Tampilkan postingan dengan label hindustan 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hindustan 3. Tampilkan semua postingan

hindustan 3

 bisa 
dilakukan dirumah. Namun sebagaimana halnya sekolah 
diperlukan kehadiran murid untuk mendapatkan pelajaran 
selain bisa berkumpul dan berintegrasi dengan teman lain. 
Masing-masing datang untuk memperbaiki dirinya dan 
mereka mau belajar meditasi karena ada manfaatnya, 
terutama bagi yang manula ada yang sampai satu jam, bahkan 
ada yang hanya 15 menit saja, kemudian pulang.  
BK terbuka bagi siapa saja  yang ingin belajar meditasi  
dengan cuma-cuma, sekarang ini yang aktif  sekitar 20 orang. 
Mereka datang karena merasakan ada manfaatnya, meskipun 
sebenarnya bisa dilakukan meditasi dirumah. Mereka datang 
untuk memperbaiki dirinya dan belajar karena merasakan ada 
manfaatnya. Seperti sekolah, tujuannya agar ada 
                                                          
perkumpulan ada teman-teman, saling berinteraksi. Demikian 
pula datang ke BK untuk belajar, meskipun ada yang datang 
hanya 15 menit atau sampai satu jam.  Ini merupakan cara Bk 
mempertahankan eksistensinya. 
Menurut Wayan Suraba dari PHDI mengatakan bahwa 
BK itu termasuk salah satu sekte dalam sampradaya. 
Sampradaya itu adalah lembaga Hindu yang melaksanakan 
kegiatan-kegiatan spiritual. Karena dalam Hindu banyak 
mengenal banyak sekte. Di mana didalamnya mengenal ajaran 
weda. Karena itu sebagai Parisada akan mengayomi semua 
sekte-sekte, karena itu tidak bermasalah dengan keberadaan 
BK. Dan tampaknya yang mengikuti BK kelihatannya sangat 
militan yang menjadi anggotanya dalam mengikuti meditasi. 
Karena kita ini ada istilah “semua yang ada di muka bumi ini 
adalah saudara”. Karena anggota yang ikut meditasi itu juga 
masih menjalankan ajaran agama Hindu, karena memang 
sebagai umat Hindu. Salah satu pemangku kami (Wayan 
Juwet) ikut meditasi BK. Tujuan BK itu baik dan positif.  
Dalam pandangan PHDI, BK cukup baik, dan belum 
melihat dampak negatifnya dalam kehidupan keagamaan di 
lingkungan agama Hindu, bahkan kami di undang untuk 
memberikan khutbah, diskusi hampir setiap tahun 
memberikan wacana atas permintaan BK. Dan kami beberapa 
kali ikut dalam meditasi. Kami berpatokan pada sebuah 
tujuan dan ending. Tujuannya baik dan empatinya baik, apa 
yang dilakukan BK. Tujuan akhirnya adalah untuk 
menciptakan kedamaian, baik dalam intern maupun terhadap 
lingkungan sangat baik. Kami juga sering mengundang BK 
 
dalam acara sarasehan misalnya. Dalam kegiatan keagamaan 
Hindu, biasa pula mereka lakukan yang beragama Hindu 
terlibat dalam acara ritual keagamaan ini, karena memang 
sebagai pemeluk agama Hindu.  
Baik PHDI maupun Kementerian Agama, dalam hal ini 
Pembimas Hindu, mengatakan kalau BK itu organisasi murni 
agama Hindu anggotanya, kita berhak membina tetapi karena 
pengikutnya ada yang dari luar Hindu, organisasinya lintas 
agama, maka kita tidak berhak membinanya. Mengingat 
model belajar meditasi yang dikoordinir BK tidak menerapkan 
ajaran agama Hindu, karena itulah sebagai yayasan sosial, 
Brahma Kumaris terdaftar di Dinas Sosial dan memiliki surat 
ijin operasional untuk melakukan kegiatannya dengan nama. 
Brahma Kumaris Yayasan Studi Spiritualitas, 
berdasarkan Surat Tanda Pendaftar Ulang dengan Nomor: 
468.3/7959/436.6.15/2014 telah diputuskan di Surabaya pada 
tanggal, 29 September 2014. Selain mendapat Surat Tanda 
Pendaftaran Ulang dari Dinas Sosial, BK juga mendapat Surat 
Keputusan dari Departemen Hukum dan Ham tentang 
Pengesahan Yayasan dengan Nomor: AHU-1723. AH.01.04 
Tahun 2009, ditetapkan tanggal 20 Mei 2009. Kemudian dari 
Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan 
warga, tertera Surat Keterangan Terdaftar di Nomor: 
220/17373/436.7.3/2011, yang ditetapkan di Surabaya tanggal, 4 
November 2011. Tetapi BK di Surabaya tidak mendapat 
legalitas dari Pembimas Hindu, karena anggotanya lintas 
agama.  

Berdasarkan uraian di atas dan analisis hasil 
penelitian, dapat disimpulkan, antara lain: 
1. Meditasi di Brahma Kumaris atau BK, bukanlah meditasi 
yang diajarkan sebagaimana dalam agama Hindu, 
meskipun berasal dan didirikan oleh Brahma Baba yang 
memeluk agama Hindu.  Meditasi BK tidak dengan 
mengosongkan pikiran, melainkan mengubah cara berfikir 
dengan menghilangkan pikiran-pikiran negatif, tidak 
perlu menghkawatirkan orang lain, mencoba 
membangkitkan sisi positif dalam jiwa yang dibangkitkan 
melalui spiritual dengan menata diri sendiri. Meditasi 
pada BK tidak menutup mata tetapi membuka mata 
dengan posisi duduk serilek mungkin, boleh duduk diatas 
bangku/kursi atau sofa, atau dimana saja dan dapat 
dilaksanakan kapan saja. Sebagai pemula mengikuti 
pelajaran meditasi selama 7 kali pertemuan tidak terputus, 
yang dimulai pukul 06.00–07.30 WIB, dan untuk 
selanjutnya bisa diteruskan kapan kesiapan waktunya. 
2. Meditasi spiritual BK tidak membawa dampak buruk 
dalam kehidupan keagamaan umat Hindu, karena BK 
merupakan lembaga sosial yang memberikan pelayanan 
melalui meditasi spiritual lintas agama. Oleh sebab itulah 
Pembimas agama Hindu di Surabaya tidak memberikan 
binaan pada BK, karena yang mengiktui meditasi pada BK  
juga terdiri dari anggota yang berbeda-beda agama, 
sehingga tidak ada hak untuk memberikan pembinaan 
agama Hindu. Sebagai angggota keluarga BK yang 
beragama Hindu tetap menjalankan ajaran agamanya, 
 
demikian pula pada umat yang lainnya tetap menjalankan 
ajaran agamanya atau merayakan hari besar 
keagamaannya. Studi Spiritual BK tidak ada hari libur, 
meskipun hari besar keagamaan tetap ada pelajaran 
meditasi. 
Selama ini hubungan BK sebagai lembaga sosial, baik 
dengan Pembimas Agama Hindu dan PHDI terjalin dengan 
baik, sebaiknya BK terus menerus melakukan hubungan yang 
baik, meskipun tidak ada hubungan kerja secara langsung.   
 

Memahami Hindu di Perantauan 
Telah menjadi rahasia umum bahwa diaspora etnis 
Bali termasuk salah satu fenomena yang paling mudah terlihat 
di tanah air. Salah satu bukti eksistensi diaspora Bali yang 
perlu dilihat adalah warga Bali yang beragama Hindu 
dan yang menetap di Cimahi, Jawa Barat. Sejauh ini ada 
upaya elit untuk mereformulasi Hindu lebih kepada inti 
ajaran, dalam pengertian berusaha mengurangi unsur budaya 
dan terlebih unsur ke-Bali-annya. Dalam konteks ini, perlu 
dicatat bahwa Hindu yang berakar di Bali penuh dengan 
unsur ritual, ketimbang spiritual. Hindu di Bali secara turun 
temurun diwarnai dengan rupa-rupa ornamen seni dan 
budaya yang hadir melalui aneka rupa sesajian. Jika dikaitkan 
dengan kerangka dasar Agama Hindu, praktik Hindu di 
negarakita (di Bali khususnya) lebih menekankan pada aspek 
ritual (ritual), ketimbang tatwa (filsafat/ajaran) maupun 
susila (etika) 
Pola reformulasi sedemikian ini sebenarnya bukan hal 
baru. Upaya paling terlihat, salah satunya misalnya dilakukan 
oleh Ida Bagus Mantra50 yang melontarkan kritiknya melalui 
sebuah surat yang dikirimkannya ke Harian Suara negarakita, 
2 Februari 1951 perihal kentalnya aspek ritual dan adat Bali, 
sehingga ia lebih menamakannya Hindu Bali. Ia menilai, 
                                                           Sosok ini pernah ditugaskan sebagai Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, 
lalu menjadi Duta Besar negarakita di India, dan terakhir sebagai Gubernur Bali. 

kedatangan kolonial menyebabkan terputusnya jaringan 
dengan India di saat Hindu di India sedang mekarnya 
penggalian aspek spiritual dalam Hindu. Iameminta agar 
Hindu Bali mengacu pada induknya, India, sehingga menjadi 
Agama Hindu. Selain itu perlu juga penerjemahan teks-teks 
suci Hindu yang ada di India ke dalam Bahasa negarakita. 
Kritikan Mantra ini disambut suka cita kalangan intelektual 
Hindu Bali saat itu dan mulailah dilakukan penelusuran ke 
akar agama Hindu di India (Picard, 2011: 492-493). 
Namun tidak lama berselang sejak terbitnya surat 
Mantra tersebut, muncullah komentar Adalah Narendra Dev. 
Pandit Shastri orang India yang tinggal di Bali sejak tahun 
1949 dan memperistri orang Bali dan akhirnya memilih 
menjadi orang negarakita. Ia menyebutkan bahwa ajaran Weda 
sebenarnya telah diterapkan di Hindu Bali. Agama Hindu Bali 
tidak lain adalah monotheist dan percaya pada Tuhan Yang 
Maha Esa, Sang Hyang Widhi. Brahma, Wisnu dan Shiwa 
adalah manifestasi dari Sang Hyang Widhi (Picard, ibid, hlm 
493). Apabila dicermati dari dua pandangan Mantra dan 
Shastri tersebut di atas, maka menunjukkan betapa lenturnya 
Ajaran Hindu. Secara kebetulan, saat itu juga sedang menguat 
keinginan agar Agama Bali yang ada saat itu agar segera 
diakui oleh Kementerian Agama RI (ibid, hlm 494). 
 
Umat Hindu Cimahi dan Pura Agung Wira Loka Natha 
Jumlah penganut Agama Hindu di Cimahi berkisar di 
angka 1.000 orang. Umat Hindu paling banyak berdomisili di 
wilayah Kecamatan Cimahi Tengah, tempat berdirinya Pura 
Wira Loka Natha (BPS, 2015: 108-109). Pura Agung Wira Loka 
Natha dibangun di atas tanah milik Kodam Siliwangi, dan 
merupakan pura tertua yangdibangun di wilayah Bandung 
Raya, bahkan Jawa Barat. Letak persisnya berada di Jalan 
Sriwijaya No. D-11 Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi, 
yang sebetulnya wilayah itu dulunya merupakan komplek 
perumahan bagi para perwira TNI AD. Letaknya persis di 
tikungan jalan anatara Jalan Sriwijaya dan Jalan Stasiun, 
menuju ke arah Stasiun Cimahi. 
Tidaklah berlebihan jika dikatakan lokasi pura ini 
cukup strategis sebab selain terletak persisi di pinggir jalan, 
posisi pura ini juga hanya sekitar 100 meter dari stasiun kereta 
api Cimahi. Pura ini juga tidak jauh dari Rumah Sakit Dustira, 
rumah sakit milik militer di Cimahi.Tidakmengherankan jika 
pembangunan pura ini tidak lepas dari aroma kesatuan 
militer. Dilihat dari susunan panitianya, semuanya berpangkat 
militer. Surat Keputusan susunan panitia pembangunan pura 
ini dikeluarkan oleh Kobangdiklat TNI AD yang saat itu 
dijabat Mayjend Seno Hartono dengan nomor 
Skep/890/X/1976 tertanggal 2 Oktober 1976. Ketua umum 
pembangunan pura ini dijabat oleh Brigjend Bambang 
Soepangat, sementara ketua pelaksana pembangunan pura ini 
diketuai oleh Letkol Art Ida Bagus Sudjana (belakangan 
menjadi Mentamben di era Soeharto tahun 1993-1998) 

 
Konsep Ketuhanan dan Ritual 
Tidak jauh berbeda dengan ciri khas umat Hindu Bali, 
terutama dalam mengimani konsep ketuhanan, umat Hindu 
Cimahi menyembah pada Ida Sang Hyang Widhi, sedangkan 
sumber ajaran utama adalah kitab suci Weda. Umat Hindu di 
Cimahi juga meyakini tujuan agama Hindu “moksartham 
 
jagadhita ya ca iti dharmah”yang artinya bahwa tujuan agama 
atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita (kesejahteraaan 
dan kebahagiaan duniawi) dan moksa. 
“Agama Hindu itu mengalir seperti air. Sehingga 
bentuk kegiatan ritual, jelas berbeda antara satu daerah 
dengan daerah lainnya. Diibaratkan air di dalam gelas, 
maka air juga menjadi gelas. Jika di dalam kendi, maka 
air juga menjadi kendi. Namun pada hakekatnya tetap 
saja air. Dengan demikian, tidak dapat diharapkan cara 
sembahyang hindu itu sama, semua pasti mempunyai 
corak yang berbeda. Demikian pula dengan 
pakaiannya. Sebagai orang Jawa, cara pakaian dalam 
sembahyang saya berbeda dengan kebanyakan orang 
Bali. Sebagai orang Jawa, saya menggunakan adat jawa 
seperti blankon, surjan dan sebagainya. Menggunakan 
pakaian adat, seperti orang Bali menggunakan pakaian 
adatnya.”51 
Dalam pelaksanaan ritual, terdapat ritual sehari-hari 
dan setengah bulan serta menurut pawukon, atau mengikuti 
momen tertentu. Ritual sehari-hari, secara individu masing-
masing umat melakukan persembahyangan tiga kali sehari 
yang disebut tri sandya. Ketiga waktu tersebut adalah pada 
waktu matahari terbit, matahari tepat di ufuk dan menjelang 
terbenam.52 Selain ritual harian, dilakukan pula ritual setiap 
setengah bulan sekali, mengikuti alur bulan, yaitu yang 
disebut ritual purnama dan ritual tilem, artinya bulan gelap dan 
                                                          
terang. Pada tanggal 1-15 disebut purnama, pada saat tidak ada 
bulan disebut tilem. Pada saat purnama tilem ini banyak umat 
mendatangi pura untuk sembahyang. Di luar ritual harian dan 
setiap setengah bulan ini, terdapat pula ritual hari-hari besar 
keagamaan berdasarkan pawukon (Galungan, Kuningan, 
Saraswati, dan Pagerwesi). 
Dalam pelaksanaan ritual tidak lepas dari sesajen atau 
banten yang merupakan sarana ritual. Untuk banten bagi 
umat Hindu di Cimahi itu diwujudkan dengan 
memperhatikan sarana setempat. Syarat yang harus ada 
berupa bunga, daun, buah, api dan air.54 Barangkat dari sini 
banyak kemudian dikembangkan unsur seninya, terutama 
apabila melihat fenomena banten atau upakara Bali. Banten ini 
sebuah simbol persembahan kepada sang pencipta. Sebuah 
cerminan dari kebersihan, ketulusan dan keikhlasan serta juga 
bentuk ucapan terima kasih atas apa yang telah diberikan Ida 
Sanghyang Widhi. 
 
Pengaturan Umat 
Dalam perjalanannya, umat Hindu Cimahi diatur oleh 
beberapa lembaga dengan perannya masing-masing yang 
berbeda. Pengaturan lembaga ini tidak jauh berbeda dengan 
pengaturan desa adat, atau desa pakraman di Bali walaupun 
bentuknya lebih sederhana. Lembaga yang pertama harus 
disebut adalah banjar. Lembaga ini didirikan untuk lebih 
bergerak pada kegaitan sosial yang bersifat suka duka. 
Konkritnya untuk menangani kematian dan pernikahan, 
                                                          

namun yang pertama lebih mengemuka ketimbang yang 
kedua.  
Pengukuhan banjar khusus di Bandung Raya 
dikukuhkan oleh Lembaga Musyawarah Banjar (LMB). 
Lembaga ini perpanjangan tangan parisada. Ditempat lain 
berbeda, tidak persis seperti itu. Biasanya langsung ditunjuk 
PHDI setempat. LMB ini juga berlaku mengawasi kinerja 
pengurus Wasudhana karena memegang uang umat. Lebih 
jauhnya, LMB bisa memberhentikan ketua wasudhana.55 
Secara konseptual, sesungguhnya lembaga banjar 
mengurusi hal-hal terkait Panca Yadnya (lima pengorbanan 
yang dilakukan dengan tulus iklhas). Pertama, pengorbanan 
kepada Tuhan (Dewa Yadnya), apabila umat ingin menyatu 
dengan Beliau (denganNya, pen.), dan bersyukur karena telah 
diberi rejeki, dalam hal itu konteksnya ke Dewayadnya. 
Konsep ini juga dapat diartikan semua berdasarkan Tuhan 
juga. Kedua, Rsi Yadnya. Hal ini terkait dengan keberadaan 
pandita, dan pinandita.  
Ketiga, Pitra Yadnya, pengorbanan kepada leluhur. 
Contohnya, di Bandung juga terdapat prosesi ngaben, tidak 
hanya di Bali saja ngaben dilaksanakan. Di Bandung terdapat 
pemakaman di Gunung Bohong. Praktiknya, abunya 
ditempatkan di situ, tidak perlu dilarung. Bagi keluarga yang 
mampu persoalannya menjadi lain. Dalam hal ini, 
ngabendimaknai sebagai pengorbanan kepada leluhur.  
Keempat, Manusa Yadnya, pengorbanan antarsesama. 
Secara ritual misalnya, anak dalam kandungan, kemudian 
ritual lahir, tiga bulan, seterusnya sampai ritual potong 
                                                          Wawancara dengan I Made Widiada Gunakaya, Ketua PHDI Jawa Barat 
dalam kegiatan FGD tentang penelitian ini tanggal 16 Maret 2016. 
gigi, dan pernikahan itu merupakan tanggung jawab orang 
tua. Dalam kaitan ini konteksnya manusa yadnya. Berikutnya 
juga kalau memberikan santunan kepada anak asuh. Saat ini 
sedang dikembangkan PHDI sebuah badan dana nasional 
yang mengurusi santunan ini.  
Terakhir yang kelima, yaitu Buta Yadnya. Artinya, 
berkorban untuk alam. Biasanya dalam rangka Nyepi 
dilakukan Buta Yadnya. Manusia seringkali mengeksplorasi 
ciptaan Tuhan berupa Sumber daya alam (SDA), tanpa pernah 
mengembalikannya. Di sini Hindu mengajarkan untuk 
berkorban kepada alam, dan momennya pada hari Raya 
Nyepi. Tepat sehari sebelum Nyepi disebut Tawur Kesanga. 
Hindu juga mengakui derajat di bawah manusia. Itu 
disempurnakan supaya dia nanti hidup lebih sempurna, 
meningkat setelah kelahirannya.56 
Untuk lebih menguatkan ikatan itu, dibentuklah 
lembaga yang disebut lembaga Wasudhana, singkatan dari 
Warga Suka Duka Dharma Kencana Bandung Raya. Lembaga 
ini mewadahi umat Hindu hanya khusus di Bandung Raya 
saja. Rata-rata anggotanya masih aktif bekerja dan mencari 
waktu untuk kegiatan social. Dalam lembaga ini, dihimpun 
iuran bulanan, besarnya Rp. 10 ribu setiap bulan per KK. 
Selain itu, tiap KK juga dikenakan iruan Rp. 3 ribu untuk pura 
dan Rp. 2 ribu untuk operasional banjar. Sekarang setiap 
kedukaan diberikan santunan oleh Wasudhana sebesar Rp. 4 
juta. 
Selain banjar, untuk urusan ritual dipegang oleh 
pengurus pura. Sama seperti kepengurusan banjar, ritual 
umat diurus ketua pura dan pengurus lainnya dengan 
                                                          
semangat kesukarelaan. Pengurus pura mengurus semua 
kegiatan di pura, misalnya menyambut hari-hari besar 
keagamaan. Selain itu, pura menangani ritual pada peristiwa 
kedukaan. Kedukaan menggunakan ritual, misalnya apakah 
diselesaikan di sini, artinya di krematorium Cikadut, di 
Bandung atau dibawa ke Bali. Termasuk persiapan di 
krematorium juga ada ritualnya. Peran Ketua Pura 
ditunjukkan dari sisi pelaksanaan ritual ini karena memang 
paham tentang ritualnya. 
Untuk dewan pengurus pura dibentuk banjar. 
Konsekuensinya, aset di pura termasuk aset banjar. Selain itu, 
pasraman dibentuk melalui rapat banjar. Pergantian pengurus 
pura juga melalui rapat banjar. Banjar berwenang menegur 
kinerja pengurus pura maupun pasraman. Tetapi banjar tidak 
membentuk PHDI. Keberadaan PHDI di atasnya, malah 
mengayomi. Dengan demikian, PHDI sebagai lembaga 
tertinggi umat Hindu, sedangkan kantong umatnya di banjar-
banjar. 
Di pura Wira Loka Natha Cimahi ini juga terdapat 
pasraman yang dinamakan Widya Dharma. Pasraman ini 
menjadi eksis terutama karena siswa-siswanya tidak 
mendapatkan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. 
Siswa itu mulai dari tingkat SD-SMA. Pendidikan pasraman 
itu dilakukan setiap hari Minggu. Jumlah muridnya mencapai 
170an siswa. Siswa-siswa itu lebih karena arahan orangtua 
untuk sekolah agama di situ. Terbetik kabar yang 
mengagetkan, bahwa sebenarnya telah ada SK pengangkatan 
seorang guru Agama Hindu di sebuah sebuah sekolah di 
                                                          
Bogor. Namun ternyata guru tersebut ditolak masuk di 
sekolah tersebut.
 
Mengukuhkan Fleksibilitas Hindu 
Di samping umat Hindu di Cimahi telah dikondisikan 
sedemikian rupa, pihak pengurus PHDI Jawa Barat juga telah 
memperkuat tekat untuk mengikuti instruksi pengurus pusat 
terkait dengan telah selesainya grand desain 50 tahun umat 
Hindu ke depan. Dalam keagamaan, di PDHI ditetapkan 
bisama, sejenis fatwa. Itulah yang menjadi acuan yang 
ditetapkan parisada pusat. Karena seperti fatwa, maka bisama 
tidak mempunyai kekuatan hukum secara yuridis. Salah satu 
poin dalam grand desain yang penting dicatat adalah perlu 
dikembangkan umat Hindu berdasarkan local genius-nya. 
Dalam implementasinya, kepemimpinan PHDI Jabar sekarang 
ini tidak membawa Bali ke Jawa Barat. Hanya membawa 
Hindu saja. Hal ini karena tidak dapat dilakukan, sebab Bali 
sangat campur dengan budaya. Di Jawa Barat terbentur 
waktu, dana, SDM. Namun pengurus bukan hendak 
menggugat. Apabila nanti umat semakin pandai, umat akan 
mempertanyakan apakah demikian itu hakikat beragama.60 
Di Jawa Barat, dengan sekitar 20 ribuan umat dan 95 
persen orang para pekerja dari Bali yang Tersebar di 15 kokab 
di Jabar, pengurus PHDI ingin mengembalikan pemahaman 
Hindu pada back to basic, artinya kembali ke Weda. Mengambil 
tatwa dari Weda. ritual itu melaksanakan tatwa. Susila 
diperlukan dalam membaca kitab suci. Langkah menyadarkan 
                                                          
umat akan hakikat Hindu ini juga salah satu kiat yang mereka 
lakukan untuk mengarungi hidup sebagai umat Hindu di luar 
Bali.  
warga Hindu di Cimahi Jawa Barat sejauh ini 
mencoba untuk mereformulasi Hindu lebih kepada inti ajaran, 
dalam pengertian berusaha mengurangi unsur budaya dan 
terlebih unsur ke-Bali-annya. Para pimpinan parisada, pura 
dan banjar memahami keberadaan mereka yang diaspora dari 
Bali. Namun, hal ini dapat dikatakan masih dalam proses 
yang panjang sebab hampir keseluruhan umat Hindu di 
Cimahi mempunyai ikatan leluhur dengan kampung halaman 
mereka di Bali. Kondisi ini tentu menghadirkan pertarungan 
batin tersendiri karena sejauh ini dipahami, Hindu Bali-lah 
yang membesarkan mereka. Pemikiran ini bukan hanya 
didorong oleh tokoh-tokoh Hindu yang berasal dari Bali yang 
tinggal di Jawa Barat, khususnya Cimahi, namun juga 
disuarakan oleh tokoh Hindu yang bukan berasal dari Bali. 
Untuk mengidentifikasi eksistensi umat Hindu di 
Cimahi, perlu disebut keberadaan lembaga Banjar Bandung 
Barat dengan tugasnya untuk mengelola kegiatan suka duka 
atau sosial umat Hindu di Cimahi. Selain itu juga terdapat 
pengurus pura yang bertanggung jawab terhadap jalannya 
ritul. Lembaga tertinggi yang mewadahi umat hindu baik 
secara sosial dan ritual yaitu PHDI juga eksis di Cimahi 
walaupun dalam garis batas kinerja sesuai standar dalam 
pengertian belum banyak terobosan dilakukan. Angin segar 
dengan keberadaan pasraman, namun keberadaan pasraman 
ini seperti kompensasi saja dari tidak disediakannya pelajaran 
Agama Hindu di sekolah-sekolah umum yang seharusnya 
sesuai UU diajarkan kepada siswa oleh guru seagama.  
Di luar itu, mengamati dan mempelajari umat Hindu 
di Cimahi ini ternyata menyajikan upaya menunjukkan 
fleksibilitas Hindu, dengan Pura Agung Wira Loka Natha 
sebagai pusat peribadatan dan kelembagaan agama maupun 
sosial umat Hindu di Cimahi. Fleksibilitas dalam pengertian 
dapat secara lentur mengembangkan local geiusnya, tanpa 
harus membawa akar budayanya, yaitu Budaya Bali ke tatar 
sunda. Namun di samping itu juga dikembangkan Hindu 
yang berupaya kembali ke dalam back to basic-nya, yaitu 
Weda. 

 
Memahami Hindu di Bali 
Bagi warga Hindu Bali, agama telah menjadi 
suatu hal yang berbaur dengan adat istiadat. Hindu di Bali 
telah mewujud dalam berbagai ritual ritual baik di tingkat 
keluarga sampai di tingkat warga yang luas menjadikan 
berbagai ritual itu tidak hanya sebagai ungkapan syukur 
dan kecintaan kepada Tuhan, tapi juga menjadi identitas 
warga Hindu Bali sebagai warga yang religius, 
kreatif, “rumit” dan produktif. Identitas tersebut tergambar 
dalam berbagai tradisi ritual dan upakhara yang dilakukan 
oleh warga Hindu Bali. Tradisi yang telah dilakukan 
secara turun temurun tersebut merupakan jalan yang diyakini 
dapat mengantarkan para penganutnya menuju 
kesempurnaan dan penyatuan jiwa dengan sang pencipta. 
warga Hindu di Bali meyakini bahwa ritual 
yang menggunaan banten (upakara/perangkat sesajen) sebagai 
medium ritual, telah dan akan selalu menjadi media yang 
menghubungkan mereka dengan Sang Hyang Widhi Wasa, 
sekaligus menjadi identitas dan sarana pendidikan bagi 
warga untuk senantiasa merepresentasikan sikap tulus 
berkorban mereka dalam  bentuk variasi bentuk, isi dan 
keadaan dari banten yang mereka persembahkan pada saat 
ritual. 

Cara pandang umat Hindu di Bali adalah produk 
penafsiran ajaran Hindu yang telah menyatu dengan kondisi 
dan situasi warga, alam dan nilai–nilai yang telah ada di 
Bali. Ajaran Weda bagi umat Hindu di Bali adalah ajaran yang 
pelaksanaannya dapat berasimiliasi dengan situasi alam, 
situasi manusia dan produk-produk budaya yang telah ada di 
tempat ajaran Weda itu dikembangkan. Ajaran Weda di Bali 
juga telah berkembang menjadi sistem tradisi umat Hindu di 
Bali yang turun temurun terus dilakukan sampai hari ini, baik 
dilakukan perseorangan maupun dalam bentuk bersama-sama 
atau dalam sebuah komunitas mulai dari tingkatan 
rumah/keluarga, desa, banjar, yang semuanya menggunakan 
media untuk beribadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa, 
terutama di pura sesuai dengan tingkatannya. Tradisi atau 
kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun inilah yang 
kita sebut tradisional.  
Salah satu fitur yang dapat digunakan untuk 
memahami Hindu di Bali adalah sistem pelapisan sosial 
warganya, selain adat dan budaya. Hal ini penting 
disampaikan di awal karena penelitian ini akan melakukan 
penelusuran tentang agama Hindu melalui klan Pande. 
Klan/Soroh adalah kelompok kekerabatan yang terdiri atas 
semua keturunan seorang nenek moyang yg diperhitungkan 
dari garis keturunan laki-laki atau wanita. Kesatuan 
geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan 
menunjukkan adanya integrasi sosial; kelompok kekerabatan 
yang besar; kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas 
unilineal.  
Yoga Segara (2015: 77-78) menjelaskan cukup panjang 
masalah struktur sosial warga Bali. Menurtutnya, jika 
merujuk pada istilah keturunan (wangsa, soroh, warga), maka 
 
sistem pelapisan sosial warga Bali juga dapat 
dikelompokkan ke dalam beberapa lapisan dengan 
berdasarkan sapinda, gotra, dan prawara (Wiana, 2006:42, 45, 
48). Pertama, sapinda, yaitu pengelompokan keluarga untuk 
membangun suatu paguyuban wangsa atau kewargaan yang 
didasarkan atas kesamaan darah dari garis keturunan yang 
jelas, misalnya, apakah seseorang itu sebagai anak, misan, 
mindon, cucu, kumpi, kelab. Mengurai hubungan darah sampai 
ke garis keturunan yang lebih luas seperti ini sangatlah rumit. 
Pelacakan garis keturunan ini paling banyak dapat diketahui 
sampai pada lapis keempat, seperti dari ayah, ibu, kakek, 
nenek dan kumpi, sulit untuk sampai ke lapisan kelab, 
kelampung, canggah, wareng hingga keletek.  
Kedua, gotra, yaitu pengelompokan keluarga 
berdasarkan hubungan ketokohan seseorang, yang diyakini 
membentuk suatu keturunan warga yang berarti ikatan atau 
jalinan, terutama jalinan dalam ikatan pemujaan. 
Terbentuknya gotra terjadi secara alami dan bertahap. Mereka 
yang merasa memiliki hubungan kekerabatan, baik karena 
merasa ikut diperjuangkan nasibnya oleh tokoh bersangkutan 
atau memang karena ada hubungan darah meski sudah sangat 
jauh, karena ketokohan itulah mereka merasa dekat sebagai 
satu warga. Sistem gotra seperti ini di Bali banyak berlaku, 
misalnya, yang paling terkenal adalah Warga Pasek Sanak Sapta 
Resi, Warga Bhujangga Waisnawa, Warga Maha Semaya Pande.  
Terbentuknya gotra ini tidak lagi sebatas hubungan 
kasta, karena ditemukan juga Warga Brahmana Siwa Wangsa 
yang dibentuk Danghyang Dwijendra. Begitu juga Danghyang 
Astapaka diyakini sebagai pembentuk Warga Brahmana 
Wangsa Budha, dan Mpu Gni Jaya sebagai pembentuk Warga 
Pasek. Sebagian gotra di Bali yang berbeda-beda ada juga yang 
160
memiliki hubungan satu sapinda. Misalnya, Warga Brahmana 
Siwa Wangsa yang tidak memiliki hubungan keluarga 
berdasarkan gotra dengan Warga Pasek Sanak Sapta Resi, tetapi 
dalam silsilahnya, mereka satu hubungan sapinda, karena 
leluhur Danghyang Dwijendra sebagai pembentuk Warga 
Brahmana Siwa Wangsa adalah Mpu Beradah yang bersaudara 
dengan Mpu Gni Jaya, leluhur Warga Pasek Sanak Sapta Resi. 
Dilihat dari sapindanya, Warga Brahmana Siwa Wangsa masih 
satu keluarga dengan Warga Pasek Sanak Sapta Resi. Akar 
konflik dan perebutan status serta kedudukan sosial di Bali 
adalah orang yang bernama Ida Bagus atau Ida Ayu merasa 
sebagai satu-satunya keturunan brahmanawangsa, padahal 
Warga Pasek sebagai keturunan Mpu Geni Jaya adalah juga 
keturunan brahmanawangsa. Dan ketiga, prawara artinya yang 
terutama atau yang paling terkemuka. Prawara merujuk pada 
pemujaan terhadap dewa utama tertentu. Jika dewa utama 
yang dipuja adalah Siwa, maka pengikutnya akan disebut 
Warga Siwa atau Siwa Paksa, jika Wisnu, pengikutnya adalah 
Warga Waisnawa. Jadi prawara adalah paguyuban ikatan 
kewargaan berdasarkan kesamaan dewa yang dipuja. Jenis 
paguyuban ini juga disebut sekte. 
 
Lokasi Penelitian  
Lokasi penelitian ini memilih Kota Denpasar, dengan 
alasan Bali merupakan pusat agama Hindu sekaligus paling 
banyak yang memiliki penganut kelompok tradisional, 
memiliki keberagaman ritual/upakara dalam tradisi dalam 
agama Hindu. Dalam tradisi Hindu di Bali yang sifatnya 
turun temurun dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu 
kelompok Brahmana, Kelompok Pande, Kelompok Pasek, dll.  
 
Dari berbagai kelompok tersebut, lebih spesifik lagi 
penelitian ini memilih penelitian kelompok tradisional Pande 
di Jalan Ratna, dengan pertimbangan:  
1. Kelompok Pande ini merupakan pusat komunitas pande 
yang ada di Bali yang satu-satunya kelompok ditugaskan 
leluhur mereka untuk membuat keris dan wajib 
diturunkan pada generasi berikutnya. 
2. Kelompok ini merupakan pusat kelompok Pande yang 
menjaga tradisi merapen (keris pusaka) yang diisi jiwa, 
sementara di kelompok pande lainnya hanya membuat 
keris sebagai pelengkap seni dan budaya saja.  
Kota Denpasar adalah ibu kota Provinsi Bali, 
negarakita. Kota Denpasar berada pada ketinggian 0-75 meter 
dari permukaan laut, terletak pada posisi 8°35’31” sampai 
8°44’49” Lintang Selatan dan 115°00’23” sampai 115°16’27” 
Bujur Timur. Sementara luas wilayah Kota Denpasar 127,78 
km² atau 2,18% dari luas wilayah Provinsi Bali. Luas Kota 
Denpasar adalah 127.78 Km2. Terdiri dari Denpasar Selatan 
49.99 Km2, Denpasar Timur 22.31, Denpasar Barat 24.06 Km2, 
dan Denpasar Utara 31.42 Km2. 
Nama Denpasar dapat bermaksud ‘Pasar Baru’, 
sebelumnya kawasan ini merupakan bagian dari Kerajaan 
Badung, sebuah kerajaan yang pernah berdiri sejak abad ke-
19, sebelum kerajaan tersebut ditundukan oleh Belanda pada 
tanggal 20 September 1906, dalam sebuah peristiwa heroik 
yang dikenal dengan Perang Puputan Badung. Setelah 
kemerdekaan negarakita, berdasarkan Undang-undang Nomor 
69 Tahun 1958, Denpasar menjadi ibu kota dari pemerintah 
daerah Kabupaten Badung, selanjutnya berdasarkan 
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des.52/2/36-136 
tanggal 23 Juni 1960, Denpasar juga ditetapkan sebagai ibu 
kota bagi Provinsi Bali yang semula berkedudukan di 
Singaraja. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah 
Nomor 20 Tahun 1978, Denpasar resmi menjadi ‘’Kota 
Administratif Denpasar’’, dan seiring dengan kemampuan 
serta potensi wilayahnya dalam menyelenggarakan otonomi 
daerah, pada tanggal 15 Januari 1992, berdasarkan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1992, dan Kota Denpasar 
ditingkatkan statusnya menjadi ‘’kotamadya’’, yang kemudian 
diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 
Februari 1992. Secara administratif Denpasar di bagi dalam 4 
kecamatan (Denpasar Barat, Denpasar Selatan, Denpasar 
Timur dan Denpasar Utara), 43 desa atau kelurahan dengan 
209 dusun.  
 
Penduduk Berdasarkan Agama   
Menurut sumber Kanwil Kementerian Agama dari 
Januari s.d Desember 2015, jumlah keseluruhan penduduk 
umat agama Hindu di Prov. Bali sebanyak 3.699.582 jiwa, 
sedangkan jumlah penduduk umat Agama Hindu di Kota 
Denpasar sebanyak 569.114 jiwa.  
Adapun tempat Ibadah Umat  Agama Hindu di Kota 
Denpasar sebanyak 1 buah Pura Dang Khayangan, 3 buah 
Pura Khayangan Jagad, 105 Pura Khayangan tiga, sedangkan 
setiap keluarga mempunyai pura masing-masing di rumah 
mereka. 
 
 
Sejarah dan Perkembangan Klan Pande di Bali 
Seorang tokoh adat di Bali, I Gusti Made Ngurah 
(tokoh agama)  mengatakan bahwa sebelum masuknya agama 
Hindu di Bali, warga Bali sudah memeluk suatu 
keyakinan sendiri seperti yang dianut agama Hindu, yaitu 
keyakinan terhadap nenek moyang sebagai leluhur yang 
berada ditempat yang paling tinggi yang biasa disebut 
nomitis, atau banyak orang menyebutkan keyakinan Bali 
Kuno atau Bali Purba. Datangnya Agama Hindu di Bali justru 
menguatkan keyakinan mereka dengan konsep Hindu. 
Keyakinan nenek moyang tersebut mirip dengan ajaran Hindu 
yang dibawa oleh penganut Hindu yang masuk ke Bali. yang 
saat ini disebut keyakinan Bali Age. Kemudian masuknya 
kerajaan Majapahit yang banyak memberikan pengaruh pada 
Bali Modern (Bali Upanaga). 
Senada dengan yang disampaikan I Gusti Made 
Ngurah, I Ketut Donder, dosen Pascasarjana IHDN 
menyebutkan bahwa warga Bali pada awalnya 
melakukan persembahan terhadap apa saja yang ada disekitar 
mereka dengan tradisi mereka dalam rangka pemujaan 
terhadap Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian 
datangnya Agama Hindu yang diadopsi dari India ke pulau 
Jawa dan dari Jawa ke Bali. warga Bali yang punya 
sudah mempunyai keyakinan dan tradisi sendiri tersebut 
mempertahankan tradisi Balinya dan juga 
menggabungkannya dengan ajaran Agama Hindu yang 
datang kemudian.  
Dalam sejarah umat Hindu Bali disebutkan bahwa 
Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha yang datang dari 
tanah Jawa adalah orang yang dianggap berjasa dalam 
mengembangkan dan menyempurnakan agama Hindu. Umat 
Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau. Untuk memuja 
kebesarannya, beliau dianggap sebagai pendeta guru suci atau 
dang guru bagi agama Hindu Bali. sehingga jadilah agama 
Hindu Bali seperti saat ini, yang merupakan asimilasi dan 
akulturasi dari ajaran tradisi Bali kuno dengan ajaran Agama 
Hindu yang datang kemudian. Beberapa narasumber lainnya 
menyebutkan bahwa keyakinan warga Bali sudah ada 
sebelum datangnya Agama Hindu ke Bali, agama ini yang 
mereka sebut  Agama Titra (air suci). 
Ida Sira Empu Pande Aji, yang merupakan generasi 
ketiga sulinggih dari Klan Pande di Pura Keluarga, Pura 
Kawitan dalem Pande Majapahit Tatasan. Keturunan ketiga 
itu dihitung dari orang tua dan kakeknya. Beliau 
menceritakan bahwa leluhurnya terdahulu diatas kakeknya 
dan seterusnya tidak begitu dia ingat persis silsilahnya ke 
atas. Namun beliau menjelaskan bahwa Agama Hindu yang 
datang dari India ke tanah Jawa dan datang ke Bali. Kerajaan 
Majapahit yang mayoritas memeluk Agama Hindu datang ke 
Bali dan menaklukan kerajaan di Bali.  
Pada zaman raja-raja Majapahit yang datang dari tanah 
Jawa ke Bali inilah para pande juga ikut bersama dengan raja. 
Berikutnya mereka datang ke Bali, tidak berbarengan dengan 
raja, mereka ada yang datang duluan, serta yang datang 
kemudian. Ajaran yang diikuti oleh para pande kebanyakan 
belajar dari ajaran Majapahit. Adapun para pande yang 
datang bersama dengan raja, adalah para pande pilihan. 
Namun demikian tidak diketahui pande yang mana yang 
lebih dahulu datang ke Bali, karena klan pande ini sudah 
tersebar dimana-mana waktu itu. Pertama kali raja datang ke 
Klungkung bersamaan dengan 400 orang Agama Hindu dan 
termasuklah para pande. Setelah di Klungkung, mereka 
menyebar dibeberapa daerah di Bali dan salah satunya 
bertempat tinggal di Tatasan yang menjad leluhur Sire Mpu 
Pande Aji yang memimpin Pure Dalam Pande Majapahit 
Tatasan. Leluhur Pande Majapahit Tatasan merupakan abdi 
dari Raja  Puri Satria atau Raja Badung. Sri Mpu Pande Aji 
tidak mengetahui secara pasti tahun berapa kedatangan 
tersebut, diperkirakan abad ke 11. 
Kemudian para pande yang datang bersama raja, di 
daerah Tatasan membangun rumah dan beberapa bangunan 
lainnya yang dibiayai oleh raja. Banyak pura yang dibangun 
seadanya, sedangkan prapen tidak diketahui mulainya sejak 
kapan, yang pasti prapen (bhs negarakita: perapian) sudah ada 
sejak dulu, apakah prapen lebih dulu ada sebelum para pande 
datang, ataukah berbarengan dengan para pande, atau datang 
kemudian, hal ini belum diketahui pastinya kapan. Namun 
para pande adalah orang-orang yang selalu bersentuhan 
dengan prapen. Karena sebelum adanya pande warga 
Bali kuno sudah menggunakan logam, besi, kampak sebagai 
alat-alat keseharian mereka. Namun apakah bahan-bahan 
tersebut dibuat di Bali atau dibuat di luar Bali kuno belum ada 
penjelasan untuk itu, begitu juga dengan kata prapen (tempat 
proses pembuatan keris dan alat-alat pandai besi lainnya) 
belum diketahui sejak kapan istilah itu muncul di Bali. Namun 
yang pasti ketika para pande sebagai pemegang hak turun 
temurun sebagai pemegang tradisi pande besi, prapen sudah 
digunakan. 
Dalam struktur pemerintahan para raja di Bali dibantu 
oleh kaum pande dalam menyelenggarakan pemerintahannya. 
Para pande pada masa itu yang memberikan pertimbangan 
bagi raja dalam persenjataan dan bertugas membuat senjata 
bagi raja. Raja membiayai kegiatan pande, membiayai  
pembuatan rumah, pura dan perapen (tempat membuat 
senjata besi). 
Dari 400 orang yang datang bersama raja tersebut, 
tidak diketahui berapa orang yang dari Klan Pande. 
Disebutkan bahwa datang ke Tatasan diawalnya hanya ada 9 
KK pande. Kemudian bertambah, sehingga dikemudian hari 
sebanyak 40 KK  menyebar ke bukit-bukit untuk membuat 
kehidupan yang baru. Para pande ini menyebar dalam rangka 
untuk membantu para petani yang kekurangan alat-alat jika 
mereka membutuhkan. Para pande tidak hanya membuat alat-
alat dari logam dan besi, tapi mereka juga mengajarkan ajaran 
para leluhur mereka kepada warga Bali dimana mereka 
berada hingga sekarang. 
Keberadaan kelompok tradisional Klan Pande di Pura 
Keluarga dalam Agama Hindu di Kota Denpasar Bali. Klan 
Pande merupakan salah satu kelompok tradisional Agama 
Hindu yang ada di Bali. Klan pande, sudah ada sejak zaman 
dahulu, berbarengan datangnya dengan raja-raja dari 
Majapahit. Klan pande ini masih bertahan sampai hari ini 
mempertahankan tradisi pande besi dilingkungan warga 
Bali. Tradisi pande besi tidak hanya untuk membuat peralatan 
dari besi untuk kehidupan sehari-hari tetapi lebih jauh dari itu 
adalah mempertahankan pusaka nenek moyang atau leluhur 
mereka. Selain sebagai seorang pandai besi juga menjadikan 
barang pusaka bernilai magis dan mempunyai kekuatan 
supranatural. Kelompok tradisional pande ini hidup dalam 
lingkungan keluarga dan dalam komplek keluarga yang 
menyatu dengan tradisi keagamaan, menyatu dalam 
lingkungan pura keluarga. 
Sudah menjadi tradisi di dalam kehidupan warga 
Bali ada pura di dalam komplek rumah, yang biasa mereka 
sebut pura keluarga. Pura ini berfungsi sebagai tempat 
sembahyang setiap hari untuk mendekatkan diri kepada 
Tuhan Sang Hyang Widhi Wasa dan arwah keluarga yang 
sudah meninggal atau leluhur/nenek moyang mereka. Pura 
keluarga ini dimiliki oleh masing-masing keluarga yang sudah 
menikah dan mempunyai rumah tersendiri. Kumpulan dari 
keluarga-keluarga mempunyai pura ibu atau pura kemulan. 
Kumpulan dari pura ibu atau pura kemulan dinamakan Pura 
Dadya. 
Kumpulan dari pura Dadya dinamakan Pura Kawitan, 
demikian diungkapkan Lastra, seorang Bendesa Adat di Bali 
sekaligus Kepala Urusan Agama Hindu Kemenag Prov. Bali. 
Rumah di Bali di bangun dalam satu komplek dengan pura, 
sehingga rumahnya pun dibuat petak-petak secara terpisah. 
Ruang tamu pisah dengan ruang dapur, ruang acara do’a 
terpisah dengan ruang untuk ritual pernikahan atau 
kematian, ruang prapen (bagi klan pande) terpisah dari ruang 
lainnya, dan begitu seterusnya. Masing-masing rumah sangat 
mungkin memiliki letak bagian-bagian pura yang berbeda. 
Umumnya tempat suci sebagai pura keluarga yang lazim 
disebut sanggah, penempatannya mempertimbangkan arah 
kiblat yaitu arah Timur atau Utara pekerangan rumah tinggal. 
Pura sebagai tempat sembahyang kepada Tuhan dan 
memuja roh leluhur terus ditanamkan dalam kehidupan 
keluarga mayarakat Bali. Tradisi turun temurun tersebut terus 
berlangsung, dimana rumah masih terjaga dengan keberadaan 
pura keluarga tersebut. Adanya pura keluarga menjadikan 
warga Bali sangat religius dalam kesehariannya. Dengan 
kebaradaan pura keluarga, sisi positifnya adalah 
keluarga/anak turunan tidak dengan mudah menjual tanah 
warisan. Menjadikan warga Bali memiliki mental berani 

keluar dari rumah. Karena dimanapun mereka berada, maka 
setiap keluarga Hindu Bali akan membangun pura keluarga di 
dalam lingkungan rumahnya, dan dimanapun mereka berada, 
mereka tidak akan meninggalkan kawitan mereka (manusia 
dengan leluhurnya). 
Keluarga Pande Pura Kawitan dalam Pande Majapahit 
Tatasan, sudah ada sejak jaman Majapahit, dan tinggal di 
daerah Tatasan sekarang Jalan Ratna. Pura tersebut sudah 
beberapa kali mengalami renovasi, terakhir direnovasi tahun 
1990. Awalnya dibangun rumah, kemudian dibangun prapen, 
dan pura. Dulu prapen dibangun sangat manual yaitu 
menggunakan bambu, namun sekarang sudah modern. 
Keluarga pande di Denpasar terdiri dari empat (4)  klan besar 
(pura paibon). Setiap Klan memiliki pura paibon (sanggah 
besar) masing – masing.  Pura Paibon (sanggah besar) adalah 
gabungan keluarga besar dalam satu daerah. 4 pura paibon 
tersebut bersaudara dan dari  keempat paibon keluarga 
disatukan dalam Pura Kawitan Pande dalam Tatasan. Adapun 
4 Pura tersebut  adalah Pura Dalam Pande Majapahit, Pura 
Maospahit, Pura Tamansari dan Pura Ibusari. 
Pura Dalam Pande Majapahit Tatasan hanya membuat 
keris/senjata dengan segala proses pemberian jiwanya 
(pasopati). Sedangkan tiga pura lain selain senjata, mereka juga 
memproduksi alat rumah tangga,pisau. Pande di tiga pura 
tersebut lebih berperan sebagai pengrajin besi.  
 
Konsep Ketuhanan Kelompok Tradisional Pande 
Kelompok tradisional Pande sama halnya dengan 
warga Bali pada umumnya yang beragama Hindu, 
meyakini bahwa konsep ketuhanan secara monotisme. Mereka 
 
meyakini bahwa Tuhan itu ada, tidak berwujud dan tidak 
berbentuk apapun. Dikarenakan tidak berwujud dan meyakini 
Tuhan itu ada, maka agar umat Hindu mudah memahami dan 
memaknai kalau Tuhan itu ada, sehingga kelompok 
tradisional pande khususnya dan umat Hindu di Bali pada 
umumnya, perlu memanifestasikan Tuhan dalam bentuk 
personifikasi dalam wujud yang lain seperti para dewa. 
Mewujudkan Tuhan kepada berbagai bentuk sesuai dengan 
peran dan fungsinya. Dewa merupakan wujud lain dari 
Tuhan dan mempunyai salah satu peran dan fungsi dari 
Tuhan itu sendiri di muka bumi ini (alam  semesta). Adapun 
wujud dan bentuk dari para dewa tersebut disesuaikan 
dengan persepsi umat Hindu itu sendiri untuk 
mempersepsinya seperti apa. Sehingga wujud dan bentuk 
para dewa itu selalu tidak sama, namun secara subtansi peran 
dan fungsi dewa itu tidak berubah.  
Menurut I Gede Swantana (dosen Pascasarjana IHDN) 
bahwa bagi seorang yang pemaham keagamaannya tinggi 
maka Tuhan tidak perlu diwujudkan, yang peting kita yakin 
dia ada, namun untuk mencapai Tuhan bagi  warga biasa 
perlu diwujudkan dalam bentuk-bentuk tertentu sesuai 
dengan persepsi orang yang memujanya, karena setiap orang 
mempersepsikan Tuhan dengan perwujudan dewa dan 
sesuatunya tidak sama. Bisa saja personifikasi dewa Wisnu 
menurut A digambarkan seperti orang yang sangat 
berwibawa dan tampan karena Wisnu adalah personifikasi 
Tuhan dalam simbol air, namun pada si B bisa saja Wisnu 
digambarkan  tidak seperti itu, begitu juga pada si C, belum 
tentu personifikasinya sama dengan si A dan B, bisa saja 
dengan gambar atau wujud yang lain, Wisnu dapat 
diwujudkan dalam banyak personofikasi, begitu juga dengan 

dewa-dewa lainnya atau bisa saja sama bentuk yang 
dipersonifikasikan tersebut.  
Senada denga hal tersebut, Yoga Segara (Dosen 
Pascasarjana IHDN) menyatakan bahwa bagi umat Hindu 
yang terpenting adalah mereka mampu menyatukan diri 
dengan Tuhannya, persoalan lainnya merupakan sarana saja, 
namun masarakat perlu mempersonafikasi Tuhannya dalam 
kehidupan sehari-hari, sehingga Tuhan dalam bentuk dewa 
bagi seseorang itu tidak sama, tergantung yang bersangkutan 
mempersonifikasikannya sesuai fungsinya.  
Menurut I Ketut Donder menyatakan bahwa 
warga Hindu barnyak yang tidak tau isi weda yang 
aslinya, sehingga mereka kebanyakan memakai bagawangitha 
yang merupakan rangkuman dari Weda yang sudah 
diterjemahkan dalam bahasa negarakita, kitab-kitab seperti ini 
biasanya hanya di baca oleh para resi, kelompok Brahmana 
dan para akademisi yang konsen dalam hal keagamaan. 
Kebanyakan umat hindu menyembah Siwa, Wisnu dan 
Brahma atau Trimurti. Ada beberapa kelompok spiritual yang 
hanya cukup dengan melakukan yoga saja, ada yang sudah 
modern dengan cara yoga, ada juga yang menggabungkan 
keduanya, bahkan ada yang bersifat memahami Tuhan 
dengan cara-cara klenik, bahkan ateis. Semua bisa diterima 
sepanjang mereka tujuannya satu yaitu penyatuan diri kepada 
Tuhan yang maha tunggal. 
Sire Mpu Pande Aji, seorang sulinggih dari keluarga 
Pande menjelaskan tentang adanya hurup suci yang 
diturunkan Tuhan ke alam semesta yang disebut Ongkara. 
Huruf suci (Ongkara) itu terdiri atas Ang, Ung dan Mang. 
Ketiga hurup itu mewakili unsur alam dan unsur Trimurti. 
Ang menjadi simbol unsur Api yang berarti penciptaan yang 
 
dipersonifikasikan dengan Dewa Brahma. Ung menjadi simbol 
unsur Air yang berarti pemeliharaan dengan personifikasi 
Dewa Wisnu. Mang menjadi simbol unsur angin yang berarti 
peleburan atau pengembali dengan personifikasi Dewa Siwa. 
Kesemua unsur api, air dan angin itu menjadi satu 
kesatuan dalam sistem Trimurti. Tuhan dipercaya sebagai satu 
zat yang esa yang dipersonifikasikan dengan fungsi dan peran 
Tuhan sebagai pencipta yang disebut dengan Brahma (simbol 
api), sebagai pemelihara alam semesta yang disebut dengan 
Wisnu (simbol air)  dan Siwa (simbol angin) sebagai pelebur, 
pengembali alam dan mahluk hidup kepada asalnya. 
Dewa sebagai personifikasi Tuhan dapat disimbolkan 
berupa alam. Dimana alam memiliki kesamaan substansi 
dengan sifat Tuhan atau Dewa tersebut. Unsur Api dianggap 
mewakili sifat penciptaan, karena api adalah energi asal dari 
kehidupan, inti matahari, inti bumi dan kekuatan yang 
memberi kehidupan. Api juga merupakan kekuatan yang 
memberi bentuk kepada seuatu seperti api yang digunakan 
pada penempaan besi, baja dan nikel menjadi senjata. 
Sedangkan unsur air dianggap sebagai wakil pernyataan 
tentang pemeliharaan yang menyejukan dan memastikan 
kehidupan berjalan dengan baik. Air menjadi penebus dahaga 
dan panas, dan menjadi mediapengobatan dari berbagai 
penyakit. Berbeda dengan unsur angin atau udara yang 
dianggap mewakili sifat melebur dan mengembalikan, karena 
angin adalah zat yang bisa membawa sesuatu dan merubah 
bentuk benda dari bentuk yang telah ada sebelumnya. Jika 
konsep trimurti ini dijalankan dengan baik maka akan terjalin 
hubungan yang harmonisasi.  
Konsep Tri Murti ini dalam keluarga pande pura 
tatasan diwujudkan dalam 3 padmasana. Dan keluarga ini 

lebih memakai unsur Brahma sebagai unsur api, unsur api 
untuk membuat keris yang menjadi pusaka turun temurun 
dalam klan pande. Sehingga Tuhan yang berwujud Brahma 
tetap hadir dalam tradisi pande besi dan diwujudkan dalam 
tradisi membuat keris pusaka yang dibakar besinya dengan 
api. Disinilah wujud Tuhan itu hadir.   
Pemahaman kelompok tradisional pande tersebut, 
dikuatkan oleh I Nyoman Lastra yang menyatakan bahwa 
dalam sistem keyakinan orang Bali menganut sistem 
ketuhanan yang disebut dengan Tri Murti, yang merupakan 
suatu keyakinan tentang keesaan tuhan yang disebut Sang 
Hyang Widhi Wasa yang dipersonifikasikan dengan tiga 
bentuk yaitu Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara) dan Siwa 
(pemralina atau pengembali). Sang Hyang Widhi Wasa 
merupakan zat Tuhan Yang Maha Esa.  
Menurutnya, sebuah zat yang berada dalam keadaan 
yang tidak dapat digambarkan dengan apapun atau 
menyerupai apapaun. Dialah yang menjadi pusat segala 
sesuatu kehidupan. Brahma merupakan personifikasi Tuhan 
sebagai pencipta. Peran Tuhan menciptakan alam semesta dan 
terkait unsur–unsur dasar sumber kehidupan. Wisnu adalah 
penggambaran peran Tuhan sebagai pemelihara kehidupan 
dan alam semesta. Wisnu adalah wujud Tuhan yang 
menyebarkan kesejahteraan, pengetahuan, peradaban, dan 
hallaian yangmemastikan kehidupan manusia dan alam 
semesta terpelihara. Sedangkan Siwa adalah manifestasi 
Tuhan yang menjalankan siklus kehidupan, melebur yang ada 
menjadi tiada,yang hidup menjadi mati sebagai bagian dari 
proses kehidupan yang harus berjalan dengan seimbang.  
Senada dengan Lastra, I Gusti Ngurah Sudiana yang 
juga menjabat sebagai Ketua Umum PHDI menyatakan bahwa  
 
dalam sistem kepercayaan warga tradisional Hindu Bali,  
Tuhan dipersonifikasikan kepada 9 bentuk peran  yaitu : 
1. Siwa (peran pelebur dan pengembali) 
2. Durga (peran penguasa dunia ghaib, mahluk halus dan 
siluman) 
3. Brahma (peran Penciptaan) 
4. Wisnu (peran pemelihara kehidupan) 
5. Indra 
6. Gana (Ganesha) (peran penguasa ilmu pengetahuan) 
7. Birawa 
8. Surya (matahari, sumber kehidupan) 
9. Agni (penguasa Api). 
Kesembilan simbol peran tersebut digabung  menjadi 
tiga dalam satu kesatuan manunggal yang mereka sebut Tri 
Murti, yaitu: 
1. Siwa (kesatuan dari Durga, Birawa dan Siwa) 
2. Wisnu (kesatuan dari Indera, Gana dan Wisnu) 
3. Brahma (kesatuan dari Surya, Agni dan Brahma) 
Tri Murti inilah yang merupakan representasi dari 
Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam setiap ritual keagamaan, 
Sang Hyang Widhi Wasa ditunjukan dalam banyak simbol-
simbol lainnya, seperti dalam canang yang didalamnya 
terdapat unsur-unsur pokok dalam banten atau upakhara. Tri 
Murti dilambangkan dengan sirih yang merupakan simbol 
dari Wisnu sebagai pemelihara. Kapur sebagai simbolis dari 
Siwa yang melebur dan mengembalikan dan buah pinang 
yang merupakan simbol Brahma atau penciptaan.  

Konsep Tri Murti paling fundamental disimbolkan 
dalam bentuk pemujaan rong tiga. Di dalam bangunan rong 
tiga kita akan melihat simbol tersebut berupa ruangan 
kotak/rong tiga, yang menunjukan persembahan atau 
pemujaan terhadap dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. 
Sedangkan rong dua di kiri dan kanan melambangkan simbol 
pemujaan pada leluhur laki-laki dan perempuan, dan rong 
satu ditengah untuk pemujaan terhadap roh suci leluhur yang 
tunggal dan biasanya terdapat di areal utama tempat suci 
keluarga. 
Pendapat yang sama diungkapkan pula oleh Ide 
Pandita Dukuh Acharya Daksa, seorang pendeta pada 
padukuhan Samiaga dan I Ketut Donder yang menyatakan 
bahwa secara hirarki ketuhanan dalam agama Hindu dibagi 
menjadi 2 bagian, yaitu:  
1. Nirguna Brahman, yaitu Tuhan tidak mungkin 
dibayangkan atau disamakan dengan apapun. Karena 
ketidak mampuan umatnya mengenal Tuhannya maka 
para resi memohon akan diwujudkan sesuatu yang 
berwujud. 
2. Saguna Brahman, disinilah yang disebutkan atau 
dipersonifikasikan  berwujud Brahma, Wisnu, Siwa yang 
mampu dibayangkan seakan-akan manusia bagi para resi 
(orang suci) dan para yogi. Dan umat pun pada prinsipnya 
diarahkan pada pemahaman nirguna brahman. Walaupun 
dalam implemntasinya mereka memahami melalui 
pemahaman saguna brahman, hal ini terjadi dikarenakan 
keadaan zaman dalam keadaan seimbang antara 
keburukan dan kebaikan. 
 
 
ritual sebagai Ritual Keagamaan 
Dalam penghayatan dan pengajaran Agama Hindu, 
dikenal tiga kerangka agama,  yaitu tatwa, susila dan ritual. 
Dari tatwanya, umat akan mendapatkan pengetahuan tentang 
ajaran-ajaran Ketuhanan. Dari ajaran susila, umat akan 
mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana prilaku 
manusia sebagai mahluk tertinggi ciptaan Tuhan. Sedangkan 
dari ritual, umat akan mendapatkan tuntunan bagaimana 
melaksanakan ritual agama yang benar, sesuai dengan 
sastranya. Dari ketiga unsur agama tersebut, unsur tatwanya 
akan tampak sama, karena bersumber pada Weda, sebagai 
kitab suci agama Hindu. Umat Hindu dimanapun berada, 
mesti sama dalam memahami tentang tatwa. Namun dari 
unsur susila akan perbedaan-perbedaan perilaku umat Hindu 
yang ada disatu daerah dengan umat Hindu daerah lainnya. 
Prilaku susila tertata, umum dikatakan adat, yaitu perilaku 
manusia yang ditata menurut tempat berada, penataannya itu 
sering disebut tata krama. 
Begitu pula dengan unsur ritual, manakala umat 
Hindu melaksanakan ritual agama, akan tampak wujudnya 
berupa seni-budaya, namun landasannya tetap dari Weda 
sendiri. Ucapan mantram, dikumandangkan dengan seni, 
suara berupa kidung, kemudian tata pelaksanaannya 
diwujudkan dalam bentuk seni-tari berupa: rejang, pendet, 
baris, wayang, diiringi pula dengan seni-tabuh berupa gong, 
gender, gambang, angklung, yang terlihat dalam seni-rupa 
berupa lukisan pengider-ngider, kajang dan patung. Kesemua 
itu dilaksanakan menurut waktu yang tepat dan pada tempat 
yang tepat pula. Demikian pula halnya dalam melaksanakan 
ritual agama berupa hari raya keagamaan, perayaannya 
dilaksanakan dengan tatanan ritual. Makna dan tujuan 

berdasarkan Tatwa, melalui sastra lontar, pelaksanaan 
mengikuti tata krama, dan bentuk ritualnya diwujudkan 
menurut seni budaya. Untuk menetapkan waktu, tempat, 
bentuk, jenis ritual, itu mengacu pada lontar tatwa wariga 
yang ada di Bali, sehingga sering dikatakan agama Hindu di 
Bali diberikan identitas sebagai Hindu Bali.  
warga Bali sebagai warga yang religius, di 
mana antara agama, adat istiadat atau tradisi dan budaya 
menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan didalam 
kehidupan keseharian mereka. Secara substantif yang 
menjalankan tradisi Hindu Bali dalam keagamaan atau secara 
tradisional dilakukan oleh umat yang memiliki pura keluarga. 
Dalam kesehariannya umat Hindu dalam keluarga dapat 
melakukan puja-puja setiap harinya kepada Tuhan atau Sang 
Hyang Widhi Wasa didalam tempat beribadah yang ada 
dilingkungan rumahnya dengan mengadakan berbagai 
ritual. Menurut I Nyoman Lastra dan I Gede Arnawa 
(Sekretaris I PHDI Prov. Bali) bahwa ritual atau kegiatan 
keagamaan dilaksanakan di pura. Sehingga pura terbagi 
kepada tiga tingkatan, yaitu Pura Keluarga, Pura Teritorial 
dan Pura Kahayanagan Jagat. 
Pura keluarga terdiri atas beberapa jenis, antara lain 
sanggah kemulan, sanggah merajan, Pura Panti dan Pura 
Dadya. Setiap anggota keluarag terikat dengan pura keluarga, 
setiap orang yang sudah menikah dan memisahkan diri dari 
keluarga orang tuannya biasannya memiliki pura keluarga 
sendiri. Pura Keluarga  tersebut biasanya terdiri atas 1-3 
bangunan. Tiap bangunan memiliki tempat persembahan 
yang jumlahnya berbeda. bangunan itu, antara lain: 
1. Kemulan (Rong Tiga): diperuntukan untuk ritual 
pemujaan kepada leluhur yang sudah disucikan/dewa 
 
yang dipersonifikasikan dalam konsep Trimurti (Brahma, 
Wisnu dan Siwa). 
2. Taksu (Rong Satu): Bangunan yang diperuntukan untuk 
memuja atau ritual yang terkait dengan kewibawaan 
3. Tugu (Rong Satu): Bangunan yang diperuntukan untuk 
penjagaan pekarangan  yang ada di rumah agar pemilik 
rumah senantiasa terjaga dalam kehidupan yang damai. 
4. Rong Dua: Bangunan yang diperuntukan untuk pemujaan 
leluhur yang belum disucikan. 
Adapun Pura Keluarga terbagi kepada beberapa 
jenis,antara lain sanggah kemulan, sanggah merajan, pura merajan 
dan sanggah gede /merajan agung yang juga disebut paibon. 
Berbagai jenis pura keluarga tersebut dikategorikan 
berdasarkan kelengkapan padmasana dan tingkatan keluarga. 
Sanggah Gede/Paibon adalah pura pusat keluarga besar atau 
klan. Hampir disetiap rumah di Bali memiliki bangunan pura 
di bagian depan rumah mereka. Kebanyakan pura rumah 
tersebut memiliki beberapa bangunan tinggi berjumlah tiga 
bangunan, walau ada beberapa pura yang memiliki lebih dari 
tiga bangunan di dalamnya. Bangunanan padmasana Rong 
Satu, Rong Dua dan rong Tiga, kebanyakan pura tersebut 
dibangun dengan batu hitam dan ukiran seni bali.  
I Gusti Ngurah Sudiana menyatakan kelompok 
warga Hindu Bali Tradisional terbagi kepada  dua jenis 
kelompok, yaitu: 

1. Kelompok dari Griya61 (rumah Pandita).   
2. Kelompok Non Griya (Pasraman62).  
Para sulinggih itu memiliki identitas atau sebutan 
masing-masing, yaitu: 
1. Pedanda (Pendeta yang berasal dari Keluarga Brahmana) 
2. Resi (Pendeta dari wangsa satria) 
3. Resi Bujangga (Pendeta wangsa Aria) 
4. Sire Mpu (Pendeta dari klan Pande) 
5. Sri Mpu (Pendeta dari klan Pasek) 
6. Dukuh (Pendeta dari Warga Dukuh) 
7. Bhagawan (Pendeta dari kaum Kesatria) 
Pada Pura Keluarga dalem Pande Majapahit Tatasan, 
sulinggih dan keluarganya melakukan sembahyang setiap 
harinya di pura keluarga di komplek rumahnya. Proses 
sembahyang dilakukan setiap hari oleh sulinggih, istri dan 
keluarganya. Sire Mpu Pande Aji, selalu melakukan 
persembahyangan yang dibagi dalam 3 waktu atau disebut 
Trisandya: pagi sekitar jam 5 subuh dengan membaca mantra 
gayatri memuja Dewa Siwa dengan menyebut nama Tuhan 
sebanyak 108 kali. Pada siang hari sekitar jam 12 dan sore jam 
                                                          
61 Griya adalah kelompok Hindu  yng secara turun temurun menjalankan 
tradisi Hindu yang berpusat pada rumah dan pura pendande/sulinggih klan. Tiap 
Kelompok/klan memiliki sulinggih dan paibon sebagai pusat kegiatan tradisi Hindu 
Bali  mereka. 
62 Adapun Pasraman merupakan tempat berkumpul, kegiatan dan sekaligus 
pendidikan, juga sebagai tempat tinggal berupa asrama. Orang yang bergabung 
dalam Pasraman belajar dan mengkaji berbagai ilmu yang terkait dengan 
kedigdayaan/olah kanuragan, pengobatan, dan Filsafat, ajaran Hindu baik yang 
dipelajari dengan membaca weda atau yang mempelajari tanpa membaca Weda. 
 
 
6 sore menjelang malam. Sembahyang sesungguhnya bisa saja 
dilakukan di dalam kamar atau ruangan tertutup yang bersih. 
Namun jika di rumah ada pura, sebaiknya sembahyang di 
pura. Para ibu atau perempuan biasanya sembahyang pagi 
sehabis mandi dan setelah masak. Sembahyang siang sebelum 
makan. Sembahyang malam sesudah mandi sore. 
Kelompok tradisonal di Bali pada umumnya 
melakukan kegiatan atau tradisi keagamaan melalui berbagai 
ritual keagamaan dengan menggunakan media upakara 
yang biasa disebut banten yang berbentuk sesajen. Di mana 
bentuk, isinya terdiri dari mewakili unsur–unsur pemujaan 
sesuai dengan tingkatan ritualnya. Pada prinsipnya ritual 
disetiap keluarga kelompok tradisional di Bali sama, tidak ada 
perbedaan secara substansial. Namun yang membedakannya 
adalah pada ragam isi sesajen/upakara pada saat ritual 
dilaksanakan.  
Menurut Lastra, sesajen persembahan dalam agama 
Hindu yang paling inti adalah Canang yang berisi porosan 
yang bahannya daun sirih, kapur dan buah pinang. Di mana 
daun sirih merupakan simbol pemelihara kekuatan Wisnu, 
kapur sebagai simbol peleburan atau pengembali kekuatan 
Siwa dan buah pinang merupakan simbol penciptaan 
kekuatan brahma. Isi canang ini merupakan perwujudan dari 
Brahma, Wisnu dan Siwa atau Trimurti. Sehingga sebesar 
apapun banten atau persembahan kepada Sang Hyang Widhi 
Wasa bagi umat Hindu, maka canang tidak pernah 
ditinggalkan, dia selalu ada.  
Ketika peneliti berada di rumah sulinggih Sire Empu 
Pande Aji, istri pande Aji sedang menyiapkan sesajen untuk 
bersembahyang, di dalam sajen tersebut ada canang yang 
berisi sedikit daun siri, buah pinang, kapur, diatasnya ditaburi 

aneka bunga yang tidak ditentukan berapa jumlahnya. 
Canang ini dibawa ke pura dalam lingkungan rumah dan 
dilakukan sembahyang disana. Selain itu disiapkan juga 
canang yang lain dibeberapa tempat di dalam wilayah pura. 
Dari kebiasaan di pura keluarga tatasan disiapkan canang 
yang isinya juga lauk pauk yang dimasak hari itu untuk 
disisihkan sedikit diatas canang, seperti nasi, ayam, ikan, dll 
disisihkan. Hal ini dilakukan dalam rangka ucapan 
terimakasih dan rasa syukur keluarga pande sudah diberikan 
rezeki makan hari itu dan bisa dimasak untuk dimakan 
keluarga. Tradisi yang dilakukan di keluarga pande ini juga 
dilakukan oleh umat Hindu lainnya. Hal tersebut dibenarkan 
oleh Luhde Sriti, sebagai umat Hindu Bali yang melaksanakan 
keseharian hidupnya secara tradisional.  
Hal senada juga disampaikan seorang ibu yang datang 
Tulungg Agung dari Klan Pande ke pura tatasan saat peneliti 
berada di sana. Setiap hari dia selalu membuat sesajen untuk 
berbagai keperluan di rumahnya sebagai bentuk persembahan 
kepada Tuhan dan leluhurnya. Menurut Luhde, hampir hari-
harinya melakukan tradisi sembahyang dengan membuat 
canang, semua itu dinikmatinya dengan rasa syukur. 
Walaupun kadang terasa capek, namun jika tidak dilakukan 
seakan ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya jika tidak 
melakukan persembahyangan dengan membuat sesajen, 
sepertinya tidak sempurna sembahyangnya jika tidak 
menyiapkan sesajen. 
Kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kelompok 
tradisional di Bali pada umumnya dan keluarga pande pura 
tatasan khususnya, semuannya tertuang dalam ajaran Kitab 
Weda. Walaupun Sire Mpu Pande Aji menyampaikan bahwa 
mengetahui semua isi Weda tersebut tidak terlalu penting jika 
 
tidak dilaksanakan. Bagi umat Hindu, yang terpenting adalah 
melaksanakan isi Weda tersebut sekalipun dia tidak pernah 
membaca kitab Weda. Menurut belia tradisi turun temurun 
yang di sampaikan oleh para leluhur mereka adalah 
bersumber dari kitab Weda. Hal senada di ungkapkan pula 
oleh Ida Pedande Made Gunung yang menyatakan bahwa 
semua tradisi yang dilakukan oleh warga Hindu Bali 
adalah bersumber dari Weda. Weda adalaha ajaran yang 
mengayomi, menjangkau dan memberikan makna bagi 
budaya lokal. Weda mengajarkan agama adalah jalan 
mencapai keadaan kembali kepada sang pencipta atau moksa, 
Dalam ajaran Hindu, Surga adalah tempat transit jiwa 
sebelum dikembalikan kedunia sampai manusia itu mencapai 
kesempurnaan dan menyatu dengan sang pencipta. 
Dalam ajaran Hindu ada dua jalan besar untuk 
mencapai kesempurnaan, yaitu: 
1. Jnana Sandiyasa: mencari kesempurnaan melalui pelajaran 
teologi,pemahaman weda dan sebagainya. 
2. Karma Sandiyasa: mencari kesempurnaan  dengan 
berhubungan dengan Tuhan melauai perbuatan. Karma 
sandiyasa dilakukan dengan media ritual agama. 
Karma Sandiyasa dilakuan dengan media ritual 
agama, sedangkan ritual agama adalah proses pemujaan 
atau berhubungan dengan pencipta yang dilakuan dengan 
media banten. Dikarenakan Weda bukan ajaran doktrin, 
sehingga terjadilah berbagai perbedaan dalam ritual.  
ritual pada satu keluarga dengan keluarga lainnya tidak 
sama, begitu juga ritual dalam satu pura tidak sama, namun 
secara substansi diadakan ritual tersebut tetap tidak 
berbeda.  

Dalam tradisi warga Hindu Bali, berbagai 
ritual didasarkan pada tiga hal : 
1. Sastra Destra. 
ritual harus dilaksanakan berdasarkan kepada ajaran 
yang terdapat dalam kitab suci weda. ritual merupakan 
bentuk implementasi dari berbagai macam yang diajaran 
dalam kitab Weda. Semua prosesi dan perangkat ritual 
senatiasa mewkili berbagai simbol ajaran yang terdapat 
dalam weda.  
2. Desa Destra. 
ritual agama dilandasi keadaan alam dan sosiologis 
tempat tinggal warga umat Hindu di Bali. Tiap Desa 
atau wilayah memiliki situasi yang berbeda sehingga 
memiliki macam ragam tradisi ritual yang berbeda, 
walau secara substansi tidak keluar dari Weda.  Sebagai 
contoh, Padmasana (tempat menghaturkan sesajen 
/upakara) yang terdapat di tiap rumah, warga 
Denpasar meletakan Padmasana atau Pura keluarganya di 
bagian tengah rumah. Di Tabanan, warga 
membangun padmasana mereka di bagian depan rumah. 
3. Kuna Destra 
ritual Adat harus diaksanakan berdasakan tradisi turun 
temurun. Dalam pelaksanaan kegiatan ritual agama 
Hindu di Bali ada 4 hal yang tidak dapat dipisahkan, dia 
menjadi satu kesatuan yang berkaitan yang mencakup 
Budaya, Adat, Seni dan Sosial. Ajaran Weda diwujudkan 
dalam tradisi desa dresta dan kuna dresta sehingga ajaran 
agama Hindu menyatu dalam budaya,adat, seni dan 
tatatan sosial. ritual agama  umat Hindu Bali tidak 
hanya sarana bersyukur kepada Tuhan, tapi sarana 

mendidik orang Bali untuk berpikir rumit, kritis dan 
dinamis sehingga membentuk warga yang produktif. 
Hal itu didasari situasi alam dan warga Bali. Alam 
Bali tidak luas dan tidak memiliki kandungan kekayaan 
alam yang besar. Maka ritual agama harus menjadi 
sarana kreatifitas yang mengandung unsur bisnis dan 
ekonomi. Disamping adat, budaya, seni dan sosial. 
Lebih lanjut Ratu Pendanda Ida Gede Made Gunung, 
mengungkapkan bahwa dalam ajaran agama Hindu Bali, 
banten merupakan simbol ajaran yang terdapat dalam Kitab 
Weda. Simbol-simbol itu dapat dilihat dari tiga hal yang 
disebut dengan Tribuana.yaitu bentuk, isi dan keadaan. Ketiga 
hal tersebut selalau mengandung unsur Bhur berarti alam 
bawah, Bwah berarti alam tengah dan Swah berarti . alam atas 
atau akasa. Unsur-unsur dimaksud dapat dilihat, antara lain:  
1. Dalam bentuk banten, terdapat jajaitan yang berupa 
segitiga (mewakili Bhur), segi empat (Mewakili Bwah)dan 
Bundar (mewakili Swah) 
2. Dalam isi banten terdapat unsur tumbuh-tumbuhan 
seperti padi dan buah-buahan (mewakili unsur Bhur), 
unsur mahluk yang dilahirkan seperti babi (mewakili 
unsur Bawah) dan mahluk yang bertelur seperti ayam, 
(mewakili unsur Swah) 
3. Dalam keadaan banten, terdapat unsur mentah (mewakili 
unsur bhur), unsur benda yang matang (mewakili unsur 
bwah) dan benda yang masak (mewakili unsur Swah.) 
Ida Sire Empu Pande Aji mengungkapkan bahwa 
berbagai jenis ritual yang diselenggarakan di Pura 
Keluarganya, antara lain: 

1. Banten Saiban (setiap hari), Persembahan kepada Tuhan, 
bagian/unsur dari makanan yang dimasak dan dmakan 
oleh keluarga. 
2. Purnama Tilem (setiap 15 Hari) 
3. Piodalan/Wedalan (setiap 6 bulan), ritual yang terkait 
dengan pendirian bangunan pura keluarga. 
Selain ketiga, ritual tersebut, di lingkungan pura 
keluarga tatasan juga diadakan berbagai upacra yang 
dilaksanakan setiap 210 hari sekali, antara lain: 
1. ritual Tumpak Landap: ritual untuk jiwa pada 
benda–benda yang terbuat dari besi. Memuja Dewa 
Pasopati 
2. ritual Tumpak Wrige: ritual untuk jiwa pada 
tumbuh–tumbuhan, memuja Dewi Sangkara. 
3. ritual Tumpak Krulut: ritual jiwa pada barang – 
barang seni, memuja Dewa Iswara.  
4. ritual Tumpak Uye/kandang: ritual untuk jiwa pada 
hewan.  
5. ritual Tumpak Wayang: ritual untuk jiwa pada 
wayang. 
6. ritual Tumpak Kuningan: ritual untuk jiwa para 
leluhur.  
Selain ritual tersebut di atas, di pura keluarga pande 
tatasan, juga ikut melaksanakan hari besar dalam agama 
Hindu lainnya seperti hari raya lainnya seperti hari raya 
Nyepi, hari raya Galungan, hari raya Kuningan, dll. Biasanya 
hari-hari besar tersebut, Ida Sire Empu Panji,  sebagai 
 
Sulinggih dimohonkan untuk memimpin/memuput acara 
tersebut.  Dalam pandangan beliau, tradisi dan ritual yang 
diadakan oleh umat hindu sesungguhnya membangun nilai 
tentang memanusiakan alam dan lingkungan. Alam dan 
lingkungan baik benda besi, tumbuhan, hewan,alat seni dan 
wayang dianggap sebagai benda yang berjiwa seperti 
manusia, sehingga diperlukan suatu ritual khusus untuk 
tiap unsur alam dan lingkungan tersebut sebagai simbol 
pengakuan terhadap jiwa di dalamnya. 
ritual dalam tardisi warga Hindu Bali juga 
mengandung makna memanusiakan manusia, dengan 
mangatur etika manusia dalam ritual. Seorang yang datang 
ke Pura untuk ritual agama harus mengenakan pakaian 
sesuai dengan susila dan etika, dia datang dan duduk, sambil 
menunggu ritual dia melantunkan bernyanyi. Nanyian itu 
mengandung makna melatih nafas dan suara, jika seseorang 
bernafas dengan baik maka hidupnya akan baik. Karena 
ritual adalah media pembentukan jasmani dan rohani. 
ritual juga adalah sarana membangun mindset sebagai 
mahluk sosial. Dalam ajaran Hindu, Sembahyang adalah 
media memohon ampun atas kesalahan diri dan memohon 
agar alam beserta isinya mendapatkan kebahagian, maka 
sembahyang adalah melatih mindset sosial pelakunya. Oleh 
karena itu tiga hal dalam ritual sebagai pengajaran dalam 
agama Hindu sebagai sarana untuk Kasih terhadap alam dan 
lingkungan, Cinta kepada sesama manusia dan bhakti kepada 
Tuhan. 
 

Strategi Mempertahankan dan Mengembangkan 
Keberadaan Klan Pande Pura Tatasan 
Seorang pande tidak hanya ahli besi, tapi bisa juga 
sebagai seorang sulinggih/pendeta, namun tidak semua pande 
menjadi seorang sulinggih. Seorang sulinggih kelompok 
pande berkewajiban untuk mencari atau menentukan salah 
satu keturunannya untuk menjadi sulinggih atau melanjutkan 
jabatan Sulingginya. Kriteria atau ciri keturunan yang 
ditunjuk dan dipersiapkan adalah anak atau keponakan yang 
memiliki ketertarikan pada ilmu kepanditaan/kepandean dan 
mau belajar ritual-ritual keagamaan, sehingga dia lebih 
cepat paham soal agama. Biasanya disiapkan usia 25 tahun, 
karena akan lebih pas jika nanti menjadi sulinggih diusia 40 
tahun.  
Sulinggih pande adalah salah satu dari sulinggih yang 
ada di Bali. Sulinggih yang berada dari keturunan Pande di 
Bali hanya berjumlah 20 orang. Sedangkan jumlah Sulinggih 
dari keluarga Pasek mencapai 500 orang, begitu juga sulinggih 
dari keluarga Brahmana yang berjumlah 500 orang. Tugas 
sulinggih di keluarga pande adalah memimpin berbagai 
ritual besar di kalangan keluarga/klan pande. Pande 
bertugas memberikan pelayanan kerohanian bagi umat Hindu 
Keluarga pande. Setiap paibon mempunyai pemimpinnya 
sendiri-sendiri tapi hanya sebagai seorang pemangku. Karena 
untuk ritual-ritual besar  harus dipimpin seorang 
sulinggih. Misalnya menghidupkan patung atau memberikan 
jiwa pada patung. Tidak semua patung ada jiwannya, jika 
diminta atau diisi oleh sulinggih baru patung mempunyai 
jiwa (hidup) sesuai dengan kepentingannya. Misalnya untuk 
menjadi kharismatik, menjaga wibawa, menjaga lingkungan, 
dll. Sedangkan untuk patung-patung atau keris yang diluaran 
 
belum tentu diisi jiwa. Secara politik, kelompok sulinggih 
terbagi kepada dua unsur besar, yaitu para sulinggih yang 
bergabung dengan Pura Besakih dan para sulinggih yang 
bergabung di Pura Ubud. 
Pada keluarga Klan Pande tradisi pande wajib 
diteruskan secara turun temurun dalam keluarga pande. 
Menurut Sira Mpu Pande Aji, dirinya sebagai seorang 
sulinggih dari keluarga Pande akan merasa sagat berdosa dan 
bersalah jika tidak ada anak turunannya yang menjadi   
sulinggih pande. Sehingga ada kewajiban bagi dirinya untuk 
mempersiapkan agar ada dari keturunannya menjadi seorang 
sulinggih. Seorang Sulinggih Pande adalah pemimpin acara-
acara keagamaan di Pura Paibon Pande dan juga sebagai 
tempat konsultasi umat Hindu dari Klan Pande. Adapun 
upaya yang dilakukan Sira Mpu Pande Aji untuk 
mempersiakan penggantinya adalah dengan cara 
memperhatikan salah seorang putranya dari 4 orang putra 
yang ia miliki yang mempunyai ketertarikan terhadap ilmu 
keagamaan Hindu, mempelajari Kitab Weda, keahlian dalam 
bidang pembuatan keris, senjata dan berbagai perangkat besi, 
paham tentang ritual-ritual  dan filosofi banten. Hal yang 
paling penting adalah mempunyai mental, integritas 
(kejujuran), mempunyai sikap sebagai seorang yang 
mengayomi seperti seorang sulinggih, mempunyai 
kemampuan untuk belajar memimpin ritual keagamamaan 
baik dalam keluarganya sendiri maupun pada kelompok 
pande. 
Saat ini Sira Mpu Pande Aji melihat bahwa salah satu 
dari keturunannya ada yang dapat dipersiapkannya sebagai 
sulinggih, yaitu putra bungsunya, namun sayangnya putranya 
itu sering mengalami kurang sehat pisiknya (suka sakit-
188
sakitan). Sehingga Sira Mpu Pande Aji merasa ada ke 
khawatiran akan membebani anaknya tersebut. Namun 
demikian beliau tidak merasa keberatan jika pada akhirnya 
takdir Tuhan menentukan lain, bahwa yang jadi sulinggih 
yang akan menggantikannya bukan dari keturunannya 
langsung.  
Karena persoalan menjadi sulinggih ini juga 
merupakan ketentuan dari Tuhan, namun demikian tidak 
salah jika sulinggih menyiapkan calon penggantinya. Beliau 
juga menyatakan jika harus yang lain seperti keponakan atau 
dari klan pande lainnya ternyata yang ditentukan Tuhan 
untuk menggantikan nya sebagai sulinggih tentunya harus 
memenuhi ketentuan-ketentuan yang mengarah pada 
kesiapan seorang slinggih seperti yang disebutkan diatas. Dan 
juga Sri Mpu Pande Aji akan tetap memerikan pembinaan dan 
pembekalan khusus lebih dalam tentang Kitab Weda juga 
keahlian kepandean lainnya serta semua ilmu yang 
berhubungan dengan pasopati atau pengisian jiwa pada 
senjata. Selain itu Sulinggih juga akan mengirim kadernya ke 
berbagai tempat untuk menempa ilmu dan mencari 
pengalaman skill dan spiritual. 
Lebih lanjut Mpu Sire pande Aji mengatakan bahwa 
dirinya tidak keberatan jika seorang sulinggih menguasai 
berbagai ilmu dari tempat lain yang bukan asli dari Hindu 
Bali atau ilmu turunan keluarga pande. Ilmu baginya hanya 
sebagai alat yang diibaratkan korek api untuk memasak. 
Selama beras yang dimasak berasal dari dalam atau dari Bali, 
tidak masalah jika alat memasak atau menyalakan api 
didapatkan dari luar selama bisa mempercepat dan 
menyempurnakan proses memasak tersebut.  
 
Untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan 
tradisi dari Klan Pande Sira Mpu Pande Aji sedang 
menyiapkan pendirian pasraman untuk mendidik para calon 
pande  yang disebut dengan pasraman pande. Biaya pendirian 
Pasraman Pande dengan menggunakan biaya sendiri atau 
keluarga pande tanpa bantuan pemerintah. Namun jika 
pemerintah ingin memberikan bantuan beliau tidak 
menolaknya, tetapi jika pemerintah mensyaratkan untuk 
mendapatkan bantuan tersebut harus membuat permohonan 
pengajuan proposal bantuan dana, beliau tidak                    
akan melakukannya. Karena dalam keyakinannya 
mempersembahkan sesuatu bagi Tuhan tidak boleh dilakukan 
dengan dana atau barang yang dihasilkan dari meminta-
minta. Baginya pasraman yang akan dia dirikan merupakan 
bentuk persembahan dirinya kepada Tuhan. 
Faktor lain yang penting dalam melanjutkan tradisi 
dengan berbagai ritual dan pendidikan adalah masalah 
biaya. Maka untuk meastikan biaya tradisi tersebut tersedia, 
keluarga pande menjalankan usaha pembuatan berbagai alat 
atau kerajinan yang terbuat dari besi. Tidak semua keluarga 
pande menjadi sulinggih, tapi banyak diantara mereka yang 
mediirikan pusat kerajinan pande besi yang disebut dengan 
perapen. 
Biaya ritual tradisional dan pasraman diambil dari 
keuntungan pemasaran produk keris. Semua keluarga pande 
membuat perapen/pusat kerajinan pande untuk menjual 
senjata berupa keris, golok, tombak, peralatan rumah tangga 
dsb. Namun Keluarga inti pande atau sulinggih pande yang 
menjadi pusat keluarga pande hanya memproduksi senjata 
dan memberijiwa pada senjata. Satu keris yang dibuat oleh 
pande di pura tatasan beragam harganya, mulai dari yang 
murah seharga 700 ribu rupiah, hingga ratusan juta, terutama 
keris yang sudah diisi jiwanya. 
Banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi 
keluarga pande dalam mempertahankan tradisi 
kepandeannya. Diantaranya adalah cara pandang generasi 
muda pande yang bersifat pragmatis, ditambah lagi era digital 
yang mengakibatkan generasi pande lebih banyak memilih 
jalur lain dan mengembangkan dirinya untuk melakukan 
perubahan dalam kehidupan mereka, kebanyakan mereka 
memilih pekerjaan sebagai PNS, swasta, di Bank, dosen, dll 
yang merupakan matapencarian kehidupan mereka. Sehingga 
keadaan ini telah mempersempit generasi keluarga pande 
untuk menjadikan kepandean sebagai profesi mereka. Namun 
demikian dengan keadaan seperti ini, Sira Mpu Pande Aji 
tetap harus mencari salah satu anggota keluargnya untuk 
terus melanjutkan profesi pande dan kependetaan pande ini, 
karena jika tidak diteruskan maka tradisi ini akan hilang dan 
lama-lama punah. 
Selanjutnya perpindahan keyakinan anggota keluarga 
pande dari agama Hindu ke agama lain, dan adanya 
perubahan keyakinan ajaran Hindu Tradisional menjadi 
pengikut ajaran Hindu Spiritual yang lebih menyederhanakan 
ritaul-ritual keagamaan dalam penggunaan banten pada 
ritual keagamaan juga menjadi tantangan tersendiri bagi 
umat Hindu pada umumnya. Perpindahan keyakinan 
seseorang merupakan hak setiap orang untuk menentukan 
pilihan keberagamaannya, sehingga Sira Mpu Pande Aji 
menganggap bukan persoalan yang menjadi ancaman terlalu 
signifikan, walaupun hal tersebut menjadi pemikiran 
tersendiri bagi tokoh agama Hindu untuk lebih menguatkan 
keagamaan umatnya. Diantara tantangan tersebut, beliau 
 
tetap mempersiapkan keturunannya harus ada yang 
meneruskan tradisi kepandean dan menjadi penggantinya 
sebagai seorang sulinggih.  
 
Struktur Organisasi Pura Pande Majapahit Tatasan 
Layaknya sebuah  organisasi, kelompok tradisional 
Pande Majapahit Tatasan juga mempunyai susunan 
kepengurusan organisasi yang sangat sederhana. Organisasi 
ini dibentuk dalam rangka untuk memudahkan dalam 
melaksanakan berbagai kegiatan keagaman di pura pande 
tatasan. Adapun susunan kepengurusan Paibon Pande adalah 
sebagai berikut: 
Klian (Ketua atau  
yang dituakan) : Made Jana Bertugas mengayomi 
kegiatan di pura 
Penyarkan  
(Sekretaris) : Rai Subawa, bertugas mencatat, 
mengarsip dan mengatur 
administrasi di Pura 
Bendahara : Nyoman Mariana, bertugas 
mencatat pemasukan dan 
pengeluaran dibidang keuangan 
Pengempon 
(anggota) : berjumlah 24 orang) 
Dari  ke-24 orang pengempon ini, mereka sudah 
mengetahui apa yang menjadi tugas masing-masing saat 
ritual. Dari 24 orang ini kebanyakan perempuan, banyak 
yang PNS, tapi dua (2) minggu sebelum kegiatan dimulai 
biasanya mereka sudah dikasih surat tentang tugasnya 
masing-masing, dan mereka ini ini ada yang mebawa masing-
masing secara bergiliran canang, telur, buah, hewan, dll untuk 
ritual keagamaan. 
Struktur Denah Kawitan/Keluarga Pura Pande 
Majapahit Tatasan adalah sebagai berikut: 
 
Penjelasan denah: 
- Kawitan Lontar merupakan penasehat  
- Ratu Gede bertugas sebagai Raja 
- Ratu Biang adalah Istri Raja 
- Ratu Pande bertugas sebagai maha patih dan harus 
 mengayomi umatnya atau klan pande 
- Penyarikan/Pemayun adalah sebagai sekretaris 
- Dwa Hyang merupakan Leluhur Klan Pande 
- Ratu Ngurah adalah Penjaga  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kawitan 
Lontor/Pen
asehat 
Ratu Gede 
Ratu 
Biang 
Ratu 
Pande 
Dewa 
Hiyang 
 
Penyarikan 
Ratu 
Ngurah 
 
Pura kawitan/keluarga tersebut, merupakan tempat 
komunitas Klan Pande Majapahit Tatasan yang ada di Bali 
dan yang ada di luar Bali. Semua keturunan Pande Majapahit 
Tatasan dimanapun mereka berada mereka akan kembali ke 
pura kawitan Pande Majapahit Tatasan yang ada di Jalan 
Ratna No, 50 Denpasar Bali ini. Disinilah komunitas mereka, 
sehingga proses ritual hidup dan matinya mereka diurus di 
pura pande tersebut. 
Adapun jumlah Komunitas Klan Pande yang terdaftar 
di Pura Pande Majapahit Tatasan berjumlah sebanyak 1.800 
KK, yang tersebar di 4 Griya, yaitu: 
1. Griya Suci Tatasan di Denpasar berjumlah sebanyak  800 
KK. 
2. Griya Suci Kalianda Negara di Jembrana jumlahnya 
sebanyak 200 KK 
3. Griya Suci Kalianda Balinuraga di Lampung Selatan 
jumlahnya sebanyak 400 KK 
4. Griya Suci Lampu Hawa di Sulawesi Selatan jumlahnya 
sebanyak 400 KK  
Griya Suci Tatasan luasnya 4 hektar, adapun tanahnya 
milik desa adat, sedangkan pura khusu pande hanya memiliki 
15 are. 1 are = 10 meter. Jadi 15 are = 150 meter. Sedangkan 
khusus ruangan prapen seluas 10 meter. 
 
Dampak Keberadaan Klan Pande terhadap Kehidupan 
Keagamaan  
Keberadaan kelompok tradisional Pura keluarga Klan 
Pande Majapahit Tatasan dalam agama Hindu dan kehidupan 

keagamaan di Bali sangatlah banyak. Secara positif klan Pande 
dengan sendirinya sudah banyak membantu warga baik 
di lingkungan Pande maupun kepada umat beragama lainnya. 
Dengan adanya pura dalam Pande Majapahit Tatasan semua 
klan pande dapat mengenal leluhur mereka dimanapun 
mereka berada. warga, khusunya umat Hindu banyak 
yang datang melakukan ibadah di pura tersebut yang datang 
dari berbagai daerah baik dari Bali maupun dari luar Bali. Saat 
peneliti berada disana, banyak warga yang datang 
berkonsultasi dan meminta fatwa dari sulinggih untuk 
kegiatan ritual mereka, banten apa yang cocok untuk acara 
yang diadakan. Juga ada yang meminta dibuatkan kain bagi 
yang keluarganya meninggal dengan meminta hari, tanggal, 
bulan baik kapan akan dikuburkan dan menggunakan kain 
dengan bunga aksara.  
warga juga terbantu dengan adanya klan Pande 
pura tatasan karena banyak memproduksi alat-alat berupa 
gong, keris, dll yang bisa digunakan oleh warga untuk 
keperluan mereka sehari-hari. Adanya acara odalan/perayaan 
keagamaan di Pura Pande Majapahit tatasan, mengakibatkan 
banyak pedagang dadakan disekitar pura dan menjadikan 
penghasilan tersendiri bagi kehidupan mereka.  
Seringnya diadakan ritual keagamaan di Pura Pande 
Majapahit Tatasan secara otomatis banyak menggunakan 
bunga-bunga, buah dan hewa untuk persembahan, dengan 
demikian sudah membantu para pedagang memutar roda 
perekonomian dan menambah pendapatan mereka. Para 
pedagang ini rata-rata beragama non Hindu. Orang-orang non 
Hindu inilah justru lebih mengetahui dimana dan hari apa 
ritual-ritual dalam agama Hindu dilaksanakan. Dengan 
 
demikian mereka akan berjualan disekitar tempat acara 
tersebut.  
Sisi positif lainnya, adalah meningkatkan nilai 
keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mendidik umat 
menjadi mengerti nilai-nilai keagamaan, kesabaran, 
kerajasama kelompok, menjaga tradisi turun temurun, 
sehingga masalah lainnya tidak menjadi pertimbangan yang 
siqnifikan. Disinilah kita melihat bahwa keyakinan beragama 
dan kecintaan seseorang terhadap ajaran agamanya dapat 
membuat seseorang mengorbankan segalanya untuk agama 
dan keayakinan yang dia yakini, yang tidak dapat ditukar 
dengan apapun.  
 
Hubungan Klan Pande Tatasan dengan Pemerintah dan 
warga 
Hubungan dengan Pemerintah 
Hubungan secara langsung antara kelompok 
tradisional Klan Pande Majapahit Tatasan dengan pemerintah 
belum terjalin. Namun secara tidak langsung hubungan itu 
tetap ada, yaitu melalui bantuan dan pembinaan pemerintah 
kepada umat Hindu di tingkat banjar atau desa pakraman, 
dimana kelompok tradisional Klan Pande juga berada disana. 
Pembinaan pemda tidak sampai kepada tingkatan pura 
keluarga, demikian diungkapkan oleh Kepala Biro 
Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali (I Gede Griya) dan Kepala 
Bidang Urusan Agama (Eka Putri Kusuma Wati).  
Bantuan pemerintah tersebut diberikan kepada pura-
pura yang ada di Bali dan diluar Bali melalui para pemangku 
di pura banjar dan desa Pakraman. Bantuan berupa uang 

sebanyak Rp. 200 juta untuk setiap desa Pakraman dengan 
peruntukannya adalah untuk pembinaan dalam fasilitasi 
terhadap Pemerajan (tempat ibadah) 40 %, Pawongan (manusia 
dan warga): 40 % dan Palemahan (wilayah) 20 %. Selain 
pada pura bantuan juga diberikan kepada PHDI dan FKUB 
bersifat hibah atau biaya langsung yang jumlahnya tidak 
selalu sama dan bervariasi sebesar Rp. 100 juta, kadang Rp. 
200 juta, diperuntukan untuk kegiatan mereka. Adapun 
program kegiatan yang menetukan adalah pihak yang 
dibantu. Bantuan dana tersebut hanya bersifat stimulan saja 
(sebagai perangsang). Terkait masalah pembinaan dalam hal 
substansi ritual atau tradisi keagamaan diserahkan kepada 
tokoh agama, dalam hal ini secara institusi adalah PHDI. 
Dalam hal untuk meningkatkan kerukunan umat beragama 
baik secara internal umat Hindu maupun antarumat beragama 
di serahkan kepada FKUB yang tentunya tetap berkoordinasi 
dengan Pemda Biro Kesra dan Bidang Agama. 
Selain melakukan pembinaan dalam fasilitasi kepada 
umat Hindu Bali, Pemprov juga ikut terlibat dan 
berkoordinasi dengan berbagai elemen menangani berbagai 
kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di Bali. Jika ada 
persoalan di Bali maka Gubernur memanggil semua pihak 
yang ada di Bali demi menjaga keamaanan di Bali, terkait 
persoalan agama maka yang biasanya dilibatkan adalah 
bagian Biro Kesra dan Bidang Agama tersebut. Misalnya, 
baru-baru ini terjadi perbedaan pendapat tentang pelaksanaan 
penanggalan pada acara Tawur Kesanga pada Uncal Balung 
yang berbarengan dengan hari raya Nyepi dan sholat gerhana 
matahari. Bidang Agama Pemprov. Bali ikut serta dalam rapat 
koordinasi bersama dengan pihak-pihak lainnya yang ada di 
Bali untuk mencari solusi yang terbaik agar semua kegiatan 
keagamaan bisa berlangsung sesuai dengan harapan. 
 
Terkait denga adanya perbedaan pendapat tentang 
penanggalan pelaksanaan keagamaan yang bersamaan 
dengan hari raya Nyepi tersebut, Kementerian Agama 
mengadakan rapat bersama Gubernur Bali dan Biro Kesra dan 
Bidang Agama, Polda Bali, Komandan Korem, 162/Wirasatya, 
Kesbangpol Prov. Bali, Bendesa Agung MUDP Bali, FKUB 
Prov. Bali, Majelis Agama Prov. Bali (PHDI Prov. Bali, MUI 
Prov. Bali, MPAG Prov. Bali, Walubi Prov. Bali dan Matakin 
Prov. Bali), pada hari Selasa 16 Februari 2016, bertempat di 
Kantor Kementerian Agama Wilayah Prov. Bali dengan acara 
pokok tentang pelaksanaan Hari Raya Suci Nyepi Tahun Baru 
Caka 1938 yang akhirnya ditetapkan dilaksanakan pada 
tanggal 9 Maret 2016 dengan menghasilkan adanya Seruan 
Bersama Majelis-majelis Agama dan Keagamaan Prov. Bali 
Tahun 2016.  
 
Hubungan dengan warga 
Kelompok tradisional Klan Pande Majapahit Tatasan 
mempunyai hubungan sosial yang baik terhadap 
lingkungannya. Di lingkungan Pura Kawitan Pande Majapahit 
Tatasan sesungguhnya lebih banyak dihuni oleh kalangan 
Pande, warga Hindu pada umumnya, namun ada 
beberapa keluarga non Hindu disekitar Pura Kawitan Pande 
Majapahit Tatasan terhadap warga sekitarnya, yaitu 
yang beragama Islam dan Kristen. Hubungan keluarga pande 
dengan warga pada umumnya terjalin baik dan saling 
kerjasama terutama ketika dalam melaksanakan kegiatan 
keagamaan di Banjar. Mereka saling menghargai dan 
kerjasama satu sama lainnya. Bahkan ada beberapa kelompok 
lain yang sering datang meminta saran kepada Sri Mpu Pande 
Aji tentang keagamaan. 
warga Bali yang beragama Hindu, termasuk klan 
Pande sangat kental dengan kepribadian yang senantiasa 
berupaya menjaga keseimbangan, kedamaian, dan 
keharmonisan dalam keragaman umat beragama.  Sikap  
semacam itu merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai 
budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang antara lain 
tertuang dalam konsep ‘ahimsa (tidak melakukan kekerasan), 
‘tat twam asi’ ( engkau adalah kamu ), angawe sukaning wong len 
(berbuat untuk kebahagiaan orang lain) dan sederetan 
ungkapan tradisional Bali.  
Dengan kepribadian seperti itu, warga non 
Hindu ikut berpartisifasi menciptakan suasana  tenang damai 
dalam kehidupan. Yang paling menonjol ketika perayaan hari 
raya Nyepi. Hari raya Nyepi  merupakan  hari  raya besar bagi 
umat Hindu, ketika  hari raya Nyepi warga Hindu 
dilarang melakukan segala aktivitas selama 24 jam. Pada 
perayaan ini semua umat beragam yang ada di Bali  ( Islam, 
Cina, Buddha, Kristen, Khong Hu Cu) turut bertoleransi 
dengan tidak melakukan aktivitas. Umat muslim misalnya 
ketika melakukan persembahyangan dengan tidak 
menggunakan pengeras suara di seluruh Bali.  Bagi warga lain 
turut memberikan dukungan dan doa agar  ritual  yang 
dilaksanakan dapat berlangsung khidmat. 
Menurut I Nyoman Lastra, kerukunan antarumat 
beragama di Bali telah menjadi tradisi yang turun temurun, 
seperti contohnya, orang–orang Muslim di Buleleng 
membantu penyelenggaraan Nyepi ,mereka memastikan umat 
Islam selalau menghormati Nyepi. Kegiatan Nyepi telah 
menjadi milik bersama umat beragama di Bali, bukan saja 
milik umat Hindu.  
Berdasarkan hasil penelitian dan analisisnya, dapat 
disimpulkan sebagai berikut: 
1. Klan Pande di Pura Keluarga dalam agama Hindu di Kota 
Denpasar Bali merupakan salah satu kelompok tradisional 
dalam agama Hindu yang keberadaannya di Bali sudah 
ada sejak zaman dahulu hingga hari ini dan 
mempertahankan tradisi pande besi dilingkungan 
warga Bali. Tradisi pande besi tidak hanya untuk 
membuat peralatan dari besi untuk kehidupan sehari-hari 
tetapi lebih jauh dari itu adalah mempertahankan pusaka 
nenek moyang atau leluhur mereka. Selain sebagai 
seorang pandai besi juga menjadikan barang pusaka 
bernilai magis dan mempunyai kekuatan supranatural. 
Kelompok tradisional pande ini hidup dalam lingkungan 
keluarga dan dalam komplek keluarga yang menyatu 
dengan tradisi keagamaan, menyatu dalam lingkungan 
pura keluarga.  
2. Dampak keberadaan kelompok tradisional Pura Keluarga 
Klan Pande terhadap kehidupan keagamaan di Bali. 
Keberadaan kelompok tradisional Pura Keluarga Klan 
Pande Majapahit Tatasan dalam Agama Hindu dan 
kehidupannya keagamaan di Bali secara positif banyak 
membantu warga baik di lingkungan Pande maupun 
kepada umat beragama lainnya.  
a) Hubungan Klan Pande Tatasan dengan pemerintah dan 
warga sudah berjalan baik. Meski hubungan secara 
langsung antara kelompok tradisional Klan Pande 
Majapahit Tatasan dengan pemerintah belum terjalin, 
namun secara tidak langsung hubungan itu tetap ada, 
200
yaitu melalui bantuan dan pembinaan pemerintah kepada 
umat Hindu di tingkat banjar atau desa pakraman, di 
mana kelompok tradisional Klan Pande juga menjadi 
bagian di dalamnya. Sedangkan hubungannya dengan 
warga, Klan Pande Majapahit Tatasan mempunyai 
hubungan sosial yang baik terhadap lingkungannya, 
saling kerjasama terutama ketika dalam melaksanakan 
kegiatan keagamaan di Banjar. Saling menghormati dan 
menghargai, seperti dalam perayaan Hari raya Nyepi dan 
ritualnlainnya. 
Rekomendasi yang dapat diajukan dalam penelitian ini 
adalah: 
1. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus berupa 
pembinaan dan memfasilitasi kepada kelompok 
tradisional klan pande Majapahit Tatasan untuk menjaga 
tradisi pande besi pusaka sebagai aset budaya bangsa, 
berupa memberikan bantuan dana dan diklat kepandean.. 
2. Perlu dipertahankan dan ditingkatkan koordinasi 
antarlembaga pemerintah dan warga dalam menjaga 
keamanan dan kedamaian di Bali, dengan cara selalu 
melakukan pertemuan tidak hanya bersifat formal jika ada 
permasalahan saja, tetapi secara instensif melakukan 
dialog-dialog nonformal atau wokshop dan seminar yang 
meilibatkan tokoh-tokoh lintas agama agar terjalin 
komunikasi yang baik dan setiap permasalahan dapat 
diantisipasi sebelum terjadi. 
 

2. I Gusti Made Ngurah (Tokoh Agama Hindu, Mantan 
Kepala Kanwil Kemenag Prov. Bali dan Dosen IHDN) 
3. I Nyoman Donder (Dosen Pascasarjana IHDN) 
4. Ratu Pendande Ida Gede Made Gunung 
(Pendeta/Pendande dari Klan Brahmana) 
5. Ida Sira Empu Pande Aji (Sulinggih pada Griya Pande 
Tatasan) 
6. I Gusti Ngurah Sudiana (Ketua PHDI Prov. Bali dan 
Dosen) 
7. I Gede Arnawe (Sekretaris I PHDI prov. Bali)  
8. I Gede Bagus (Keluarga dan anak ke-2 dari  Ida Sira Empu 
Pande Aji (Sulinggih pada Griya Pande Tatasan) 
9. Anak Agung Gede Griya (Kepala Biro Kesra dan Agama 
Pemda Prov. Bali) 
10. Eka Puteri Kusumawati (Kepala Bagian Bidang Agama 
Pemda Prov. Bali dan Sekretaris FKUB Prov. Bali 
11. I Nyoman Lastra (Bendesa Adat dan Kabid Urusan Agama 
Hindu Kemenag Prov. Bali) 
12. Luhde Sariti (Kasubbid pada Urusan Agama Hindu)   
13.  Mudiana (Kasubid pada urusan Agama Hindu 
14. Ratna (Warga Bali beragama Hindu) 
15. I Nyoman Yoga Segara (Dosen Pascasarjana IHDN) 
  
 
 
Setting Awal: Hindu Lombok dalam Tiga Gelombang 
Sejarah Hindu di Nusa Tenggara Barat (NTB) 
khusunya di Lombok tidak bisa dilepaskan dari arus 
kedatangan orang orang Bali ke pulau tersebut. Arus 
kedatangan warga Bali di Lombok  ada tiga gelombang 
Gelombang pertama diyakini sebelum 
munculnya Kerajaan Karang Asem di Lombok. Beberapa 
Pedanda sempat dikirm oleh raja Kelkel Klungkung, 
salahsatunya meninggalkan jejak Pura Suranadi dan Pura 
Batu Bolong dan beberapa pura lainnya oleh Pedanda Sakti 
Wau Rauh.  
Gelombang kedua kedatangan orang Bali adalah 
beridirinya Kerajaan Karang Asem pada tahun 1720 (Ibid). 
yang kemudian menyatu dengan berbagai kerajaan kecil 
menjadi Singasari Lombok. Secara bertahap warga Bali 
semakin berkembang di berbagai tempat di Lombok. 
Selanjutnya gelombang ketiga, pada era kemerdekaan, berbeda 
dengan dua gelombang sebelumnya kedatangan warga Bali 
lebih banyak disebabkan profesi ebagai PNS, POLRI/TNI dan 
wiraswasta.  
Cukup banyak tempat yang disucikan oleh umat 
Hindu di Lombok, khususnya Kota Mataram dan Sekirtarnya, 
yaitu Kabupaten Lombok Barat. Kekentalan pada budaya 
Hindu Bali cukup menjadi alasaan utama peneltiian yang 
difokuskan pada kelompok tradisional cukup tepat dilakukan 
di Lombok, begitu juga dengan cirikhas dan keunikannya 
dibanding Hindu di Bali. Terutama aspek adaptasinya dengan 
budaya lokal, sehingga sering disebut sebagai Bali Sasak oleh 
orang di Bali. 
Hindu Lombok adalah Hindu Bali yang mengalami 
pengaruh budaya lokal Lombok, terutama persinggungan 
budaya dengan suku Sasak, sehingga banyak keunikan yang 
ditemukan dalam praktik dan ritual sosial keagamaan yang 
tidak ditemukan di Bali. Terutama menyangkut ritual dan 
beberapa pranata sosial yang tidak sama dengan di Bali. 
Meskipun pada dasarnya, budaya yang berkembang berakar 
kuat pada Hindu Bali.  
 
Strategi Memasuki dan Memahami Hindu Lombok 
Untuk memahami lebih dalam lagi tentang Hindu 
Lombok, penulis memfokuskan diri pada kelompok 
tradisional atau kelompok arus besar Hindu di Lombok, 
dibatasi dengan topik yang pada aspek-aspek yang 
dimatrikulasi mulai dari struktur ketuhanan, yang teridiri atas 
praktik ibadah, etika dan moralitas,  tradisi keagamaan, serta 
simbol-simbol. Kemudian ritual keagamaan yang periodical. 
Berikutnya adalah cara mempertahankan dan pengembangan 
eksistensi kelompok. Matrik berikutnya tentang 
kelompok/organisasi keagamaan.  
 
Aspek krusial adalah kemungkinan adanya konflik 
internal maupun ekternal yang menyangkut kehidupan 
keagamaan, sedangkan hubungan dengan pemerintah, 
warga dimaksudkan untuk menekankan kondisi kendali 
atas interaksi komunikasi yang terjadi pada kelompok 
keagamaan tersebut. Matriks terakhir dimaksudkan untuk 
memberikan jawaban pada pertanyaan penelitian tentang 
dampak terhadap kehidupan keagamaan baik secara internal 
maupun eksternal.  
Secara metodologis, jenis penelitian adalah kualitatif 
dengan pendekaatan sosiologis, paradigma fungsional-
strukturalis.  Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 
observasi langsung pada objek kegiatan dan pengenalan 
subjek, serta wawancara mendalam pada subjek secara 
terstruktur maupun tidak terstruktur. Alat pengumpulan data 
adalah matrik observasi dan daftar pertanyaan atau instrumen 
pengumpulan data, direkam melalui perekam telepon 
genggam dan tulisan tangan, dokumentasi melalui foto-foto. 
Informan kunci pada penelitian ini informan memiliki 
fungsi utama dalam hal mengumpulkan data yang dipilih 
berdasarkan kategori kepanditaan dan kepinanditaan. 
Adapun kategori yang dimaksud adalah, sebagai berikut: 
1. Ida Pedanda Gede Made Kerta Arsa, Manggala (ketua) 
paruman sulinggih se NTB. beliau seorang Pedanda Siwa.  
2. Ida Pandita Empu Acarya Jaya Dharma Daksa Nata, 
berasal dari kalangan Pasek yang memiliki organisasi 
Mahagotra Pasek Sana Sakte Resi. 

3. Ida Pandita Resi Dwija Ariabawa (Resi Agung), adalah 
pandita yang beraliran Waisnawa dari kalangan resi. 
4. Ida Pedanda Budha Oka Dharma, Pedanda Budha 
5. Ida Pedanda Budha Oka Dwija Putra, Pedanda Budha 
6. Pinandita Jero Mangku Karsa, Ketua Parisada Sanggraha 
Nusantara 
7. Pinandita I Gusti Ngurah Mangku Sunartha, Pemangku  
8. Ida Bagus Benny Surya Adi Pramana, Padepokan Seruling 
Dewata. 
9. I Wayan Sukawan, Hari Krisna 
10. I Gede Mandra, Ketua PHDI 
11. Ida Wayan Oka Santosa (sekretaris PHDI) 
12. I Ketut Ari Setiawan 
13. I Wayan Widra, S.Ag., M.Pd.H. Kabid Bimas Hindu 
Kanwil Kemenag NTB 
14. I Gede Subrata, Kasi Pemberdayaan Umat Hindu 
Kemenag NTB 
15. I Putu Agung Sanjaya, Penyuluh Agama Hindu Kanwil 
Kemenag NTB.  
Selain itu, penulis melakukan observasi di di dua 
tempat, yaitu di kota Mataram dengan mengikuti proses 
pawai ogoh-ogoh, dari proses “menghidupkan” ogoh ogoh 
sampai dengan mengarak, diberi penilaian sampai dengan 
pembakaran. Observasi berikutnya adalah kegiatan melasti, 
 
yaitu pembersihan jagat besar (Bhuwana Agung) dan jagat 
kecil (Bhuawa Alit), pembersihan diri sebagai jagad kecil dan 
alam semesta sebagai jagad besar dilakukan oleh umat Hindu 
Lombok yang dipusatkan di Pantai Mlase Lombok Barat 
adalah ritual rutin menyambut Hari Raya Nyepi. Tradisi 
tahunan ini setidaknya juga dilakukan di enam tempat yang 
lain, biasanya di pantai.63 Selanjutnya, penulis juga melakukan 
observasi di Pura Lingsar, sebagai satu dari sekian tempat 
yang dianggap suci, kedudukan pura ini cukup penting 
setelah Pura Suranadi sebagai peninggalan bersejarah bagi 
umat Hindu Lombok, dibuat oleh Pedanda Saktu Wawu 
Rawuh.  
Untuk memahami Hindu Lombok, penulis terbantu 
dengan sedikitnya sembilan tema penelitian yang dilakukan 
dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Mataram selama 2015 
yang memiliki kesesesuaian dengan topik penelitian 
kelompok tradisional Hindu di Lombok kali ini. Misalnya, 
“Segregasi Spasial Pemukiman dan Pola Integrasi Sosial 
Antarkomunitas Bali-Hindu dengan Komunitas Sasak-Islam di 
Wilayah Cakranegara Kota Mataram”, oleh I Wayan Ardhi 
Wirawan. Penelitian ini mengemukakan tentang fenomena 
pemisahan ruang pemukiman antara orang-orang Bali-Hindu 
dan orang orang Sasak-Islam, berdasarkan aspek perubahan 
sosial sejak pengkonsidian pada zaman kerajaan Karang Asem 
sampai dengan saat ini yang semakin dinamis. Seiring waktu 
segregasi terkikis namun menimbulkan masalah sosial baru, 
sejumlah kasus muncul kerap menimbulkan atau berpeluang 
                                                          
munculnya kekerasan komunal. Untuk itu direkomendasikan, 
dengan menggunakan pendekatan quotidian perlu dilakukan 
reharmoni dan revitalisasi mutualistik dalam kegiatan sosial, 
budaya dan agama.  
Berikutnya, “Integritas Kebhinnekaan Umat Hindu and 
Islam Wetu Telu Pada ritual Pujawali di Pura Lingsar Kabupaten 
Lombok Barat”, Oleh Ni Putu Sudawi Budhawati. Terdapatnya 
fakta tentang suku Bali-Hindu dan Sasak-Islam dalam hal 
Wetu Telu memiliki ritual agama pada hari dan waktu yang 
sama di satu kompleks Pura Lingsar. Kegiatan pujawali 
tahunan yang diselenggarakan oleh dua entitas warga 
beragama yang berbeda tersebut menimbulkan suatu toleransi 
yang tinggi dalam rangka membangun kerekatan satu sama 
lain.  
Penelitian yang lain adalah “Dinamika Organisasi Banjar 
dalam Komunitas warga Hindu Pedesaan”, oleh I Nyoman 
Sumantri. Penelitian ini berusaha menggambarkan kondisi 
perkembangan banjar sebagai sebuah organisasi yang 
dinamis. Kehidupan gotong-royong di tengah warga 
yang memberikan kesan harmonis, dalam beberapa decade 
terakhir kerap dimanfaatkan untuk diarahkan ke partai politik 
tertentu. Meskipun begitu, keterlibatan warga dalam 
kegiatan tersebut masih cukup efektif terutama yang berkaitan 
dengan bidang keagamaan, sosial dan adat. Sedangkan di luar 
hal tersebut masih belum tergarap dengan baik.  
Berturut-turut penelitian yang lain adalah “Konstruksi 
Soliditas Sosial Antarumat Hindu dengan Umat Islam dalam Pawai 
Ogoh-ogoh di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara”, oleh 
 
I Gusti Komang Kembarawan. Penelitian ini memotret 
kehidupan kebersamaan dalam bingkai budaya melalui 
atraksi ogoh ogoh.  “Peran Pasraman Prakam Wyata Dharma 
dalam Memelihara Tradisi Beragama Umat Hindu di Selong Lombok 
Timur”, oleh I Komang Arcana. Penelitian ini menghasilkan 
eksistensi pasraman yang berbadan hukum dan mendapatkan 
bantuan dari Kementerian Agama merupakan kemajuan dan 
memantapkan posisi dalam rangka memelihara tradisi 
keagamaan dalam agama Hindu. Peran pasraman yang 
dimaksud mampu menjadi: 1) pemelihara ideology dan tradisi 
Hindu; 2) penguat pertahanan ideology dan tradisi umat; 3) 
pemersatu dan pemelihara kebersamaan umat; 4) penerus dan 
pembawa ideologi, tradisi umat; 5) perekat sosial komunitas 
banjar; 6) penegak norma sosial; 7) sebagai mediasi 
mendapatkan payung hukum akan rasa aman dalam aktifitas 
beragama.  
“Perjuangan Tokoh Agama dalam Mengembangkan 
Peradaban Hindu di Lombok”, I Wayan Wirata. Penelitian ini 
menginventarisasi tokoh dan sepak terjanya dalam 
mengembangkan peradaban Hindu di Lombok mulai dari 
pendirian tempat suci, rehabilitasi tempat mandi sakral, 
pemberantasan buta huruf Bali dan Jawa Kuno. Penelitian 
tersebut juga menggali makna atas peradaban yang 
berkembang dalam aspek religiusitas, makna sosial budaya, 
serta makna kesatuan dan persatuan.  
“Pergeseran Nilai-nilai Simbolik Sesari dalam Kewangen”, 
oleh Gede Mahardika. Penelitian ini bertujuan memahami 
tentang pergeseran sesari dan kwangen atas makna dibalik 
210
pergeserannya. Dijelaskan bahwa pergeseran sesari dalam 
kwangen adalah bentuk dari bahan dasar, sedangkan makna 
daripada pergeseran tersebut yang tediri dari penaluran dana 
punia pada wujud bhakti ke hadapan Ida Snghyang Widhi 
Wasa. “Fenomena Penggunaan Simbolisasi Benang Tridatu dalam 
Reproduksi  Indentitas Komunitas Hindu di Kota Mataram”, oleh I 
Ketut Cameng Mustika. Penggunaan gelang tridatu terpola 
sebagai simbolisasi kembalinya identitas Hindu Bali secara 
kontemporer dalam praktek sosial religious. Terakhir, 
“Personifikasi Bhuwana Alit dalam Lis Dewa Yajna oleh 
warga Hindu di Kota Mataram”, oleh I Gede Jaya Satria 
Wibawa. Penelitian ini menjelaskan tentang tiga hal, a) bentuk 
personifikasi bhuwana alit dalam lis dewa yadna. b) fungsi 
personifikasi, dan c) makna personifikasi.  
Memasuki Kota Mataram 
Pulau Lombok dari aspek lokasi cukup l
Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate