Tampilkan postingan dengan label pariwisata 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pariwisata 1. Tampilkan semua postingan
pariwisata 1
Gejala pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu tempat
ke tempat lain dan perkembangannya sesuai dengan sosial budaya warga itu sendiri.
Semenjak itu pula ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi selama
perjalanannya, di samping juga adanya motivasi yang mendorong manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan meningkatnya peradaban manusia, dorongan
untuk melakukan perjalanan semakin kuat dan kebutuhan yang harus dipenuhi semakin
kompleks.
Motivasi dan motif perjalanan dari jaman ke jaman berbeda-beda tingkatannya,
sesuai dengan perkembangan dan tingkat sosial budaya, ekonomi dan lingkungan dari
warga itu sendiri. Motivasi dan motif perjalanan warga pada jaman pra sejarah
berbeda dengan motivasi dan motif perjalanan warga pada jaman modern. Cara
perjalanan dan fasilitas yang dipakai warga masih sederhana kalau dibandingkan
dengan warga yang lebih maju.
Menurut beberapa ahli, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban
manusia itu sendiri dengan ditandai oleh adanya pergerakan penduduk yang melakukan
ziarah dan perjalanan agama lainnya, disamping juga digerakkan oleh perasaan lapar, haus,
perasaan ingin tahu, perasaan takut, gila kehormatan, dan kekuasaan.
World Tourism Organization (WTO), secara sepintas membagi perkembangan atau
sejarah pariwisata ini ke dalam 3 ( tiga) jaman, yakni :
a. Jaman kuno
b. Jaman pertengahan, dan
c. Jaman modern
Pariwisata pada jaman kuno, ditandai oleh motif perjalanan yang masih terbatas
dan sederhana, yaitu:
-- Adanya dorongan karena kebutuhan praktis dalam bidang politik dan perdagangan,
dambaan ingin mengetahui adat istiadat dan kebiasaan orang lain atau bangsa lain,
dorongan yang berkaitan dengan keagamaan, seperti melakukan ziarah dan
mengunjungi tempat-tempat ibadah.
-- Sarana dan fasilitas yang dipakai selama perjalanan pada zaman kuno inipun masih
sederhana. Alat angkutan dengan memakai binatang, seperti kuda, onta, atau
perahu-perahu kecil yang menyusuri pantai merupakan alat transportasi yang paling
populer. namun, perjalanan dengan jalan kaki untuk menempuh jarak berpuluh-
puluh atau beratus-ratus kilometer paling banyak dilakukan.
Contoh perjalanan pada jaman kuno : seperti yang dilakukan oleh pedagang-pedagang
Arab ke Cina untuk membeli barang berharga, pedagang Yunani ke Laut Hitam,
pedagang Vinisia ke Afrika. Perjalanan kaum Buddhis Cina ke India, kaum Muslimin
yang melakukan ibadah Haji ke Mekkah atau kaum Nasrani ke Yerusalem.
-- Badan atau organisasi yang mengatur jasa-jasa perjalanan pada jaman ini belum ada.
Pengaturan perjalanan ditentukan secara individu, baik oleh perorangan atau kaum-
kaum. Akomodasi yang dipakai masih sederhana. Para pelancong membangun
tenda-tenda sendiri atau tinggal di rumah-rumah saudagar, pemuka-pemuka
warga , pemuka agama atau tempat-tempat beribadah, seperti mesjid dan gereja.
Akomodasi yang dikelola secara komersiil pada jaman ini belum ada.
-- Motivasi dan motif perjalanan pada abad pertengahan lebih luas dari motivasi dan
motif perjalanan pada jaman kuno. Di samping motif perjalanan untuk keperluan
perdagangan, keagamaan dan dambaan ingin tahu, pada jaman ini telah berkembang
motif untuk tujuan yang berkaitan dengan kepentingan negara (mission) dan motif
untuk menambah pengetahuan.
-- Para pedagang tidak lagi melakukan pertukaran secara barter. Para pedagang cukup
dengan membawa contoh barang yang ditawarkan melalui pekan-pekan raya
perdagangan. Seperti di St. Denis, Champagne atau Aix-la-Cappalle.
-- Untuk menjaga hubungan antar negara, baik negara penjajah maupun yang dijajah atau
antar negara merdeka, dilakukan saling kunjungan petugas-petugas negara.
-- Pada jaman pertengahan telah ada perguruan-perguruan tinggi seperti Al Azhar di
Kairo, di Paris, Roma, Salamanca, dan sebagainya. Para mahasiswa dari berbagai
negara melakukan kunjungan ke universitas-universitas ini untuk menambah atau
memperdalam pengetahuannya dengan mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan
oleh para guru besar.
-- Dengan semakin banyaknya yang melakukan perjalanan antar negara, berbagai negara
mulai mengeluarkan peraturan-peraturan guna melindungi kepentingan negara,
penduduknya serta kepentingan para turis .
-- Akomodasi yang bersifat komersiil mulai bermunculan walaupun masih sederhana.
Demikian pula restoran-restoran yang menyediakan makanan untuk keperluan para
pelancong.
-- Alat angkut tidak hanya dengan menunggang kuda, keledai atau onta, tetapi telah
meningkat dengan menambah kereta yang ditarik kuda atau keledai. Angkutan laut
telah memakai kapal-kapal yang lebih besar.
-- Perkembangan pariwisata pada jaman modern, ditandai dengan semakin beraneka
ragamnya motif dan keinginan turis yang harus dipenuhi sebagai akibat
meningkatnya budaya manusia.
-- Formalitas atau keharusan para pelancong untuk membawa identitas diri bila
mengunjungi suatu negara mulai diterapkan.
-- Tempat-tempat penginapan (akomodasi) yang dikelola secara komersiil tumbuh dengan
subur. Fasilitas yang dipakai semakin lengkap.
-- Timbulnya revolusi industri di negara-negara Barat telah menciptakan alat angkut yang
sangat penting dalam perkembangan pariwisata. Diketemukannya mesin uap, mulai
diperkenalkan angkutan kereta api dan kapal uap, dan menggantikan alat angkut yang
memakai binatang.
-- Perkembangan selanjutnya ditemukan alat angkut yang memakai mesin motor,
yang jauh lebih cepat dan fleksibel dalam angkutan melalui darat. Teknologi mutakhir
yang sangat penting dalam jaman modern yaitu dengan dipakai nya angkutan udara
yang dapat menempuh jarak jauh dalam waktu yang lebih cepat.
-- Sejak permulaan abad modern, ditandai pula oleh adanya badan atau organisasi yang
menyusun dan mengatur perjalanan.
Sebagai fenomena modern, tonggak-tonggak bersejarah dalam perjalanan wisata
juga dapat ditelusuri dari perjalanan Marcopolo pada tahun 1254-1324 yang menjelajahi
Eropa sampai Tiongkok, untuk kemudian kembali ke Venesia yang kemudian disusul
perjalanan Pangeran Henry (1394-1460), Cristophe Columbus (1451-1506) dan Vasco da
Gama (akhir abad XV). Namun sebagai kegiatan ekonomi pariwisata baru berkembang
pada awal abad XIX dan sebagai industri internasional pariwisata dimulai tahun 1865
Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam
menghasilkan devisa di berbagai negara seperti Thailand, Singapura, Filipina, Fiji,
termasuk negara kita . Dengan pentingnya peranan
pariwisata dalam pembangunan ekonomi berbagai negara, pariwisata sering disebut
sebagai “passport to development”, “new kind of sugar”, tool for regional
development,”invisible export”, non-polluting industry” dan sebagainya
Dalam sejarah nusantara, diketahui bahwa kebiasaan mengadakan perjalanan telah
dijumpai sejak lama. Dalam buku Nagara Kartagama, pada abad XIV, Raja Hayam Wuruk
dilaporkan telah mengelilingi Majapahit dengan diikuti oleh para pejabat negara. Ia
menjelajahi area Jawa Timur dengan mengendarai pedati. Pada awal abad XX,
Susuhunan Pakubuwono X dikenal sebagai raja yang sangat suka mengadakan perjalanan.
Hampir setiap tahun beliau mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah sambil memberi
hadiah berupa uang. Dalam tradisi kerajaan Mataram, raja atau penguasa area harus
melakukan unjuk kesetiaan pada keraton dua kali setiap tahunnya, sambil membawa para
pejabat, pekerja yang mengangkut logistik dan barang persembahan untuk raja. Dari
sinilah, pariwisata negara kita terus berkembang sesuai dengan keadaan politik, sosial, dan
budaya warga nya. Kemajuan pesat pariwisata negara kita sendiri tidak terlepas dari
usaha yang dirintis sejak beberapa dekade yang lalu.
berdasar kurun waktu perkembangan, sejarah pariwisata negara kita dapat dibagi
menjadi tiga periode penting yaitu : periode masa penjajahan Belanda, masa pendudukan
Jepang, dan setelah negara kita merdeka.
Kegiatan kepariwisataan dimulai dengan penjelajahan yang dilakukan pejabat
pemerintah, missionaris atau orang swasta yang akan membuka usaha perkebunan di
area pedalaman. Para pejabat Belanda yang dikenai kewajiban untuk menulis laporan
pada setiap akhir perjalanannya. Pada laporan itulah ada keterangan mengenai
peninggalan purbakala, keindahan alam, seni budaya warga nusantara. Pada awal
abad ke-19, area Hindia Belanda mulai berkembang menjadi suatu area yang
memiliki daya tarik luar biasa bagi para pengadu nasib dari negara Belanda. Mereka
berkelana ke nusantara, membuka lahan perkebunan dalam skala kecil. Perjalanan dari satu
area ke area lain, dari nusantara ke negara Eropa menjadi hal yang lumrah, sehingga
dibangunlah sarana dan prasarana yang menjadi penunjang kegiatan ini .
Kegiatan kepariwisataan masa penjajahan Belanda dimulai secara resmi sejak tahun
1910-1912 setelah keluarnya keputusan Gubernur jenderal atas pembentukan Vereeneging
Toeristen Verkeer (VTV) yang merupakan suatu biro wisata atau tourist bureau pada masa
itu. Saat itu kantor ini dipakai pula oleh maskapai penerbangan swasta Belanda
KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtfahrt Maatschapijj). yang memegang
monopoli di area Hindia Belanda saat itu.
Meningkatnya perdagangan antar benua Eropa, Asia dan negara kita pada
khususnya, meningkatkan lalu lintas manusia yang melakukan perjalanan untuk berbagai
kepentingan masing-masing. Untuk dapat memberi pelayanan yang lebih baik untuk
mereka yang melakukan perjalanan ini, maka didirikan untuk pertama kali suatu cabang
Travel Agent di Jalan Majapahit No. 2 Jakarta pada Tahun 1926 yang bernama Lissone
Lindeman (LISLIND) yang berpusat di Belanda. Sekarang tempat ini dipakai oleh
PT. NITOUR.
Tahun 1928 Lislind berganti menjadi NITOUR (Nederlandsche IndischeTouristen
Bureau) yang merupakan bagian dari KNILM. Saat itu kegiatan pariwisata lebih banyak
didominasi oleh orang kulit putih saja, sedangkan bangsa pribumi sangat sedikit bahkan
dapat dikatakan tidak ada. Perusahaan perjalanan wisata saat itu tidak berkembang karena
NITOUR dan KNILM memegang monopoli.
Pertumbuhan hotel di negara kita sesungguhnya mulai dikenal pada abad ke-19 ini,
meskipun terbatas pada beberapa kota seperti di Batavia; Hotel Des Indes, Hotel der
Nederlanden, Hotel Royal, dan Hotel Rijswijk. Di Surabaya berdiri pula Hotel Sarkies,
Hotel Oranye, di Semarang didirikan Hotel Du pavillion, kemudian di Medan Hotel de
Boer, dan Hotel Astoria, di Makassar Hotel Grand dan Hotel Staat. Fungsi hotel saat itu
lebih banyak dipakai untuk tamu-tamu dari penumpang kapal laut dari Eropa.
Mengingat belum adanya kendaraan bermotor untuk membawa tamu-tamu ini dari
pelabuhan ke hotel dan sebaliknya, maka dipakai kereta kuda serupa cikar.
Memasuki abad ke-20, mulailah perkembangan usaha akomodasi hotel ke kota
lainnya seperti Palace Hotel di Malang, Stier Hotel di Solo, Hotel Van Hangel, Preanger
dan Homann di Bandung, Grand Hotel di Yogyakarta, Hotel Salak di Bogor. sesudah
kendaraan bermotor dipakai dan jalan raya sudah berkembang muncul pula hotel baru di
kota lainnya seperti : Hotel Merdeka di Bukittinggi, Hotel Grand Hotel lembang di luar
kota Bandung, kemudian berdiri pula di Dieng, Lumajang, Kopeng, Tawang Mangu,
Prapat, Malino, Garut,Sukabumi, disusul oleh kota-kota lainnya.
Berkobarnya Perang Dunia II yang disusul dengan pendudukan Jepang ke
negara kita memicu keadaan pariwisata sangat terlantar. Saat itu dapat dikatakan
sebagai masa kelabu bagi dunia kepariwisataan negara kita . Semuanya porak poranda.
Kesempatan dan keadaan yang tidak menentu serta keadaan ekonomi yang sangat sulit,
kelangkaan pangan, papan, dan sandang tidak memungkinkan orang untuk berwisata.
Kunjungan turis mancanegara pada masa ini dapat dikatakan tidak ada.
Dalam sejarah perjalanan bangsa negara kita , masa pendudukan Jepang tercatat
sebagai masa yang pedih dan sulit. Ketakutan, kegelisahan merajalela, paceklik,
perampasan harta oleh tentara Jepang membuat dunia kepariwisataan nusantara mati.
Banyak sarana dan prasarana publik dijadikan sarana untuk menghalangi masuknya musuh
dalam suatu wilayah, obyek wisata terbengkalai dan tidak terurus. Banyak hotel yang
diambil alih oleh Jepang dan diubah fungsi untuk keperluan rumah sakit, asrama, dan
hotel-hotel yang lebih bagus disita untuk ditempati para perwira Jepang. Data dan
informasi pariwisata dalam masa pendudukan Jepang dapat dikatakan tidak tersedia.
sesudah negara kita merdeka, dunia kepariwisataan negara kita mulai merangkak lagi.
Meskipun pemerintahan negara kita baru berdiri, namun pemerintah negara kita waktu itu
telah memikirkan untuk mengelola pariwisata. Menjelang akhir tahun 1946, Bupati Kepala
Daerah Wonosobo, memiliki inisiatif untuk mengorganisasikan kegiatan perhotelan di
negara kita dengan menugaskan tiga orang pajabat setempat : W. Soetanto, Djasman Sastro
Hoetomo,dan R. Alwan. Melalui mereka inilah lahir Badan Pusat Hotel Negara, yang
merupakan organisasi perhotelan pertama di negara kita .Pada tanggal 1 Juli 1947,
pemerintah negara kita mulai menghidupkan kembali industri-industri di seluruh wilayah
negara kita , termasuk pariwisata.
Sektor pariwisata mulai menunjukkan geliatnya. Hal ini ditandai dengan Surat
Keputusan Wakil Presiden (Dr. Mohamad Hatta) sebagai Ketua Panitia Pemikir Siasat
Ekonomi di Jogjakarta untuk mendirikan suatu badan yang mengelola hotel-hotel yang
sebelumnya dikuasai pemerintah pendudukan. Badan yang baru dibentuk itu bernama
HONET (Hotel National & Tourism) dan diketuai oleh R Tjipto Ruslan. Badan ini
segera mengambil alih hotel-hotel yang ada di area : Yogyakarta, Surakarta,
Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokerto, Pekalongan, yang semuanya
diberi nama Hotel Merdeka.
Terjadinya KMB (Konferensi Meja Bundar) pada tahun 1949 memicu
perkembangan lain, mengingat salah satu isi perjanjian KMB yaitu bahwa seluruh harta
kekayaan milik Belanda harus dikembalikan kepada pemiliknya. Oleh karena itu, ahirnya
HONET dibubarkan dan selanjutnya berdiri badan hukum NV HORNET yang merupakan
badan satu-satunya yang menjalankan aktivitas di bidang perhotelan dan pariwisata.
Tahun 1952 dengan Keputusan Presiden Republik negara kita , dibentuk Panitia Inter
Departemental Urusan Turisme yang diketuai oleh Nazir St. Pamuncak dengan sekretaris
RAM Sastrodanukusumo. Tugas panitia ini antara lain menjajagi kemungkinan
terbukanya kembali negara kita sebagai area tujuan wisata. Pada tahun 1953 beberapa
tokoh perhotelan ahirnya mendirikan Serikat Gabungan Hotel dan Tourisme negara kita
(SERGAHTI) yang diketuai oleh A Tambayong, pemilik Hotel Orient yang berkedudukan
di Bandung. Badan ini dibantu pula oleh S. Saelan (pemilik hotel Cipayung di
Bogor), dan M Sungkar Alurmei (Direktur hotel Pavilion/Majapahit di Jakarta), yang
kemudian mendirikan cabang dan menetapkan komisaris di masing-masing area di
wilayah negara kita . Keanggotaan SERGAHTI pada saat itu mencakup seluruh hotel di
negara kita . Disamping SERGAHTI, beberapa pejabat tinggi negara yang posisinya ada
kaitannya dengan aspek parwisata negara kita dan beberapa anggota elite warga yang
peduli terhadap potensi pariwisata nasional mendirikan Yayasan Tourisme negara kita atau
YTI pada tahun 1955, yang nantinya akan menjadi DEPARI, Dewan Pariwisata negara kita
yang menjadi cikal bakal Departemen Pariwisata dan Budaya saat ini.
Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 memuat baik cita-cita, dasar-
dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita
kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa negara kita dan seluruh tumpah darah negara kita ;
(b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Sektor pariwisata yang sudah mendunia dan menyedot banyak turis
mancanegara bahkan lintas negara, juga pada akhirnya mampu menjadi duta bangsa yang
mengabarkan pada dunia, eksistensi bangsa dan negara negara kita . Menjadi duta kepada
dunia dan mengabarkan kepada dunia bahwa negara kita yaitu negara yang merdeka,
aman, kondusif, maju dan sejahtera. Sektor pariwisata ini dapat memberi gambaran wajah
negara kita kepada dunia internasional.
Pariwisata di era otonomi area yaitu wujud dari cita-cita Bangsa negara kita
untuk memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Memajukan
kesejahteraan umum dalam arti bahwa pariwisata jika dikelola dengan baik, maka akan
memberi kontribusi secara langsung pada warga di sekitar area pariwisata,
terutama dari sektor perekonomian. Secara tidak langsung, pariwisata memberi
kontribusi signifikan kepada pendapatan asli area (PAD) suatu area dan tentu saja
pemasukan devisa bagi suatu negara. Akibat langsung yang timbul dari pemberian otonomi
area yaitu adanya “area basah” dan “area kering”. Hal ini disebabkan potensi dan
kondisi masing-masing area di negara kita tidak sama. Daerah yang kaya akan sumber
daya alam otomatis menjadi “area basah” seiring dengan bertambahnya perolehan
pendapatan asli area nya dari sektor migas misalnya, sedangkan area yang minus
sumber daya alam otomatis menjadi area kering. Namun demikian tidak berarti area
yang miskin dengan sumber daya alam tidak dapat meningkatkan pendapatan asli
area nya, karena jika dicermati ada beberapa potensi area yang dapat digali dan
dikembangkan dari sektor lain seperti sektor pariwisata.
Dalam lingkup nasional, sektor pariwisata dianggap sebagai sektor yang potensial
di masa yang akan datang. Menurut analisa World Travel and Tourism Council (WTTC)
(2016) dan World Bank (2016), industri pariwisata di negara kita telah menyumbang 10%
dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara kita pada saat ini dan diperkirakan pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB) di atas rata-rata industri. Peringkat ke-4 penyumbang
devisa nasional, sebesar 9,3%. Pertumbuhan penerimaan devisa tertinggi, yaitu 13%. Biaya
marketing hanya 2% dari proyeksi devisa. Penyumbang 9,8 juta lapangan pekerjaan, atau
8,4%. Lapangan kerja tumbuh 30% dalam 5 tahun. Pencipta lapangan kerja termurah US$
5.000/satu pekerjaaan.
berdasar analisa ini wajar jika industri pariwisata di negara kita dinilai
sebagai sektor andalan penyumbang devisa negara terbesar dalam bidang nonmigas.
Terlebih ketika pemerintah negara kita mencanangkan program otonomi area , maka
industri pariwisata merupakan salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber penerimaan area . Yang perlu mendapat perhatian bahwa pengembangan industri
pariwisata area terkait dengan berbagai faktor yang mau tidak mau berpengaruh dalam
perkembangannya. Oleh karena itu perlu diketahui dan dipahami apa saja faktor- faktor
yang secara faktual memegang peranan penting dalam pengembangan industri pariwisata
area khususnya dalam rangka penerapan otonomi area , sehingga pada akhirnya
pengembangan industri pariwisata area diharapkan mampu memberi kontribusi yang
cukup besar bagi peningkatan pendapatan asli area dan mendorong program
pembangunan area .
Ada beberapa isu strategis (politik, ekonomi, sosial dan budaya) yang terkait
dengan pariwisata di era otonomi area yaitu: pertama dalam masa penerapan otonomi
area di sektor pariwisata yaitu timbulnya persaingan antar area , persaingan
pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan
alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
a) lemahnya pemahaman tentang pariwisata; 2) lemahnya kebijakan pariwisata area ; 3)
tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi. Akibatnya pengembangan
pariwisata area sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak area
mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan
menggabungkan dengan pengembangan area tetangganya maupun propinsi/kabupaten /
kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada
akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Padahal
pengembangan pariwisata seharusnya lintas provinsi atau lintas kabupaten/kota, bahkan
tidak lagi mengenal batas karena kemajuan teknologi informasi. Isu kedua terkait dengan
kondisi pengembangan pariwisata negara kita yang masih bertumpu pada area tujuan
wisata utama tertentu saja, walaupun area -area lain diyakini memiliki keragaman
potensi kepariwisataan.
Hal yang mengemuka dari pemusatan kegiatan pariwisata ini yaitu dengan telah
terlampauinya daya dukung pengembangan pariwisata di berbagai lokasi, sementara lokasi
lainnya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Selain itu kekhasan dan keunikan atraksi
dan aktivitas wisata yang ditawarkan masih belum menjadi suatu daya tarik bagi
kedatangan turis mancanegara, karena produk yang ditawarkan tidak dikemas
dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh negara-negara pesaing. Salah satu
kelemahan produk wisata negara kita , yang memicu negara kita kalah bersaing dengan
negara-negara tetangga yaitu kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan
wisata negara kita . Para pelaku kepariwisataan negara kita kurang memberi perhatian
yang cukup untuk mengembangkan produk- produk baru yang lebih kompetitif dan sesuai
dengan selera pasar. Isu ketiga berkaitan dengan situasi dan kondisi area yang
berbeda baik dari potensi wisata alam, ekonomi, adat budaya, mata pencaharian,
kependudukan dan lain sebagainya yang menuntut pola pengembangan yang berbeda pula,
baik dari segi cara atau metode, prioritas, maupun penyiapannya. Proses penentuan pola
pengembangan ini memerlukan peran aktif dari semua pihak, agar sifatnya integratif,
komprehensif dan sinergis. Isu keempat dapat dilihat dari banyaknya area tujuan wisata
yang sangat potensial di negara kita apabila dilihat dari sisi daya tarik alam dan budaya yang
dimilikinya. Namun sayangnya belum bisa dijual atau mampu bersaing dengan area -
area tujuan wisata baik di area regional maupun internasional. Hal ini semata-
mata karena daya tarik yang tersedia belum dikemas secara profesional, rendahnya mutu
pelayanan yang diberikan, interpretasi budaya atau alam yang belum memadai, atau karena
belum dibangunnya citra (image) yang membuat turis tertarik untuk datang
mengunjungi dan lain sebagainya.
Memperbanyak variasi produk baru berbasis sumber daya alam, dengan prinsip
pelestarian lingkungan dan partisipasi warga , merupakan strategi yang ditempuh
untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan area dan persaingan di tingkat regional
dengan area lain. Selain kualitas kemasan dan pelayanan, produk pariwisata berbasis
alam harus memberi pengalaman lebih kepada turis . Selanjutnya, pengemasan
produk wisata dan pemasarannya, haruslah memanfaatkan teknologi terkini. Produk-
produk wisata yang ditawarkan harus sudah berbasis teknologi informasi, sebagai usaha
meningkatkan pelayanan dan sekaligus meningkatkan kemampuan pariwisata area
menembus pasar internasional.
Sebagai konsekuensi untuk menjawab tantangan isu dan mencapai tujuan-tujuan
besar ini , area -area harus melakukan inovasi, kreasi dan pengembangan-
pengembangan terhadap potensi-potensi pariwisata masing-masing area dengan mencari
dan menciptakan peluang-peluang baru terhadap produk-produk pariwisata yang
diunggulkan.
Bagi negara kita , industri pariwisata merupakan suatu komoditi prospektif yang di
pandang berperan penting dalam pembangunan nasional, sehingga tidak
mengherankan apabila negara kita menaruh perhatian khusus kepada industri pariwisata. Hal
ini lebih diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa negara kita memiliki potensi alam dan
kebudayaan yang cukup besar yang dapat dijadikan modal bagi pengembangan industri
pariwisatanya. Salah satu tujuan pengembangan kepariwisataan di negara kita yaitu untuk
meningkatkan pendapatan devisa khususnya dan pendapatan negara dan warga pada
umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja dan mendorong kegiatan-kegiatan
industri-industri penunjang dan industri-industri sampingan lainnya.
Di negara kita pengembangan industri pariwisata masuk dalam skala prioritas
khususnya bagi area -area yang miskin akan sumber daya alam. Sesuai dengan
pernyataan International Union of Official Travel Organization (IUOTO) dalam
konferensi di Roma tahun 1963 bahwa pariwisata yaitu penting bukan saja sebagai
sumber devisa, tapi juga sebagai faktor yang menentukan lokasi industri dan dalam
perkembangan area -area yang miskin dalam sumber-sumber alam. Ini menunjukkan
bahwa pariwisata sebagai industri jasa memiliki andil besar dalam mendistribusikan
pembangunan ke area -area yang belum berkembang.
Dalam orde reformasi ini, merupakan momentum awal yang sangat tepat bagi
area untuk lebih mandiri dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Kemandirian area ini terwujud dalam pemberian kewenangan yang cukup
besar meliputi kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama. Penyerahan kewenangan ini disertai juga dengan penyerahan dan pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan ini . Merupakan konsekuensi logis bagi area dengan adanya
penerapan otonomi area maka segala sesuatu yang bersifat operasional dilimpahkan
kepada area . Sehubungan dengan penerapan otonomi area maka segala sesuatu yang
menyangkut pengembangan industri pariwisata meliputi pembiayaan, perizinan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi menjadi wewenang area untuk
menyelenggarakannya. Dengan demikian masing-masing area dituntut untuk lebih
mandiri dalam mengembangkan obyek dan potensi wisatanya, termasuk pembiayaan
promosinya.
Sumber-sumber penerimaan area dalam pelaksanaan desentralisasi berasal dan
pendapatan asli area , dana perimbangan, pinjaman area dan lain-lain penerimaan yang
sah. Sumber pendapatan asli area merupakan sumber keuangan area yang digali dan
dalam wilayah area yang bersangkutan terdiri dari hasil pajak area , hasil retribusi
area , hasil pengelolaan kekayaan area yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli
area yang sah.
Dilihat dari sisi pendapatan asli area , maka ada beberapa area di negara kita
yang miskin akan sumber daya alam sehingga tidak dapat mengandalkan pendapatan asli
area nya dari hasil sumber daya alam. Oleh karenanya pengembangan industri pariwisata
suatu area menjadi alasan utama sebagai salah satu usaha meningkatkan pendapatan asli
area melalui pemanfaatan potensi-potensi area setempat.
Pada tahun 1997, industri pariwisata negara kita diperkirakan menghasilkan pajak
tidak langsung sejumlah 8,7% dari keseluruhan nilai pajak tidak langsung dan pada tahun
2007 meningkat sebesar 9,6% dari total keseluruhan. Data ini menunjukkan bahwa
industri pariwisata negara kita memberi kontribusi yang cukup besar di bidang
perpajakan. Sektor pajak berperan penting dalam budget negara. Pajak
merupakan sumber penerimaan negara yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran rutin negara, juga dipergunakan untuk membiayai pembangunan nasional.
Oleh karenanya, kontribusi pajak bagi pembangunan diharapkan tidak saja mendorong
pembangunan satu wilayah saja, akan tetapi juga dapat mendorong pembangunan secara
merata sampai di area -area terpencil di negara kita .
Dalam ruang lingkup area , kontribusi industri pariwisata di bidang perpajakan
diharapkan semakin meningkat dengan jalan melakukan pengembangan dan
pendayagunaan potensi-potensi pariwisata area . Hanya saja pungutan pajak ini
harus dilakukan secara bijaksana, artinya pungutan pajak harus tetap berpegang pada
prinsip keadilan, kepastian hukum dan kesederhanaan. Dalam menuju kemandirian area ,
potensi industri pariwisata area yang dikelola dan dikembangkan dengan baik akan
meningkatkan penerimaan di bidang perpajakan. Dalam hal ini kontribusi pajak dan
industri pariwisata area selain sebagai sumber pendapatan asli area , juga dimaksudkan
untuk membiayai pembangunan area .
Pada dasarnya pengembangan industri pariwisata suatu area berkaitan erat
dengan pembangunan perekonomian area ini . Dampak positif yang secara langsung
dapat dirasakan oleh warga area setempat yaitu adanya perluasan lapangan kerja
secara regional. Ini merupakan akibat dari industri pariwisata yang berkembang dengan
baik. Misalnya dengan dibangunnya sarana prasarana di area ini maka tenaga kerja
akan banyak tersedot dalam proyek-proyek seperti pembangkit tenaga listrik, jembatan,
perhotelan dan lain sebagainya.
Untuk mengembangkan industri pariwisata suatu area diperlukan strategi-strategi
tertentu maupun kebijakan-kebijakan baru di bidang kepariwisataan. Sebuah gagasan
menarik dari Sri Sultan HB X yang menyodorkan konsep kebijakan pariwisata borderless,
yaitu suatu konsep pengembangan pariwisata yang tidak hanya terpaku pada satu obyek
untuk satu wilayah, sedangkan pola distribusinya harus makin dikembangkan dengan tidak
melihat batas geografis wilayah.
Gagasan ini memberi angin segar bagi dunia kepariwisataan di negara kita
terlebih dengan diterapkannya sistem otonomi area . Paling tidak kebijakan baru ini
menjadi salah satu alternatif yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan dan
mendayagunakan potensi-potensi wisata area melalui program kerjasama antar area .
Namur demikian yang perlu mendapat perhatian di sini bahwa penerapan program
kerjasama ini jangan sampai menimbulkan konflik yang justru berdampak merugikan,
sehingga tujuan dan pengembangan pariwisata area menjadi tidak tercapai.
sebetulnya , pariwisata telah lama menjadi perhatian, baik dari segi ekonomi,
politik, administrasi kenegaraan, maupun sosiologi, sampai saat ini belum ada kesepakatan
secara akademis mengenai apa itu pariwisata. Secara etimologi, kata pariwisata berasal
dari bahasa Sansekerta yang terdiri atas dua kata yaitu pari dan wisata. Pari berarti
“banyak” atau “berkeliling”, sedangkan wisata berarti “pergi” atau “bepergian”. Atas dasar
itu, maka kata pariwisata seharusnya diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-
kali atau berputar-putar, dari suatu tempat ke tempat lain, yang dalam bahasa Inggris
disebut dengan kata “tour”, sedangkan untuk pengertian jamak, kata “Kepariwisataan”
dapat dipakai kata “tourisme” atau “tourism” (soebandrio , 1996:112).
Dalam kamus besar bahasa negara kita dikemukakan bahwa pariwisata yaitu suatu
kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan rekreasi. Istilah pariwisata pertama kali
dipakai pada tahun 1959 dalam Musyawarah Nasional Turisme II di Tretes, Jawa
Timur. Istilah ini dipakai sebagai pengganti kata Turisme sebelum kata pariwisata diambil
dari bahasa Sansekerta.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, lebih lanjut soebandrio (1996)
memberi suatu batasan tentang penyebaran kata-kata sebagai berikut :
Wisata = perjalanan; dalam bahasa Inggris dapat disamakan dengan
perkataan “travel”
turis = orang yang melakukan perjalanan; dalam bahasa Inggris
dapat disebut dengan istilah “travellers”
Para turis = orang-orang yang melakukan perjalanan dalam bahasa
Inggris biasa disebut dengan istilah “travellers”(jamak)
Pariwisata = perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat
lain dan dalam bahasa Inggris disebut “tourist”
Para parituris = orang yang melakukan perjalanan tour dan dalam bahasa
Inggris disebut dengan istilah “tourists” (jamak)
Kepariwisataan = hal-hal yang berkaitan dengan pariwisata dan dalam
bahasa Inggris disebut dengan istilah “tourism”
Belum adanya suatu kejelasan dan kesepakatan dari para pakar tentang definisi
pariwisata, berikut beberapa penjelasan dari sudut pandang masing-masing pakar :
1. Herman V. Schulalard (1910), kepariwisataan merupakan sejumlah kegiatan,
terutama yang ada kaitannya dengan masuknya, adanya pendiaman dan
bergeraknya orang-orang asing keluar masuk suatu kota, area atau negara.
2. E. Guyer Freuler, pariwisata dalam arti modern merupakan fenomena dari jaman
sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa,
penilaian yang sadar dan menumbuhkan kecintaan yang disebabkan oleh pergaulan
berbagai bangsa dan kelas warga .
3. Prof. k. Krapt (1942), kepariwisataan yaitu keseluruhan daripada gejala-gejala
yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta
penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap
dan tidak memperoleh penghasilan dari aktifitas yang bersifat sementara itu.
4. Prof. Salah Wahab, pariwisata itu merupakan suatu aktifitas manusia yang
dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-
orang dalam suatu negara itu sendiri (di luar negeri), meliputi pendiaman orang-
orang dari area lain (area tertentu), suatu negara atau benua untuk sementara
waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang
dialaminya dimana ia memperoleh pekerjaan.
5. Prof. Hans. Buchli, kepariwisataan yaitu setiap peralihan tempat yang bersifat
sementara dari seseorang atau beberapa orang, dengan maksud memperoleh
pelayanan yang diperuntukan bagi kepariwisataan itu oleh lembaga-lembaga yang
dipakai untuk maksud tertentu.
6. Prof. Kurt Morgenroth, kepariwisataan dalam arti sempit, yaitu lalu lintas orang-
orang yang meninggalkan tempat kediamannya untuk sementara waktu, untuk
berpesiar di tempat lain, semata-mata sebagai konsumen dari buah hasil
perekonomian dan kebudayaan guna memenuhi kebutuhan hidup dan budayanya
atau keinginan yang beraneka ragam dari pribadinya.
7. Drs. E.A.Chalik, pariwisata yaitu perjalanan yang dilakukan secara berkali-kali
atau berkeliling.
17
8. Soekadijo (1996), pariwisata yaitu gejala yang kompleks dalam warga , di
dalamnya ada hotel, objek wisata, souvenir, pramuwisata, angkutan wisata,
biro perjalanan wisata, rumah makan dan banyak lainnya.
9. James J. soebandrio, pariwisata yaitu kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan
mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki
kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, dan berziarah.
10. soebandrio (1997), pariwisata yaitu suatu proses kepergian sementara dari
seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya karena suatu
alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan uang.
11. Koen Meyers (2009), pariwisata yaitu aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk
sementara waktu dari tempat tinggal semula ke area tujuan dengan alasan bukan
untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya untuk bersenang-senang,
memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau waktu libur serta
tujuan-tujuan lainnya.
12. Menurut UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan
pariwisata yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai
fasilitas serta layanan yang disediakan warga , pengusaha, pemerintah, dan
pemerintah area .
Suatu hal yang sangat menonjol dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas
ialah bahwa pada pokoknya, apa yang menjadi ciri dari perjalanan pariwisata itu yaitu
sama atau dapat disamakan (walau cara mengemukakannya agak berbeda-beda), yaitu
dalam pengertian kepariwisataan ada beberapa faktor penting yaitu :
1. Perjalanan itu dilakukan untuk sementara waktu
2. Perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain
3. Perjalanan itu; walaupun apapun bentuknya, harus selalu dikaitkan dengan
pertamasyaan atau rekreasi
4. Orang yang melakukan perjalanan ini tidak mencari nafkah di tempat yang
dikunjunginya dan semata-mata sebagai konsumen di tempat ini .
Kepariwisataan itu sendiri merupakan pengertian jamak yang diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan pariwisata, yang dalam bahasa Inggris disebutkan tourism.
Dalam kegiatan kepariwisataan ada yang disebut subyek wisata yaitu orang-orang yang
melakukan perjalanan wisata dan obyek wisata yang merupakan tujuan turis . Sebagai
dasar untuk mengkaji dan memahami berbagai istilah kepariwisataan, berpedoman pada
18
Bab I Pasal 1 Undang-Undang Republik negara kita Nomor 10 Tahun 2009 tentang
kepariwisataan yang menjelaskan sebagai berikut :
1. Wisata yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh sebagian atau sekelompok
orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan
diri
2. turis yaitu orang yang melakukan wisata
3. Pariwisata yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas
serta layanan yang disediakan oleh warga , pengusaha, pemerintah dan
pemerintah area .
4. Kepariwisataan yaitu keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan
bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan
setiap orang dan negara serta interaksi antara turis dan warga setempat,
sesama turis , pemerintah, pemerintah area , dan pengusaha
5. Daya tarik wisata yaitu segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan
nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan turis
6. Daerah Tujuan Pariwisata yang selanjutnya disebut destinasi pariwisata yaitu
area geografis yang berada dalam suatu atau lebih wilayah administratif yang
di dalamnya ada daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,
aksesibilitas serta warga yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya
kepariwisataan
7. Usaha pariwisata yaitu usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa pemenuhan
kebutuhan turis dan penyelenggaraan pariwisata
8. Pengusaha pariwisata yaitu orang-orang atau sekelompok orang yang melakukan
kegiatan usaha pariwisata
9. Industri pariwisata yaitu kumpulan usaha pariwisata yang terkait dalam rangka
menghasilkan barang dan/jasa bagi pemenuhan kebutuhan turis
penyelenggaraan pariwisata
10. Kawasan strategi pariwisata yaitu area yang memiliki fungsi utama
pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang
memiliki pengaruh dalam suatu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi,
sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan
hidup, serta pertahanan dan keamanan.
jenis dan macam Pariwisata
Kepariwisataan tidak menggejala sebagai bentuk tunggal. Istilah ini umum sifatnya
yang menggambarkan beberapa jenis perjalanan dan penginapan sesuai dengan motivasi
yang mendasari kepergian ini . Orang melakukan perjalanan untuk memperoleh
berbagai tujuan dan memuaskan bermacam-macam keinginan. Di samping itu, untuk
keperluan perencanaan dan pengembangan kepariwisataan itu sendiri, perlu pula dibedakan
antara pariwisata dengan jenis pariwisata lainnya, sehingga jenis dan macam pariwisata
yang dikembangkan akan dapat berwujud seperti diharapkan dari kepariwisataan itu
sendiri. Sebenarnya pariwisata sebagai suatu gejala, terwujud dalam beberapa bentuk yang
antara lain, misalnya :
(a) Menurut letak geografis, dimana kegiatan pariwisata berkembang dibedakan menjadi :
1. Pariwisata lokal (local tourism) yaitu jenis kepariwisataan yang ruang lingkupnya
lebih sempit dan terbatas dalam tempat-tempat tertentu saja. Misalnya
kepariwisataan kota Denpasar, kepariwisataan kota Bandung.
2. Pariwisata regional (regional tourism) yaitu kegiatan kepariwisataan yang
dikembangkan dalam suatu wilayah tertentu, dapat regional dalam lingkungan
nasional dan dapat pula regional dalam ruang lingkup internasional. Misalnya
kepariwisataan Bali, Yogyakarta, dan lain-lain.
3. Pariwisata nasional (national tourism) yaitu jenis pariwisata yang dikembangkan
dalam wilayah suatu negara, dimana para pesertanya tidak saja terdiri dari
warganegaranya sendiri tetapi juga orang asing yang terdiam di negara ini .
Misalnya kepariwisataan yang ada di area -area dalam satu wilayah negara kita .
4. Pariwisata regional-internasional yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang
di suatu wilayah internasional yang terbatas, tetapi melewati batas-batas lebih dari
dua atau tiga negara dalam wilayah ini . Misalnya kepariwisataan ASEAN.
5. Pariwisata internasional (International tourism) yaitu kegiatan kepariwisataan yang
ada atau dikembangkan di banyak negara di dunia.
(b) Menurut pengaruhnya terhadap neraca pembayaran
1. Pariwisata aktif (in bound tourism) yaitu kegiatan kepariwisataan yang ditandai
dengan gejala masuknya turis asing ke suatu negara tertentu. Hal ini tentu
akan mendapatkan masukan devisa bagi negara yang dikunjungi dengan sendirinya
akan memperkuat posisi neraca pembayaran negara yang dikunjungi turis .
2. Pariwisata pasif (out-going tourism) yaitu kegiatan kepariwisataan yang ditandai
dengan gejala keluarnya warga negara sendiri bepergian ke luar negeri sebagai
turis . Karena ditinjau dari segi pemasukan devisa negara, kegiatan ini
merugikan negara asal turis , karena uang yang dibelanjakan itu terjadi di luar
negeri.
(c) Menurut alasan/tujuan perjalanan
1. Business tourism yaitu jenis pariwisata dimana pengunjungnya datang untuk tujuan
dinas, usaha dagang atau yang berkaitan dengan pekerjaannya, kongres,
seminar dan lain-lain
2. Vacational tourism yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang yang melakukan
perjalanan wisata terdiri dari orang-orang yang sedang berlibur, cuti, dan lain-lain
3. Educational tourism yaitu jenis pariwisata dimana pengunjung atau orang
melakukan perjalanan untuk tujuan belajar atau mempelajari suatu bidang ilmu
pengetahuan. Contohnya : darmawisata (study tour).
4. Familiarization tourism yaitu suatu perjalanan anjangsana yang dimaksudkan guna
mengenal lebih lanjut bidang atau area yang memiliki kaitan dengan
pekerjaannya.
5. Scientific tourism yaitu perjalanan wisata yang tujuan pokoknya yaitu untuk
memperoleh pengetahuan atau penyelidikan terhadap sesuatu bidang ilmu
pengetahuan.
6. Special Mission tourism yaitu suatu perjalanan wisata yang dilakukan dengan suatu
maksud khusus, misalnya misi kesenian, misi olah raga, maupun misi lainnya.
7. Hunting tourism yaitu suatu kunjungan wisata yang dimaksudkan untuk
menyelenggarakan perburuan binatang yang diijinkan oleh penguasa setempat
sebagai hiburan semata-mata.
(d) Menurut saat atau waktu berkunjung
1. Seasonal tourism yaitu jenis pariwisata yang kegiatannya berlangsung pada musim-
musim tertentu. Contoh : Summer tourism, winter tourism, dan lain-lain.
2. Occasional tourism yaitu jenis pariwisata dimana perjalanan turis
dihubungkan dengan kejadian (occasion) maupun suatu even. Misalnya Sekaten di
Yogyakarta, Nyepi di Bali, dan lain-lain.
(e) Menurut Objeknya
1. Cultural tourism yaitu jenis pariwisata dimana motivasi turis untuk
melakukan perjalanan disebabkan karena adanya daya tarik dari seni dan budaya
suatu tempat atau area .
2. Recuperational tourism yaitu jenis pariwisata dimana motivasi turis untuk
melakukan perjalanan yaitu untuk menyembuhkan penyakit, seperti mandi di
sumber air panas, mandi lumpur, dan lain-lain.
3. Commercial tourism yaitu jenis pariwisata dimana motivasi turis untuk
melakukan perjalanan dikaitkan dengan kegiatan perdagangan nasional dan
internasional.
4. Sport tourism yaitu jenis pariwisata dimana motivasi turis untuk melakukan
perjalanan yaitu untuk melihat atau menyaksikan suatu pesta olah raga di suatu
tempat atau negara tertentu.
5. Political tourism yaitu jenis pariwisata dimana motivasi turis untuk
melakukan perjalanan tujuannya melihat atau menyaksikan suatu peristiwa atau
kejadian yang berkaitan dengan kegiatan suatu negara. Misalnya menyaksikan
peringatan hari kemerdekaan suatu negara
6. Social tourism yaitu jenis pariwisata dimana dari segi penyelenggaraannya tidak
menekankan untuk mencari keuntungan, misalnya study tour, picnik, dan lain-lain.
7. Religion tourism yaitu jenis pariwisata dimana motivasi turis untuk
melakukan perjalanan tujuannya melihat atau menyaksikan upacara-upacara
keagamaan, seperti upacara Bali Krama di Besakih, haji umroh bagi agama Islam,
dan lain-lain.
8. Marine tourism merupakan kegiatan wisata yang ditunjang oleh sarana dan
prasarana untuk berenang, memancing, menyelam, dan olah raga lainnya, termasuk
sarana dan prasarana akomodasi, makan dan minum.
(f) Menurut jumlah orang yang melakukan perjalanan
1. Individual tourism yaitu seorang turis atau satu keluarga yang melakukan
perjalanan secara bersama.
2. Family group tourism yaitu suatu perjalanan wisata yang dilakukan oleh
serombongan keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan satu sama
lain.
3. Group tourism yaitu jenis pariwisata dimana yang melakukan perjalanan wisata
itu terdiri dari banyak orang yang bergabung dalam satu rombongan yang biasa
diorganisasi oleh sekolah, organisasi, atau tour oprator/travel agent.
(g) Menurut alat pengangkutan yang dipakai
1. Land tourism yaitu jenis pariwisata yang dalam kegiatannya memakai
transportasi darat, seperti bus, taxi, dan kereta api.
2. Sea tourism yaitu kegiatan kepariwisataan yang memakai angkutan laut
untuk mengunjungi suatu area tujuan wisata.
3. Air tourism yaitu jenis pariwisata yang memakai angkutan udara dari dan ke
area tujuan wisata.
(h) Menurut umur yang melakukan perjalanan
1. Youth tourism yaitu jenis pariwisata yang dikembangkan bagi para remaja yang
suka melakukan perjalanan wisata dengan harga relatif murah.
2. Abdult tourism yaitu kegiatan pariwisata yang diikuti oleh orang-orang yang
berusia lanjut. Biasanya orang yang melakukan perjalanan yaitu para pensiunan.
(i) Menurut jenis kelamin
1. Masculine tourism yaitu jenis pariwisata yang kegiatannya hanya diikuti oleh kaum
pria saja, seperti safari, hunting, dan adventure.
2. Feminime tourism yaitu jenis pariwisata yang hanya diikuti oleh kaum wanita saja,
seperti rombongan untuk menyaksikan demontrasi memasak.
(j) Menurut harga dan tingkat sosial
1. Delux tourism yaitu perjalanan wisata yang memakai fasilitas standar mewah,
baik alat angkutan, hotel, maupun atraksinya.
2. Middle class tourism yaitu jenis perjalanan wisata yang diperuntukkan bagi
mereka yang menginginkan fasilitas dengan harga tidak terlalu mahal, tetapi tidak
terlalu jelek pelayanannya.
3. Social tourism yaitu perjalanan wisata yang penyelenggaraannya dilakukan secara
bersama dengan biaya yang diperhitungkan semurah mungkin dengan fasilitas
cukup memadai selama dalam perjalanan.
Pariwisata Sebagai Suatu Ilmu
Dalam perjalanan sejarah, pariwisata pada akhirnya dianggap sebagai suatu kegiatan
yang menjanjikan keuntungan. Kemudian muncul keinginan berbagai pihak untuk
mengetahui seluk-beluk pariwisata itu sendiri, akhirnya mendorong sebagian orang untuk
mempelajari dan menjadikan pariwisata sebagai sebuah ilmu baru untuk dipelajari. Kalau
dikaji secara mendalam, pariwisata sesungguhnya memang bisa menjadi ilmu yang
mandiri, yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini bisa dilihat dari perspektif filsafat
ilmu, maupun dengan kajian komparatif terhadap ilmu-ilmu lainnya, ataupun komparasi
dengan pendidikan tinggi pariwisata di negara-negara lain di luar negeri.
Wacana mengenai apakah pariwisata merupakan ilmu yang mandiri atau hanya
objek studi dari ilmu-ilmu yang telah mapan dengan pendekatan multidisipliner,
sebenarnya telah lama diperdebatkan. Pengakuan secara formal terhadap pariwisata
sebagai ilmu mandiri di negara kita merupakan hasil perjuangan dalam kurun waktu yang
cukup panjang. Wacana tentang keilmuan pariwisata di negara kita dilontarkan pertama kali
pada awal tahun 1980-an. sesudah hampir dua dasa warsa perjuangan pendirian pariwisata
sebagai ilmu mandiri terkesan mati suri, pada tahun 2006 perjuangan ini digerakkan
lagi melalui kerjasama Depbudpar dengan Hildiktipari. Dari rapat koordinasi yang
dilakukan dua lembaga ini melahirkan suatu “Deklarasi Pariwisata Sebagai Ilmu”
yang berisi poin pokok. Pertama, pariwisata yaitu cabang ilmu yang mandiri, yang sejajar
dengan ilmu-ilmu lain; dan kedua, program S1, S2, dan S3 Ilmu pariwisata di berbagai
lembaga pendidikan tinggi sudah layak diberikan ijin oleh Departemen Pendidikan
Nasional.
Tanggal 31 Maret 2008, merupakan salah satu tonggak sejarah pengakuan
pariwisata sebagai ilmu. Pada tanggal ini , keluar surat dari Dirjen Dikti Depdiknas
No. 947/D/T/2008 dan 948/D/T/2008 yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi dapat menyetujui pembukaan jenjang Program Sarjana (S1) dalam beberapa
program studi pada STP Bali dan STP Bandung. Dengan diijinkannya pembukaan program
studi jenjang sarjana (akademik) ini, berarti pula adanya pengakuan secara formal bahwa
pariwisata yaitu sebuah disiplin ilmu, yang sejajar dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Secara konseptual, ilmu yaitu suatu pengetahuan sistematis yang diperoleh
berdasar pengalaman (empirik) dan percobaan (eksperimen) dengan memakai
metode yang dapat diuji. Oleh sebab itu, setiap ilmu memenuhi tiga syarat dasar, yakni :
ontologi (objek atau focus of interest yang dikaji); 2) epistemologi (metodelogi untuk
memperoleh pengetahuan); dan 3) aksiologi (nilai manfaat pengetahuan) (Suriasumantri,
1978). Sejalan dengan hal ini, maka diskusi tentang status keilmuan pariwisata hendaknya
didekati dengan persyaratan dasar suatu ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Aspek Ontologi
Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek material yaitu
seluruh lingkup (makro) yang dikaji suatu ilmu. Objek formal yaitu bagian tertentu dari
objek material yang menjadi perhatian khusus dalam kajian ilmu ini . sebetulnya
objek formal inilah yang membedakan satu ilmu dengan ilmu lainnya. Objek formal (aspek
ontologi) ilmu pariwisata yaitu warga . Oleh sebab itu pariwisata dapat diposisikan
sebagai salah satu cabang ilmu sosial karena focus of interest-nya yaitu kehidupan
warga manusia. Dengan demikian fenomena pariwisata ini dapat difokuskan pada tiga
unsur, yakni : 1) pergerakan turis ; 2) aktivitas warga yang memfasilitasi
pergerakan turis ; 3) implikasi atau akibat-akibat pergerakan turis dan aktivitas
warga yang memfasilitasinya terhadap kehidupan warga secara luas. Pergerakan
atau perjalanan merupakan salah satu komponen yang elementer dalam pariwisata. Ini
merupakan tujuan dan objek penawaran dan permintaan jasa wisata, termasuk objek kajian
berbagai ilmu pengetahuan (Freyer, 1995 dalam Pitana dan Gayatri, 2005). Salah satu
diantara sifat ini yaitu berulang, beragam, saling terkait dan teratur. Pergerakan
turis berlangsung secara terus-menerus dalam skala waktu yang hampir tidak
terbatas. Jika dahulu hanya kelompok elite warga yang dominan berwisata, maka
sekarang hal itu dilakukan oleh hampir semua lapisan warga , meskipun dengan
bentuk, jenis, dan cara yang berbeda. Demikian pula aktivitas warga cenderung
beragam dan dinamis di dalam memfasilitasi pergerakan ini . Ada yang menyediakan
akomodasi, transportasi, atraksi wisata, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan
implikasi yang ditimbulkannya sangat berbeda-beda.
Aspek Epistemologi
Aspek epistemologi pariwisata menunjukkan pada cara-cara memperoleh
kebenaran atas objek ilmu. Kebenaran yang dimaksud yaitu kebenaran ilmiah, yakni
didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif dan dapat diuji secara
empirik. Sebagai contoh, pergerakan turis sebagai salah satu objek formal “ilmu”
pariwisata dipelajari dengan memakai suatu metode berpikir rasional. Misalnya,
pergerakan turis terjadi akibat adanya interaksi antara ketersediaan sumber daya
(waktu luang, uang, infrastruktur) dengan kebutuhan mereka untuk menikmati perbedaan
dengan lingkungan sehari-hari. Dalam hal ini logika berpikir sangat rasional dan juga dapat
dibuktikan secara empirik.
Seperti disebutkan sebelumnya, diskusi tentang epistemologi otomatis menyangkut
metode suatu ilmu untuk mencari kebenaran. Untuk itu perlu didefinisikan pendekatan
kajian pariwisata secara lebih khusus. Salah satu yang paling mudah yaitu pendekatan
sistem (McIntosh, Goeldner, dan Ritchie, 1995). Pendekatan ini menekankan bahwa baik
pergerakan turis , aktivitas warga yang memfasilitasinya maupun implikasi dari
kedua-duanya terhadap kehidupan warga secara luas, merupakan satu-kesatuan yang
saling berkaitan atau pengaruh-mempengaruhi. Setiap pergerakan turis selalu
diikuti dengan penyediaan fasilitas wisata dan interaksi keduanya akan menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi logis di bidang ekonomi, sosial, budaya, ekologi, bahkan politik
sekalipun.
Pendekatan berikutnya yaitu pendekatan kelembagaan. Pendekatan ini melihat
pariwisata sebagai suatu hasil kerjasama berbagai aktor (stakeholder) secara melembaga
(McIntosh, Goeldner, dan Ritchie, 1995). Setiap perjalanan wisata melibatkan turis ,
penyedia jasa transportasi, penyedia jasa akomodasi, jasa atraksi dan sebagainya. Antara
satu dengan yang lain memiliki hubungan fungsional dan berdasar hubungan itulah
kegiatan perjalanan wisata dapat berlangsung.
Sebagai suatu komoditas jasa, pariwisata juga dapat dipahami dengan
memakai pendekatan produk. Artinya, pariwisata merupakan suatu komoditas yang
sengaja diciptakan untuk merespon kebutuhan warga (McIntosh, Goeldner, dan
Ritchie, 1995). Konsep ”Multiple A” (Attraction, Amenities, Accessibility, Ancillary) yang
dipakai untuk menjelaskan elemen produk wisata sesungguhnya menunjuk pada hasil
kegiatan memproduksi dan atau mereproduksi komoditas yang dikonsumsi oleh
turis .
Ilmu pariwisata bersifat multidisiplin, artinya ilmu ini tidak mungkin berdiri sendiri
dan harus melibatkan berbagai disiplin lain seperti sejarah, sosiologi, antropologi,
etnografi, ekonomi, manajemen, budaya, seni, teknologi, dan bahkan politik dalam arti luas
(sebagaimana juga halnya ilmu-ilmu lainnya, yang tidak bisa sepenuhnya berdiri sendiri).
Pendekatan multidisiplin itu memungkinkan ilmu pariwisata menjadi sangat luas dan
taksonominya tumbuh pesat.
Membangun ilmu pariwisata tentu memerlukan suatu metodologi penelitian
tertentu. Metode-metode penelitian sosial seperti eksploratif (exploratory research) dan
metode membangun teori (theory-building research) merupakan cara-cara yang tepat
dipakai untuk membangun ilmu pariwisata. Penelitian ilmu pariwisata juga bisa
dilaksanakan secara kuantitatif maupun kualitatif, baik sinkronik maupun diakronik serta
komparatif. Metode lain yang sering dipakai dalam penelitian pariwisata yaitu metode
deskriptif. Misalnya kajian terhadap proses-proses perjalanan dan pertemuan dengan
budaya yang berbeda di area tujuan wisata dapat dilakukan dengan baik jika
memakai metode ini.
Aspek Aksiologi
Aksiologi merupakan aspek ilmu yang sangat penting. Ilmu pariwisata jelas
memberi manfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Perjalanan dan pergerakan
turis yaitu salah satu bentuk kegiatan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang beragam, baik dalam bentuk pengalaman, pencerahan, penyegaran fisik dan
psikis maupun dalam bentuk aktualisasi diri. Dalam konteks inilah dapat dipahami
mengapa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan kegiatan berwisata sebagai hak
asasi. Kontribusi pariwisata yang lebih kongkret bagi kesejahteraan manusia dapat dilihat
dari implikasi-implikasi pergerakan turis , seperti meningkatnya kegiatan ekonomi,
pemahaman terhadap budaya yang berbeda, pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan
manusia, dan seterusnya (Copeland, 1998).
Ilmu pariwisata juga memiliki manfaat akademis untuk mengembangkan ilmu
pariwisata itu sendiri, untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya,
untuk memberi penjelasan perkembangan terkini, dunia pariwisata secara teoritik
kepada warga , baik melalui kurikulum, bahan ajar, lembaga penyelenggara, maupun
penyempurnaan sistem pendidikannya yang kini berlaku.
Cabang-Cabang Ilmu Pariwisata
berdasar ketiga aspek ilmu pariwisata yang dipaparkan di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa cabang ilmu pariwisata. Oleh karena objek formal atau focus of
interest ilmu pariwisata yaitu ”pergerakan turis , aktivitas warga yang
memfasilitasi pergerakan turis dan implikasi atau akibat-akibat pergerakan
turis serta aktivitas warga yang memfasilitasinya terhadap kehidupan
warga secara luas”, maka cabang-cabang disiplin pariwisata paling tidak dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
1. Pengembangan Jasa Wisata. Cabang ini mengkhususkan diri pada pengembangan
pengetahuan tentang strategi, metode dan teknik menyediakan jasa dan hospitality
yang mendukung kelancaran perjalanan wisata. Objek perhatiannya yaitu aktivitas
warga di dalam menyediakan jasa, seperti fasilitas akomodasi, atraksi, akses
dan amenitas, serta jasa-jasa yang bersifat intangible lainnya.
2. Organisasi perjalanan. Cabang ini menitikberatkan perhatiannya pada pengaturan
lalu lintas perjalanan turis dan penyediaan media atau paket-paket perjalanan
yang memungkinkan turis mampu memperoleh nilai kepuasan berwisata
yang tinggi melalui pengelolaan sumber daya pariwisata. Dalam hal ini objek
perhatiannya terfokus pada pemaketan perjalanan wisata, pengorganisasian dan
pengelolaannya sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
3. Kebijakan pembangunan pariwisata. Cabang ini menitikberatkan perhatiannya pada
usaha -usaha peningkatan manfaat sosial, ekonomi, budaya, psikologi perjalanan
wisata bagi warga dan turis dan evaluasi perkembangan pariwisata
melalui suatu tindakan yang terencana. Termasuk dalam hal ini yaitu perencanaan
kebijakan dan pengembangan pariwisata
Sampai saat ini, pariwisata sebagai suatu objek pengetahuan atau ilmu
menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
bermunculan sekolah-sekolah pariwisata, baik tingkat menengah sampai perguruan tinggi.
Selain itu, komunitas yang terlibat didalamnya, termasuk jurnal kepariwisataan dan buku-
buku pelajaran yang mengulas tentang pariwisata sudah banyak terbit.
Sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri, pariwisata termasuk ilmu baru
dibandingkan cabang ilmu pengetahuan dasar lainnya (ekonomi, hukum, geografi dan
sebagainya). Dalam perkembangan dan kenyataannya, ilmu pariwisata itu sendiri
mendapat pengaruh, baik terkait secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai
disiplin ilmu lainnya. Hal ini disebabkan kekompleksitasan atau keanekaragaman berbagai
disiplin ilmu lainnya. Sistem Pariwisata
Pariwisata yaitu suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai
suatu sistem yang besar, yang memiliki berbagai komponen seperti ekonomi, ekologi,
politik, sosial, budaya, dan seterusnya. Menurut soebandrio dan Morison (1985), pariwisata
terkait erat dengan aktivitas perpindahan tempat yang merupakan sebuah sistem dimana
bagian-bagian yang ada tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait dengan satu sama lain
seperti jaring laba-laba (spider’s web). Menurut Jordan (dalam Leiper, 2004:48) bahwa
sistem pariwisata yaitu tatanan komponen dalam industri pariwisata di mana masing-
masing komponen saling berkaitan dan membentuk sesuatu yang bersifat menyeluruh.
Sedangkan Bertalanffy (dalam Leiper, 2004:48) mendefinisikan sistem sebagai satu
kesatuan elemen yang saling terkait satu sama lain di dalamnya dan dengan
lingkungannya. menggambarkan secara umum sistem pariwisata
mengandung 3 bagian penting, yaitu :
1. a set of element
2. The set of relationship between the element
3. The set relationship those element and environment.
Bagian-bagian inilah yang akan menghasilkan suatu sistem yang saling terkait satu sama
lain.
Ada beberapa model sistem pariwisata yang dikenal. soebandrio dan Morison (1985:2)
mengembangkan sistem pariwisata model jaringan laba-laba, dimana ada 4 subsistem yang
terkandung di dalamnya yaitu pasar (market), perjalanan (travel), pemasaran (marketing)
dan tujuan wisata (destination), dimana masing-masing komponen saling terkait satu sama
lain. soebandrio dan Morison menganalogkan pasar sebuah konsumen yaitu bagian yang
berkaitan erat dengan kegiatan perjalanan karena pasar/konsumen yaitu subyek atau
pelaku perjalanan, dimana pasar sangat berperan dalam melakukan pembelian perjalanan.
Keputusan untuk melakukan perjalanan/menjadi turis atau tidak berkaitan erat
dengan sistem segmentasi pasar yang merupakan sebuah sistem tersendiri.
Menurut Hall (2000:51), sistem pariwisata terdiri dari 2 bagian besar yaitu supply
dan demand, dimana masing-masing bagian merupakan subsistem yang saling berinteraksi
erat satu sama lain. subsistem demand (permintaan) berkaitan dengan budaya turis
sebagai individu. Latar belakang pola perilaku turis dipengaruhi oleh motivasi baik
fisik, sosial, budaya, spiritual, fantasi dan pelarian serta didukung oleh informasi,
pengalaman sebelumnya, dan kesukaan yang akan membentuk harapan dan image.
Motivasi, informasi, pengalaman sebelumnya, kesukaan, harapan, dan image turis
merupakan komponen dari subsitem permintaan sebagai bagian dari sistem pariwisata.
Supply sebagai subsistem dari sistem pariwisata terdiri dari komponen seperti industri
pariwisata yang berkembang, kebijakan pemerintah baik nasional, bagian regional, maupun
lokal, aspek sosial budaya serta sumber daya alam, dimana masing-masing sub sistem dan
sub-sub sistem sebenarnya juga merupakan sistem tersendiri yang berinteraksi ke dalam
dan ke luar. Baik supply dan demand akan mempengaruhi pengalaman yang terbentuk
selama melakukan aktivitas wisata.
Melihat pariwisata sebagai suatu sistem, berarti analisa mengenai berbagai aspek
kepariwisataan tidak bisa dilepaskan dari subsistem yang lain, seperti politik, ekonomi,
budaya, dan seterusnya, dalam hubungan saling ketergantungan dan saling terkait
(interconnectedness). Sebagai sebuah sistem, antar komponen dalam sistem ini terjadi
hubungan interdepedensi, dimana perubahan pada salah satu subsistem akan memicu
juga terjadinya perubahan pada subsistem yang lainnya, sampai akhirnya kembali
ditemukan harmoni yang baru.
Untuk mempertajam analisa mengenai sistem pariwisata, Prosser membagi sistem pariwisata dalam 4 subsistem yaitu pasar pariwisata, informasi,
promosi dan petunjuk, lingkungan tujuan wisata dan transportasi dan komunikasi. Lebih
lanjut Prosser mengatakan bahwa pasar pariwisata terkait erat dengan sifat lokasi,
pola-pola budaya, permintaan, kapasitas pengeluaran, dan musim.
Pasar wisata dalam melakukan aktifitas pariwisata memerlukan transportasi dan
komunikasi, menuju tujuan wisata, menuju atraksi wisata serta dari dan ke atraksi wisata.
Di tempat tujuan wisata akan berkaitan dengan sub sistem lingkungan tujuan wisata
yang terdiri dari interaksi timbal balik atraksi dan pelayanan serta fasilitas wisata serta
populasi dan budaya warga yang didatangi (tuan rumah). Persepsi turis
terhadap lingkungan area tujuan wisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sub sistem informasi, promosi dan petunjuk. Sub sistem ini berkaitan dengan pembentukan
image dan persepsi turis , promosi dan penjualan, tersedianya pramuwisata dan
penunjuk jalan yang jelas, serta informasi dan publikasi.
Sejalan dengan model sistem pariwisata dari Prosser, Leiper mencoba menjelasksn
sistem pariwisata secara menyeluruh (whole tourism system) dimulai dengan
mendeskripsikan perjalanan seseorang turis . Dari hasil analisa nya mencatat 5
elemen sebagai subsistem dalam setiap sistem pariwisata yang menyeluruh, yaitu :
1. turis (tourist) yang merupakan elemen manusia yaitu orang yang
melakukan perjalanan wisata
2. Daerah asal turis (traveler generating regions), merupakan elemen
geografi yaitu tempat dimana turis mengawali dan mengakhiri
perjalanannya
3. Jalur pengangkutan (transit route) merupakan elemen geografi tempat
dimana perjalanan wisata utama berlangsung
4. Daerah Tujuan Wisata (tourist destination region) sebagai element geografi
yaitu tempat utama yang dikunjungi turis .
5. Industri pariwisata (tourist industry) sebagai elemen organisasi, yaitu
kumpulan dari organisasi yang bergerak usaha pariwisata, bekerjasama
dalam pemasaran pariwisata untuk menyediakan barang, jasa, dan fasilitas
pariwisata (Suryadana dan Octavia, 2015).
Dalam sistem pariwisata, ada banyak aktor yang berperan dalam menggerakkan
sistem. Aktor ini yaitu insan-insan pariwisata yang ada pada berbagai sektor. Secara
umum, insan pariwisata dikelompokkan dalam tiga pilar utama, yaitu (1) warga , (2)
swasta, (3) pemerintah. Yang termasuk warga yaitu warga umum yang ada
pada destinasi, sebagai pemilik dari berbagai sumber daya yang merupakan modal
31
pariwisata, seperti kebudayaan.Termasuk ke dalam kelompok warga ini juga tokoh-
tokoh warga , intelektual, LSM dan media masa. Selanjutnya dalam kelompok swasta
yaitu asosiasi usaha pariwisata dan para pengusaha, sedangkan kelompok pemerintah
yaitu pada berbagai wilayah administrasi, mulai dari pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten, kecamatan, dan seterusnya.
Penyelenggaraan sistem pariwisata dapat berjalan dengan sempurna bila
komponen-komponen ini melebur menjadi satu dan saling mendukung satu dengan
lainnya. Seperti kewajiban pemerintah area yaitu bersama-sama merencanakan,
pembangunan, pengorganisasian, pemeliharaan dan pengawasan dengan pemerintah area
lainnya dalam segala sektor yang mendukung kegiatan pariwisata. Pemerintah area
berserta instansi-instansinya, industri jasa dan warga memiliki kewajiban untuk
duduk bareng bekerjasama dengan pemerintah area lainnya dalam mengemas paket-
paket wisata.Tindakan itu patut dilakukan karena aktivitas pariwisata tidak dapat dilakukan
hanya pada satu area saja dan tersekat-sekat. Aktivitas pariwisata memerlukan ruang gerak
dan waktu yang fleksibel. Adanya kerjasama dan komitmen akan terbentuk kemitraan yang
saling mengisi, maka aktivitas berwisata yang memiliki mobilitas tanpa batas itu tidak
akan mengalami kendala karena jalur-jalur yang menghubungkan antar atraksi wisata yang
satu dengan yang lainnya sudah tertata, terhubung dengan baik dan dari segi keamanan
dapat dikoordinasikan bersama. Kegiatan promosi dapat dilakukan bersama-sama antara
pemerintah area dan swasta.
Demikian pula jika ada kekurangan-kekurangan baik sarana dan sumber daya
manusia yang kurang terampil pemerintah dapat membantu dalam bentuk fasilitator,
bantuan dana maupun pelatihan-pelatihan dan lain-lain. Sedangkan industri jasa harus
memberi pelayanan yang unggul dalam diferensiasi dan inovasi produk. Sebab, dengan
memberi pelayanan yang excellent dibarengi dengan diferensiasi dan inovasi produk
turis tidak akan pernah bosan untuk datang kembali. Mereka akan selalu menemukan
hal baru di Daerah Tujuan Wisata.
Demikian pula warga di sekitar obyek dan atraksi wisata harus ikut
berpatisipasi yang diwujudkan ke dalam tindakan memberi perasaan aman yang berupa
keramahan dan perasaan yang tulus ketika menerima kedatangan turis . Di samping
itu, warga harus ikut terlibat dalam mengambil keputusan pembangunan pariwisata,
berpartisipasi bersama-sama pemerintah area dan jasa-jasa kepariwisataan memelihara
sarana-sarana yang ada di obyek dan atraksi wisata dan ikut andil mendukung kegiatan
pariwisata dalam bentuk berjualan produk khas area ini dengan tidak lupa
32
memperhatikan faktor higienis dan sanitasinya serta pelayanannya. Kalau digambarkan
tiga pilar ini seperti gambar 2.1 di bawah.
Gambar 2.1
Sektor Pariwisata dalam tiga pilar
(Sumber : Pitana dan Gayatri, 2005 : 97)
2.2 Pengertian turis
Secara etimologi, kalau kita meninjau arti kata “turis ” yang berasal dari kata
“wisata”, maka sebenarnya tidaklah tepat sebagai pengganti kata “tourist” dalam bahasa
Inggris. Kata itu berasal dari kata Sansekerta: “wisata” yang berarti “perjalanan” yang
sama atau dapat disamakan dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris, maka “turis ”
sama artinya dengan kata traveler, dalam pengertian yang umum diterima oleh warga
negara kita sesungguhnya bukanlah demikian, kata turis selalu diasosiasikan dengan
kata “tourist” (bahasa Inggris). Namun kalau kita perhatikan kata “tourist” itu sendiri,
sebenarnya kata itu barasal dari kata “tour” (yang berarti perjalanan yang dilakukan dari
suatu tempat ke tempat lain) dan orang yang melakukan perjalanan “tour” ini dalam bahasa
Inggris disebut dengan istilah “tourist”.
Definisi mengenai tourist, diantara berbagai ahli atau badan internasional, masih
belum ada keseragaman pengertian. Perbedaan pengertian atau batasan disebabkan karena
perbedaan latar belakang pendidikan atau keahlian, perbedaan kepentingan dan perbedaan
pandangan dari para ahli atau badan ini . Baik mengenai batasan turis
internasional maupun turis domestik. Dibawah ini akan dikemukakan batasan dari
beberapa ahli dan badan internasional di bidang pariwisata :
warga adat, tokoh
intelektual, wartawan,
LSM
Pemerintah
- Pusat
- Provinsi
- Kabupaten/kota
Regulator
Fasilitator
Swasta
- Perhotelan
- BPW
- Transportasi
- Asosiasi usaha pariwisata
Pelaku langsung
Pelayan wisata
33
Norval, seorang ahli ekonomi Inggris, memberi batasan mengenai turis
internasional sebagai berikut :
“Every person who comes to a foreign country for a reason than to establish his
permanent residence or such permanent work and who spends in the country of his
temporary stay, the money he has earned else where”.
Dari definisi ini , Norval lebih menekankan pada aspek ekonominya, sementara aspek
sosiologi kurang mendapat perhatian.
Pada tahun 1937, Komisi Ekonomi Liga Bangsa-Bangsa ( Economis Commission of
The league of Nations), pertama kali memberi batasan pengertian mengenai turis
internasional pada forum internasional. Rumusan ini yaitu sebagai berikut :
“ The term tourist shall, in principle, be interpreted to mean any person travelling for
a period of 24-hours or more in a country other than in which he usually resides”.
Hal pokok yang penting dari batasan Liga Bangsa-Bangsa ini yang perlu dicatat
yaitu :
1. Perjalanan dari satu negara ke negara lain
2. Lama perjalanan sekurang-kurangnya 24 jam
Untuk selanjutnya Komisi Liga Bangsa-Bangsa ini, menyempurnakan batasan
pengertian ini , dengan mengelompokkan orang-orang yang dapat disebut sebagai
turis dan bukan turis .
Yang termasuk turis yaitu :
1. Mereka yang mengadakan perjalanan untuk keperluan bersenang-senang,
mengunjungi keluarga, dan lain lain.
2. Mereka yang mengadakan perjalanan untuk keperluan pertemuan-pertemuan atau
karena tugas tertentu, seperti dalam ilmu pengetahuan, tugas negara, diplomasi,
agama, olah raga dan lain lain.
3. Mereka yang mengadakan perjalanan untuk tujuan usaha.
4. Mereka yang melakukan kunjungan mengikuti perjalanan kapal laut, walaupun
tinggal kurang dari 24 jam.
Yang dianggap sebagai bukan turis :
1. Mereka yang berkunjung dengan tujuan untuk mencari pekerjaan atau melakukan
kegiatan usaha.
2. Mereka yang berkunjung ke suatu negara dengan tujuan utuk bertempat tinggal
tetap.
34
3. sesudah di area tapal batas negara dan bekerja di negara yang berdekatan.
4. turis yang hanya melewati suatu negara tanpa tinggal di negara yang
dilaluinya itu.
Batasan ini tidak dapat diterima oleh Komisi Statistik dan Komisi Fasilitas
Internasional Civil Aviation Organization, PBB. Komisi ini membuat rumusan baru. Istilah
tourist diganti dengan foreign tourist, dan memasukkan kategori visitor di dalamnya.
Dalam rumusan Komisi Statistik ini dicantumkan batas maksimal kunjungan
selama 6 bulan, sedangkan batas minimum 24 jam dikesampingkan. Selanjutnya batasan
yang semula berdasar kebangsaan (nationality) diganti dengan berdasar tempat
tinggal sehari-hari turis ( Country of Residence).
Menyadari ketidakseragaman pengertian ini , Internasional Union of Official
Travel Organization ( IUOTO) sebagai badan organisasi pariwisata internasional yang
memiliki anggota kurang lebih 90 negara telah mengambil inisiatif dan memutuskan
batasan yang sifatnya seragam melalui PBB pada tahun 1963 di Roma memberi definisi
sebagai berikut :
(a) Pengunjung (visitors) yaitu setiap orang yang berkunjung ke suatu negara lain dimana
ia memiliki tempat kediaman, dengan alasan melakukan pekerjaan yang diberikan
oleh negara yang dikunjunginya.
(b) turis (tourist) yaitu setiap orang yang bertempat tinggal di suatu negara tanpa
memandang kewarganegaraannya, berkunjung ke suatu tempat pada negara yang sama
untuk jangka waktu lebih dari 24 jam yang tujuan perjalanannya dapat diklasifikasikan
pada salah satu hal berikut ini.
1. Memanfaatkan waktu luang untuk berekreasi, liburan, kesehatan, pendidikan,
keagamaan, dan olah raga
2. Bisnis atau mengunjungi kaum keluarga
(c) Darmawisata (excursionist), yaitu pengunjung sementara yang menetap kurang dari
24 jam di negara yang dikunjunginya, termasuk orang yang berkeliling dengan kapal
pesiar, namun tidak termasuk para pesiar yang memasuki negara secara legal,
contohnya orang yang hanya tinggal di ruang transit pelabuhan udara.
Bila diperhatikan orang-orang yang datang berkunjung pada suatu tempat atau negara
biasanya mereka disebut sebagai pengunjung (visitor) yang terdiri atas banyak orang
dengan bermacam-macam motivasi kunjungan. Hal ini juga termasuk didalamnya yaitu
turis . Artinya, tidak semua pengunjung dapat disebut sebagai turis .
35
Istilah turis harus diartikan sebagai seseorang, tanpa membedakan ras,
kelamin, bahasa, dan agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan
perjanjian yang lain daripada negara di mana orang itu biasanya tinggal dan berada di situ
tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan, di dalam jangka waktu 12 bulan
berturut-turut, untuk tujuan non imigrasi yang legal, seperti: perjalanan wisata, rekreasi,
olah raga, kesehatan, alasan keluarga, studi, ibadah keagamaan, atau urusan usaha
(business) (soebandrio , 1983:123--124).
Dalam rangka pengembangan dan pembinaan kepariwisataan di negara kita ,
pemerintah telah pula merumuskan batasan tentang turis , seperti yang dituangkan
dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1969 yang memberi definisi sebagai berikut :
“turis (tourist) yaitu setiap orang yang bepergian dari tempat tinggalnya
untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanannya dan
kunjungannya itu”
berdasar batasan-batasan ini , maka kita dapat memberi ciri tentang seseorang itu
dapat disebut sebagai turis :
1. Perjalanan itu dilakukan lebih dari 24 jam
2. Perjalanan itu dilakukannya untuk sementara waktu
3. Orang yang melakukannya tidak mencari nafkah di tempat atau negara yang
dikunjungi.
Dapat dikatakan bila tidak memenuhi syarat ini di atas, orang ini belum dapat
dikatakan sebagai seorang turis . Satu saja syarat tidak dipenuhi, maka dua syarat
yang lainnya menjadi gugur.
36
Gambar 2.2 Rombongan turis Perancis sedang melakukan kunjungan wisata di Desa
Penglipuran Bangli-Bali (sumber : Dokumentasi Penulis, 2009)
2.2.1 Profil turis
Profil turis merupakan sifat spesifik dari jenis-jenis turis yang
berbeda yang berkaitan erat dengan kebiasaan, permintaan, dan kebutuhan mereka
dalam melakukan perjalanan. Memahami profil turis merupakan suatu hal yang
penting dengan tujuan untuk menyediakan kebutuhan perjalanan mereka dan untuk
menyusun program promosi yang efektif. berdasar sifat nya, bicara mengenai
turis akan didapatkan suatu cerita yang panjang tentang mereka; siapa, darimana,
mau kemana, dengan apa, dengan siapa, kenapa ke sana dan masih banyak lagi. turis
memang sangat beragam; tua muda, miskin kaya, asing domestik, berpengalaman maupun
tidak, semua ingin berwisata dengan keinginan dan harapan yang berbeda-beda. Gambaran
mengenai turis biasanya dibedakan berdasar sifat perjalanannya (trip
descriptor) dan sifat turis nya (tourist descriptor) (Seaton dan Bennet, 1996).
37
(1) Trip Descriptor; turis dibagi ke dalam kelompok-kelompok berdasar jenis
perjalanan yang dilakukannya.
Secara umum jenis perjalanan dibedakan menjadi : perjalanan rekreasi, mengunjungi
teman/keluarga, perjalanan bisnis dan kelompok perjalanan lainnya (Seaton & Bennet,
1996). Smith (1989) menambahkan jenis perjalanan untuk kesehatan dan keagamaan di
luar kelompok lainnya.Lebih lanjut jenis-jenis perjalanan ini juga dapat dibedakan lagi
berdasar lama perjalanan, jarak yang ditempuh, waktu melakukan perjalanan ini ,
jenis akomodasi/transportasi yang dipakai dalam perjalanan, pengorganisasian
perjalanan, besar pengeluaran dan lain-lain. Beberapa pengelompokan turis
berdasar sifat perjalanannya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1
sifat Perjalanan turis
sifat Pembagian
Lama waktu perjalanan 1-3 hari
4-7 hari
8-28 hari
29-91 hari
92-365 hari
Jarak yang ditempuh
(bisa dipakai
kilometer/mil)
Dalam kota (lokal)
Luar kota (satu propinsi)
Luar kota (lain propinsi)
Luar negeri
Waktu melakukan perjalanan Hari biasa
Akhir pekan/Minggu
Hari libur/Raya
Liburan sekolah
Akomodasi yang dipakai Komersial (Hotel bintang/non bintang)
Non komersial (rumah teman/saudara/keluarga)
Moda Transportasi Udara (terjadwal/carter)
Darat (kendaraan pribadi/umum/carter)
Kereta Api
Laut (cruise/feri)
Teman Perjalanan Sendiri
Keluarga
Teman sekolah
Teman kantor
Pengorganisasian perjalanan Sendiri
Keluarga
Sekolah
Kantor
Biro perjalanan wisata
Sumber: Smith (1989)
38
(2) Tourist Descriptor; memfokuskan pada turis nya, biasanya digambarkan dengan
“Who wants what, why, when, where and how much?”
Untuk menjelaskan hal-hal ini dipakai beberapa sifat diantaranya
yaitu sebagai berikut.
a. sifat Sosio-demografis
sifat sosio-demografis mencoba menjawab pertanyaan “who wants what”.
Pembagian berdasar sifat ini paling sering dilakukan untuk kepentingan
analisa pariwisata, perencanaan, dan pemasaran, karena sangat jelas definisinya dan relatif
mudah pembagiannya (Kotler, 1996). Yang termasuk dalam sifat sosio-demografis
diantaranya yaitu jenis kelamin, umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan,
kelas sosial, ukuran keluarga atau jumlah anggota keluarga dan lain-lain yang dielaborasi
dari sifat ini . Beberapa pengklasifikasian lebih lanjut dari sifat sosio-
demografis dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2
sifat Sosio-Demografis turis
sifat Pembagian
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Umur 0-14 tahun
15-24
25-44
45-64
>65
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD
SD
SLTP
SMU
Diploma
Sarjana (S1)
Pasca Sarjana (S2, S3)
Kegiatan Bekerja (PNS/pegawai, wiraswasta, profesional dan
lain-lain)
Tidak bekerja (ibu rumah tangga,
pelajar/mahasiswa)
Status Perkawinan Belum menikah
Menikah
Cerai
Jumlah anggota keluarga
dan komposisinya
1 orang
Beberapa orang, tanpa anak usia di bawah 17 tahun
Beberapa orang, dengan anak (beberapa anak) di
bawah 17 tahun
Tipe Keluarga Belum menikah
Menikah, belum punya anak
Menikah, anak usia <6 tahun
Menikah, anak usia 6-17 tahun
Menikah, anak usia 18-25 tahun
Menikah, anak usia >25 tahun, masih tinggal dengan
orang tua
Menikah, anak usia >25 tahun, tidak tinggal dengan
orang tua (empty nest)
sifat sosio-demografis juga