Tampilkan postingan dengan label hindustan 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hindustan 4. Tampilkan semua postingan

hindustan 4

ayak menjadi 
lokus penelitian karena banyaknya pura yang ditinggalkan 
oleh orang orang suci dari sejak jaman kerajaan dahulu. 
Kemudian jarak tempuh antar pura tidak terlalu jauh, 
sehingga dapat memungkinkan observasi partisipatif di 
beberapa kegiatan pura secara langsung.  
Sebagaimana diketahui, NTB adalah sebuah provinsi 
di negarakita yang berada dalam gugusan Sunda Kecil dan 
termasuk dalam Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini 
memiliki 10 Kabupaten/Kota. Di awal kemerdekaan negarakita, 
wilayah ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil
                                                          
Mr. Muhamad Yamin yang pada 1950-an ketika menjadi Menteri P.P. dan 
K. mengganti istilah Kepulauan Sunda Kecil menjadi Kepulauan Nusa Tenggara. 
 
yang beribukota di Singaraja. Kemudian, wilayah Provinsi 
Sunda Kecil dibagi menjadi 3 provinsi: Bali, Nusa Tenggara 
Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Saat ini nama "Nusa 
Tenggara" digunakan oleh dua daerah administratif: Provinsi 
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sesuai 
dengan namanya, provinsi ini meliputi bagian barat 
Kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini 
adalah Lombok yang terletak di barat dan Sumbawa yang 
terletak di timur. Ibu kota provinsi ini adalah Kota Mataram 
yang berada di Pulau Lombok. 
NTB terdiri dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, 
memiliki luas wilayah 20.153,15 km2. Terletak antara 115° 46' - 
119° 5' Bujur Timur dan 8° 10' - 9 °g 5' Lintang Selatan. Selong 
merupakan kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, 
yaitu 148 m dari permukaan laut, sementara Raba terendah 
dengan 13 m dari permukaan laut. Dari tujuh gunung yang 
ada di Pulau Lombok, Gunung Rinjani merupakan gunung 
tertinggi dengan ketinggian 3.775 m, sedangkan Gunung 
Tambora merupakan gunung tertinggi di Sumbawa dengan 
ketinggian 2.851 m. 
Sebagian besar dari penduduk Lombok berasal dari 
suku Sasak, sementara suku Bima dan Sumbawa merupakan 
kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas 
                                                                                                                           
Sebab, istilah Kepulauan Sunda Kecil diganti dengan Kepulauan Nusa Tenggara, 
maka istilah Kepulauan Sunda Besar juga tidak lagi digunakan dalam ilmu bumi dan 
perpetaan nasional negarakita – meskipun dalam perpetaan Internasional istilah 
Greater Sunda Islands dan Lesser Sunda Islands masih tetap digunakan." 
penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam. Berikut tabel 
menurut jumlah pemeluk agama. 
 
Melihat jumlah keseluruhan di NTB, posisi Umat Hindu 
sekitar 2.5%, sebagian besar tinggal di Kota Mataram, 
terkonsentrasi di pulau Lombok jumlah cukup signifikan. Di 
Kota Mataram, persentase pemeluk Hindu 16.13% sedangkan 
di Kabupaten Lombok Barat 6.63%, Kabupaten Lombok Utara 
8.47%. Sedangkan di Sumbawa 2.82%. Keberapdaan Umat 
Hindu di Kabupaten lain jumlahnya tidak terlalu signifikan, 
tidak terlalu besar namun cukup lekat dengan tradisi yang 
berkembang seperti kabupaten lain. 
 
Pembahasan Hasil 
Konsep Ketuhanan 
Kelompok Hindu tradisional di NTB khususnya pulau 
lombok, seperi halnya Hindu Bali lebih dekat pada konsep 
Trimurti, tiga sesembahan satu kesatuan, unitarian. Awalnya 
ada Sembilan sekte utama setidaknya yang berkembang di 
Nusantara, Bali. Hadirnya Pedanda Kuturan yang 
menginisiasi menyatukan berbagai sekte melalui kesepakatan 
bersama menjadi tiga aliran besar, Siwaisme, Waisnama, dan 
Brahmaisme65. Banyaknya kesimpangsiuran pemahaman di 
kalangan pemeluk, penyederhanaan sesembahan dalam tiga 
dewa utama ini menjadi sejarah penting dalam perjalanan 
Hindu di negarakita. Berbeda dengan India yang memilih satu 
dewa untuk diagungkan dan disembah, Hindu Bali 
menyembah semua dewa, hal ini cukup menarik karena 
konsepsi penyatuan berbagai aliran menjadikan cirikhas 
tersendiri. 
Konsep ketuhanan yang dibangun dalam Tri Murti 
juga menarik, karena penganut Siwaisme, Waisnamawa, 
Brahmaisme serta aliran Budha yang kemudian digabungkan 
sebagai Siwa-Budha (Siwa Sidhanta),66 tiga arus dalam 
trimurti memiliki tiga pandita yang terdiri atas Pedanda Siwa 
dan Pedanda Budha, pandita resi dapat dilekatkan pada 
waisnawa, kemudian pandita empu yang berada pada aras 
Siwa. Tiga karakter kepanditaan dapat memimpin secara 
lintas-batas, tidak ada dikotomi sekte atau aliran. Secara 
                                                          

faktual Siwa menyatu dengan Budha, menjadi Siwa-Budha, 
menyatu dalam hal ritual yang memiliki tugas masing-
masing. Penyelesaaian ritual dari atas menghadirkan Tuhan 
dilakukan oleh Pedanda Siwa, kemudian menyiapkan tempat 
menyelesaikan di bawah adalah Pedanda Budha. Bagi 
penganut Siwa, bahwa Dewa Siwa lah yang paling penting, 
menduduki tempat yang tertinggi karena bertugas terakhir 
setelah pemeliharaan alam oleh Wisnu. Siwa adalah 
pengembali segala bentuk, wujud kembali ke asalnya, dalam 
hal konsepsi yang mudah dipahami adalah pengembalian 
wujud manusia ke dalam empat anasir pembentuknya, air, 
api, angin dan tanah. 
Sedangkan bagi penganut Waisnama, dewa Wisnu lah 
yang paling penting karena mengagungkan pemelihara bumi 
dan alam semesta ini yang akan membuat kesempurnaan 
bhakti manusia, sehingga memungkinkan ketercapaian 
muksa70. Tidak perlu reinkarnasi. Linear dengan keagungan 
Wishnu sebagai pemelihara dan penting, karena dari Sri 
Wishnu turunnya awatara Tuhan Yang Maha Esa ke dunia 
melalui wujud Sri Krishna.  
Keberadaan Budha pada Siwa Sidanta adalah suatu 
kompromi atas sejarah sejak zaman majapahit atas dua arus 
besar Siwa dan Sogata, sehingga ada dua pandita saat itu 
Dang Acarya Kasiwan dan Dang Acarya Kasogatan. 
                                                          

Selanjutnya dua eksistensi ini terbawa ke Bali, seiring 
munculnya pendande Budha Keling di Bali pasca runtuhnya 
Majapahit, mengikuti gelombang pindahnya para penganut 
Siwa ke Bali72 (cikal bakal Hindu Dharma). Istilah Budha 
sendiri berbagai macam, satu diantaranya yang dipahami 
dalam Siwa Sidanta adalah lebur, jadi Budha itu bertugas 
meleburkan segala hal yang negatif menjadi stabil73, meskipun 
sejatinya tidak dapat dipisahkan dari ajaran dan nilai yang 
dikembangkan oleh Sidharta Gautama, sebagai awatara 
Tuhan kesembilan.  
Ajaran Pokok Hindu sejatinya terbagi dalam tiga 
bagian utama, yaitu Tatwa (filsafat), Susila (ethika), dan 
ritual (ritual),74 Lebih lanjut dalam buku Upadeca yang 
diterbitkan Parisada Hindu Dharma negarakita, tatwa sendiri 
diartikan sebagai kerangka dasar agama Hindu (Hindu 
Dharma) yang memuat lima kerangka kepercayaan mutlak 
yang harus diyakini, yaitu: percaya adanya Sang Hyang 
Widhi (Widhi Tatwa); percaya adanya Atma (Atma Tatwa); 
percaya adanya Hukum Karma Phala; percaya adanya 
Samsara (Purnabhawa); dan percaya dengan adanya Moksa.  
 
Etika dan Moralitas 
Susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia yang 
selaras dengan ketentuan dharma dan yadnya. Cukup banyak 
                                                         
struktur etika dan moralitas dalam agama hindu. Beberapa hal 
menyangkut Susila dapat dipahami melalui beberapa bagian: 
1. Tri Hita Karana:75 hubungan manusia dengan Tuhan, 
Manusia dengan manusia, manusia dengan Alam 
2. Tatwam Asi:76 intinya tidak boleh menyakiti (saya adalah 
kamu, kamu adalah saya)  
3. Tri Kaya Parisudha (tiga perbuatan yang disucikan) yaitu 
kayika (berbuat yang baik), wacika (berkata yang baik) dan 
manacika (berpikir yang baik)  
4. Wasudewa Kutum Bakam: (kita semua adalah saudara) 
5. Sad Ripu (enam musuh yang harus dihindari):77 
a. Kama: keinginan, nafsu 
b. Lobha: rakus, tamak 
c. Krodha: kemarahan 
d. Moha: kebingungan 
e. Mada: mabuk 
f. Matsarya: iri hati, dengki 
6. Lima pilar dalam kehidupan:78 
a. Satya: Kejujuran 
b. Dharma: kebenaran 
c. Shanti: Kedamaian 
                                                          

d. Prema: Cinta/kasih sayang, Prema dikatakan sebagai 
hal terpenting dalam hal mewujudkan dharma dalam 
kehidupan, karena dengan kasih sayang empat hal 
yang lain akan muncul dengan sendirinya bagi setiap 
orang yang mamahami hal ini.   
e. Ahimsa: nirkekerasan. 
Dalam hal etika dan moralitas, diyakini oleh pemeluk 
Hindu bersumber pada Weda. Ajaran Weda yang membentuk 
manusia untuk melakukan Catur Dharma. Terutama setia 
pada karma masing-masing.  
 
Praktek Ibadah  
Praktek Ibadah yang dilakukan oleh umat Hindu 
mengenal empat jalan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan 
Yang Maha Esa  dikenal dengan Catur 
Marga, yaitu Bhakti Marga (jalan kebaktian), Karma marga 
(jalan perbuatan), Jnana Marga (jalan pengetahuan 
kerohanian), dan Yoga Marga (jalan Yoga/menghubungkan diri 
kepadanya).  
Parama Prema dan Prappati adalah bentuk yang bisa 
dipahami dari bhakti marga, parama prema dimaksudkan 
untuk memahami atman dengan membaca mantram yang 
diajarkan Weda. Parama prema adalah kasih yang sejati 
seperti yang diberikan oleh bapak, sanak saudara, sahabat dan 
didalam Gurupuja  Sedangkan Prappati adalah 
                                                         
penyerahan diri sebagai cermin dari orang berbudi luhur yang 
paling mulia. 
Kewajiban pemeluk Hindu dalam peribadatan adalah 
Tri Sandhya, dengan kata lain harus dilakukan oleh  umat 
Hindu setiap hari. Tri Sandya terdiri atas Surya Puja: 
pemujaan dewa pada saat matahati terbit; Rahina Puja: 
pemujaan Tuhan pada tengah hari; dan Sandhya Puja: 
pemujaan pada saat matahari terbenam. Meskipun dalam 
beberapa pihak menganggap semua kewajiban dalam Hindu 
tidaklah mutlak, karena Hindu fleksibel.81 Selain Tri Sandhya, 
Hindu juga mengenal panca sembah. Sembahyang dapat 
berlaku dalam beberapa praktek ritual dan secara tradisi 
berlaku dalam Tri Sandhya itu sendiri.82 Pada prakteknya 
pemeluk melaksanakan Tri Sandhya dengan panca sembah, 
seperti yang dilakukan oleh seorang informan, melalui 
observasi keseharian, I Putu Agung Sanjaya83 pada waktu 
yang ditetapkan melakukan puja pagi saat matahari terbit, 
siang hari pada saat matahari hampir bergeser, kemudian di 
sore hari menjelang terbenam. 
Panca sembah terdiri dari lima bagian,84 yaitu: muspa 
pemuyung, sembah tanpa bunga yang ditujukan pada Sang 
Hyang Widhi; Surya Raditya, yaitu sembah pada Dewa Surya; 
sembah pada Ista Dewata, yaitu kepada dewa tertentu, dalam 
hal ini perbedaan pada mantra tergantung dewanya; nunas 
panugrahan, yaitu mengucap rasa syukur. Dan terakhir muspa 
                                                         
puyung untuk matur suksma. Biasanya dilanjutkan untuk 
meminta tirta dan bija. 
Istadevata puja adalah mantram yang dibaca saat 
persembahan, adapun mantram sebagian besar berkembang 
dan dikutip dari purana, secara praktis biasanya termaktub 
dalam Upadeca yang dikeluarkan PHDI atau buku tuntunan 
muspa 
Mantram dapat dibaca pada persembahyangan di pura 
atau kahyangan maupun sebagian yang dikembangkan 
sebagai mantra sehari-hari. Begitu juga dengan mantra yang 
berkembang khusus untuk tradisi tertentu, seperti kelahiran 
bayi, mendoakan meninggal dunia dan beberapa hal sejenis. 
Berikutnya, peribadatan yang dikenal sebagai japa, berjapa 
adalah mengucapkan mantra secara berulang-ulang yang 
bertujuan untuk membersihkan rohani, menyucikan diri 
pribadi.  
 
Tradisi Keagamaan 
Bagi Hindu di Lombok, seperti halnya Bali mengenal 
beberapa tradisi keagamaan, meskipun secara kekhususan 
beberapa tradisi tidak sama persis dengan di Bali. Sebagian 
tradisi keagamaan yang melekat pada warga Hindu di 
Lombok adalah sebagai berikut: 
1. Melasti: membersihkan buana agung (makrokosmos) dan 
buana alit (mikrokosmos)86 menjelang Nyepi. Kegiatan ini 
biasanya dilakukan di pantai satu hari menjelang Nyepi.  
                                                          
 Tirta dan bija disesuaikan pada kebutuhan puja itu sendiri, baik secara 
pribadi ataupun kegiatan puja di sanggah atau di Pura. 

2. Pawai ogoh ogoh: sebagai bagian dari cerminan bhutakala, 
suatu gambaran kekuatan alam semesta yang tak terukur, 
ogoh ogoh dapat dipahami sebagai suatu proses 
keinsyafan manusia akan kekuatan maha dahsyat menuju 
kebahagiaan dan kehancuran.  
3. Perang Tupat (populer di Lombok): dirayakan tiap tahun 
bersamaan dengan pujawali di Pura Lingsar Lombok 
Barat, bersamaan dengan hari penting berdirinya pura 
tersebut. Perang tupat adalah lempar lemparan ketupat di 
area depan Pura, pesertanya dari berbagai etnis dan 
pemeluk agama. Uniknya tupat bekas alat perang-
perangan tersebut diambil kemudian ditaburkan di sawah 
masing-masing karena diyakini dapat menyuburkan tanah 
garapan tersebut.  
4. Perang api adalah kegiatan tahunan sebagai akhir dari 
pawai ogoh ogoh. Di Lombok khususnya Kota Mataram 
biasanya terpusat di simpang antara dua banjar, yaitu 
Banjar Negarasakah dan Banjar Sweta dengan 
menggunakan bobok yang dibuat dari daun kelapa yang 
diikat kemudian dibakar
                                                                                                                        Istilah mikrokosmos dan makrokosmos dikutip dari sambutan oleh I 
Gede Mandra pada saat kegiatan mlasti di Pantai Mlase Lombok Barat, tanggal 8 
Maret 2016. Kegiatan mlasti besar dilakukan secara seremonial oleh warga Hindu 
yang didukung oleh Kanwil Kemega NTB dan PHDI Provinsi NTB.  

5. Rangkat: tradisi ini sejatinya adalah milik Suku Sasak,
kemudian tumbuh juga dalam tradisi Suku Bali yang ada 
di Lombok karena filosofi lokal meminta anak gadis orang 
tidaklah etis, sehingga membawa lari merupakan sikap 
ksatria , Jadi inti dari rangkat 
adalah membawa lari anak gadis orang untuk dinikahi 
sebagai wujud keberanian dan kekastriaan.  
6. Megae: tradisi undangan khusus, setidaknya di Lombok 
lebih cenderung diartikan sebagai undangan untuk 
mengikuti ritual ngaben. Meskipun dalam hal istilah bisa 
juga sebagai undangan untuk ngaben (megae ala) maupun 
megae ayu (yadnya selain ngaben). 
7. Megibung: tradisi memandu makan oleh seorang tukang 
tarek (pemandu yang ditunjuk pemilik hajat).  
8. Sidikara: diartikan sebagai sebuah kebersamaan dalam 
suatu upaya untuk mensukseskan suatu kegiatan, tidak 
hanya ngaben90 tetapi banyak hal lain terutama yang 
berhubungan dengan panca yadhnya.  
9. Maturan: istilah lain untuk menyebut sembahyang yang 
berkembang di Lombok bagi kalangan Suku Bali pemeluk 
Hindu. Istilah maturan kerap dilekatkan pada kegiatan 
sembahyang di Pura.  
10. Turun daun: semacam kidung suci yang dimiliki Hindu di 
Lombok, bahasanya dapat dikatakan bahasa Sasak. 
Klasifikasi pada tembang Bali jika mau dimasukkan lebih 
                                                          
Pembicaraan tidak terstruktur dengan Imron Rosadi, seorang Suku Sasak 
yang menyatakan bahwa tradisi kawin lari, dibawa lari tumbuh kembang di sukunya 
tersebut. Begitu juga penjelasan informan bahwa kawin lari tidak dikenal di Bali.  
tepat dikatakan sebagai lelayuan yang bisa dinyanyikan 
secara bebas, sesuai dengan kreasi mereka yang 
mengidungkannya . Tekot: sebuah tempat atau wadah yang terbuat dari daun 
pisang diedarkan setelah ngaturang bhakti, berisi amherta, 
wasapada atau kekuluh 
Selain kegiatan tradisi yang melekat dan sering 
dilakukan oleh pemeluk Hindu di Lombok di atas, banyak 
lagi yang belum disebutkan, misalnya ngejod, ngesange, 
mekemit, dlsb. 
 
Sumber Ajaran 
Sumber ajaran agama Hindu di Lombok adalah Weda 
sebagai norma utama, kemudian Bhagawadgita, ada purana-
purana, aguron-guron. Tradisi menjadikan Bhagawadgita 
sebagai bacaan di emudian hari berkembang sebagai bagian 
dari sumber ajaran di kalangan waisnama. Setidaknya ada 
forum penghayat pada golongan waisnama. Tokoh penting 
dalam hal penghayatan Bagavat Gita adalah I Gusti Mangku 
Surata. 
Weda sebagai hukum dasar,92 patokan dasar yang 
mengatur tentang pola tingkah laku umat Manawa Dharma 
Sastra. Beberapa kelompok penghayat Bhagawadgita juga 
cukup signifikan di Lombok, meskipun secara formal 
kelompok tersebut adalah bagian dari pemeluk Hindu 
                                                          
 Kelompok kajian atau penghayatan membaca Bhagawadgita tidak diberi 
nama maupun tema, sesuai dengan penjelasan forum yang ada tidak diberi nama 
khusus.  
tradisional (arus besar). I Gusti Ngurah Mangku Sunartha, 
seorang pemangku yang cenderung reformatif menginisiasi 
kegiatan ini sehingga terciptalah suatu forum kajian. Beliau 
memelopori berhasil menghidupkan Bhagawadgita sebagai 
suatu jalan pencerahan terutama bagi anakmuda dan pencari 
makna adalah mereka yang haus spiritualitas, aktifitasnya 
adalah mengucapkan mantra dan merenungkan makna dari 
ayat-ayat di dalam kitab tersebut, ada aspek dharma tula di 
bagian akhir dari perkumpulan ini.  
Posisi Purana, dan seloka cukup penting, terutama 
yang telah dilakukan sejak maharesi yang membawa banyak 
tulisan serta yang dikembangkan di Lombok itu sendiri,
 
Simbol-simbol  
Hindu di Lombok, seperti halnya di Bali, juga memiliki 
banyak symbol yang penuh makna. Beberapa di antaranya, 
adalah: 
1. Benang Tridatu: simbol Tri Murti. Simbol Tri Datu adalah 
fenomena yang muncul sekitar tahun 80-an,94 ini adalah 
bentuk penguatan diri dan pernyataan pemeluk Hindu di 
hadapan peradaban nasional  
2. Rambut mepusung pada Pedanda Siwa dan Waisnawa. 
Mengenai rambut sulinggih, benar dalam konsepnya, 
megelung, lingga mudra, mangga mudra. budha sipataking 
maknanya adalah kalau lingga mudra, sudah mampu 
mengikat indria beliau itu sehngga focus melakukan 
                                                          
sesuatu. Sipataking, bahwa Pedanda memotong indria 
yang melekat.95 Kalau di China bekundul, amundi, di sini 
tidak menghilangkan indria, dominan pada rajas 
(keinginan), tanpa keinginan tidak dapat hidup seimbang, 
Budha memangkas tidak melebihi kepentingan tubuh dan 
spiritual. 
3. Perangkat ritual: pakaian pedanda/pandita, banten, bajra. 
Ada perbedaaan antara peralatan yang dipakai oleh 
Pedanda Siwa dengan Pedanda Budha, yaitu pada alas, 
kalau Siwa berbentuk gula, kalau Budha berkaki empat. 
kemudian soal banten tidak ada perbedaan.  
4. Bajra. Ada pemahaman tentang bajra rancu. Pada pedanda 
Budha di kiri ada genta, bajra di kanan tanpa genta. Pada 
pedanda Siwa, bajra genta jadi satu. Kalau seorang 
pinandita di Budha, bahwa pemangku boleh pakai genta, 
sebelumnya belum boleh, hanya dwijati. Tahun 70an 
seorang pinandita boleh pakai bajra. Berbeda konsep 
sebelum dan sesudah 70an. Dalam konsep itu yang boleh 
menggunakan bajra dan genta, hanya kaum dwijati yang 
sudah disucikan. Dulu memang ada pengekangan 
pembelajaran Weda. Hanya brahmana yang boleh. 
Sekarang, pemangku boleh memegang genta. Pada Budha, 
bajra adalah penyimpanan bhuana agung, sedangkan di 
kiri adalah bhuana alit, bisa menjadi penghancur dan 
pelestari.  
 
                                                        
ritual Periodik 
Dalam agama Hindu dikenal namanya Tri Sandhya, 
peribadatan harian yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam 
sehari. Sedangkan kegiatan yang bersifat mingguan adalah 
kliwonan, yang dilakukan saat masuk weton kliwon dan kajang 
kliwon setiap putaran kliwon ketiga. Ibadah yang bersifat 
bulanan adalah purnama tilem, setidaknya sekali atau dua kali 
dalam sebulan, yaitu saat bulan purnama dan bulan tidak 
tampak (tilem). Sedangkan hari besar dilakukan setiap tahun 
dikenal luas, yaitu Nyepi, Galungan dan Kuningan. Berikut 
beberapa hal yang berkenaan dengan hari raya. 
Kliwon datang setiap lima hari ketemu kliwon pada 
hari pasaran/neptu/pancawara. Kliwon dianggap istimewa 
dalam tubuh ini di hari kliwon untuk mengekang sifat 
keraksasan (asura). Pancawara adalah hari suci berdasarkan 
wuku (hari pasar dalam istilah Jawa). Berikut penjelasan I 
Putu Agung Sanjaya:  
“Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara 
(Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) dengan Triwara 
(Pasah, Beteng, Kajeng) diperingati sebagai hari 
turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak 
melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula 
para bhuta muncul menilai manusia yang 
melaksanakan dharma”.  
Kajeng Kliwon adalah hari kelipatan ketiga dari 
keliwonan. “Kajeng Keliwonan merupakan pelipatan, lebih 
istimewa lagi”, tutur Ida Wayan Oka Santosa. Berikut 
penjelasan tentang Kajeng Keliwonan:  

“Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali 
pada saat itu kita menghaturkan segehan Mancawarna. 
Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini 
merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada 
Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah 
mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita 
telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari 
alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), 
sedangkan sekalanya kita selalu berbuat tri kaya 
parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi 
dewa dengan harapan dunia seimbang”.  
Ritual bulanan yang dilakukan oleh pemeluk Hindu di 
Lombok adalah Purnama Tilem, setiap bulan dilakukan 
purnama  dan pada saat bulan tenggelam. Ritual saat bulan 
mencapai puncak. Berikut kegiatan tahunan yang umum 
dilakukan di Lombok: 
1. Nyepi: merupakan peringatan tahun baru saka, setahun 
sekali, tepatnya pada penanggal satu sasih kedase (bulan ke 
sepuluh). Nyepi  dari sepi yang artinya sunyi, sepi, hening. 
Rangkaian Nyepi adalah: 
a. ritual pengerupukan/pecaruan 
Sehari sebelum nyepi, pada tilem sasih kesanga umat 
Hindu melaksanalan tawur (pembersihan) kesange 
untuk membersihkan alam dari pengaruh yang tidak 
baik dari bhutakala. Untuk harmonis dengan Tuhan (Tri 
Hita Karana). Pecaruan dilakukan pada siang hari/sore, 
dilanjukan dengan penabur nasi tawur sambil 
membawa obor ke segala penjuru pekarangan rumah 
disertai dengan memukul kentongan/bunyi-bunyian. 
Pawai ogoh ogoh bagian dari pengerupukan. 
b. Pelaksanaan Nyepi adalah melaksanakan catur brata 
penyepian:  
1) Amati geni (tidak menyalakan api) 
2) Amati karya (tidak bekerja) 
3) Amati Lelanguan (tidak bepergian) 
4) Amati lalanguan (tidak bersenang-senang) 
c. Ngembak geni 
d. Dharma santi/simakrama 
2. Galungan dirayakan setiap enam bulan (210 hari), yaitu 
hari Rabu kliwon dungulan. Memperingati ulang tahun 
bumi atau pawedalan jagat, yakni menangnya dharma 
melawan adharma.  
Prosesinya: 
a. Penyekeban: tiga hari sebelum Galungan, pada neptu 
pahing hari Minggu. Bermakna bahwa umat Hindu 
menyekeb/menahan hawa nafsu. Waspada menjaga 
kesucian diri dari godaan bhutakala (sang kala tiga).  
b. Penyajaan Galungan: jatuh pada hari Soma pon dungulan, 
dua hari sebelum galungan (sang kala tiga melakukan 
tugasnya). 
c. Penampahan Galungan: sehari sebelum Galungan, 
memotong hewan, ayam, itik, babi dsb.  artinya secara 
                                                         
filosofi membunuh kebinatangan dari tubuh manusia. 
Umat Hindu memasang penjor  sebagai wujud rasa 
terimakasih.   
3. Kuningan: dirayakan sepuluh hari setelah Galungan, jatuh 
pada hari sanescare kliwon kuningan. Identik dengan tas-
tasan terdiri dari biji ratus (seratus biji-bijian), 
endongan/candung, segahan (nasi), cemperan (tebu). 
Prosesi hari raya Kuningan adalah sembahyang di mrajan 
(sanggah) lebih dari jam 12 siang karena pada saat itu 
dewa-dewi dan roh suci sudah mulai kembali ke 
kahyangan.  
4. Siwalatri atau Siwaratri: dilaksanakan satu tahun sekali, 
saat purwaning tilem kepitu (bulan mati ketujuh), jatuh pada 
bulan januari, pada malam Siwalatri, paling gelap, yaitu 
bulan ketujuh paling gelap karena bersamaan dewa Siwa 
bersemadi (payogan dewa Siwa).   
5. Saraswati: pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati yang jatuh 
pada saniscara umanis waku gunung setiap enam bulan 
sekali (210 hari). Kata Saraswati dalam Bahasa Sanskerta 
berurat kata saras yang berarti mengalir, dan wati yang 
berarti memiliki. Saraswati adalah dewinya kata-kata, 
pelajaran dan bijaksana. Persembahyangan yang ditujukan 
pada dewi Saraswati sebagai saktinya dewa Brahma. 
mengucap syukur dengan tidak membaca pada saat itu 
semua sumber ilmu pengetahuan dibantenin dengan 
banten khusus, isinya terdiri dari buah, simbol cicak, 
simbol telur kecil, daun beringin, tempatnya terbuat dari 
ron bentuknya lingkaran. Saraswati adalah lambang ilmu 
 
pengetahuan, bertangan empat, dilukiskan sebagai 
mahadewi yang mahacantik terdiri dari:  
a. Tangan pertama memegang genitri:  ilmu pengetahuan 
terus berputar tidak putus putus,  
b. Tangan kedua memegang keropak, daun lontar: 
lambang penyimpan ilmu pengetahuan 
c. Tangan memegang wina: alat musik, ilmu 
mengandung rasa estetika. 
d. Tangan memegang teratai: sebagai lambang bahwa 
ilmu itu indah. Pada saat itu turunnya ilmu 
pengetahuan maka wajib kita membaca sloka. 
e. Keesokan harinya dilakukan banyu pinaruh, penyucian 
lahir bathin. tempatnya di segara atau di mata air. 
6. Pagerwesi: jatuh pada budha kliwon sinta, setiap enam 
bulan sekali (210), merupakan payogan Sang Hyang 
Paramesti Guru, bersama panca dewata: dewa Iswara, 
berstanakan di arah timur, dewa Brahma, berstanakan 
arah selatan, dewa Mahadewa, beristanakan arah barat, 
dewa Wisnu, berstanakan di arah utara, dewa Siwa di 
tengah. Pada saat ini dilakukan tapa, brata, yoga dan 
samadi untuk memeroleh ketenangan, dan ketentraman. 
7. Pujawali: dilakukan perayaan yang berpusat di pura 
(besar), seperti Suranadi dan  Lingsar. Pujawali di Lingsar 
dilaksanakan setiap tahun yang diramaikan dengan perang 
tupat, setelah perang selesai, tupat-tupat diambil oleh 
petani untuk menyuburkan tanahnya.98  Uniknya, Pura 
                                                         
Lingsar juga dipakai untuk peribadatan umat Islam 
terutama penganut Wetu Telu, Sasak. Dua umat secara 
bersama-sama merawat pura secara bertahun-tahun dari 
sejak tahun 1714.  
 
Mengembangkan Eksistensi Hindu Lombok 
“Umat Hindu di Lombok secara jumlah tidak terlalu banyak, 
jumlahnya kecil namun menentukan”, jelas Jero Mangku Karsa. 
Posisi vital umat Hindu terasa saat Nyepi dan beberapa 
kegiatan lainnya, pawai ogoh-ogoh dan melasti cukup menarik 
perhatian berbagai pihak, tidak hanya warga Lombok 
yang terdiri dari multiagama tetapi banyak wisatawan dari 
berbagai negara. Posisi vital lainnya mungkin saja dimaksud 
adalah posisi tawar pada politik dan pembangunan sosial di 
Lombok, NTB secara luas.   
Adapun menyangkut eksistensi internal, sebagai 
jawaban atas munculnya kritik terhadap kehidupan 
keagamaan Hindu (arus besar) yang lebih cenderung ramai 
diaspek ritual namun dianggap kurang mendalam diurusan 
spiritual, beberapa kegiatan baru muncul, antara lain:99  
1. Mengembangkan tradisi tilem, berkumpul di puri 
kemudian berjalan kaki ke pura. Informasi yang dapat 
diperoleh kegiatan tilem ini berkembang di wilayah 
Pagesangan. Di wilayah lain belum terlalu membudaya 
menjadi kegiatan tahunan.  
                                                         
2. Dharmawacana mulai dikembangkan oleh pedanda, 
pandita dan pinandita yang memiliki kemampuan untuk 
ber-dharmawacana di acara mlaspas, peresmian pura baru, 
acara tiga bulanan, persembahyangan besar, hari 
Saraswati baik di pura, mrajan dan di rumah.  
3. Dharmagita, mengembangkan tradisi kidung dan sloka 
yang sebelumnya telah dimiliki namun mulai 
direvitalisasi, yaitu: 
a. Sekar alit atau sekar agung dipakai saat hari Siwalatri 
(malam peleburan dosa), turunnya ilmu pengetahuan, 
pujwali di pura tertentu (weda wakya) 
b. Sloka dan palawakaya adalah bagian sekar agung. 
4. Di pemerintahan, posisi penyuluh101 cukup strategis dan 
diakomodasi sebagai bagian dari petugas pemerintahan. 
Umumnya, penganut Trimurti dikategorikan sebagai 
kelompok tradisional, di dalamnya ada beberapa sekte, 
Siwa, Waisnama dan Brahma. Ada sebuah kelompok di dalam 
tradisional yang cukup berkontribusi terhadap eksistensi 
mereka di Lombok, yaitu Seruling Dewata. Kelompok ini 
tidak menganggap dirinya sebagai sampradaya (kelompok 
terpisah dari mainstream) namun memiliki aturan sendiri di 
                                                          
100 Wawancara dengan I Putu Agung Sanjaya, yang mengakui bahwa Ketua 
Paruman Sulinggih kerap memberikan dharmawacana di acara-acara tertentu, tanggal 
19 Maret 216. Agung kerap menjadi presenter di TV lokal mendampingi Pandita 
memberikan dharmawacana.  
 Banyak pemangku dan pandita merupakan PNS di STAHN dan unit 
pemerintahan lainnya. Hal ini cukup memberikan suatu warna hubungan antara 
pemerintah dengan agamawan yang dirasa memberikan dampak yang positif dalam 
hal membangun kehidupan keagamaan.  
102 Meskipun beberapa pandita yang diwawancai menyebut istilah sekte, 
sepertinya istilah aliran dan sekte tidak terlalu disepakati di kalangan Hindu. 
dalamnya. Sesuatu yang menarik dari Seruling Dewata adalah 
kemampuannya menembus batas agama, terutama dalam hal 
mengenalkan silat Seruling Dewata dan Yoga. Teknik yoga 
yang dikembangkan oleh Seruling Dewata dinamakan sebagai 
Yoga Watukaru, sesuai nama asalnya di Bali. Seruling 
Dewata  meyakini banyak tradisi dan kekayaan agama Hindu 
yang mereka pertahankan karena di India sendiri sudah tidak 
ditemukan, terutama menyangkut Yoga (Watukaru) itu 
sendiri.  
 
Organisasi Keagamaan 
Hampir semua organisasi Hindu disatukan di PHDI, 
sedangkan dari kelompok tradisional beberapa organisasi 
yang bersifat paguyuban ada juga organisasi formal, banyak 
organisasi yang tergabung dalam PHDI. Secara umum PHDI 
terbagi dalam Paruman Pandita yang mengurus persoalan 
keagaman dan Paruman Walaka adalah struktur yang concern 
pada urusan di luar peribadatan, misalnya politik, 
kebudayaan dan lain sebagainya.
 Paruman Sulinggih 
merupakan organisasi mandiri untuk mengoordinasikan 
seluruh sulinggih di NTB, sedangkan Paruman Pandita untuk 
memenuhi struktur pada PHDI105.  
Adapun organisasi yang termasuk dalam lingkup 
PHDI, antara lain: 
 
                                                         
1. Perhimpunan Pemuda Hindu negarakita (Peradah) 
2. Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma negarakita (KMHDI) 
3. Pinandita Sanggraha Nusantara 
4. Mahagotra Pasek Sanak Sakti Resi 
5. Wanita Hindhu Dharma negarakita (WHDI) 
6. Sampradaya-sampradaya: 
a. Asram Gaura Chandra (Krisna) 
b. Jalananda  
c. Sai Baba 
d. Brahma Charini 
e. Seruling Dewata106  
Organisasi dalam lingkup warga Hindu yang 
bernuansa keagamaan selain struktur dalam PHDI, memiliki 
keunikan dan perlu diberi penjelasan tersendiri, antara lain: 
1. Mahagotra Pasek Sanak Sakti Resi 
Sejarah kelahiran organisasi Warga Pasek yang sekarang 
disebut Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi atau MGPSSR 
dapat ditelusuri sampai ke awal tahun 50-an. Setelah 
melalui beberapa tahap persiapan dan rapat-rapat, 
akhirnya sejumlah tokoh Warga Pasek dari beberapa dadia 
                                                          
 Seruling Dewata merupakan bagian dari Hindu (tradisional), lahir dan 
tumbuh berkembang dari Watukaru, Bali. Seruling Dewata adalah sebuah perguruan 
silat yang berpusat di Bali, namun memiliki suatu tata aturan dan tata nilai sendiri di 
dalamnya. Organisasi ini perlu dimasukkan sebagai sebuah fenomena untuk 
memertahankan tradisi yang kuat di Hindu (Bali) yang di Lombok. 

dan dadia agung seluruh Bali mengadakan pertemuan di 
gedung bioskop Sampurna, di Klungkung pada hari 
Kamis, 17 April 1952.  Pertemuan tersebut menghasilkan 
deklarasi pembentukan organisasi Warga Pasek yang 
disebut dengan Ikatan Warga Pasek. Ikatan Warga Pasek 
pada waktu pembentukannya diketuai oleh I Made Sirya, 
tokoh dari dadia agung Pasek Gelgel di Desa Aan, 
Klungkung. Selain ketua organisasi, pada setiap 
kabupaten dibentuk juga koordinator untuk 
mengkoordinasikan Warga Pasek di kabupaten masing-
masing.  
2. Paruman Pemangku, berupa Pinadita Sanggraha 
Nusantara (PSN). Merupakan organisasi antarpemangku 
secara nasional, keterlibatan para pemangku dari Lombok 
dalam pendirian PSN cukup signifikan karena sebelumnya 
sudah berdiri Himpunan Pinandita Pemangku yang 
didirikan pada tahun 1998.108 Namun karena berkaitan 
dengan jaringan dan legalitas sebagai organisasi 
warga termasuk hubungannya dengan pengakuan di 
PHDI, akhirnya tahun 2010 berdiri PSN Nusa Tenggara 
Barat sampai dengan Koordinator Daerah di delapan 
Kabupaten/Kota. Stuktur organisasi pada PSN dapat 
dilihat pada bagan di bawah.  
 
 
                                                          
 Wawancaara dengan Pandita Mpu  
 Wawancara dengan Jero Mangku Karsa, tanggal 12 Maret 2016 
 
Bagan 1: 
Struktur Organisasi PSN pada tingkatan Korwil 
 
3. Banjar 
Struktur Banjar secara umum hanya ada dua 
organisasi, yaitu : 
a. Ketua (Kelian) 
b. Wakil Ketua (Wakil Kelian)  
c. Sekretaris (penyarikan) 
d. Bendahara/seringkali dirangkap oleh Penyarikan 
e. Anggota 
f. Organisasi berbasiskan wilayah/lingkungan.  
g. Sebelum swatantra, hanya ada dua kepala desa, 
perbekel (mayoritas Hindu)  dan pemusungan (di 
mana umat muslim kebanyakan) 
Beradasarkan uraian di atas, konflik sebagai fungsi 
yang bersifat manifest tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan 
berbagai nilai yang masih terjaga. Adapun ketegangan 
antarkelompok dan “aliran”, ataupun sekte tidak pernah 
mengarah serius. Keberadaan sampradaya dirasa baik, 
meskipun dengan berbagai syarat sosial tidak mengganggu 
tatanan yang sudah ada.109 
Nilai yang mengikat secara internal:110 
1. Sidikara: kesepakatan untuk bersama-sama mensukseskan 
kepentingan kelompok (sidi = sebenarnya, kara = tangan) 
dalam hal pelaksanakan kegiatan keagamaan dari Pance 
Yadnya sampai keagamaan lainnya. 
2. Mwarang: pertemuan antara dua keluarga diakibatkan oleh 
perkawinan  untuk membina kerukunan anak-anak yang 
terjalin dalam perkawinan dan keluarga besar. 
Nilai yang mengikat dengan ekternal:111 
1. Belangar: saling kunjungi ketika ada yang meninggal atau 
musibah 
2. Simakrama: menjalin keakraban saat hari raya maupun 
pesta 
                                                          
Wawancara dengan Ida Pedanda Kerta Arse, tanggal 11 Maret 2016. 
Beliau mengungkapkan kalau ajaran Hindu itu flesksible tidak begitu mengikat 
pemeluknya sedemikian kaku pada satu ajaran atau nilai, hanya pranata yang sudah 
ada tidak boleh asal ditabrak.  
3. Ngejot: memberi dan menerima dalam hal sesuatu yang 
lebih sebuah acara sebagai wujud rasa syukur dan saling 
memiliki. 
4. Hubungan perkawinan antarsuku, antaragama. hubungan 
akan menjadi baik, bagaimanapun jelek awalnya. Konversi 
adalah keniscayaan. 
Dengan adanya Parisada Hindu Dharma negarakita, 
terutama wilayah NTB, ini menjadi jembatan komunikasi 
yang baik dengan pemerintah, begitu juga dengan adanya 
Kabid Bimas Hindu di Kanwil Kementerian Agama yang 
mengayomi semua kelompok dalam agama Hindu 
menjadikan.  
Hubungan antara pemeluk Hindu dan pemerintah 
juga sedemikian baik dan  aktif. Begitu juga hubungan dengan 
pemerintah daerah, Provinsi dan Kota/Kabupaten terjalin baik 
yang dapat dilihat dari kehadiran para pejabat dalam 
kegiatan-kegiatan agama Hindu dan dapat pula 
diselenggarakan di kantor pemerintahan/pendopo 
gubernuran.  
Keberadaan Hindu di Lombok yang diejawantahkan 
dalam tiga bentuk, yaitu Tatwa, Susila dan ritual 
memberikan dampak positif terhadap internal kelompok 
dalam agama Hindu. Bagi individu dapat menjalani hidup 
yang  nyaman, lahir dan bathin. Begitu juga hubungannya 
antarpemeluk Hindu, meskipun berbeda jalan, semua proses 
beragama dapat memancarkan dharma. Kehidupan 
tradisionalitas dalam Hindu merupakan suatu cara yang 
efektif memertahankan tradisi, dapat mengembangkan 
mentalitas dan jatidiri. ritual hendaknya tidak selalu dapat 
dipahami sebagai pemborosan karena setiap hal yang 
diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan kembali dengan 
setimpal dan berguna baik untuk mencapai kehidupan 
sempurna (Moksa).  
ritual tidak hanya memberikan dampak terhadap 
diri pemeluk namun juga menjadi media perputaran ekonomi 
karena aktivitas jual beli upakara (peralatan ritual) diakses 
oleh semua pemeluk agama, dalam hal ini muslim juga 
terlibat.  Tatwa, dapat memberikan dampak kepada individu 
untuk meningkatkan keyakinan Tuhan, tujuan datang ke 
dunia, dlsb. Dampak terhadap ekternal adalah mawas diri, 
dan mengenali siapa dirinya.  Sedangkan Susila terlihat dapat 
memberikan perubahan bagi umat Hindu sendiri, terutama 
karakternya. Selaras sengan revolusi mental, memberikan 
mentalitas perubahan dan kenyamanan bagi keluarga dan 
warga.  
Keberadaan kaum tradisionalis Hindu di Lombok 
cukup memberikan warna tidak hanya pada kehidupan 
keagamaan namun berdampak pada aspek sosial lainnya. 
Posisi vitalnya dalam kehidupan sosial dan keagamaan di 
NTB, mencerminkan identitas kultural. Keajegan ritual 
keagamaan yang tampak dalam pelaksanaan ritual, baik 
yang kecil maupun besar menjadikan Hindu di Lombok 
cukup unik sehingga tercipta kekhasan sendiri. Aktivitas 
                                                          
Keesaan Tuhan Yang Maha Esa yang termaktub dalam Bagavadgita yang 
dijelaskan oleh Gusti Mangku Sunartha yang hidup dalam seluruh aktvitas manusia 
baik dalam terjaga maupun tidak, baik itu duduk, berjalan dan tidur, untuk itu 
selalulah mengingatNya.  
keagamaan tidak hanya memberikan hal positif bagi 
pemeluknya namun memberikan efek yang baik yaitu 
meningkatkan kesejahteraan umum.  
Sedangkan hubungannya dengan kelompok 
(sampradaya) dinilai antarmereka cukup baik, tidak 
menimbulkan friksi yang serius, bahkan beberapa model 
diadopsi ke dalam kehidupan tradisional Hindu sendiri, yaitu 
tumbuhnya forum penghayat spiritualitas dengan membaca 
Bhagawadgita di rumah tokoh agama. Dengan kata lain, ritual 
sosial (ritual) jalan terus, tetapi penghayatan spiritual jalan 
terus. Hal tersebut cukup memberikan nuansa pencerahan 
tersendiri khususnya bagi kaum muda yang haus akan 
siraman rohani dan kebutuhan bathin, sebagai bentuk 
perimbangan terhadap intelektualitas yang semakin 
meningkat.  
Dengan tidak tampaknya potensi “konflik” antara 
sampradaya dan kaum tradisionalis, meskipun potensi itu 
relatif, maka dampaknya dalam kehidupan keagamaan di 
Lombok memberikan prospek yang dinamis. Ke depan, dua 
arus tersebut dapat saling melengkapi dan memerkaya agama 
Hindu itu sendiri, meskipun syarat untuk tidak ditabraknya 
pranata (tradisi) perlu untuk didiskusikan secara terus 
menerus, karena indikasi adanya sifat reformatif di tubuh 
sampradaya cukup terasa. Misalnya adanya aktivitas 
sampradaya tertentu di pantai Senggigi saat pelaksanaan Nyepi 
dapat menjadi titik krusial.   
Secara umum penelitian ini dapat menjawab tujuan 
penelitian, yaitu diperolehnya informasi dan data tentang 
240
perkembangan tradisional Hindu (arus besar) di Lombok 
NTB; kemudian dapat dipahami tentang dampak keberadaan 
kelompok tradisional dalam agama Hindu terhadap kelompok 
spiritual di Lombok NTB; serta diperolehnya pemahaman 
tentang hubungan antarkelompok dalam Agama Hindu pada 
kehidupan keagamaan di Lombok NTB. Diharapkan 
penelitian ini dapat menjadi informasi dan data awal 
perumusan kebijakan tentang kelompok di agama Hindu oleh 
Kementerian Agama.  
Berdasarkan uraian dan simpulan di atas, rekomendasi 
yang dapat diajukan dalam penelitian adalah: 
Tetap diperlukan suatu dialog yang serius di tingkat 
cendikiawan tentang keberlangsungan tradisonal Hindu dan 
perkembangan sampradaya untuk mengurai kesalahpahaman 
satu sama lain. Cendikiawan dapat mengurai pelik hubungan 
tradisionalis dengan pihak yang mungkin akan bergerak 
secara reformatif.  
Kementerian Agama dapat merumuskan suatu 
kebijakan strategis menyangkut keberadaan tradisionalis 
Hindu sebagai suatu potensi pengembangan spiritualitas, 
begitu juga sebaliknya sengan sampradaya menjadi penunjang 
terciptanya harmonisasi.  
 


Memahami Hindu Kaharingan 
Sebagaimana tradisi lama dalam Hindu dan juga 
menurut Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental 
Hinduistik yang mendasari banyaknya perbedaan bentuk 
bagaimana Hindu itu dilaksanakan. Beberapa aliran begitu 
meyakini Weda, tapi tidak bagi yang lain. Perbedaan ini lalu 
diikat oleh kesamaan yang dipuja. Misalnya, sekte 
Linggargayata tidak mengikuti  Weda, namun percaya pada 
Siwa. Hal yang sama juga dapat dibaca dalam kepercayaan 
“agama-agama lokal” di negarakita. Salah satu contoh, orang 
Marapu menyebut Tuhannya dengan Amallahu Amarawi  Begitu juga dengan Kaharingan yang
memiliki kitab Panaturan dan menyebut Tuhannya dengan 
Ranying Hatalla Langit atau Mahatara. Sedangkan suku 
Huaulu menyebut Lahalata; Naulu menyebutnya Natanaka dan 
sebagainya 
Secara teologis semua itu sama dengan Tuhan dalam 
Hinduisme113. Semua aliran memiliki mitos berbeda, sesuai 
budaya dan lingkungan. Meski banyak aliran mandiri, tetapi 
ada kadar interaksi yang saling acu antara tokoh agama dan 
                                                          
113Nama-nama Tuhan memang bisa berbeda-beda dalam setiap komunitas 
suku. Di Jawa misalnya, menyebut dengan Pengeran atau Gusti Allah. Seingat 
penulis, guru agama di Langgar dan Musala lebih banyak menyebut Pengeran dari 
pada Allah. 
tradisi, sehingga semua tetap mengindikasikan adanya rasa 
jati diri dan rasa koherensi dalam konteks yang sama.  
Pada era reformasi muncul kelompok spiritual yang 
kegiatan utamanya adalah membaca kitab suci, dan agak 
mengabaikan ritual, misalnya hanya menjalankan tradisi 
agni hotra dan bhajan.  Munculnya kelompok spiritual awalnya 
menimbulkan reaksi negatif kelompok tradisional yang 
menekankan pelaksanaan ritual dari pada membaca  kitab 
suci, meskipun kenyataanya juga membaca kitab suci, 
menghayati dan mengamalkanya Weda atau Panaturan 
(Kaharingan). Saat ini hubungan dua kelompok ini sudah 
mencair. Jadi sebenarnya kita agak kesulitan membedakan 
Hindu spiritual dan Hindu tradisonal, karena dalam Hindu 
spiritual ada ritual dan dalam Hindu tradisional ada 
spiritualnya. Satu-satunya argumen paling mudah dan logis 
dari makna Hindu tradisional adalah Hindu yang bersifat 
lokal (agama suku), seperti Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu 
Hualulu, Hindu Naulu, Hindu Tolotang, dsb. Oleh karena itu 
yang disebut Hindu tradisional di Kota Palangka Raya adalah 
Hindu Kaharingan. 
Masalah yang digali dalam penelitian ini adalah 
eksistesi Hindu Kaharingan di Kota Palangka Raya yang 
ternyata belum banyak diketahui sebagian besar pegawai di 
lingkungan Bimas Hindu Kementerian Agama. Begitu juga 
bagaimana dampaknya terhadap kehidupan keagamaan. Atas 
dasar masalah itu, maka implikasinya adalah harus 
menjelaskan sejarah dan perkembangan; jumlah penganut, 
model struktur organisasi, tokoh, simbol yang melekat, tradisi, 
media mempertahankan diri, dan relasinya dengan kelompok 
Hindu lainnya.  
Kota Palangka Raya dan Kehidupan Keagamaannya  
Palangka Raya adalah ibukota Provinsi Kalimantan 
Tengah. Kota ini dibangun mulai tahun 1957 (UU Darurat No. 
10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tk I 
Kalimantan Tengah) dari hutan belantara, melalui Desa 
Pahandut (bapak si Handut) di tepian Sungai Kahayan. Luas 
wilayahnya 2.400 km² dan kota terluas di negarakita. Sebagian 
berupa hutan, konservasi alam dan Hutan Lindung (seperti di 
Tangkiling). Berdasarkan data BPS tahun 2013, kota Palangka 
Raya berpenduduk sekitar 330.962 jiwa dengan kepadatan 
penduduk 9.067 jiwa/km².  
Kota Palangka Raya terbagi menjadi 5 Kecamatan, 
yaitu Kecamatan Pahandut (6 kelurahan), Jekan Raya (4 
kerlurahan), Sabangau (6 kelurahan), Bukit Batu (7 kelurahan) 
dan Kecamatan Rakumpit (7 kelurahan). Penduduk terdiri 
banyak suku, yaitu suku Dayak (46,62%), Jawa (21,67%) dan 
Banjar (21,03%), etnis Melayu (3,96%), Madura (1,93%), Sunda 
(1,29%), Bugis (0,77%), Batak (0,56%), Flores (0,38%), Bali 
(0,33%) dan suku-suku lainnya. 
warga Kota Palangka Raya cukup relegius. 
Terbukti terdapat banyak sekolah-sekolah agama, rumah 
ibadah dan tokoh agama seperti ulama, mubaligh, pendeta, 
penatua, pastur, pedande, basir dan sebagainya. Jika tidak 
relegius, tentu tidak ada sekolah agama, rumah ibadah dan 
tokoh agama. Penduduk berdasarkan agamanya, adalah Islam 
234.700 jiwa (74%); Kristen 81.766 jiwa (17%); Katolik 8.793 
jiwa (3%); Hindu 47.942 jiwa (9,7) ; Buddha 2.218 jiwa (0,6); 
dan Khonghuchu 572 jiwa (Kalimantan Tengah Dalam Angka, 
2013).  
Secara kuantitas, penganut Hindu Kaharingan ini 
sudah stagnan atau semakin menurun, karena tidak ada misi 
Kaharinganisasi. Sementara rumah ibadah yang dimiliki umat 
Islam 143 buah, Kristen 127 buah, Katolik 12 buah, Hindu 6 
buah, dan Buddha 6 buah. Umat Khonghuchu belum punya 
rumah ibadah.  
 
warga Dayak Pemangku Agama Hindu Kaharingan 
warga pemerhati kehidupan sosial keagamaan 
selama ini hanya tahu bahwa Kaharingan merupakan bagian 
dari Hinduisme, tetapi tidak banyak orang tahu tentang 
bagaimana Hindu Kaharingan sebagai agama hanya dianut 
warga Dayak. Suku Dayak yang sudah muslim, masih 
melaksanakan tradisi leluhur yang berakar pada nilai Hindu 
Kaharingan. Akibat banyak subkultur suku, tradisi yang 
filosofid dan maknanya sama tetapi istilah sering berbeda, 
terutama nama tradisi. Nama tradisi yang secara kata, makna 
dan filosofinya sama-sama dipahami kalangan suku Dayak 
adalah ritual Tiwah. Kata Kaharingan sudah akrab dalam 
kehidupan suku Dayak sehari-hari meskipun sudah beragama 
lainnya. Hindu Kaharingan adalah kepercayaan suku Dayak, 
penganut pasti suku Dayak, tetapi tidak semua Dayak itu 
Hindu Kaharingan, bahkan mayoritas muslim.  
Dalam penelitian ini sangat sulit menemukan lektur 
keagamaan Hindu Kaharingan, seperti tafsir berjilid-jilid, 
tuntunan beragama, beragama Hindu secara utuh dan 
sebagainya. Hal ini berbeda dengan umat agama lain yang 
dapat memperolehnya di toko-toko buku, sehingga dapat 
dipelajari kapan saja dan di mana saja. Ketika anak-anak 
dewasa ini telah semakin kritis, pasti menghendaki memiliki 
argumen yang kuat tentang berbagai hal dari agama yang 
dianutnya, agar mereka dapat membentengi dirinya.  
Dibukukannya Kitab Suci Panaturan (ajaran leluhur) 
dan Telatah Basarah (tatacara beribadat) sepertinya tidak 
banyak membantu umat Hindu Kaharingan untuk bertahan. 
Untuk mempertahankan agama dan tradisinya, faktanya  
sangat tergantung Basir dan Mantir. Kurangnya lektur 
keagamaan dan majelis pendidikan agama Kaharingan 
menjadi tantangan besar bagi para agamawan Hindu 
Kaharingan. Jika tidak segera disikapi secara benar, maka 
pelan tetapi pasti, agama ini akan semakin ditinggalkan. 
Seperti yang sudah terjadi, di mana suku Dayak di 
Kalimantan Tengah saat ini mayoritas muslim, dan sebagian 
juga Kristen atau Katolik. Hal ini juga terlihat di Palangka 
Raya, Suku Dayak sebagai kelompok terbesar ternyata 
mayoritas beragama Islam. Kondisi ini sama saja dengan di 
wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara yang 
mayoritas beragama Kristen atau Katolik.  
Suku Dayak mulanya hidup di seluruh hilir sampai ke 
hulu sungai di seluruh Kalimantan dan distereotip sebagai 
suku terbelakang. Stereotip itu salah besar, sebab jauh 
sebelum negarakita merdeka dan muncul berbagai gerakan 
pemuda negarakita awal abad 20, mereka sudah memiliki visi 
kebangsaan untuk mengatur seluruh warga di 
Kalimantan, apa pun agamanya. Suku Dayak itu berhimpun 
pada tahun 1894 dalam jumlah yang cukup besar mewakili 
406 suku Dayak (dan subnya) dalam pertemuan bersejarah 
“Tumbang Anoi”, Damang Batu, Gunung Mas. Dalam 
pertemuan itu termasuk 16 undangan dari Kesultanan 
Banjarmasin, Pontianak, Sambas, dan kesultanan Kutai 
Kartanegara serta suku Dayak di Serawak, Sabah dan Brunai. 
Pertemuan itu dipersiapkan selama 4 bulan untuk 
mengumpulkan akomodasi para peserta yang jumlah ribuan. 
Pertemuan berlangsung selama 60 hari. Sambil menunggu 
utusan terakhir mereka membahas semua hal berkaitan masa 
depan suku Dayak paska perang Banjar. Salah satu 
kesepakatan terpenting adalah 96 pasal berkaitan dengan adat 
yang diberlakukan dan dijaga secara bersama-sama oleh 
seluruh suku Dayak apa pun agamanya. Setelah semua 
berkumpul membuat pernyataan bersama hasil pertemuan. 
Kehebatan suku Dayak yang dapat menghasilkan 
kesepakatan 96 pasal nyata, karena suku lainya di Nusantara 
belum ada gerakan berhimpun secara besar-besaran seperti 
dilakukan suku Dayak ini. Perjuangan untuk berhimpun itu 
sendiri sudah merupakan semangat kebangsaan luar biasa. 
Apalagi masa ini belum ada transportasi darat dan alat 
komunikasi modern seperti sekarang. Bagaimana cara 
menghubungi kepala suku sebanyak 406 orang dan 
bagaimana mereka harus datang di Tumbang Anoi.  
Pulau Kalimantan masa itu benar-benar masih hutan 
belantara. Wilayahnya pun begitu luas (5,5 kali pulau Jawa). 
Ada yang tetap mengganjal dilihat dari sudut logika mana 
pun, bahwa mereka saling berhubungan untuk berkumpul 
tanpa alat komunikasi seperti dewasa ini. Munginkah mereka 
menggunakan cara supranatural, belum ada bukti tertulis. 
Memang, dalam legenda maupun cerita informan, para 
pemimpin suku dikenal dapat memanggil sauadara atau anak 
buahnya tanpa harus mendatangi. Mereka cukup memanggil 
secara batin, maka yang dipanggil akan datang dengan 
sendirinya. Dalam kasus perang Sampit misalnya, diceritakan 
tentang ahli supranatural memanggil roh-roh dan orang-orang 
pedalaman untuk membantu dalam perang Sampit. 
Untuk datang ke Tumbang Anoi, mereka harus 
mengayuh perahu di sugai-sungai lebar, jalan kaki di darat 
yang masih hutan belantara, mengayuh perahu dan 
seterusnya sepanjang ribuan kilometer, barulah sampai di 
Tumbang Anoi. Jumlah utusan sekitar 1480-an orang. Tuang 
rumah (Tumbang Anoi) yang ditugaskan selama 4 bulan 
mengumpulkan akomodasi menyerahkan 100 ekor kerbau dan 
sapi untuk akomodasi peserta selama 2 bulan. Tetapi 
warga Tumbang Anoi dan peserta bergotong-royong, 
ada juga yang bawa bekal seperti beras, ayam, ikan atau lainya 
dan pertemuanpun berhasil sukses. Kesuksesan pertemuan 
Tumbang Anoi ini tidak terlepas dari filosofi rumah Betang 
yang mengajarkan kesetaraan, gotong-royong, demokratis, 
memahami nasib dan didorong oleh cita-cita yang sama. Hasil 
pertemuan bersejarah itu menjadi pegangan para Tamanggung, 
Demang, Dambung dan Singa atau pemangku adat, apapun 
agamanya. Paska pertemuan Tumbang Anoi, kehidupan 
warga Dayak menjadi sangat baik dan damai, tidak ada 
perang antar suku dan sub suku lagi.  
Sebagian warga Dayak jika sudah memeluk 
Islam, suka tidak menyebut dirinya sebagai suku Dayak. 
Sikap ini secara tidak langsung melahirkan munculnya 
stereotif negatif. Gubernur saat ini yang belum dilantik, 
Sugiyanto adalah suku Dayak. Namanya Jawa, padahal ia 
                                                          
suku Dayak beragama Islam, pengusaha kaya Pangkalanbun 
dan eks anggota DPR RI. Menurut pandangan suku Dayak 
dahulu, suku Melayu dan Islam adalah simbol kemodernan, 
dan Dayak dengan Kaharingan distereotifkan sebagai simbol 
ketertinggalan dan kekolotan.116 Komunitas suku Dayak saat 
ini sangat terpelajar, sehingga menempati semua posisi 
strategis di semua lini birokrasi Pemerintah Provinsi dan 
Kabupaten Kota. 
 
Umat Hindu Kaharingan Berjuang Memperoleh Jatidiri 
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) 
dari akar kata “Haring” yang berarti ada dan tumbuh atau 
hidup. Dalam istilah danum, Kaharingan diartikan air 
kehidupan dan dilambangkan dengan Batang Garing atau 
pohon kehidupan. Istilah Kaharingan diperkenalkan tahun 
1945, menjelang kemerdekaan oleh Dai Nippon atas saran 
tokoh adat Dayak Ngaju, Damang Y. Salilah dan W. A. Samat 
saat Tjlik Riwut menjadi Residen Sampit berkedudukan di 
Banjarmasin. Agama Kaharingan sudah menjadi agama bagi 
suku Dayak, seperti agama-agama lain meskipun belum ada 
pembukuan ayat-ayat dari Ranying Hatala Langit saat itu. 
Umat Hindu Kaharingan sekuat tenaga 
memperjuangkan jatidirnya agar diakui seperti agama lain 
sejak tahun 1950. Wadahnya adalah organisasi Serikat 
Kaharingan Dayak negarakita (SKDI) yang didirikan 20 Juli 
1950 di Palangka Raya. Perjuangan pengakuan ini tidak sukses 
seperti umat Hindu Bali yang secara bersamaan juga 
                                                
memperjuangkan jatidirinya. Hindu Bali diuntungkan 
banyaknya kabupaten yang sudah berjalan efektif saat itu. 
Ketika pemerintah belum menyepakati, umat Hindu Bali 
sudah membentuk semacam dinas-dinas agama Hindu di 
seluruh kabupaten di Bali. Karena itu tidak diakui pun, Hindu 
Bali sudah memiliki struktur birokrasi di Pemerintah Daerah 
Kabupaten, yang diketuai seorang Padanda.  
Sementara umat Kaharingan menghadapi kendala luar 
biasa. Kota Palangka Raya baru mulai dibangun dari hutan 
belantara, belum ada jalur transportasi kecuali melalui sungai. 
Kitab Suci Panaturan belum dibukukan, dan buku-buku 
panduan beribadah juga belum ada, apalagi buku-buku lektur 
keagamaan Kaharingan sama sekali belum ada. Budaya yang 
ada adalah budaya tutur bukan budaya tulis, seperti di agama 
lain. Karena itu perjuanganya menjadi terhambat akibat belum 
siapnya berbagai perangkat sebagai agama, sibuknya 
penataan struktur pemerintahan, membangun tata ruang kota 
dan kondisi infra strutur yang belum memadai. Akhirnya 
Hindu Bali diakui sebagai agama, membentuk PHDI, dan 
menempatkan tokoh di kantor Kementerian Agama pusat, 
sementara umat Kaharingan gagal karena Pemerintah Pusat 
tetap menolak mengakui Kaharingan sebagai agama. Hal ini 
mendorong para tokohnya untuk mencari kemungkinan lain. 
Atas dasar itu, maka Majelis Besar Alim Ulama 
Kaharingan negarakita  (MB-AUKI) yang terbentuk setelah 
SKDI, mengajukan integrasi kepada PHDI Pusat. Pengajuan 
tertulis dalam surat No: 5 /KU/MB-AUKI/1980, 1 Januari 1980 
tentang Penggabungan/ Integrasi Majelis Besar Agama Hindu 
Kaharingan (MB-AHK) dengan PHDI yang ditanda tangani 
Lewis KDR, BBA. Lewis KDR adalah Ketua umum dan 
pemegang mandat penuh dari MB-AUKI dengan Nomor.: 
131/MB/-AUKI/II/1979, 29 Desember 1979 (PHDI Kalimantan 
Tengah, 17 Juni 2006). 
Sebelum integrasi, dilakukan dialog antara pengurus 
MB-AHK dengan para tokoh Hindu di Bali. Dialognya 
mengenai teologi, ritual, tradisi dan sebagainya dengan 
intelektual Hindu Bali mirip ujian fit and proper test, dipimpin 
doktor Hindu lulusan India, Ida Bagus Mantra. Selesai dialog, 
dinyatakan Kaharingan adalah Hindu kuno yang telah dianut 
suku Dayak sejak jaman Weda. Karena keterputusan 
intelektual, sehingga ajarannya tersosialisasi dalam bentuk 
tuturan. Paska dialog, utusan MB-AUKI semakin mantab 
berintegrasi. Padanda Bali pun didatangkan untuk lebih 
meyakinkan. Padanda melakukan pertapaan di Bukit Batu 
(Tengkiling) dan kemudian menyampaikan Kaharingan 
adalah Hindu pertama di Nusantara.  
Keberadaan (MB-AUKI) yang berubah menjadi MB-
AHK dipertegas SK Dirjen Bimas Hindu dan Buddha 19 April 
1980, tentang Pengukuhan MB-AHK sebagai badan 
keagamaan Hindu. Posisinya dipertegas bahwa Pembimas 
Kanwil Kementerian Agama hanya memberikan bimbingan 
dan pelayanan kepada umat Hindu Kaharingan. Posisi MB-
AHK bersama Parisada Hindu Dharma negarakita (PHDI) 
menjadi mitra utama Pembimas Kanwil Kementerian Agama 
dalam melaksanakan bimbingan warga Hindu 
Kaharingan. Pembinaanya efektif dilakukan oleh mitra kerja 
yang memiliki legalitas dari pemerintah, yaitu PHDI Pusat 
hingga Daerah dan MB-AHK Pusat juga sampai ke Daerah. 
                                                         
Karena itu dalam struktur organisasi MB-AHK ada unsur 
Pusat (Palangka Raya), Kota dan Kabupaten (MD-AHK), 
Kecamatan/ resort (MR-AHK)  dan  Kelompok (tingkat Desa 
atau MK-AHK) (Surat Edaran Kepala Kanwil Prov. 
Kalimantan Tengah). 
Akhirnya pada tanggal 20 April 1980 dilakukan prosesi 
“Sumpah Hambai” yang dihadiri ribuan orang dari berbagai 
wilayah di Kalimantan. Dalam prosesi integrasi itu, PHDI 
diwakili 4 orang, 1orang dari Dirjen Bimas Hindu dan 
Buddha, dan 6 orang dari Hindu Kaharigan (anggota MB-
AUKI). Para utusan membubuhkan tanda tangan dan cap 
surat pernyataannya dengan darahnya masing-masing. Proses 
integrasi dilakukan di gedung pertemuan sederhana miliki 
MB-AHK Pusat dan ditandatangani oleh 100 orang yang 
disaksikan ribuan orang. Para utusan sepakat saling 
mengangkat sumpah sebagai saudara kandung, seiman dan 
seagama. Jika ada kelompok ingin melepaskan Kaharingan 
menjadi agama sendiri, perlu mengingat kembali sumpah 
Hambai yang bersejarah itu. Mereka yakin siapa berkhianat 
akan menerima karma buruk. Beberapa informan mengatakan 
bahwa mereka yang mencoba-coba keluar (berkhianat) dari 
sumpah Hambai telah mendapat karma buruknya dan 
hidupnya menjadi sengsara.  
Satu bulan paska “Sumpah Hambai”, berdatanganlah 
orang-orang Dayak luar Palangka Raya mempertanyakan, 
mengapa Kaharingan masuk PHDI, sementara nama 
Tuhannya lain, kitab sucinya beda, ritual dan tradisinya pun 
beda. Dijelaskanlah, bahwa tidak mungkin bergabung dengan 
Islam atau lainnya.  Sementara umat tidak dapat menunggu 
lebih lama lagi, sebab berbagai administrasi memerlukan KTP, 
dan dalam KTP ada kolom agamanya. Satu-satunya jalan 
adalah berintegrasi dengan PHDI. Semua harus paham dalam 
Hindu tidak mengenal satu jalan keselamatan, satu kitab suci, 
dan semua asesoris keagamaan harus disesuaikan dengan 
alam sekitar di mana seseorang beragama Hindu. Guna 
mengefektifkan pembinaan keagamaan, didirikanlah 
Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH). Pendirian PGA 
didukung penuh PHDI. Guru agama Hindu di Kalimantan 
Tengah adalah alumni PGA ini. Umur PGA ternyata tidak 
lama, ketika pemerintah menghapuskan seluruh PGA, SPG 
dan SGO di akhir tahun 1990-an. Kemudian didirikanlah 
Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan Tampung Penyang 
(STAHK-TP) dengan program D1, D2 dan D3. Program 
diploma ini juga tidak lama, dan dibuatlah program S1 
Agama. Pada saat ini STAHN-TP sudah membuka program S2 
dan meluluskan beberapa angkatan. Dari para alumni inilah, 
umat Hindu Kaharingan akan mendapat pembinaan, dan 
mudah-mudhan lahir Basir-Basir baru yang menjadi banteng 
agama Hindu Kaharingan. Hal ini akan menjadi harapan siapa 
saja yang tulus dalam beragama agar semua umat beragama, 
termasuk umat Hindu Kaharingan dapat tumbuh dengan 
sehat tanpa diskriminasi.   
Paska integrasi ternyata masih ada segelintir orang 
yang tetap ingin Kaharingan menjadi agama tersendiri, karena 
merasa bahwa perjuang sejak tahun 1950 melalui SKDI itu 
belum selesai, dan merasa tidak cocok dengan integrasi ke 
PHDI. Munculah organisasi atas nama Kaharingan, seperti 
Badan Amanat Kaharingan Dayak negarakita (BAKDI), Badan 
Agama Kaharingan negarakita (BAKRI) dan Majelis Agama 
 
Kaharingan negarakita (MAKRI).
menjelaskan bahwa sebagian mereka merasa ditipu dan 
digiring ke dalam Hindu dan tidak puas berintegrasi dengan 
Hindu (PHDI).  
Ormas keagamaan BAKDI dipimpin Lubis, mantan 
guru agama Hindu. Oleh Gubernur Teras narang, Lubis 
diangkat menjadi Camat di Rangkupit. Saat ini yang 
bersangkutan sudah tidak aktif lagi, praktis organisasi BAKDI 
juga terhenti. Sementara Majelis Agama Kaharingan negarakita 
(MAKRI) dipimpin Suel, S. Ag, mantan Kepala Pembimas 
Kanwil Kementerian Agama tahun 2004-2007. Suel S.Ag juga 
sebagai dosen di STAHN-TP. Oleh Gubernur Teras Narang, 
Suel diangkat Kepala Dinas Pendidikan dan kemudian Kepala 
Dinas Satpol PP Provinsi.119 Sangat disayangkan bahwa 
peneliti tidak dapat menemui satupun informan dua 
organisasi keagamaan mengatasnakaman Hindu Kaharingan 
ini. Menurut Pembimas Kanwil Kementerian Agama, dan 
banyak informan lainya, kedua organisasi itu tidak jelas lagi 
eksistensinya semenjak para pemimpinya tidak aktif. 
Dalam perjalanan berikutnya, MB-AHK mendapat 
perlakuan istimewa dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten 
Kota di Kalimantan Tengah, seolah lebih istimewa dari PHDI. 
Banyak tokoh MB-AHK sangat dekat dengan Pemerintah. 
Bahkan mata anggaran bantuan MB-AHK di Pemerintah 
Provinsi terpisah dengan PHDI. Seolah MBAHK setara 
dengan PHDI. Pengurus PHDI sendiri yang mengetahui hal 
                                        
itu legowo saja, karena pada prinsipnya PHDI itu ormas 
keagamaan mandiri, dan tidak tergantung kepada siapa pun. 
Jika ada yang membantu finansial diterima, jika tidak adapun 
PHDI tetap jalan. Hubungan antara keduanya selama ini 
sangat harmonis, dan sangat koordinatif. 
 
Ciri Pokok Hindu Kaharingan 
Konsep Ketuhanan Hindu Kaharingan 
 Orang Dayak dahulu tidak memiliki nama 
kepercayaan terhadap Tuhannya. Orang Dayak Ngaju 
menyebutnya sebagai kepercayaan tato-hiang (nenek moyang, 
leluhur), kepercayaan huran (kuno), atau kepercayaan helo 
(dulu). Jika orang non-Dayak ditanya, akan menyebutnya 
sebagai kepercayaan tempon atau tempon telun, artinya cara 
orang Dayak berkepercayaan. Belanda menyebut kepercayaan 
Ngaju, bahkan menyebutnya kafir, pagan atau penyembah 
berhala, atau dianggap ateis atau ragi usang. Ini karena 
Belanda melihat dari kacamata Kristen. Jadi, sesungguhnya 
Belanda tak tahu apapun tentang Kaharingan, hingga 
simpulannya serampangan dan sangat berbeda dengan yang 
dipahami orang Dayak.121 Kaharingan berasal dari bahasa 
Sangiang (Sangyang), yang merupakan bahasa tingginya para 
imam dan tetua adat Dayak. Dalam konteks teologis, 
kehidupan alam ini berasal dari Tuhan, Ranjing, Hatala, atau 
Maha Tala seluruh semesta, langit dan Bumi.  
                                                          
Nama Tuhan dalam Hindu Kaharingan disebut 
Ranying HaTala Langit, Raja Tuntung Matan Andau, Tuhan 
Tambing Kabanteran Bulan, Jatha Balawang Bulau, Kanaruhan 
Bapager Hintan (Panaturan 1: 3. 2:12. 41:45). Atau Ranying 
Hatala Langit, Jhata Balawang Bulan, Kanaruhun Bapager Hintan, 
Sahur Baragantung, Palapah Baratuyang Hawun. Artinya Tuhan 
yang Maha Besar, yang memiliki Sinar Suci, yang tiada tara, 
tempat menaruh harapan yang tidak terbatas dan memiliki 
kuasa Maha Tinggi.  
Sebutan Tuhan dalam kitab Panaturan Pasal 1 ayat 2:  
“Ie je tamparan taluh handiai mukei kahain kuasae,  
Jai panapatuk sukup simpan murai japa jimat tanteng, 
Hayak auh Nyahu Batengkung langit , Homboh Malentar 
Kilat BAsiring Hawun 
Palus Ambun ije dia bajahuntun tanduk, enun 
Basansinep isen baterus kening, Badandang 
Manjadi balawa hayak barasih, lenda lendang,  
linge lingei, hayak IE hamauh mananggare arepe 
AKU TUH RANYING HATALLA, mijen Balau Bulau 
Napatah Hintan, 
Balai Hintan Napatah Bulau, Mijen 
Tasik Malambung Bulau, Marung Laut Bapantan Hintan 
Sesuai pasal tersebut jelas tentang keberadaan Tuhan, 
yaitu Ranying Hatalla Langit. Dalam ayat ini dijelaskan, 
Ranying Hatalla adalah awal segala kejadian dan paling 
kuasa. Dalam ayat 3 menyatakan: 

Aku tuh ranying hatalla ije paling kuasa, 
Tamparan taluh handiai tuntang kahapuse, 
Tuntang kalawa jituh iete kalawa pambelum, ije 
inanggareku 
Gangguranan area bagare hintan kaharingan  
 Ranjing Hatala berarti "Tuhanku yang ditinggikan", 
memiliki arti sangat luas dan tak terbatas, yaitu Keberadaan 
Tunggal Maha Cerdas, Maha Pencipta segala, Maha Hidup, 
Maha Mandiri, Maha Penentu tiap sesuatu, sehingga menjadi 
harapan dan gantungan tiap sesuatu. Maha Raja, Maja 
Penguasa, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, 
Maha Penyayang, Maha Memberi-rejeki, Maha Mendengar, 
Maha Melihat, Maha Mengetahui segala hal. Ranjing Hatala 
adalah keberadaan dengan wujud Maha Ghaib, Maha Halus, 
tak akan pernah dapat dilihat oleh mata manusia, namun 
dapat dirasakan dan dipikirkan oleh kalbu dan akal manusia, 
sejauh jangkauan manusia dapat memahami kehadiranNya, 
dan selebihnya adalah rahasiaNya.  
 Ranjink hatala langit, raja tuntung matan andau, tuhan 
tambing kabanteran bulan, memiliki arti Tuhanku yang 
ditinggikan setinggi langit, Raja segalanya, pelindung, 
pengayom, dan pemelihara tiap sesuatu. Raja Tuntung Matan 
Andau, raja yang tuntas sempurna, sumber segala cahaya dan 
tenaga hidup seluruh semesta. Tuhan Tambing Kabanteran 
Bulan, tuhan yang indah dan memiliki pesona cahaya bulan, 
menganugerahkan kedamaian, kesentosaan, dan 
kesejahteraan, melimpahkan rahmat, berkat, dan nikmat 
kepada seluruh makhluk yang berserah-diri. Jatha Balawang 
Bulau, Kanaruhan Bapager Hintan, Ranjing Hatala Langit adalah 
Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Memulai dan Maha 
Mengakhiri, Maha Mencipta, Maha Berkarya, Maha 
Merancang, dan Maha Membentuk.
 Secara teologis, keyakinan umat Hindu Kaharingan 
dapat dijelaskan bahwa Ranying Hatala adalah Tuhan Yang 
Maha Esa. Tuhan adalah Maha Pencipta dan Maha Penentu 
atau tiap sesuatu. Tuhan yang meciptakan seluruh semesta, 
tujuh langit dan Bumi. Tuhan yang menciptakan malaikat, jin, 
hama, tumbuhan, binatang, dan manusia. Tuhan yang 
menciptakan Raja Garing Hatungku dan Kameluh Petak bulau 
Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan tambun, Tuhan yang 
menetapkan bahwa pria adalah pemimpin dan pelindung bagi 
wanita. Tuhan yang menetapkan kesetaraan gender antara 
pria dan wanita, sesuai kudrat. Tuhan yang menetapkan 
pemimpin bertanggungjawab atas semua yang dipimpinnya. 
Tuhan yang mendatangkan nabi dan rasul dan mewahyukan 
kitab suci. Tuhan yang memerintah manusia beribadah dan 
berserah diri (basarah) kepada Dia. Tuhan yang memerintah 
manusia untuk membangun rumah ibadah (balai basarah). 
Tuhan yang memerintahkan manusia untuk menyembelih 
hewan kurban (yadnya). Tuhan yang memerintahkan manusia 
untuk mensyukuri rezeki. Tuhan yang mendatangkan 
kebaikan kebajikan dan keburukan kejahatan. Tuhan yang 
menjadikan pahala dan dosa atas perbuatan manusia. Tuhan 
yang menetapkan hukum balasan setimpal atau setara. Tuhan 
                                                          
yang menetapkan larangan mengganggu wanita dan anak-
anak. Tuhan yang Tuhan yang menetapkan hukum adat 
dalam warga. Tuhan yang memerintahkan berdo'a dan 
memohon pengampunan. Tuhan yang menciptakan dunia dan 
akhirat, surga dan neraka, kehidupan setelah mati, yang 
menerima do'a orang masih hidup untuk yang telah mati. Dan 
Tuhan yang pula mendatangkan hari kemudian, atau akhir 
dunia.
 Selain alam dunia, penganut agama Kaharingan juga 
percaya akan adanya alam gaib yang dihuni oleh Sangiang dan 
parajin (malaikat) sebagai pembantu Tuhan. Selain Sangiang 
sebagai pembantu Tuhan, penganut Kaharingan juga percaya 
bahwa ada orang yang menerima ajaran (berita) dari Tuhan 
namanya Raja Bunu, Bawi Ayah (perempuan), Hawun Barun-
Barun, dan Bandar Huntip Batu Api.  Bandar Huntip Batu Api 
(titisan Sangiang), jarak kehadirannya dengan ketiga nabi 
lainnya sangat jauh. Bandar tidak hanya menerima wahyu 
keagamaan tetapi juga ajaran-ajaran tentang sosial, politik 
moral, hukum adat, ilmu perang, ilmu pemerintahan dan 
cara-cara berwarga. Oleh sebab itu Bandar Huntip Batu 
Api dikenal pula sebagai raja yang adil dan sukses. Ia diberi 
gelar “Anak Janatha Lampang, Hatuen Sangiang Hadurut”, 
artinya anak sangiang yang menguasai air, dan yang datang 
dari langit. Sampai sekarang setiap 41 minggu diperingati hari 
lahir Bandar Huntip Batu Api, yang disebut Sansana Bandar 
(membaca cerita tentang Bandar).  

Praktek Ibadah 
 Penganut Hindu Kaharingan memiliki tempat 
pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut 
Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Mereka memiliki waktu 
ibadah rutin yaitu setiap Kamis atau malam Jumat. Bentuk 
ibadah (ritual) dalam agama Kaharingan ada dua macam, 
yaitu Manyanggar dan Basarah. Manyanggar adalah ritual 
memberikan sesajen kepada makhluk-makhluk halus agar dia 
tidak mengganggu (agar ia menghindari tempat tersebut). 
Sesajen itu diletakkan di tempat yang diperkirakan ada 
makhluk halusnya. Basarah artinya menyerahkan diri kepada 
Tuhan.  
Basarah biasanya dilakukan di Balai Kaharingan. Ada 
tiga macam basarah, yaitu basarah perorangan, basarah 
keluarga dan basarah umum. Basarah perorangan yaitu berdo’a 
sendiri, menabur beras kuning, atau meletakkan telor di 
tempat-tempat yang sakral (keramat). Basarah Keluarga 
biasanya dikerjakan di rumah masing-masing, waktunya 
disesuaikan dengan kebutuhan.  
Sedangkan basarah umum diadakan di Balai Kaharingan, 
dihadiri oleh banyak umat Kaharingan pada hari kamis atau 
malam jum’at. Dalam setiap ritual persembahyangan atau 
ritual basarah, penganut Kaharingan secara bersama-sama 
melantunkan Kandayu atau nyayian suci. Ada beberapa jenis 
kandayu: Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja, Kandayu 
Mantang Kayu Erang, Kandayu Parewei, dan Kandayu Mambur 
Behas Hambaruan.  
Sarana ritual Keagamaan dan Jenisnya 
Sarana ritual 
 Dalam Hindu Kaharingan dikenal sarana 
persembahyangan seperti Sangku Tambak Raja, berisikan 
berbagai macam, yaitu wadah kuningan (sangku), beras, telur, 
minyak kelapa, duit singah hambaruan, bulu burung tingang, 
sirih pinang, rokok, bunga, beras hambaruan dalam bungkusan 
kain putih, dan kain alas sangku yang kesemuanya memiliki  
makna yang dipahami oleh umat Hindu kaharingan. Arti 
masing-masing sarana itu adalah: 
1) Sangku, bermakna penyatuan jiwa dan raga dalam 
melaksanakan basarah kepada Ranying Hatalla Langit 
Tuhan Yang Maha Esa.  
2) Beras. Menurut mitologi Hindu Kaharingan, Ranying 
Hatalla Langit menciptakan beras untuk kelangsungan 
hidup Raja Bunu dan keturunannya. Dalam acara auh 
manawur dijelaskan “balang bitim jadi isi, hampuli balitam jadi 
daha, dia balang bitim injamku akan duhung luang rawei pantai 
danum kalunen, isen hampuli balitam bunu bamban panyaruhan 
tisui luwuk kampungan bunu”. Artinya “behas manyangen 
tingang, bukan hanya untu kelangsungan hidup manusia, 
namun juga sebagai perantara manusia dengan yang 
kuasa, dan perantara manusia dengan leluhur”. 
3) Bulu burung tingang atau “Tingang Rangga Bapantung 
Nyahu”, bermakna bahwa alam kehidupan manusia penuh 
dengan pertentangan, perselisihan, baik antara kebenaran 
dengan ketidakbenaran. Warna putih dibagian bawah 
berarti kesucian yang dapat dicapai melalui usaha 
individu melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada 
saatnya, bila dihubungkan dengan ritual keagamaan 
Hindu Kaharingan, yaitu sampai pada ritual 
Tiwah/Wara.  
4) Sipa (sirih pinang) dan ruku (rokok), penggunaan kedua 
sarana perlambang penyatuan jiwa dan raga dalam 
pelaksanaan basarah.  
5) Duit singah hambaruan, uang merupakan simbol 
penyempurna segala kekurangan upakara.  
6) Minyak kelapa, atau disebut minyak bangkang haselan 
tingang uring katilambung nyahu, bermakna membersihkan 
semua kekotoran yang menempel diri manusia.  
7) Telur ayam, disebut tanteluh manuk darung tingang 
merupakan simbol pensucian diri serta permohonan 
keselamatan dan kesejahteraan. 
8) Kain alas sangku, melambangkan keindahan alam semesta 
karunia Ranying Hatalla Langit.  
9) Bunga, selalu digunakan dalam ritual basarah dan 
ditempatkan di Sangku Tambak Raja, agar seperti bunga 
yang harum, dan manusia menerima anugrah Ranying 
Hatalla Langit.  
10) Beras hambaruan adalah beras yang dipilih sebanyak 7 biji 
yang terbaik,tanpa cacat kemudian dibungkus kain putih 
dan diletakkan di tengah-tengah sangku. Sebagai 
perlambang raja uju hakanduang, hanya basakati yang 
menjadi perantara Ranying Hatalla Langit memberikan 
anugerah kepada manusia yang pada akhir 
persembahyangan dibagikan kepada semua yang hadir. 
Beberapa Jenis ritual 
Di kalangan umat Hindu Kaharingan dan warga 
Dayak umumnya sangat kuat mempertahankan berbagai 
ritual dalam sepanjang hidupnya yang disebut dengan 
Balian yaitu ritual ritual Kaharingan. Ada tiga kelompok 
besar ritual balian, yaitu pertama, ritual balian untuk 
kesejahteraan hidup (15 ritual). Kedua, balian untuk roh 
leluhur penjaga desa wilayah (5 ritual). Ketiga, balian pada 
ritual kematian. ritual Balian dipimpin oleh seorang Basir 
Ufu, (basir yang senior), dan didampingi oleh Basir 
pengampit.  
Dalam ritual Balian selalu dibunyikan “Katambung” 
(kidung). Selain itu ada pula yang disebut “Manabur”, yaitu 
beras kuning dikasih minyak kelapa, lalu dinyalakan 
kemenyan, kemudian ditabur baik bagi roh yang jahat, dan 
roh yang baik. Manabur dipimpin oleh “Pisur” (pembantu 
Basir atau orang yang berpengetahuan setingkat). Seluruh 
ajaran tentang keimanan, ritual dan tata cara pelaksanaan 
ritual bersumber pada satu kitab suci agama Kaharingan 
yang disebut Panaturan. Kitab ini terdiri atas 63 pasal, dengan 
tebal 652 halaman. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Dayak 
Kuno (Sangiang). Pada tahun 1996 kitab ini diterjemahkan ke 
dalam bahasa negarakita melalui kerjasama antara Pemerintah 
daerah setempat dengan Hanno Kampff Meyer MA, seorang 
mahasiswa Fakultas Antropologi dari Universitas Munchen 
Jerman (Nuhrison, op.cit). Semua orang Dayak adalah 
pengamal Kaharingan, walaupun mereka sudah memeluk 
agama lain (Islam, Kristen, Katolik, Hindu), setidaknya 
tradisinya atau setidak-tidaknya adalah ritual Tiwah.  
Beberapa ritual itu adalah ritual kelahiran, 
perkawinan, kematian (Balian Tantulak Ambun Rutas Matei) 
yang dilakukan tiga hari setelah ritual penguburan dengan 
tujuan untuk memindahkan arwah orang yang baru saja 
meninggal dari alam kubur ke tempat penantian bersama Nyai 
Bulu Indu Rangkang (sebelum dilaksanakannya pesta tiwah). 
ritual Tiwah (ritual terakhir kematian) yang merupakan 
ritual sakral dan bertujuan mengantarkan jiwa atau roh 
manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang 
dituju, yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja 
Dia Kamalesu Uhate, Lewu tatau Habaras Bulau, Habusung 
Hintan, hakarang lamiang atau Lewu Liau yang letakknya di 
langit ke-7.
ritual Manyanggar, yaitu ritual adat yang 
dilakukan oleh warga Dayak karena mereka percaya 
bahwa dalam kehidupan di dunia, selain manusia juga hidup 
makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal 
batas dengan roh halus tersebut yang diharapkan tidak saling 
mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai 
ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan 
makluk lain. 
 
Simbol-Simbol Keagamaan 
Hindu Kaharingan disimbolkan dengan pohon 
kehidupan yang memiliki rincian makna filosofis, yaitu 
                                                          
pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan 
antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia 
bawah yang merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat 
oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling 
membutuhkan. 
Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga 
kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja 
Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara 
Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah 
mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang 
berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu 
menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.Tempat 
bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung 
yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum 
manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek 
moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu 
hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi. 
Dengan demikian, orang-orang suku bangsa Dayak 
diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara 
bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya 
adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian 
sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu 
mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.Pada 
bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang 
melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal 
dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang 
lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan 
sumber segala kehidupan.Jadi inti lambang dari pohon 
kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara 
sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan 
Tuhan. 
Dampak Keberadaan Hindu Kaharingan terhadap 
Kehidupan Beragama 
warga Dayak meskipun memiliki adat yang 
dibukukan pada kesepakatan Tumbang Anoi posisinya beda 
dengan Desa Adat di Bali. Adat yang menjadi pegangan para 
pemangku adat tidak dapat diklaim sendirian, sehingga tidak 
dapat dijadikan sandaran umat Hindu Kaharingan. 
warga suku Dayak yang beragama Hindu Kaharingan 
hanya dapat bersandar pada Basir dan Mantir. Basir dan 
Mantir sebagai ilmuwan sekaligus alimnya harus memacu 
semangat misinya, agar warga Dayak tetap beragama 
Hindu Kaharingan dengan baik. Selama ini komunitas suku 
Dayak banyak yang keluar dan mayoritas muslim, Kristen dan 
Katolik. Dampak nyata secara sosiologis adalah bahwa Hindu 
Kaharingan semakin ditinggalkan warga Dayak sendiri 
padahal mereka inilah yang menjadi pemangku utama agama 
Hindu Kaharingan. warga Dayak pun menjadi 
pluralistik dalam beragama. 
Orang Dayak dikenal sangat menjaga harmoni, 
sehingga mengenal tiga relasi yang benar-benar harus dijaga 
keharmonisannya, yaitu hubungan manusia dengan Ranying 
Hatalla. Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, 
artinya beriman kepada Yang Tunggal, yaitu Ranying Hatalla 
Langit; Hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hatamuei 
Lingu Nalatai. Artinya saling kenal mengenal, tukar 
pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong. 
Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit. 
Artinya, berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati 
Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati 
kebesaran Tuhan; dan hubungan manusia dengan alam 
semesta karena ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan 
sempurna adalah manusia. Karena itu manusia wajib menjadi 
suri tauladan bagi segala mahluk lainnya. Keajaiban- 
keajaiban yang terkadang terjadi adalah sarana untuk 
mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla.  
Dengan demikian, segala makhluk hidup semakin 
menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut 
disembah. warga Suku Dayak percaya bahwa 
Kaharingan sudah ada sejak awal manusia pertama. Dalam 
siklus kehidupan, seperti pada saat kelahiran bayi, pemberian 
nama, pernikahan, bahkan hingga kematianpun mereka selalu 
melakukan apa yang digariskan Ranying Hatalla, yaitu ritual 
adat. Berbagai ritual adat sudah dilakukan oleh warga 
Dayak sejak berabad-abad lampau terbukti dengan banyak 
ditemukannya Sandung (tempat menyimpan tulang pada 
ritual Tiwah). Sandung sendiri terbuat dari kayu ulin yang 
tahan panas dan tahan air.
Suku Dayak yang menjadi penyangga dari Hindu 
Kaharingan dengan filosofi rumah Betangnya sangat toleran, 
demokratis, sangat menghargai dan menjaga tamunya, sangat 
egaliter telah berakibat pada umat Hindu Kaharingan sendiri, 
dimana Hindu Kaharingan semakin menurun pengikutnya. 
Jika tidak segera berbenah, sepertinya Hindu Kahringan akan 
semakin berkurang. Hindu Kaharingan hampir-hampir hanya 
bertumpu pada Basir, sehingga umat Hindu Kaharingan yang 
hidupnya terpecar-pencar menjadi kurang mendapat 
perhatian. Di samping itu begitu tidak ada buku-buku bacaan                                                        
keagamaan Hindu Kaharingan yang dipelajari oleh generasi 
muda Hindu Kaharingan. Buku yang ada hanyalah Kitab 
Panaturan, Talatah Basarah, dan Kidung Sembahyang saja. 
 Keberadaan Hindu Kaharingan dapat dikatakan 
stagnan, jika tidak dikatakan semakin menurun jumlah 
pengikutnya, meskipun dulunya seluruh suku Dayak 
beragama Kaharingan. Hal ini terlihat bahwa mayoritas suku 
Dayak ternyata muslim, sementara Hindu Kaharingan dan 
umumnya hanya 6%. Penyebabnya antara lain, tidak ada 
lembaga pendidikan kegamaan anak-anak secara massal, 
seperti dalam Islam dan Kristen atau Katolik. Umat Hindu 
Kaharingan hanya bertumpu pada Basir dan Mantir (ilmuwan 
agama) untuk bertahan, sementara yang bersangkutan masih 
perlu ditingkatkan wawasan keagamaanya. Di samping itu, 
organisasi keagamaan Majelis Besar Agama Hindu 
Kaharingan (MB-AHK) kurang dinamis dalam kegiatan 
keagamaanya, karena tidak banyak program yang 
dilaksanakan.  
Organisasi Hindu Kaharingan adalah MB-AHK Pusat 
Palangkaraya, MW.AHK (wilayah), MD-AHK (Kabupaten 
Kota), MC.AHK (Kecamatan), MD-AHK (desa) dan terakhir 
MK.AHK (kelompok). Tokoh-tokoh dalam Hindu Kaharingan 
adalah Basir dan Mantir. Simbol utama Hindu Kaharingan 
adalah Batang Garing, dan tradisi utamanya adalah kelahiran, 
perkawinan, kematian (tantulak) dan terakhir dan termahal 
adalah ritual Tiwah. Media utama untuk mempertahankan 
diri adalah adanya Basir dan Mantir saja. Sementara itu 
hubungan dengan Hindu lainya sangat baik.  
Berdasarkan uraian dan hasil temuan di atas, 
rekomendasi yang diajukan melalui penelitian adalah: 
1. Para tokoh agama Hindu Kaharingan baik Basir dan 
Mantir atau para cendekiawanya perlu menyusun buku 
keagamaan Hindu Kaharingan agar generasi baru Hindu 
Kaharingan dapat belajar dan melaksanakan ajaran agama 
Hindu Kaharingan dengan sebaik-baiknya. 
2. Majelis Agama Hindu Kaharingan dari Pusat sampai 
kelompok perlu mencanagkan program-program yang 
menyentuh kepentingan warga, agar keberadaanya 
dapat ketahui oleh warga luas.  
 
Setidaknya, setelah membaca utuh buku ini, kita akan 
dibawa pada satu pemahaman bahwa bagaimanapun 
berbedanya kelompok keagamaan yang ada dalam agama 
Hindu, pada akhirnya disatukan oleh filsafat ketuhanannya 
(tentang Brahman dan Atman) yang ditemukan di dalam 
banyak kitab suci. Misalnya, Bhagawadgita, IV.11 menyatakan 
“Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku 
memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku 
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”. 
Bhagawadgita, VII.21 juga menyatakan: “Kepercayaan apapun 
yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama 
dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih 
mantap”. 
Bunyi sloka Bhagawadgita tersebut menyuratkan 
bahwa apapun jalan yang ditempuh umat Hindu akan sama 
diterima Tuhan, asalkan semua bentuk bhaktinya dilakukan 
dengan tulus dan ikhlas. Beragam doa yang disampaikan 
dengan bahasa yang berbeda tetapi semua doa itu akan 
sampai pada Tuhan yang sama. Berikut dalil yang 
memperkuat pendapat ini. Regweda I.164.46: “Tuhan itu 
hanya satu adanya, oleh para Resi disebutkan dengan 
berbagai nama seperti: Agni, Yama, Matariswanam”. 
Upanisad IV.2.1: “Tuhan itu hanya satu tidak ada duanya”. 
Samaweda. 327: “Marilah datang bersama, engkau semua, 
dengan semangat kuat pada Penguasa Langit. Dia yang hanya 
Esa, tamu semua orang. Dia yang purba ingin kembali baru. 
Kepada-Nyalah semua jalan perpaling, Sesungguhnya Dia Esa 
belaka”. Rgweda X.83.3: “Oh, Bapa kami, Pencipta kami, 
pengatur kami yang mengetahui semua keadaan, semua apa 
yang terjadi,Dia hanyalah Esa belaka memikul nama 
bermacam-macam dewa. Kepada Nyalah yang lain mencari-
cari dengan bertanya-tanya”. Rgweda. 10.90.1: “Tuhan 
memiliki ribuan kepala, ribuan mata demikian pula ribuan 
kaki. Ia tersebar di seluruh penjuru bumi, memiliki 10 jari 
yaitu Panca Maha Butha dan Panca Tanmantra yang juga 
berada di luar jagat raya ini” 
Mendiskusikan Tuhan dan Ketuhanan dalam Hindu, 
kita bisa memulainya dengan membaca Upanisad salah satu kitab penting yang 
membahas Tuhan atau Brahman yang diyakini memiliki 
kekuasaan untuk berada di dalam (immanent) dan di luar 
ciptaanNya (transcendent), seperti udara yang sama berada di 
dalam dan di luar ruangan . Ia juga ibarat penari dan tariannya. Tuhan itu satu adanya 
(monotehisme), namun bagi orang suci yang mengetahuinya 
diberi banyak nama (ekam sat wiprah bahuda wadanti). Ia Maha 
Ada karena berada di mana-mana dan tak terbatasi oleh apa 
pun (wyapi wyapaka nirwikara), bukan menyepi di satu tempat 
atau tidak seperti raja yang hanya duduk disinggasana 
emasnya. Ia Maha Tak Terbatas karena ia dapat mengambil 
sahasra rupam (1000 wajah) dan sahasra namam (1000 nama), 
bukan hanya satu bentuk lalu menyembunyikan diri.  
Brahman dalam Upanisad hanya memiliki sifat-sifat 
satyam (kebenaran), siwam (kebaikan), dan sundaram 
(keindahan) sehingga ia hanya memberikan kasih sayang 
kepada semua makhluk hidup. Tema ini akan membawa kita 
pada pembicaraan tentang Atma atau untuk 
menyederhanakannya disebut jiwa. Dalam pandangan Hindu, 
badan bukanlah penjara yang mengekang Atma, seperti 
anggapan Plato di masa Yunani kuno. Badan terbuat dari 
prakerti atau potensi materi yang berasal dari Tuhan sendiri. 
Badan  bersifat sementara, tidak seperti jiwa yang kekal dan 
abadi, bahkan ketika badan sudah rusak dan mati. Inti 
manusia adalah tentang jiwanya, atman atau sang diri yang 
menggerakkan badan, yang dalam Upanisad disebut berasal 
dan bagian tak terpisahkan dari Brahman itu sendiri. Selain 
dalam Mundaka Upanisad, Brihad Aranyaka Upanisad, Katha 
Upanisad, Chandogya Upanisad, Subala Upanisad, arti dan 
sifat-sifat atman juga banyak dijelaskan dalam Bhagawadgita. 
Misalnya dalam Bab X, 20 dinyatakan: “Aku adalah atma, 
menetap dalam hati semua makhluk. Aku adalah permulaan, 
pertengahan dan akhir dari semua makhluk” 
Adagium Tat Twam Asi yang artinya ITU (Tuhan) 
adalah Engkau, lahir dari konsep ini yang jika mampu 
direalisasikan maka manusia berhak menyebut dirinya “Aku 
adalah Tuhan” itu sendiri (Brahma Aham Asmi). Manusia pada 
level Brahma Aham Asmi akan melihat semuanya menjadi 
sama, menghargai semua makhluk hidup, tidak menyakiti 
dan membunuh karena ia melihat jiwa yang sama dalam 
setiap makhluk. Ada Tuhan yang sama dengan dirinya.  
Apa yang belum terjawab dalam penelitian ini telah 
mendapat jawaban ketika berbagai perbedaan yang ada dalam 
setiap kelompok keagamaan Hindu bermuara pada filsafat 
ketuhanannya yang sanggup menjadi samudera luas 
(pantheisme), tempat penjernihan segala perbedaan bahkan 
noda, dosa dan papa. Setiap aliran air boleh mengklaim 
kebenaran yang diyakininya, tetapi ketika masuk dan larut 
dalam air samudera luas itu, seluruh aliran air juga ikut larut 
dan menyatu. Begitulah akhir dari dinamika keberadaan 
berbagai kelompok keagamaan Hindu, harmoni dalam 
pelukanNya. Semua kelompok keagamaan, bahkan yang 
berbeda sekalipun berasal dari sumber yang sama: sarwam 
 
idham kalu brahma, serta berada di bawah rumah besar karena 
mereka merasa bersaudara: wasudewa kutum bakam 
 
 
 
 
 

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate