Tampilkan postingan dengan label hindustan 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hindustan 1. Tampilkan semua postingan
hindustan 1
hanya dari aspek makna dan substansi ajarannya. Secara
esensial, ajaran Hindu itu sama di mana saja agama ini
tumbuh dan berkembang. Namun soal bentuk dan
eksoterisnya bisa sangat beragam, bahkan mungkin dalam
satu wilayah atau daerah. Keragaman ini dimungkinkan
karena agama Hindu menganut konsep desa, kala, patra
(tempat, waktu, keadaan). Melalui konsepsi ini, agama Hindu
dapat secara fleksibel untuk beradaptasi atau diadaptasi.
Sehingga wajah Hindu di negarakita juga berwarna warni,
seolah berbeda satu dengan yang lainnya, padahal
sesungguhnya satu dan sama saja.
Konsepsi di atas sebetulnya diemanasikan dalam filsafat
ketuhanannya yang membuka lebar jalan perbedaan.
Misalnya, empat jalan menuju Tuhan melalui Catur Marga.
Setiap umat Hindu boleh dan bisa mengambil jalan tertentu
yang dianggapnya sesuai dengan kapasitasnya untuk
“bertemu” Tuhan. Tidak ada jalan absolut kaku, paling benar
dan eksklusif. Begitu juga dalam memahami Tuhan yang
bahkan digambarkan dengan seribu nama (sahasra namam) dan
seribu wajah (sahasra rupam). Orang bijaksana yang
berpengetahuan suci memberiNya banyak nama, tetapi Tuhan
tetap satu, tunggal, dan esa (ekam sat wiprah bahuda wadanti).
Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma secara tepat
melukiskannya dengan bhinneka tunggal ika tan hana dharma
mangrwa. Bahkan juga Tuhan meresapi seluruh alam semesta
raya, dan Ia berada di mana-mana, bukan di satu tempat.
Pantheisme sebagai puncak dari seluruh aliran filsafat
ketuhanan yang ada dalam Hindu telah mengikat menjadi
satu kesatuan keberadaan kelompok-kelompok keagamaan
Hindu yang tampak seolah-olah berbeda satu dengan yang
lainnya. Kesamaan makna esoteris ini adalah cara bagi
mereka untuk dapat hidup di manapun. Tesis ini dibuktikan
dari hasil penelitian kedua kelompok keagamaan ini yang
tidak banyak ditemukan resistensinya, baik secara internal
maupun eksternal. Misalnnya, kelompok spiritual lebih kuat
membangun hubungan keagamaan dengan spirit universal
ajaran Hindu, seperti cinta kasih (prema), pelayanan (sewaka),
atau meditasi dan yoga. Kelompok tradisional menempatkan
lokalitas sebagai cara untuk hidup berdampingan, seperti
ngayah (gotong royong), simakrama (menjalin keakraban),
menyamabraya (membangun persaudaraan) atau ngejot (saling
membagi atau membalas hantaran). Perpaduan dari makna
menuju laku dari kedua kelompok keagamaan inilah yang
menghasilkan sikap inklusi baik di antara mereka sendiri yang
memang berbeda dengan umat beragama lainnya.
Hasil penelitian di delapan lokasi telah memperkuat
pandangan di atas. Untuk itu hasil kerja keras para peneliti
harus diapresiasi sehingga di masa depan dapat menghasilkan
penelitian sejenis yang lebih baik. Sembari meminta maaf jika
masih terdapat beberapa kekurangan, semoga buku ini
bermanfaat untuk kontribusinya terhadap keilmuan dan teori
maupun kontribusinya kepada institusi, para peneliti, dan
pengguna.
Bagi sebagian kalangan umat beragama yang lain,
agama Hindu, khususnya di negarakita akan dilihat berbeda-
beda. Bahkan Hindu di satu daerah coraknya juga bisa tampak
berbeda. Hindu di Denpasar dengan Gianyar itu berbeda;
Hindu di Klaten dengan Solo juga bisa berbeda. Begitu juga
dengan daerah lainnya di negarakita. Itu semua tidak salah,
sama sekali tidak salah.
Bagi yang belum memahami keberadaan ragam Hindu
itu, mungkin akan melihatnya seperti parsial. Terlebih
perbedaan itu ternyata tidak hanya di permukaan kulit,
seperti ritual, busana, dan bentuk artifisial lainnya. Bahkan
dalam aspek teologisnya juga bisa berbeda. Seorang Hindu
dapat menjadikan Dewi Saraswati sebagai favoritnya, Hindu
yang lainnya memuja Dewi Sri, Ganesha, Baruna, Wisnu, dlsb.
Wajah Hindu yang beragam, sekali lagi, khususnya di
negarakita tak lepas dari perjalanannya ‘memuliakan’ agama
dan budaya lokal yang lebih dulu tumbuh dan subur di jagat
nusantara. Tidak ada ekspansi, juga tidak ada peng-agama-an
untuk mereka yang sudah nyaman dengan kepercayaan yang
terpelihara dari masa ke masa. Soal kemudian, aliran sejarah
mempertemukan mereka dekat dengan Hindu, itu pun harus
melalui kesepakatan bersama. Integrasi agama Kaharingan
yang dianut warga Dayak di Kalimantan Tengah dengan
agama Hindu menjadi salah satu contoh.
xii
Napak tilas perjalanan Hindu yang menurut data
sejarah diawali dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, lalu
berakhir di Bali, seolah menegaskan agama ini seperti aliran
air yang mengikuti warna-warni daerah yang dilaluinya,
tanpa mengubah sedikit pun substansi airnya. Maka
tampaklah wajah Hindu Lampung yang berbeda dengan
Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Lombok, dan Hindu-Hindu
lainnya seantero nusantara. Dalam terminologi Bali, fakta ini
disebut sebagai pengejewantahan konsep desa (tempat), kala
(waktu), dan patra (keadaan). Bagaimana mereka beradaptasi,
tumbuh dan berkembang bersama dengan agama lain dan
budaya lokal akan selalu menyesuaikan dengan konsepsi itu.
Satu hal yang menjadi pembeda keberadaan umat
Hindu di negarakita adalah tatanan ritualnya. Di dalam
ritual ini terdapat banyak upakara atau banten serta aktivitas
keagamaan. Sarana ritual ini adalah ekspresi emosi, jiwa
sekaligus kreativitas manusia sehingga apa yang
dilahirkannya juga akan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan
saja terlihat secara komunal tetapi juga individu.
Namun, ritual atau ritual atau acara itu hanyalah
bentuk terluar jika ingin mengupas saripati Hindu. Analogi
sederhana yang sering digunakan adalah telur dengan tiga
lapisnya. Lapisan kulit adalah ritual; putih telurnya adalah
ajaran etika atau susila; kuning telurnya adalah inti dan sari
yang disebut tattwa. Ketiganya ini lalu dikonsepsikan menjadi
Tiga Kerangka Dasar. Untuk memahami Hindu, maka
memahami ketiga kerangka ini menjadi penting karena acara-
susila-tattwa adalah sebuah tatantan holistik, saling
melengkapi dan tidak terpisahkan.
Memahami Tiga Kerangka Dasar itu juga harus
berjenjang, dari yang konkrit menuju yang abstrak, dari acara
yang tampak nyata, lalu susila (tingkah laku) untuk menuju
tattwa, ajaran filosofis. Untuk maksud ini, Hindu memberikan
konsep Catur Marga, yaitu empat jalan (marga) untuk
mencapai kebenaran abadi dan kesempurnaan Tuhan dengan
menyesuaikan kemampuan setiap umat Hindu. Ada yang
melalui bhakti marga, karma marga, jnana marga, bahkan
dibolehkan melalui raja marga. Keempat marga ini pun bukan
terpisah-pisah karena bisa terjadi klaim, tetapi lebih pada
orientasi pencarian Tuhan. Jika dilakukan dengan totalitas,
penuh keihklasan, masing-masing marga akan menemukan
tujuan tertingginya. Jadi tersedia pilihan jalan yang beragam
untuk menemukan tujuan yang sama.
Dalam pencarian tujuan itu, selain Catur Marga, juga
‘disediakan’ tingkatan hidup berjenjang melalui Catur
Asrama, yaitu brahmacari (masa belajar); grahasta (hidup
berumah tangga); wanaprastha (mulai menjauhkan bahkan
mengasingkan diri dari keduaniawian) dan sanyasin atau
bhiksuka (totalitas jalan rohani). Tujuannya adalah agar tatanan
hidup menjadi lebih terarah dalam meraih cita-cita yang
dikonsepsikan ke dalam Catur Purusartha yang terdiri dari
dharma, artha, kama dan moksa. Tampaknya, dharma menjadi
landasan utama untuk meraih harta, materi (artha) dan
memenuhi keinginan (kama) dengan moksha sebagai tujuan
akhir. Pendeknya, semua tujuan hidup diraih melalui dharma
Napak tilas perjalanan Hindu yang menurut data
sejarah diawali dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, lalu
berakhir di Bali, seolah menegaskan agama ini seperti aliran
air yang mengikuti warna-warni daerah yang dilaluinya,
tanpa mengubah sedikit pun substansi airnya. Maka
tampaklah wajah Hindu Lampung yang berbeda dengan
Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Lombok, dan Hindu-Hindu
lainnya seantero nusantara. Dalam terminologi Bali, fakta ini
disebut sebagai pengejewantahan konsep desa (tempat), kala
(waktu), dan patra (keadaan). Bagaimana mereka beradaptasi,
tumbuh dan berkembang bersama dengan agama lain dan
budaya lokal akan selalu menyesuaikan dengan konsepsi itu.
Satu hal yang menjadi pembeda keberadaan umat
Hindu di negarakita adalah tatanan ritualnya. Di dalam
ritual ini terdapat banyak upakara atau banten serta aktivitas
keagamaan. Sarana ritual ini adalah ekspresi emosi, jiwa
sekaligus kreativitas manusia sehingga apa yang
dilahirkannya juga akan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan
saja terlihat secara komunal tetapi juga individu.
Namun, ritual atau ritual atau acara itu hanyalah
bentuk terluar jika ingin mengupas saripati Hindu. Analogi
sederhana yang sering digunakan adalah telur dengan tiga
lapisnya. Lapisan kulit adalah ritual; putih telurnya adalah
ajaran etika atau susila; kuning telurnya adalah inti dan sari
yang disebut tattwa. Ketiganya ini lalu dikonsepsikan menjadi
Tiga Kerangka Dasar. Untuk memahami Hindu, maka
memahami ketiga kerangka ini menjadi penting karena acara-
xiv
dan didayagunakan sepenuhnya untuk dharma (kebenaran).
Dengan ini, tujuan utama untuk bisa hidup bahagia di dunia
dan bahagia di akhirat akan terwujud. Inilah yang
dimaksudkan sebagai Moksartham Jagat Hita ya ca iti Dharma.
Dengan demikian, Hindu akan tampak seperti mozaik,
tidak monolitik. Jalinan perbedaan itu diikat menjadi satu
kesatuan melalui Panca Sraddha, yaitu lima keyakinan umat
Hindu terhadap Brahman (Tuhan), Atman, Karma Phala,
Punarbhawa dan Moksha. Kelima sraddha ini menyatukan umat
Hindu di seluruh dunia, sekaligus yang membedakannya
dengan umat lainnya.
Pertama, Hindu meyakini Tuhan yang satu tetapi
dengan nama dan wajah yang berbeda (sahasra namam dan
sahasra rupam). Tuhan itu personal God sekaligus impersonal
God, immanen dan transenden. Jadi, Tuhan diyakini tidak
hanya secara politheistik dan monotheistik, tetapi sekaligus
mempercayai Tuhan yang meresapi segalanya (pantheisme).
Dalam Weda disebutkan sebagai Ekam Sat Wiprah Bahuda
Wadanti (Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebutnya
dengan banyak nama). Mpu Tantular lalu menuliskannya ke
dalam Kakawin Sutasoma dengan Bhinneka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak
ada kebenaran yang lain yang mendua). Many in one, one in
many.
Kedua, Hindu meyakini bahwa atma atau zat hidup
yang ada dalam setiap makhluk hidup bersumber dari Tuhan.
Ketika memasuki badan makhluk hidup, kesempurnaannya
dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga antara makhluk yang
satu dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang tamas, rajas
maupun sattwam. Hal ini kemudian menjadikan filsafat
ketuhanan dalam Upanisad lalu menjadi etika sosial Tat Twam
Asi (Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku). Dari Tat Twam Asi
ini, Hindu mengejewantahkannya melalui Tri Hita Karana,
yaitu tiga hubungan yang selaras untuk menghasilkan
kebahagiaan baik secara horizontal dengan sesama manusia
dan lingkungan, serta vertikal dengan Tuhan. Dari konsep ini
pula melahirkan adagium Wasudewa Kutum Bakam (Kita semua
bersaudara; dunia ini rumah bersama yang dihuni satu
keluarga besar).
Ketiga, Hindu meyakini hukum karma phala. Setiap
perbuatan akan menghasilkan pahala, sekecil apa pun itu,
bahkan perbuatan sejak dalam pikiran dan niat. Pahala
perbuatan akan diterima saat berbuat atau setelahnya yang
akan menjadi buah untuk kelahiran kembali. Kelahiran saat
ini juga adalah buah perbuatan masa lalu (karma wasana).
Karena itu, Hindu mengajarkan untuk terus berkarma baik
(subhakarma) meningkatkan kualitas hidup. Keempat, Hindu
meyakini punarbhawa atau samsara (reinkarnasi) sebagai jalan
untuk memperbaiki diri. Lahir kembali ke dunia, apalagi
sebagai manusia adalah kesempatan besar untuk memperbaiki
kualitas hidup, dan menghasilkan benih perbuatan yang akan
menentukan kehidupan kelak setelah kematian. Dan Kelima,
Hindu meyakini Moksha sebagai tujuan akhir dan tertinggi
karena membebaskan manusia dari kelahiran. Manusia lepas
dari keterikatannya.
dan didayagunakan sepenuhnya untuk dharma (kebenaran).
Dengan ini, tujuan utama untuk bisa hidup bahagia di dunia
dan bahagia di akhirat akan terwujud. Inilah yang
dimaksudkan sebagai Moksartham Jagat Hita ya ca iti Dharma.
Dengan demikian, Hindu akan tampak seperti mozaik,
tidak monolitik. Jalinan perbedaan itu diikat menjadi satu
kesatuan melalui Panca Sraddha, yaitu lima keyakinan umat
Hindu terhadap Brahman (Tuhan), Atman, Karma Phala,
Punarbhawa dan Moksha. Kelima sraddha ini menyatukan umat
Hindu di seluruh dunia, sekaligus yang membedakannya
dengan umat lainnya.
Pertama, Hindu meyakini Tuhan yang satu tetapi
dengan nama dan wajah yang berbeda (sahasra namam dan
sahasra rupam). Tuhan itu personal God sekaligus impersonal
God, immanen dan transenden. Jadi, Tuhan diyakini tidak
hanya secara politheistik dan monotheistik, tetapi sekaligus
mempercayai Tuhan yang meresapi segalanya (pantheisme).
Dalam Weda disebutkan sebagai Ekam Sat Wiprah Bahuda
Wadanti (Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebutnya
dengan banyak nama). Mpu Tantular lalu menuliskannya ke
dalam Kakawin Sutasoma dengan Bhinneka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak
ada kebenaran yang lain yang mendua). Many in one, one in
many.
Kedua, Hindu meyakini bahwa atma atau zat hidup
yang ada dalam setiap makhluk hidup bersumber dari Tuhan.
Ketika memasuki badan makhluk hidup, kesempurnaannya
dipengaruhi oleh Tri Guna, sehingga antara makhluk yang
Panca Sraddha dengan berbagai cara meyakininya, serta
tersedianya banyak jalan, serta konsepsi yang berjenjang,
memungkinkan umat Hindu memiliki ragam pilihan yang
dianggapnya terbaik, tanpa merendahkan jalan yang lain.
Ibarat makanan prasmanan, umat Hindu boleh memilih
makanan yang menurutnya enak dan bergizi, namun tidak
menyatakan makanan lainnya kurang lezat. Tidak ada klaim
kebenaran di dalam Hindu, karena seperti termaktub dalam
Bhagawadgita (IV.11): “Jalan mana pun yang ditempuh seseorang
kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang
mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.
Tidaklah mengherankan ketika berbagai aliran,
mazhab dan kepercayaan yang datang ke negarakita, terutama
dari India, dapat hidup berdampingan dengan kelompok
Hindu yang sebelumnya sudah lama hidup di negarakita.
Sempat ada friksi, tetapi tidak lama dan tidak banyak.
Gesekan itu lebih banyak terjadi karena ego serta di tingkat
bawah, bukan para pemimpinnya. Era reformasi makin
memberikan ruang lebar kepada umat Hindu untuk memilih
jalan terbaiknya, atau memperdalam agamanya baik dengan
menjadi penghayat kelompok spiritual maupun kelompok
tradisional.
Kedua istilah ini (spiritual dan tradisional) mungkin
terasa bias karena masing-masing dapat dipertukarkan. Di
dalam kelompok tradisional juga dimaksudkan sebagai jalan
spiritual, sebaliknya, dalam kelompok spiritual juga masih
menggunakan beberapa cara tradisional. Cara paling moderat
untuk memahami ciri-ciri bentuk keduanya, karena aspek
xvii
sraddha tidak akan jauh berbeda. Misalnya, kelompok spiritual
lebih bersifat individual, menjadikan kitab suci sebagai
pegangan utama. Kelompok tradisional cenderung komunal,
ritual menjadi penting, tradisi dan budaya lokal sebagai
penuntun. Selebihnya sama.
Dari berbagai alasan seperti diuraikan di atas, maka
menyimak dengan serius hasil penelitian kedua kelompok
keagamaan ini, tidak banyak ditemukan resistensi baik secara
internal maupun eksternal. Kelompok spiritual lebih kuat
membangun hubungan keagamaan dengan spirit universal
ajaran Hindu, seperti cinta kasih (prema), pelayanan (sewaka),
atau meditasi dan yoga. Kelompok tradisional menempatkan
lokalitas sebagai cara untuk hidup berdampingan, seperti
ngayah (gotong royong), simakrama (menjalinan keakraban),
atau ngejot (saling membagi hantaran). Kedua kelompok tidak
saja melakukannya kepada sesama umat Hindu tetapi juga
umat lain. Misalnya, SAKKHI di Lampung, SSGI (Jakarta),
Sadhar Mapan (Klaten) dan Brahma Kumaris (Surabaya)
anggotanya berasal dari umat lain. Hal yang sama juga
ditemukan bagaimana umat Hindu di Cimahi, Denpasar,
Mataram dan Palangka Raya berinteraksi intim dengan umat
lainnya.
Hindu di negarakita, dari kelompok spiritual dan
kelompok tradisional sama-sama menjadikan kehidupan
sebagai lapangan untuk berkarma dan menjalankan dharmaning
agama (kewajiban sebagai umat beragama) dan dharmaning
negara (kewajiban sebagai warga negara). Pada pokoknya,
universalitas ajaran Hindu yang berangkat secara esoterik
Panca Sraddha dengan berbagai cara meyakininya, serta
tersedianya banyak jalan, serta konsepsi yang berjenjang,
memungkinkan umat Hindu memiliki ragam pilihan yang
dianggapnya terbaik, tanpa merendahkan jalan yang lain.
Ibarat makanan prasmanan, umat Hindu boleh memilih
makanan yang menurutnya enak dan bergizi, namun tidak
menyatakan makanan lainnya kurang lezat. Tidak ada klaim
kebenaran di dalam Hindu, karena seperti termaktub dalam
Bhagawadgita (IV.11): “Jalan mana pun yang ditempuh seseorang
kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang
mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.
Tidaklah mengherankan ketika berbagai aliran,
mazhab dan kepercayaan yang datang ke negarakita, terutama
dari India, dapat hidup berdampingan dengan kelompok
Hindu yang sebelumnya sudah lama hidup di negarakita.
Sempat ada friksi, tetapi tidak lama dan tidak banyak.
Gesekan itu lebih banyak terjadi karena ego serta di tingkat
bawah, bukan para pemimpinnya. Era reformasi makin
memberikan ruang lebar kepada umat Hindu untuk memilih
jalan terbaiknya, atau memperdalam agamanya baik dengan
menjadi penghayat kelompok spiritual maupun kelompok
tradisional.
Kedua istilah ini (spiritual dan tradisional) mungkin
terasa bias karena masing-masing dapat dipertukarkan. Di
dalam kelompok tradisional juga dimaksudkan sebagai jalan
spiritual, sebaliknya, dalam kelompok spiritual juga masih
menggunakan beberapa cara tradisional. Cara paling moderat
untuk memahami ciri-ciri bentuk keduanya, karena aspek
xviii
(spiritual dan kemanusiaan) telah berpadu padan dengan
adab lokalitas (tradisi dan budaya), sehingga Tat Twam Asi, Tri
Hita Karana, Wasudewa Kutum Bakam, Bhinneka Tunggal Ika
bertumpu penuh di atas wadah fleksibelitasnya yang disangga
dengan desa-kala-patra dan banyaknya jalan dan jenjang (Catur
Marga, Catur Asrama, Catur Purusartha, dlsb) menuju keesaan
Tuhan. Ini semua demi dan untuk membangun kehidupan
keagamaan di negarakita yang harmonis, harapan yang
tercermin sepenuhnya melalui hasil penelitian ini [*]
(spiritual dan kemanusiaan) telah berpadu padan dengan
adab lokalitas (tradisi dan budaya), sehingga Tat Twam Asi, Tri
Hita Karana, Wasudewa Kutum Bakam, Bhinneka Tunggal Ika
bertumpu penuh di atas wadah fleksibelitasnya yang disangga
dengan desa-kala-patra dan banyaknya jalan dan jenjang (Catur
Marga, Catur Asrama, Catur Purusartha, dlsb) menuju keesaan
Tuhan. Ini semua demi dan untuk membangun kehidupan
keagamaan di negarakita yang harmonis, harapan yang
tercermin sepenuhnya melalui hasil penelitian ini [*]
Prolog ini akan dimulai dengan membaca ulang
sejarah masuknya Hindu di negarakita karena dalam
perjalanan itulah keanekaan Hindu ikut dibawa serta dan
tumbuh berkembang sampai saat ini. Prolog ini juga akan
membicarakan Bali, selain karena menjadi episentrum untuk
membaca Hindu di negarakita, juga didasarkan atas fakta
sejarah ketika masa keemasan Hindu di Jawa berakhir manis
di pulau Bali. Jadi bukan menghidupkan Bali sentris, tetapi
semata untuk memudahkan kita memahami keberagaman dan
dinamika agama Hindu di negarakita. Bahkan Bali sendiri
telah menjadi melting pot berbagai aliran dan kelompok
keagamaan Hindu, baik yang terpaksa kita sebut “kelompok
tradisional” maupun “kelompok spiritual”.
Berdasarkan data sejarah yang dihimpun sejarawan
negarakita, salah satunya Soekmono (1973) disebutkan
kedatangan agama Hindu ke negarakita sudah sejak abad
ketiga atau tahun 400 Masehi. Bukti paling valid menurut
Soekmono adalah ketika ditemukan tujuh prasasti berbentuk
yupa peninggalan kerajaan Kutei di Kalimantan Timur
(1973:35). Isi yupa yang ditemukan itu begitu menakjubkan
karena memperlihatkan bagaimana perjalanan Hindu di
negarakita hingga mampu mendirikan kerajaan pertama di
negarakita, dan selanjutnya berkembang pesat di Pulau Jawa
Puncak keemasan perkembangan Hindu di negarakita
adalah ketika kerajaan Majapahit di Jawa Timur hampir
mengusai seluruh negarakita yang berdiri antara tahun 1293-
1309 . Masuknya agama Buddha ke negarakita
makin memperkokoh anasir asing, khususnya India di
negarakita. Agama Buddha sendiri berkembang dan hidup
sangat harmoni dengan Hindu ketika wangsa Sanjaya dan
Sailendra berkuasa di Jawa Tengah pada pertengahan abad ke
Sembilan . Terminologi Siwa-Buddha lahir
dari hubungan dekat kedua agama ini pada masa itu. Artefak
paling mengagumkan yang pernah ada di negarakita, yaitu
Prambanan (Hindu) dan Borobudur (Buddha) juga berdiri saat
keduanya tumbuh dan berkembang di negarakita.
Setelah Majapahit mengalami masa akhir sekitar tahun
1429 hingga 1522, banyak kerajaan-kerajaan kecil yang berada
di bawah kekuasaannya kehilangan arah. Perang saudara dan
konflik panjang membawa Majapahit pada kehancuran. Pada
masa kritis itu, beberapa kerajaan Islam menghimpun diri
untuk menaklukkan Majapahit. Rakyat Majapahit yang
sebagian besar penganut Hindu lalu menyingkir ke wilayah
aman, salah satu daerah yang paling terkenal pegunungan
Tengger. Sebagian besar yang lainnya menuju Bali,
berkembang dan bertahan kuat seperti yang dikenal saat ini . Penduduk di beberapa wilayah negarakita yang
pernah mendapat pengaruh Hindu masih menjalankan tradisi
itu, meskipun mungkin secara formal mereka tidak beragama
Hindu lagi.
Yang menarik adalah perkembangan Hindu di
negarakita tidak dalam rangka melakukan ekspansi agama.
Penghayat agama-agama lokal, kebudayaan asli serta tradisi
leluhur nusantara yang telah ada tetap dipelihara, dirawat dan
dipermulia dengan ajaran Hindu. Masuknya Hindu tidak
untuk meng-agama-kan penganut agama lokal karena selain
tidak menjadi karakteristiknya, agama-agama lokal itu
eksistensinya telah mengakar jauh sebelum Hindu ke
negarakita.
Warisan Hindu di negarakita dapat ditelusuri dari
berbagai peninggalan sejarah terutama ketika kerajaan Hindu
berkuasa, bahkan ketika negarakita masih mengalami masa
purba, saat huruf dan angka belum dikenal. Warisan sejarah
itu bisa tampak dari berbagai wujud, meskipun pada sistem
nilai dan sistem gagasan, Hindu juga memiliki pengaruh yang
sangat besar. Membaca kembali pikiran Koentjaraningrat
(2005) tentang kebudayaan, maka seluruh hasil karya manusia
adalah salah satu wujud kebudayaan itu. Soekmono (op.cit.,
hlm 9) juga membedakan kebudayaan dalam dua wujud,
yaitu segi kebendaan dan segi kerohanian.
Merujuk pendapat dua ahli tersebut, maka warisan
Hindu di negarakita sangatlah besar. Secara kerohanian, masa-
masa perkembangan Hindu banyak dilalui dengan sistem
kepercayaan terhadap Tuhan melalui personafikasinya
sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa. Pemujaan terhadap
ketiganya diteruskan sampai saat ini melalui terminologi Tri
Murti. Namun secara khusus, Siwa mendapat perhatian yang
sangat besar, sehingga pada saat itu Siwaisme menjadi paham
yang dominan, selain Waisnawa yang menempatkan Wisnu
sebagai orientasi pemujaan. Paham lain yang juga
berkembang saat itu adalah Cakta dan Tantra
Khusus untuk wujud kebudayaan dari kebendaannya
sangatlah banyak. Merangkum seluruh benda bersejarah itu
cukuplah berat karena selain tidak terkompilasi dengan baik,
ada kemungkinan mengalami kehancuran dan kerusakan baik
karena dimakan waktu, perubahan tempat maupun kelalaian
manusia, serta persebarannya yang sangat luas. Beberapa
catatan sejarah yang masih mampu dihimpun, meskipun juga
masih terbatas adalah peninggalan benda sejarah dari
kerajaan-kerajaan Hindu.
Saat Hindu memudar di Jawa, Hindu justru
mengalami masa emasnya di Bali meskipun peradaban Bali
sebelum masuknya Hindu sudah mapan melalui keberadaan
penduduk asli yang disebut Bali Aga atau Bali Mula, yang
bahkan dianggap sudah menganut agama Hindu dengan
berbagai variannya perkembangan
agama Hindu juga merupakan hasil interaksi antarkerajaan
Bali dan Jawa Persilangan
pengaruh yang dialektis antara Bali dan Jawa menghasilkan
keunikan dan kekhasan yang seperti kita saksikan di Bali saat
ini.
Kesimpulan kecil dari data sejarah itu adalah ketika
masuk ke negarakita, berbagai aliran ikut dibawa dari India,
lalu berakulturasi dengan keyakinan dan peradaban lokal.
xxiii
Beberapa di antaranya malah tumbuh menjadi entitas
tersendiri atau mengalami penyatuan baik dengan budaya
lokal maupun terutama ketika masuknya agama Buddha di
negarakita. Sisa-sisa sejarah itu masih terus hidup sampai saat
ini. Tak sedikit yang menyatakan bahwa Hindu di negarakita
beraliran besar Saiwa Siddhanta dan Waisanawa.
Selanjutnya, dalam perkembangan Hindu terutama di
awal abad 19 hingga saat ini juga
mengalami berbagai dinamika, yang secara historis dapat
dibaca masa awal penjajahan, kemerdekaan, pasca
kemerdekaan hingga era reformasi awal tahun 2000an. Bali
bahkan pernah pula mengalami masa-masa kegelapan ketika
konflik internal sempat melanda
Dinamika Bali juga tak bisa dilepaskan dari situasi sosial-
budaya, ekonomi dan politik yang berlangsung di negarakita.
Namun secara umum, Bali terutama oleh para ahli, khususnya
antropolog, digambarkan sebagai wilayah yang aman,
tenteram, dan stabil. Tumbuh subur, berkembang dan
bertahannya agama Hindu sampai saat ini tak dapat
dipungkiri mungkin karena situasi seperti itu. Misalnya, kita
dapat menelusuri kemungkinan ini ketika kedatangan
Belanda di awal abad 19, yang selain sebagai penjajah juga
sebetulnya punya maksud mempertahankan keaslian Bali.
Beberapa tulisan awal yang pernah terbit pada masa itu
dianggap ikut mendorong Bali menjadi terkenal sampai saat
ini.
“Bali adalah Jawa Kuna yang terpelihara”, kata Thomas S.
Raffles dan Crawfurd saat mereka
berdua mencitrakan Bali yang dianggapnya sebagai kisah
tentang kondisi dan kebiasaan-kebiasaan penduduk Jawa
Hindu di masa lalu. Crawfurd menambahkan bahwa ketika
berada di Bali, ide besar Jawa Kuno dapat kembali ditangkap
dengan jelas. menguatkan pendapat Raffles
dan Crawfurd ketika dalam penelitiannya menemukan begitu
banyak unsur Jawa Kuna masih terserak di Bali. Van Hoevel,
seperti diceritakan kembali oleh Friedrich (1959) yang sangat
yakin dengan kesimpulannya bahwa Bali jika dalam situasi
yang sama adalah Jawa pada permulaan abad 15. Lienfrinck
bahkan menyebut Bali sebagai “Republik Desa yang
terisolasi”. The Real Bali adalah julukan yang ia berikan ketika
menemukan otonomi komunitas tradisional seperti desa dan
subak Namun sesungguhnya juga,
pencitraan dari Lienfrinck, dan para peneliti Bali sebelumnya
adalah pandangan yang ketika itu lazim terlihat hingga abad
19 di mana antara Desa dan Negara yang sama sekali terpisah
adalah ciri umum yang diberikan kolonialisme kepada
negara-negara di Asia.
Setelah melewati abad 19, citra Bali terus digemakan
melalui berbagai tulisan, misalnya Island of Bali oleh Miguel
Covarrubias (1937). Bali juga dikontruksi sebagai “mimpi
siang di musim panas”, pulau tanpa masalah dan penuh
harmoni. Antropolog Amerika, salah satunya Jean Belo
(1970a) juga menyimpulkan bahwa kemapanan sebuah
warga tradisional seperti Bali adalah cerita tentang
sebuah kemampuan hebat untuk menyelesaikan semua
persoalan, di mana gambaran setiap tindakan dan
pertentangan secara personalitas sepertinya disingkirkan.
Gregory Bateson (1972) juga menyatakan bahwa salah satu
sifat kebudayaan dan warga Bali adalah keadaannya
yang selalu dapat stabil, saat di mana kondisi alam pikiran
warganya dapat dibentuk oleh keseimbangan tanpa
disusupi perubahan yang progresif, lalu dibangun secara
rapat dalam sebuah tata tertib secara ahistoris
Citra agung tentang Bali di masa kini telah
mewariskan Bali untuk negarakita sebagai tujuan utama wisata
dunia. Ini adalah periode yang menentukan arah
perkembangan Hindu yang lebih terbuka pada dunia luar,
sehingga masuk pula berbagai aliran atau mashab baru yang
belakangan datang dari India atau umat Hindu di Bali yang
belajar ke India, misalnya munculnya Sai Baba, Hare Krishna,
Brahma Kumaris, dlsb. Persebaran ini juga menjadi salah satu
komoditas pariwisata dengan munculnya banyak ashram atau
perguruan, studi intelektual, dlsb.
Meskipun data sejarah seperti di atas tampaknya
mudah dipetakan, tetap saja ada kesulitan mendasar untuk
memahami keberadaan berbagai kelompok keagamaan
Hindu, terlebih membuat kategorisasi sebagaimana yang
menjadi tema pokok buku ini. Beberapa hasil penelitian para
peneliti Puslitbang Pusat Penelitian dan Pengembangan
Bimbingan warga Agama dan Layanan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang
terangkum dalam buku ini tampaknya masih belum cukup
untuk menjelaskan mengapa di dalam Hindu terdapat
beragam kelompok, dan bagaimana kelompok-kelompok
keagamaan itu bisa hidup berdampingan harmonis di
negarakita, khususnya di Bali. Kelemahan minor hasil
penelitian dalam buku ini setidaknya dapat dimaklumi karena
sejak lama para peneliti asing pun mengalami hal yang
serupa.
Stephen J. Lansing (2006) misalnya, sempat
menyatakan kebingungannya ketika meneliti Bali. Baginya
begitu banyak simbol bertebaran di sana-sini, yang masing-
masing di antara simbol itu tak mudah segera dipahami. Jauh
sebelumnya, Lansing (1983) juga menggambarkan bahwa di
Bali hampir semua hal berstruktur dan bertingkat-tingkat. Ini
dilihatnya dengan jelas pada bangunan pura di Bali.
Pengalaman yang sama juga ditunjukkan oleh Hildred Geertz
(1975) saat dengan berani mengatakan ada yang keliru dalam
memahami hubungan antarorang, terutama kekerabatan di
Bali. Misleading, begitu kesimpulannya dalam buku Kinship in
Bali.
Kegalauan para peneliti asing itu justru menguatkan
tesis para peneliti Puslitbang Pusat Penelitian dan
Pengembangan Bimbingan warga Agama dan Layanan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat yang tidak sampai
memasuki ruh keberagaman dalam agama Hindu. Namun
yang menggembirakan adalah kompilasi ini kaya data,
xxvii
beberapa di antaranya mungkin masih data mentah yang akan
berguna untuk memantik penelitian dan kajian berikutnya,
serta menstimulus dialektika untuk menghasilkan temuan
baru.
Agama Hindu merupakan salah satu agama tertua
yang hingga kini masih dikenal oleh warga di dunia
selain agama dunia lainnya. Dalam perjalanannya
panjangnya, agama Hindu memiliki banyak kisah baik
kosmologi, kehidupan para rsi, mitologi, para raja kuno
hingga epos wiracarita. Agama Hindu mengalami banyak
sinkretisme yang dibentuk dari perpaduan antara berbagai
jenis kepercayaan dan budaya baik di India, maupun terutama
di negarakita.
Nama agama Hindu awalnya adalah ‘Sanathana
Dharma’, yang artinya ‘kebenaran abadi’ (righteousness forever)
dari ‘yang tidak memiliki awal dan akhir’. Hindu itu tidak
berawal dan tidak berakhir atau anadi ananta. Dikisahkan,
orang-orang Persia yang pernah menyerang India pada abad 6
sebelum masehi, dianggap memberikan nama Hindu yang
berakar dari kata ‘Indus’. Beberapa ahli mengatakan kata ini
berasal dari satu kata Persia yang berarti ‘sungai rakyat’.
Anggapan ini ada benarnya, karena pada saat itu, peradaban
Hindu hidup di lembah sungai Shindu. Dengan nama
‘Sanathana Dharma’, agama Hindu menyatakan dirinya
kepada dunia bahwa kebenaran abadi akan ada untuk
selamanya, dan para Reshi ,
Secara teologis, agama Hindu tidak mengenal ‘satu
sistem kepercayaan tunggal apalagi mutlak yang disusun
demi dan untuk menyeragamkan keyakinan’, namun Hindu
menjadikan dirinya sebagai rumah besar tumbuh suburnya
kemajemukan tradisi keagamaan di India.
Mahkamah Agung India pernah menyatakan bahwa:
“Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu
tidak mengklaim satu nabi saja, tidak memuja satu
dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja,
tidak mengikuti atau mengadakan satu ritus
keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri agama Hindu itu
tidak seperti agama atau kepercayaan lain pada
umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama Hindu itu
merupakan suatu jalan hidup”.
Konsep ketuhanan dalam agama Hindu juga tidak
pernah seragam. Beberapa aliran besar yang bersifat monoteis,
dibiarkan mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa. Sementara
aliran lainnya yang bersifat monisme, yang memandang
bahwa para dewa sebagai manifestasi beragam dari Tuhan
Yang Maha Esa (ekam sat wiprah bahuda wadanti). Bahkan
Tuhan juga digambarkan dengan sahasra namam (seribu nama)
dan sahasra rupam (seribu wajah).
Beberapa aliran Hindu yang bersifat pantheistik,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita yang
meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta,
namun alam semesta bukanlah Tuhan. Beberapa filsafat
Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan)
tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun
beberapa umat Hindu memandang Hinduisme tak lebih dari
sebuah filsafat, bukan agama sebagaimana pengertian umum.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu
sistIm apalagi satu jalan yang diklaim untuk mencari
‘keselamatan’ (salvation), namun menggunkan sejumlah aliran
dan berbagai bentuk tradisi keagamaan. Sementara dalam
beberapa tradisi Hindu lainnya, juga mengandalkan ritus
tertentu sebagai hal yang sangat penting demi keselamatan.
Namun berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir
secara berdampingan, saling melengkapi.
Salah satu ciri pokok agama Hindu adalah
kepercayaan terhadap reinkarnasi (samsara, punarbhawa atau
siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma. Dan
gagasan tentang ‘keselamatan’ adalah kondisi saat individu
terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Inilah yang
disebut Moksha, tujuan tertinggi setiap umat Hindu, namun
pada saat bersamaan juga menganjurkan untuk menemukan
kebahagiaan di dunia. Penggambaran tujuan ini
diinternalisisasikan melalui kalimat Mokshartam jagathita ya ca
iti dharma yang mengandung tuntunan agar umat Hindu
dapat menemukan kebahagiaan abadinya di dunia maupun
di akhirat dengan jalan dharma (kebenaran). Berdasarkan hal-
hal seperti ini, agama Hindu dipandang sebagai agama yang
paling kompleks dari seluruh peradaban yang masih
bertahan hingga saat ini.
Namun demikian, selain beragam perbedaan yang
dapat teramati, sebenarnYa terdapat persamaan dalam
Hindu. Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Wiwekananda,
ada kesatuan fundamental dalam tubuh Hinduisme yang
mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk
pelaksanaannya. Pada umumnya, umat Hindu mengenal
berbagai nama dan gelar seperti Wisnu, Siwa,
Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara.
Beberapa aliran memandang nama dan gelar tersebut
sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang
Maha Kuasa, sehingga agama Hindu akhirnya dapat
dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan
dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi atau
makhluk surgawi yang dipandang tidak setara dengan Yang
Maha Kuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya
sebagai manifestasi dari Yang Maha Kuasa.
Meskipun dalam Hindu meyakini Weda, namun
beberapa kelompok puritan, ingin mengembalikan ajaran
Weda seperti di masa lalu, sedangkan beberapa aliran yang
lain mengabaikannya. Di India, sekte Hindu
seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, namun
masih memiliki kepercayaan akan Siwa. Sebaliknya,
sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang
disebut Akilattirattu Ammanai, namun masih meyakini Tuhan
yang sama dalam Hindu, contohnya Narayana dan Laksmi
yang memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi
Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi Hindu yang
mengagungkan Wisnu, Narayana atau Krishna
disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa
disebut Saiwa (Saiwisme). Jika dilihat dari luar, dua aliran besar
ini, Waisnawa dan Saiwa, memiliki konsep tersendiri tentang
Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran
Waisnawa dan Saiwa dipandang sebagai aliran keagamaan
yang mandiri, sebenarnya ada kadar interaksi dan saling acu
antara para teoritikus dan pujangga dari masing-masing
tradisi. Hal ini mengindikasikan adanya rasa jati diri yang
lebih luas, koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi
dalam kerangka dan garis besar kepercayaan secara umum.
Aliran, jika harus terpaksa menyebutnya seperti itu,
dalam agama Hindu dapat digolongkan ke dalam beberapa
kelompok. Jika merunut pada sistem darsana atau kefilsafatan
Hindu yang dikenal dengan Nawa Darsana, maka hanya ada
dua yang popularitasnya masih bertahan saat ini, yaitu
Wedanta dan Yoga.
Saat ini, ada beberapa kelompok besar yang masih
bertahan, yaitu Waisnawa, Saiwa, Sakta, Saura (Surya) dan
Smarta. Aliran atau mazhab besar ini sebagaimana yang hidup
di India, juga dianut oleh umat Hindu yang ada di negarakita.
Dalam beberapa fase perkembangan agama Hindu di
negarakita, lalu memuncak pada masa reformasi, muncul
kelompok-kelompok spiritual yang membawa anasir baru,
terutama praktik penghayatan melalui ritual, doa, dan
pemahaman agama. Sebut saja yang terkenal Hare Krishna,
Sai Baba, dlsb. Sebelum masuknya kelompok-kelompok
spiritual seperti ini, di negarakita sudah lama juga berkembang
berbagai kelompok keagamaan yang dianggap berakar dari
tradisional, misalnya Siwa Siddhanta, Waisnawa, Bairawa,
Tantra, dlsb.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok spiritual
dan kelompok tradisional pernah juga mengalami ketegangan.
Namun seiring berjalannya waktu, perjumpaan antara
kelompok spritual dan tradisional menjadi semakin baik,
meskipun letupan-letupan kecil masih sering ditemukan.
Memang munculnya kelompok spiritual awalnya
menimbulkan reaksi negatif dari kelompok tradisional yang
umumnya sangat mengutamakan ritual dan tidak begitu
intens dengan membaca kitab suci. Tetapi saat ini, hubungan
dua kelompok tersebut sudah mencair.
Untuk menggali informasi yang lebih mendalam
tentang keberadaan dari kedua kelompok tersebut, maka
dianggap penting untuk dilakukan penelitian lapangan
sebagai satu cara untuk membaca kembali bagaimana
keberadaan mereka dan apa dampak yang akan ditimbulkan
terhadap kehidupan keagamaan, khususnya di internal agama
Hindu maupun antar umat beragama di negarakita. Oleh
karena itu, sesuai dengan tugas dan fungsinya, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan
berkepentingan untuk melakukan penelitian dengan fokus
studi pada kelompok spiritual dan kelompok tradisional
dalam Agama Hindu.
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian
Keberadaan kelompok spiritual dan tradisional dalam
Hindu pernah mengalami dinamika. Ada pergulatan yang
cukup sering terjadi antara keduanya. Boleh jadi, dinamika
dalam pergulatan ini dapat berdampak terhadap kehidupan
keagaman baik intern maupun antarumat beragama di
negarakita.
Fenomena ini belum diungkap secara mendalam
melalui sebuah kajian, termasuk bagaimana kedua kelompok
ini berstrategi agar terus dapat hidup berdampingan dan
saling melengkapi, serta berkontribusi aktif dalam menjaga
harmonisasi kehidupan keagamaan. Untuk mengetahui secara
mendalam masalah ini, pertanyaan kunci yang dirumuskan
dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana keberadaan kelompok spiritual dan tradisional
dalam agama Hindu saat ini?
Apa dampak keberadaan kelompok spiritual dan tradisional
dalam Agama Hindu terhadap kehidupan keagamaan?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan kembali secara lengkap
keberadaan kelompok spiritual dan tradisional dalam agama
Hindu serta mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh
keberadaan kedua kelompok terhadap kehidupan keagamaan
di negarakita. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan oleh berbagai pihak terkait yang
berkepentingan, antara lain:
1. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Ditjen
Bimas Hindu, Pembimas, Penyuluh)
2. Majelis Agama (PHDI Pusat dan Daerah)
3. Lembaga Keagamaan (BPH, WHDI, Peradah)
4. Kelompok-kelompok spiritual dan tradisional.
5. Para akademisi dan pihak lain yang terkait
Metodologi Penelitian
Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian ini dilakukan di delapan daerah yang
dianggap mewakili penganut agama Hindu, baik dari
kelompok spiritual maupun tradisional. Penelitian kelompok
spiritual dilakukan di Bandar Lampung, Lampung; Jakarta
Pusat, DKI Jakarta; Klaten, Jawa Tengah; dan Surabaya, Jawa
Timur. Penelitian kelompok tradisional dilakukan di Cimahi,
Jawa Barat; Denpasar, Bali; Mataram, Nusa Tenggara Barat;
dan Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Penelitian lapangan
dilakukan selama tiga bulan, dimulai dari Januari hingga
Maret 2016.
Kelompok dalam sosiologi diartikan sebagai
kumpulan orang secara fisik, misalnya, sekelompok orang
atau sejumlah orang yang mempunyai ciri-ciri tertentu
atau sejumlah orang yang memiliki pola interaksi yang
terorganisasi dan terjadi secara berulang-ulang atau setiap
kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi , kelompok diartikan sebagai sejumlah individu
yang berkomunikasi satu dengan yang lain dalam
jangka waktu tertentu yang jumlahnya tidak terlalu
banyak, sehingga tiap orang dapat berkomunikasi dengan
semua anggota secara langsung
Sedangkan ahli sosiologi lainnya, Robert Merton
(1968) mengartikan kelompok sebagai sekelompok orang
yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang
telah mapan, sedangkan kolektiva merupakan orang yang
mempunyai rasa solidaritas karena berbagai nilai bersama
dan yang telah memiliki rasa kewajiban moral untuk
menjalankan harapan peran.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa kelompok adalah sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama
lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama
lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari
kelompok tersebut. Kelompok ini misalnya
adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan
masalah, atau suatu komite yang tengah berapat
untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi
kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi.
Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi
berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
2. Teologi Hindu
Agama Hindu tidak mengenal satu sistem
kepercayaan yang tunggal, apalagi dengan maksud
menyeragamkan keyakinan. Hindu juga tidak mengenal
klaim sentral atas satu figur (nabi). Dalam filsafat
ketuhanannya, Hindu tidak memuja satu dewa, tetapi
meyakini Tuhan itu satu saja. Mereka tidak mengikuti atau
mengadakan satu ritus keagamaan saja, tidak mengenal
satu jalan absolut keselamatan (salvation) dan tidak
mengenal doktrin sentral atau kredo.
Oleh karena itu, dalam agama Hindu peluang untuk
lahirnya berbagai kelompok-kelompok keagamaan dapat
melalui dua jalur utama, yaitu filsafat Ketuhanan praktik
keagamaan. Agama Hindu tidak hanya kaya akan konsep
ketuhanan tetapi juga kaya akan konsep filsafat atau
darsana yang identik dengan ‘visi kebenaran’ yang satu
dengan yang lainnnya saling terikat.
Filsafat Hindu memiliki karakter khusus yang
menonjol, yaitu kedalaman pembahasannya yang
mencerminkan bahwa filsafat itu telah dikembangkan
dengan sepenuh hati dalam mencari kebenaran. Apabila
kita ingin membuka karya lengkap mengenai Vedanta,
misalnya, kita akan menemukan pernyataan dari
pandangan seluruh aliran filsafat seperti Carvaka,
Bauddha, Jaina, Saiikhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya dan
Vaisesika, yang dibicarakan dan dipertimbangkan dengan
ketelitian penuh tanpa ada kesan menyalahkan satu
dengan yang lain. Demikian pula halnya karya agung
mengenai filsafat Buddha atau Jaina, juga membicarakan
pandangan filsafat lainnya.
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi
atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat
luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh
pengalaman spiritual mistis dan spiritual. Filsafat ini
merupakan hasil kepekaan intuisi yang luar biasa. Sad
darsana atau enam sistem filsafat Hindu merupakan
sarana pengajaran yang benar atau enam cara pembuktian
kebenaran. Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana
adalah :
a. Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan
ajarannya ialah pada aspek logika.
b. Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan
ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun
seseorang untuk merealisasikan sang diri.
c. Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita.
Penekanan ajarannya ialah tentang proses
perkembangan dan terjadinya alam semesta.
d. Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan
ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan
pikiran untuk mencapai Samadhi.
e. Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini
dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual
dan susila menurut konsep weda.
f. Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir
Weda. Wedanta merupakan puncak dari filsafat
Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan
Madhwa. Penekanan ajarannya adalah pada hubungan
Atma dengan Brahma dan tentang kelepasan. Selain
itu ada beberapa filsafat yang tidak mengakui otoritas
Veda dan namun tetap mempercayai beberapa ajaran
yang terdapat dalam Veda yaitu Carvaka, Jaina dan
Buddha.
3. Kelompok Spiritual dan Kelompok Tradisional
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kelompok adalah kelompok spiritual dan kelompok
tradisional yang terdapat dalam agama Hindu. Kelompok
spiritual adalah sekumpulan orang atau umat Hindu yang
mempelajari agama Hindu untuk mencari kesadaran akan
Tuhan dan kadangkala mencari anugerah dari para dewa
melalui mantra-mantra dan nanyian, cenderung berasal
dari anasir India, dan biasanya menganut hidup
vegetarian. Sedangkan kelompok tradisonal adalah
kelompok umat Hindu yang mendekatkan dirinya kepada
Tuhan dengan cara-cara lebih banyak melaksanakan ritual
keagamaan sehari-hari baik di rumah maupun pura yang
cenderung dilakukan secara komunal, kolektif.
Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, ada
satu ciri lain yang juga dilakukan oleh kedua kelompok,
yaitu mengucapkan mantra. Mantra adalah seruan,
panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar
dapat memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa
tertentu, melalui kata-kata, suara, dan lantunan nyanyian.
Pada kelompok spiritual, biasanya melakukan japa sebagai
praktik spiritual yang utama. Praktik spiritual Hindu lain
yang populer adalah Yoga dan Bhajan. Yoga menjadi salah
satu ajaran Hindu yang gunanya melatih kesadaran demi
kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal ini
dilakukan melalui seperangkat latihan dan pembentukan
posisi tubuh untuk mengendalikan raga dan pikiran.
Sedangkan Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-
lagu pujian.
Kelompok tradisional dalam agama Hindu akan
lebih banyak melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari
di rumah, atau di pura tetapi pelaksanaannya berbeda-
beda tergantung daerah, desa, dan kecenderungan umat
itu sendiri.Umat Hindu yang taat akan melaksanakan
ritual sehari-hari melalui Tri Sandhya, yaitu sembhayng
tiga kali dalam sehari (pagi-siang-sore); menyalakan dupa,
menghaturkan sesajen ke hadapan Tuhan melalui berbagai
manifestasinya, atau menyanyikan lagu-lagu pemujaan
(kidung dan kakawin).
Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sebenarnya Puslibang Kehidupan Kagamaan telah
beberapa kali telah melakukan penelitian tentang agama
Hindu. Penelitian itu antara lain:
1. “Studi tentang Agama Hindu di Kecamatan Sausu
Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah” yang
dilakukan oleh Choirul Fuad Yusuf dan Zaenal Abidin.
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
terdapat dua aliran sempalan yang tumbuh di daerah
tersebut, yaitu aliran Hare Krisna dan Sai Baba. Namun
kedua aliran ini secara doktrinal tidak mengancam
keberadaan sistem ajaran Hindu di daerah tersebut dan
tidak meresahkan warga serta pola kehidupan
beragama warga Hindu di Sausu cenderung sama
dengan pola kehidupan beragama warga Hindu di
Bali. Hal ini karena hampir seluruh pemeluk Hindu di
Sausu memiliki latar sejarah keturunan warga Bali.
2. “Aliran Sai Baba” yang dilakukan di Denpasar, Bali oleh
Mursyid Ali. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa
kelompok Sathya Sai Baba di Denpasar merupakan salah
satu cabang dari Sri Sathya Sai Centre (pusat) di Jakarta
yang mempunyai tujuan untuk mempelajari,
melaksanakan dan mengembangkan ajaran Sai Baba, dan
melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kemanusiaan
non komersial.
3. “Ajaran Sampradaya Hare Krisna dalam Konteks Agama
Hindu di Dusun Gita Nagari Baru Kec. Menggala Timur
Kab. Tulang Bawang Propinsi Lampung” yang dilakukan
oleh Ahsanul Khalikin. Dari penelitian tersebut ditemukan
bahwa ajaran Sampradaya Hare Krisna mengusung
konsep ajaran Weda mulai diwahyukan, yaitu "Moksartham
Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama
(dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani
dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara
lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di
dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup
manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Puslitbang
Kehidupan Keagamaan tersebut nampaknya masih sangat
minim sekali kajian tentang kelompok-kelompok keagamaan
dalam agama Hindu. Oleh karena itu, penelitian yang
dilakukan kali ini untuk mengembangkan lebih dalam kajian
terhadap kelompok-kelompok dalam agama Hindu secara
mendalam, serta menelusuri lebih dalam lagi tentang dampak
keberadaan kedua kelompok terhadap kehidupan keagamaan
di negarakita.
Sekilas Provinsi Lampung
Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964
dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31964
yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun
1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan
yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Secara
administratif, Provinsi Lampung terdiri atas 14
kota/kabupaten.2
Berdasarkan data kependudukan tahun 2014,
penduduk Provinsi Lampung telah mencapai 8.816.684 jiwa.
Adapun komposisi penduduk berdasarkan agama terdiri atas:
Islam (7.377.476 jiwa), Kristen (166.816 jiwa), Katolik (138.388
jiwa), Hindu (988.908 jiwa), Buddha (135.096 jiwa). Sedangkan
rumah ibadah yang ada di Porvinsi Lampung masing-masing
terdiri atas: Masjid (10.550 Buah), Mushola (14.611), Gereja
Kristen (884), Gereja Katolik (298), Pura (1.041), Vihara (181).
(Data Kementerian Agama Provinsi Lampung Tahun 2014)
Dari data tersebut terlihat jelas bahwa Provinsi
Lampung merupakan salah satu provinsi di negarakita yang
begitu plural warganya khususnya dalam hal keragaman
agama. Sebagai provinsi yang dihuni oleh penganut agama
yang beragam, kehidupan keagamaan intra dan antaragama
di wilayah Provinsi Lampung relatif berlangsung rukun
meskipun pernah terjadi peristiwa berdarah di Desa
Balinuraga, Kecamatan Waypanji, Kabupaten Lampung
Selatan. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh
Ketua Umum MUI Kabupaten Lampung Selatan, KH. Hamim
Fadhil, peristiwa tersebut bukanlah konflik agama antara
umat Islam dan Hindu, melainkan peristiwa konflik antar
desa yang kemudian terkesan difahami sebagai konflik
agama.3
Keberhasilan tersebut salah satunya dikarenakan para
tokoh agama, tokoh warga, tokoh FKUB dan unsur
Forkominda di provinsi dan daerah Kota Kabupaten se-
Provinsi Lampung secara intensif bekerjasama dan bersinergi
dalam membangun dan merawat kerukunan umat beragama.
Modal utama dalam membangun dan menjaga kerukunan
adalah senantiasa membangun kebersamaan antar pemimpin
agama dan berkomunikasi dengan warga untuk
menjaring informasi dari warga serta sering
mengundang para tokoh agama agama dalam rangka
menyosialisasikan program untuk menyebarkan spirit
kerukunan antar umat.4
Kehidupan agama yang harmonis di Provinsi
Lampung dihampir semua daerah memang sudah
berlangsung sejak lama. warga saling menghormati satu
sama lain keyakinan yang dipeluk oleh mereka. Pandangan ini
tidak hanya dikemukakan oleh para tokoh melainkan oleh
anggota warga.5 Konteks keakraban hubungan
antaragama tersebut misalnya tampak relasi antara umat
Hindu dan umat Islam serta lainnya pada saat pawai ogoh-ogoh
yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Provinsi Lampung
khususnya di Kabupaten Lampung Tengah. Agenda
tahun Festival ogoh-ogoh dalam rangka menyambut Hari Raya
Nyepi tersebut dilaksanakan oleh umat Hindu Sedarma di
Kecamatan Seputihraman, Kabupaten Lampung Tengah.
Dalam perayaan tersebut, hadir Bupati Lampung Tengah, Dr.
Ir. H. Mustafa, utusan Gubernur Lampung, sejumlah unsur
Forkominda dan terutama warga dari berbagai latar
belakang agama dan suku. Bahkan dalam pidatonya, Bupati
Lampung Tengah menegaskan bahwa festival tersebut
merupakan kekayaan daerah Kabupaten Lampung yang harus
didukung oleh pemerintah.6
Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita (SAKKHI)
dalam Lintasan Sejarah
Sebelum masuknya kelompok-kelompok spiritual, di
negarakita sudah berkembang sekte-sekte, di antaranya Siwa
Siddhanta, Waisnawa, Bairawa, dll. Dalam perkembangannya,
kelompok spiritual dan tradisional pernah mengalami
ketegangan. Seiring berjalannya waktu, muncul pula sebuah
kelompok spiritual di negarakita yakni Sampradaya Kesadaran
Krishna negarakita (SAKKHI) atau dikenal juga dengan
sebutan Hare Krishna, atau yang secara internasional dikenal
dengan nama ISKCON (International Society for Krishna
Consciousness/warga Kesadaran Krishna Internasional),
didirikan pada tahun 1966 oleh Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta
Swami Prabhupada, biasa dikenal dengan nama Srila
Prabhupada. Perkumpulan ini melanjutkan sebuah tradisi
spiritual purba yang mengakar pada Bhagavad-Gita dan
kitab-kitab Veda. Tujuan ajaran ini adalah untuk
membangkitkan kembali kesadaran Krishna, atau cinta kasih
rohani kepada Tuhan, yang saat ini sedang berada dalam
keadaan terpendam di hati setiap insan.7
Perjumpaan antara kelompok spritual dan tradisional
dalam perjalanannya menjadi semakin baik, meskipun
letupan-letupan kecil masih sering ditemukan. Munculnya
kelompok ini pada awalnya menimbulkan reaksi negatif dari
kelompok tradisional yang umumnya sangat mementingkan
ritual dan tidak mengenal kegiatan membaca kitab suci.
Tetapi saat ini hubungan dua kelompok tersebut sudah
mencair, walaupun di beberapa tempat masih terjadi
ketegangan.
SAKKHI ini seiring waktu terus mengalami
perkembangan pesat. Kelompok spiritual ini dikenal luas
sebagai perkumpulan Hare Krishna karena latihan utamanya
yakni pengucapan maha-mantra: Hare Krishna, Hare Krishna,
Krishna Krishna, Hare Hare, Hare Rama, Hare Rama, Rama Rama,
Hare Hare. Mantra ini berasal dari kitab Kalisantarana
Upanisad, salah satu bagian dari kitab-kitab Veda (Yajur
Veda). Hare Krishna tersebar luas ke seluruh dunia atas jasa
Srila Prabhupada yang pada tahun 1965 meninggalkan India
menuju Amerika Serikat untuk menyampaikan ajaran ini ke
dunia Barat. Ajaran spiritual yang sangat ilmiah ini langsung
memikat banyak pemuda Amerika yang frustrasi dengan
kemapanan materialisme di Amerika Serikat.
Mereka menekuni ajaran ini di bawah bimbingan Srila
Prabhupada dan pada gilirannya mereka menyebarluaskan
ajaran ini ke seluruh pelosok dunia. Srila Prabhupada, sang
pendiri mengunjungi Jakarta pada 1973. Selama tahun 1980-
an, hanya ada dua pusat pengajaran di negarakita, satu di
Jakarta (Rawamangun) dan satu di Bali. Perkembangan pada
tahun-tahun tersebut tidak terlalu menggembirakan
dikarenakan terjadi kekeliruan pemahaman umum terhadap
apa yang dijalani oleh para anggota sehingga mereka tidak
dapat melaksanakan praktik bhakti mereka secara terbuka.
Keadaan pemerintahan juga tidak terlalu kondusif sehingga
para anggota tidak melakukan kegiatan yang tampil di depan
publik. Namun, pasca reformasi politik pada tahun 1998
tepatnya pada tahun 2000 para anggota mengambil
kesempatan untuk menyanyikan Mahamantra Hare Krishna
di tengah khalayak umum di tempat-tempat umum, berbaur
dengan demonstrasi-demonstrasi politik yang terjadi
pada masa itu.
Pada 1 Januari 2002, didirikan SAKKHI untuk
bertindak sebagai perantara antara pihak anggota
perkumpulan yang jumlahnya terus bertambah dengan
Dewan Hindu Dharma di negarakita (Parisada Hindu Dharma
negarakita). Pada 2015, SAKKHI berubah menjadi sebuah
badan hukum dan terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik negarakita sebagai "Perkumpulan
International Society for Krishna Consciousness (ISKCON)".
Perkumpulan ISKCON ini adalah Dewan Nasional untuk
ISKCON di negarakita. Dewan tersebut berperan untuk
mengatur dan melayani para anggota dan entitas lokal,
khususnya dengan menyediakan informasi dan sumber daya
dari dunia ISKCON global. Untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatannya, penyembah ISKCON membentuk Unit Kegiatan
(temple/centre/nama-hatta) yang menjadi bagian dari
Perkumpulan, dan mereka mengadakan pertemuan sekali
setahun bersama Dewan Pengawas (7 penyembah dari
seluruh negarakita yang mengawasi aktivitas organisasi),
Dewan Pengurus (5 penyembah dan 7 departemen yang aktif
melayani para penyembah) dan perwakilan dari GBC
ISKCON.
Governing Body Commission atau GBC adalah otoritas
manajerial tertinggi ISKCON, sebagaimana telah didirikan
oleh Srila Prabhupada pada 1970. Tanggungjawab utama GBC
adalah menjaga, menyebarluaskan, dan melaksanakan
perintah-perintah Srila Prabhupada. His Holiness Kavicandra
Swami & His Holiness Ramai Swami adalah GBC bersama
untuk negarakita.
Asrama Prahlada: Titik Balik Berdirinya SAKKHI
Agama Hindu telah ada di Provinsi Lampung sejak
lama bahkan sejak era raja-raja Nusantara. Provinsi Lampung
tercatat sebagai salah satu provinsi yang mengalami
perkembangan agama Hindu yang pesat dan bahkan
termasuk provinsi kedua setelah Bali yang memiliki populasi
penduduk beragama Hindu terbesar di negarakita. Umat
9 Lihat http://www.iskconid.org/iskcon-in-negarakita, diakses 10 Maret 2016.
26
Hindu di Provinsi Lampung mayoritas beretnis Bali yang
tersebar di 14 kota dan kabupaten di Provinsi Lampung
dengan komposisi, sebagai berikut:
1. Kabupaten Lampung Barat (7.921 jiwa);
2. Kabupaten Tanggamus (16.791 jiwa);
3. Kabupaten Lampung Selatan (244.264 jiwa);
4. Kabupaten Lampung Timur (184.998 jiwa);
5. Kabupaten Lampung Tengah (304.713 jiwa);
6. Kabupaten Lampung Utara (32.131 jiwa);
7. Kabupaten Way Kanan (55.863 jiwa);
8. Kabupaten Tulang Bawang (69.381 jiwa);
9. Kabupaten Pesawaran (29.190 jiwa);
10. Kabupaten Pringsewu (10.617 jiwa);
11. Kabupaten Mesuji (2.784 jiwa);
12. Kabupaten Tulang Bawang Barat (8.650 jiwa);
13. Kota Bandar Lampung (8.761 jiwa);
14. Kota Metro (4.928 jiwa).
(Data Kementerian Agama Provinsi Lampung Tahun 2014)
Perkembangan ini diiringi dengan jumlah Pura yang
tersebar pula di berbagai daerah di Provinsi Lampung guna
memudahkan umat untuk beribadah di Pura yang jumlahnya
sudah mencapai 1.041 Pura. Selanjutnya data lain menyangkut
keberadaan Hindu di Provinsi Lampung, berdasarkan data
Pembimas Hindu Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Lampung Tahun 2014, secara terperinci tergambar
27
berikut: 4 Penyuluh PNS, 95 Penyuluh non-PNS, 169 Guru, 2
Pengawas Pendidikan.
Sejarah keberadaan warga Hindu Bali di Provinsi
Lampung dimulai sejak tahun 1950-an. Saat itu, Lampung
masih merupakan sebuah Keresidenan yang tergabung
dengan Provinsi Sumatera Selatan. Keberadaan warga Bali di
Provinsi Lampung dimulai pada tahun 1952. Saat itu
gelombang pertama transmigran asal Bali tiba di 'tanah
harapan' ini lewat Pelabuhan Panjang Lampung. Gelombang
pertama transmigran asal Bali ini berasal dari beberapa
Kabupaten di Bali seperti Tabanan, Karangasem, dan
Klungkung. Transmigran Bali yang datang pada tahun 1952
ini kemudian menempati wilayah Seputih Raman di Lampung
Tengah.
Setelah gelombang pertama tahun 1952, gelombang
kedua transmigran asal Bali datang ke Provinsi Lampung
tahun 1963-1964, pasca letusan Gunung Agung di Bali.
Gelombang kedua transmigran asal Bali tahun 1963 ini
mendiami wilayah Lampung Selatan, termasuk warga Desa
Balinuraga yang berkonflik dengan warga lain beberapa
waktu ini. Seperti halnya gelombang pertama, transmigran
asal Bali yang datang tahun 1963 ini juga mampu bertahan
hidup di tengah kerasnya kondisi alam di belantara Lampung
waktu itu. Berkat keuletan serta kegigihannya, mereka bisa
bertahan hidup dan sukses menjadi petani di perantauan. Kini
warga asal Bali sudah tersebar di 14 Kabupaten/Kota di
Lampung.10
Dari berbagai kelompok pendatang di Lampung, etnis
Bali (pemeluk Hindu) memiliki ciri khas yang menonjol yakni
ke-Bali-annya. Mereka dapat “membali” atau menjadi Bali di
Lampung. Meskipun mereka berbaur satu sama lain dengan
etnis dan agama yang berbeda, namun Ikatan sosial dengan
tanah leluhur tetap dipertahankan demi kelestarian identitas
ke-Bali-annya. “Membali” di Lampung tentu saja merupakan
sebuah proses pembentukan identitas ke-Bali-an komunitas
Hindu di Lampung. Hal tersebut memang
sangat nampak pada saat warga Hindu Lampung merayakan
festival Ogoh-Ogoh dengan menampilkan elemen-elemen
kebudayaan Bali termasuk dalam hal busana yang dikenakan
oleh warga Hindu di Lampung.
Namun demikian, dari penggambaran tentang
keberadaan umat Hindu beretnis Bali di Provinsi Lampung
tersebut, tidak seluruhnya dapat dikategorikan sebagai umat
Hindu Bali yang cukup kuat nuansa ritual keagamaannya
atau dalam bahasa lain disebut sebagai Hindu Umum atau
Hindu Tradisional. Di antara mayoritas Hindu Umum
tersebut terdapat beberapa kelompok spiritual yang
mempraktikan keberagamaannya dengan cara yang berbeda
meskipun sebagian besar sama-sama berlatar-belakang etnis
Bali dan tetap tidak mengabaikan dan meninggalkan tradisi
dan perayaan yang termasuk ke dalam kekhasan kelompok
warga Hindu Umum.
Perkembangan SAKKHI dan Asrama Prahlada
Perkumpulan Sampradaya Hare Krishna tercatat telah
memiliki lebih dari 30 temple/center di negarakita dengan lebih
dari 4000 pengikut yang tersebar di beberapa daerah termasuk
di Provinsi Lampung (Media Kit Iskcon Sakkhi: 2). Di Provinsi
Lampung terdapat 3 yayasan yang merupakan bagian dari
Perkumpulan Hare Krishna. Namun dalam penelitian ini
hanya satu perkumpulan yang diteliti lebih mendalam yakni
sebagai berikut: Asrama Prahlada.
Asrama Prahlada didirikan pada tanggal 7 Desember
1998 oleh 3 serangkai yakni HM Bhakti Raghava Swami, HG
Gaura Mandala Bumhi, dan Angalata Devi Dasi. Asrama ini
berada di bawah payung Yayasan Prahlada. Asrama ini
dibangun sehubungan dengan meningkatnya jumlah anggota
yang tergabung ke dalam SAKKHI di bawah naungan
Yayasan Prahlada. Asrama ini terdiri atas dua buah bangunan
tempat tinggal untuk anggota laki-laki dan perempuan, satu
bangunan dapur umum untuk kegiatan masak dan makan
bersama. Adapun pembiayaan pembangunan asrama
termasuk pengadaan tanahnya sepenuhnya menjadi tanggung
jawab ketiga pendiri Yayasan Prahlada. Sedangkan untuk
biaya sehari-hari dan perawatan asrama menjadi tanggung
jawab dari para anggota yang mendiami asrama tersebut.
Sebelum dibangun asrama ini, para anggota awalnya
melakukan pertemuan di kampus Universitas Negeri
Lampung kemudian pindah ke tempat lain yang lokasinya
berada di Kampung Baru, sama seperti letak asrama
Prahlada.
Saat ini, asrama Prahlada yang berlokasi di Jl. Bumi
Manti No. 96 Kampung Baru, Kota Bandar Lampung didiami
oleh 20 orang anggota yang masih tergolong mahasiswa.
Mereka tidak hanya menjadikan asrama sebagai tempat
tinggal layaknya tempat kost mahasiswa pada umumnya.
Namun mereka melakukan aktifitas-aktifitas pengkajian kitab
Bhagavad Gita dan kitab-kitab lainnya secara rutin termasuk
melakukan ibadah bersama. Namun demikian, asrama
tersebut bukanlah tempat ibadah bagi mereka mengingat
tempat ibadah anggota Sampradaya Kesadaran Krishna
adalah di temple-temple yang menjadi tempat suci bagi
anggota kelompok spiritual tersebut.14
Dalam hal administrasi dan registrasi kelembagaan,
hingga saat ini keberadaan organisasi Yayasan Prahlada
belum terdaftar di Ditjen Bimas Hindu dan Kesbangpol
setempat, dan baru sebatas akta notaris pendirian yayasan.
Namun demikian, sebagai kelompok yang termasuk ke dalam
agama Hindu maka Yayasan Prahlada ini bernaung di dalam
organisasi Parisada Hindu Dharma negarakita.
Ciri Pokok Ajaran SAKKHI
Teologi
Sebagai pelaksana ajaran Krishna, para pengikut ajaran
ini memiliki salah satu tujuan hidup mengembalikan
keyakinan semua orang kepada Tuhan dan Tuhan yang di
diyakini oleh pengikut SAKKHI adalah Tuhan Krishna
sebagai entitas tertinggi dan bahkan lebih tinggi dari Tri
Murti. Dengan demikian maka posisi Tuhan Krishna dalam
konsep teologis ajaran SAKKHI sungguh berada dalam posisi
yang sangat supreme bahkan melampaui posisi Sang Hyang
Widi Wase yang oleh pemeluk Hindu umum atau Hindu
tradisional di negarakita sebagai entitas tertinggi. Adapun
kedudukan Trimurti yakni Syiwa, Brahma dan Whisnu adalah
dewa-dewa yang diperintahkan Tuhan Krishna untuk
mengatur alam semesta sesuai dengan tugas dan
kedudukannya masing-masing.
Dalam ajaran SAKKHI, Tuhan dikenal dalam tiga
aspek atau dikenal dengan sebutan Keinsafan Tuhan, yakni
Pertama, Bhagavan. Bagawan merupakan Tuhan yang
berwujud atau memiliki wujud dalam bentuk Krishna.
Bagawan ini dalam konsep teologi ajaran SAKKHI menempati
kedudukan paling tinggi. Kedua, Paramatma. Paramatma
merupakan aspek Tuhan yang berada di setiap hati makhluk
hidup dan hati diartikan sebagai sumber kehidupan.
Paramatma ini berada pada kedudukan tertinggi kedua
setelah Bagawan. Ketiga, Brahman. Brahman tidak berwujud
tetapi sinar yang disebut Brahmajoti atau aspek Tuhan
Krishna dalam bentuk sinar. Sang Hyang Widi Wase termasuk
dalam tingkatan Tuhan yang disebut sebagai Brahman.
Di samping itu, Sri Krishna juga diyakini sebagai
perwujudan keabadian, pengetahuan dan kebahagiaan. Sri
Krishna adalah Personalitas Tertinggi Tuhan Yangg Maha Esa,
Sang Pengendali semua pengendali bawahan lainnya dan
merupakan sumber semua inkarnasi atau penjelmaan Tuhan.
Sri Krishna tidak memiliki asal mula atau sumber, melainkan
Sri Krishna adalah sumber segalanya dan sebab dari segala
sesuatu. Dengan demikian, Bhagavan sebagaimana telah
disebut di atas, merupakan sosok bercahaya sendiri yang
patut dipuja, Kebenaran Mutlak Tertinggi dan perwujudan
kebahagiaan abadi. Dia sibuk dalam kegiatan rohani bersama
potensi internal-Nya di tempat tinggal kekal milik-Nya sendiri
dan Dia tidak memiliki hubungan langsung dengan alam
material yang bersifat mati.
Konsep teologis ini dijelaskan oleh A.C. Bhaktivedanta
Swami, Pendiri Ajaran Sampradaya Kesadaran Krishna dalam
kata pengantar panjangnya di dalam kitab Bhagavad Gita
Menurut Aslinya, “Sri Krishna merupakan kepribadian Tuhan
Yang Maha Esa sebagaimana dibenarkan oleh seua acarya
atau para guru kerohanian yang mulia seperti Sankaracarya,
Ramanujacarya, Madvhacarya, Nimbarka Swami, Sri Caitanya
Mahaprabhu dan banyak penguasa pengetahuan Veda
lainnya. Sri Krishna sendiri membuktikan bahwa Sri Krishna
merupakan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa dalam
Bhagavad Gita dan Sri Krishna diakui demikian dalam
Brahma-Samhita dan semua Purana khususnya dalam Srimad-
Bhagavatam yang terkenal dengan judul Bhagavata Purana.”
(Kitab Bhagavad Gita Menurut Aslinya, 1971: 3).
15 Wawancara dengan I Wayan Ardika, I Kadek dan I Nyoman, pengurus
Asrama Prahlada, tanggal 6 Maret 2016.
Inilah yang membedakan dengan Hindu Umum atau
Hindu Tradisional yang umumnya mengakui Sang Hyang
Widi Wasa atau Brahman sebagai Tuhan dan Trimurti
merupakan dewa penjelmaan dari Brahman.
Etika dan Moralitas
Dalam ajaran SAKKHI, menurut Kadek Setiawan16
terdapat 4 prinsip yang harus dijalankan oleh pengikutnya
yakni:
a. Tidak memakan daging, ikan dan telur. Prinsip ini terkait
dengan prinsip menghargai kehidupan;
b. Tidak Mabuk-mabukan;
c. Tidak Berjudi;
d. Tidak Berzina.
Di samping keempat prinsip tersebut, dikenal pula 4
pilar keyakinan yang terdiri atas welas asih, kejujuran,
kesucian, dan pertapaan/pengendalian diri. Keempat pilar
kehidupan rohani tersebut juga harus dijalankan dan setiap
anggota harus berlatih untuk menjalankan keempat pilar
tersebut. Untuk memperkokoh prinsip-prinsip tersebut dan
untuk memusatkan pikiran dan indera-indera pada
pencapaian spiritual, anggota harus mengikuti aturan-aturan
dasar yakni diet vegetarian yang ketat, dan tidak melakukan
keempat larangan sebagaimana telah disebut di atas.
Mereka meyakini bahwa sumber daya alam,
lingkungan, dan tubuh manusia adalah pemberian suci dari
Tuhan dan harus dikelola dengan penuh tanggungjawab.
Filosofi Vaisnawa sebagai akar Hare Krishna mengajarkan
bahwa setiap mahluk hidup saling memiliki jalinan
hubungan, dengan Krishna sebagai yang tertinggi.
Penyembah Krishna menghormati hak hidup binatang, dan
menjalani pola makan seminimal mungkin melakukan
kekerasan dan eksploitasi. Oleh karena itu, mereka
memandang bahwa vegetarianisme dengan keuntungan
ekologi, sosial dan kesehatan yang tidak terhitung besarnya
merupakan pola hidup yang cocok untuk mengembangkan
cinta kasih.
Sumber Ajaran
Dalam hal kitab suci yang menjadi sumber ajarannya,
ajaran Pokok umat Hindu pengikut Sampradaya Kesadaran
Krishna negarakita secara umum tidak berbeda dengan
sebagian besar pemeluk agama Hindu yang menjadikan Veda
dan Bhagavad Gita sebagai sumber ajaran pokok. Pengikut
kelompok ini mendasarkan filosofinya pada kesusasteraan
Veda yang meliputi Bhagavad Gita, 30 Jilid Srimad
Bhagavatam, dan 17 jilid Caitanya-caritamrita. Pembelajaran
kitab-kitab ini berlangsung setiap hari. dan kelas-kelas khusus
biasanya diberikan pada saat perayaan tertentu maupun
kegiatan-kegiatan mingguan.
Ciri-ciri atau simbol keseharian
Ciri-ciri atau simbol yang nampak dalam keseharian
pengikut Sampradaya Kesadaran Krisna negarakita adalah
sebagai berikut:
a. Kalung Kantimala yang dikenakan di leher. Kalung ini
wajib dipakai oleh setiap pengikut;
b. Tilaka atau tanah liat yang sudah diayak yang warnanya
nampak keputihan dan dikenakan di bagian wajah
tepatnya dibubuhkan di antara kedua mata hingga ke
bagian hidung bagian atas;
c. Pakaian sembahyang bernama Doti untuk laki-laki dan
baju sari digunakan oleh perempuan. Namun demikian
pakaian ini bukan keharusan karena bisa juga
menggunakan pakaian lain sesuai adat daerah.17
Di samping itu hal lain yang tampak pada ajaran
SAKKHI adalah adanya perbedaan dengan Hindu Umum
atau Hindu Tradisional yakni mereka menganggap suci
pohon tulasi sehingga di depan altar sembahyangnya
diletakkan pohon tersebut. Sedangkan di Hindu tradisional
pohon yang dianggap suci adalah pohon beringin. Selain itu,
di depan altar sembahyang diletakkan pula gambar-gambar
guru dan patung Hare Krisna yang dianggap sebagai
Tuhannya.
Penjelasan dari peletakan gambar dan patung tersebut
dilandasi oleh keyakinan mereka bahwa Sang roh dianggap
mempunyai hubungan yang kekal dengan Hare Krisna
melalui pengabdian suci bhakti yang bersifat rohani. Dengan
menghidupkan kembali bhakti yang murni, seseorang dapat
kembali kepada Hare Krisna di alam rohani (Bhagavadgita,
Bab IX).
Tradisi Keagamaan/ritual/Ritual Keagamaan/Hari Besar
Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita merupakan
kelompok yang mengikuti tata cara aturan murni dari India
dengan ciri-cirinya, sebagai berikut:
a. Membaca kitab suci Bhagavat Gita dan kitab Purana
sebanyak 2 kali di siang dan malam;
b. Melakukan sembahyang rutin sebanyak 2 kali setiap hari
dan 3 kali di setiap hari minggu di pagi, siang dan malam;
c. Mengucapkan nama suci Tuhan Krishna dengan
bernyanyi memakai bahasa India, pagi mulai jam 05.00
hingga jam 05.45 dan malam hari pada jam 18.30;
d. Sarana sembahyangnya meliputi: api, dupa, bunga, air,
minyak, kapas, hio dan wangi-wangian serta gambar foto
atau patung Hare Krisna dan para guru yang diletakkan di
altar depan tempat ibadah.
e. Melakukan pola makan vegetarian;
f. cara berpakaian dalam sembahyang mengikuti pola dari
India.
Selain itu, di dalam ajaran Sampradaya Kesadaran
Krishna negarakita ini juga terdapat beberapa tradisi
keagamaan maupun perayaan-perayaan, sebagai berikut:
a. Krishna Janmastami. Kemunculan Krishna merupakan
hari yang paling suci bagi penyembah Krishna. Kuil
merayakan hari ini dengan pemujaan khusus dan
program-program yang meliputi tarian-tarian tradisional,
pengucapan nama suci, drama dan makan bersama.
Mereka juga berpuasa hingga tengah malam kemudian
berbuka puasa dengan hidangan yang tidak mengandung
biji-bijian untuk memperingati kemunculan Tuhan di
dunia;
b. Perayaan Lahirnya Srila Prabhupada dan Guru-Guru Suci.
Perayaan ini dirayakan setelah Krishna Janmastami. Di
hari lahir para guru suci tersebut, pengikut Hare Krishna
memberikan pelayanannya untuk menunjukan rasa
syukur dan apresiasi bagi Srila Prabhupada yang telah
menyebarkan pengetahuan tentang Krishna ke seluruh
dunia. Para penyembah Krishna berkumpul untuk
mengenang Srila Prabhupada dengan melakukan makan
bersama di siang hari;
c. Rathayatra. Acara yang penuh kebahagiaan ini didasarkan
pada tradisi turun temurun “festival menarik kereta ini
dirayakan di seluruh negarakita;
d. Ekadasi. Ekadasi merupakan hari raya suci yang
dirayakan dengan cara berpuasa sebulan dua kali sesuai
dengan kalender waisnawa.
Selain perayaan-perayaan dan tradisi keagamaan
lainnya yang dikerjakan, mereka pada umumnya berasal dari
etnis Bali dan berada dalam keyakinan sebagai Hindu Umum,
tidak mengabaikan sepenuhnya apa yang harus dan tidak
diperbolehkan seperti dalam ajaran Hare Krishna. Mereka
juga tetap merayakan hari raya nyepi dan galungan serta
melakukan puasa sebagaimana dilakukan oleh umat Hindu
pada umumnya.
Strategi Mempertahankan dan Mengembangkan
Eksistensi SAKKHI
Dalam mempertahankan dan mengembangkan
ajarannya, para anggota melakukan beberapa kegiatan
maupun proyek komunitas dan aktif di kegiatan-kegiatan
sosial. Mereka berprinsip untuk tidak melakukan misi
penyebaran sehingga jikapun ada yang tertarik untuk
bergabung semata-mata bukan karena diajak melainkan
karena kesadaran dan ketertarikan seseorang untuk menjadi
anggota atau pengikut. Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, bahwa di era sebelum reformasi politik tahun
1998, ajaran ini relatif sulit melakukan aktifitas pengembangan
dikarenakan situasi politik yang kurang kondusif. Namun
seiring waktu, di era dan pasca reformasi tersebut mereka
mulai menunjukan eksistensinya melalui aktifitas
menyanyikan lagu Hare Krishna dengan iring-iringan anggota
maupun pengikut.
Selain kegiatan-kegiatan di ruang publik, dalam
rangka mempertahankan eksistensi tersebut, mereka juga
mempraktikan kesadaran Krishna di rumah-rumahnya
masing-masing. Hal tersebut sangatlah efektif meskipun ada
saja tantangan dari orang-orang terdekat termasuk orang
tuanya yang umumnya berlatar belakang Hindu Umum atau
Hindu Spiritual.
Pola kepemimpinan yang berlangsung di Prahlada
mencerminkan pola kepemimpinan yang berlangsung di
tubuh Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita pada
umumnya yang memberikan kesempatan kepada
kepemimpinan lokal untuk mengatur sendiri aktifitas
keorganisasiannya. Adapun pada tingkat nasional, Yayasan
SAKKHI mengikuti otoritas Governing Body Commision atau
Badan Pengatur yang dibentuk oleh Srila Prbhupada untuk
mengawasi aktivitas dari komunitas internasional. Komite
kerohanian ini terdiri atas penyembah-penyembah Krishna
yang senior yang bekerja bersama-sama sebagai sebuah badan
untuk membina organisasi.
Pola rekrutmen dan persyaratan pengurus atau anggota
Satu hal yang menarik dalam hal kepengurusan adalah
adanya pelibatan pengikut yang masih tergolong usia muda
untuk masuk dan aktif dalam struktur kepengurusan yayasan.
Dengan demikian maka proses kaderisasi kepemimpinan
betul-betul dijalankan oleh kalangan tua di dalam kelompok
spiritual Sampradaya Kesadaran Krishna ini. Di samping itu,
terkait dengan pola rekrutmen yang terjadi, sebagaimana
informasi yang berhasil digali, diperoleh keterangan bahwa
pola rekrutmen yang dilakukan adalah melalui kegiatan-
kegiatan penerangan ajaran Sampradaya Kesadaran Krishna
baik yang bersifat individual maupun kelompok tanpa
menggunakan metode penyiaran dan pemaksaan. Mereka
memandang bahwa berkeyakinan merupakan sebuah hal
yang tidak dapat dipaksakan dan harus muncul dari dalam
kesadaran diri.
Selanjutnya dikarenakan begitu kuatnya kegiatan
pembacaan dan pengkajian Kitab Bhagavad Gita yang
dilakukan oleh kalangan muda di kelompok spiritual ini,
maka menjadi penanda bahwa apa yang dilakukan oleh
Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita ini membawa
haluan baru dan ketertarkan baru di kalangan generasi muda
yang ingin menjadi memahami, mendalami dan menyelami
makna kitab tersebut. Dalam hal keanggotaan, etnis Bali
sangat dominan menjadi anggota pengikut Sampradaya
Kesadaran Krishna ini. Adapun jumlah anggota secara
keseluruhan di dalam Yayasan Prahlada ini adalah sebanyak
20 orang anggota.
Konflik Internal dan Relasi SAKKHI dengan
Pemerintah dan warga
Selanjutnya dalam hal relasi pengikut Sampradaya
Kesadaran Krishna negarakita di Yayasan Prahlada ini dengan
mazhab yang berbeda dan umat pemeluk agama lain
termasuk dengan pemerintah dan warga berlangsung
baik dan harmonis. Sejauh ini dengan mazhab lain tidak ada
masalah dan hidup saling hormat menghormati. (I Nyoman
Sudiarsa. Wawancara. 5 Maret 2015). Hal ini dikemukakan
pula oleh Ketua RT di lingkungan tempat domisili Asrama
Prahlada. Menurutnya, selama ini warga di lingkungan
tempat mereka tinggal hampir tidak mempersoalkan
keberadaan mereka. Hal ini dikarenakan sudah bertahun-
tahun lamanya warga di lingkungan tersebut senantiasa
menjalin dan saling menghormati keberadaan warga
meskipun berlatar belakang beda baik etnis maupun agama.
Bahkan dirinya pun menyebutkan saat dan pasca peristiwa
Balinuraga sekalipun, hampir tidak ada efek negatif yang
muncul dan mempengaruhi hubungan yang sudah terjalin
dengan baik. Selain itu, anggota Asrama Prahlada ini pun
aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diinisiasi dan dilakukan
oleh warga di lingkungan Asrama Prahlada.
Terkait hubungan dengan Hindu pada umumnya atau
Hindu tradisional yang dominan dianut oleh warga
negarakita termasuk umat Hindu yang berada di Lampung,
inisiatif kebersamaan ini memang telah didorong pula oleh
pemerintah, dalam hal ini adalah Pembimas Hindu di Kantor
Wilayah Provinsi Lampung. Salah satu bentuk upaya
pemerintah pada tingkat pusat yakni di Ditjen Bimas Hindu
Kementerian Agama RI dan Parisada Hindu Dharma
negarakita bersama para pimpinan kelompok Hindu spiritual
pernah menginisiasi terjadinya Kesepakatan Bersama pada
tanggal 5 November 2001 yang berisi empat point kesepakatan
yang pada intinya adalah sepakat untuk saling menghormati
tata cara kegiatan kerohanian dan keagamaan masing-masing
campradaya. Dasar kesepakatan tersebut berbasis pada sloka
Bhagavad Gita yang berbunyi “Bagaimanapun jalan manusia
mengikutiKu, Aku Terima, Wahai Arjuna, Manusia mengikuti pada
segala jalan”. (Bhagavad Gita, IV: 11).
Kesepakatan tersebut telah menjadi jawaban atas
realitas yang tidak dapat dimungkiri bahwa keberadaan
kelompok-kelompok Hindu spiritual ini pernah menjadi
kontroversi di kalangan penganut Hindu dan sempat terjadi
ketegangan antara kelompok spiritual dan Hindu Tradisional
sebagaimana pernah terjadi di Bali.19 Bahkan berdasarkan
penulusuran di beberapa sosial media, muncul pula polemik
tentang keberadaan Sampradaya Kesadaran Krishna
negarakita yang dipandang sesat.
Namun demikian pandangan semacam ini
terbantahkan oleh pandangan Sekretaris PHDI Provinsi
Lampung yang menyatakan bahwa dalam agama Hindu tidak
dikenal istilah sesat ataupun menyimpang.20 Ketua PHDI
Provinsi Lampung juga menegaskan bahwa pegangan
beragama di agama Hindu ada 3, yakni mantram atau kunci
sebagai kekuatan doa yang bersumber dari kitab suci Veda.
Doa-doa itu diyakini dan harus dilaksanakan dengan sepenuh
hati. Di dalam hidup tidak cukup mantram tapi perlu jalan
yaitu Tantra. Namun demikian tidak cukup Mantram dan
Tantra tetapi juga perlu Yantra sebagai sarana seperti halnya
kelompok Kesadaran Krishna yang memakai arca Krishna.
Jadi apa yang dipilih oleh kelompok spiritual Kesadaran
Krishna merupakan pilihan jalan. Sebetulnya dari aspek spirit,
jika orang tidak mengenal dan memahami ketiga hal tersebut
maka responnya terhadap Sampradaya Kesadaran Krishna
akan berbeda. Sedangkan bagi bagi yang memahami
ketiganya maka akan mengatakan bahwa mereka hebat sekali
dalam melakukan pendakian spiritual. Kalau orang masih di
tataran agama maka akan sepi dalam spiritualitas.
Masih menurut penjelasan Ketua PHDI Provinsi
Lampung, pengertin Spiritual dimaksud merupakan pelaku
yang sudah melaksanakan apa-apa yang diajarkan dalam
kitab suci, sedangkan jika masih hanya sebatas mengingatkan
dan mengajak tetapi tidak melakukan, baru berada pada
tingkat agama saja. Dengan adanya perbedaan tersebut, Ketua
PHDI Prov Lampung sudah menyarankan kepada mereka
untuk berbaur dan jangan ekslusif dan ritual yang sudah ada
di tempel mereka jangan sampai dibawa ke pura. Dulu
mereka memang masih sangat nyentrik. Di kelompok ini
mereka mempunyai guru yakni kumpulan suci atau Syahdu
Sangga. Untuk menjaga kerukunan, Ia pun menegaskan
kepada umat Hindu di Lampung agar saling menghormati.
Menurutnya sah-sah saja berbeda dalam mengagungkan Sri
Krishna sebab dalam dasar agama Hindu terdapat 3 hal yang
harus difahami bahwa kita Veda-nya harus sama, etikanya
harus sama dan atapnya atau ritualnya yang berbeda.21
Hal yang mempererat hubungan mereka
sesungguhnya adalah adanya ikatan sosial memperkuat
hubungan antar sampradaya dan Hindu Umum. Namun
demikian perlu diberikan pemahaman kepada internal umat
Hindu bahwa memang ada banyak kelompok spiritual di
dalam Hindu serta berharap kepada anggota Sampradaya
untuk mau membuka diri dan terbuka untuk membangun
kerjasama untuk melakukan pengabdian kepada warga.
Menyangkut praktik spiritual, Hare kresna memang
kelompok spiritualis yang betul betul merupakan pelaku dan
alangkah baiknya praktik spiritual itu juga tanpa harus
mengenyampingkan kecerdasan sosial karena bukan tidak
mungkin akan terjadi persinggungan-persinggungan.22
Dampak Keberadaan SAKKHI terhadap Kehidupan
Keagamaan
Keberadaan Sampradaya Kesadaran Krishna negarakita
di Provinsi Lampung sama sekali tidak berdampak terhadap
lingkungan karena kelompok-kelompok spiritual tersebut
tidak ekslusif dan tidak pernah ada gejolak dan ketegangan.
Hingga detik ini kerukunan umat Hindu masih sangat terjaga
(I Nyoman. FGD. 12 Maret 2016). Hal ini dikemukakan pula
oleh Ketua RT di lingkungan tempat domisili Asrama
21 Hasil FGD tanggal 12 Maret 2016
22 Hasil FGD bersama Sutarjana, Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu,
tanggal 12 Maret 2016.
Prahlada. Menurutnya, selama ini warga di lingkungan
tempat mereka tinggal hampir tidak mempersoalkan
keberadaan mereka meskipun para anggota Sampradaya
Kesadaran Krishna di Asram Prahlada melaksanakan kegiatan
ibadah di asrama tersebut.
Berdasarkan temuan lapangan dan analisisnya,
kesimpulan hasil penelitian ini antara lain:
1. Keberadaan kelompok Spiritual Hindu Hare Krishna
maupun Hindu Saibaba selama ini tidak menjadi masalah,
karena kelompok mereka masih mengakui agama Hindu
sebagai agama dan mengakui kitab Weda sebagai kitab
suci agama Hindu. Mereka juga membaca kitab Bhagavad
Gita dan Purana serta rajin dan bersemangat dalam
menjalankan ibadahnya.
2. Keberadaan kelompok keagamaan tersebut tidak
membawa dampak negatif di warga selama masih
berbaur dengan umat beragama lainnya dan tidak
bersikap ekslusif dan menonjolkan perbedaan-perbedaan
yang ada. Sikap-sikap inilah, mereka dihargai dan
dihormati, baik oleh warga maupun oleh lembaga
keagamaan dan pemerintah.
3. Kelompok Spiritual Hindu Krishna meyakini Krishna
sebagai Tuhan, berbeda dengan Hindu mainstream.
Keberadaan mereka diakui oleh berbagai pihak selama ia
tidak membawa-bawa sarana-sarana dalam
persembahyangan mereka ke Pura. Bahkan Kelompok
Spiritual Hindu Krishna berada di bawah naungan PHDI
dan sudah terdaftar di PHDI, sehingga tidak perlu lagi
mendaftarkan ke Direktorat Bimas Hindu.
Berdasarkan analisis dan kesimpulan di atas, penelitian ini
menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain:
1. Hubungan antara kelompok spiritual Hindu Hare Krishna
dengan kelompok Hindu umumnya (tradisional) maupun
dengan kelompok Sai Baba sudah cukup baik dan harus
terus dipertahankan.
2. Kelompok spiritual Hindu Krishna perlu didaftarkan di
Direktorat Bimas Hindu sebagai legalitas keberadaan
mereka meskipun sudah terdaftar di PHDI.
Sejarah Singkat Kehidupan Bhagavan Shri Satya Sai
Baba
Sai Baba lahir di Desa Puttaparthi, Bangalore India
Selatan pada tanggal 23 November 1926. Menurut cerita,
Puttaparthi adalah tempat Dewi Saraswati (Dewi
Kebijaksanaan) dan Dewi Laksmi (Dewi Keberuntungan)
berada. Sai Baba putra dari pasangan suami isteri Pedda dan
Eswaramma Raju, suatu keluarga yang taat beragama Hindu.
Waktu kecil Sai Baba bernama Sathya Narayana dan menjadi
anak kesayangan keluarga, bahkan warga desa setempat.
Dari kecil Sai Baba tidak suka makan daging, dan
menjadi penyayang binatang seperti sapi, domba, babi, ayam
dan bebek. Lantaran sikapnya yang menyayangi binatang,
tidak makan daging dan enggan membunuh makhluk Tuhan,
oleh warga setempat beliau disebut “Brahmajnani” yang
berarti jiwa yang telah menginsyapi dirinya. Hal itu terjadi
ketika Sai Baba berusia 5 tahun. Sikap terpuji lain yang
dimilikinya adalah lemah lembut, peka terhadap penderitaan
orang lain, suka menolong orang miskin dan pengemis, dan
tidak pernah menyakiti orang lain serta tidak mendendam
terhadap anak-anak yang berlaku kasar terhadap dirinya.
Diriwayatkan pula sejak usia 6 tahun Sai Baba telah
memiliki kelebihan, mampu memahami dan mengajukan isi
kitab suci Weda, pada hal ia sendiri belum pernah
membacanya. Beliau juga dapat menahan lapar, tidak makan
beberapa hari tapi tetap sehat, bisa mengobati orang sakit
bahkan pernah menghidupkan orang yang diperkirakan
sudah mati. Di sekolah ia menjadi murid yang cerdas, baik
budi, disenangi dan dikagumi oleh teman dan guru-gurunya
karena banyak memiliki keistimewaan. Umur 10 tahun Sathya
membentuk kelompok Bhajan atau kelompok penyanyi lagu-
lagu keagamaan gubahannya sendiri. Waktu beberapa daerah
setempat diserang wabah kolera dan banyak korban
meninggal, Desa Puttaparthi selamat dari penyakit tersebut.
warga beranggapan bahwa terhindarnya warga
Puttaparthi itu karena kesaktian Sathya yang mampu
menghindarkan serangan kolera lewat nyanyian dan tarian
kelompok Bhajan yang dipimpinnya.
Dari hari ke hari Sathya makin populer. Sejak saat itu
Sathya menyatakan dirinya sebagai Sai Baba yang mempunyai
tugas untuk memulihkan kebenaran, kesucian, kedamaian,
dan kasih sayang umat manusia. Sejak saat itu pula banyak
orang yang datang kepadanya untuk belajar, meminta berkah,
serta melakukan pemujaan atau kebaktian di tempat Sai Baba.
Pada tahun 1974, Sai Baba tampil sebagai Guru Agung Rakyat
dan memimpin Konprensi.
Para pengagum dan pendengar khutbahnya meliputi
berbagai kalangan warga seperti para rahib, pujangga,
cendekiawan, pengusaha, petani, pria dan wanita. Mereka
merasa beruntung sempat menyaksikan kelebihan dan ajaran-
ajaran Sai Baba dan ikut menyebarkan berita tentang
keistimewaan beliau kemana-mana. Pada tahun 1958 Sai Baba
meresmikan majalah “Sanathana Sarathi” (Sais Abadi Yang
Maha Ada), sebagai media untuk menyebarkan ajarannya.
Majalah itu diterbitkan dalam berbagai bahasa antara lain
bahasa Inggris dan bahasa Telegu. Melalui publikasi serta
kunjungan Sai Baba secara pribadi ke berbagai tempat sambil
berceramah dan membantu warga yang sakit, frustasi,
terganggu jiwa dan tertindas, maka ajaran Sai Baba makin
tersebar ke manca Negara, termasuk ke negarakita sekitar
tahun 1979. Sekarang para pengikut Sai Baba diperkirakan 70
juta orang yang tersebar di 128 negara seperti India, Ingggris,
Kanada, Amerika, Thailand, Malaysia, Hongkong, Mexico,
Hawai, Afrika Selatan, serta negarakita
Keberadaan Sai Studi Group (SSG) di negarakita
Untuk memahami dan mengembangkan ajaran Sri
Sathya Sai Baba dibentuk Sai Studi Group negarakita disingkat
SSGI untuk pusat dan Sai Studi Group (SSG) atau Sai
Devotional Group (SDG) di daerah. Sai artinya teaching, studi
artinya bagaimana kita menafsirkan/mengkaji, group
kelompok untuk menjadi orang yang lebih baik. SSGI berarti
kelompok yang berusaha mempelajari ajaran-ajaran Sai Baba
agar menjadi orang yang lebih baik.
Visi dari organisasi SSGI adalah menyadari ketuhanan
di dalam diri (Aham Brahma Asmi). Hanya setelah menyadari
ketuhanan di dalam diri, kita akan dapat menyadari esensi
Ketuhanan juga ada dalam setiap makhluk. Dengan demikian,
tidak ada alas an lagi bagi kita untuk saling membenci.
Hukum yang ada hanyalah saling mengasihi untuk mencapai
kebebasan. Visi adalah arah yang ingin dituju oleh organisasi.
Tidak terlalu penting kita ada di mana, tapi yang jauh lebih
penting adalah ARAH mana kita akan melangkah.
Untuk mencapai visi tersebut maka organisasi SSGI
mempunyai misi. Misi adalah berbagai upaya yang ditujukan
untuk mewujudkan/merealisasikan suatu visi. Misi S SGI
adalah menumbuhkan, mengembangkan, dan menjalin
persahabatan serta persaudaraan atas dasar cinta kasih antar
sesama umat manusia, tanpa membedakan suku, bangsa, ras,
golongan, jabatan, agama dan kepercayaan. Sedangkan misi
Bhagavan sebagai Sad Guru:
“Aku datang tidak untuk mengganggu apalagi merusak
keyakinan yang telah ada, tapi justru lebih memperkuat -
agar umat Muslim menjadi Muslim yang lebih baik, Kristen
menjadi Kristen yang lebih baik, Buddhist menjadi Buddhist
yang lebih baik, Hindu menjadi Hindu yang lebih baik”.
Dalam rangka merealisasikan misi tersebut maka
perlu dibudayakan menjadi prilaku dalam kehidupan sehari-
hari yang disebut dengan Budaya Sai. Budaya Sai adalah
upaya untuk membudayakan apa yang diisyaratkan dalam
Misi Sai. Budaya Sai adalah: “Love All (Kasihi Semua) - Serve
All (Layani Semua)”. Dengan kata lain Budaya Sai adalah
upaya untuk membudayakan sifat dan sikap hidup untuk
saling mengasihi dan melayani setiap orang. Kita mungkin
dapat mencintai seseorang (love), kita mungkin dapat
melayani seseorang (serve), Tapi sudahkkah kita dapat
mencintai & melayani SETIAP ORANG (ALL). All (semua)
menjadi prinsip Budaya Sai.
Setiap orang maupun organisasi harus mempunyai
kepribadian. Kepribadian menunjukkan jatidiri seseorang
yang tidak lain adalah kasih itu sendiri. Kasih selalu menjadi
dasar hidupnya. Karena itu Kepribadian Sai adalah PANCA
PILAR: Kebenaran, Kebajikan, Kasih Sayang, Kedamaian,
Tanpa Kekerasan.
Seseorang yang hidup di jalan Sai akan hadir sebagai
pribadi yang bijaksana dan penuh Kasih Sayang kepada
sesama, dimana wacananya selalu menyampaikan Kebenaran,
tindakannya selalu mencerminkan kebajikan, perasaannya
selalu dipenuhi kedamaian dan pandangannya selalu
menyiratkan sikap tanpa kekerasan.
Setiap organisasi umumnya mempunyai keunikan
sendiri bila dibandingkan denga organisasi lainnya. Keunikan
Sai adalah semua dilihat dari perspektif: setiap pandangan,
sikap atau pun kegiatan yang dilakukan selalu dipandang
sebagai usaha untuk merealisasikan dan mengembangkan
spiritualitas diri melalui; SAI = See Always Inside (selalu
melihat dan mulai dari diri sendiri). Unity-Purity-Divinity
(selalu dilihat sebagai usaha untuk membangun dan
mengembangkan Kesatuan—Kemurnian—Ketuhanan). LOVE
in ACTION (setiap tindakan selalu didasari oleh Cinta Kasih).
Sai Baba berkata:
“Tuhan tidak akan bertanya; kapan dan di mana kita
melakukan pelayanan? Tuhan akan bertanya: Dengan niat
apa engkau melakukan pelayanan. Adalah niat yang engkau
harus ingatkan. Engkau dapat saja menambah sevamu
dengan meningkatkan kuantitasnya. Tapi Tuhan selalu akan
melihat kualitas, kualitas hati, kemurnian pikiran dan
kesucian niat” (Sathya Sai Speak 11, hal 5-6).
Sesuatu akan dapat berfungsi sebagaimana mestinya,
bila diposisikan dengan tepat. Begitu juga dengan Sai. Karena
keunikan Sai selalu melihat dari perspektif pengembangan
spiritualitas diri, sehingga posisi Sai adalah:
54
1. SAI=Menempatkan Bhagavan Sri Sathya Sai Baba sebagai
Sad Guru. Selalu melihat ke dalam atau mulai dari diri
sendiri;
2. (2). Sosial Spiritual = Selalu mengembangkan rasa bhakti
melalui PELAYANAN/SOSIAL dijiwai nilai-nilai
SPIRITUAL;
3. Forum Studi (Sai Study Group) = Tempat untuk belajar
dan mengembangkan SPIRITUALITAS DIRI.
Sai adalah Forum bagi setiap orang untuk mempelajari
dan mengembangkan nilai-nilai spiritual yang dipraktekkan
melalui aktivitas pelayanan sosial. SAI adalah wahana untuk
melakukan Transformasi diri dengan mengembangkan
KESATUAN (Unity), KEMURNIAN (Purirty) dan
KETUHANAN (Divinity) dimulai dari diri sendiri untuk
warga.
Bila inti dari identitas SAI ditarik garis lurus
diketemukan benang merah yang sama yaitu LOVE/CINTA
KASIH = ATMA. Untuk lebih mudah memahami, mari kita
perhatikan tahapannya:
Pertama : Sifat alami/jatidiri kita adalah Love = Cinta
Kasih = Atma;
Kedua : Visi SAI adalah menyadari Ketuhanan = Love =
Cinta Kasih di dalam diri;
Ketiga : Misi SAI menimbuhkan, mengembangkan dan
menjalin persahabatan atas dasar Love = Cinta
Kasih kepada sesama;
Keempat : BUDAYA SAI menjadikan Love = Cinta Kasih
sebagai budaya dan prinsip hidup;
Kelima : PRIBADI SAI menjadikan Love = Cinta Kasih
tercermin dalam sikap yang selalu
mencerminkan kebenaran, kebajikan, kasih
sayang, kedamaian dan tanpa kekerasan.
Dari kelima di atas, ditambah lagi dengan
keunikan/diferensiasi akan menghadirkan posisi dan
personalitas organisasi SAI yang juga berlandaskan pada Love
= Cinta Kasih. Dengan demikian jelas, Kasih sebagai Dasar
sekaligus Tujuan.
Karakter SAI adalah LOVE (Cinta Kasih). Jiwa = Atma
= percikan sinar kasih Tuhan yang ada dalam setiap makhluk,
sedangkan Kasih adalah wujud dari Atma. Sabda Bhagavan:
“Love is My Form- Truth is My Breath, Bliss is My Food”. (Cinta
Kasih adalah wujudKu- Kebenaran adalah nafasKu-
Kebahagiaan yang mendalam adalah makananKu), Love is My
Message (Kasih adalah PesanKu). Kasih inilah yang dijadikan
senjata oleh Bhagavan dalam menyelamatkan dunia.
Cinta Kasih adalah Tuhan dan Tuhan adalah
perwujudan cinta kasih itu sendiri. Dimana ada cinta kasih,
Tuhan pasti akan hadir disana. Integrasikanlah Cinta Kasih
dalam setiap tindakan pelayanan dan jadikanlah pelayanan
sebagai ibadah. Itulah sadhana tertinggi (Sathya Sai Speaks 4,
hal 309).
Menurut Sai Baba:
Hanya ada satu agama-berlandaskan Cinta Kasih;
Hanya ada satu bahasa-bahasa hati;
Hanya ada satu kasta-kasta kemanusiaan;
Hanya ada satu Tuhan Ia ada di mana-mana dan dihati
setiap makhluk.
Sai menempatkan Bhagavan Sai Sri Sathya Sai Babab
sebagai Sad Guru. Sedangkan hubungan Bakhta dengan
Baghavan:
Pertama : menempatkan Bhagavan sebagai manusia
(aspek fisik). Agar dapat lebih mudah
berkomunikasi/berinteraksi seluruh umat
manusia.
Kedua : Baghavan sebagai Sad Guru (Guru Deva). Agar
Beliau dapat membimbing dan menyampaikan
wejangan/ajaran Ketuhanan untuk
membebaskan umat manusia dari belenggu
khayalan yang mengikatnya selama ini menuju
kesadaran Tuhan.
Ketiga : Bhagavan sebagai kesadaran kosmis (Avatar).
Agar setiap umat manusia dan seluruh
makhluk hidup di semesta ini dapat merasakan
rahmat Sai.
Terkait hubungan Baghavan dengan bhaktaNya,
Beliau pernah berwacana bahwa: “…hubunganKu dengan
engkau adalah hubungan personal, langsung tanpa perantara…”
Itu artinya, Baba sangat memahami keperluan atau keadaan
individu dari setiap bakhta-Nya. Untuk menjawab keperluan
tersebut, Baba akan berhubungan langsung, melalui ketiga
aspek pribadiNya (wujud fisik, sad guru, atau pun melalui
kesadaran kosmis) tanpa perantara. Bila kemudian ada
praktik-praktik dan seseorang yang mengatasnamakan
Bhagavan, jelas tidak dibenarkan.
Arti Sai Baba secara Etimologi
Kata Sai Baba selama ini sering diartikan hanya
sebagai Ayah atau Ibu Ilahi. Ternyata selain itu setiap huruf
dalam kata menyiratkan makna yang mengantarkan
bakhtanya menuju Ketuhanan. SAI yang sering diartikan
dengan SEE (melihat), ALWAYS (selalu), INSIDE (kedalam)
menyiratakan makna agar kita selalu mengarahkan
pandangan dan penglihatan kita ke dalam atau mulai dari
pengembangan kualitas diri. Lalu apa yang ada di dalam?
Mari kita perhatikan mkananya, serta bagaimana
hubungannya dengan pengertian SAT CHIT ANANDAM.
B = stand for Being atau EXISTENCE (Kebenaran yang juga
berarti SAT)
A = stand for AWARENES (Kesadaran yang juga berarti
Chit)
B = stand for Bliss (Kebahagiaan Abadi yang juga berarti
Anandam)
A = stand for Atma (Ketuhanan)
Pengertian BABA dalam konteks ini adalah kesadaran
akan kebenaran yang dapat menghadirkan kebahagiaan abadi
dalam ketuhanan. Jadi pengertian SAI BABA adalah selalu
melihat ke dalam atau mulai dari pengembangan
kualitas/spiritualitas diri menuju kesadaran akan kebenaran
yang membawa kita pada kebahagiaan abadi dalam
ketuhanan.
Memahami Prinsip Bhakti
Tidak semata-mata bhakti yang Aku inginkan, Aku
ingin tindakan yang dimotivasi oleh Bhakti. Bhakti harus
dilandasi motivasi yang tepat, tanpa kepentingan ataupun
ikatan. Memahami Prinsip Pelayanan:
Pelayanan adalah disiplin spiritual;
Pelayananan sebagai sarana untuk mengekspresikan ajaran
Sai;
Pelayanan sebagai wahana untuk merahi mutiara
kebijaksanaan dan kebahagiaan abadi;
“Menava Sevaye, Madhava Seva (melayani umat manusia,
berarti melayani Tuhan).
Memahami Integritas SAI di warga
Disadari bahwa kita adalah bagian dari warga,
bukan warga bagian dari kita. Oleh karena itu, sudah
menjadi kewajiban kita untuk mendharmabaktikan kehidupan
ini untuk kesejahteraan warga. warga adalah
kumpulan individu-individu yang mempunyai karakteristik
yang unik. Di warga pula kita akan temukan
keberagaman latar belakang dan pandangan, karenanya
warga adalah tempat yang baik untuk mengasah
Kebijaksanaan dengan membangun semangat kesatuan dalam
perbedaan. Dimulai dengan membangun kesatuan dalam
pikiran, perkataan, dan perbuatan, seseorang akan hadir
sebagai pribadi yang memiliki integritas, prinsip dan jati diri.
Sejalan dengan usaha