Tampilkan postingan dengan label jayabaya 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jayabaya 3. Tampilkan semua postingan
jayabaya 3
Jenang sengkolo terdiri dari: dua piring jenang merah putih, dua piring
jenang merah, dan dua piring jenang putih. Dua piring jenang merah putih ini
melambangkan penghormatan pada air penghidupan yang berasal dari kedua
orang tua yang melahirkan. Dua piring jenang abang melambangkan suatu
harapan agar kedua orang tuanya memaafkan kesalahan anaknya yang
mengadakan ritual (tekad hidup, kelangsungan hidup manusia). Dan dua piring
jenang putih melambangkan harapan kepada orang tuanya supaya anaknya
didoakan dalam melaksanakan proses ritual (kesucian hati, kesucian hidup
manusia). Maka dalam jenang sengkolo memiliki makna bahwa manusia
hendaknya menghormati orang tuanya dengan meminta maaf dan minta didoakan
agar terhindar dari sengkolo atau bencana dalam menjalani hidup.
Buah-buahan melambangkan persembahan untuk dewa-dewi.
Sesaji keleman terdiri dari pendeman dan jajan pasar. Pendeman (pala
kependem) atau hasil bumi yang berasal dari dalam tanah ini melambangkan,
bahwa manusia itu diumpamakan seperti tanah, maksudnya tanah diinjak-injak,
diberi kotoran dan sebagainya tidak pernah marah atau sakit hati, tetapi malahan
memberi rizki atau rejeki berupa hasil bumi. Jadi manusia diibaratkan seperti
tanah, berbuat baik kepada sesamanya (kejelekan hendaknya dibalas kebaikan).
Jajan pasar melambangkan, agar peziarah yang hidupnya dari berdagang akan
berhasil dengan sukses. Kecuali itu jajan pasar juga melambangkan, bahwa sesaji
yang dipersembahkan sudah lengkap.
Bila sesaji di atas ada yang tidak dapat dipenuhi oleh peziarah yang
mengadakan proses ritual syukuran maka cukup ditambahkan dengan artha tindih.
Artha tindih ini berupa uang sebanyak Rp. 100,- (seratus rupiah). Uang ini
memiliki makna sebagai tumbasan (tukonan) atau sarana untuk membeli
kekurangan dari chaos dahar atau sesaji makanan.
Sekarang ini banyak peziarah yang tidak ingin direpotkan dengan berbagai
macam masakan tersebut di atas. Banyak peziarah yang memilih mewujudkan
sesaji makanan itu berupa hasil produksinya sendiri, seperti: roti, tahu, gethuk
pisang, maupun nasi beserta lauk pauk secukupnya saja. Sebagai pelengkap akan
diberikan artha tindih untuk membeli kekurangan dalam sesaji makanan tersebut.
Hal ini menunjukkan adanya pergeseran bentuk sesaji makanan. Menurut juru
kunci pergeseran bentuk sesaji makanan ini tidak semata-mata dikarenakan
peziarah tersebut kurang mampu atau tidak ingin direpotkan, sebab ada beberapa
bahan baku dari sesaji makanan itu tidak dijual di pasar (Wawancara dengan
Bapak. Kamdani, laki-laki, 55 tahun, juru kunci, Desa Menang. Direkam pada hari
Kamis, 15 Septempber 2005 oleh Joko Nugroho, di Petilasan Sri Aji Jayabaya
Desa Menang).
Sesaji makanan di atas ada yang dibawa dari rumah atau memesan dari
warga di sekitar Petilasan Sri Aji Jayabaya. Cara memesan sesaji makanan
ini adalah peziarah menyerahkan sejumlah uang untuk membeli bahan makanan
yang diperlukan dan mengganti tenaga pemasak sesaji makanan. Bila uang yang
diserahkan tidak mencukupi untuk membeli bahan baku maka ada beberapa
pengurangan dalam penyajian, seperti: berbagai macam nasi di atas akan dijadikan
satu, jenang akan disajikan di lepek kecil, dan masih banyak cara lagi. Jadi hampir
tidak ada pergeseran dari sesaji makanan jika memesan pada penduduk sekitar,
kecuali uang yang diserahkan benar-benar kurang untuk membeli bahan baku.
Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual
Peziarah sebelum mengadakan proses ritual syukuran terlebih dahulu
melaksanakan proses ritual pribadi di Loka Muksa. sesudah proses ritual pribadi,
peziarah dan juru kunci bersama-sama menuju pendapa untuk memulai proses
ritual syukuran bersama-sama dengan peziarah lain yang ada di pendapa. Namun
banyak juga peziarah yang tidak melakukan proses ritual pribadi dan langsung
pada pelaksanaan proses ritual syukuran. Hal ini dikarenakan sebagian besar
peziarah yang mengadakan syukuran menganggap bahwa proses ritual pribadi dan
syukuran adalah sama saja. Selain oleh karena kepadatang Loka Muksa sesudah
jam 18.00 oleh pengunjung yang menjadikan peziarah yang mengadakan
syukuran malas untuk melakukan proses ritual pribadi terlebih dahulu.
Proses ritual syukuan ini diawali dengan salam pembuka dari juru kunci
dan disahut oleh semua peziarah yang mengikuti proses ritual syukuran. Salam
pembuka tersebut seperti dalam contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki,
57 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11
Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di
bawah ini.
Juru kunci : “Poro Bapak soho Ibu ingkang wonten ing pendopo agung mriki
assalamualaikum warohmatuloh hiwabarokatu”.
Peziarah : “waalaikum warohmatuloh hiwabarokatu”.
Juru kunci : “Matur sembah suwun kagem sederek sedoyo ingkang sampun dateng
wonten pendopo agung mriki. Ingkang sepuh nyuwun pandungo ingkang wilujeng,
ingkang enem inggih nyuwun pandungo ingkang wilujeng”.
Peziarah : “Inggih”.
Terjemahannya:
Juru kunci : “Para Bapak dan Ibu yang ada di pendopo agung ini assalamualaikum
warohmatuloh hiwabarokatu”.
Peziarah : “waalaikum warohmatuloh hiwabarokatu”.
Juru kunci : “Terima kasih untuk semua orang yang telah datang di pendopo agung ini.
Yang tua minta didoakan agar selamat, yang muda juga minta didoakan agar selamat”.
Peziarah : “Iya”.
sesudah salam pembuka dihaturkan, juru kunci akan melanjutkan dengan
doa-doa permohonan dari peziarah yang mengadakan syukuran. Doa-doa
permohonan ini juga untuk mendoakan sesaji makanan agar pantas untuk
dihaturkan kepada Sri Aji Jayabaya. Doa permohonan tersebut seperti dalam
contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 57 tahun, juru kunci pamuksan,
Desa Menang dan penyebutan nama Bapak Subandi adalah peziarah. Direkam
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri
Aji Jayabaya) di bawah ini.
Juru kunci: “Mulo ingkang kagungan hajat meniko putro wayah Bapak Subandi putro
wayah saking bojonegoro”.
Peziarah: “Inggih”.
Juru kunci: “Hajatipun Bapak Subandi dinten Kemis Kliwon/Jemuah Legi27 meniko
wilujengan caos kormat sekul suci ulam sari sak uborampenipun meniko dipun caosaken
dumateng gusti dalem Sri Aji Jayabaya. Kabeh sak putri sak putro wayah sumonggo
kalian kerabatipun nyuwon pandungo dumateng ing pamenang mriki”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Kolo meniko Bapak Subandi panyuwonipun sampun kinabulan boten wonten
rubedo menopo-menopo. Kagem sak keluargamenipun Bapak Subandi sak perlu betho
sekul suci ulam sari sak uborampenipun sedoyo dipun caosaken dumateng gusti prabu
Sri Aji Jayabaya”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Nggih binten woten kelepatan, kekirangan menopo ke mawon, Bapak
Subandi nyuwun pangapuntenipun dumateng asmonipun kanjeng Sri Aji Jayabaya”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih mugi-mugi panyuwunanipun lan anggenanipun wilujengan Bapak
Subandi meniko dipun sekseni poro bapak soho ibu keaturan rawuh dumateng pendopo
agung mriki”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih sekul suci ulam sari sak uborampenipun meniko inggih caos kormat,
ingkang dipun kormati gusti kajeng Muhammad rassul asalo sak garwo putro sekabat
sekawan abubakar, usman, umar lan gusti baginda Ali”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Pramilo dipun ngaweruhi inggih Bapak Subandi sak keluarganipun dipun
wangsulan pandungo ingkang wilujeng”.
Peziarah: “Inggih”
27 Doa syukuran ini dilaksanakan pada sore hari pukul 15.30, maka juru kunci menyebut hari
Kemis (Kamis) Kliwon/Jemuah (Jumat) Legi. Karena pada pukul 15.30 masih terhitung hari
Kamis Kliwon menurut penanggalan Jawa padahal doa syukuran ini ditujukan untuk proses ritual
tirakatan Jumat Legi, maka juru kunci menyebutkan kedua hari tersebut secara bersamaan.
Tujuannya adalah menunjukan jika sekarang masih hari Kamis Kliwon dan proses ritual syukuran
ini untuk keperluan tirakatan Jumat Legi-an.
Juru kunci: “Mugi-mugi sedoyo panyuwunipun Bapak Subandi dinten Kemis
Kliwon/Jemuah Legi, mugi-mugi gusti saget nginabulaken”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Bapak Subandi meniko anggenanipun kagungan kewajiban rintenan sak
garwo putro Bapak Subandi pinarengono selamet, wilujeng, tentrem, lan ayem
sedantenipun”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Dumateng lelampahanipun sampun boten wonten rubedo menopo-menopo.
Bapak subandi sak garwo putronipun manggiho raharjo inggih ngantos sak lami-
laminipun”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih sederek sedoyo, poro bapak soho ibu kinaturan rawuh wonten
pendopo agung mriki”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih pisang ayu, suruh ayu, badhek setetes, kelopo enom meniko inggih
caos kormat ingkang dikormati mbok Siti Fatimah sami panutanipun Ibu Subandi. Kabeh
dipun kaweruhi, Ibu Subandi inggih nyuwun tambahi pangestu”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih Ibu Subandi meniko anggenanipun momong putro wayah lan
anggenanipun disambi nyambut damel pinarengono gampang gampil. Bapak Subandi lan
Ibu Subandi anggenanipun pados sandang wonten bumi bojonegoro sak wilayahipun
pinarengono gangsar inggih pinarengono rejeki ingkang agung”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Pinarengono kathah berkah dipun sandang kinten Bapak Subandi sak garwo
putro wayahipun inggih ngantos sak lami-laminipun.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih mugi-mugi shalawatipun poro bapak soho ibu kinaturan rawuh
dumateng pendopo agung mriki”
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih ketan towo meniko caos kormat Bopo Adam, Bopo Kuoso/Angkoso,
lan Ibu Bumi. Mulo dipun paringi caos kormat kagem Bopo Adam, Bopo Angkoso, lan
Ibu Pertiwi inggih disuwuni pandungo ingkang wilujeng”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Tumpeng meniko ngaweruhi kiblat papat limo pancer ingkang mamori,
utawi sederekipun papat kalima pancer. Mulo dicaosi kakormatan inggih Bapak Subandi
sak putro wayah sami nyambut damel sampun mboten wonten rubedo menopo-menopo
ngantos laminipun”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Ngaweruhi guru danyang cikal bakal dusun menang mriki kalian ngaweruhi
guru danyang cikal bakal ingkang bakali bumine Bojonegoro kiblat sekawan gangsal
dipun minggahi. Mulo dicaosi kakormatan inggih disuwuni pandungo ingkang wilujeng.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Ngrantos dipun ngaweruhi mugi-mugi ingkang sanjang tuo menopo ingkang
dados panyuwune Bapak Subandi ingkang sampun kinabulan inggih ngantos sak lami-
laminipun.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih sebapipun poro bapak soho ibu kulo aturi rawuh ing pendopo mriki,
inggih ngaweruhi dinten Kemis Kliwon/Jemuah Legi Bapak Subandi wilujengan caos
dahar sekul suci ulam sari sak uborampenipun dipun caosaken dumateng adep sanjung
gusti kanjeng sinuhun Sri Aji Jayabaya kakung soho putri sak putro wayah puniko Bapak
Subandi inggih nyuwun wangsulan pandungo ingkang wilujeng”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Janten Arum ngaweruhi kaki waluyo jati, nyai ngawulo jati, kadine madhep
nyaine karep. Siji teguh, loro kuat, telu papat eling slamet Kalimat ini sebenarnya berbunyi siji teguh, loro kuat, telu eling, lan papat slamet, tetapi dalam
doa ini dipersingkat menjadi siji teguh, loro kuat, telu papat eling slamet.
Mugi gusti Allah tansah
kinabulono menopo dipun suwun Bapak Subandi sak keluarganipun enggalo kinabulan”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih Bapak Subandi meniko anggenanipun nyambut damel usaha menopo
kemawon pinarengono lancar, pinarengono sukses ngantos sak suksesipun.
Anggenanipun usaha Bapak Subandi pinarengono katah rejekinipun”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci : “Inggih Bapak Subandi sak keluarganipun pinaringono katah kesehatanipun
ngantos sak lami-laminipun. Inggih mugi-mugi shalawatipun/doa-doa poro bapak soho
ibu kinaturan rawuh sedanten dumateng pendopo agung mriki”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Inggih ngaweruhi anggenanipun urusan griyo, pinarengono slamet wilujeng
sak ubenge griyo, pinaringono slamet wilujeng sak njawinipun griyo. Tebihno saking
menopo kemawon inggih sambi kolo Bapak Subandi anggenanipun nggriyo manggiho
raharjo ngantos sak lami-laminipun”.
Peziarah: “Inggih”
Juru kunci: “Sak aturan maleh Bapak Subandi ingkang wilujengan caos dahar sekul suci
ulam sari meniko, bok bileh wonten kalepatan caos dahar menopo ke mawon, Bapak
Subandi nyuwun pangapunten dumateng asmonipun gusti dalem kanjeng sinuhun Sri Aji
Jayabaya. Soho putri sak putro wayah anggenanipun wonten kalepatan menopo kemawon
nyuwun pangapunten”.
Peziarah: “Inggih”
Terjemahannya:
Juru kunci: “Adapun yang memiliki permintaan atau ujup adalah Bapak Subandi yang
berasal dari Bojonegoro”
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Ujup dari Bapak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat Legi itu
mengadakan syukuran sesaji makanan nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya
itu diunjukkan kepada Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Seluruh anak cucu dan kerabatnya
minta didoakan di Pamenang Pamenang ini dihubungkan dengan Pamuksan Sri Aji Jayabaya bukannya Desa Pamenang atau
Menang.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Pada saat ini permintaan Bapak Subandi telah terkabulkan dan tidak ada
halangan yang berarti. Bagi seluruh keluarganya, Bapak Subandi memiliki keperluan
membawa nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya disajikan kepada Sang
Prabu Sri Aji Jayabaya”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Apa bila ada kesalahan, kekurangan apa saja, Bapak Subandi minta maaf
sebesar-besarnya kepada nama Sang Prabu Sri Aji Jayabaya.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Semoga permintaan di dalam mengadakan syukuran Bapak Subandi yang
disaksikan oleh para bapak dan ibu yang datang di pendapa agung ini.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya ini disajikan kepada Nabi
Muhammad SAW dan kerabatnya Abubakar, Usman, Umar dan Yang Terhormat
Baginda Ali.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Diberi sesaji ini agar Bapak subandi dan keluarga mendapatkan jawaban doa
penuh berkah.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Semoga segala permintaan Pak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat
Legi, dengan kehendakNya dapat mengabulkannya.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Bapak Subandi punya kewajiban mengadakan syukuran agar seluruh
keluarga Bapak Subandi diberikan keselamatan, berkah, ketentraman, dan nyaman
kesemuanya”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Pada saat perjalanannya sudah tidak ada godaan apa saja. Bapak subandi dan
keluarganya dipenuhi kesejahteraan hingga selama-lamanya”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Untuk itulah para bapak dan ibu diharapkan kedatangannya di pendapa
agung ini”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Adapun pisang raja, daun suruh, badhek satu tetes, kelapa muda itu sesaji
yang disajikan Ibu Siti Fatimah
Ibu Siti Fatimah ini memilik dua makna, yaitu Siti Fatimah nama dari ibu nabi Isa dan tanah.
Jadi dalam doa ini memiliki arti bahwa semestinya ibu Subandi mampu mencontoh kehidupan Siti
Fatimah (ibu nabi Isa) dan tanah yang selalu memberikan kesuburan bagi setiap tanaman.
yang menjadi panutan Ibu Subandi. Semua diberitahu
dan Ibu Subandi minta diberikan berkah”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Ibu Subandi di dalam mengasuh keluarga dan sambil bekerja diberikan
kemudahan. Pak Subandi dan Ibu Subandi di dalam mencari nafkah di Kota Bojonegoro
dan sekitarnya diberikan kelancaran dengan berkah melimpah”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Berikanlah banyak berkah yang diperoleh Bapak Subandi dan seluruh
keluarganya hingga selama-lamanya.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Semoga para bapak dan ibu yang diharapkan datang mendoakannya di
pendapa agung ini”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Ketan tak berasa ini merupakan sesaji kepada Bapa Adam, Bapa Angkasa,
dan Ibu Pertiwi. Oleh karenanya diberikan sesaji kepada Bapa Adam, Bapa Angkasa, dan
Ibu Pertiwi semoga memberikan doa penuh berkah”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Tumpeng ini memberi pengertian pada kiblat papat limo pancer (empat
kiblat lima menjadi pusat) Kiblat papat limo pancer memiliki arti bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan itu harus melalui
empat cara atau jalan. Empat kiblat ini diasosiasikan dengan empat mazhab dalam agama Islam
yaitu mazhab Safei, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Keempat mazhab ini merupakan jalan yang
dapat ditempuh oleh seorang muslim agar sampai pada kehidupan yang menyenangkan di akherat
(limo pancer). Tujuan dari kehidupan manusia adalah mencapai kelanggengan atau keabadian
hidup di surga.
atau juga sederekipun papat kalima pancer (saudaranya
empat yang ke lima menjadi pusat). Sederekipun papat kalima pancer ini memiliki makna bahwa kelahiran setiap insan ciptaan
Tuhan selalu disertai empat unsur saudara,yaitu: (1) Kakang kawah, warna putih yang bertugas
melindungi seluruh jasad manusia. (2) Adi ari-ari, warna kuning dan bertugas melindungi
langkah-langkah hidup. (3) Arinta rah, warna merah, bertugas mengarahkan kelakuan baik. (4)
Arinta puser, warna hitam dan bertugas melindungi suara. Dan yang ke lima adalah diri manusia
itu sendiri.
Maka diberikan sesaji agar Bapak Subandi dan
seluruh keluarga dalam bekerja tidak mendapatkan halangan apa saja sampai selamanya”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Memberitahu kepada Guru yang mengawali Desa Menang ini dan
memberitahukan Guru awal yang mengawali Kota Bojonegoro di atas empat dan lima
kehidupan. Maka diberi sesaji juga dimintakan doa penuh berkah”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Berharap semoga yang dituakan ini agar segala permintaan Pak Subandi
yang sudah terkabulkan dapat bertahan hingga selama-lamanya.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Maka itu para bapak dan ibu, saya harapkan kedatangannya di pendapa ini,
agar syukuran Bapak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat Legi dengan
membawa sesaji makanan nasi gurih dan lauk pauk beserta perlengkapannya yang
disajikan kehadirat Sang Prabu Sri Aji Jayabaya memohon supaya seluruh keluarga
Bapak Subandi diberikan jawaban doa penuh berkah”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Jika seorang lelaki mengetahui/menginginkan kehidupan sejati, maka
seorang istri haruslah menuruti dengan kesejatian pula, seperti satu : keteguhan, dua :
kekuatan, tiga : kesadarandan, dan empat : keselamatan. Semoga permintaan Bapak
Subandi beserta keluarganya segera dikabulkan oleh Tuhan”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Bapak Subandi di dalam bekerja apa saja diberikan kelancaran, berikanlah
kesuksesan-kesuksesan. Di dalam bekerja, Bapak Subandi, berikanlah banyak
mendapatkan berkah”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Bapak Subandi dan seluruh keluarga diberikan banyak kesehatan hingga
selama-lamanya. Semoga para bapak dan ibu yang diharapkan datang mendoakannya di
pendapa agung ini”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Di dalam urusan rumah, berilah keselamatan di sekitar rumah dan di luar
rumah. Jauhkanlah dari bahaya apa saja, Bapak Subandi dalam berumah tangga, dapat
memperoleh kesejahteraan hingga selama-lamanya”.
Peziarah: “Iya”
Juru kunci: “Satu haturan lagi Bapak Subandi yang syukuran sesaji makanan nasi gurih
dengan lauk pauknya ini, jika ada kesalahan sesaji makanan berupa apa saja, Bapak
Subandi minta pengampunan kepada nama Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Dan juga kepada
semua orang yang ada di sini mempunyai kesalahan apapun juga minta minta
pengampunannya”.
Peiarah: “Iya”
Doa juru kunci ini selalu disahut dengan kata nggih oleh semua peziarah yang
ikut. Nggih dalam bahasa indonesia bisa berarti menyetujui atau meng-iya-kan. Isi
dari doa ini berupa penjelasan kedatangan peziarah dan doa permohonannya
dalam mengadakan syukuran.
sesudah doa permohonan peziarah diucapkan, juru kunci melanjutkan
dengan acara berdoa bersama yang diawali dengan ajakan seperti dalam contoh
(rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 57 tahun, juru kunci pamuksan, Desa
Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di
Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di bawah ini.
Juru kunci: “Mbok bileh wonten kekirangan atur kulo soho bapak poro ibu kulo aturi
njejuruk ‘Amin’ kabul slamet”.
Terjemahannya:
Juru kunci: “Dan jika ada kekurangan hatur saya semua yang hadir di sini, marilah
kita haturkan kata ‘Amin’ agar terkabulkan keselamatan”.
Ajakan juru kunci di atas diteruskan dengan doa yang diawali dengan
tatacara Islam dan dilanjutkan doa wajib yang telah diajarkan turun-temurun
seperti dalam contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 56 tahun, juru
kunci pamuksan, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh
Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di bawah ini.
Juru kunci: “Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah hirrobil’alamin”.
Bila secara lengkap doa tersebut akan berbunyi “Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah
hirrobil’alamin. Allahumma shalli’ala sayyidina muhammadin wa’alaali saiyyidina muhammadin.
Wa asyhaduanna muhammadar rasullulloh hirrobil ‘alamin”.
Peziarah: “Amin…”
Juru kunci: “Allahumma selamet bumi ingkang maringi rejeki. Jagat ingkang maringi
kuat. Bumi pratolo ingkang nglebur doso. Sabdo purno ing ponco bolo resik”.
Peziarah: “Amin…”
Juru kunci: “Purno ing ponco bolo, urip kito ing dino rahayu, kito ing dino pithu”.
Peziarah: “Amin…”
Juru kunci: “Selamet kito kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bumi seng maringi rejeki,
jagat seng maringi selamet. Umur panjang tanpo walangan. Sumber mengo banyu mili,
anggenanipun katah panyembah wonten ingkang ngrahmati.
Peziarah: “Amin…”
Juru kunci: Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah hirrobil’alamin”.
Juru kunci dan Peziarah: “Amin…”
Terjemahannya
Juru kunci: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji
bagi Allah seru sekalian alam”.
Peziarah: “Amin…”
Juru kunci: “Ya Allah berilah keselamatan kepada bumi yang memberikan berkah. Jagat
yang memberikan kekuatan. Bumi tempat kami berpijak yang meleburkan segala dosa.
Sabda yang membersihkan lima bencana”.
Peziarah: “Amin…”
Juru kunci: “sesudah terselesaikan kelima bencana besar, ke tujuh hari yang kita lalui akan
dipenuhi dengan kemakmuran”. Kalimat ini bukan mengambil dari ajaran Hindu tentang lima bencana besar, melainkan doa
yang dirangkai oleh juru kunci sendiri.
Peziarah: “Amin…”
Juru kunci: “Sumber keselamatan kita kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bumi akan
memberikan rejeki, jagat akan memberikan keselamatan. Umur yang panjang tidak
mendapat halangan. Saat sumber terbuka maka air mengalir tiada henti, jika banyak
berdoa akan dibeikan limpahan rahmad”.
Peziarah: “Amin…”
Juru kunci: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji
bagi Tuhan”.
Juru kunci dan Peziarah: “Amin…”
Ungkapan doa yang diawali dengan tata cara agama Islam ini untuk mewakili
peziarah yang beragama Islam, sedang yang beragama lain dapat mengikuti
ataupun berdoa sendiri. Keseluruhan doa ini mengutip dari doa-doa di dalam
agama Islam namun tidak secara lengkap atau dapat dikatakan doa-doa dalam
bahasa Arap ini merupakan ungkapan spontanitas dari juru kunci.
sesudah doa dihaturkan, makanan yang dijajarkan dengan rapi di meja,
kemudian dibungkus satu-satu dan dibagi-bagikan secara merata kepada semua
peziarah yang mengikuti proses ritual syukuran untuk disantap bersama-sama.
Proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji
Jayabaya meliputi tahap persiapan dan pelaksanaan.
1. Tahap persiapan ini dilakukan pada tempat ritual , saat ritual atau
pemilihan waktu, benda ritual , dan orang yang melakukan ritual .
Semua persiapan ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan dan
harus memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan.
2. Tahap pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa
Kliwon ini terbagi dalam dua bagian, yaitu proses ritual tirakatan
pribadi dan syukuran. Proses ritual pribadi dilakukan oleh peziarah
dengan bimbingan juru kunci. Proses ritual bancakan atau syukuran
merupakan ungkapan terima kasih seorang peziarah yang diwujudkan
dengan acara makan bersama dengan peziarah lain yang datang di
pamuksan Sri Aji Jayabaya. Walaupun ada beberapa pergeseran
tentang sesaji makanan dan tata cara ternyata tidak mengurangi
kesakralan proses ritual tirakatan itu sendiri. Hingga sekarang proses
ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon masih dirasakan
sebagian besar warga Kediri sebagai kebutuhan untuk membina
hubungan baik kepada Sri Aji Jayabaya, leluhur, maupun sesama
peziarah yang datang.
86
BAB IV
PROSES RITUAL 1 SURO ATAU MUHHARAM
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KOTA KEDIRI
4.1 Pengantar
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini diprakarsai oleh
Yayasan Hondodento sesudah proses pemugaran wilayah pamuksan terselesaikan.
Proses ritual ziarah ini dilakukan secara adat keraton Yogyakarta. Hingga saat ini
Yayasan Hondodento masih berperan sebagai penyelenggara proses ritual
peringatan tahun baru Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Kemudian dalam
perjalanan waktu oleh pendukung atau warga sekitar wilayah Petilasan Sri
Aji Jayabaya dipercaya sebagai tradisi ritual setempat.
Disamping proses ritual ziarah 1 Suro, Yayasan Hondodento juga
mengadakan ritual labuhan di bulan Suro, tepatnya tanggal 15 Suro, di pantai
Parangkusumo Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka tidak mengherankan jika
antara proses ritual tahun baru Suro memiliki hubungan yang erat dengan ritual
labuhan di pantai Parangkusumo Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun
kepercayaan penduduk sekitar Petilasan Sri Aji Jayabaya menganggap bahwa
eratnya hubungan proses ritual di bulan Suro ini dikarenakan ada hubungan
darah antara raja-raja di kerajaan Kediri dan Mataram (sekarang Keraton
Yogyakarta Hadiningrat). Pendapat penduduk Desa Menang ini didukung juga
oleh juru kunci Sendang Tirtokamandanu yang mengatakan bahwa “kerajaan
Kediri merupakan cikal bakal atau asal mula dari kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa
87
sampai yang terakhhir adalah kerajaan Mataram Islam atau kalau sekarang disebut
sebagai keraton Yogyakarta Hadiningrat” (penutur Bapak Suraten, laki-laki, 56
tahun, juru kunci Pamuksan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang. Direkam pada hari
Rabu, 4 Mei 2005, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang
Tirtokamandanu)..35
4.2 Persiapan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam
Persiapan proses ritual 1 Suro atau Muhharam ini berhubungan dengan
tempat ritual , saat ritual atau pemilihan waktu, benda ritual , dan orang
yang melakukan ritual . Persiapan-persiapan tersebut akan dijelaskan di bawah
ini.
4.2.1 Tempat ritual
Persiapan tempat ritual dilakukan satu hari sebelum perayakan proses
ritual tanggal 1 Suro. Hal ini meliputi pemasangan umbul-umbul berwarna merah-
putih disepanjang jalan masuk menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kemudian
pemasangan janur di pintu masuk pamuksan dan dilanjutkan dengan pembersihan
(dengan cara mencuci) seluruh bagian bangunan dari lumut yang menempel.
Pembersihan ini, meliputi: wilayah pendapa, Loka Muksa, Loka Busana, dan
Loka Mahkota. sesudah keempat tempat bersih, kemudian di lantai Loka Muksa
dan pendapa dipasangkan karpet berwarna merah sebagai alas duduk para pelaku
proses ritual 1 Suro. lalu , pembersihan dilakukan dengan cara doa-doa
35 Pendapat juru kunci ini didasarkan atas buku yang berjudul Sang Prabu Sri Adji Djojobojo
karangan Yudoyono dan sekaligus menjadi buku panduan ziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
88
oleh juru kunci. Doa-doa ini bertujuan meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya agar
proses penyucian Loka Muksa dapat berjalan dengan lancar. Persiapan terakhir di
pamuksan adalah penutupan pintu masuk untuk aktivitas umum, hingga
menjelang acara proses ritual peringatan tahun baru Suro dilaksanakan.
Sedangkan di Sendang Tirtokamandanu persiapan dilakukan dengan
memasang pagar yang terbuat dari bambu dengan hiasan janur disepanjang jalan
masuk gerbang utama. Kemudian dilanjutkan dengan membersih bagian-bagian
yang meliputi: pendapa, sumber air suci, pelataran depan, dan tempat untuk
semadi. sesudah itu dilakukan doa-doa, meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya agar
proses penyucian Sendang Tirtokamandanu dapat berjalan dengan baik. Terakhir
dilakukan penutupan wilayah Sendang Tirtokamandanu untuk aktivitas umum.
4.2.2 Saat ritual
Pemilihan tanggal 1 Suro merupakan peringatan pergantian penanggalan
Saka Hindu Jawa menjadi penanggalan Jawa. Sebab sebelum tahun 1633 Masehi
warga Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan
Matahari. Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun
konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India.
Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1633 M., Raja Mataram
Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar sistem
penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat
dibaca dalam buku Primbon Adji Çaka Manak Pawukon 1000 Taun yang ditulis
dalam bahasa Jawa. Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu
89
Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem
Syamsiyah (Matahari) menjadi Komariyah (Bulan). Perubahan penanggalan
berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak
termasuk daerah Mataram.
Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian
tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah
tanggal 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem penanggalan
tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1,
melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini.
Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian-penyesuaian
seperti nama bulan (month)36 dan hari (day)37. Yang semula menggunakan bahasa
Sansekerta menjadi bahasa Arab atau mirip bahasa Arab. Hal ini menunjukkan
kuatnya pengaruh penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa.
Perbedaan kalender Jawa dengan kalender Masehi dan Hijriah selain
ada pada konsep mingguan atau pasaran yang terdiri dari lima hari (Kliwon,
Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon)38 juga ada nya siklus delapan
tahunan yang disebut windu yang merupakan konsep penanggalan khas Jawa.
36 Penyesuaian bulan ini menggunakan bahasa yang mirip bahasa Arab, seperit: Sura, Sapar,
Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, Besar. Lihat
juga Lihat juga http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm
37 Penyesuaian nama hari disebut juga sebagai Saptawara, yaitu: Soma (Senin), Anggara (Selasa),
Buda (Rabu), Respati (Kamis), Sukro (Jumat), Tumpah (Sabtu), dan Dite atau Radite (Minggu).
Masing-masing hari tersebut memiliki neptu dina atau nilai hari, misalnya: Soma bernilai 4. Lebih
lanjut lihat (Ensiklopedi, 1975: 284)
38 Pawukon berasal dari kata wuku adalah perhitungan waktu yang berjumlah 30 wuku dan setiap
wuku lamanya 7 hari. Wuku-wuku tersebut ialah Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg,
Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya,
Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail,
Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, dan Watugunung. Lihat juga (Ensiklopedi,
1975: 82-88)
90
Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip,
Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Kalender Jawa lebih tepat disebut
sebagai penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah.39
Pemilihan tanggal 1 Suro ini sebagai peringatan pada pergantian tahun
yang dilakukan oleh Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo dan untuk
menjaga kelestariannya. Proses ritual 1 Suro 1939 tahun Alip di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang Kota Kediri bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2006.
Pelaksanaan proses ritual ini dimulai pada pukul 08.00 dengan tujuan agar tidak
berbenturan dengan jadwal pelaksanaan ritual penyucian pusaka yang diadakan
oleh keraton Yogyakarta di pantai Parangtritis. Hal ini ditegaskan oleh Bapak
Priyo yang mengatakan “rangkaian ritual ziarah di bulan Suro ini mempunyai dua
parayaan, yaitu: peringatan tahun baru Suro (tanggal 1 Suro) di Petilasan Sri Aji
Jayabaya dan ritual labuhan di pantai Parangkusumo Yogyakarta. Karena
mengikuti tatacara keraton Yogyakarta Hadiningrat maka waktu pelaksanaannya
juga disesuaikan supaya jadwalnya tidak berbenturan” (penutur Bapak Suraten,
laki-laki, 56 tahun, juru kunci Sendang Tirtokamandanu, Desa Menang. Direkam
pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang
Tirtokamandanu).
4.2.3 Benda ritual
Persiapan benda ritual ini terdiri dari anglo dan kemenyan, sesaji bunga,
peralatan tetabuhan, dan busana.
39 Lihat juga http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm
91
a. Anglo atau tungku untuk membakar kemenyan
Tungku untuk membakar kemenyan atau anglo terdiri dari dua macam,
yaitu: tungku untuk proses ritual perarakan dan tungku untuk berdoa di Pamuksan
Sri Aji Jayabaya serta Sendang Tirtokamandanu. Tungku untuk doa di pamuksan
dan sedang ini dibersihkan dahulu dari sisa-sisa kemenyan yang menempel
dengan cara menyikat seluruh bagian tungku. Dua tungku untuk perarakan
dibersihkan dengan cara menyikat dan menyepuh seluruh bagian tungku.
Menyepuh dalam KBBI (1988: 920), berarti menuakan warna emas dengan
campuran sendawa, tawas, dsb. Jadi dengan disepuh,40 warna keemasan dari
tungku untuk kemenyan akan telihata lebih mengkilap. Kedua tungku untuk
proses ritual perarakan ini memang dipersiapkan khusus untuk proses ritual 1
Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
b. Sesaji Bunga
Persiapan untuk sesaji bunga, yaitu penduduk setempat Desa Menang
memetik bunga mawar dan melati pada pagi hari. Sesaji bunga ini kemudian
dikumpulkan di pendapa Desa Menang sebelum proses ritual pembukaan
berlangsung.
c. Peralatan Tetabuhan atau Alat Musik yang di Pukul
Peralatan tetabuhan ini sebelum digunakan dalam acara proses ritual 1
Suro terlebih dahulu disepuh dan nadanya disesuaikan. Tujuan menyepuh ini agar
alat musik terlihat lebih mengkilat dan suaranya menjadi nyaring. Membenarkan
40 Digosok menggunakan kain yang diberi campuran sendawa.
92
nada berfungsi agar semua alat musik ini senada dan menjadi merdu untuk
didengarkan.
d. Busana
Busana proses ritual 1 Suro yang disiapkan oleh panitia adalah busana
untuk proses perarakan yang terdiri dari: busana barisan Subo Manggolo Putri,
Pembawa Bunga, Pembawa Payung dan Pembawa Tungku. Selain itu busana ini
disiapkan oleh masing-masing pelaku proses ritual, sebab merupakan koleksi
pribadi mereka.
4.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual
Orang yang memimpin proses ritual 1 Suro atau juru kunci
mempersiapkan diri sejak satu hari sebelum acara ziarah tahun baru Suro
diadakan. sesudah penyucian tempat ritual , juru kunci berkumpul dan
melakukan penyucian diri di Loka Muksa untuk membersihkan batin mereka
masing-masing. Demikian juga juru kunci yang ada di Sendang Tirtokamandanu.
Penyucian ini dilakukan dengan cara bersemadi dari pukul 18.00 – 19.00.
Bersemadi ini bertujuan untuk meminta petunjuk dan restu dari Sri Aji Jayabaya
agar juru kunci sebagai pemimpin proses ritual dapat menjalankan tugas dengan
sebaik-baiknya. sesudah semadi acara dilanjutkan dengan tirakatan atau begadang
bersama peziarah yang sudah datang.
Sedangkan orang yang melakukan proses ritual 1 Suro dibagi menjadi tiga,
yaitu: peziarah aktif, peziarah pasif, dan penonton. Peziarah aktif adalah mereka
yang mengikuti proses ritual dari awal hingga akhir atau mereka yang ikut dalam
93
barisan perarakan. Peziarah aktif ini terdiri dari penduduk setempat Desa Menang
dan perwakilan dari Yayasan Hondodento. Peziarah pasif adalah mereka yang
hanya mengikuti proses ritual 1 Suro hanya di Pamuksan Sri Aji Jayabaya atau di
Sendang Tirtokamandanu saja. Biasanya peziarah pasif ini terdiri dari orang-orang
yang sudah berusia lanjut dan berasal dari luar Desa Menang. Sedangkan peziarah
sebagai penonton ini adalah mereka mengikuti jalannya proses ritual 1 Suro dari
awal hingga akhir namun tidak ikut langsung menjadi pelaku ritual. Sebagai
penonton bukan berarti tidak mengikuti proses ritual namun lebih disebabkan
karena keterbatasan tempat di pamuksan.
Persiapan yang dilakukan oleh peziarah aktif adalah merias diri dan
memakai busana yang dibutuhkan untuk proses ritual perarakan. Persiapan ini
dilakukan sejak pukul 04.00, baik penduduk setempat Desa Menang atau
perwakilan Yayasan Hondodento. Sedangkan persiapan peziarah pasif dilakukan
sendiri-sendiri atau ada juga yang menyiapkan sehari sebelum pelaksanaan
dengan mengikuti acara tirakatan bersama juru kunci.
4.3 Pelaksanaan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam
Pelaksanaan proses ritual peringatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan
Sri Aji Jayabaya meliputi tiga bagian pokok, yaitu: proses ritual perarakan, proses
ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya, dan tabur bunga di Sendang
Tirtokamandanu. Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya berpusat di Loka
Muksa, sedangkan di Sendang Tirtokamandanu berpusat di pelataran depan.
Proses ritual tersebut akan dijabarkan di bawah ini.
94
4.3.1 Proses Ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini diawali dengan acara
pembukaan di pendapa Desa Menang yang terdiri dari: laporan ketua panitia,
sambutan kepala Desa Menang, dan sambutan dari perwakilan Pemerintah Daerah
Kota Kediri41. Acara pembukaan ini diakhiri dengan penyerahan tongkat Kyai
Bimo42 dari pihak Yayasan Hondodento kepada juru kunci pamuksan. Kemudian
proses ritual dilanjutkan dengan acara pemberangkatan perarakan tongkat Kyai
Bimo oleh perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa Timur43. Proses ritual
perarakan pusaka Kyai Bimo dimaksudkan supaya kesaktian yang memancar dari
pusaka itu dapat memberi pengaruh baik kepada yang melihat maupun tempat
tinggal penduduk Desa Menang.
Barisan proses ritual perarakan, terdiri dari: barisan pertama adalah barisan
Subo Manggolo Putri berjumlah lima orang. Syarat barisan Subo Manggolo Putri
adalah lima orang yang masih gadis dan pada saat proses ritual 1 Suro
berlangsung tidak sedang mengalami datang bulan atau menstruasi. Sebab barisan
Subo Manggolo Putri merupakan cermin dari kesucian proses ritual 1 Suro itu
sendiri.
41 Dahulu perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri selaku undangan Yayasan Hododento untuk
mengikuti proses ritual 1 Suro dan menyambut kedatangan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang
selalu ikut berziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap perayaan tahun baru Suro. Namun
sekarang kedatangan perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri ini didasarkan atas kepedulian
terhadap warisan budaya sebagai tempat ziarah dan pariwisata.
42 Tongkat Kyai Bimo ini adalah pusaka milik keraton Yogyakarta. Sebelum dibawa ke Petilasan
Sri Aji Jayabaya pusaka ini telah disucikan dalam proses ritual penyucian pusaka di Parang Tritis.
43 Dahulu perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa Timur selaku undangan Yayasan
Hododento untuk mengikuti proses ritual 1 Suro dan menyambut kedatangan Sri Sultan
Hamengkubuwono X yang selalu ikut berziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap perayaan
tahun baru Suro. Namun sekarang kedatangan perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa
Timur ini didasarkan atas kepedulian terhadap warisan budaya sebagai tempat ziarah dan
pariwisata.
95
Barisan kedua adalah pembawa tungku, berjumlah empat orang remaja
putra yang terdiri dari: dua orang pembawa kemenyan dan dua orang pembawa
tungku perarakan. Tugas barisan ini adalah untuk memberi keharuman suasana
proses ritual yang sedang berlangsung.
Barisan ketiga adalah barisan tabur bunga, berjumlah sepuluh orang yang
terdiri dari: anak-anak setingkat Sekolah Dasar. Tugas dari barisan ini adalah
menaburkan bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan di Sendang
Tirtokamandanu pada saat proses ritual tabur bunga. Di antara barisan tabur bunga
ada sepuluh remaja putra yang bertugas sebagai pembawa payung. Barisan
pembawa payung merupakan anak-anak setingkat Sekolah Lanjutan Tahap
Pertama. Tugas barisan ini adalah memayungi atau membuat suasana sejuk bagi
barisan penabur bunga.
Barisan keempat adalah barisan pendamping, berjumlah dua orang yang
terdiri dari: Kepala Desa Menang yang sedang menjabat dan istri atau anaknya.
Dan dalam proses ritual 1 Suro yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2006
ini Kepala Desa Menang didampingi oleh anaknya. Tugas barisan ini adalah
mendampingi dan mengayomi barisan perarakan yang ada di depannya.
Barisan kelima adalah barisan pembawa pusaka, berjumlah satu orang.
Tugasnya adalah menjaga pusaka saat proses ritual perarakan berlangsung.
Barisan terakhir adalah barisan pengawas, berjumlah tiga orang juru kunci
dan satu orang tetua dari Desa Menang. Tugas barisan ini mengawasi jalannya
perarakan dan proses ritual tahun baru Suro dari awal hingga akhir. Di belakang
96
barisan pengawas ini merupakan barisan peserta yang terdiri dari: panitia proses
ritual 1 Suro, perwakilan Yayasan Hondodento, dan peziarah secara umum.
4.3.1.1 Tempat ritual
Tempat ritual dalam proses ritual 1 Suro ada dua bagian, yaitu: pendapa
Desa Menang dan Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kegunaan pendapa Desa Menang
sebagai proses ritual pembukaan dan juga pemberangkatan barisan perarakan
menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Sedangkan di Pamuksan Sri Aji Jayabaya
tempat yang digunakan adalah Loka Muksa, Loka Busana, Loka Mahkota,
halaman pamuksan, dan pendapa. Di depan Loka Muksa digunakan juru kunci dan
tetua Desa Menang untuk memimpin jalannya proses ritual 1 Suro. Sedangkan
Loka Muksa digunakan untuk proses ritual caos dahar atau sesaji makanan.44
Tempat proses ritual tabur bunga berada di sebelah Loka Busana yang sudah
disediakan sepetak tanah yang berbentuk persegi panjang. Loka Mahkota
digunakan hanya untuk proses ritual sesaji makanan saja. Peziarah aktif
menggunakan halaman pamuksan untuk duduk dan menunggu giliran
melaksanakan tugas-tugas mereka. Pendapa pamuksan digunakan peziarah pasif
untuk mengikuti jalannya proses ritual 1 Suro. Sedangkan peziarah sebagai
penonton diperkenankan mengikuti proses ritual dari luar pagar wilayah
pamuksan. Sebab sesudah barisan perarakan masuk ke dalam wilayah pamuksan,
pintu gerbang segera ditutup.
44 Sesaji makanan ini tidak berupa bermacam-macam makanan seperti dalam Bab III, namun
berwujud bunga melati dan mawar. Sesaji makanan berbentuk bunga ini diperuntukkan Sri Aji
Jayabaya untuk mengenang keharuman namanya.
97
4.3.1.2 Saat ritual
Pelaksanaan proses ritual 1 Suro di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dimulai
sekitar + pukul 09.00 dan berakhir pada pukul 12.00 WIB. Proses ritual ini
diadakan sesudah proses ritual perarakan benda pusaka Kyai Bimo dari balai Desa
Menang menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya.
4.3.1.3 Benda ritual
Benda ritual ini dibagi atas beberapa bagian, seperti tungku untuk
kemenyan, sesaji bunga, alat musik, dan pakaian. Semua perlengkapan proses
ritual ini akan dijelaskan di bawah ini.
1. Tungku untuk membakar kemenyan
Tungku utama berada di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang
Tirtokamandanu untuk proses ritual tabur bunga. Sedangkan kedua tungku untuk
perarakan digunakan untuk mendampingi proses ritual perarakan benda pusaka
dari balai Desa Menang hingga tiba di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Tungku untuk
mengiringi perarakan ini harus tetap dalam keadaan menyala sepanjang
perjalanan. Sedangkan tungku utama dinyalakan pada pagi hari sebelum ritual
pembukaan dimulai, walaupun penggunaannya menunggu kedatangan barisan
perarakan.
Pemilihan kemenyan ini harus yang terbaik, sebab kemenyan ini dipakai
juga sebagai caos dahar atau sesaji makanan untuk Sri Aji jayabaya. Kemenyan
untuk proses ritual perarakan selain berguna sebagai sarana keharuman juga
berguna untuk memberi makan kepada makhluk halus sepanjang perjalanan.
98
Dengan diberi makanan berupa kemenyan ini diharapkan makhluk halus tersebut
tidak menggangu jalannya proses ritual perarakan. Sedangkan kemenyan di
pamuksan selain untuk sarana keharuaman saat berdoa juga berfungsi sebagai
pengantar doa atau mantra pada saat proses ritual 1 Suro di pamuksan sedang
berlangsung.
2. Sesaji bunga
Sesaji bunga dalam proses ritual 1 Suro ini adalah bunga melati dan
mawar. Bunga melati merupakan bunga yang harum baunya. Bunga melati juga
melambangkan kesucian. Bunga melati ini diartikan sebagai pencerminan
keharuman dan kesucian nama Sri Aji Jayabaya.
Bunga mawar dihubungkan dengan kata tawar yang mengandung makna
menawar atau menolak hambatan atau godaan yang tidak diinginkan. Bunga
mawar ini dilambangkan sebagai penolak hambatan dan godaan saat mengadakan
proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
3. Alat musik
Alat musik ini terdiri dari: kenong, kempul, dan kendang. Kenong ini jika
ditabuh atau dipukul bunyinya nong – nong – nong. Kalau dicocokkan dengan
bahasa Jawa yaitu Nong – nung – ning, maka maksudnya Nong kana – Nung kono
– Ning kene ( Di sana – Di situ – Di sini). Kempul, kalau dipukul suaranya akan
berbunyi Pung, pung-pung bunyi seperti ini diartikan dengan kumpul-kumpul.
Kendang, alat ini jika ditabuh akan kedengaran Ndang ndang-tak, Ndang-ndang
tak suara seperti ini mengandung makna cepat-cepat. Ndang (enggal-enggal,
cepat-cepat). Ndang tak (yen di tak enggal-enggal padha tumandang) kalau
99
diperintah cepat-cepat dilaksanakan. Jadi dalam alunan musik ini memiliki makna
sebagai berikut: wahai orang-orang yang di sana, di situ, dan di sini marilah
semua berkumpul cepat-cepat. Makna yang terkandung dalam alunan musik ini
dihubungkan dengan berkumpul untuk melaksakan proses ritual 1 Suro di
Petilasan Sri Aji Jayabaya.
4. Pakaian
Barisan Subo Manggolo yang terdiri dari lima remaja putri ini memakai
rias wajah berupa wedak gahdung45 dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan
di bawah kelopak mata. Rambut digelung konde46 dengan hiasan di atasnya
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas mengenakan kebayak panjang
tanpa kuthubaru47dan diganti dengan kancing baju biasa. Kebaya tanpa memakai
kuthubaru ini mempunyai makna bahwa pemakainya belum pernah mempunyai
suami atau anak. Pakaian bagian bawah adalah kain batik panjang dan tidak
mengenakan alas kaki.
Barisan kemenyan berjumlah empat orang ini pada bagian kepala
mengenakan udeng atau ikat kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung48
berwarna kuning dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian
bawah adalah kain batik tanpa mengenakan alas kaki.
45 Wedak gahdung atau wedak teles adalah bedak yang terbuat dari bahan beras.
46 Gelung konde merupakan jenis sanggul yang dibentuk dengan cara mengikat seluruh rambut ke
belakang dipuntir mulai dari atas hingga ke bawah. Kemudian dibentuk dua bulatan yang
menindih sebagian antara yang satu dengan yang lain. Masing-masing sisi dikencangkan dengan
tusuk konde (biasanya terbuat dari logam) dengan cara menyelipkannya di tengah-tengah sanggul.
47 Kuthubaru adalah kancing yang berbentuk bulat-bulat berwarna emas.
48 Wakthung merupakan singkatan dari krowak di buthung atau krowak di punggung yang artinya
baju yang berlubang di bagian punggung. Adapun bentuk dari pakaian wakthung ini merupakan
baju kebesaran Solo.
100
Barisan tabur bunga yang terdiri dari sepuluh orang ini memakai rias
wajah berupa wedak gahdung dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan di
bawah kelopak mata. Rambut diberikan gelung konde dengan hiasan di atasnya
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas digunakan kemben atau kain
berwarna emas dengan motif pelangi yang dibalutkan pada badan remaja putri
tersebut. Pada leher dikenakan kalung yang terbuat dari kain dengan motif
disesuaikan dengan kemben. Pakaian bagian bawah adalah kain panjang batik dan
tidak mengenakan alas kaki.
Barisan pembawa payung yang berjumlah sepuluh orang ini memakai
udeng mondolan49 pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung
berwarna hitam dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian
bawah adalah kain batik panjang dan tidak mengenakan alas kaki.
Barisan pendamping, yaitu kepala Desa Menang dan seorang pendamping.
Kepala Desa Menang ini memakai udeng atau ikat kepala pada bagian kepala.
Pakaian bagian atas adalah baju wakthung berwarna hitam dengan tiga buah
kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian bawah adalah kain batik dan
mengenakan selop50 untuk alas kaki. Dan pendampingnya memakai rias wajah
berupa wedak gahdung dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan di bawah
kelopak mata. Rambutnya diberikan gelung konde dengan hiasan di atasnya
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas digunakan kebayak berwarna
49 Cara memakai udeng mondoloan adalah rambut digelung dan dimasukkan ke dalam ikat kepala,
sehingga membentuk benjolan di belakang kepala.
50 Alas kaki selop adalah sepatu yang dibuat dari bahan beludru pada bagian depannya tertutup
dengan hak tidak terlalu tinggi.
101
kuning. Pakaian bagian bawah adalah jarik atau kain batik dan mengenakan selop
untuk alas kaki.
Barisan pembawa pusaka yang berjumlah satu orang ini memakai udeng
mondolan pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung
berwarna biru dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian
bawah adalah kain batik dan tidak mengenakan alas kaki.
Barisan pengawas yang terdiri dari juru kunci dan tetua Desa Menang
memakai udeng mondolan pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju
wakthung berwarna hitam dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan.
Pakaian bagian bawah adalah kain batik tanpa mengenakan alas kaki.
Barisan peserta yang terdiri dari: panitia proses ritual 1 Suro, perwakilan
Yayasan Hondodento, dan peziarah secara umum ini kebanyakan pada pakaian
bagian atas mengenakan kebayak dan selendang untuk wanita sedangkan baju
wakthung untuk pria. Sedangkan bagian bawah tetap mengenakan jarik dan
memakai selop untuk alas kaki.
4.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual
sesudah sampai di Pamuksan Sri Aji Jayabaya, kemudian ketiga juru kunci
dan tetua Desa Menang maju hingga berada di depan pintu masuk Loka Muksa.
Acara dilanjutkan dengan unjuk atur atau doa pembukaan. Doa pembukaan proses
ritual ini dipimpin oleh tetua dari Desa Menang seperti dalam kutipan di bawah
ini.
“Sak uro ura uri kaluhuran dalem Gusti Moho Agung. Ingkang sur mantep suryo kaping
29 Agustus 1472 keluarga Hondodento sampun hanidik. Ingkang kalejengipun kabantu
kalian kelompok rohani Sumber Karanganyer ing Plered Ngayogyokarto. Keperluanipun
102
kepareng dalem Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, kagungan dalem Luko Mukso kapugar
ngantos rampung, ing suryo 17 april 1976 utawi 17 mulud 1908 Alip. Sedoyo ingkang
sami marang was wonten ngarso kadetan mugi angsal berkah kaagus saking ingkang
kamoho kraos. Lestari soho saget tho amiludho kito sedoyo kajenge lungo nis ing sambi
kolo, soho saget tho ambaling suci, kaluhuran, lan mulyo. Mugi kaluhuran,
kawicaksanaan soho puncaraning Sang Prabu Sri Aji Jayabaya sandoyonono soho
murah katatanan dateng kito sedoyo. Nitahipun dateng nusa, bangsa, serto negari
Republik Indonesia ingkang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Mugi
ing samangke toto, titi, tentrem, karto raharjo, adil, poro wartos, kados pangayomanipun
kawulo dalih krom magrok. Mugi Gusti ingkang Moho Kraos hamijapono
Menang Suryo kaping 31 januari 2006
Panitia Ziarah Desa Menang soho Yayasan Hondodento kalepatanipun satrio kawulo”.
Terjemahannya:
“Puja dan puji keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung. Yang pada tanggal 29 Agustus
1427 keluarga Hondodento telah berdiri. Dalam perjalanannya sudah dibantu oleh
kelompok kepercayaan rohani Sumber Karanganyar di Plered Yogyakarta. Keperluannya
di sini supaya diperkenankan oleh Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, agar Loka Muksa dapat
dipugar dan sudah selesai, pada tanggal 17 April 1976 atau 17 Mulud 1908 Alip. Semua
yang telah diberikan itu semoga mendapatkan berkah yang agung dari Sang Dewata.
Semoga lestari dapat menauingi kita semua dan supaya pergi semua bahaya, maka
terciptalah kesucian, keluhuran, dan kemulyaan. Semoga keluhuran, kebijaksanaan yang
terpancar dari Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dengan kemurahannya dapat menaungi kita
semua. Titahnya merahmati nusa, bangsa, serta negara republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Semoga semua penataan,
ketentraman, kesejahteraan, adil, dan makmur, menjadi pelindung manusia. Semoga
Tuhan Yang Maha Tahu memberikan berkatNya.
Menang tanggal 31 Januari 2006
Panitia Ziarah Desa Menang dan Yayasan Hondodento memohon maaf sebesar-
besarnya.”
(penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun,
tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari
2006, oleh Joko Nugroho, di depan Loka Muksa).
Dalam doa pembukaan ini lebih menekankan pada sejarah berdiri Petilasan Sri Aji
Jayabaya dan dilanjutkan dengan ijin untuk memulai proses ritual peringatan
tahun baru Suro. Ternyata dalam doa pembukaan ini tidak hanya untuk proses
ritual semata melainkan juga bertujuan untuk mendoakan seluruh negara
Indonesia.
Doa pembukaan di atas kemudian dilanjutkan doa bersama dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan peziarah yang mengikuti
proses ritual 1 Suro ini tidak semuanya dapat mengerti bahasa Jawa. Pergeseran
bentuk doa yang dipimpin oleh juru kunci ini seperti dalam kutipan di bawah ini.
103
Ya Tuhan Yang maha mulia dengan segala kerendahan hati kami panjatkan puji syukur
kehadiratMu karena atas RidhoMu hari ini Seloso Pon 31 Januari 2006 kami dapat
berkumpul dipusat wilayah petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dalam rangka ziarah
dan peringatan tahun baru Jawa 1 suro tahun Alip 1939. Ya Allah Ya Tuhan Maha
Pengasih dan Pengampun ampunilah dosa kami dan dosa-dosa para pahlawan dan leluhur
kami serta terimalah jasa dan pengorbanan jiwa raganya yang telah mereka persembahkan
untuk meraih kejayaan bangsa dan negara kami. Berilah mereka ketempat yang sebaik-
baiknya di sisiMu sesuai dengan dharma bhaktinya. Ya Allah Ya Tuhan yang maha arif
dan bijaksana berikanlah kepada kami dan pemimpin kami kekuatan, keteguhan,
petunjuk, dan tuntunanMu sebagaimana telah engkau berikan kepada para pemimpin dan
leluhur kami. Perkenankanlah kami dan generasi penerus kami mewarisi sifat-sifat budi
pekerti para pahlawan dan leluhur kami dalam memelihara, mengisi kemerdekaan bangsa
dan negara kami yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ya Allah ya Tuhan Yang
maha Agung berkatilah hidup kami kini dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan,
lahir dan batin, baik di dunia maupun dikemudian. Hindarkanlah kami dari segala mara
bencana dan mara petaka, mudahkanlah jalan yang kami tempuh dalam mencapai cita-
cita warga adil dan makmur. Ya Allah Yang Maha Mengetahui, jadikanlah ritual
ziarah ini sebagai sarana untuk membangkitkan semangat generasi penerus kami dalam
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur sejarah dan budaya bangsa. Sekalipun
mendorong ketulusan jiwa bagi kami dan generasi penerus kami untuk meneruskan
dharma bhakti para pahlawan dan leluhur kami dalam mengabdikan diri kepadaMu,
kepada bangsa, dan negara kami Republik Indonesia. Ya Allah ya tuhan yang maha kuasa
kepadaMulah kami menyembah dan berserah diri serta kepadaMulah kami memohon
pertolongan. Ya Allah Ya Tuhan yang maha pengasih dan penyayang kabulkanlah doa
kami. Amin Ya Robbil Alamin”.
(penutur Bapak Suraten, laki-laki, 64 tahun, tetua Desa Menang, Desa
Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho,
di depan Loka Muksa).
Doa dalam proses ritual tanggal 1 Suro ini ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Esa untuk mengenang keberadaan Sri Aji Jayabaya. Doa ini juga menitikberatkan
kepada peringatan raja Jayabaya sebagai ksatria karena keberanian dan
ketangguhannya dalam berperang. Hal ini dihubungkan dengan kakawin
Baratayudha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Harapannya agar
sikap ksatria raja Jayabaya ini dikenang baik sekarang maupun masa mendatang.
sesudah berdoa proses ritual dilanjutkan dengan tabur bunga yang
dilakukan oleh barisan pembawa bunga. Tabur bunga dilakukan di sebelah Loka
Busana yang sudah disediakan sepetak tempat yang cukup luas untuk menabur
bunga. Tata cara menaburkan bunga pertama-tama, keenam belas remaja putri
maju berdua-dua dan bersujud di depan Loka Busana.
104
Kedua, keenam belas remaja putri itu membentuk barisan berjajar di depan
tempat tabur bunga yang dilanjutkan dengan bersujud secara bersama-sama di
depan tempat menabur bunga. Ketiga, keenam belas remaja putri itu maju berdua-
dua lagi. Di depan tempat menabur bunga bersujud sembah dan memulai acara
menabur bunga. Cara menabur bunga, yaitu: menaburkan bunga yang dibawanya
dengan berjalan jongkok mengitari tempat yang sudah disediakan. Keempat,
sesudah selesai kedua orang itu kembali ke tempat semula dan dilanjutkan
temannya yang lain. sesudah menabur bunga berdua-dua, ke enam belas remaja
putri tesebut kembali berjajar dan bersujud bersama-sama. Kelima, ke enam belas
remaja putri itu kembali ketempat duduk semula. Cara kebalikan dengan saat akan
memulai proses ritual menaburkan sesaji bunga, yaitu: berjalan berdua-dua,
kemudian sembah sujud di depan Loka Busana, dan kembali ketempat duduk
mereka semula.
Acara dilanjutkan dengan caos dahar yang diawali oleh kepala Desa
Menang dan anaknya terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan wakil dari Yayasan
Hondodento, dan peziarah yang lainnya. Proses ritual caos dahar ini dilakukan di
Loka Muksa secara bergiliran. Dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan caos
dahar di halaman Loka Busana dan Loka Mahkota. Tatacara caos dahar di Loka
Muksa untuk kepala desa, perwakilan Yayasan Hondodenton, dan peziarah adalah
sujud sambil merapatkan tangan di depan dada kemudian mengangkatnya sampai
di atas kepala. Hal ini dilakukan pada anak tangga pertama, anak tangga terakhir,
dan di depan pintu Loka Muksa. sesudah itu dilanjutkan dengan berdoa secara
pribadi dan menaburkan sesaji bunga di sekeliling Loka Muksa. Saat proses ritual
105
caos dahar berlangsung, dibacakan juga sejarah Sri Aji jayabaya. Teks sejarah Sri
Aji Jayabaya ini bisa dilihat dalam lampiran sejarah raja Jayabaya.
Proses ritual berikutnya adalah peletakan dan pemberkatan pusaka
Tongkat Kyai Bimo di depan pintu masuk Loka Muksa yang dilakukan oleh juru
kunci. Pemberkatan ini bertujuan untuk meminta berkah kepada Sri Aji Jayabaya,
supaya pusaka Tongkat Kyai Bimo dapat berguna dalam menjaga keamanan
negara Indonesia. Sebelumnya pusaka ini juga sudah disucikan pada malam tahun
baru Suro di pantai Parangtritis oleh keraton Yogyakarta.
lalu doa unjuk lengser atau doa penutup yang dilakukan oleh tetua
Desa Menang, seperti dalam rekaman di bawah ini.
“Poro sederek, panitia ziarah desa Menang soho yayasan Hondodento sedoyo,
anggehipun upocoro Agung 1 Suro tahun Alip sampun paripurno. Ingknag meniko kito
sami badhe lengser saking petilasan Sri Aji Jayabaya. Pangesti mugi Gusti Ingkang
Moho Agung tansah minaringono pangayoman kito sami wilujrng langkah kito”.
Terjemahannya:
“Para semua peserta, panitia ziarah desa Menang dan yayasan Hondodento, bahwa
ritual Agung 1 Suro tahun Alip sudah selesai. Saat ini kita semua akan pulang dari
petilasan Sri Aji Jayabaya. Semoga Tuhan Yang Maha Agung memberikan naungan dan
berkah kepada kita ”.
(penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun,
tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari
2006, oleh Joko Nugroho, di depan Loka Muksa).
Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya ini diakhiri dengan pengambilan
pusaka Tongkat Kyai Bimo dan dilanjutkan perarakan menuju Sendang
Tirtokamandanu.
sesudah barisan perarakan meninggalkan wilayah pamuksan, peziarah pasif
dan penonton berdesak-desakan masuk wilayah pamuksan dan saling berebutan
mengambil bunga-bunga yang telah ditaburkan di sebelah Loka Busana oleh
keenam belas remaja putri tadi. Bunga ini dipercaya oleh sebagian besar peziarah
106
sebagai pembawa berkah, bahkan ada juga yang menggunakannya untuk
mengobati penyakit tertentu.
4.3.2 Proses Ritual Di Sendang Tirtokamandanu
sesudah proses ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya selesai
kemudian perarakan dilanjutkan menuju ke Sendang Tirtokamandanu. Perarakan
ini berjalan sambil diiringi alunan musik dan mempawaikan benda pusaka
Tongkat Kyai Bimo disepanjang jalan menuju wilayah Sendang Tirtokamandanu.
4.3.2.1 Tempat ritual
Tempat ritual di Sendang Tirtokamandanu, meliputi: pelataran depan
dan tempat semadi. Pelataran depan digunakan sebagai tempat duduk peziarah
aktif dan pasif. Tempat semadi dijadikan sebagai tempat proses ritual tabur bunga
yang dilakukan oleh barisan tabur bunga. Di luar pagar Sendang Tirtokamandanu
digunakan oleh peziarah sebagai penonton untuk menyaksikan jalannya proses
ritual 1 Suro di Sendang Tirtokamandanu.
4.3.2.1 Saat ritual
Pelaksanaan proses ritual yang diadakan di Sendang Tirtokamandanu
antara pukul 12.30 hingga pukul 14.30 WIB. Proses ritual ini dilaksanakan sesudah
proses ritual perarakan dari pamuksan datang di Sendang Tirtokamandanu.
107
4.3.2.3 Benda ritual
Benda ritual di sini dapat dilihat pada benda ritual dalam proses ritual
1 Suro di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan baik
di dalam penggunaan, makna, dan, fungsi benda ritual antara proses ritual di
Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan di Sendang Tirtokamandanu.
4.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual
Proses ritual di Sendang Tirtokamandanu diawali dengan unjuk atur atau
doa pembukaan, seperti dalam rekaman di bawah ini.
“Kaluhuran dalem Gusti Moho Agung, mugi lestari saget amiludho kito sedoyo kajenge
lungo nis ing sambi kolo, soho saget tho ambaling suci kaluhur lan mulyo. Inggih ziarah
ing Sendang Tirtokamandanu mugi Sang Prabu Sri Aji Jayabaya saget ngrahmat kagem
kito sedoyoi.
Terjemahannya:
“Keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung, dan semoga kelestarian dapat menauingi
kita semua supaya kita terhindar dari semua cobaan dan mendapatkan kesucian,
keluhuran, dan kemulyaan. Dalam ziarah di Sendang Tirtokamandanu ini semoga Sang
Prabu Sri Aji Jayabaya memberikan rahmadnya untuk kita semua.
(penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 64 tahun,
tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari
2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang Tirtokamandanu).
Doa pembukaan ini dilakukan sebagai sarana meminta izin kepada Sri AJi
Jayabaya agar proses ritual tahun baru Suro di Sendang Tirtokamandanu dapat
berjalan dengan lancar.
Proses ritual dilanjutkan dengan tabur bunga yang dilakukan oleh barisan
pembawa bunga. Tabur bunga dilakukan di tempat semadi yang sebelumnya telah
disediakan sepetak tempat cukup luas untuk menabur bunga. Tata cara
menaburkan bunga pertama-tama, keenam belas remaja putri maju berdua-dua
dan bersujud di gapura tempat semadi. Kedua, keenam belas remaja putri itu
108
membentuk barisan berjajar di depan tempat tabur bunga yang dilanjutkan dengan
bersujud secara bersama-sama di depan tempat menabur bunga itu. Ketiga,
keenam belas remaja putri itu maju berdua-dua lagi ke depan tempat menabur
bunga dan bersujud sembah kemudian memulai acara menabur bunga. Cara
menabur bunga, yaitu: bunga yang dibawa ditaburkan dengan berjalan jongkok
mengitari tempat yang sudah disediakan tersebut. Keempat, sesudah selesai kedua
orang itu kembali ke tempat semula dan dilanjutkan temannya yang lain berdua-
dua secara bergiliran. sesudah menabur bunga berdua-dua, keenam belas remaja
putri tesebut kembali berjajar dan bersujud bersama-sama. Kelima, keenam belas
remaja putri itu kembali ketempat duduk semula. Caranya merupakan kebalikan
dari permulaan proses ritual menabur sesaji bunga, yaitu: berjalan berdua-dua,
kemudian bersembah sujud di gapuran tempat semadi, dan kembali ketempat
duduk mereka semula.
sesudah acara menabur sesaji bunga selesai, seharusnya ada ritual
pengalungan bunga pada patung Ganesha. Namun ritual pengalungan pada
peringatan tahun baru Suro 1939 atau tepatnya tanggal 31 Januari 2006 ini tidak
dilakukan. Menurut pendapat juru kunci Sendang Tirtokamandanu mengatakan
“dahulu memang ada ritual pengalungan bunga pada patung Ganesha, namun
sekarang ritual tersebut tidak dilakukan lagi. Pengalungan bunga pada patung
Ganesha itu bukan suatu keharusan, tetapi ritual perarakan dan tabur bunga saja
yang merupakan acara wajib dari ritual ziarah 1 Suro ini”. (penutur Bapak Priyo,
laki-laki, 59 tahun, juru kunci Sendang Tirtokamandanu, Desa Menang. Direkam
109
pada hari Rabu, 4 Mei 2005, oleh Joko Nugroho, di wilayah Sendang
Tirtokamandanu).
Oleh karenan ritual pengalungan bunga pada patung Ganesa tidak ada
maka acara dilanjutkan dengan unjuk lengser atau doa penutup yang dipimpin
oleh juru kunci Sendang Tirtokamandanu, seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Sedoyo kaluhuran dalem Gusti Moho Agung. Ziarah peringatan 1 Suro ing Petilasan Sri
Aji Jayabaya sampaun pamungkasan. Mugi rahmad saking puncaraning Sang Prabu Sri
Aji Jayabaya katatanan dateng kito sedoyo ngantos sak lami-laminipun.
Menang tanggal 31 Januari 2006.
Menawi wonten kalepatanipun panitia ziarah Desa Menang soho Yayasan Hondodento
pangapuntenipun ingkan ageng”.
Terjemahannya:
“Segala keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung. Ziarah peringatan 1 Suro di Petilasan
Sri Aji Jayabaya sudah selesai. semoga rahmad yang terpancar dari Sang Prabu Sri Aji
Jayabaya menaungi kita semua hingga selama-lamanya.
Menang tanggal 31 Januari 2006
Jika ada kesalahan panitia ziarah Desa Menang dan Yayasan Hondodento memohon maaf
sebesar-besarnya.”
(penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun,
tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari
2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang Tirtokamandanu).
sesudah pembacaan doa penutup di Sendang Tirtokamandanu para peziarah aktif
ini kembali ke pendapa Desa Menang untuk mengadakan acara ramah tamah atau
makan bersama. Dan untuk peziarah pasif dan penonton akan membubarkan diri
masing-masing. Namun tidak sedikit dari peziarah pasif dan penonton sesudah
selesai akan saling berebut mengambil air sendang dan bunga yang sudah
ditaburkan oleh keenam belas remaja putri untuk dibawa pulang. Dengan
membawa pulang bunga atau air sendang, peziarah berharap akan mendapatkan
berkah yang melimpah. Terkadang bunga dan air sendang yang dibawa pulang ini
diberikan kepada orang yang sakit untuk diminumkan dengan tujuan agar orang
sakit itu segera sembuh.
110
Tujuan ritual diadakan di Sendang Tirtokamandanu selain untuk
mengenang keagungan Sri Aji Jayabaya juga memiliki arti sebagai permintaan
agar air yang muncul dari sendang senantiasa dapat memberi kehidupan kepada
penduduk sekitar. Hal ini berhubungan dengan arti dari nama sendang, yaitu
sumber kehidupan.
3.5 Rangkuman
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya meliputi tahap persiapan
dan pelaksanaan.
1. Tahap persiapan ini dilakukan di pendapa Desa Menang dengan urutan
acara laporan ketua panitia, sambutan kepala Desa Menang, sambutan
dari perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri, penyerahan Tongkat
Kyai Bimo, dan pemberangkatan perarakan Tongkat Kyai Bimo. Selain
itu ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu persiapan pada
tempat ritual , saat ritual atau pemilihan waktu, benda ritual , dan
orang yang melakukan ritual . Persiapan tempat, pemilihan waktu,
dan sesaji ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan dan harus
memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan. Persiapan
yang dilakukan peziarah dan juru kunci adalah tirakatan atau begadang
bersama sehari sebelum proses ritual 1 Suro digelar. Pagi harinya
semua pelaku ritual yang terlibat merias diri masing-masing dan
mengenakan busana yang dibutuhkan untuk proses ritual perarakan.
111
2. Tahap pelaksanaan proses ritual 1 Suro ini terbagi dalam tiga bagian,
yaitu proses ritual perarakan, ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji
Jayabaya, dan ritual tabur bunga di Sendang Tirtokamandanu. Proses
ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya berpusat di Loka Muksa,
sedangkan di Sendang Tirtokamandanu berpusat di pelataran depan.
Perarakan Tongkat Kyai Bimo ini dilakukan dengan berjalan dari
pendapa Desa Menang, berhenti di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan
Sendang Tirtokamandanu untuk berdoa, kemudian kembali lagi ke
pendapa Desa Menang. Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya,
meliputi: (1) unjuk atur atau doa pembukaan, (2) doa bersama dengan
menggunakan bahasa Indonesia, (3) ritual tabur bunga di sebelah Loka
Busana, (4) caos dahar atau sesaji bunga di Loka Muksa, (5) peletakan
dan pemberkatan pusaka Tongkat Kyai Bimo, (6) unjuk lengser atau
doa penutup. Proses ritual di Sendang Tirtokamandanu, meliputi: (1)
unjuk atur atau doa pembukaan, (2) ritual tabur bunga di tempat
semadi, (3) unjuk lengser atau doa penutup.
112
BAB V
FUNGSI PROSES RITUAL TIRAKATAN
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA PAMENANG KEDIRI.
5.1 Pengantar
Pelaksanaan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya masih
berlangsung sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa petilasan tersebut
masih memiliki fungsi bagi warga pendukungnya. Sebab jika proses ritual
itu tidak memiliki fungsi maka proses ritual tersebut tidak akan dapat bertahan
lama. Bab V ini penulis akan mengkaji secara cermat fungsi-fungsi yang dimiliki
Petilasan Sri Aji Jayabaya.
5.2 Fungsi Spiritual
Proses ritual memiliki fungsi spiritual berhubungan erat dengan emosi
keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1967:
218) emosi keagamaan atau religious emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada
suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu
hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja
untuk kemudian menghilang lagi.
Emosi keagamaan inilah yang mendorong manusia untuk berlaku serba
religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis pada segala sesuatu yang
bersangkutan dengan kelakuan serba religi tersebut, seperti: tempat, waktu, benda-
benda, dan orang-orang yang bersangkutan. Tempat kramat itu seperti Petilasan
113
Sri Aji Jayabaya yang menjadi media spiritual atau tempat bermukimnya roh
lehuhur (Sri Aji Jayabaya). Waktu yang keramat itu misalnya Jumat legi dan
Selasa kliwon yang dianggap sebagai hari baik oleh warga Jawa. Benda-
benda keramat itu misalnya tungku untuk membakar kemenyan yang digunakan
peziarah sebagai sarana untuk mengantarkan mantra atau doa-doa mereka kepada
Tuhan. Orang-orang yang melakukan juga menjadi keramat jika melakukan
proses ritual atau ritual keagamaan. Kelakuan serba religi ini terlihat dalam
kutipan di bawah ini.
“Pak Santoso adalah seorang peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk
meminta keselamatan dalam menjalani hidup. sesudah berdoa di Loka Muksa kemudian
Pak Santoso membawa pulang bunga kanthil dan sebuah mainan kecil (manik)51 yang
dianggapnya sebagai wangsit”.
(penutur Bapak Santosa, laki-laki, 62 tahun, wiraswasta, Kota Jombang.
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di
pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Kelakuan serba religi ini telah merubah bunga kanthil dan sebuah mainan kecil
yang biasa saja menjadi memiliki sebuah kesakralan tertentu.
Proses ritual ini juga sebagai upaya manusia dalam mencari keselamatan
dan sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Alam kosmos itu terdiri dari
komponen yang bersifat materi (alam nyata) dan dan non-materi (alam gaib).
Komponen yang bersifat materi terdiri dari warga (interaksi manusia) dan
alam sekitar (gunung, sungai, laut, dan lain sebagainya). Sedangakan komponen
yang bersifat non-materi terdiri dari alam kelanggengan (alam gaib positif) dan
alam lelembut (alam gaib negatif). Dengan melakukan proses ritual manusia
51 Manik dalam KBBI (1994: 627), berarti butir kecil-kecil (dari merjan, karang, plastic, dan
sebagainya) berlubang dan cocok untuk perhiasan (kalung).
114
berharap mendapatkan ketentraman, keseimbangan batin dan akhirnya dapat
singgah di alam kelanggengan.
Kedatangan seseorang ke tempat yang dianggap keramat dengan
mengadakan proses ritual merupakan suatu upaya manusia untuk membina
hubungan baik dengan roh leluhur, dewa-dewa, ataupun Tuhannya. Demikian
juga dalam proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan Sri Aji Jayabaya dijadikan
peziarah untuk memohon sesuatu. Permohonan tersebut seperti dalam kutipan di
bawah ini.
“Saya ini baru sembuh dari sakit darah tinggi. Makanya sekarang mengadakan bancakan
(syukuran) ini untuk merayakan kesehatan saya. Terlebih juga minta supaya diberi
kesehatan selama-lamanya oleh Tuhan”.
(penutur Bapak Madi, laki-laki, 73 tahun, petani, Desa Menang. Direkam
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa
Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Dalam kutipan di atas selain peziarah tersebut mensyukuri kesembuhannya juga
meminta kesehatan selama-lamanya. Hal ini menandakan bahwa membina
hubungan baik dengan roh leluhur, dewa-dewa, dan Tuhan didasarkan pada
ungkapan syukur dan permohonan-permohonan manusia. Peziarah yang datang ke
Petilasan Sri Aji Jayabaya ada juga yang dikarenakan kewajiban, seperti dalam
kutipan berikut:
“Bapak riyen nate kesupe mboten mriki lami sanget. Lha pikiran kulo mboten sekeco
ngoten, sampe gerah lami mas, pitung wulan yen ora salah. Terus bapak kelingan lak lali
dereng mriki niki. Sak sampune waras, inggih kulo mriki maleh nyuwun pangapunten
kalian Ingkang Moho Agung. Inggih sampe dinten niki kok pun mboten wonten alangan
menopo niku sakit-sakitan maleh, yen masuk angin kan yo biasa tho Mas.”
Artinya: “Bapak dulu pernah lupa tidak datang ke sini (Petilasan Sri Aji Jayabaya) lama
sekali. Kemudian pikiran saya tidak enak, sampai-sampai sakit lama sekali, tujuh bulan
kalau tidak salah. sesudah bapak ingat kalau belum sempat datang ke sini ini (Petilasan Sri
Aji Jayabaya). sesudah sembuh, ya saya ke sini lagi minta ampun kepada Yang Maha
Agung. Ya sampai hari ini tidak pernah ada halangan apakah itu sakit-sakitan lagi, kalau
masuk angin itukan biasa tho Mas.
115
(penutur Bapak Pandi, laki-laki, 44 tahun, wiraswasta, Kota Bojonegoro.
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di
pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Dari kutipan di atas tampak bahwa jika tidak melakukan prose ritual di Petilasan
Sri Aji Jayabaya pikiran menjadi tidak enak (mboten sekeco) hingga berakibat
pada keadaan sakit sampai tujuh bulan lamanya. Keadaan sakit ini berarti
digambarkan sebagai mendapatkan bencana atau halangan dari Tuhan. Makanya
peziarah memiliki kewajiban untuk melakukan proses ritual di Petilasan Sri Aji
Jayabaya agar hatinya tenang dan tidak mendapatkan halangan dari roh leluhur
atau Tuhan.
5.3 Fungsi Sosiologis
Proses ritual memiliki fungsi sosial jika dihubungkan dengan kehidupan
dan interaksi antar pendukungnya. Sesungguhnya proses ritual memiliki
penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan juga berciri
sosiologis, yaitu sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat
kehidupan sosial antara warga warga . Para pemeluk suatu religi atau agama
terkadang tidak menjalankan kewajiban mereka secara sungguh-sungguh, tetapi
hanya melakukannya karena mereka menganggap melakukan ritual itu sebagai
suatu kewajiban sosial saja. Seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Setiap Jumat Legi saya ikut nyekar makam Sri Aji Jayabaya Mas…. Selain nyekar ya
biar bisa ngobrol sama teman-teman sekampung. Rasanya kalau tidak ikut nyekar itu
tidak enak dilihat sama tetangga atau teman-teman yang lain”.
(penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa
Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
116
Kedatangan Mas Jamri ini disebabkan oleh kewajiban sosial penduduk setempat
Desa Menang. Jadi sifat proses ritual di sini sebagai pengendali sosial (social
control) dan Petilasan Sri Aji Jayabaya dianggapnya sebagai media untuk
melakukan hubungan sosial dengan warga yang lain.
Saat wawancara dengan Mas Jamri berlangsung, dia juga sempat bertanya
kepada peziarah lain yang berasal dari luar desa Menang. Pertanyaan itu seperti
dalam kutipan di bawah ini.
Mas Jamri: “Mas, sampun lami mboten dugi mriki? Sibuk menopo kemawon?”
Peziarah lain: “Meniko Mas, sibuk ngurusi nggriyo”.
Artinya:
Mas Jamri: “Mas, sudah lama tidak datang ke sini? Sedang sibuk apa saja?”
Peziarah lain: “Itu Mas, sedang sibuk mengurus rumah”.
(penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa
Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Dari percakapan tersebut penulis tidak dapat mengerti tentang arah pertanyaan
dan maksud jawaban, namun terlihat di sini bahwa interaksi sosial tidak hanya
dilakukan antara penduduk sekitar Desa Menang saja, melainkan dilakukan
penduduk sekitar dengan peziarah dari luar. Jadi yang dimaksud dengan proses
ritual berfungsi sebagai interaksi sosial di sini bukan hanya dari penduduk
setempat melainkan seluruh pendukung dari proses ritual di Petilasan Sri Aji
Jayabaya itu sendiri.
5.4 Fungsi Ekonomis
Petilasan Sri Aji Jayabaya juga memiliki fungsi ekonomis tidak
terpisahkan dengan pembukaan Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai obyek wisata.
Banyaknya pendatang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya dimanfaatkan warga
117
sekitar untuk berjualan dan mencari nafkah. Tidak hanya itu, penduduk sekitar
Desa Menang juga ada yang membuka jasa parkir dan akomodasi. Seperti halnya
Bapak Supardi yang memanfaatkan hari Jumat Legi dan Selasa Kliwon untuk
membuka jasa parkir dan menjual bunga di depan rumahnya, katanya:
“Bagi saya Petilasan Sri Aji Jayabaya itu memberi berkah. Sebab selain dapat memarkir
kendaraan yang ingin berziarah ke sini, saya juga bisa menjual bunga. Kalau parkir
kendaraan yang ramai itu biasanya pada hari Jumat Legi dan tanggal 1 Suro. Kalau
menjual bunga yang ramai pada hari Jumat Legi, pasti laris Mas”.
(penutur Bapak Supardi, laki-laki, 52 tahun, wiraswasta, Desa Menang.
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di
pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa dibukanya Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai
tempat wisata telah dimanfaatkan oleh penduduk Desa Menang untuk kegiatan
ekonomi. Ternyata tidak hanya penduduk sekitar Desa Menang yang
memanfaatkan obyek ziarah dan wisata Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Seorang
pedagang dari luar juga memanfaatkannya untuk berjualan, khususnya pada
proses ritual peringatan tahun baru Suro, seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Saya inikan pedagang celengan keliling yang di mana ada keramaian di situ saya
berdagang. Pada perayaan tahun baru Suro di sini (Petilasan Sri Aji Jayabaya) banyak
diadakan pertunjukan-pertunjukan, makanya ramai sekali oleh pendatang. Jelas ini adalah
berkah untuk saya sebagai pedagang keliling, sebab dengan banyaknya orang yang datang
dagangan saya menjadi semakin laris”.
(penutur Umah, laki-laki, 24 tahun, wiraswasta, Kota Kediri. Direkam
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa
Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Petilasan Sri Aji Jayabaya tidak hanya dirasakan oleh penduduk setempat,
melainkan pendagang dari luar Desa Menang juga akan berbodong-bondong
memanfaatkan keramaian orang untuk menjual barang dagangannya di sana. Hal
ini bisa dilihat pada saat Suroan banyak pedagang kaki lima yang berjualan di
sekitar wilayah petilasan.
118
Proses ritual memiliki fungsi ekonomi juga berkaitkan dengan permintaan-
permintaan peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya. Menurut
Endraswara (2005: 229-231) prinsip ekonomi orang Jawa untuk meraih kabegjan
(keberuntungan) tidak dicapai semata menggunakan sistim pasar. Orang Jawa
khususnya mencoba menerapkan manajemen batin yang secara tidak langsung
akan membuat roda ekonomi lancar. Apalagi, jika pelaku ekonomi menjalankan
mistik kejawen tulen, maka segala perilaku ekonomis akan diwarnai dengan
ritual-ritual. Paling tidak, landasan yang menonjol adalah prinsip bahwa rezeki
merupakan peparinge Pangeran (pemberian Tuhan) yang telah digariskan atau
diatur oleh Tuhan. Kepercayaan ini menyebabkan orang Jawa gemar mendatangi
tempat-tempat keramat yang biasanya ada makam leluhur yang pantas
dimintai tolong agar ekonominya lancar. Yang dilakukan di tempat itu adalah
berdoa, nyekar, dan bersemedi agar diberikan kemudahan dalam menjalankan
perekonomian mereka. Demikian pula peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji
Jayabaya banyak di antara mereka yang meminta agar dagangan laris, seperti
dalam kutipan di bawah ini.
“Kulo dateng mriki nyuwun bantuan kalian Eyang menawi sadeyan celengan saget
lancar. Sadeyan meniko wonten musimipun Mas, kadang sepi kadang inggih rame.
Inggih mugi-mugi pengayomanipun Eyang saget maringi kelancaran usaha kulo”.
Artinya: “Saya datang ke sini minta bantuan kepada Eyang (Sri Aji Jayabaya) semoga
dalam berjualan celengan dapat lancar. Berjualan itu ada musimnya, terkadang sepi
terkadang juga ramai. Ya semoga karunia Eyang dapat memberikan kelancaran usaha
saya”.
(penutur Ibu Suparmi, laki-laki, 55 tahun, wiraswasta, Kecamatan Semen
(Kota Kediri). Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko
Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Peziarah sebagai pelaku ekonomi di sini melakukan proses ritual dalam rangka
mencari pelarisan (agar dagangan laris terjual). Pelarisan di sini tidak sama
119
dengan mencari pesugihan (kekayaan) semata, melainkan lebih mendasarkan pada
kabegjan yang dimintakan kepada Tuhan.52
5.5 Fungsi Politis
Menurut Endraswara (2005: 236) hakikat politik dalam budaya Jawa
adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya
meraih kekuasaan. Kekuasaan dalam warga Jawa ini sangat terkait dengan
konsep kasekten (kesaktian) seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh
kewibawaan seorang pemimpin. Cara memperoleh kekuasaan kasekten ini sering
dilakukan melalui semedi di tempat-tempat keramat.
Proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang memiliki fungsi politik
dihubungkan dengan sikap mesianistik atau orang Jawa sering menyebutnya
sebagai ratu adil53. Oleh sebab keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini secara
historis diperkuat oleh legenda raja Jayabaya yang diceritakan tidak meninggal
dunia melainkan muksa. Maka dengan datang dan bersemedi di petilasan ini, ada
juga seseorang yang berharap mendapatkan wahyu sebagai ratu adil. Gerakan
mesianistik yang ramai dibicarakan pada akhir abad ke-20 ini diperkuat dengan
ideologi milenaristik54 yaitu akan hadirnya jaman emas di abad ke-21 yang
dimulai dengan kehadiran ratu adil atau Imam Mahdi di akhir abad ke-20. Seperti
gerakan Muhammad Arif yang menyandang nama Romo Bung Karno di Malang
pada tahun 1998.
52 Bandingkan dengan Endraswara (2005)
53 Menurut KBBI (1994: 821), ratu adil berarti tokoh yang diharapkan (diidealkan) menjadi
pembebas kesengsaraan
54 Ideologi milenaristik adalah gerakan mengulang kembali masa-masa kejayaan yang telah
lampau.
120
Kuatnya mitos ratu adil di hati rakyat Jawa, maka banyak tokoh politik
yang memiliki visi populis55 dengan menggunakan paham ini untuk memperoleh
dukungan dari rakyat. Maka yang paling awal digarap menjadi pengikut adalah
warga yang frustasi dan tidak rasional, atau ada yang mengistilahkan
warga paranoid.56 Penyebab frustasi bisa macam-macam seperti kemiskinan
yang menindih, ketakutan, konflik. Lapisan warga bawah menjadi sasaran
empuk karena rendahnya tingkat berpikir secara rasional.
Seperti ditulis Dr Sindhunata (1999), yang mengatakan bahwa Ir.
Soekarno datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya di Desa Menang Kota Kediri
Propinsi Jawa Timur dengan disaksikan banyak orang. sesudah berdiam atau
bersemadi di petilasan selama sekitar tujuh menit mengaku telah menerima wahyu
kedaton, wahyu kenegaraan. Hal ini juga dikatakan oleh Amat Radjo cucu
Warsodikromo, juru kunci petilasan waktu itu, bahwa Ir. Soekarno sebelum dan
sesudah menjadi presiden Republik Indonesia sering berziarah ke Petilasan Sri Aji
Jayabaya. Kedatangan Ir. Soekarno ini dengan maksud untuk meminta restu dan
bimbingan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dalam menjalankan tugasnya sebagai
pemimpin negara. Sejak saat itu Ir. Soekarno dimitoskan sebagai ratu adil dan
memiliki kasekten atau kesaktian luar biasa seperti HOS Tjokroaminoto, guru
politik Ir. Soekarno. Bahkan di mata Samsuri, Ir. Soekarno tidak mati melainkan
55 Visi populis adalah pandangan yang berpaham pada untuk menjunjung tinggi hak, kearifan, dan
keutamaan rakyat kecil. Lihat juga KBBI (1994: 782 dan 1120).
56 Menurut KBBI (1994: 730) paranoid diartikan sebagai penyakit jiwa; penyakit yang membuat
orang berpikir aneh-aneh yang bersifat khayalan. Jadi warga paranoid adalah orang-orang
yang sedang dihantui pikiran aneh-aneh yang bersifat khayalan.
121
masih hidup di Hutan Purwo Banyuwangi. Muhammad Arief mengaku titisan Ir.
Soekarno itu berganti nama dengan sebutan Romo Bung Karno.57
Selain Ir. Soekarno, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga
memanfaatkan proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya sebagai sarana politik.
Melalui acara Bedah Bumi Nusantara, Gus Dur yang telah menjadi mantan
Presiden Republik Indonesia datang sebagai tamu kehormatan. Dan para
undangan yang hadir adalah Sultan Kanoman dari Kesultanan Cirebon, Sultan
Salahuddin XII bersama permaisurinya, Putri Mawar, serta perwakilan dari
Kesultanan Surakarta Hadiningrat, Kesultanan Jogjakarta, Kerajaan Bali dari Puri
Ubud. Serta para tokoh lintas agama, antara lain Bikkhu Dhama Sutta Tera (Ketua
Umum Sangha Tera-vada Indonesia atau perwakilan agama Budha), Bunsu Ny
Titis Subodro (perwakilan Khonghucu), Soeparno (perwakilan Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), H Kuncoro (perwakilan agama
Islam), sedangkan tokoh agama Katolik, Kristen Protestan dan Hindu berhalangan
hadir waktu itu.58
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa keberadaan proses ritual di
Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi politik. Bung Kano di sini jelas-jelas
mengatakan telah mendapatkan wahyu kedaton atau wahyu kenegaraan,
sedangkan Gus Dur secara tidak langsung ingin menarik simpati warga yang
datang dalam ritual bedah bumi nusantara. Dengan mengadakan atau ikut dalam
proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dihadiri oleh ribuan peziarah itu
seorang tokoh politik berharap akan memperoleh dukungan dari masyarakyat luas.
57 Lihat juga http://www.kompas.com/kompas-cetak/utama/1109/00.htm
58 Lihat juga http://www.knightsps.co.id/27122003/01d.phtml+petilasan+sri+aji+jayabaya/id
122
Sebenarnya proses ritual sebagai sarana berpolitik dalam warga Jawa
sangatlah wajar, asalkan dalam memimpin bangsa mengikuti jejak raja-raja Jawa
terdahulu. Menurut Endraswara (2005: 237), ada delapan sifat pemimpin
yang baik, yaitu: (1) galing (burung merak) lambang kekuasaan, (2) banyak
(angsa) lambang kesucian, (3) dalang (kijang) lambang kepandaian, (4) sawung
(jago) lambang keberanian, (5) ardawalika (naga) lambang tanggung jawab, (6)
kacumas (sapu tangan emas) lambang kebersihan, (7) kutuk (sebangsa ikan)
lambang keindahan, dan (8) saput (kota perluasan) lambang kesiapan. Jadi saat
seseorang itu memiliki kekuasaan selayaknya punya kesucian, kepandaian,
keberanian, tanggung jawab, kebersihan, keindahan, dan kesiapan sebagai tokoh
pemimpin.
5.6 Fungsi Budaya
Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan di sini melekat pada kategori-
kategori fungsi dalam proses ritual tirakatan yang lain, yaitu fungsi spiritual,
sosiologis, ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana fungsi budaya
dalam proses ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya spiritual, budaya ekonomis,
budaya sosiologis, dan budaya politis bagi pendukungnya.
Proses ritual memiliki fungsi budaya spiritual masih berhubungan erat
dengan emosi keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Maka seseorang itu
akan berlaku serba religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis pada segala
sesuatu, seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan orang-orang yang bersangkutan.
Budaya spiritual menurut emosi keagamaan akan menciptakan tata cara saat
123
berada di tempat kramat seperti yang berlaku di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang
menjadi media spiritual atau tempat bermukimnya roh lehuhur (Sri Aji Jayabaya).
Budaya spiritual juga menjadikan Jumat legi dan Selasa kliwon acuhan ketetapan
sebagai hari baik untuk menghaturkan segala permohonannya di Petilasan Sri Aji
Jayabaya. Begitupun dengan benda-benda dan para pendukungnya akan menjadi
keramat jika melakukan semua tata cara dalam proses ritual tirakatan di Petilasan
Sri Aji Jayabaya.
Proses ritual memiliki fungsi budaya sosial jika dihubungkan dengan
kehidupan dan interaksi antar pendukungnya. Seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Setiap Jumat Legi saya ikut nyekar makam Sri Aji Jayabaya Mas…. Selain nyekar ya
biar bisa ngobrol sama teman-teman sekampung. Rasanya kalau tidak ikut nyekar itu
tidak enak dilihat sama tetangga atau teman-teman yang lain”.
(penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa
Pamuksan Sri Aji Jayabaya).
Kedatangan Mas Jamri ini disebabkan oleh kewajiban sosial penduduk setempat
Desa Menang. Kewajiban sosial ini membuat Mas Jamri merasa malu jika tidak
datang di Petilasan Sri Aji Jayabaya pada Jumat legi dan Selasa kliwon. Maka
proses ritual ini tidak semata-mata menjadi pengendali sosial semata namun telah
menciptakan budaya sosial malu.
Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi budaya ekonomis tidak
terpisahkan dengan pembukaan Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai obyek wisata.
Banyaknya pendatang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya membuat warga sekitar
berbudaya serba ekonomis dengan cara membuka jasa parkir, jasa akomodasi,
berjualan bunga, hingga jasa menyewakan kamar mandi. Ternyata tidak hanya
warga sekitar Desa Menang seorang pedagang dari luar juga
124
memanfaatkannya untuk berjualan, khususnya pada proses ritual peringatan tahun
baru Suro karena banyaknya orang yang datang untuk mengikuti perayaan
tersebut.
Menurut Endraswara (2005: 236) hakikat politik dalam budaya Jawa
adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya
meraih kekuasaan. Kekuasaan dalam warga Jawa ini sangat terkait dengan
konsep kasekten (kesaktian) seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh
kewibawaan seorang pemimpin. Cara memperoleh kekuasaan kasekten ini sering
dilakukan melalui semedi di tempat-tempat keramat.
Proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang memiliki fungsi budaya
politik dihubungkan dengan sikap mesianistik atau orang Jawa sering
menyebutnya sebagai ratu adil. Seperti ditulis Dr Sindhunata (1999), yang
mengatakan bahwa Ir. Soekarno datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya di Desa
Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur dengan disaksikan banyak orang.
sesudah berdiam atau bersemadi di petilasan selama sekitar tujuh menit mengaku
telah menerima wahyu kedaton, wahyu kenegaraan. Selain Ir. Soekarno, KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga memanfaatkan proses ritual di Pamuksan Sri
Aji Jayabaya sebagai sarana politik melalui acara Bedah Bumi Nusantara. Kedua
contoh di atas menunjukkan fungsi budaya politis dalam proses ritual di Petilasan
Sri Aji Jayabaya karena bersifat populis dengan memanfaatkan budaya
mesianistik yang ada dalam warga Jawa.
125
5.7 Rangkuman
Proses ritual Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi spiritual,
sosiologis, ekonomis, politis, dan budaya ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan
secara nyata. Sebab proses ritual berfungsi spiritual ini ada juga perilaku
sosial antar peziarah. Dalam fungsi ekonomi juga ada interaksi sosial dan
fungsi spiritual sebab di dalam permohonan kelancaran usaha termuat juga mantra
atau doa. Bahkan fungsi politik di sini berpengaruh juga pada fungsi sosial
(mengajak orang bersatu), ekonomi (kejayaan), dan spiritual karena berkaitan
dengan kasekten (kesaktian), wahyu dari ilahi, dan kepercayaan warga
terhadap ratu adil. Terlebih fungsi budaya yang akan selalu menempel pada
fungsi-fungsi lain dalam proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Makanya kelima fungsi proses ritual di sini saling berkaitan satu dengan lainnya,
walaupun dalam kenyataannya fungsi spirituallah yang sangat dominan. Hal ini
oleh Franz Magnis Suseno disebut sebagai pandangan hidup orang Jawa.
Menurut Suseno (2001: 82), bahwa pandangan hidup orang jawa tidak
dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu
dengan lainnya, melainkan bahwa realita itu dilihat sebagai suatu kesatuan
menyeluruh. Pada hakekatnya orang Jawa tidak membedakan antara sikap-sikap
religius dan bukan religius, sebab di dalam sikap religius ada interaksi-
interaksi sosial. Demikian pula sikap religius memiliki relevansi terhadap
perkembangan ekonomi dan hakekat menguasai (politik). Bagi orang Jawa
pandangan itu bukan suatu pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai
sarana dalam usahanya untuk berhasil dalam menghadapi masalah-masalah
126
kehidupan. Tolok ukur arti pandangan hidup orang Jawa ini adalah nilai
pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu: ketenangan,
ketentraman, dan keseimbangan batin.
127
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan uraian di depan, penulis menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini didukung oleh sejarah raja
Jayabaya yang memerintah kerajaan Kadiri (Kediri) antara tahun 1135 M.
hingga tahun 1157 M.. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi peziarah
dari luar kota maupun warga Kota Kediri untuk berkunjung.
Hubungan historis antara sejarah Jayabaya dan keberadaan proses ritual
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini terlihat dalam doa-doa yang
selalu berpusat pada keagungan dan kebesaran nama raja Jayabaya.
2. Pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon ini
walaupun sudah mengalami beberapa perubahan, seperti wujud sesaji
makanan dan urutan ritual, ternyata tidak mengurangi kesakralan proses
ritual itu sendiri. Proses ritual tirakatan ini selain dipakai untuk meminta
berkah dan memohon keselamatan kepada Tuhan melalui perantara Sri Aji
Jayabaya juga sebagai sarana membina hubungan baik di antara peziarah.
3. Proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya
yang diprakarsai oleh Yayasan Hondodento ini pada akhirnya diyakini
sebagai tradisi ritual setempat warga sekitar Desa Menang dan Kota
128
Kediri. Buktinya hingga saat ini proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di
Petilasan Sri Aji Jayabaya masih dilaksanakan.
4. Analisis fungsi yang dimiliki oleh Petilasan Sri Aji Jayabaya, penulis
menemukan adanya lima fungsi, yakni: (1) keberadaan Petilasan Sri Aji
Jayabaya sebagai tempat proses ritual memiliki fungsi spiritual dalam
membina hubungan baik antara peziarah dengan Tuhan melalui perantara
Sri Aji Jayabaya. (2) Petilasan Sri Aji Jayabaya dan proses ritual tirakatan
memiliki fungsi sosial sebagai proses interaksi sosial di antara peziarah
dan kontrol sosial bagi warga Desa Menang. (3) dibukanya Petilasan
Sri Aji Jayabaya sebagai tempat wisata ziarah tentu akan didatangi banyak
orang dan tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan penduduk sekitar
untuk berjualan, membuka penginapan, jasa parkir, dan lain sebagainya.
Hal ini berakibat pada penambahan pendapatan warga Desa Menang.
Hal yang sama dirasakan oleh pedagang lain yang berjualan di sekitar
wilayah Petilasan Sri Aji Jayabaya pada peringatan tahun baru Suro. (4)
Petilasan Sri Aji Jayabaya ternyata juga dapat dijadikan simbol dan sarana
untuk kepentingan politik. Hal ini dilakukan dengan menghadiri ritual
ritual yang sudah ada maupun mengadakan ritual pribadi di Petilasan Sri
Aji Jayabaya dengan mengundang banyak orang agar memperoleh simpati
warga luas (5) Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan yang
selalu melekat pada kategori-kategori fungsi yang lain, yaitu fungsi
spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana
fungsi budaya dalam proses ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya
129
spiritual, budaya ekonomis, budaya sosiologis, dan budaya politis bagi
pendukungnya.
5. Penelitian ini telah membuktikan bahwa media tutur kata dalam takhyul
atau folk belief yang terdiri dari tanda-tanda dan sebab-sebab menciptakan
sebuah akibat. Akibat ini oleh Koentjaraningrat dikelompokkan ke dalam
empat komponen, yaitu : (a) tempat-tempat ritual , (b) saat-saat ritual ,
(c) benda-benda ritual , (d) orang-orang yang melakukan dan memimpin
ritual . Demikian halnya yang terjadi dalam proses ritual di Petilasan Sri
Aji Jayabaya. Teori unsur-unsur dalam proses ritual dalam penelitian ini
ada yang kurang relevan. Unsur tersebut adalah bekorban. ada pula
unsur-unsur proses ritual yang tidak secara langsung terlibat dalam proses
ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya, yaitu : unsur menari dan menyanyi
serta memainkan seni drama. Sebab unsur-unsur ini diadakan terpisah dari
proses ritual namun masih merupakan satu rentetan acara. Penambahan
unsur-unsur proses ritual di Petiladan Sri Aji Jayabaya adalah latar
belakang alunan musik atau backsound untuk mengiringi jalannya proses
ritual.
B. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakan penelitian
tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Dalam bidang
tradisi lisan perlu diadakan penelitian lebih mendalam tentang proses ritual pada
hari-hari biasa dan proses ritual Bedah Bumi Nusantara. Demikian pula
130
disarankan untuk dilakukan kajian yang mendalam tentang munculnya
kepercayaan-kepercayaan rakyat (folk belief) mengenai Petilasan Sri Aji
Jayabaya. Dalam bidang psikologi perlu diadakan penelitian lanjut tentang alasan
dan motivasi peziarah datang di Petilasan Sri Aji Jayabaya, baik datang untuk
mengikuti tirakatan satu hari saja maupun yang tinggal di wilayah peti