Tampilkan postingan dengan label hindustan 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hindustan 1. Tampilkan semua postingan

hindustan 1



, Tidak mudah memahami agama Hindu di negarakita 
hanya dari aspek makna dan substansi ajarannya. Secara 
esensial, ajaran Hindu itu sama di mana saja agama ini 
tumbuh dan berkembang. Namun soal bentuk dan 
eksoterisnya bisa sangat beragam, bahkan mungkin dalam 
satu wilayah atau daerah. Keragaman ini dimungkinkan 
karena agama Hindu menganut konsep desa, kala, patra 
(tempat, waktu, keadaan).  Melalui konsepsi ini, agama Hindu 
dapat secara fleksibel untuk beradaptasi atau diadaptasi. 
Sehingga wajah Hindu di negarakita juga berwarna warni, 
seolah berbeda satu dengan yang lainnya, padahal 
sesungguhnya satu dan sama saja. 
Konsepsi di atas sebetulnya diemanasikan dalam filsafat 
ketuhanannya yang membuka lebar jalan perbedaan. 
Misalnya, empat jalan menuju Tuhan melalui Catur Marga. 
Setiap umat Hindu boleh dan bisa mengambil jalan tertentu 
yang dianggapnya sesuai dengan kapasitasnya untuk 
“bertemu” Tuhan. Tidak ada jalan absolut kaku, paling benar 
dan eksklusif.  Begitu juga dalam memahami Tuhan yang 
bahkan digambarkan dengan seribu nama (sahasra namam) dan 
seribu wajah (sahasra rupam). Orang bijaksana yang 
berpengetahuan suci memberiNya banyak nama, tetapi Tuhan 
tetap satu,  tunggal, dan esa (ekam sat wiprah bahuda wadanti). 
Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma secara tepat 
melukiskannya dengan bhinneka tunggal ika tan hana dharma 
mangrwa. Bahkan juga Tuhan meresapi seluruh alam semesta 
raya, dan Ia berada di mana-mana, bukan di satu tempat.  
Pantheisme sebagai puncak dari seluruh aliran filsafat 
ketuhanan yang ada dalam Hindu telah mengikat menjadi 
satu kesatuan keberadaan kelompok-kelompok keagamaan 
Hindu yang tampak seolah-olah berbeda satu dengan yang 
lainnya.  Kesamaan makna esoteris ini adalah cara bagi 
mereka untuk dapat hidup di manapun. Tesis ini dibuktikan 
dari hasil penelitian kedua kelompok keagamaan ini yang 
tidak banyak ditemukan resistensinya, baik secara internal 
maupun eksternal. Misalnnya, kelompok spiritual lebih kuat 
membangun hubungan keagamaan dengan spirit universal 
ajaran Hindu, seperti cinta kasih (prema), pelayanan (sewaka), 
atau meditasi dan yoga. Kelompok tradisional menempatkan 
lokalitas sebagai cara untuk hidup berdampingan, seperti 
ngayah (gotong royong), simakrama (menjalin keakraban), 
menyamabraya (membangun persaudaraan) atau ngejot (saling 
membagi atau membalas hantaran).  Perpaduan dari makna 
menuju laku dari kedua kelompok keagamaan inilah yang 
menghasilkan sikap inklusi baik di antara mereka sendiri yang 
memang berbeda dengan umat beragama lainnya. 
Hasil penelitian di delapan lokasi telah memperkuat 
pandangan di atas. Untuk itu hasil kerja keras para peneliti 
harus diapresiasi sehingga di masa depan dapat menghasilkan 
penelitian sejenis yang lebih baik. Sembari meminta maaf jika 
masih terdapat beberapa kekurangan, semoga buku ini 
bermanfaat untuk kontribusinya terhadap keilmuan dan teori 
maupun kontribusinya kepada institusi, para peneliti, dan 
pengguna.  

Bagi sebagian kalangan umat beragama yang lain, 
agama Hindu, khususnya di negarakita akan dilihat berbeda-
beda. Bahkan Hindu di satu daerah coraknya juga bisa tampak 
berbeda. Hindu di Denpasar dengan Gianyar itu berbeda; 
Hindu di Klaten dengan Solo juga bisa berbeda. Begitu juga 
dengan daerah lainnya di negarakita. Itu semua tidak salah, 
sama sekali tidak salah.  
Bagi yang belum memahami keberadaan ragam Hindu 
itu, mungkin akan melihatnya seperti parsial. Terlebih 
perbedaan itu ternyata tidak hanya di permukaan kulit, 
seperti ritual, busana, dan bentuk artifisial lainnya. Bahkan 
dalam aspek teologisnya juga bisa berbeda. Seorang Hindu 
dapat menjadikan Dewi Saraswati sebagai favoritnya, Hindu 
yang lainnya memuja Dewi Sri, Ganesha, Baruna, Wisnu, dlsb.  
Wajah Hindu yang beragam, sekali lagi, khususnya di 
negarakita tak lepas dari perjalanannya ‘memuliakan’ agama 
dan budaya lokal yang lebih dulu tumbuh dan subur di jagat 
nusantara. Tidak ada ekspansi, juga tidak ada peng-agama-an 
untuk mereka yang sudah nyaman dengan kepercayaan yang 
terpelihara dari masa ke masa. Soal kemudian, aliran sejarah 
mempertemukan mereka dekat dengan Hindu, itu pun harus 
melalui kesepakatan bersama. Integrasi agama Kaharingan 
yang dianut warga Dayak di Kalimantan Tengah dengan 
agama Hindu menjadi salah satu contoh. 
xii
Napak tilas perjalanan Hindu yang menurut data 
sejarah diawali dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, lalu 
berakhir di Bali, seolah menegaskan agama ini seperti aliran 
air yang mengikuti warna-warni daerah yang dilaluinya, 
tanpa mengubah sedikit pun substansi airnya. Maka 
tampaklah wajah Hindu Lampung yang berbeda dengan 
Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Lombok, dan Hindu-Hindu 
lainnya seantero nusantara. Dalam terminologi Bali, fakta ini 
disebut sebagai pengejewantahan konsep desa (tempat), kala 
(waktu), dan patra (keadaan). Bagaimana mereka beradaptasi, 
tumbuh dan berkembang bersama dengan agama lain dan 
budaya lokal akan selalu menyesuaikan dengan konsepsi itu.  
Satu hal yang menjadi pembeda keberadaan umat 
Hindu di negarakita adalah tatanan ritualnya. Di dalam 
ritual ini terdapat banyak upakara atau banten serta aktivitas 
keagamaan. Sarana ritual ini adalah ekspresi emosi, jiwa 
sekaligus kreativitas manusia sehingga apa yang 
dilahirkannya juga akan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan 
saja terlihat secara komunal tetapi juga individu.  
Namun, ritual atau ritual atau acara itu hanyalah 
bentuk terluar jika ingin mengupas saripati Hindu. Analogi 
sederhana yang sering digunakan adalah telur dengan tiga 
lapisnya. Lapisan kulit adalah ritual; putih telurnya adalah 
ajaran etika atau susila; kuning telurnya adalah inti dan sari 
yang disebut tattwa. Ketiganya ini lalu dikonsepsikan menjadi 
Tiga Kerangka Dasar. Untuk memahami Hindu, maka 
memahami ketiga kerangka ini menjadi penting karena acara-
susila-tattwa adalah sebuah tatantan holistik, saling 
melengkapi dan tidak terpisahkan.   
Memahami Tiga Kerangka Dasar itu juga harus 
berjenjang, dari yang konkrit menuju yang abstrak, dari acara 
yang tampak nyata, lalu susila (tingkah laku) untuk menuju 
tattwa, ajaran filosofis. Untuk maksud ini, Hindu memberikan 
konsep Catur Marga, yaitu empat jalan (marga) untuk 
mencapai kebenaran abadi dan kesempurnaan Tuhan dengan 
menyesuaikan kemampuan setiap umat Hindu. Ada yang 
melalui bhakti marga, karma marga, jnana marga, bahkan 
dibolehkan melalui raja marga. Keempat marga ini pun bukan 
terpisah-pisah karena bisa terjadi klaim, tetapi lebih pada 
orientasi pencarian Tuhan. Jika dilakukan dengan totalitas, 
penuh keihklasan, masing-masing marga akan menemukan 
tujuan tertingginya. Jadi tersedia pilihan jalan yang beragam 
untuk menemukan tujuan yang sama.  
Dalam pencarian tujuan itu, selain Catur Marga, juga 
‘disediakan’ tingkatan hidup berjenjang melalui Catur 
Asrama, yaitu brahmacari (masa belajar); grahasta (hidup 
berumah tangga); wanaprastha (mulai menjauhkan bahkan 
mengasingkan diri dari keduaniawian) dan sanyasin atau 
bhiksuka (totalitas jalan rohani). Tujuannya adalah agar tatanan 
hidup menjadi lebih terarah dalam meraih cita-cita yang 
dikonsepsikan ke dalam Catur Purusartha yang terdiri dari 
dharma, artha, kama dan moksa. Tampaknya, dharma menjadi 
landasan utama untuk meraih harta, materi (artha) dan 
memenuhi keinginan (kama) dengan moksha sebagai tujuan 
akhir. Pendeknya, semua tujuan hidup diraih melalui dharma 
Napak tilas perjalanan Hindu yang menurut data 
sejarah diawali dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, lalu 
berakhir di Bali, seolah menegaskan agama ini seperti aliran 
air yang mengikuti warna-warni daerah yang dilaluinya, 
tanpa mengubah sedikit pun substansi airnya. Maka 
tampaklah wajah Hindu Lampung yang berbeda dengan 
Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Lombok, dan Hindu-Hindu 
lainnya seantero nusantara. Dalam terminologi Bali, fakta ini 
disebut sebagai pengejewantahan konsep desa (tempat), kala 
(waktu), dan patra (keadaan). Bagaimana mereka beradaptasi, 
tumbuh dan berkembang bersama dengan agama lain dan 
budaya lokal akan selalu menyesuaikan dengan konsepsi itu.  
Satu hal yang menjadi pembeda keberadaan umat 
Hindu di negarakita adalah tatanan ritualnya. Di dalam 
ritual ini terdapat banyak upakara atau banten serta aktivitas 
keagamaan. Sarana ritual ini adalah ekspresi emosi, jiwa 
sekaligus kreativitas manusia sehingga apa yang 
dilahirkannya juga akan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan 
saja terlihat secara komunal tetapi juga individu.  
Namun, ritual atau ritual atau acara itu hanyalah 
bentuk terluar jika ingin mengupas saripati Hindu. Analogi 
sederhana yang sering digunakan adalah telur dengan tiga 
lapisnya. Lapisan kulit adalah ritual; putih telurnya adalah 
ajaran etika atau susila; kuning telurnya adalah inti dan sari 
yang disebut tattwa. Ketiganya ini lalu dikonsepsikan menjadi 
Tiga Kerangka Dasar. Untuk memahami Hindu, maka 
memahami ketiga kerangka ini menjadi penting karena acara-
xiv
dan didayagunakan sepenuhnya untuk dharma (kebenaran). 
Dengan ini, tujuan utama untuk bisa hidup bahagia di dunia 
dan bahagia di akhirat akan terwujud. Inilah yang 
dimaksudkan sebagai Moksartham Jagat Hita ya ca iti Dharma. 
Dengan demikian, Hindu akan tampak seperti mozaik, 
tidak monolitik. Jalinan perbedaan itu diikat menjadi satu 
kesatuan melalui Panca Sraddha, yaitu lima keyakinan umat 
Hindu terhadap Brahman (Tuhan), Atman, Karma Phala, 
Punarbhawa dan Moksha. Kelima sraddha ini menyatukan umat 
Hindu di seluruh dunia, sekaligus yang membedakannya 
dengan umat lainnya.  
Pertama, Hindu meyakini Tuhan yang satu tetapi 
dengan nama dan wajah yang berbeda (sahasra namam dan 
sahasra rupam). Tuhan itu personal God sekaligus impersonal 
God, immanen dan transenden. Jadi, Tuhan diyakini tidak 
hanya secara politheistik dan monotheistik, tetapi sekaligus 
mempercayai Tuhan yang meresapi segalanya (pantheisme). 
Dalam Weda disebutkan sebagai Ekam Sat Wiprah Bahuda 
Wadanti (Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebutnya 
dengan banyak nama). Mpu Tantular lalu menuliskannya ke 
dalam Kakawin Sutasoma dengan Bhinneka Tunggal Ika, Tan 
Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak 
ada kebenaran yang lain yang mendua). Many in one, one in 
many. 
Kedua, Hindu meyakini bahwa atma atau zat hidup 
yang ada dalam setiap makhluk hidup bersumber dari Tuhan. 
Ketika memasuki badan makhluk hidup, kesempurnaannya 
dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga antara makhluk yang 
satu dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang tamas, rajas 
maupun sattwam. Hal ini kemudian menjadikan filsafat 
ketuhanan dalam Upanisad lalu menjadi etika sosial Tat Twam 
Asi (Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku). Dari Tat Twam Asi 
ini, Hindu mengejewantahkannya melalui Tri Hita Karana, 
yaitu tiga hubungan yang selaras untuk menghasilkan 
kebahagiaan baik secara horizontal dengan sesama manusia 
dan lingkungan, serta vertikal dengan Tuhan. Dari konsep ini 
pula melahirkan adagium Wasudewa Kutum Bakam (Kita semua 
bersaudara; dunia ini rumah bersama yang dihuni satu 
keluarga besar). 
Ketiga, Hindu meyakini hukum karma phala. Setiap 
perbuatan akan menghasilkan pahala, sekecil apa pun itu, 
bahkan perbuatan sejak dalam pikiran dan niat. Pahala 
perbuatan akan diterima saat berbuat atau setelahnya yang 
akan menjadi buah untuk kelahiran kembali. Kelahiran saat 
ini juga adalah buah perbuatan masa lalu (karma wasana). 
Karena itu, Hindu mengajarkan untuk terus berkarma  baik 
(subhakarma) meningkatkan kualitas hidup. Keempat, Hindu 
meyakini punarbhawa atau samsara (reinkarnasi) sebagai jalan 
untuk memperbaiki diri. Lahir kembali ke dunia, apalagi 
sebagai manusia adalah kesempatan besar untuk memperbaiki 
kualitas hidup, dan menghasilkan benih perbuatan yang akan 
menentukan kehidupan kelak setelah kematian. Dan Kelima, 
Hindu meyakini Moksha sebagai tujuan akhir dan tertinggi 
karena membebaskan manusia dari kelahiran. Manusia lepas 
dari keterikatannya.   
dan didayagunakan sepenuhnya untuk dharma (kebenaran). 
Dengan ini, tujuan utama untuk bisa hidup bahagia di dunia 
dan bahagia di akhirat akan terwujud. Inilah yang 
dimaksudkan sebagai Moksartham Jagat Hita ya ca iti Dharma. 
Dengan demikian, Hindu akan tampak seperti mozaik, 
tidak monolitik. Jalinan perbedaan itu diikat menjadi satu 
kesatuan melalui Panca Sraddha, yaitu lima keyakinan umat 
Hindu terhadap Brahman (Tuhan), Atman, Karma Phala, 
Punarbhawa dan Moksha. Kelima sraddha ini menyatukan umat 
Hindu di seluruh dunia, sekaligus yang membedakannya 
dengan umat lainnya.  
Pertama, Hindu meyakini Tuhan yang satu tetapi 
dengan nama dan wajah yang berbeda (sahasra namam dan 
sahasra rupam). Tuhan itu personal God sekaligus impersonal 
God, immanen dan transenden. Jadi, Tuhan diyakini tidak 
hanya secara politheistik dan monotheistik, tetapi sekaligus 
mempercayai Tuhan yang meresapi segalanya (pantheisme). 
Dalam Weda disebutkan sebagai Ekam Sat Wiprah Bahuda 
Wadanti (Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebutnya 
dengan banyak nama). Mpu Tantular lalu menuliskannya ke 
dalam Kakawin Sutasoma dengan Bhinneka Tunggal Ika, Tan 
Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak 
ada kebenaran yang lain yang mendua). Many in one, one in 
many. 
Kedua, Hindu meyakini bahwa atma atau zat hidup 
yang ada dalam setiap makhluk hidup bersumber dari Tuhan. 
Ketika memasuki badan makhluk hidup, kesempurnaannya 
dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga antara makhluk yang 
Panca Sraddha dengan berbagai cara meyakininya, serta 
tersedianya banyak jalan, serta konsepsi yang berjenjang, 
memungkinkan umat Hindu memiliki ragam pilihan yang 
dianggapnya terbaik, tanpa merendahkan jalan yang lain. 
Ibarat makanan prasmanan, umat Hindu boleh memilih 
makanan yang menurutnya enak dan bergizi, namun tidak 
menyatakan makanan lainnya kurang lezat. Tidak ada klaim 
kebenaran di dalam Hindu, karena seperti termaktub dalam 
Bhagawadgita (IV.11): “Jalan mana pun yang ditempuh seseorang 
kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang 
mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.  
Tidaklah mengherankan ketika berbagai aliran, 
mazhab dan kepercayaan yang datang ke negarakita, terutama 
dari India, dapat hidup berdampingan dengan kelompok 
Hindu yang sebelumnya sudah lama hidup di negarakita. 
Sempat ada friksi, tetapi tidak lama dan tidak banyak. 
Gesekan itu lebih banyak terjadi karena ego serta di tingkat 
bawah, bukan para pemimpinnya. Era reformasi makin 
memberikan ruang lebar kepada umat Hindu untuk memilih 
jalan terbaiknya, atau memperdalam agamanya baik dengan 
menjadi penghayat kelompok spiritual maupun kelompok 
tradisional.  
Kedua istilah ini (spiritual dan tradisional) mungkin 
terasa bias karena masing-masing dapat dipertukarkan. Di 
dalam kelompok tradisional juga dimaksudkan sebagai jalan 
spiritual, sebaliknya, dalam kelompok spiritual juga masih 
menggunakan beberapa cara tradisional. Cara paling moderat 
untuk memahami ciri-ciri bentuk keduanya, karena aspek 
 xvii
sraddha tidak akan jauh berbeda. Misalnya, kelompok spiritual 
lebih bersifat individual, menjadikan kitab suci sebagai 
pegangan utama. Kelompok tradisional cenderung komunal, 
ritual menjadi penting, tradisi dan budaya lokal sebagai 
penuntun. Selebihnya sama. 
Dari berbagai alasan seperti diuraikan di atas, maka 
menyimak dengan serius hasil penelitian kedua kelompok 
keagamaan ini, tidak banyak ditemukan resistensi baik secara 
internal maupun eksternal. Kelompok spiritual lebih kuat 
membangun hubungan keagamaan dengan spirit universal 
ajaran Hindu, seperti cinta kasih (prema), pelayanan (sewaka), 
atau meditasi dan yoga. Kelompok tradisional menempatkan 
lokalitas sebagai cara untuk hidup berdampingan, seperti 
ngayah (gotong royong), simakrama (menjalinan keakraban), 
atau ngejot (saling membagi hantaran). Kedua kelompok tidak 
saja melakukannya kepada sesama umat Hindu tetapi juga 
umat lain. Misalnya, SAKKHI di Lampung, SSGI (Jakarta), 
Sadhar Mapan (Klaten) dan Brahma Kumaris (Surabaya) 
anggotanya berasal dari umat lain. Hal yang sama juga 
ditemukan bagaimana umat Hindu di Cimahi, Denpasar, 
Mataram dan Palangka Raya berinteraksi intim dengan umat 
lainnya.  
Hindu di negarakita, dari kelompok spiritual dan 
kelompok tradisional sama-sama menjadikan kehidupan 
sebagai lapangan untuk berkarma dan menjalankan dharmaning 
agama (kewajiban sebagai umat beragama) dan dharmaning 
negara (kewajiban sebagai warga negara). Pada pokoknya, 
universalitas ajaran Hindu yang berangkat secara esoterik 
Panca Sraddha dengan berbagai cara meyakininya, serta 
tersedianya banyak jalan, serta konsepsi yang berjenjang, 
memungkinkan umat Hindu memiliki ragam pilihan yang 
dianggapnya terbaik, tanpa merendahkan jalan yang lain. 
Ibarat makanan prasmanan, umat Hindu boleh memilih 
makanan yang menurutnya enak dan bergizi, namun tidak 
menyatakan makanan lainnya kurang lezat. Tidak ada klaim 
kebenaran di dalam Hindu, karena seperti termaktub dalam 
Bhagawadgita (IV.11): “Jalan mana pun yang ditempuh seseorang 
kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang 
mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.  
Tidaklah mengherankan ketika berbagai aliran, 
mazhab dan kepercayaan yang datang ke negarakita, terutama 
dari India, dapat hidup berdampingan dengan kelompok 
Hindu yang sebelumnya sudah lama hidup di negarakita. 
Sempat ada friksi, tetapi tidak lama dan tidak banyak. 
Gesekan itu lebih banyak terjadi karena ego serta di tingkat 
bawah, bukan para pemimpinnya. Era reformasi makin 
memberikan ruang lebar kepada umat Hindu untuk memilih 
jalan terbaiknya, atau memperdalam agamanya baik dengan 
menjadi penghayat kelompok spiritual maupun kelompok 
tradisional.  
Kedua istilah ini (spiritual dan tradisional) mungkin 
terasa bias karena masing-masing dapat dipertukarkan. Di 
dalam kelompok tradisional juga dimaksudkan sebagai jalan 
spiritual, sebaliknya, dalam kelompok spiritual juga masih 
menggunakan beberapa cara tradisional. Cara paling moderat 
untuk memahami ciri-ciri bentuk keduanya, karena aspek 
xviii
(spiritual dan kemanusiaan) telah berpadu padan dengan 
adab lokalitas (tradisi dan budaya), sehingga Tat Twam Asi, Tri 
Hita Karana, Wasudewa Kutum Bakam, Bhinneka Tunggal Ika 
bertumpu penuh di atas wadah fleksibelitasnya yang disangga 
dengan desa-kala-patra dan banyaknya jalan dan jenjang (Catur 
Marga, Catur Asrama, Catur Purusartha, dlsb) menuju keesaan 
Tuhan. Ini semua demi dan untuk membangun kehidupan 
keagamaan di negarakita yang harmonis, harapan yang 
tercermin sepenuhnya melalui hasil penelitian ini [*] 
(spiritual dan kemanusiaan) telah berpadu padan dengan 
adab lokalitas (tradisi dan budaya), sehingga Tat Twam Asi, Tri 
Hita Karana, Wasudewa Kutum Bakam, Bhinneka Tunggal Ika 
bertumpu penuh di atas wadah fleksibelitasnya yang disangga 
dengan desa-kala-patra dan banyaknya jalan dan jenjang (Catur 
Marga, Catur Asrama, Catur Purusartha, dlsb) menuju keesaan 
Tuhan. Ini semua demi dan untuk membangun kehidupan 
keagamaan di negarakita yang harmonis, harapan yang 
tercermin sepenuhnya melalui hasil penelitian ini [*] 
 Prolog ini akan dimulai dengan membaca ulang 
sejarah masuknya Hindu di negarakita karena dalam 
perjalanan itulah keanekaan Hindu ikut dibawa serta dan 
tumbuh berkembang sampai saat ini. Prolog ini juga akan 
membicarakan Bali, selain karena menjadi episentrum untuk 
membaca Hindu di negarakita, juga didasarkan atas fakta 
sejarah ketika masa keemasan Hindu di Jawa berakhir manis 
di pulau Bali. Jadi bukan menghidupkan Bali sentris, tetapi 
semata untuk memudahkan kita memahami keberagaman dan 
dinamika agama Hindu di negarakita. Bahkan Bali sendiri 
telah menjadi melting pot berbagai aliran dan kelompok 
keagamaan Hindu, baik yang terpaksa kita sebut “kelompok 
tradisional” maupun “kelompok spiritual”.  
Berdasarkan data sejarah yang dihimpun sejarawan 
negarakita, salah satunya Soekmono (1973) disebutkan 
kedatangan agama Hindu ke negarakita sudah sejak abad 
ketiga atau tahun 400 Masehi. Bukti paling valid menurut 
Soekmono adalah ketika ditemukan tujuh prasasti berbentuk 
yupa peninggalan kerajaan Kutei di Kalimantan Timur 
(1973:35). Isi yupa yang ditemukan itu begitu menakjubkan 
karena memperlihatkan bagaimana perjalanan Hindu di 

negarakita hingga mampu mendirikan kerajaan pertama di 
negarakita, dan selanjutnya berkembang pesat di Pulau Jawa 
Puncak keemasan perkembangan Hindu di negarakita 
adalah ketika kerajaan Majapahit di Jawa Timur hampir 
mengusai seluruh negarakita yang berdiri antara tahun 1293-
1309 . Masuknya agama Buddha ke negarakita 
makin memperkokoh anasir asing, khususnya India di 
negarakita. Agama Buddha sendiri berkembang dan hidup 
sangat harmoni dengan Hindu ketika wangsa Sanjaya dan 
Sailendra berkuasa di Jawa Tengah pada pertengahan abad ke 
Sembilan . Terminologi Siwa-Buddha lahir 
dari hubungan dekat kedua agama ini pada masa itu. Artefak 
paling mengagumkan yang pernah ada di negarakita, yaitu 
Prambanan (Hindu) dan Borobudur (Buddha) juga berdiri saat 
keduanya tumbuh dan berkembang di negarakita. 
Setelah Majapahit mengalami masa akhir sekitar tahun 
1429 hingga 1522, banyak kerajaan-kerajaan kecil yang berada 
di bawah kekuasaannya kehilangan arah. Perang saudara dan 
konflik panjang membawa Majapahit pada kehancuran. Pada 
masa kritis itu, beberapa kerajaan Islam menghimpun diri 
untuk menaklukkan Majapahit. Rakyat Majapahit yang 
sebagian besar penganut Hindu lalu menyingkir ke wilayah 
aman, salah satu daerah yang paling terkenal pegunungan 
Tengger. Sebagian besar yang lainnya menuju Bali, 
berkembang dan bertahan kuat seperti yang dikenal saat ini . Penduduk di beberapa wilayah negarakita yang 
pernah mendapat pengaruh Hindu masih menjalankan tradisi 
itu, meskipun mungkin secara formal mereka tidak beragama 
Hindu lagi.   
Yang menarik adalah perkembangan Hindu di 
negarakita tidak dalam rangka melakukan ekspansi agama. 
Penghayat agama-agama lokal, kebudayaan asli serta tradisi 
leluhur nusantara yang telah ada tetap dipelihara, dirawat dan 
dipermulia dengan ajaran Hindu. Masuknya Hindu tidak 
untuk meng-agama-kan penganut agama lokal karena selain 
tidak menjadi karakteristiknya, agama-agama lokal itu 
eksistensinya telah mengakar jauh sebelum Hindu ke 
negarakita.  
Warisan Hindu di negarakita dapat ditelusuri dari 
berbagai peninggalan sejarah terutama ketika kerajaan Hindu 
berkuasa, bahkan ketika negarakita masih mengalami masa 
purba, saat huruf dan angka belum dikenal. Warisan sejarah 
itu bisa tampak dari berbagai wujud, meskipun pada sistem 
nilai dan sistem gagasan, Hindu juga memiliki pengaruh yang 
sangat besar. Membaca kembali pikiran Koentjaraningrat 
(2005) tentang kebudayaan, maka seluruh hasil karya manusia 
adalah salah satu wujud kebudayaan itu. Soekmono (op.cit., 
hlm 9) juga membedakan kebudayaan dalam dua wujud, 
yaitu segi kebendaan dan segi kerohanian. 
Merujuk pendapat dua ahli tersebut, maka warisan 
Hindu di negarakita sangatlah besar. Secara kerohanian, masa-
masa perkembangan Hindu banyak dilalui dengan sistem 
kepercayaan terhadap Tuhan melalui personafikasinya 
sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa. Pemujaan terhadap 
ketiganya diteruskan sampai saat ini melalui terminologi Tri 
Murti. Namun secara khusus, Siwa mendapat perhatian yang 
sangat besar, sehingga pada saat itu Siwaisme menjadi paham 
yang dominan, selain Waisnawa yang menempatkan Wisnu 
sebagai orientasi pemujaan. Paham lain yang juga 
berkembang saat itu adalah Cakta dan Tantra 
Khusus untuk wujud kebudayaan dari kebendaannya 
sangatlah banyak. Merangkum seluruh benda bersejarah itu 
cukuplah berat karena selain tidak terkompilasi dengan baik, 
ada kemungkinan mengalami kehancuran dan kerusakan baik 
karena dimakan waktu, perubahan tempat maupun kelalaian 
manusia, serta persebarannya yang sangat luas. Beberapa 
catatan sejarah yang masih mampu dihimpun, meskipun juga 
masih terbatas adalah peninggalan benda sejarah dari 
kerajaan-kerajaan Hindu.  
Saat Hindu memudar di Jawa, Hindu justru 
mengalami masa emasnya di Bali meskipun peradaban Bali 
sebelum masuknya Hindu sudah mapan melalui keberadaan 
penduduk asli yang disebut Bali Aga atau Bali Mula, yang 
bahkan dianggap sudah menganut agama Hindu dengan 
berbagai variannya  perkembangan 
agama Hindu juga merupakan hasil interaksi antarkerajaan 
Bali dan Jawa  Persilangan 
pengaruh yang dialektis antara Bali dan Jawa menghasilkan 
keunikan dan kekhasan yang seperti kita saksikan di Bali saat 
ini.  
Kesimpulan kecil dari data sejarah itu adalah ketika 
masuk ke negarakita, berbagai aliran ikut dibawa dari India, 
lalu berakulturasi dengan keyakinan dan peradaban lokal. 
 xxiii
Beberapa di antaranya malah tumbuh menjadi entitas 
tersendiri atau mengalami penyatuan baik dengan budaya 
lokal maupun terutama ketika masuknya agama Buddha di 
negarakita. Sisa-sisa sejarah itu masih terus hidup sampai saat 
ini. Tak sedikit yang menyatakan bahwa Hindu di negarakita 
beraliran besar Saiwa Siddhanta dan Waisanawa.  
Selanjutnya, dalam perkembangan Hindu terutama di 
awal abad 19  hingga saat ini juga 
mengalami berbagai dinamika, yang secara historis dapat 
dibaca masa awal penjajahan, kemerdekaan, pasca 
kemerdekaan hingga era reformasi awal tahun 2000an. Bali 
bahkan pernah pula mengalami masa-masa kegelapan ketika 
konflik internal sempat melanda 
Dinamika Bali juga tak bisa dilepaskan dari situasi sosial-
budaya, ekonomi dan politik yang berlangsung di negarakita. 
Namun secara umum, Bali terutama oleh para ahli, khususnya 
antropolog, digambarkan sebagai wilayah yang aman, 
tenteram, dan stabil. Tumbuh subur, berkembang dan 
bertahannya agama Hindu sampai saat ini tak dapat 
dipungkiri mungkin karena situasi seperti itu. Misalnya, kita 
dapat menelusuri kemungkinan ini ketika kedatangan 
Belanda di awal abad 19, yang selain sebagai penjajah juga 
sebetulnya punya maksud mempertahankan keaslian Bali. 
Beberapa tulisan awal yang pernah terbit pada masa itu 
dianggap ikut mendorong Bali menjadi terkenal sampai saat 
ini.  

“Bali adalah Jawa Kuna yang terpelihara”, kata Thomas S. 
Raffles dan Crawfurd  saat mereka 
berdua mencitrakan Bali yang dianggapnya sebagai kisah 
tentang kondisi dan kebiasaan-kebiasaan penduduk Jawa 
Hindu di masa lalu. Crawfurd menambahkan bahwa ketika 
berada di Bali, ide besar Jawa Kuno dapat kembali ditangkap 
dengan jelas. menguatkan pendapat Raffles 
dan Crawfurd ketika dalam penelitiannya menemukan begitu 
banyak unsur Jawa Kuna masih terserak di Bali. Van Hoevel, 
seperti diceritakan kembali oleh Friedrich (1959) yang sangat 
yakin dengan kesimpulannya bahwa Bali jika dalam situasi 
yang sama adalah Jawa pada permulaan abad 15. Lienfrinck 
bahkan menyebut Bali sebagai “Republik Desa yang 
terisolasi”. The Real Bali adalah julukan yang ia berikan ketika 
menemukan otonomi komunitas tradisional seperti desa dan 
subak  Namun sesungguhnya juga, 
pencitraan dari Lienfrinck, dan para peneliti Bali sebelumnya 
adalah pandangan yang ketika itu lazim terlihat hingga abad 
19 di mana antara Desa dan Negara yang sama sekali terpisah 
adalah ciri umum yang diberikan kolonialisme kepada 
negara-negara di Asia.  
Setelah melewati abad 19, citra Bali terus digemakan 
melalui berbagai tulisan, misalnya Island of Bali oleh Miguel 
Covarrubias (1937). Bali juga dikontruksi sebagai “mimpi 
siang di musim panas”, pulau tanpa masalah dan penuh 
harmoni. Antropolog Amerika, salah satunya Jean Belo 
(1970a) juga menyimpulkan bahwa kemapanan sebuah 
warga tradisional seperti Bali adalah cerita tentang 
sebuah kemampuan hebat untuk menyelesaikan semua 
persoalan, di mana gambaran setiap tindakan dan 
pertentangan secara personalitas sepertinya disingkirkan. 
Gregory Bateson (1972) juga menyatakan bahwa salah satu 
sifat kebudayaan dan warga Bali adalah keadaannya 
yang selalu dapat stabil, saat di mana kondisi alam pikiran 
warganya dapat dibentuk oleh keseimbangan tanpa 
disusupi perubahan yang progresif, lalu dibangun secara 
rapat dalam sebuah tata tertib secara ahistoris 
Citra agung tentang Bali di masa kini telah 
mewariskan Bali untuk negarakita sebagai tujuan utama wisata 
dunia. Ini adalah periode yang menentukan arah 
perkembangan Hindu yang lebih terbuka pada dunia luar, 
sehingga masuk pula berbagai aliran atau mashab baru yang 
belakangan datang dari India atau umat Hindu di Bali yang 
belajar ke India, misalnya munculnya Sai Baba, Hare Krishna, 
Brahma Kumaris, dlsb. Persebaran ini juga menjadi salah satu 
komoditas pariwisata dengan munculnya banyak ashram atau 
perguruan, studi intelektual, dlsb. 
Meskipun data sejarah seperti di atas tampaknya 
mudah dipetakan, tetap saja ada kesulitan mendasar untuk 
memahami keberadaan berbagai kelompok keagamaan 
Hindu, terlebih membuat kategorisasi sebagaimana yang 
menjadi tema pokok buku ini. Beberapa hasil penelitian para 
peneliti Puslitbang Pusat Penelitian dan Pengembangan 
Bimbingan warga Agama dan Layanan Keagamaan 
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang 
terangkum dalam buku ini tampaknya masih belum cukup 
untuk menjelaskan mengapa di dalam Hindu terdapat 
beragam kelompok, dan bagaimana kelompok-kelompok 
keagamaan itu bisa hidup berdampingan harmonis di 
negarakita, khususnya di Bali. Kelemahan minor hasil 
penelitian dalam buku ini setidaknya dapat dimaklumi karena 
sejak lama para peneliti asing pun mengalami hal yang 
serupa.   
Stephen J. Lansing (2006) misalnya, sempat 
menyatakan kebingungannya ketika meneliti Bali. Baginya 
begitu banyak simbol bertebaran di sana-sini, yang masing-
masing di antara simbol itu tak mudah segera dipahami. Jauh 
sebelumnya, Lansing (1983) juga menggambarkan bahwa di 
Bali hampir semua hal berstruktur dan bertingkat-tingkat. Ini 
dilihatnya dengan jelas pada bangunan pura di Bali. 
Pengalaman yang sama juga ditunjukkan oleh Hildred Geertz 
(1975) saat dengan berani mengatakan ada yang keliru dalam 
memahami hubungan antarorang, terutama kekerabatan di 
Bali. Misleading, begitu kesimpulannya dalam buku Kinship in 
Bali. 
Kegalauan para peneliti asing itu justru menguatkan 
tesis para peneliti Puslitbang Pusat Penelitian dan 
Pengembangan Bimbingan warga Agama dan Layanan 
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat yang tidak sampai 
memasuki ruh keberagaman dalam agama Hindu. Namun 
yang menggembirakan adalah kompilasi ini kaya data, 
 xxvii
beberapa di antaranya mungkin masih data mentah yang akan 
berguna untuk memantik penelitian dan kajian berikutnya, 
serta menstimulus dialektika untuk menghasilkan temuan 
baru. 





Agama Hindu merupakan salah satu agama tertua 
yang hingga kini masih dikenal oleh warga di dunia 
selain agama dunia lainnya. Dalam perjalanannya 
panjangnya, agama Hindu memiliki banyak kisah baik 
kosmologi, kehidupan para rsi, mitologi, para raja kuno 
hingga epos wiracarita. Agama Hindu mengalami banyak 
sinkretisme yang dibentuk dari perpaduan antara berbagai 
jenis kepercayaan dan budaya baik di India, maupun terutama 
di negarakita.  
Nama agama Hindu awalnya adalah ‘Sanathana 
Dharma’, yang artinya ‘kebenaran abadi’ (righteousness forever) 
dari ‘yang tidak memiliki awal dan akhir’. Hindu itu tidak 
berawal dan tidak berakhir atau anadi ananta. Dikisahkan, 
orang-orang Persia yang pernah menyerang India pada abad 6 
sebelum masehi, dianggap memberikan nama Hindu yang 
berakar dari kata ‘Indus’. Beberapa ahli mengatakan kata ini 
berasal dari satu kata Persia yang berarti ‘sungai rakyat’. 
Anggapan ini ada benarnya, karena pada saat itu, peradaban 
Hindu hidup di lembah sungai Shindu. Dengan nama 
‘Sanathana Dharma’, agama Hindu menyatakan dirinya 
kepada dunia bahwa kebenaran abadi akan ada untuk 
selamanya, dan para Reshi ,
Secara teologis, agama Hindu tidak mengenal ‘satu 
sistem kepercayaan tunggal apalagi mutlak yang disusun 
demi dan untuk menyeragamkan keyakinan’, namun Hindu 
menjadikan dirinya sebagai rumah besar tumbuh suburnya 
kemajemukan tradisi keagamaan di India.  
Mahkamah Agung India pernah menyatakan bahwa: 
“Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu 
tidak mengklaim satu nabi saja, tidak memuja satu 
dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, 
tidak mengikuti atau mengadakan satu ritus 
keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri agama Hindu itu 
tidak seperti agama atau kepercayaan lain pada 
umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama Hindu itu 
merupakan suatu jalan hidup”. 
Konsep ketuhanan dalam agama Hindu juga tidak 
pernah seragam. Beberapa aliran besar yang bersifat monoteis, 
dibiarkan mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa. Sementara 
aliran lainnya yang bersifat monisme, yang memandang 
bahwa para dewa sebagai manifestasi beragam dari Tuhan 
Yang Maha Esa (ekam sat wiprah bahuda wadanti). Bahkan 
Tuhan juga digambarkan dengan sahasra namam (seribu nama) 
dan sahasra rupam (seribu wajah).  
Beberapa aliran Hindu yang bersifat pantheistik, 
sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita yang 
meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta, 
namun alam semesta bukanlah Tuhan. Beberapa filsafat 
Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) 
tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun 
beberapa umat Hindu memandang Hinduisme tak lebih dari 
sebuah filsafat, bukan agama sebagaimana pengertian umum.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu 
sistIm apalagi satu jalan yang diklaim untuk mencari 
‘keselamatan’ (salvation), namun menggunkan sejumlah aliran 
dan berbagai bentuk tradisi keagamaan. Sementara dalam 
beberapa tradisi Hindu lainnya, juga mengandalkan ritus 
tertentu sebagai hal yang sangat penting demi keselamatan. 
Namun berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir 
secara berdampingan, saling melengkapi.  
Salah satu ciri pokok agama Hindu adalah 
kepercayaan terhadap reinkarnasi (samsara, punarbhawa atau 
siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma. Dan 
gagasan tentang ‘keselamatan’ adalah kondisi saat individu 
terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Inilah yang 
disebut Moksha, tujuan tertinggi setiap umat Hindu, namun 
pada saat bersamaan juga menganjurkan untuk menemukan 
kebahagiaan di dunia. Penggambaran tujuan ini 
diinternalisisasikan melalui kalimat Mokshartam jagathita ya ca 
iti dharma yang mengandung tuntunan agar umat Hindu 
dapat menemukan kebahagiaan abadinya di dunia maupun  
di akhirat dengan jalan dharma (kebenaran). Berdasarkan hal-
hal seperti ini, agama Hindu dipandang sebagai agama yang 
paling kompleks dari seluruh peradaban  yang masih 
bertahan hingga saat ini. 
Namun demikian, selain beragam perbedaan yang 
dapat teramati, sebenarnYa terdapat persamaan dalam 
Hindu. Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Wiwekananda, 
                                                          
ada kesatuan fundamental dalam tubuh Hinduisme yang 
mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk 
pelaksanaannya. Pada umumnya, umat Hindu mengenal 
berbagai nama dan gelar seperti Wisnu, Siwa, 
Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara.  
Beberapa aliran memandang nama dan gelar tersebut 
sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang 
Maha Kuasa, sehingga agama Hindu akhirnya dapat 
dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan 
dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi atau 
makhluk surgawi yang dipandang tidak setara dengan Yang 
Maha Kuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya 
sebagai manifestasi dari Yang Maha Kuasa.  
Meskipun dalam Hindu meyakini Weda, namun 
beberapa kelompok puritan, ingin mengembalikan ajaran 
Weda seperti di masa lalu, sedangkan beberapa aliran yang 
lain mengabaikannya. Di India, sekte Hindu 
seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, namun 
masih memiliki kepercayaan akan Siwa. Sebaliknya, 
sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang 
disebut Akilattirattu Ammanai, namun masih meyakini Tuhan 
yang sama dalam Hindu, contohnya Narayana dan Laksmi 
yang memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi 
Hindu pada umumnya.  
Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi Hindu yang 
mengagungkan Wisnu, Narayana atau Krishna 
disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa 
disebut Saiwa (Saiwisme). Jika dilihat dari luar, dua aliran besar 
ini, Waisnawa dan Saiwa, memiliki konsep tersendiri tentang 
Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran 
Waisnawa dan Saiwa dipandang sebagai aliran keagamaan 
yang mandiri, sebenarnya ada kadar interaksi dan saling acu 
antara para teoritikus dan pujangga dari masing-masing 
tradisi. Hal ini mengindikasikan adanya rasa jati diri yang 
lebih luas, koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi 
dalam kerangka dan garis besar kepercayaan secara umum.  
Aliran, jika harus terpaksa menyebutnya seperti itu, 
dalam agama Hindu dapat digolongkan ke dalam beberapa 
kelompok. Jika merunut pada sistem darsana atau kefilsafatan 
Hindu yang dikenal dengan Nawa Darsana, maka hanya ada 
dua yang popularitasnya masih bertahan saat ini, yaitu 
Wedanta dan Yoga.  
Saat ini, ada beberapa kelompok besar yang masih 
bertahan, yaitu Waisnawa, Saiwa, Sakta, Saura (Surya) dan 
Smarta. Aliran atau mazhab besar ini sebagaimana yang hidup 
di India, juga dianut oleh umat Hindu yang ada di negarakita. 
Dalam beberapa fase perkembangan agama Hindu di 
negarakita, lalu memuncak pada masa reformasi, muncul 
kelompok-kelompok spiritual yang membawa anasir baru, 
terutama praktik penghayatan melalui ritual, doa, dan 
pemahaman agama. Sebut saja yang terkenal Hare Krishna, 
Sai Baba, dlsb. Sebelum masuknya kelompok-kelompok 
spiritual seperti ini, di negarakita sudah lama juga berkembang 
berbagai kelompok keagamaan yang dianggap berakar dari 
tradisional, misalnya Siwa Siddhanta, Waisnawa, Bairawa, 
Tantra, dlsb.  
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok spiritual 
dan kelompok tradisional pernah juga mengalami ketegangan. 
Namun seiring berjalannya waktu, perjumpaan antara 
kelompok spritual dan tradisional menjadi semakin baik, 
meskipun letupan-letupan kecil masih sering ditemukan. 
Memang munculnya kelompok spiritual awalnya 

menimbulkan reaksi negatif dari kelompok tradisional yang 
umumnya sangat mengutamakan ritual dan tidak begitu 
intens dengan membaca kitab suci. Tetapi saat ini, hubungan 
dua kelompok tersebut sudah mencair.  
Untuk menggali informasi yang lebih mendalam 
tentang keberadaan dari kedua kelompok tersebut, maka 
dianggap penting untuk dilakukan penelitian lapangan 
sebagai satu cara untuk membaca kembali bagaimana 
keberadaan mereka dan apa dampak yang akan ditimbulkan 
terhadap kehidupan keagamaan, khususnya di internal agama 
Hindu maupun antar umat beragama di negarakita. Oleh 
karena itu, sesuai dengan tugas dan fungsinya, Pusat 
Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan 
berkepentingan untuk melakukan penelitian dengan fokus 
studi pada kelompok spiritual dan kelompok tradisional 
dalam Agama Hindu.  
 
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian 
Keberadaan kelompok spiritual dan tradisional dalam 
Hindu pernah mengalami dinamika. Ada pergulatan yang 
cukup sering terjadi antara keduanya. Boleh jadi, dinamika 
dalam pergulatan ini dapat berdampak terhadap kehidupan 
keagaman baik intern maupun antarumat beragama di 
negarakita.  
Fenomena ini belum diungkap secara mendalam 
melalui sebuah kajian, termasuk bagaimana kedua kelompok 
ini berstrategi agar terus dapat hidup berdampingan dan 
saling melengkapi, serta berkontribusi aktif dalam menjaga 
harmonisasi kehidupan keagamaan. Untuk mengetahui secara 
mendalam masalah ini, pertanyaan kunci yang dirumuskan 
dalam penelitian ini adalah: 
Bagaimana keberadaan kelompok spiritual dan tradisional 
dalam agama Hindu saat ini? 
Apa dampak keberadaan kelompok spiritual dan tradisional 
dalam Agama Hindu terhadap kehidupan keagamaan? 
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini 
bertujuan untuk mendeskripsikan kembali secara lengkap 
keberadaan kelompok spiritual dan tradisional dalam agama 
Hindu serta mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh 
keberadaan kedua kelompok terhadap kehidupan keagamaan 
di negarakita. Hasil penelitian ini diharapkan dapat 
dimanfaatkan oleh berbagai pihak terkait yang 
berkepentingan, antara lain: 
1. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Ditjen 
Bimas Hindu, Pembimas, Penyuluh) 
2. Majelis Agama (PHDI Pusat dan Daerah) 
3. Lembaga Keagamaan (BPH, WHDI, Peradah) 
4. Kelompok-kelompok spiritual dan tradisional.  
5. Para akademisi dan pihak lain yang terkait 
 
Metodologi Penelitian 
Lokasi dan Waktu 
Lokasi penelitian ini dilakukan di delapan daerah yang 
dianggap mewakili penganut agama Hindu, baik dari 
kelompok spiritual maupun tradisional. Penelitian kelompok 

spiritual dilakukan di Bandar Lampung, Lampung; Jakarta 
Pusat, DKI Jakarta; Klaten, Jawa Tengah; dan Surabaya, Jawa 
Timur. Penelitian kelompok tradisional dilakukan di Cimahi, 
Jawa Barat; Denpasar, Bali; Mataram, Nusa Tenggara Barat; 
dan Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Penelitian lapangan 
dilakukan selama tiga bulan, dimulai dari Januari hingga 
Maret 2016.  

Kelompok dalam sosiologi diartikan sebagai 
kumpulan orang secara fisik, misalnya, sekelompok orang 
atau sejumlah orang yang mempunyai ciri-ciri tertentu 
atau sejumlah orang yang memiliki pola interaksi yang 
terorganisasi dan terjadi secara berulang-ulang atau setiap 
kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan 
keanggotaan dan saling berinteraksi , kelompok diartikan sebagai sejumlah individu 
yang berkomunikasi satu dengan yang lain dalam 
jangka waktu tertentu yang jumlahnya tidak terlalu 
banyak, sehingga tiap orang dapat berkomunikasi dengan 
semua anggota secara langsung 
Sedangkan ahli sosiologi lainnya, Robert Merton 
(1968) mengartikan kelompok sebagai sekelompok orang 
yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang 
telah mapan, sedangkan kolektiva merupakan orang yang 
mempunyai rasa solidaritas karena berbagai nilai bersama 
dan yang telah memiliki rasa kewajiban moral untuk 
menjalankan harapan peran.  
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan 
bahwa kelompok adalah sekumpulan orang yang 
mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama 
lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama 
lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari 
kelompok tersebut. Kelompok ini misalnya 
adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan 
masalah, atau suatu komite yang tengah berapat 
untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi 
kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. 
Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi 
berlaku juga bagi komunikasi kelompok.  
 
2. Teologi Hindu 
Agama Hindu tidak mengenal satu sistem 
kepercayaan yang tunggal, apalagi dengan maksud 
menyeragamkan keyakinan. Hindu juga tidak mengenal 
klaim sentral atas satu figur (nabi). Dalam filsafat 
ketuhanannya, Hindu tidak memuja satu dewa, tetapi 
meyakini Tuhan itu satu saja. Mereka tidak mengikuti atau 
mengadakan satu ritus keagamaan saja, tidak mengenal 
satu jalan absolut keselamatan (salvation) dan tidak 
mengenal doktrin sentral atau kredo.  
Oleh karena itu, dalam agama Hindu peluang untuk 
lahirnya berbagai kelompok-kelompok keagamaan dapat 
melalui dua jalur utama, yaitu filsafat Ketuhanan praktik 
keagamaan. Agama Hindu tidak hanya kaya akan konsep 
ketuhanan tetapi juga kaya akan konsep filsafat atau 
darsana yang identik dengan ‘visi kebenaran’ yang satu 
dengan yang lainnnya saling terikat.  
Filsafat Hindu memiliki karakter khusus yang 
menonjol, yaitu kedalaman pembahasannya yang 
mencerminkan bahwa filsafat itu telah dikembangkan 
dengan sepenuh hati dalam mencari kebenaran. Apabila 
kita ingin membuka karya lengkap mengenai Vedanta, 
misalnya, kita akan menemukan pernyataan dari 
pandangan seluruh aliran filsafat seperti Carvaka, 
Bauddha, Jaina, Saiikhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya dan 
Vaisesika, yang dibicarakan dan dipertimbangkan dengan 
ketelitian penuh tanpa ada kesan menyalahkan satu 
dengan yang lain. Demikian pula halnya karya agung 
mengenai filsafat Buddha atau Jaina, juga membicarakan 
pandangan filsafat lainnya.  
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi 
atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat 
luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh 
pengalaman spiritual mistis dan spiritual. Filsafat ini 
merupakan hasil kepekaan intuisi yang luar biasa. Sad 
darsana atau enam sistem filsafat Hindu merupakan 
sarana pengajaran yang benar atau enam cara pembuktian 
kebenaran. Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana 
adalah : 
a. Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan 
ajarannya ialah pada aspek logika. 
b. Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan 
ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun 
seseorang untuk merealisasikan sang diri. 
c. Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. 
Penekanan ajarannya ialah tentang proses 
perkembangan dan terjadinya alam semesta. 
d. Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan 
ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan 
pikiran untuk mencapai Samadhi. 
e. Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini 
dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual 
dan susila menurut konsep weda. 
f. Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir 
Weda. Wedanta merupakan puncak dari filsafat 
Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan 
Madhwa. Penekanan ajarannya adalah pada hubungan 
Atma dengan Brahma dan tentang kelepasan. Selain 
itu ada beberapa filsafat yang tidak mengakui otoritas 
Veda dan namun tetap mempercayai beberapa ajaran 
yang terdapat dalam Veda yaitu Carvaka, Jaina dan 
Buddha.   
                      
3. Kelompok Spiritual dan Kelompok Tradisional  
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan 
kelompok adalah kelompok spiritual dan kelompok 
tradisional yang terdapat dalam agama Hindu. Kelompok 
spiritual adalah sekumpulan orang atau umat Hindu yang 
mempelajari agama Hindu untuk mencari kesadaran akan 
Tuhan dan kadangkala mencari anugerah dari para dewa 
melalui mantra-mantra dan nanyian, cenderung berasal 
dari anasir India, dan biasanya menganut hidup 
vegetarian. Sedangkan kelompok tradisonal adalah 
kelompok umat Hindu yang mendekatkan dirinya kepada 
Tuhan dengan cara-cara lebih banyak melaksanakan ritual 
keagamaan sehari-hari baik di rumah maupun pura yang 
cenderung dilakukan secara komunal, kolektif.  
Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, ada 
satu ciri lain yang juga dilakukan oleh kedua kelompok, 
yaitu mengucapkan mantra. Mantra adalah seruan, 
panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar 
dapat memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa 
tertentu, melalui kata-kata, suara, dan lantunan nyanyian. 
Pada kelompok spiritual, biasanya melakukan japa sebagai 
praktik spiritual yang utama. Praktik spiritual Hindu lain 
yang populer adalah Yoga dan Bhajan. Yoga menjadi salah 
satu ajaran Hindu yang gunanya melatih kesadaran demi 
kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal ini 
dilakukan melalui seperangkat latihan dan pembentukan 
posisi tubuh untuk mengendalikan raga dan pikiran. 
Sedangkan Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-
lagu pujian.  
Kelompok tradisional dalam agama Hindu akan 
lebih banyak melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari 
di rumah, atau di pura tetapi pelaksanaannya berbeda-
beda tergantung daerah, desa, dan kecenderungan umat 
itu sendiri.Umat Hindu yang taat akan melaksanakan 
ritual sehari-hari melalui Tri Sandhya, yaitu sembhayng 
tiga kali dalam sehari (pagi-siang-sore); menyalakan dupa, 
menghaturkan sesajen ke hadapan Tuhan melalui berbagai 
manifestasinya, atau menyanyikan lagu-lagu pemujaan 
(kidung dan kakawin). 
   
Penelitian Terdahulu yang Relevan 
Sebenarnya Puslibang Kehidupan Kagamaan telah 
beberapa kali telah melakukan penelitian tentang agama 
Hindu. Penelitian itu antara lain:  
1. “Studi tentang  Agama Hindu di Kecamatan Sausu 
Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah” yang 
dilakukan oleh Choirul Fuad Yusuf dan Zaenal Abidin. 
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa 
terdapat dua aliran sempalan yang tumbuh di daerah 
tersebut, yaitu aliran Hare Krisna dan Sai Baba. Namun 
kedua aliran ini secara doktrinal tidak mengancam 
keberadaan sistem ajaran Hindu di daerah tersebut dan 
tidak meresahkan warga serta pola kehidupan 
beragama warga Hindu di Sausu cenderung sama 
dengan pola kehidupan beragama warga Hindu di 
Bali. Hal ini karena hampir seluruh pemeluk Hindu di 
Sausu memiliki latar sejarah keturunan warga Bali.  
2. “Aliran Sai Baba” yang dilakukan di Denpasar, Bali oleh 
Mursyid Ali. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa 
kelompok Sathya Sai Baba di Denpasar merupakan salah 
satu cabang dari Sri Sathya Sai Centre (pusat) di Jakarta 
yang mempunyai tujuan untuk mempelajari, 
melaksanakan dan mengembangkan ajaran  Sai Baba, dan 
melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kemanusiaan 
non komersial.  
3. “Ajaran Sampradaya Hare Krisna dalam Konteks Agama 
Hindu di Dusun Gita Nagari Baru Kec. Menggala Timur 
Kab. Tulang Bawang Propinsi Lampung” yang dilakukan 
oleh Ahsanul Khalikin. Dari penelitian tersebut ditemukan 
bahwa ajaran Sampradaya Hare Krisna mengusung 
konsep ajaran Weda mulai diwahyukan, yaitu "Moksartham 
Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama 
(dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani 
dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara 
lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di 
dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup 
manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa. 
Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Puslitbang 
Kehidupan Keagamaan tersebut nampaknya masih sangat 
minim sekali kajian tentang kelompok-kelompok keagamaan 
dalam agama Hindu. Oleh karena itu, penelitian yang 
 
dilakukan kali ini untuk mengembangkan lebih dalam kajian 
terhadap kelompok-kelompok dalam agama Hindu secara 
mendalam, serta menelusuri lebih dalam lagi tentang dampak 
keberadaan kedua kelompok terhadap kehidupan keagamaan 
di negarakita. 
 
 
Sekilas Provinsi Lampung  
Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 
dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31964 
yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 
1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan 
yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Secara 
administratif, Provinsi Lampung terdiri atas 14 
kota/kabupaten.2  
Berdasarkan data kependudukan tahun 2014, 
penduduk Provinsi Lampung telah mencapai 8.816.684 jiwa. 
Adapun komposisi penduduk berdasarkan agama terdiri atas: 
Islam (7.377.476 jiwa), Kristen (166.816 jiwa), Katolik (138.388 
jiwa), Hindu (988.908 jiwa), Buddha (135.096 jiwa). Sedangkan 
rumah ibadah yang ada di Porvinsi Lampung masing-masing 
terdiri atas: Masjid (10.550 Buah), Mushola (14.611), Gereja 
Kristen (884), Gereja Katolik (298), Pura (1.041), Vihara (181). 
(Data Kementerian Agama Provinsi Lampung Tahun 2014) 
Dari data tersebut terlihat jelas bahwa Provinsi 
Lampung merupakan salah satu provinsi di negarakita yang 
begitu plural warganya khususnya dalam hal keragaman 
agama. Sebagai provinsi yang dihuni oleh penganut agama 
yang beragam, kehidupan keagamaan intra dan antaragama 
                                       
di wilayah Provinsi Lampung relatif berlangsung rukun 
meskipun pernah terjadi peristiwa berdarah di Desa 
Balinuraga, Kecamatan Waypanji, Kabupaten Lampung 
Selatan. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh 
Ketua Umum MUI Kabupaten Lampung Selatan, KH. Hamim 
Fadhil, peristiwa tersebut bukanlah konflik agama antara 
umat Islam dan Hindu, melainkan peristiwa konflik antar 
desa yang kemudian terkesan difahami sebagai konflik 
agama.3   
Keberhasilan tersebut salah satunya dikarenakan para 
tokoh agama, tokoh warga, tokoh FKUB dan unsur 
Forkominda di provinsi dan daerah Kota Kabupaten se-
Provinsi Lampung secara intensif bekerjasama dan bersinergi 
dalam membangun dan merawat kerukunan umat beragama. 
Modal utama dalam membangun dan menjaga kerukunan 
adalah senantiasa membangun kebersamaan antar pemimpin 
agama dan berkomunikasi dengan warga untuk 
menjaring informasi dari warga serta sering 
mengundang para tokoh agama agama dalam rangka 
menyosialisasikan program untuk menyebarkan spirit 
kerukunan antar umat.4  
Kehidupan agama yang harmonis di Provinsi 
Lampung dihampir semua daerah memang sudah 
berlangsung sejak lama. warga saling menghormati satu 
sama lain keyakinan yang dipeluk oleh mereka. Pandangan ini 
                                                       
tidak hanya dikemukakan oleh para tokoh melainkan oleh 
anggota warga.5 Konteks keakraban hubungan 
antaragama tersebut misalnya tampak relasi antara umat 
Hindu dan umat Islam serta lainnya pada saat pawai ogoh-ogoh 
yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Provinsi Lampung 
khususnya di Kabupaten Lampung Tengah. Agenda 
tahun  Festival ogoh-ogoh dalam rangka menyambut Hari Raya 
Nyepi tersebut dilaksanakan oleh umat Hindu Sedarma  di 
Kecamatan Seputihraman, Kabupaten Lampung Tengah. 
Dalam perayaan tersebut, hadir Bupati Lampung Tengah, Dr. 
Ir. H. Mustafa, utusan Gubernur Lampung, sejumlah unsur 
Forkominda dan terutama warga dari berbagai latar 
belakang agama dan suku. Bahkan dalam pidatonya, Bupati 
Lampung Tengah menegaskan bahwa festival tersebut 
merupakan kekayaan daerah Kabupaten Lampung yang harus 
didukung oleh pemerintah.6  
 
Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita (SAKKHI) 
dalam Lintasan Sejarah 
Sebelum masuknya kelompok-kelompok spiritual, di 
negarakita sudah berkembang sekte-sekte, di antaranya Siwa 
Siddhanta, Waisnawa, Bairawa, dll. Dalam perkembangannya, 
kelompok spiritual dan tradisional pernah mengalami 
ketegangan. Seiring berjalannya waktu, muncul pula sebuah 
kelompok spiritual di negarakita yakni Sampradaya Kesadaran 
Krishna negarakita (SAKKHI) atau dikenal juga dengan 
                                                          
sebutan Hare Krishna, atau yang secara internasional dikenal 
dengan nama ISKCON (International Society for Krishna 
Consciousness/warga Kesadaran Krishna Internasional), 
didirikan pada tahun 1966 oleh Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta 
Swami Prabhupada, biasa dikenal dengan nama Srila 
Prabhupada. Perkumpulan ini melanjutkan sebuah tradisi 
spiritual purba yang mengakar pada Bhagavad-Gita dan 
kitab-kitab Veda. Tujuan ajaran ini adalah untuk 
membangkitkan kembali kesadaran Krishna, atau cinta kasih 
rohani kepada Tuhan, yang saat ini sedang berada dalam 
keadaan terpendam di hati setiap insan.7  
Perjumpaan antara kelompok spritual dan tradisional 
dalam perjalanannya menjadi semakin baik, meskipun 
letupan-letupan kecil masih sering ditemukan. Munculnya 
kelompok ini pada awalnya menimbulkan reaksi negatif dari 
kelompok tradisional yang umumnya sangat mementingkan 
ritual dan tidak mengenal kegiatan membaca kitab suci. 
Tetapi saat ini hubungan dua kelompok tersebut sudah 
mencair, walaupun di beberapa tempat masih terjadi 
ketegangan.  
SAKKHI ini seiring waktu terus mengalami 
perkembangan pesat. Kelompok spiritual ini dikenal luas 
sebagai perkumpulan Hare Krishna karena latihan utamanya 
yakni pengucapan maha-mantra: Hare Krishna, Hare Krishna, 
Krishna Krishna, Hare Hare, Hare Rama, Hare Rama, Rama Rama, 
Hare Hare. Mantra ini berasal dari kitab Kalisantarana 
Upanisad, salah satu bagian dari kitab-kitab Veda (Yajur 
Veda). Hare Krishna tersebar luas ke seluruh dunia atas jasa 
                                                          
Srila Prabhupada yang pada tahun 1965 meninggalkan India 
menuju Amerika Serikat untuk menyampaikan ajaran ini ke 
dunia Barat. Ajaran spiritual yang sangat ilmiah ini langsung 
memikat banyak pemuda Amerika yang frustrasi dengan 
kemapanan materialisme di Amerika Serikat. 
Mereka menekuni ajaran ini di bawah bimbingan Srila 
Prabhupada dan pada gilirannya mereka menyebarluaskan 
ajaran ini ke seluruh pelosok dunia. Srila Prabhupada, sang 
pendiri mengunjungi Jakarta pada 1973. Selama tahun 1980-
an, hanya ada dua pusat pengajaran di negarakita, satu di 
Jakarta (Rawamangun) dan satu di Bali. Perkembangan pada 
tahun-tahun tersebut tidak terlalu menggembirakan 
dikarenakan terjadi kekeliruan pemahaman umum terhadap 
apa yang dijalani oleh para anggota sehingga mereka tidak 
dapat melaksanakan praktik bhakti mereka secara terbuka. 
Keadaan pemerintahan juga tidak terlalu kondusif sehingga 
para anggota tidak melakukan kegiatan yang tampil di depan 
publik. Namun, pasca reformasi politik pada tahun 1998 
tepatnya pada tahun 2000 para anggota mengambil 
kesempatan untuk menyanyikan Mahamantra Hare Krishna 
di tengah khalayak umum di tempat-tempat umum, berbaur 
dengan demonstrasi-demonstrasi politik yang terjadi          
pada masa itu.
Pada 1 Januari 2002, didirikan SAKKHI untuk 
bertindak sebagai perantara antara pihak anggota 
perkumpulan yang jumlahnya terus bertambah dengan 
Dewan Hindu Dharma di negarakita (Parisada Hindu Dharma 
negarakita). Pada 2015, SAKKHI berubah menjadi sebuah 
badan hukum dan terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak 
Asasi Manusia Republik negarakita sebagai "Perkumpulan 
                                                          

International Society for Krishna Consciousness (ISKCON)". 
Perkumpulan ISKCON ini adalah Dewan Nasional untuk 
ISKCON di negarakita. Dewan tersebut berperan untuk 
mengatur dan melayani para anggota dan entitas lokal, 
khususnya dengan menyediakan informasi dan sumber daya 
dari dunia ISKCON global. Untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatannya, penyembah ISKCON membentuk Unit Kegiatan 
(temple/centre/nama-hatta) yang menjadi bagian dari 
Perkumpulan, dan mereka mengadakan pertemuan sekali 
setahun bersama Dewan Pengawas (7 penyembah dari 
seluruh negarakita yang mengawasi aktivitas organisasi), 
Dewan Pengurus (5 penyembah dan 7 departemen yang aktif 
melayani para penyembah) dan perwakilan dari GBC 
ISKCON.  
Governing Body Commission atau GBC adalah otoritas 
manajerial tertinggi ISKCON, sebagaimana telah didirikan 
oleh Srila Prabhupada pada 1970. Tanggungjawab utama GBC 
adalah menjaga, menyebarluaskan, dan melaksanakan 
perintah-perintah Srila Prabhupada. His Holiness Kavicandra 
Swami & His Holiness Ramai Swami adalah GBC bersama 
untuk negarakita.
 
Asrama Prahlada: Titik Balik Berdirinya SAKKHI 
Agama Hindu telah ada di Provinsi Lampung sejak 
lama bahkan sejak era raja-raja Nusantara. Provinsi Lampung 
tercatat sebagai salah satu provinsi yang mengalami 
perkembangan agama Hindu yang pesat dan bahkan 
termasuk provinsi kedua setelah Bali yang memiliki populasi 
penduduk beragama Hindu terbesar di negarakita. Umat 
                                                          
9 Lihat http://www.iskconid.org/iskcon-in-negarakita, diakses 10 Maret 2016. 
26
Hindu di Provinsi Lampung mayoritas beretnis Bali yang 
tersebar di 14 kota dan kabupaten di Provinsi Lampung 
dengan komposisi, sebagai berikut:  
1. Kabupaten Lampung Barat (7.921 jiwa);  
2. Kabupaten Tanggamus (16.791 jiwa);  
3. Kabupaten Lampung Selatan (244.264 jiwa);  
4. Kabupaten Lampung Timur (184.998 jiwa);  
5. Kabupaten Lampung Tengah (304.713 jiwa);  
6. Kabupaten Lampung Utara (32.131 jiwa);  
7. Kabupaten Way Kanan (55.863 jiwa);  
8. Kabupaten Tulang Bawang (69.381 jiwa);  
9. Kabupaten Pesawaran (29.190 jiwa);  
10. Kabupaten Pringsewu (10.617 jiwa);  
11. Kabupaten Mesuji (2.784 jiwa);  
12. Kabupaten Tulang Bawang Barat (8.650 jiwa);  
13. Kota Bandar Lampung (8.761 jiwa);  
14. Kota Metro (4.928 jiwa).  
(Data Kementerian Agama Provinsi Lampung Tahun 2014) 
Perkembangan ini diiringi dengan jumlah Pura yang 
tersebar pula di berbagai daerah di Provinsi Lampung guna 
memudahkan umat untuk beribadah di Pura yang jumlahnya 
sudah mencapai 1.041 Pura. Selanjutnya data lain menyangkut 
keberadaan Hindu di Provinsi Lampung, berdasarkan data 
Pembimas Hindu Kantor Wilayah Kementerian Agama 
Provinsi Lampung Tahun 2014, secara terperinci tergambar 
 27
berikut: 4 Penyuluh PNS, 95 Penyuluh non-PNS, 169 Guru, 2 
Pengawas Pendidikan. 
Sejarah keberadaan warga Hindu Bali di Provinsi 
Lampung dimulai sejak tahun 1950-an. Saat itu, Lampung 
masih merupakan sebuah Keresidenan yang tergabung 
dengan Provinsi Sumatera Selatan. Keberadaan warga Bali di 
Provinsi Lampung dimulai pada tahun 1952. Saat itu 
gelombang pertama transmigran asal Bali tiba di 'tanah 
harapan' ini lewat Pelabuhan Panjang Lampung. Gelombang 
pertama transmigran asal Bali ini berasal dari beberapa 
Kabupaten di Bali seperti Tabanan, Karangasem, dan 
Klungkung. Transmigran Bali yang datang pada tahun 1952 
ini kemudian menempati wilayah Seputih Raman di Lampung 
Tengah.  
Setelah gelombang pertama tahun 1952, gelombang 
kedua transmigran asal Bali datang ke Provinsi Lampung 
tahun 1963-1964, pasca letusan Gunung Agung di Bali. 
Gelombang kedua transmigran asal Bali tahun 1963 ini 
mendiami wilayah Lampung Selatan, termasuk warga Desa 
Balinuraga yang berkonflik dengan warga lain beberapa 
waktu ini. Seperti halnya gelombang pertama, transmigran 
asal Bali yang datang tahun 1963 ini juga mampu bertahan 
hidup di tengah kerasnya kondisi alam di belantara Lampung 
waktu itu. Berkat keuletan serta kegigihannya, mereka bisa 
bertahan hidup dan sukses menjadi petani di perantauan. Kini 
warga asal Bali sudah tersebar di 14 Kabupaten/Kota di 
Lampung.10  
Dari berbagai kelompok pendatang di Lampung, etnis 
Bali (pemeluk Hindu) memiliki ciri khas yang menonjol yakni 
                                                          

ke-Bali-annya. Mereka dapat “membali” atau menjadi Bali di 
Lampung. Meskipun mereka berbaur satu sama lain dengan 
etnis dan agama yang berbeda, namun Ikatan sosial dengan 
tanah leluhur tetap dipertahankan demi kelestarian identitas 
ke-Bali-annya. “Membali” di Lampung tentu saja merupakan 
sebuah proses pembentukan identitas ke-Bali-an komunitas 
Hindu di Lampung. Hal tersebut memang 
sangat nampak pada saat warga Hindu Lampung merayakan 
festival Ogoh-Ogoh dengan menampilkan elemen-elemen 
kebudayaan Bali termasuk dalam hal busana yang dikenakan 
oleh warga Hindu di Lampung.  
Namun demikian, dari penggambaran tentang 
keberadaan umat Hindu beretnis Bali di Provinsi Lampung 
tersebut, tidak seluruhnya dapat dikategorikan sebagai umat 
Hindu Bali yang cukup kuat nuansa ritual keagamaannya 
atau dalam bahasa lain disebut sebagai Hindu Umum atau 
Hindu Tradisional. Di antara mayoritas Hindu Umum 
tersebut terdapat beberapa kelompok spiritual yang 
mempraktikan keberagamaannya dengan cara yang berbeda 
meskipun sebagian besar sama-sama berlatar-belakang etnis 
Bali dan tetap tidak mengabaikan dan meninggalkan tradisi 
dan perayaan yang termasuk ke dalam kekhasan kelompok 
warga Hindu Umum.
 
Perkembangan SAKKHI dan Asrama Prahlada  
Perkumpulan Sampradaya Hare Krishna tercatat telah 
memiliki lebih dari 30 temple/center di negarakita dengan lebih 
dari 4000 pengikut yang tersebar di beberapa daerah termasuk 
di Provinsi Lampung (Media Kit Iskcon Sakkhi: 2). Di Provinsi 
Lampung terdapat 3 yayasan yang merupakan bagian dari 
Perkumpulan Hare Krishna. Namun dalam penelitian ini 
hanya satu perkumpulan yang diteliti lebih mendalam yakni 
sebagai berikut: Asrama Prahlada. 
Asrama Prahlada didirikan pada tanggal 7 Desember 
1998 oleh 3 serangkai yakni HM Bhakti Raghava Swami, HG 
Gaura Mandala Bumhi, dan Angalata Devi Dasi. Asrama ini 
berada di bawah payung Yayasan Prahlada. Asrama ini 
dibangun sehubungan dengan meningkatnya jumlah anggota 
yang tergabung ke dalam SAKKHI di bawah naungan 
Yayasan Prahlada. Asrama ini terdiri atas dua buah bangunan 
tempat tinggal untuk anggota laki-laki dan perempuan, satu 
bangunan dapur umum untuk kegiatan masak dan makan 
bersama. Adapun pembiayaan pembangunan asrama 
termasuk pengadaan tanahnya sepenuhnya menjadi tanggung 
jawab ketiga pendiri Yayasan Prahlada. Sedangkan untuk 
biaya sehari-hari dan perawatan asrama menjadi tanggung 
jawab dari para anggota yang mendiami asrama tersebut. 
Sebelum dibangun asrama ini, para anggota awalnya 
melakukan pertemuan di kampus Universitas Negeri 
Lampung kemudian pindah ke tempat lain yang lokasinya 
berada di Kampung Baru, sama seperti letak asrama 
Prahlada.  
Saat ini, asrama Prahlada yang berlokasi di Jl. Bumi 
Manti No. 96 Kampung Baru, Kota Bandar Lampung didiami 
oleh 20 orang anggota yang masih tergolong mahasiswa. 
Mereka tidak hanya menjadikan asrama sebagai tempat 
tinggal layaknya tempat kost mahasiswa pada umumnya. 
Namun mereka melakukan aktifitas-aktifitas pengkajian kitab 
Bhagavad Gita dan kitab-kitab lainnya secara rutin termasuk 
melakukan ibadah bersama. Namun demikian, asrama 
tersebut bukanlah tempat ibadah bagi mereka mengingat 
tempat ibadah anggota Sampradaya Kesadaran Krishna 
adalah di temple-temple yang menjadi tempat suci bagi 
anggota kelompok spiritual tersebut.14  
Dalam hal administrasi dan registrasi kelembagaan, 
hingga saat ini keberadaan organisasi Yayasan Prahlada 
belum terdaftar di Ditjen Bimas Hindu dan Kesbangpol 
setempat, dan baru sebatas akta notaris pendirian yayasan. 
Namun demikian, sebagai kelompok yang termasuk ke dalam 
agama Hindu maka Yayasan Prahlada ini bernaung di dalam 
organisasi Parisada Hindu Dharma negarakita. 
                                                         
Ciri Pokok Ajaran SAKKHI 
Teologi 
Sebagai pelaksana ajaran Krishna, para pengikut ajaran 
ini memiliki salah satu tujuan hidup mengembalikan 
keyakinan semua orang kepada Tuhan dan Tuhan yang di 
diyakini oleh pengikut SAKKHI adalah Tuhan Krishna 
sebagai entitas tertinggi dan bahkan lebih tinggi dari Tri 
Murti. Dengan demikian maka posisi Tuhan Krishna dalam 
konsep teologis ajaran SAKKHI sungguh berada dalam posisi 
yang sangat supreme bahkan melampaui posisi Sang Hyang 
Widi Wase yang oleh pemeluk Hindu umum atau Hindu 
tradisional di negarakita sebagai entitas tertinggi. Adapun 
kedudukan Trimurti yakni Syiwa, Brahma dan Whisnu adalah 
dewa-dewa yang diperintahkan Tuhan Krishna untuk 
mengatur alam semesta sesuai dengan tugas dan 
kedudukannya masing-masing. 
Dalam ajaran SAKKHI, Tuhan dikenal dalam tiga 
aspek atau dikenal dengan sebutan Keinsafan Tuhan, yakni 
Pertama, Bhagavan. Bagawan merupakan Tuhan yang 
berwujud atau memiliki wujud dalam bentuk Krishna. 
Bagawan ini dalam konsep teologi ajaran SAKKHI menempati 
kedudukan paling tinggi. Kedua, Paramatma. Paramatma 
merupakan aspek Tuhan yang berada di setiap hati makhluk 
hidup dan hati diartikan sebagai sumber kehidupan. 
Paramatma ini berada pada kedudukan tertinggi kedua 
setelah Bagawan. Ketiga, Brahman. Brahman tidak berwujud 
tetapi sinar yang disebut Brahmajoti atau aspek Tuhan 
Krishna dalam bentuk sinar. Sang Hyang Widi Wase termasuk 
dalam tingkatan Tuhan yang disebut sebagai Brahman.  
Di samping itu, Sri Krishna juga diyakini sebagai 
perwujudan keabadian, pengetahuan dan kebahagiaan. Sri 
Krishna adalah Personalitas Tertinggi Tuhan Yangg Maha Esa, 
Sang Pengendali semua pengendali bawahan lainnya dan 
merupakan sumber semua inkarnasi atau penjelmaan Tuhan. 
Sri Krishna tidak memiliki asal mula atau sumber, melainkan 
Sri Krishna adalah sumber segalanya dan sebab dari segala 
sesuatu. Dengan demikian, Bhagavan sebagaimana telah 
disebut di atas, merupakan sosok bercahaya sendiri yang 
patut dipuja, Kebenaran Mutlak Tertinggi dan perwujudan 
kebahagiaan abadi. Dia sibuk dalam kegiatan rohani bersama 
potensi internal-Nya di tempat tinggal kekal milik-Nya sendiri 
dan Dia tidak memiliki hubungan langsung dengan alam 
material yang bersifat mati.
Konsep teologis ini dijelaskan oleh A.C. Bhaktivedanta 
Swami, Pendiri Ajaran Sampradaya Kesadaran Krishna dalam 
kata pengantar panjangnya di dalam kitab Bhagavad Gita 
Menurut Aslinya, “Sri Krishna merupakan kepribadian Tuhan 
Yang Maha Esa sebagaimana dibenarkan oleh seua acarya 
atau para guru kerohanian yang mulia seperti Sankaracarya, 
Ramanujacarya, Madvhacarya, Nimbarka Swami, Sri Caitanya 
Mahaprabhu dan banyak penguasa pengetahuan Veda 
lainnya. Sri Krishna sendiri membuktikan bahwa Sri Krishna 
merupakan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa dalam 
Bhagavad Gita dan Sri Krishna diakui demikian dalam 
Brahma-Samhita dan semua Purana khususnya dalam Srimad-
Bhagavatam yang terkenal dengan judul Bhagavata Purana.” 
(Kitab Bhagavad Gita Menurut Aslinya, 1971: 3). 
                                                          
15 Wawancara dengan I Wayan Ardika, I Kadek dan I Nyoman, pengurus 
Asrama Prahlada, tanggal 6 Maret 2016. 
Inilah yang membedakan dengan Hindu Umum atau 
Hindu Tradisional yang umumnya mengakui Sang Hyang 
Widi Wasa atau Brahman sebagai Tuhan dan Trimurti 
merupakan dewa penjelmaan dari Brahman.  
 
Etika dan Moralitas 
Dalam ajaran SAKKHI, menurut Kadek Setiawan16 
terdapat 4 prinsip yang harus dijalankan oleh pengikutnya 
yakni:  
a. Tidak memakan daging, ikan dan telur. Prinsip ini terkait 
dengan prinsip menghargai kehidupan;  
b. Tidak Mabuk-mabukan;  
c. Tidak Berjudi;  
d. Tidak Berzina.  
Di samping keempat prinsip tersebut, dikenal pula 4 
pilar keyakinan yang terdiri atas welas asih, kejujuran, 
kesucian, dan pertapaan/pengendalian diri. Keempat pilar 
kehidupan rohani tersebut juga harus dijalankan dan setiap 
anggota harus berlatih untuk menjalankan keempat pilar 
tersebut. Untuk memperkokoh prinsip-prinsip tersebut dan 
untuk memusatkan pikiran dan indera-indera pada 
pencapaian spiritual, anggota harus mengikuti aturan-aturan 
dasar yakni diet vegetarian yang ketat, dan tidak melakukan 
keempat larangan sebagaimana telah disebut di atas. 
Mereka meyakini bahwa sumber daya alam, 
lingkungan, dan tubuh manusia adalah pemberian suci dari 
Tuhan dan harus dikelola dengan penuh tanggungjawab. 
                                                          
Filosofi Vaisnawa sebagai akar Hare Krishna mengajarkan 
bahwa setiap mahluk hidup saling memiliki jalinan 
hubungan, dengan Krishna sebagai yang tertinggi. 
Penyembah Krishna menghormati hak hidup binatang, dan 
menjalani pola makan seminimal mungkin melakukan  
kekerasan dan eksploitasi. Oleh karena itu, mereka 
memandang bahwa vegetarianisme dengan keuntungan 
ekologi, sosial dan kesehatan yang tidak terhitung besarnya 
merupakan pola hidup yang cocok untuk mengembangkan 
cinta kasih. 
 
Sumber Ajaran 
Dalam hal kitab suci yang menjadi sumber ajarannya, 
ajaran Pokok umat Hindu pengikut Sampradaya Kesadaran 
Krishna negarakita secara umum tidak berbeda dengan 
sebagian besar pemeluk agama Hindu yang menjadikan Veda 
dan Bhagavad Gita sebagai sumber ajaran pokok. Pengikut 
kelompok ini mendasarkan filosofinya pada kesusasteraan 
Veda yang meliputi Bhagavad Gita, 30 Jilid Srimad 
Bhagavatam, dan 17 jilid Caitanya-caritamrita. Pembelajaran 
kitab-kitab ini berlangsung setiap hari. dan kelas-kelas khusus 
biasanya diberikan pada saat perayaan tertentu maupun 
kegiatan-kegiatan mingguan. 
 
Ciri-ciri atau simbol keseharian 
Ciri-ciri atau simbol yang nampak dalam keseharian 
pengikut Sampradaya Kesadaran Krisna negarakita adalah 
sebagai berikut:  
a. Kalung Kantimala yang dikenakan di leher. Kalung ini 
wajib dipakai oleh setiap pengikut;  
b. Tilaka atau tanah liat yang sudah diayak yang warnanya 
nampak keputihan dan dikenakan di bagian wajah 
tepatnya dibubuhkan di antara kedua mata hingga ke 
bagian hidung bagian atas;  
c. Pakaian sembahyang bernama Doti untuk laki-laki dan 
baju sari digunakan oleh perempuan. Namun demikian 
pakaian ini bukan keharusan karena bisa juga 
menggunakan pakaian lain sesuai adat daerah.17  
Di samping itu hal lain yang tampak pada ajaran 
SAKKHI adalah adanya perbedaan dengan Hindu Umum 
atau Hindu Tradisional yakni mereka menganggap suci 
pohon tulasi sehingga di depan altar sembahyangnya 
diletakkan pohon tersebut. Sedangkan di Hindu tradisional 
pohon yang dianggap suci adalah pohon beringin. Selain itu, 
di depan altar sembahyang diletakkan pula gambar-gambar 
guru dan patung Hare Krisna yang dianggap sebagai 
Tuhannya. 
Penjelasan dari peletakan gambar dan patung tersebut 
dilandasi oleh keyakinan mereka bahwa Sang roh dianggap 
mempunyai hubungan yang kekal dengan Hare Krisna 
melalui pengabdian suci bhakti yang bersifat rohani. Dengan 
menghidupkan kembali bhakti yang murni, seseorang dapat 
kembali kepada Hare Krisna di alam rohani (Bhagavadgita, 
Bab IX). 
 
 
                                                        
Tradisi Keagamaan/ritual/Ritual Keagamaan/Hari Besar 
Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita merupakan 
kelompok yang mengikuti tata cara aturan murni dari India 
dengan ciri-cirinya, sebagai berikut:  
a. Membaca kitab suci Bhagavat Gita dan kitab Purana 
sebanyak 2 kali di siang dan malam;  
b. Melakukan sembahyang rutin sebanyak 2 kali setiap hari 
dan 3 kali di setiap hari minggu di pagi, siang dan malam;  
c. Mengucapkan nama suci Tuhan Krishna dengan 
bernyanyi memakai bahasa India, pagi mulai jam 05.00 
hingga jam 05.45 dan malam hari pada jam 18.30;  
d. Sarana sembahyangnya meliputi: api, dupa, bunga, air, 
minyak, kapas, hio dan wangi-wangian serta gambar foto 
atau patung Hare Krisna dan para guru yang diletakkan di 
altar depan tempat ibadah.  
e. Melakukan pola makan vegetarian;  
f. cara berpakaian dalam sembahyang mengikuti pola dari 
India. 
Selain itu, di dalam ajaran Sampradaya Kesadaran 
Krishna negarakita ini juga terdapat beberapa tradisi 
keagamaan maupun perayaan-perayaan, sebagai berikut:  
a. Krishna Janmastami. Kemunculan Krishna merupakan 
hari yang paling suci bagi penyembah Krishna. Kuil 
merayakan hari ini dengan pemujaan khusus dan 
program-program yang meliputi tarian-tarian tradisional, 
pengucapan nama suci, drama dan makan bersama. 
Mereka juga berpuasa hingga tengah malam kemudian 
 
berbuka puasa dengan hidangan yang tidak mengandung 
biji-bijian untuk memperingati kemunculan Tuhan di 
dunia;  
b. Perayaan Lahirnya Srila Prabhupada dan Guru-Guru Suci. 
Perayaan ini dirayakan setelah Krishna Janmastami. Di 
hari lahir para guru suci tersebut, pengikut Hare Krishna 
memberikan pelayanannya untuk menunjukan rasa 
syukur dan apresiasi bagi Srila Prabhupada yang telah 
menyebarkan pengetahuan tentang Krishna ke seluruh 
dunia. Para penyembah Krishna berkumpul untuk 
mengenang Srila Prabhupada dengan melakukan makan 
bersama di siang hari;  
c. Rathayatra. Acara yang penuh kebahagiaan ini didasarkan 
pada tradisi turun temurun “festival menarik kereta ini 
dirayakan di seluruh negarakita;  
d. Ekadasi. Ekadasi merupakan hari raya suci yang 
dirayakan dengan cara berpuasa sebulan dua kali sesuai 
dengan kalender waisnawa. 
Selain perayaan-perayaan dan tradisi keagamaan 
lainnya yang dikerjakan, mereka pada umumnya berasal dari 
etnis Bali dan berada dalam keyakinan sebagai Hindu Umum, 
tidak mengabaikan sepenuhnya apa yang harus dan tidak 
diperbolehkan seperti dalam ajaran Hare Krishna. Mereka 
juga tetap merayakan hari raya nyepi dan galungan serta 
melakukan puasa sebagaimana dilakukan oleh umat Hindu 
pada umumnya. 

Strategi Mempertahankan dan Mengembangkan 
Eksistensi SAKKHI 
Dalam mempertahankan dan mengembangkan 
ajarannya, para anggota melakukan beberapa kegiatan 
maupun proyek komunitas dan aktif di kegiatan-kegiatan 
sosial. Mereka berprinsip untuk tidak melakukan misi 
penyebaran sehingga jikapun ada yang tertarik untuk 
bergabung semata-mata bukan karena diajak melainkan 
karena kesadaran dan ketertarikan seseorang untuk menjadi 
anggota atau pengikut. Sebagaimana telah disinggung 
sebelumnya, bahwa di era sebelum reformasi politik tahun 
1998, ajaran ini relatif sulit melakukan aktifitas pengembangan 
dikarenakan situasi politik yang kurang kondusif. Namun 
seiring waktu, di era dan pasca reformasi tersebut mereka 
mulai menunjukan eksistensinya melalui aktifitas 
menyanyikan lagu Hare Krishna dengan iring-iringan anggota 
maupun pengikut.      
Selain kegiatan-kegiatan di ruang publik, dalam 
rangka mempertahankan eksistensi tersebut, mereka juga 
mempraktikan kesadaran Krishna di rumah-rumahnya 
masing-masing. Hal tersebut sangatlah efektif meskipun ada 
saja tantangan dari orang-orang terdekat termasuk orang 
tuanya yang umumnya berlatar belakang Hindu Umum atau 
Hindu Spiritual.  
 

Pola kepemimpinan yang berlangsung di Prahlada 
mencerminkan pola kepemimpinan yang berlangsung di 
tubuh Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita pada 
umumnya yang memberikan kesempatan kepada 
kepemimpinan lokal untuk mengatur sendiri aktifitas 
keorganisasiannya. Adapun pada tingkat nasional, Yayasan 
SAKKHI mengikuti otoritas Governing Body Commision atau 
Badan Pengatur yang dibentuk oleh Srila Prbhupada untuk 
mengawasi aktivitas dari komunitas internasional. Komite 
kerohanian ini terdiri atas penyembah-penyembah Krishna 
yang senior yang bekerja bersama-sama sebagai sebuah badan 
untuk membina organisasi. 
 
Pola rekrutmen dan persyaratan pengurus atau anggota 
Satu hal yang menarik dalam hal kepengurusan adalah 
adanya pelibatan pengikut yang masih tergolong usia muda 
untuk masuk dan aktif dalam struktur kepengurusan yayasan. 
Dengan demikian maka proses kaderisasi kepemimpinan 
betul-betul dijalankan oleh kalangan tua di dalam kelompok 
spiritual Sampradaya Kesadaran Krishna ini. Di samping itu, 
terkait dengan pola rekrutmen yang terjadi, sebagaimana 
informasi yang berhasil digali, diperoleh keterangan bahwa 
pola rekrutmen yang dilakukan adalah melalui kegiatan-
kegiatan penerangan ajaran Sampradaya Kesadaran Krishna 
baik yang bersifat individual maupun kelompok tanpa 
menggunakan metode penyiaran dan pemaksaan. Mereka 
memandang bahwa berkeyakinan merupakan sebuah hal 
yang tidak dapat dipaksakan dan harus muncul dari dalam 
kesadaran diri.  
Selanjutnya dikarenakan begitu kuatnya kegiatan 
pembacaan dan pengkajian Kitab Bhagavad Gita yang 
dilakukan oleh kalangan muda di kelompok spiritual ini, 
maka menjadi penanda bahwa apa yang dilakukan oleh 
Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita ini membawa 
haluan baru dan ketertarkan baru di kalangan generasi muda 
yang ingin menjadi memahami, mendalami dan menyelami 
 
makna kitab tersebut. Dalam hal keanggotaan, etnis Bali 
sangat dominan menjadi anggota pengikut Sampradaya 
Kesadaran Krishna ini. Adapun jumlah anggota secara 
keseluruhan di dalam Yayasan Prahlada ini adalah sebanyak 
20 orang anggota.
 
Konflik Internal dan Relasi SAKKHI dengan 
Pemerintah dan warga 
Selanjutnya dalam hal relasi pengikut Sampradaya 
Kesadaran Krishna negarakita di Yayasan Prahlada ini dengan 
mazhab yang berbeda dan umat pemeluk agama lain 
termasuk dengan pemerintah dan warga berlangsung 
baik dan harmonis. Sejauh ini dengan mazhab lain tidak ada 
masalah dan hidup saling hormat menghormati. (I Nyoman 
Sudiarsa. Wawancara. 5 Maret 2015). Hal ini dikemukakan 
pula oleh Ketua RT di lingkungan tempat domisili Asrama 
Prahlada. Menurutnya, selama ini warga di lingkungan 
tempat mereka tinggal hampir tidak mempersoalkan 
keberadaan mereka. Hal ini dikarenakan sudah bertahun-
tahun lamanya warga di lingkungan tersebut senantiasa 
menjalin dan saling menghormati keberadaan warga 
meskipun berlatar belakang beda baik etnis maupun agama. 
Bahkan dirinya pun menyebutkan saat dan pasca peristiwa 
Balinuraga sekalipun, hampir tidak ada efek negatif yang 
muncul dan mempengaruhi hubungan yang sudah terjalin 
dengan baik. Selain itu, anggota Asrama Prahlada ini pun 
aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diinisiasi dan dilakukan 
oleh warga di lingkungan Asrama Prahlada. 
                                                         
Terkait hubungan dengan Hindu pada umumnya atau 
Hindu tradisional yang dominan dianut oleh warga 
negarakita termasuk umat Hindu yang berada di Lampung, 
inisiatif kebersamaan ini memang telah didorong pula oleh 
pemerintah, dalam hal ini adalah Pembimas Hindu di Kantor 
Wilayah Provinsi Lampung. Salah satu bentuk upaya 
pemerintah pada tingkat pusat yakni di Ditjen Bimas Hindu 
Kementerian Agama RI dan Parisada Hindu Dharma 
negarakita bersama para pimpinan kelompok Hindu spiritual 
pernah menginisiasi terjadinya Kesepakatan Bersama pada 
tanggal 5 November 2001 yang berisi empat point kesepakatan 
yang pada intinya adalah sepakat untuk saling menghormati 
tata cara kegiatan kerohanian dan keagamaan masing-masing 
campradaya. Dasar kesepakatan tersebut berbasis pada sloka 
Bhagavad Gita yang berbunyi “Bagaimanapun jalan manusia 
mengikutiKu, Aku Terima, Wahai Arjuna, Manusia mengikuti pada 
segala jalan”. (Bhagavad Gita, IV: 11). 
Kesepakatan tersebut telah menjadi jawaban atas 
realitas yang tidak dapat dimungkiri bahwa keberadaan 
kelompok-kelompok Hindu spiritual ini pernah menjadi 
kontroversi di kalangan penganut Hindu dan sempat terjadi 
ketegangan antara kelompok spiritual dan Hindu Tradisional 
sebagaimana pernah terjadi di Bali.19 Bahkan berdasarkan 
penulusuran di beberapa sosial media, muncul pula polemik 
tentang keberadaan Sampradaya Kesadaran Krishna 
negarakita yang dipandang sesat. 
Namun demikian pandangan semacam ini 
terbantahkan oleh pandangan Sekretaris PHDI Provinsi 
Lampung yang menyatakan bahwa dalam agama Hindu tidak 
                                                         
dikenal istilah sesat ataupun menyimpang.20 Ketua PHDI 
Provinsi Lampung juga menegaskan bahwa pegangan 
beragama di agama Hindu ada 3, yakni mantram atau kunci 
sebagai kekuatan doa yang bersumber dari kitab suci Veda. 
Doa-doa itu diyakini dan harus dilaksanakan dengan sepenuh 
hati. Di dalam hidup tidak cukup mantram tapi perlu jalan 
yaitu Tantra. Namun demikian tidak cukup Mantram dan 
Tantra tetapi juga perlu Yantra sebagai sarana seperti halnya 
kelompok Kesadaran Krishna yang memakai arca Krishna. 
Jadi apa yang dipilih oleh kelompok spiritual Kesadaran 
Krishna merupakan pilihan jalan. Sebetulnya dari aspek spirit, 
jika orang tidak mengenal dan memahami ketiga hal tersebut 
maka responnya terhadap Sampradaya Kesadaran Krishna 
akan berbeda. Sedangkan bagi bagi yang memahami 
ketiganya maka akan mengatakan bahwa mereka hebat sekali 
dalam melakukan pendakian spiritual. Kalau orang masih di 
tataran agama maka akan sepi dalam spiritualitas.  
Masih menurut penjelasan Ketua PHDI Provinsi 
Lampung, pengertin Spiritual dimaksud merupakan pelaku 
yang sudah melaksanakan apa-apa yang diajarkan dalam 
kitab suci, sedangkan jika masih hanya sebatas mengingatkan 
dan mengajak tetapi tidak melakukan, baru berada pada 
tingkat agama saja. Dengan adanya perbedaan tersebut, Ketua 
PHDI Prov Lampung sudah menyarankan kepada mereka 
untuk berbaur dan jangan ekslusif dan ritual yang sudah ada 
di tempel mereka jangan sampai dibawa ke pura. Dulu 
mereka memang masih sangat nyentrik. Di kelompok ini 
mereka mempunyai guru yakni kumpulan suci atau Syahdu 
Sangga. Untuk menjaga kerukunan, Ia pun menegaskan 
kepada umat Hindu di Lampung agar saling menghormati. 
                                                          
Menurutnya sah-sah saja berbeda dalam mengagungkan Sri 
Krishna sebab dalam dasar agama Hindu terdapat 3 hal yang 
harus difahami bahwa kita Veda-nya harus sama, etikanya 
harus sama dan atapnya atau ritualnya yang berbeda.21  
Hal yang mempererat hubungan mereka 
sesungguhnya adalah adanya ikatan sosial memperkuat 
hubungan antar sampradaya dan Hindu Umum. Namun 
demikian perlu  diberikan pemahaman kepada internal umat 
Hindu bahwa memang ada banyak kelompok spiritual di 
dalam Hindu serta berharap kepada anggota Sampradaya 
untuk mau membuka diri dan terbuka untuk membangun 
kerjasama untuk melakukan pengabdian kepada warga. 
Menyangkut praktik spiritual, Hare kresna memang 
kelompok spiritualis yang betul betul merupakan pelaku dan 
alangkah baiknya praktik spiritual itu juga tanpa harus 
mengenyampingkan kecerdasan sosial karena bukan tidak 
mungkin akan terjadi persinggungan-persinggungan.22  
 
Dampak Keberadaan SAKKHI terhadap Kehidupan 
Keagamaan 
Keberadaan Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita 
di Provinsi Lampung sama sekali tidak berdampak terhadap 
lingkungan karena kelompok-kelompok spiritual tersebut 
tidak ekslusif dan tidak pernah ada gejolak dan ketegangan. 
Hingga detik ini kerukunan umat Hindu masih sangat terjaga 
(I Nyoman. FGD. 12 Maret 2016). Hal ini dikemukakan pula 
oleh Ketua RT di lingkungan tempat domisili Asrama 
                                                          
21 Hasil FGD tanggal 12 Maret 2016 
22 Hasil FGD bersama Sutarjana, Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu, 
tanggal 12 Maret 2016. 
 
Prahlada. Menurutnya, selama ini warga di lingkungan 
tempat mereka tinggal hampir tidak mempersoalkan 
keberadaan mereka meskipun para anggota Sampradaya 
Kesadaran Krishna di Asram Prahlada melaksanakan kegiatan 
ibadah di asrama tersebut. 
  
Berdasarkan temuan lapangan dan analisisnya, 
kesimpulan hasil penelitian ini antara lain: 
1. Keberadaan kelompok Spiritual Hindu Hare Krishna 
maupun Hindu Saibaba selama ini tidak menjadi masalah,  
karena kelompok mereka masih mengakui agama Hindu 
sebagai agama dan mengakui kitab Weda sebagai kitab 
suci agama Hindu. Mereka juga membaca kitab Bhagavad 
Gita dan Purana serta rajin dan bersemangat dalam 
menjalankan ibadahnya.  
2. Keberadaan kelompok keagamaan tersebut tidak 
membawa dampak negatif di warga selama masih 
berbaur dengan umat beragama lainnya dan tidak 
bersikap ekslusif dan menonjolkan perbedaan-perbedaan 
yang ada. Sikap-sikap inilah, mereka dihargai dan 
dihormati, baik oleh warga maupun oleh lembaga 
keagamaan dan pemerintah.  
3. Kelompok Spiritual Hindu Krishna meyakini  Krishna 
sebagai Tuhan, berbeda dengan Hindu mainstream. 
Keberadaan mereka diakui oleh berbagai pihak selama ia 
tidak membawa-bawa sarana-sarana dalam 
persembahyangan mereka ke Pura. Bahkan Kelompok 
Spiritual Hindu Krishna berada di bawah naungan PHDI 
dan sudah terdaftar di PHDI, sehingga tidak perlu lagi 
mendaftarkan ke Direktorat Bimas Hindu. 
 Berdasarkan analisis dan kesimpulan di atas, penelitian ini 
menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain: 
1. Hubungan antara kelompok spiritual Hindu Hare Krishna 
dengan kelompok Hindu umumnya (tradisional) maupun 
dengan kelompok Sai Baba sudah cukup baik dan harus 
terus dipertahankan. 
2. Kelompok spiritual Hindu Krishna perlu didaftarkan di 
Direktorat Bimas Hindu sebagai legalitas keberadaan 
mereka meskipun  sudah terdaftar di PHDI. 
 
 

 
Sejarah Singkat Kehidupan Bhagavan Shri Satya Sai 
Baba 
Sai Baba lahir di Desa Puttaparthi, Bangalore India 
Selatan pada tanggal 23 November 1926. Menurut cerita, 
Puttaparthi adalah tempat Dewi Saraswati (Dewi 
Kebijaksanaan) dan Dewi Laksmi (Dewi Keberuntungan) 
berada. Sai Baba putra dari pasangan suami isteri Pedda dan 
Eswaramma Raju, suatu keluarga yang taat beragama Hindu. 
Waktu kecil Sai Baba bernama Sathya Narayana dan menjadi 
anak kesayangan keluarga, bahkan warga desa setempat. 
Dari kecil Sai Baba tidak suka makan daging, dan 
menjadi penyayang binatang seperti sapi, domba, babi, ayam 
dan bebek. Lantaran sikapnya yang menyayangi binatang, 
tidak makan daging dan enggan membunuh makhluk Tuhan, 
oleh warga setempat beliau disebut “Brahmajnani” yang 
berarti jiwa yang telah menginsyapi dirinya. Hal itu terjadi 
ketika Sai Baba berusia 5 tahun. Sikap terpuji lain yang 
dimilikinya adalah lemah lembut, peka terhadap penderitaan 
orang lain, suka menolong orang miskin dan pengemis, dan 
tidak pernah menyakiti orang lain serta tidak mendendam 
terhadap anak-anak yang berlaku kasar terhadap dirinya.   
Diriwayatkan pula sejak usia 6 tahun Sai Baba telah 
memiliki kelebihan, mampu memahami dan mengajukan isi 
kitab suci Weda, pada hal ia sendiri belum pernah 

membacanya. Beliau juga dapat menahan lapar, tidak makan 
beberapa hari tapi tetap sehat, bisa mengobati orang sakit 
bahkan pernah menghidupkan orang yang diperkirakan 
sudah mati. Di sekolah ia menjadi murid yang cerdas, baik  
budi, disenangi dan dikagumi oleh teman dan guru-gurunya 
karena banyak memiliki keistimewaan. Umur 10 tahun Sathya 
membentuk kelompok Bhajan atau kelompok penyanyi lagu-
lagu keagamaan gubahannya sendiri. Waktu beberapa daerah 
setempat diserang wabah kolera dan banyak korban 
meninggal, Desa Puttaparthi selamat dari penyakit tersebut. 
warga beranggapan bahwa terhindarnya warga 
Puttaparthi itu karena kesaktian Sathya yang mampu 
menghindarkan serangan kolera lewat nyanyian dan tarian 
kelompok Bhajan yang dipimpinnya.  
Dari hari ke hari Sathya makin populer. Sejak saat itu 
Sathya menyatakan dirinya sebagai Sai Baba yang mempunyai 
tugas untuk memulihkan kebenaran, kesucian, kedamaian, 
dan kasih sayang umat manusia. Sejak saat itu pula banyak 
orang yang datang kepadanya untuk belajar, meminta berkah, 
serta melakukan pemujaan atau kebaktian di tempat Sai Baba. 
Pada tahun 1974, Sai Baba tampil sebagai Guru Agung Rakyat 
dan memimpin Konprensi. 
Para pengagum dan pendengar khutbahnya meliputi 
berbagai kalangan warga seperti para rahib, pujangga, 
cendekiawan, pengusaha, petani, pria dan wanita. Mereka 
merasa beruntung sempat menyaksikan kelebihan dan ajaran-
ajaran Sai Baba dan ikut menyebarkan berita tentang 
keistimewaan beliau kemana-mana. Pada tahun 1958 Sai Baba 
meresmikan majalah “Sanathana Sarathi” (Sais Abadi Yang 
Maha Ada), sebagai media untuk menyebarkan ajarannya. 
Majalah itu diterbitkan  dalam berbagai bahasa antara lain 
 
bahasa Inggris dan bahasa Telegu. Melalui publikasi serta 
kunjungan Sai Baba secara pribadi ke berbagai tempat sambil 
berceramah dan membantu warga yang sakit, frustasi, 
terganggu jiwa dan tertindas, maka ajaran Sai Baba makin 
tersebar ke manca Negara, termasuk ke negarakita sekitar 
tahun 1979. Sekarang para pengikut Sai Baba diperkirakan 70 
juta orang yang tersebar di 128 negara seperti India, Ingggris, 
Kanada, Amerika, Thailand, Malaysia, Hongkong, Mexico, 
Hawai, Afrika Selatan, serta negarakita 
 
Keberadaan Sai Studi Group (SSG) di negarakita 
Untuk memahami dan mengembangkan ajaran Sri 
Sathya Sai Baba dibentuk Sai Studi Group negarakita disingkat 
SSGI untuk pusat dan Sai Studi Group (SSG) atau Sai 
Devotional Group (SDG) di daerah. Sai artinya teaching, studi 
artinya bagaimana kita menafsirkan/mengkaji, group 
kelompok untuk menjadi orang yang lebih baik. SSGI berarti 
kelompok yang berusaha mempelajari ajaran-ajaran Sai Baba 
agar menjadi orang yang lebih baik. 
Visi dari organisasi SSGI adalah menyadari ketuhanan 
di dalam diri (Aham Brahma Asmi). Hanya setelah menyadari 
ketuhanan di dalam diri, kita  akan dapat menyadari esensi 
Ketuhanan juga ada dalam setiap makhluk. Dengan demikian, 
tidak ada alas an lagi bagi kita untuk saling membenci. 
Hukum yang ada hanyalah saling mengasihi untuk mencapai 
kebebasan. Visi adalah arah yang ingin dituju oleh organisasi. 
Tidak terlalu penting kita ada di mana, tapi yang jauh lebih 
penting adalah ARAH mana kita akan melangkah. 

Untuk mencapai visi tersebut maka organisasi SSGI 
mempunyai misi. Misi adalah berbagai upaya yang ditujukan 
untuk mewujudkan/merealisasikan suatu visi. Misi S SGI 
adalah menumbuhkan, mengembangkan, dan menjalin 
persahabatan serta persaudaraan atas dasar cinta kasih antar 
sesama umat manusia, tanpa membedakan suku, bangsa, ras, 
golongan, jabatan, agama dan kepercayaan. Sedangkan misi 
Bhagavan sebagai Sad Guru:  
“Aku datang tidak untuk mengganggu apalagi  merusak 
keyakinan yang telah ada, tapi justru lebih memperkuat - 
agar umat Muslim menjadi Muslim yang lebih baik, Kristen 
menjadi Kristen yang lebih baik, Buddhist menjadi Buddhist 
yang lebih baik, Hindu menjadi Hindu yang lebih baik”. 
Dalam rangka  merealisasikan misi tersebut maka 
perlu dibudayakan menjadi prilaku dalam kehidupan sehari-
hari yang disebut dengan Budaya Sai. Budaya Sai adalah 
upaya untuk membudayakan apa yang diisyaratkan dalam 
Misi Sai. Budaya Sai adalah: “Love All (Kasihi Semua) - Serve 
All (Layani Semua)”. Dengan kata lain Budaya Sai adalah 
upaya untuk membudayakan sifat dan sikap hidup untuk 
saling mengasihi dan melayani setiap orang.  Kita mungkin 
dapat mencintai seseorang (love), kita mungkin dapat 
melayani seseorang (serve), Tapi sudahkkah kita dapat 
mencintai & melayani SETIAP ORANG (ALL). All (semua) 
menjadi prinsip Budaya Sai.  
Setiap orang maupun organisasi harus mempunyai 
kepribadian. Kepribadian menunjukkan jatidiri seseorang 
yang tidak lain adalah kasih itu sendiri. Kasih selalu menjadi 
dasar hidupnya. Karena itu Kepribadian Sai adalah PANCA 
PILAR: Kebenaran, Kebajikan, Kasih Sayang, Kedamaian, 
Tanpa Kekerasan.  
 
Seseorang yang hidup di jalan Sai akan hadir sebagai 
pribadi yang bijaksana dan penuh Kasih Sayang kepada 
sesama, dimana wacananya selalu menyampaikan Kebenaran, 
tindakannya selalu mencerminkan kebajikan, perasaannya 
selalu dipenuhi kedamaian dan pandangannya selalu 
menyiratkan sikap tanpa kekerasan. 
Setiap organisasi umumnya mempunyai keunikan 
sendiri bila dibandingkan denga organisasi lainnya. Keunikan 
Sai adalah semua dilihat dari perspektif: setiap pandangan, 
sikap atau pun kegiatan yang dilakukan selalu dipandang 
sebagai usaha untuk merealisasikan dan mengembangkan 
spiritualitas diri melalui; SAI = See Always Inside (selalu 
melihat dan mulai dari diri sendiri). Unity-Purity-Divinity 
(selalu dilihat sebagai usaha untuk membangun dan 
mengembangkan Kesatuan—Kemurnian—Ketuhanan). LOVE 
in ACTION (setiap tindakan selalu didasari oleh Cinta Kasih). 
Sai Baba berkata:  
“Tuhan tidak akan bertanya; kapan dan di mana kita 
melakukan pelayanan? Tuhan akan bertanya: Dengan niat 
apa engkau melakukan pelayanan. Adalah niat yang engkau 
harus ingatkan. Engkau dapat saja menambah sevamu 
dengan meningkatkan kuantitasnya. Tapi Tuhan selalu akan 
melihat kualitas, kualitas hati, kemurnian pikiran dan 
kesucian niat” (Sathya Sai Speak 11, hal 5-6). 
Sesuatu akan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, 
bila diposisikan dengan tepat. Begitu juga dengan Sai. Karena 
keunikan Sai selalu melihat dari perspektif pengembangan 
spiritualitas diri, sehingga posisi Sai adalah:  
54
1. SAI=Menempatkan Bhagavan Sri Sathya Sai Baba sebagai 
Sad Guru. Selalu melihat ke dalam atau mulai dari diri 
sendiri; 
2. (2). Sosial Spiritual = Selalu mengembangkan rasa bhakti 
melalui PELAYANAN/SOSIAL dijiwai nilai-nilai 
SPIRITUAL; 
3. Forum Studi (Sai Study Group) = Tempat untuk belajar 
dan mengembangkan SPIRITUALITAS DIRI. 
Sai adalah Forum bagi setiap orang untuk mempelajari 
dan mengembangkan nilai-nilai spiritual yang dipraktekkan 
melalui aktivitas pelayanan sosial. SAI adalah wahana untuk 
melakukan Transformasi diri dengan mengembangkan 
KESATUAN (Unity), KEMURNIAN (Purirty) dan 
KETUHANAN (Divinity) dimulai dari diri sendiri untuk 
warga. 
Bila inti dari identitas SAI ditarik garis lurus 
diketemukan benang merah yang sama yaitu LOVE/CINTA 
KASIH = ATMA. Untuk lebih mudah memahami, mari kita 
perhatikan tahapannya: 
Pertama : Sifat alami/jatidiri kita adalah Love = Cinta 
Kasih = Atma; 
Kedua : Visi SAI adalah menyadari Ketuhanan = Love = 
Cinta Kasih di dalam diri; 
Ketiga : Misi SAI menimbuhkan, mengembangkan dan 
menjalin persahabatan atas dasar Love = Cinta 
Kasih kepada sesama; 
Keempat : BUDAYA SAI menjadikan Love = Cinta Kasih 
sebagai budaya dan prinsip hidup; 
 
Kelima : PRIBADI SAI menjadikan Love = Cinta Kasih 
tercermin dalam sikap yang selalu 
mencerminkan kebenaran, kebajikan, kasih 
sayang, kedamaian dan tanpa kekerasan. 
Dari kelima di atas, ditambah lagi dengan 
keunikan/diferensiasi akan menghadirkan posisi dan 
personalitas organisasi SAI yang juga berlandaskan pada Love 
= Cinta Kasih. Dengan demikian jelas, Kasih sebagai Dasar 
sekaligus Tujuan.  
Karakter SAI adalah LOVE (Cinta Kasih). Jiwa = Atma 
= percikan sinar kasih Tuhan yang ada dalam setiap makhluk, 
sedangkan Kasih adalah wujud dari Atma. Sabda Bhagavan: 
“Love is My Form- Truth is My Breath, Bliss is My Food”. (Cinta 
Kasih adalah wujudKu- Kebenaran adalah nafasKu- 
Kebahagiaan yang mendalam adalah makananKu), Love is My 
Message (Kasih adalah PesanKu). Kasih inilah yang dijadikan 
senjata oleh Bhagavan dalam menyelamatkan dunia. 
Cinta Kasih adalah Tuhan dan Tuhan adalah 
perwujudan cinta kasih itu sendiri. Dimana ada cinta kasih, 
Tuhan pasti akan hadir disana. Integrasikanlah Cinta Kasih 
dalam setiap tindakan pelayanan dan jadikanlah pelayanan 
sebagai ibadah. Itulah sadhana tertinggi (Sathya Sai Speaks 4, 
hal 309). 
Menurut Sai Baba: 
Hanya ada satu agama-berlandaskan Cinta Kasih; 
Hanya ada satu bahasa-bahasa hati; 
Hanya ada satu kasta-kasta kemanusiaan; 
Hanya ada satu Tuhan Ia ada di mana-mana dan dihati 
setiap makhluk. 
Sai menempatkan Bhagavan Sai Sri Sathya Sai Babab 
sebagai Sad Guru. Sedangkan hubungan Bakhta dengan 
Baghavan:  
Pertama : menempatkan Bhagavan sebagai manusia 
(aspek fisik). Agar dapat lebih mudah 
berkomunikasi/berinteraksi seluruh umat 
manusia. 
Kedua : Baghavan sebagai Sad Guru (Guru Deva). Agar 
Beliau dapat membimbing dan menyampaikan 
wejangan/ajaran Ketuhanan untuk 
membebaskan umat manusia dari belenggu 
khayalan yang mengikatnya selama ini menuju 
kesadaran Tuhan. 
Ketiga : Bhagavan sebagai  kesadaran kosmis (Avatar). 
Agar setiap umat manusia dan seluruh 
makhluk hidup di semesta ini dapat merasakan 
rahmat Sai. 
Terkait hubungan Baghavan dengan bhaktaNya, 
Beliau pernah berwacana bahwa: “…hubunganKu dengan 
engkau adalah hubungan personal, langsung  tanpa perantara…” 
Itu artinya, Baba sangat memahami keperluan atau keadaan 
individu dari setiap bakhta-Nya. Untuk menjawab keperluan 
tersebut, Baba akan berhubungan langsung, melalui ketiga 
aspek pribadiNya (wujud fisik, sad guru, atau pun melalui 
kesadaran kosmis) tanpa perantara. Bila kemudian ada 
praktik-praktik dan seseorang yang mengatasnamakan 
Bhagavan, jelas tidak dibenarkan. 
Arti Sai Baba secara Etimologi 
Kata Sai Baba selama ini sering diartikan hanya 
sebagai Ayah atau Ibu Ilahi. Ternyata selain itu setiap huruf 
dalam kata menyiratkan makna yang mengantarkan 
bakhtanya menuju Ketuhanan. SAI yang sering diartikan 
dengan SEE (melihat), ALWAYS (selalu), INSIDE (kedalam) 
menyiratakan makna agar kita selalu mengarahkan 
pandangan dan penglihatan kita ke dalam atau mulai dari 
pengembangan kualitas diri. Lalu apa yang ada di dalam? 
Mari kita perhatikan mkananya, serta bagaimana 
hubungannya dengan pengertian SAT CHIT ANANDAM. 
B = stand for Being atau EXISTENCE (Kebenaran yang juga 
berarti SAT) 
A = stand for AWARENES (Kesadaran yang juga berarti 
Chit) 
B  = stand for Bliss (Kebahagiaan Abadi yang juga berarti 
Anandam) 
A = stand for Atma (Ketuhanan) 
Pengertian BABA dalam konteks ini adalah kesadaran 
akan kebenaran yang dapat menghadirkan kebahagiaan abadi 
dalam ketuhanan. Jadi pengertian SAI BABA adalah selalu 
melihat ke dalam atau mulai dari pengembangan 
kualitas/spiritualitas diri menuju kesadaran akan kebenaran 
yang membawa kita pada kebahagiaan abadi dalam 
ketuhanan.  

Memahami Prinsip Bhakti 
Tidak semata-mata  bhakti yang Aku inginkan, Aku 
ingin tindakan yang dimotivasi oleh Bhakti. Bhakti harus 
dilandasi motivasi yang tepat, tanpa kepentingan ataupun 
ikatan. Memahami Prinsip Pelayanan: 
Pelayanan adalah disiplin spiritual; 
Pelayananan sebagai sarana untuk mengekspresikan ajaran 
Sai; 
Pelayanan sebagai wahana untuk merahi mutiara 
kebijaksanaan dan kebahagiaan abadi; 
“Menava Sevaye, Madhava Seva (melayani umat manusia, 
berarti melayani Tuhan).  
 
Memahami Integritas SAI di warga 
Disadari bahwa kita adalah bagian dari warga, 
bukan warga bagian dari kita. Oleh karena itu, sudah 
menjadi kewajiban kita untuk mendharmabaktikan kehidupan 
ini untuk kesejahteraan warga. warga adalah 
kumpulan individu-individu yang mempunyai karakteristik  
yang unik. Di warga pula kita akan temukan 
keberagaman latar belakang dan pandangan, karenanya 
warga adalah tempat yang baik untuk mengasah 
Kebijaksanaan dengan membangun semangat kesatuan dalam 
perbedaan. Dimulai dengan membangun kesatuan dalam 
pikiran, perkataan, dan perbuatan, seseorang akan hadir 
sebagai pribadi yang memiliki integritas, prinsip dan jati diri. 
Sejalan dengan usaha 
Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate