersebut. Para peneliti tersebut menguraikan 
beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa modernisasi arsitektur baru terjadi pada saat 
Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia, yang pertama adalah adanya pembangunan yang 
lebih tersistematis dan memiliki landasan. Kedua adalah adanya beberapa kebijakan sosial politik 
seperti misalnya Politik Liberalisasi, Politik Etis, serta Politik Desentralisasi yang selain 
mempercepat arus barang, jasa, dan manusia, juga mempercepat informasi masuk dari Eropa ke 
Indonesia sehingga muncul paradigma baru dalam pembangunan. Penulis berpendapat 
bahwasanya kemunculan gerakan modernisme di Eropa merupakan salah satu yang berpengaruh, 
dimana paradigma arsitektur yang lebih terukur mengikis romantisme arsitektur zaman klasik. 
Salah satunya dengan lebih mengedepankan aspek fungsi daripada dekorasi serta lebih 
mengeksplorasi penggunaan material dan teknologi fabrikasi. Lebih lanjut, dengan memahami uraian dari Handinoto (2010), Passchier (2007 dan 2012), 
serta Leushuis (2014), penulis berpendapat bahwasanya peralihan kekuasaan dari VOC kepada 
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga membawa perubahan orientasi pembangunan yang 
ditandai dengan adanya usaha untuk membangun konektifitas darat antar wilayah di Indonesia 
alih-alih jalur laut. Hal tersebut dapat dilihat pada masa VOC daerah-daerah yang maju adalah 
daerah-daerah pesisir yang memiliki pelabuhan dan jalur perdagangan antar pulau untuk 
memfasilitasi memonopoli perdagangannya. Sebaliknya daerah pedalaman sebagai pusat produksi 
pertanian dan perkebunan kurang mendapatkan perhatian karena sulitnya akses. Artefak fisik 
yang dapat kita lihat adalah banyaknya benteng-benteng dibangun di tepi laut atau muara sungai 
sebagai pos perdagangan VOC. Berbeda dengan masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda 
dimana konektifitas antara daerah pesisir dengan daerah pedalaman atau antar daerah pedalaman 
mulai ada dengan dibangunnya jalan pos besar (De Grote Postweg)Anyer - Panarukan, serta jalur 
kereta api. Dampak dari adanya jalur pos maupun jalur kereta api tersebut adalah mulai 
terbukanya daerah-daerah baru dipedalaman yang sebelumnya tidak tersentuh dan dengan 
terbukanya daerah baru ditambah arus barang, jasa, dan manusia yang semakin lancar maka 
pembangunanpun akan semakin merata dan kebutuhan akan permukiman semakin besar. 
Pernyataan tersebut didukung oleh Passchier (2007) bahwa fase modernisasi arsitektur di 
Indonesia dimulai dari penerapan beberapa kebijakan kolonialisasi seperti misalnya cultuurstelsel 
(tanam paksa), dan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan itu maka diperlukan pembangunan 
infrastruktur jalan yang dimulai dari pembangunan De Grote Postweg dan dilanjutkan dengan 
pembangunan jalur kereta api.
Pembangunan di Indonesia dirasa semakin pesat setelah adanya pemberlakukan Politik Etis 
yang kemudian disusul oleh pemberlakuan Agrarischewet (Undang-Undang Liberalisasi Agraria), 
dan Decentraliewet. Penerapan politik, serta undang-undang tersebut berkorelasi terhadap 
meningkatnya jumlah industri baik industri sektor pertanian, perkebunan, maupun sektor-sektor 
lainnya (Soekiman, 2011). Dengan demikian maka terjadi pula lonjakan penduduk Eropa yang 
masuk ke Indonesia dalam rangka berinvestasi ataupun bekerja, dan hal ini menyebabkan lonjakan 
kebutuhan permukiman dalam skala besar. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Pemerintah 
Kolonial Hindia Belanda dalam rangka penyediaan dan pembangunan permukiman adalah dengan 
diadakannya Konggres Perumahan Rakyat tahun 1922 yang terkenal dengan diskusi yang hangat 
antara Ir. Herman Thomas Karsten dan Ir. C.P. Wolff Schoemaker mengenai perbedaan peran 
pemerintah dalam penyediaan kebutuhan permukiman yang sehat bagi semua golongan Warga 
Hindia Belanda.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, didapatkan informasi bahwasanya kehadiran 
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sebagai momentum modernisasi arsitektur di Indonesia 
dapat ditinjau dari 2 sisi. Sisi yang pertama adalah arsitektur kolonial Belanda sebagai sebuah 
produk arsitektur yang wujudnya sama sekali berbeda dan sebelumnya belum pernah ada 
misalnya adalah benteng dari bahan batu atau batu bata seperti yang terdapat di Eropa.Sisi yang 
kedua adalah arsitektur kolonial Belanda ditinjau dari paradigma yang menghasilkan prinsip￾prinsip arsitektur baru yang lebih modern tanpa mengesampingkan arsitektur yang sudah ada 
sebelumnya, misalnya adalah Arsitektur Indis pada bangunan rumah tinggal.
Penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang mengatakan bahwasanya modernisasi 
arsitektur di Indonesia terjadi pada masa Pemerintah Kolonial Belanda berkuasa. Hal ini 
dikarenakan pada masa VOC, pembangunan arsitektur belum dilandasi oleh suatu pemikirankomprehensif yang mempertimbangkan kebutuhan fungsi, struktur, konteks sosial, dan 
lingkunganserta tidak berlandaskan aturan tertentu.
C. Perkembangan Permukiman Kolonial di Indonesia Masa VOC
Pada masa VOC pembangunan dilakukan untuk menunjang perdagangan dan pengangkutan 
komoditas dari Indonesia menuju Belanda. Sidharta (2012) menjelaskan bahwasanya pada masa 
VOC, orang-orang Eropa khususnya Belanda umumnya tidak memiliki keinginan untuk menetap di 
Indonesia karena mereka umumnya adalah pedagang dan militer yang ditugaskan untuk 
memonopoli komoditas pertanian dan perkebunan untuk dibawa dan diperdagangkan di Eropa. 
Handinoto (2010) menambahkan bahwasanya guna mendukung usaha tersebut maka VOC 
membangun pos-pos perdagangan yang tidak jarang dilengkapi fasilitas keamanan berupa benteng 
di daerah pesisir dan membangun konektifitas melalui jalur laut diantara pos-pos perdagangan 
tersebut. Senada dengan Handinoto (2010), Leushuis (2014) menekankan bahwa benteng 
merupakan titik pertumbuhan arsitektur kolonial pada masa VOC. Jika perdagangan didaerah itu 
ramai atau strategis maka benteng juga akan semakin besar dan tidak jarang tumbuh pemukiman 
kolonial disekitarnya. Penjelasan tambahan mengenai hal ini dapat diketahui dari Buku Fort in 
Indonesia yang diterbitkan tahun 2012 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik 
Indonesia yang menjelaskan bahwasanya untuk menunjang kesuksesannya, VOC terlibat pada 
intrik politik atau suksesi kerajaan lokal dengan imbalan mendapatkan hak monopoli perdagangan 
dan tanah yang kelak berkembang sebagai daerah permukiman bagi orang-orang Eropa atau 
daerah pertanian dan perkebunan yang berstatus sebagai tanah partikelir.
Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detail, penulis merujuk pada pernyataan 
Passchier (2007) yang meskipun tidak secara tegas, membagi pembangunan pada masa VOC 
menjadi 2 periode yaitu periode Benteng (1600 s.d. 1750an) dan periode Di Luar Benteng (1750 -
1799). Pada periode benteng, keamanan komoditas dan kelancaran pengiriman menjadi hal yang 
utama, sehingga aspek sekuritas dan fungsionalitas perdagangan menjadi penting. Kenyamanan 
tinggal untuk orang-orang yang bekerja pada sektor perdagangan tidak dianggap prioritas karena 
seakan-akan mereka menilai dirinya hanya transituntuk mengambil barang dagangan. Oleh karena 
itu mereka merasa cukup untuk tinggal di dalam benteng tersebut. Hanya jika perdagangan 
semakin maju dan VOC memiliki kekuasaan lebih atas tanah pesisir maka mereka dapat 
membangun permukiman di luar benteng namun lokasinya tidak terlalu jauh atas pertimbangan
keamanan. 
Passchier (2007), Raap (2015), dan Handinoto (2010) memberikan penjelasan tambahan 
mengenai kawasan permukiman dan bentuk arsitekturnya.Mereka menjelaskan bahwasanya 
kawasan benteng dan permukiman orang-orang Belanda cukup jauh dari permukiman lokal yang 
umumnya didaerah pedalama.Apalagi setelah terjadinya peristiwa pemberontakan Cina di 
Tangerang, kebijakan pemisahan permukiman Eropa dengan bangsa lain semakin diperketat 
dengan penerapan politik wijkenstelsel dan passenstelselyaitu penerapan kebijakan pelaporan dan 
biaya keluar masuk wilayah tertentu (Gambar 2). Ketiga penulis diatas juga menjelaskan 
bahwasanya bentuk rumah bergaya Eropa dua lantai yang efisien mirip dengan gaya arsitektur di 
kota-kota besar di Belanda juga ditemukan di kota-kota besar di Hindia Belanda lengkap dengan 
parit atau kanal-kanal yang selain berfungsi sebagai jalur transportasi juga berfungsi sebagai 
sanitasi dan keamanan.
Cor Passchier (2007) secara spesifik menyebutkan bahwasanya ruang-ruang atau bangunan 
di dalam benteng, termasuk di dalamnya untuk fungsi permukiman dibangun dengan pola grid 
untuk lebih memaksimalkan faktor keamanan karena pengawasan, dan mobilisasi tentara akan
lebih mudah, hal ini seperti yang dianjurkan oleh penasihat militer Pangeran Oranye yaitu Simon 
Stevin (1548-1620). Lebih lanjut Passchier (2007) menjelaskan bahwa pola grid ini juga 
diterapkan untuk permukiman kolonial di sekitar benteng dengan maksud dan tujuan yang sama serta mempermudah pembangunan kanal yang salah satu tujuannya adalah sebagai saluran air 
kotor. Sedikit berbeda dengan periode benteng, pada periode luar benteng, Passchier (2007) 
menjelaskan bahwa VOC mulai membuka akses secara terbatas ke daerah pedalaman. Disini 
mereka memanfaatkan tanah hadiah dari penguasa lokal sebagai tanah partikelir yang disewakan 
atau diperjualbelikan kepada pengusaha Belanda. Pada periode ini mulai tumbuh rumah-rumahlandhuis, yaitu rumah besar yang memiliki lahan yang sangat luas karena diperuntukkan juga bagi 
pertanian atau perkebunan beserta fasilitas pendukungnya seperti misalnya tempat tinggal untuk 
budak. Sebagai keterangan tambahan, Gill (1998) menggambarkan landhuis ini sebagai rumah 
berasitektur campuran yang berukuran besar, berada ditengah-tengah perkebunan, memiliki akses 
jalan ke pelabuhan, serta jauh dari pemukiman lokal (Gambar 3).
Dari beberapa keterangan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya sifat 
permukiman kolonial pada masa ini cenderung tertutup dan eksklusif. Mereka membangun dengan 
mentransplantasikan (mencangkokkan) gaya arsitektur Eropa, memposisikan permukimannya 
jauh dari permukiman lokal dan menyediakan segala sesuatunya khusus untuk kebutuhan mereka 
sendiri. Kesemuanya dikelola dalam pola permukiman berbentuk grid.
D. Perkembangan Permukiman Kolonial Di Indonesia Masa Pemerintah Kolonial Belanda
Perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia pada masa Pemerintahan Kolonial 
Belanda semakin pesat. Hal ini menurut Sidharta (2012) dilatarbelakangi oleh kebangkrutan VOC 
dan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan demikian maka terjadi perubahan 
orientasi Belanda yang semula hanya berdagang menjadi menguasai sumber daya alam untuk 
jangka waktu yang panjang (kolonialisasi). Untuk menunjang kolonialisasi tersebut perlu disusun 
sistem pemerintahan dan ekonomi yang memerlukan rencana pembangunan yang sistematis, 
termasuk didalamnya adalah penyediaan permukiman kolonial beserta fasilitas pendukungnya.
Mulai adanya rencana pembangunan yang sistematis inilah yang dinyatakan oleh Passchier 
(2007) sebagai titik mula modernisasi pembangunan di Indonesia. Lebih lanjut Passchier (2007) 
maupun Handinoto (2010) menjelaskan bahwa untuk mengawalinya pemerintah kolonial Belanda 
terlebih dahulu meningkatkan keamanan sekaligus memeratakan arus barang, jasa,dan manusia di 
daerah dengan cara membangun infrastruktur jalan antar daerah khususnya di Pulau Jawa. 
Pembangunan De Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan tahun 1808 dapat dikatakan sebagai 
proyek yang strategis meskipun memakan korban jiwa yang banyak. Karena adanya jalan ini maka 
kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa dapat terhubung dan menciptakan konektifitas 
yang cukup kuat dari sisi keamanan, dan ekonomi. Diduga adanya jalan raya pos ini menjadi salah 
satu pertimbangan Pemerintah Kolonial Belanda optimis menerapkan kebijakan cultuurstelsel pada 
tahun 1830 karena jalur pengangkutan menuju pelabuhan dan selanjutnya diangkut menuju ke 
negeri Belanda semakin mudah. Selain itu dengan adanya proyek ini, tumbuh pula beberapa kota 
baru sebagai penyokong kota pelabuhan yang sudah ada sebelumnya. 
Selanjutnya untuk lebih memperluas dan memperkuat jaringan infrastruktur jalan yang 
sudah ada serta membuka daerah pedalaman sebagai pusat pertanian maupun perkebunan baru 
maka Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun jaringan jalan kereta api yang dimulai pada 
tahun 1873 dengan jalur Semarang-Tanggung. Tujuan utama dari adanya jalur-jalur kereta api ini adalah untuk memudahkan jalur pengangkutan hasil bumi dari daerah pedalaman menuju stasiun 
pelabuhan untuk kemudian dikapalkan, namun demikian lambat laun dikembangkan pula untuk 
pengangkutan manusia karena tingginya permintaan. Keberhasilan dari pembangunan jalur kereta 
api tampaknya berkorelasi pada perkembangan ekonomi disuatu wilayah maupun kota di 
Indonesia khususnya di Pulau Jawa, hal ini seperti yang diuraikan oleh Handinoto (2010) dan 
Leushuis (2014). Penulis berpendapat bahwasanya kehadiran kereta api di daerah pedalaman 
turut mendorong migrasi orang-orang Eropa menuju pedalaman untuk mengembangkan usahanya. 
Lama-kelamaan migrasi tersebut menyebabkan munculnya permukiman kolonial di daerah 
pedalaman. Handinoto (2010) memberikan penjelasan tambahan bahwasanya keberadaan jalur￾jalur kereta api seringkali menjadi pertimbangan dalam perencanaan pengembangan kota ataupun 
permukiman kolonial.
Menjelang abad ke-20, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan Politik Etis (1902) dan 
beberapa kebijakan yang nantinya akan mendorong pertumbuhan permukiman bagi masyarakat 
Eropa lebih pesat. Kebijakan tersebut adalah agrarischewet yang diterapkan tahun 1870-1942 dan 
decentralisatiewet yang diterapkan tahun 1903-1942. Handinoto (2010), Sidharta (2012), 
Passchier (2012), dan Leushuis (2014) sepakat menyatakan bahwa setelah penerapan Politik Etis 
sampai dengan tahun 1942 sebelum penjajahan Belanda digantikan oleh Jepang, pertumbuhan 
permukiman bagi orang-orang Eropa lebih pesat dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pada 
periode ini jumlah kedatangan orang-orang Eropa ke Indonesia mengalami peningkatan yang 
signifikan dengan latar belakang mereka yang bermigrasi ke Indonesia pun semakin beragam. Hal 
ini mendorong pembaharuan di segala aspek kehidupan di Indonesia akibat masuknya paradigma 
baru ditengah-tengah paradigma yang sudah ada Surjomihardjo (2008). 
Migrasi yang cukup besar dari orang-orang Eropa selanjutnya mendorong Pemerintah 
Kolonial Belanda untuk memikirkan bagaimana menyediakan permukiman yang sehat dalam 
jumlah yang banyak. Oleh karena itu pemerintah mencoba merencanakan dan membangun 
kawasan permukiman kolonial baru di luar kota melalui suatu pola kemitraan publik-privat. Hal ini 
seperti yang diuraikan oleh Handinoto (2010), setelah tahun 1900-an Pemerintah Kolonial Belanda 
mulai melakukan perencanaan pengembangan kota di Indonesia secara menyeluruh terutama 
mengenai pembangunan kawasan hunian baru yang lebih baik dari segi kesehatan dan kesesuaian 
dengan iklim dan lingkungan setempat dengan mengadaptasikan prinsip-prinsip arsitektur lokal 
kedalam perancangannya. Leushuis (2014) menambahkan bahwasanya Pemerintah Kolonial 
Belanda banyak memanfaatkan tanah-tanah partikelir yang berada diluar kota sebagai kawasan 
permukiman kolonial baru yang lebih sehat (Gambar 4). 
Dengan beberapa pernyataan di atas, maka penulis berpendapat bahwasanya perancangan 
permukiman kolonial baru ini lebih sehat karena mendapatkan kualitas lingkungan dan udara yang 
lebih baik, memiliki infrastruktur yang lebih lengkap karena direncanakan dan dibangun dengan 
perhitungan yang matang, serta lebih terjangkau karena memiliki harga tanah yang lebih murah 
dibandingkan di pusat kota. Tidak lupa prinsip garden city ala Ebenezer Howard yang saat itu 
tengah populer di Eropa dan Amerika bisa diterapkan karena ketersediaan lahan yang 
memungkinkan. Namun demikian, menurut Leushuis (2014) dan Passchier (2012), pola grid 
tampaknya tidak bisa ditinggalkan dalam pembangunan permukiman kolonial baru tersebut. 
Penulis menduga bahwasanya pola grid sangat efektif dan efisien untuk pembangunan 
infrastruktur penunjang permukiman.Lebih lanjut Passchier (2012) menyatakan bahwasanya pemerintah menggandeng pihak 
swasta untuk memenuhi kebutuhan permukiman setelah tahun 1900-an, terutama setelah 
pemberlakukan decentraliewet. Pemerintah pusat memposisikan diri sebagai regulator yang 
memiliki tugas untuk menyiapkan rencana pengembangan permukiman, dan mengatur regulasi 
pendukungnya, pemerintah daerah bertugas untuk serta menyiapkan lahan, serta membangun 
infrastruktur permukimannya, sedangkan pihak swasta berperan sebagai pengembang dan 
memasarkan. Oleh karena itu maka penulis berpendapat bahwa tidak heran jika kawasan maupun 
arsitektur permukiman kolonial ketika itu selain harus memenuhi kriteria sehat dan sesuai dengan
iklim setempat juga harus dibangun dengan gaya perancangan yang paling modern ketika itu agar 
mudah dijual (Gambar 5).
Sidharta (2012) mengingatkan bahwa adanya Kongres Perumahan Rakyat pada tahun 1922 
tidak dapat dikesampingkan pada perkembangan pembangunan permukiman saat itu. Adapun 
tema diskusi pada konggres tersebut adalah penyediaan hunian yang sehat yang terjangkau. 
Dimulai dari pemilihan lahan yang tepat untuk permukiman, ketersediaan infrastruktur dasar 
penunjang permukiman yang cukup, serta arsitektur rumah tinggal yang sesuai terhadap iklim dan 
lingkungan lokal. Passchier (2012) menambahkan bahwa alih-alih menyediakan permukiman 
sehat untuk semua lapisan masyarakat di Hindia Belanda, Pemerintah Kolonial Belanda justru
hanya berfokus pada sektor permukiman bagi masyarakat Eropa dengan mewujudkan kawasan 
permukiman yang ekslusif.
Dari beberapa pernyataan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya adalah 
permukiman kolonial lebih terencana dibandingkan pada masa VOC dengan mempertimbangkan 
faktor infrastruktur permukiman, serta arsitektur yang lebih adaptif dengan kondisi iklim dan 
lingkungan lokal. Meskipun demikian permukiman kolonial tersebut masih mempertahankan pola 
grid dan bersifat eksklusif terpisah dari permukiman etnis lain. 
E. Perkembangan Pembangunan Permukiman Kolonial di Indonesia dari Masa ke Masa
Dari ulasan sebelumnya dapat diketahui bahwasanya terdapat persamaan dan perbedaan 
dalam prinsip pembangunan permukiman kolonial di Indonesia pada masa VOC dan Pemerintah 
Kolonial Belanda yang diakibatkan perbedaan orientasi serta visi misi dari dua lembaga tersebut. 
Perbedaan tersebut mampu mempengaruhi wujud dari arsitektur permukiman kolonial. Dari 
kajian teori diketahui bahwasanya orang-orang Belanda pada masa VOC belum ada keinginan 
untuk menetap dalam jangka waktu yang lama. Sehingga metode penerapan arsitektur Eropa di 
Indonesia pada masa VOC dinilai lebih mengedepankan keamanan dan sesuai dengan pengetahuan 
yang dimiliki melalui metode transplantasi tanpa memperhatikan kesesuaian terhadap iklim dan 
lingkungan setempat.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Dari kajian 
literatur diketahui bahwasanya keinginan untuk melakukan kolonialisasi terhadap Indonesia mulai 
ada pada masa ini, dan hal ini berpengaruh pada keinginan untuk menetap dan membangun dalam 
jangka waktu yang lama. Metode penerapan arsitektur Eropa atau Belanda di Indonesia pada masa 
ini dinilai lebih memperhatikan kesesuaian terhadap iklim dan lingkungan setempat dengan lebih 
mengedepankan metode adaptasi demi mendapatkan kenyamanan selain keamanan.
Selanjutnya, dari kajian literatur kita dapat mengetahui bahwasanya permukiman kolonial 
di Indonesia dimulai dari permukiman di dalam benteng yang dibangun oleh VOC, permukiman 
tersebut dapat berkembang menjadi permukiman di daerah sekitar benteng jika perdagangan di 
suatu daerah dikatakan maju sehingga menarik banyak pedagang VOC untuk datang di daerah tersebut. Sehingga menurut beberapa literatur lain, benteng sering disebut juga sebagai salah satu 
cikal bakal suatu kota kolonial. Lebih lanjut dari kajian literatur yang dilakukan, penulis menduga 
bahwasanya permukiman di dalam benteng tersebut sifatnya merupakan permukiman temporer 
yang didirikan dalam rangka menunjang fungsi perdagangan. Bentuk arsitektur permukimannya 
tidak khas karena hanya menyesuaikan wujud dari arsitektur benteng itu sendiri. Selanjutnya, 
karena daya tampung di dalam benteng dirasa tidak lagi memungkinkan, maka pedagang-pedagang 
Belanda bagian dari persekutuan dagang VOC yang datang belakangan sebagai akibat dari adanya 
monopoli perdagangan yang menguntungkan Belanda menggunakan lahan di sekitar benteng 
untuk membangun huniannya. Arsitektur yang berkembang untuk permukiman di sekitar benteng 
adalah relatif menyerupai arsitektur hunian yang ada di Belanda. Belum adanya keinginan untuk 
menetap dalam jangka waktu yang panjang tampaknya mempengaruhi keinginan Belanda untuk 
tidak mempelajari dan menggunakan arsitektur lokal yang relatif lebih sesuai untuk iklim dan 
lingkungan setempat. Selain tentunya alasan keterbatasan sumber daya.
Dari beberapa sumber kajian literatur diketahui pula bahwasanya diakhir masa VOC 
muncul suatu bentuk permukiman yang dibangun secara mandiri oleh orang-orang Belanda yang 
terletak di luar benteng. Permukiman tersebut dikenal dengan istilah landhuis, suatu bentuk 
permukiman yang terintegrasi dengan area pertanian atau perkebunan sebagai penyedia 
komoditas dagang. Dalam membangun landhuis, proses adaptasi terhadap iklim maupun 
lingkungan setempat mulai diterapkan dalam merancang rumah tinggal untuk orang-orang Eropa 
atau Belanda. Lebih lanjut, jika dilihat dari foto-foto yang ada, proses adaptasi tersebut dilakukan 
dengan cara meniru bentuk-bentuk arsitektur lokal yang sudah ada sebelumnya. 
Masa Pemerintahan Kolonial Belanda merupakan era baru bagi pembangunan permukiman 
kolonial di Indonesia. Keinginan untuk menetap dan menguasai Indonesia memunculkan orientasi 
untuk membangun. Salah satu yang dikedepankan sebagai modal awal pembangunan adalah 
adanya jalur transportasi yang terencana untuk memperlancar arus barang, jasa, dan manusia. 
Oleh karena itu kemudian muncullah kebijakan untuk membangun jalan pos besar yang 
menghubungkan hampir seluruh kota di pantai utara Jawa dari Anyer sampai Panarukan, dan jalur 
transportasi kereta api yang menghubungkan daerah-daerah pesisir dengan daerah pedalaman di 
bagian tengah dan selatan Pulau Jawa. Selain itu,darianalisis yang telah dilakukan sebelumnya 
diketahui bahwasanya pembangunan jalan raya pos dan jalur transportasi kereta api ada kaitannya 
pula dengan beberapa kebijakan politik yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda seperti 
memperlancar pelaksanaan dari cultuurstelsel, serta mendorong munculnya agrarischewet, dan 
decentraliewet karena dengan adanya jalur transportasi darat yang relatif komplit untuk masa itu 
maka daya dukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan untuk daerah pesisir maupun 
pedalaman relatif sama sehingga menjadi daya tarik bagi investor. Dari kajian literatur diketahui 
pula bahwasanya pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia, pembangunan 
permukiman kolonial mulai dirancanakan secara sistematis dan terintegrasi dengan perencanaan 
maupun rencana pengembangan kota. Namun demikian, dalam pelaksanaan pembangunan 
pemukiman tidak didukung oleh kemampuan finansial Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena 
itu maka dibentuklah sistem kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam hal pembangunan 
permukiman kolonial guna mewujudkan keinginan untuk membangun suatu kawasan khusus 
permukiman yang lebih baik dan terjangkau di luar kota dimaksudkan untuk merespon masalah 
kesehatan dan kesesuaian dengan iklim dan lingkungan setempat.
Untuk mempermudah memahami penjabaran mengenai perbandingan antara 
pembangunan permukiman kolonial Belanda pada masa VOC (1602 - 1799 M) dan Pemerintah 
Kolonial Belanda (1800 - 1942 M) penulis mencoba mengilustrasikannya pada Tabel. 2 seperti 
berikut :Permukiman kolonial pada masa VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda memiliki beberapa 
karakteristik. Yang pertama adalah permukiman kolonial dibangun di kawasan yang terpi sah dari 
permukiman etnis lain dan memiliki teritori yang jelas. Hal ini selaras dengan Silas (2005) yang 
menyatakan bahwa permukiman pribumi atau yang akrab disebut sebagai kampung cenderung 
berkembang secara organik mengisi ruang-ruang kota tanpa batas-batas yang jelas. Yang kedua 
adalah permukiman untuk orang-orang Eropa atau Belanda dibangun dengan pendekatan logis 
formal, hal ini diindikasikan dengan bentuk permukiman yang cenderung grid dan fasilitas publik 
yang relatif lengkap pada masanya. Seperti yang dijelaskan oleh Soekiman (2011) bahwasanya 
warga kulit putih merupakan warga kelas pertama yang mendapatkan keutamaan dalam banya hal, 
salah satunya adalah fasilitas publik. Selain itu, dengan menggunakan pola grid maka 
pembangunan infrastruktur permukiman yang disediakan oleh pemerintah akan lebih efektif serta 
efisien.

Dalam perjalanannya, pembangunan permukiman pada masa penjajahan Belanda di 
Indonesia memiliki dua buah pendekatan berbeda yang dapat dikategorisasikan berdasarkan 
pelaku. Pada masa VOC, belum terdapat perencanaan permukiman bagi orang-orang Eropa atau 
Belanda yang dikarenakan orientasi utama VOC adalah berdagang, sehingga melahirkan 
pandangan bahwasanya hunian adalah fasilitas pendukung yang sifatnya sementara. Permukiman 
dibangun di dalam atau disekitar benteng yang lebih mengutamakan keamanan, arsitektur hunian 
pun belum beradaptasi dengan kondisi iklim dan lokasi setempat serta cenderung 
mentransplantasikan bentuk arsitektur hunian yang ada di Belanda. Hal ini berbeda dengan masa 
Pemerintahan Kolonial Belanda, orientasi utama yang menitikberatkan pada penguasaan terhadap 
Indonesia melahirkan pandangan bahwasanya orang-orang Belanda akan tinggal di Indonesia 
dalam waktu yang lama, maka diperlukan permukiman yang aman dan dapat beradaptasi dengan 
kondisi iklim dan lingkungan setempat agar tercipta rasa nyaman.
Terdapat beberapa karakteristik dari pembangunan perumahan bagi orang-orang Eropa 
atau Belanda di Indonesia. Yang pertama adalah permukiman dibangun terpisah dari permukiman etnis lain, memiliki teritori atau batas yang jelas, memiliki infrastruktur yang relatif lebih lengkap 
dan tertata jika dibandingkan dengan permukiman untuk etnis lain, serta berbentuk atau 
cenderung menggunakan pola grid untuk menata permukiman tersebut. 

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate