Tampilkan postingan dengan label bangunan kolonial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bangunan kolonial. Tampilkan semua postingan

bangunan kolonial

Kolonialisasi Belanda di Indonesia yang berlangsung lama tentunya memberikan banyak 
pengaruh pada arsitektur bangunan dan kota.  modernisasi yang terjadi pada masa kolonialisasi 
Belanda di Indonesia menjadikan perkembangan arsitektur maupun kota di Indonesia menjadi 
lebih logis dan terukur. bahwa arsitektur Eropa 
yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia secara perlahan namun pasti mempengaruhi arsitektur 
dan tata kota lokal membentuk pola tersendiri yang kemudian menjadi simbol identitas tersendiri. 
Lebih lanjut, kota-kota di Indonesia yang mendapatkan pengaruh kolonialisasi Belanda akan 
terlihat berbeda dengan kota-kota lokal karena terdapat pertimbangan-pertimbangan logis Barat 
selain aspek budaya maupun kosmologi lokal. Adapun beberapa pertimbangan logis yang 
dimaksud disini adalah kelengkapan infrastruktur, kesehatan lingkungan, serta aspek kenyamanan 
yang lebih terjamin.
Sebelum kolonialisasi Belanda berlangsung, Jawa telah dikenal sebagai salah satu pusat 
peradaban di Indonesia. Hal ini terlihat dari sistem kehidupan sehari-hari yang telah tertata 
dengan baik, dimana arsitektur dan tata kota di Jawa juga telah memiliki pola yang jelas dan 
tersistematis. Pada masa kerajaan Majapahit yang merupakan puncak kejayaan kerajaan Hindu 
Budha di Jawa, konsep penataan pusat kota telah menggunakan beberapa kaidah dalam rangka 
mendapatkan keseimbangan fungsi antara pemerintahan, ekonomi, religi, dan sosial budaya. 
Diantaranya yang menonjol adalah konsep Tri Angga, orientasi Kaja-Kelod, serta Prapatan Agung 
Setelah berakhirnya era Kerajaan Hindu Budha di Jawa, dan digantikan dengan 
Era Kerajaan Islam di Jawa, pola penataan pusat kota yang telah digunakan pada masa Hindu 
Budha tidak serta merta hilang, melainnya berevolusi tanpa menghilangkan keseimbangan fungsi 
antara pemerintahan, ekonomi, religi, dan sosial budaya  beberapa 
konsep yang digunakan dalam penataan pusat kota Jawa di era Kerajaan Islam adalah Catur Gatra, 
Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti, dan lain-lain.
Pada masa kolonialisasi Belanda di Indonesia, Jawa semakin memiliki posisi yang penting, hal 
ini dikarenakan Jawa kemudian menjadi pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa hasil pembangunan berteknologi tinggi pada masa itu yang 
tidak terdapat di pulau yang lain misalnya jalur kereta api dan kelengkapannya 
Kondisi politik kolonialisasi yang semakin stabil, serta pembangunan yang pesat di Hindia Belanda 
mengakibatkan laju migrasi penduduk Eropa yang cukup signifikan yang nantinya mempengaruhi 
pertumbuhan perkotaan khususnya di Jawa . Dengan kekuasaan pemerintah 
kolonial Belanda yang semakin mantap dan stabil di Jawa, maka perkembangan pusat kota di Jawa 
tentunya akan lebih terpengaruh dengan model perkembangan pusat kota di Belanda atau Eropa 
pada umumnya.
Pada penelitian kali ini akan dibahas bagaimana kolonialisasi mempengaruhi perkembangan 
pusat kota di Jawa melalui metode studi literatur. Adapun studi literatur yang dilakukan akan fokus
Pada sub bab ini akan diuraikan bagaimanakah kota-kota di Eropa tumbuh dan 
berkembang dari masa Klasik hingga Revolusi Industri. Pemilihan rentang waktu tersebut 
disesuaikan dengan rentang waktu kemunculan pola kota di Jawa hingga munculnya pengaruh 
kolonialisasi Eropa di pusat-pusat Kota Jawa seperti yang diuraikan pada teori-teori yang saat 
ini ada baik di bidang Antropologi maupun Arsitektur. Terdapat dua buah literatur pokok yang 
digunakan pada sub bab ini yaitu buku The City Shape, Urban Patterns and Meaning Through 
History karya Kostof (1991) dan buku The City Assembled, The Elements of Urban Form Through 
History karya Kostof (1992). Dua buah literatur tersebut dianggap sangat tepat karena selain 
ditulis oleh seorang sejarawan arsitektur yang kemampuannya tidak diragukan, literatur tersebut mampu menguraikan dengan detail perkembangan suatu kota di Eropa dari sudut 
pandang ilmu sejarah arsitektur. Meskipun demikian, peneliti juga menggunakan beberapa 
literatur pendukung lainnya untuk memperjelas dan memperkaya bahasan.
, kemunculan kota-kota di Eropa awalnya berada di pedalaman. 
Umumnya munculnya kota diakibatkan karena adanya surplus sumber daya alam yang 
dikelola oleh seseorang atau kelompok orang. Seseorang atau kelompok orang tersebut 
selanjutnya mampu memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan surplus sumber daya 
alam. Hal ini selanjutnya mendorong mereka untuk membuat tembok pembatas atau benteng 
untuk keamanan sumber daya alam yang diuasai sekaligus menegaskan kekuasaan mereka. 
Fenomena ini terjadi pada masa Pra Klasik, terkenal dengan istilah tuan tanah / lord di 
Britania Raya yang kelak bertransformasi menjadi kerajaan pada Masa Klasik Eropa. Dari 
penjelasan diatas dapat dipahami bahwasanya kemunculan kota-kota di Eropa diawali oleh 
motif penguasaan ekonomi dan diwujudkan dalam bentuk benteng.
Pola pertumbuhan kota seperti diuraian pada paragraf di atas terus berlangsung sampai 
dengan Masa Klasik Eropa dimana gereja mendapatkan legitimasi kekuasaan bersanding 
dengan raja-raja. Kota-kota bekembang dengan tidak terencana (unplanned city) mengikuti 
bentang alam yang ada sebagai batas sekaligus pola jalannya , Kemajuan kota￾kota tersebut menarik minat masyarakat bermigrasi untuk mendapatkan kualitas hidup yang 
lebih baik salah satunya dengan berdagang. Kemajuan ekonomi kota yang pesat tentunya tidak 
mampu diwadahi dalam bentuk benteng yang terbatas oleh karena itu pada Masa Klasik kota￾kota di Eropa tidak lagi tergantung pada peran dan fungsi benteng. Sistem pemerintahanpun 
berkembang dari semula monarki absolut menjadi sistem monarki konstitusi dimana kaum 
bangsawan, rohaniawan, dan oligarki mendapatkan peran dalam pemerintahan. Kedua hal 
tersebut  mendorong kota bertansformasi.  bahwa pada Masa Klasik Eropa, kota-kota terdiri dari pusat kota dan bagian￾bagian kota lain yang menyokong. selanjutnya menggolongkan kota jenis ini 
sebagai pola kota konsentrik. Pola kota konsentrik menonjolkan pusat kota yang memegang 
fungsi birokrasi, religi, dan perumahan secara terbatas untuk raja, keluarga raja, bangsawan, 
dan rohaniawan. Raja dan kaum aristokrat memiliki peran sentral terhadap pertumbuhan kota 
sehingga secara fisik pusat kota menonjolkan simbol-simbol fisik kosmologi dari religi dan 
birokrasi yang menegaskan raja sebagai wakil Tuhan. Fungsi ekonomi sebagai penggerak kota 
pada masa ini tidak memiliki area khusus melainkan melebur diantaranya. 
Pada saat ini kota memiliki pola konsentris 
dengan jalan-jalan penghubung antar bagian kota yang bersifat organik. Meskipun demikian 
 dikarenakan pusat kota menjadi bagian yang sagat penting maka jalan￾jalan penghubung mengarah ke pusat kota sehingga muncul bentuk jalan menyerupai grid. 
Semakin kuatnya peran raja dan gereja serta didukung oleh kaum pedagang selanjutnya 
memunculkan kebijakan 3G (Gold, Gospel, Glory) yang selanjutnya mendorong munculnya 
kolonialisasi dalam rangka mencari sumber-sumber daya alam untuk dijual di pasar Eropa. Hal 
ini membawa konsekuensi bahwasanya kota-kota di Eropa semakin berkembang, dan meluas. 
 kota-kota di Eropa pada masa ini mulai berkembang secara organik 
mengikuti bentang alam meskipun tetap mempertahankan pola konsentrik. 
memperkuat pernyataan ini dengan menyatakan bahwasanya kawasan pusat kota pada masa 
ini (600 - 1700 M) mulai diwarnai dengan adanya konektifitas dengan kawasan lain yang 
dihuni atau dikembangkan oleh kelompok masyarakat tertentu.  bahwasanya hal ini yang berakibat pada struktur kota yang konsentrik namun 
terbagi menjadi beberapa bagian kota yang terkoneksi baik. 
bahwasanya di dalam kawasan pusat kota kemudian muncul beberapa fasilitas-fasilitas publik 
untuk menunjang fungsi ekonomi, maupun sosial kemasyarakatan. Pada era pra industrialisasi 
ini Burgess (1923) menggambarkan zonasi kota berbentuk radial konsentrik 
Pada masa selanjutnya (Abad 18 s.d. 20 M)  bahwasanya fase 
perkembangan kota di Eropa secara umum mengalami perubahan yang cukup signifikan 
akibat munculnya revolusi industri yang didukung oleh kaum pedagang. Hal ini  
 mengakibatkan model pertumbuhan berbasis kosmologi yang menonjolkan 
kekuasaan raja bergeser ke model pertumbuhan organik yang dikembangkan secara terukur 
untuk mendapatkan kemerataan akses bagi semua warga kota. Pada kawasan pusat kota, 
bahwasanya adanya sumbu kota yang monumental, batas kota 
yang berbentuk fisik, struktur jalan berbentuk grid yang kaku, serta organisasi spasial 
berdasarkan strata sosial berubah menjadi kawasan pusat kota yang humanis, dikembangkan 
untuk mewadahi kebutuhan masyarakat, jaringan jalan dikembangkan secara grid-organik 
mengikuti bentang alam yang tersedia. 
perkembangan kota selanjutnya tidak lagi murni berpola konsentrik namun juga organik 
mengikuti kepentingan umum yang ada.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya secara umum kota-kota di 
Eropa muncul karena adanya penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam oleh suatu 
kelompok. Selanjutnya kota-kota di Eropa awalnya dikembangkan dengan menonjolkan 
kawasan pusat kota sebagai simbol kosmologi bahwasanya raja adalah wakil Tuhan untuk 
mengelola alam dan manusia yang ada. Seiring dengan perkembangan zaman dimana 
perdagangan semakin berperan penting untuk menghidupi ekonomi kota maka legitimasi raja 
semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan kota tidak lagi berkembang secara konsentris, 
melainkan organis menonjolkan keterhubungan antara bagian-bagian kota yang 
dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Adanya revolusi industri membawa 
pendekatan baru bagi perkembangan kota dimana kota mulai direncanakan untuk lebih 
mewadah kepentingan publik, salah satu akibatnya adalah kawasan pusat kota mulai dipenuhi 
dengan fasilitas-fasilitas publik guna memenuhi fungsi ekonomi, sosial, maupun budaya.
B. Perkembangan Pola Pusat Kota di Jawa
Secara tradisional, kota-kota di Jawa secara umum dapat dibagi menjadi 2 menurut 
aspek geografis yaitu kota di pedalaman dan kota di pesisir  menerangkan bahwa kota di pedalaman dan pesisir Jawa secara tradisional telah 
memiliki perbedaan karakteristik. Meskipun tidak seluruhnya, kota-kota besar yang berada di 
pedalaman Jawa umumnya merupakan kota-kota kerajaan yang menjadi pusat pemerintahan. 
Sedangkan kota-kota-kota besar di pesisir Jawa umumnya berperan sebagai pusat-pusat 
ekonomi berbasis perdagangan.
Kota-kota di pedalaman Jawa terbentuk seiring dengan berkembangnya pemerintahan 
yang disimbolkan secara fisik oleh keraton bahwasanya seiring dengan lengkapnya elemen keraton, struktur kota terbentuk 
mengikuti pola konsentris yang menyimbolkan sistem kekuasaan raja Jawa yang dikenal 
dengan konsep Dewa-Raja.  bahwasanya dari artefak yang 
ditemukan pola kota seperti dijelaskan di atas telah ada pada masa kerajaan Hindu Budha di 
Jawa. Berbeda dengan kota-kota di pedalaman Jawa, kota-kota di pesisir Jawa umumnya tidak 
terbentuk dari adanya sebuah simbol fisik, melainkan karena adanya kegiatan berdagang, 
sehingga elemen-elemen yang menonjol dari kota-kota pesisir Jawa adalah adanya pasar dan 
pelabuhan  bahwasanya daerah 
pedalaman dan daerah pesisir memiliki hubungan saling mendukung dalam hierarki kota 
Jawa (gambar 2). 
menjelaskan hubungan antara kota pedalaman dan kota pesisir tersebut dengan istilah 
political domain dan economical domain.

Saat ini pola pusat kota yang banyak kita jumpai di Pulau Jawa adalah pola kota yang 
dikembangkan pada masa kerajaan Islam 
menyatakan bahwasanya pola kota yang dikembangkan pada masa kerajaan Islam di Jawa 
berasal dari pola kota yang dikembangkan pada masa Hindu Budha. Hal ini didasarkan pada 
kemiripan elemen pusat kota pada masa kerajaan Hindu-Budha dan kerajaan Islam di Jawa. 
Berdasarkan gambar peta rekonstruksi dan ekskavasi Kota Trowulan di Mojokerto yang 
dilakukan oleh Ir. Henry Maclaine Pont tahun 1924, pusat Kota Trowulan digambarkan oleh 
sebagai dua buah jalan yang berpotongan tegak lurus 
membentuk sebuah perempatan dimana orientasi Kaja-Kelod dan Kauh-Kangin pada konsep
Tri Hita Karana Agama Hindu menjadi penting. Adapun orientasi Kaja adalah Gunung Arjuna 
yang berada di sebelah Selatan, dan Kelod adalah Laut Jawa yang berada di sebelah Utara. 
Sedangkan orientasi Kauh adalah arah Timur tempat matahari terbit, dan orientasi Kangin
adalah arah Barat tempat matahari tenggelam.
bahwasanya titik tengah perpotongan jalan 
menunjukkan posisi madyaning madya pada konsep Triangga.  bahwasanya pada posisi utamaning utama (kaja-kauh) terdapat keraton, tempat 
peribadatan atau candi berada pada posisi utamaning nista (kaja-kangin), dan alun-alun serta 
pasar terletak pada posisi nistaning utama (kelod-kauh). Pada posisi nistaning nista (kelod￾kangin) terdapat tanah lapangan (Lapangan Bubat) tanpa adanya bangunan. Dari uraian di 
atas dapat diketahui bahwasanya 4 buah elemen utama penyusun pusat kota Jawa adalah 
Keraton, Tempat Peribadatan, Alun-alun, dan Pasar. Masing-masing elemen diletakkan 
menurut kepercayaan kerajaan pada saat itu yakni Hindu-Budha.  bahwasanya posisi keraton yang dilingkupi oleh dinding pelindung 
pada bagian utamaning-utama menegaskan peran Dewa-Raja yang dipegang oleh pemimpin 
kerajaan.
Setelah kerajaan bercorak Hindu-Budha di Jawa mengalami kesurutan, maka muncullah 
kerajaan bercorak Islam di Jawa.  pusat kota Jawa pada masa
Tri Hita Karana Agama Hindu menjadi penting. Adapun orientasi Kaja adalah Gunung Arjuna 
yang berada di sebelah Selatan, dan Kelod adalah Laut Jawa yang berada di sebelah Utara. 
Sedangkan orientasi Kauh adalah arah Timur tempat matahari terbit, dan orientasi Kangin
adalah arah Barat tempat matahari tenggelam.
 bahwasanya titik tengah perpotongan jalan 
menunjukkan posisi madyaning madya pada konsep Triangga. Lebih lanjut, Munandar (2008) 
menjelaskan bahwasanya pada posisi utamaning utama (kaja-kauh) terdapat keraton, tempat 
peribadatan atau candi berada pada posisi utamaning nista (kaja-kangin), dan alun-alun serta 
pasar terletak pada posisi nistaning utama (kelod-kauh). Pada posisi nistaning nista (kelod￾kangin) terdapat tanah lapangan (Lapangan Bubat) tanpa adanya bangunan. Dari uraian di 
atas dapat diketahui bahwasanya 4 buah elemen utama penyusun pusat kota Jawa adalah 
Keraton, Tempat Peribadatan, Alun-alun, dan Pasar. Masing-masing elemen diletakkan 
menurut kepercayaan kerajaan pada saat itu yakni Hindu-Budha. Santoso (1984) dan Munadar 
(2008) menambahkan bahwasanya posisi keraton yang dilingkupi oleh dinding pelindung 
pada bagian utamaning-utama menegaskan peran Dewa-Raja yang dipegang oleh pemimpin 
kerajaan.
Setelah kerajaan bercorak Hindu-Budha di Jawa mengalami kesurutan, maka muncullah 
kerajaan bercorak Islam di Jawa.  pusat kota Jawa pada masa kerajaan Islam memiliki kemiripan dari segi elemen penyusun dan posisinya. Meskipun 
demikian, pendekatan Islam pada penataan pusat kota pada masa Kerajaan Islam di Jawa 
mampu mengikis penggunaan prinsip-prinsip Hindu-Budha bahwasanya hal yang menonjol pada penataan pusat 
kota pada masa Kerajaan Islam di Jawa adalah posisi Alun-alun yang semakin penting, yakni 
berada di tengah-tengah pusat kota. 
merupakan salah pengaruh dari ajaran Islam yang mengajarkan kesetaraan antar manusia 
(tanpa kasta), dimana alun-alun dapat diartikan sebagai termpat bertemunya raja dan rakyat. 
Selain itu, pengaruh Islam juga terlihat pada perletakan masjid sebagai tempat ibadah yang 
diletakkan disebelah Barat dari alun-alun agar dapat menghadap kiblat. Selebihnya, perletakan 
keraton dan pasar pada masa Kerajaan Islam di Jawa tampak serupa dengan perletakan 
keraton yang dilingkupi oleh dinding pelindung dan pasar pada masa Kerajaan Majapahit di 
Kota Trowulan yakni keraton di sebelah Selatan, dan pasar terletak di sebelah Utara. Sampai 
saat ini belum didapatkan penjelasan filosofis yang mendasari kemiripan hal tersebut,  posisi Utara menurut kepercayaan Jawa 
diyakini memiliki fungsi yang lebih profan dibandingkan dengan posisi Selatan yang lebih 
memiliki nilai sakral. Hal tersebut berhubungan dengan posisi Selatan yang lebih sakral karena 
legenda Nyi Roro Kidul yang diyakini masyarakat Jawa , Penjelasan lebih logis 
dari sisi iklim adalah bahwa keraton di Jawa pada posisi Selatan akan memiliki arah hadap ke 
Utara, dengan demikian kenyamanan huninya akan lebih baik dibandingkan bangunan profan
yang menghadap ke Selatan. Hal ini dikarenakan posisi Jawa yang berada di Selatan 
khatulistiwa akan memiliki posisi matahari yang dominan di sebelah Selatan sepanjang 
tahunnya. Dengan arah hadap ke Utara maka sinar matahari yang masuk ke dalam bangunan 
adalah sinar matahari tidak langsung.
Dari beberapa paragraf di atas dapat diketahui bahwasanya pusat kota di Jawa 
menegaskan peran sentral penguasa dalam membentuk, mengatur, serta mengembangkan 
kota. Hal ini serupa dengan sejarah perkembangan kota-kota di Eropa khususnya pada era pra 
industrialisasi. Selain itu pusat kota di Jawa dan di Eropa sama-sama memiliki peran sentral 
sebagai pusat kekuasaan, agama, ekonomi, dan sosial budaya meskipun wujud arsitekturalnya 
berbeda. Secara khusus, tempat tinggal penguasa yang terdapat di pusat kota di Eropa maupun 
di Jawa sama-sama memiliki dinding pelindung meskipun bentuknya berbeda.
 mengenai tipe dan pola pertumbuhan kota maka kota￾kota di Eropa pra-industrialisasi dan kota-kota di Jawa pada masa pra kolonial tergolong tipe 
kosmik yang berkembang dengan pola konsentrik. bahwa Belanda tidak kesulitan dalam melakukan pengembangan 
kota-kota di Indonesia dikarenakan pola dasar dari kota-kota di Indonesia memiliki kemiripan 
dengan pola kota di Eropa.  bahwasanya faktor stabilitas 
keamanan adalah faktor yang terlebih dahulu harus dipastikan sebelum Belanda 
mengembangkan kota di Indonesia. Di Jawa, khususnya setelah pengaruh Islam penataan 
wilayah kekuasaan raja diatur dengan pembagian zona yang hierarkis dengan pusat kota 
sebagai inti. Hierarki wilayah kekuasaan raja tersebut selaras dengan hierarki pemerintahan 
pada struktur kerajaan Islam di Jawa menggambarkan pembagian wilayah kekuasaan raja di Jawa dengan 
skema radial konsentris dengan pusat kota pada bangian inti yang berada di tengah. Adapun 
yang menarik dari gambaran skema tersebut adalah adanya kemiripan dengan zonasi kota di 
Eropa pra industrial yang digambarkan 
C. Pengaruh Kolonialisasi Belanda Pada Pusat Kota di Jawa
Kolonialisasi Eropa ke berbagai belahan dunia mengakibatkan munculnya warna Eropa 
hampir di seluruh kota-kota besar di negara-negara yang mengalami penjajahan  Tidak terkecuali Belanda yang menjajah Indonesia selama lebih dari 300 tahun. Warna 
Eropa tentunya mempengaruhi arsitektur dan kota di Indonesia, khususnya di Jawa sebagai 
pusat pemerintahan dan perekonomian.  menerangkan bahwasanya perkembangan 
kota di Indonesia pada masa kolonialisasi Belanda cenderung memiliki pola yang sama dengan 
yang terjadi di Eropa meskipun dengan ritme yang lebih lamban. Ritme yang lamban tersebut 
disebabkan oleh adanya gejolak sosial yang berdampak pada stabilitas 
keamanan yang perlu dikondisikan terlebih dahulu. Lebih lanjut Nas menjelaskan bahwasanya 
terdapat 3 wajah kota di Indonesia pada masa kolonialisasi Belanda yaitu wajah pribumi, 
wajah Eropa, dan wajah campuran. Penilaian wajah kota tersebut berdasarkan dari arsitektur 
pusat kota sebagai titik tolak perkembangan kota.
 bahwasanya kota-kota yang berada di daerah pesisir cenderung 
memiliki wajah Eropa atau campuran, sedangkan kota-kota yang berada di daerah pedalaman 
cenderung memiliki wajah pribumi atau campuran.  bahwasanya kota-kota di Jawa dapat digolongkan pula 
menjadi kota pesisir dan kota pedalaman. Keduanya memiliki kelengkapan elemen dan pola 
pusat kota yang mirip meskipun dengan pola perwujudan yang berbeda mengikuti status 
daerah. Namun dalam perkembangannya pusat kota pesisir memiliki pola yang lebih beragam 
dibandingkan dengan kota pedalaman. Hal ini
disebabkan karena daerah pesisir umumnya merupakan daerah perdikan (daerah yang 
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak) atau daerah otonom dari kerajaan yang berpusat 
di pedalaman Jawa. Tujuannya adalah untuk menggairahkan minat perdagangan dengan pihak 
asing.  bahwasanya daerah pesisir berperan 
sebagai pusat ekonomi kerajaan melalui aktivitas perdagangan. Sebagai catatan, ketika VOC 
datang ke Pulau Jawa, saat itu Kerajaan yang menguasai Jawa adalah Kesultanan Banten, 
Kesultanan Cirebon, dan Kerajaan Mataram Islam yang memiliki luas wilayah paling besar. 
Pelabuhan-pelabuhan dagang di pesisir Jawa Utara umumnya dikuasai oleh Mataram Islam 
termasuk Batavia sebelum jatuh ke VOC.  bahwasanya beberapa 
pelabuhan dagang yang cukup ramai adalah Tegal, Jepara, Rembang, Tuban,  bahwasanya surplus komoditas hasil bumi dari 
daerah pedalaman dibawa ke pelabuhan untuk kemudian diperdagangkan di pasar atau 
dikapalkan ke luar.  bahwasanya pasar dan pelabuhan 
merupakan elemen arsitektur yang lebih ramai dibandingkan dengan elemen kota yang 
lainnya di daerah pesisir. Dengan demikian maka dapat diketahui bahwasanya ada pelabuhan 
merupakan elemen khas pada kota-kota pesisir. Keberadaannya merupakan elemen tambahan 
yang terpisah dari pola pusat kota, namun demikian tetap memiliki hubungan.
Selanjutnya aktivitas perdagangan yang intensif mampu membuat pedagang asing 
menetap hingga membentuk pos perdagangan dan kawasan-kawasan pemukiman yang diatur 
berdasarkan etnis . Khusus untuk orang-orang Eropa terutama Belanda, 
pos perdagangan mereka berbentuk benteng untuk melindungi komoditas dagang yang 
mereka kuasai melalui praktek monopoli perdagangan (verplichte leverantie). Pada awalnya kolonialisasi Belanda di Indonesia melalui VOC lebih banyak difokuskan terhadap usaha 
monopoli perdagangan hasil bumi melalui penguasaan daerah-daerah pelabuhan di Indonesia, 
tidak terkecuali di Jawa yakni di daerah Pantai Utara Jawa . Pernyataan 
tersebut didukung oleh penjelasan yang terdapat pada buku Fort in Indonesia yang diterbitkan 
pada tahun 2012 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa dengan terlibat pada 
urusan suksesi dan politik kerajaan lokal, secara cepat VOC mampu menguasai daerah-daerah 
pelabuhan sebagai kompensasi bantuan yang diberikan oleh VOC terhadap penguasa lokal 
yang sedang memperebutkan kekuasaan. Di Jawa, VOC terlibat pada politik beberapa kerajaan 
yang berpengaruh seperti Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, dan Kerajaan Mataram 
Islam sebelum akhirnya terpecah menjadi dua menjadi Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan 
Ngayogyakarta. Adapun yang menjadikan VOC terlibat di dalam politik kerajaan adalah karena 
adanya keinginan menguasai pelabuhan-pelabuhan dagang yang ramai. Dengan menguasai 
daerah pesisir maka VOC mampu menguasai perdagangan dan secara tidak langsung memaksa 
raja yang berada di daerah pedalaman untuk bergantung pada VOC dalam hal ekonomi 
perdagangan ,penguasaan 
pelabuhan di Jawa menjadi sempurna setelah Perang Diponegoro berakhir dimana Kasunanan 
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dipaksa menyewakan daerah pesisir mereka di Jawa 
Tengah dan Jawa Timur dalam jangka waktu yang panjang, dan sebagai kompensasinya 
mereka mendapatkan uang sewa tahunan yang sama besar. Berdasarkan uraian di atas maka 
dapat disimpulkan bahwa kota-kota di pesisir Indonesia termasuk di Jawa adalah kota yang 
pertama kali menerima pengaruh asing termasuk pengaruh dari Eropa yang dibawa oleh 
Belanda. bahwasanya dalam menguasai suatu wilayah, 
Belanda pertama kali menguasai daerah pesisir dengan mendirikan benteng sebagai pos 
perdagangan yang terlindung. Lebih lanjut bahwasanya 
di dalam benteng juga terdapat permukiman beserta fasilitas pendukungnya meskipun secara 
terbatas.  bahwasanya benteng ini menjadi cikal bakal 
kota kolonial. Adapun lokasi benteng menurut uraian dari Kementerian Pendidikan dan 
Kebudayaan Republik Indonesia (2012) umumnya adalah terletak di muara sungai atau di 
bibir pantai dan dekat dengan pelabuhan perdagangan. maka dapat diketahui bahwasanya di pesisir terdapat dua 
buah pusat kegiatan yakni pusat perwakilan pemerintahan kerajaan yang posisinya sedikit ke 
pedalaman, dan pusat perdagangan dengan adanya benteng yang dekat dengan pelabuhan. 
, ketika Belanda telah mampu 
menguasai keadaan dan monopoli perdagangan semakin maju maka banyak orang-orang 
Eropa khususnya Belanda yang datang untuk menetap dan berdagang.  pada saat ini dinding benteng dirasa 
membatasi perkembangan, sehingga pada kasus kota-kota besar kolonial di Jawa dindingbenteng dibongkar agar permukiman untuk orang-orang Belanda dapat diperluas, dan fasilitas 
umum dapat dilengkapi. Dengan demikian maka yang lebih berkembang adalah pada pusat 
perdagangan yang seolah-olah kemudian menjadi pusat kota. Lokasinya dekat dengan daerah 
pelabuhan dan atau benteng, sedangkan pusat perwakilan pemerintahan kerajaan cenderung 
tetap, lambat berkembang, atau justru kemudian hilang. Hal ini kemudian mengakibatkan 
kota-kota di pesisir cenderung memiliki wajah Eropa atau campuran dengan dominasi wajah 
Eropa  bahwasanya proses ini disebut dengan proses 
akuisisi, hal ini dikarenakan pusat perdagangan yang semula dikuasai kerajaan di Jawa 
kemudian diambil alih oleh kolonial Belanda dan dikembangkan menjadi sebuah kota dengan 
pendekatan Eropa.
Selanjutnya, dengan semakin menguatnya posisi politik Belanda terhadap kerajaan￾kerajaan di Jawa menjadikan Belanda memiliki peluang untuk lebih menguasai perekonomian 
 bahwasanya mereka 
memanfaatkan tanah-tanah partikelir yang diserahkan sebagai imbalan campur tangan 
Belanda terhadap urusan kerajaan, ataupun menyewa tanah-tanah milik bangsawan Jawa 
untuk pertanian maupun perkebunan. Hal ini menjadi faktor pendukung diterapkannya 
kebijakan cultuurstelsel (tanam paksa) oleh Belanda di akhir masa VOC hingga awal 
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Adapun tanah-tanah yang dimanfaatkan untuk 
cultuurstelsel berada lebih ke daerah pedalaman Java karena lebih subur. Hal ini menjadikan 
lama kelamaan Belanda mulai dapat memasuki wilayah pusat kota kerajaan yang berada di 
pedalaman. Untuk mempermudah membuka dan mengeksploitasi daerah baru,  pada era ini Belanda mulai membangun jalur-jalur darat baik itu jalan 
raya maupun rel kereta api.
l, praktek sewa tanah milik bangsawan-bangsawan Jawa 
dalam jangka waktu lama yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mampu 
memberikan pemasukan bagi dua belah pihak meskipun pemasukan terbesar tetap berada di 
pihak Belanda. Dari uang sewa dan pembagian untung hasil perkebunan, bangsawan￾bangsawan Jawa mendapatkan penghasilan dan kesetaraan status sosial dengan orang-orang 
Eropa ,ini  mempengaruhi gaya 
hidup bangsawan dan orang-orang Jawa yang semakin terpengaruh Eropa. Di sinilah kemudian 
gaya hidup yang kebarat-baratan menjadi simbol kemajuan, arsitektur tentunya menjadi alat 
untuk mencapai gaya hidup tersebut melalui wujud bangunan maupun tata kota.
Cuulturstelsel (1830-1870) yang kemudian disusul selanjutnya oleh undang-undang 
agrarischewet atau Undang-undang Liberalisasi Agraria (1870-1942) diberlakukan oleh 
pemerintah kolonial Belanda pada kurung waktu Abad 19-20. Pada saat ini sebagian besar 
Jawa dikuasai oleh Kerajaan Mataram Islam yang belum ditaklukkan oleh Belanda meskipun 
telah terbagi dua menjadi Kasunanan Surakarta yang beribukota di Solo dan Kasultanan 
Yogyakarta yang beribukota di Yogyakarta. Kerajaan-kerajaan lain yang ada di Jawa terutama 
kerajaan di Jawa bagian barat sebelumnya telah mampu ditaklukkan oleh Belanda. 
Surakarta dan Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan Mataram Islam yang terletak 
di daerah pedalaman Jawa Tengah yang kekuasaannya mencapai wilayah Jawa Timur. Para ahli 
bahwasanya dua kota tersebut merupakan pusat peradaban Jawa yang ramai dan memiliki 
pola pusat kota Jawa Islam yang terencana dan baik. Sebagai wilayah inti kerajaan, tentunya 
Surakarta dan Yogyakarta memiliki daya tarik yang tinggi untuk masyarakat Jawa yang ada disekitarnya untuk datang dan bekerja 
 bahwasanya berdagang di pasar atau bekerja bagi keluarga kerajaan dan 
bangsawan Jawa merupakan primadona saat itu karena selain mendapatkan penghidupan 
yang layak, mereka juga meningkat status sosialnya.  bahwa kemudian mereka menetap di kampung-kampung yang berada di dalam atau 
sekitar kompleks keraton.
Untuk meningkatkan pemasukan melalui sektor perdagangan komoditas hasil bumi bagi 
Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak hanya sektor hilir saja yang dikuasai (pelabuhan). 
Sektor hulu (wilayah produksi) juga perlu dikuasai dan didukung oleh kebijakan politik yang 
sesuai. Hal inilah menurut peneliti yang kemudian mendorong pemerintah kolonial Belanda 
untuk “mengintervensi” pusat pemerintahan kerajaan Jawa di pedalaman.  benteng merupakan 
wujud arsitektur awal yang didirikan oleh Belanda di suatu wilayah di Indonesia. Salah satu 
tujuannya adalah sebagai tempat bermukim terbatas yang aman. Tak terkecuali di Surakarta 
dan Yogyakarta, Belanda mendirikan benteng yang berdekatan dengan keraton dan pasar, 
uniknya kedua benteng tersebut awalnya bernama Benteng Vastenburg meskipun pada 
akhirnya Benteng Vastenburg di Yogyakarta berubah nama menjadi Benteng Vredenburg. 
Peneliti menduga bahwasanya alasan pemilihan lokasi yang berdekatan dengan keraton dan 
pasar diantaranya adalah kemudahan mendapatkan bantuan dari keraton jika sewaktu-waktu 
diserang, dan kemudahan mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Setelah keadaan mulai 
terkendali, Belanda selanjutnya membangun pusat pemerintahan kolonial yang lokasinya tidak 
jauh dari Benteng. Peneliti menduga bahwasanya alasan pemilihan lokasi tersebut didasarkan 
pada faktor keamanaan dan koordinasi pemerintahan. Lambat laun seiring dengan semakin 
banyaknya penduduk Belanda yang datang, maka daerah di sekitar benteng dan juga kantor 
pemerintahan berkembang menjadi daerah permukiman Eropa, adapun penduduk etnis lain 
seperti Cina dan Arab mendirikan daerah permukiman tersendiri yang lokasinya diatur oleh 
pemerintah kolonial Belanda ,bahwasanya penentuan lokasi permukiman ataupun fasilitas umum lainnya di 
wilayah kerajaan yang disebut dengan istilah vorstenlanden (Kasunanan Surakarta dan 
Kasultanan Yogyakarta) ditetapkan bersama antara pemerintah kolonial Belanda dan pihak 
keraton melalui sebuah badan. Berdasarkan Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta Nomor 12 
tahun 1917, di Yogyakarta badan pengelola tersebut dikenal dengan istilah Departmen van 
Sultanaat Warken, sedangkan di Surakarta dikenal dengan nama Kartirejo. Hal ini dikarenakan 
pemerintah kolonial Belanda menerapkan status zelfbesturende landschappen (otonom dan 
berhak memerintah wilayahnya sendiri) sebagai konsekuensi dari Perjanjian Giyanti.Kebijakan liberalisasi agraria yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda mampu 
menarik minat pengusaha-pengusaha swasta dari Belanda untuk berusaha di Indonesia 
khususnya di Jawa. Secara logis hal tersebut kemudian mendorong munculnya banyak 
bangunan perkantoran, serta perluasan kawasan permukiman bagi orang-orang Eropa di 
pusat kota untuk mendukung industri yang ada. Dengan demikian maka kebutuhan terhadap 
fasilitas umum juga mulai tumbuh, terutama fasilitas umum yang menunjang perekonomian, 
maupun kebutuhan infrastruktur dasar seperti rumah sakit, dan sekolah ,tempat yang paling aman dan sesuai untuk mendirikan bangunan￾bangunan fasilitas umum adalah di seputaran kawasan pusat kota karena selain 
aksesibilitasnya mudah karena dekat dengan permukiman orang-orang Eropa, tingkat 
keamanannya juga dirasa cukup karena dekat dengan pusat militer dan pemerintahan kolonial 
Belanda, dan tidak lupa adanya elemen pasar dikawasan pusat kota selain memudahkan untuk 
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga sebagai penggerak ekonomi kota.Kebijakan liberalisasi agraria yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda mampu 
menarik minat pengusaha-pengusaha swasta dari Belanda untuk berusaha di Indonesia 
khususnya di Jawa. Secara logis hal tersebut kemudian mendorong munculnya banyak 
bangunan perkantoran, serta perluasan kawasan permukiman bagi orang-orang Eropa di 
pusat kota untuk mendukung industri yang ada. Dengan demikian maka kebutuhan terhadap 
fasilitas umum juga mulai tumbuh, terutama fasilitas umum yang menunjang perekonomian, 
maupun kebutuhan infrastruktur dasar seperti rumah sakit, dan sekolah ,tempat yang paling aman dan sesuai untuk mendirikan bangunan￾bangunan fasilitas umum adalah di seputaran kawasan pusat kota karena selain 
aksesibilitasnya mudah karena dekat dengan permukiman orang-orang Eropa, tingkat 
keamanannya juga dirasa cukup karena dekat dengan pusat militer dan pemerintahan kolonial 
Belanda, dan tidak lupa adanya elemen pasar dikawasan pusat kota selain memudahkan untuk 
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga sebagai penggerak ekonomi kota.Kebijakan liberalisasi agraria yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda mampu 
menarik minat pengusaha-pengusaha swasta dari Belanda untuk berusaha di Indonesia 
khususnya di Jawa. Secara logis hal tersebut kemudian mendorong munculnya banyak 
bangunan perkantoran, serta perluasan kawasan permukiman bagi orang-orang Eropa di 
pusat kota untuk mendukung industri yang ada. Dengan demikian maka kebutuhan terhadap 
fasilitas umum juga mulai tumbuh, terutama fasilitas umum yang menunjang perekonomian, 
maupun kebutuhan infrastruktur dasar seperti rumah sakit, dan sekolah (Surjomihardjo, 
2008).
Menurut peneliti, tempat yang paling aman dan sesuai untuk mendirikan bangunan￾bangunan fasilitas umum adalah di seputaran kawasan pusat kota karena selain 
aksesibilitasnya mudah karena dekat dengan permukiman orang-orang Eropa, tingkat 
keamanannya juga dirasa cukup karena dekat dengan pusat militer dan pemerintahan kolonial 
Belanda, dan tidak lupa adanya elemen pasar dikawasan pusat kota selain memudahkan untuk 
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga sebagai penggerak ekonomi kota.Dengan demikian maka pusat kota pemerintahan kerajaan Jawa yang semula terdiri atas 
empat elemen utama catur gatra (keraton-alun-alun-masjid-pasar), berkembang menjadi lebih 
kompleks dan memiliki wajah Eropa karena terdapat beberapa bangunan Eropa seperti 
benteng, kantor pemerintahan kolonial Belanda, pemukiman untuk orang-orang Belanda, 
bangunan perkantoran, serta bangunan-bangunan fasilitas umum bergaya Eropa lainnya. 
Adanya intervensi bangunan-bangunan Eropa ke dalam kawasan pusat kota Jawa tidak 
mendapatkan pertentangan yang keras oleh orang-orang pribumi. Menurut peneliti hal ini 
disebabkan oleh dua hal, yang pertama adalah gaya hidup orang Eropa juga diikuti oleh orang￾orang pribumi khususnya kaum bangsawan untuk mendapatkan status sosial yang sama 
dengan orang Eropa. Dan yang kedua adalah praktek sewa-menyewa tanah raja atau 
bangsawan untuk perusahaan pertanian maupun perkebunan menjadikan posisi tawar dari 
orang Eropa untuk memanfaatkan tanah pusat kota untuk kepentingan mereka menjadi tinggi. 
Praktek ini lebih lanjut kemudian didukung oleh penerapan Politik Etis yang intinya adalah 
kewajiban bagi pemerintah kolonial Belanda untuk menyediakan kehidupan yang layak bagi 
semua warga negara Hindia Belanda. Hal ini kemudian direspon oleh penyediaan fasilitas￾fasilitas publik untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan.Proses yang terjadi tersebut menurut Kostof (1992) adalah merupakan proses 
pembentukan kota kolonial yang paling banyak dilakukan, lebih lanjut Kostof (1992) 
menyebut hal ini sebagai proses akulurasi akulturasi karena identitas yang baru (Eropa) hadir 
menyesuaikan struktur kota tradisional yang telah ada sebelumnya serta tidak menghilangkan 
identitas tradisional yang ada. Oleh karena itu maka Nas (2007) menjelaskan bahwasanya 
kota-kota kolonial yang berada di pedalaman memiliki tetap memiliki wajah pribumi atau 
campuran dengan dominasi wajah pribumi.
Kolonialisasi Belanda di Indonesia mampu membawa wajah baru bagi arsitektur dan kota 
di Indonesia. Pusat kota yang sebelumnya dibentuk dengan pendekatan kosmologis berkembang 
menjadi lebih fungsional dengan adanya beberapa bangunan-bangunan fasilitas umum yang 
bergaya Eropa di pusat kota. Namun demikian terdapat berbedaan pendekatan dan pengaruh 
kolonialisasi Belanda pada pusat kota-pusat kota di pesisir dan pusat kota-pusat kota di pedalaman 
Jawa. Pusat kota yang terdapat di pesisir Jawa menerima pengaruh kolonialisasi Belanda dengan 
cara akuisisi. Belanda membuat pusat kota dengan terlebih dahulu menguasai daerah pelabuhan 
dan mendirikan benteng. Selanjutnya dengan pendekatan Eropa, mereka memperluas daerah 
permukiman lengkap dengan fasilitas umum yang diperlukan. Proses ini dapat berjalan karena 
kerajaan telah menyerahkan pengelolaan daerah pesisir kepada Belanda sebagai imbalan 
keterlibatan Belanda pada suksesi kerajaan.
Berbeda dengan kota-kota di pedalaman Jawa yang merupakan pusat pemerintahan 
kerajaan, dalam mempengaruhi pusat kota Belanda melakukan dengan pendekatan akulturasi. Hal 
ini dikarenakan Belanda tidak memiliki hak penuh atas tanah-tanah yang ada di pusat 
pemerintahan kerajaan. Oleh karena itu maka Belanda terlebih dahulu memperbesar posisi tawar 
mereka terhadap kerajaan dengan cara memberikan imbalan atas tanah-tanah raja dan bangsawan 
yang mereka sewa. Lama kelamaan, seiring dengan banyaknya orang-orang Eropa yang menyewa 
lahan maka ketergantungan akan industri pertanian dan perkebunan pun bagi kerajaan semakin 
besar. Dengan dalih memperlancar kegiatan usaha dan meningkatkan kesejahteraan penduduk 
maka kemudian dibangunlah beberapa fasilitas publik dan perkantoran di sekitaran kawasan pusat 
kota yang terlebih dahulu telah berdiri benteng dan kantor pemerintahan kolonial Belanda.
Cara mempengaruhi kawasan pusat kota yang berbeda antara kota-kota di pesisir Jawa dan 
di pedalaman Jawa berakibat pada perbedaan wajah kota. Kota-kota di pesisir Jawa akan 
cenderung menampilkan wajah kota Eropa atau campuran dengan dominasi Eropa. Sedangkan 
kota-kota di pedalaman Jawa akan cenderung menampilkan wajah kota pribumi atau campuran 
dengan dominasi pribumi

Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil kebudayaan adalah perpaduan suatu karya seni dan 
pengetahuan tentang bangunan, dengan demikian arsitektur juga membicarakan berbagai aspek 
tentang keindahan dan konstruksi bangunan. Dalam menelaah rumah-rumah kolonial tidak terlepas 
dari gaya arsitektur yang dibawa oleh Belanda pada saat itu. Ada tiga ciri yang harus diperhatikan 
untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu budaya, teknologi dan 
struktur kekuasaan kolonial. Keterbukaan sebuah kota pusat pemerintahan dan perdagangan 
mengharuskan adanya perkembangan komunikasi dan teknologi pada awal abad XX. Kota-kota lama 
di Jawa sampai dengan abad XVIII tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kota-kota yang tidak 
mempunyai fungsi perdagangan umumnya menjadi kota pusat pemerintahan daerah. 
Sebagai studi, dipakai kota Pasuruan untuk pengamatan bangunan kolonialnya. Berkenaan 
dengan adanya industri gula, maka Kota Pasuruan digunakan sebagai pusat penelitian gula pada 
masa itu. Belanda masuk ke Pasuruan pada tahun 1743, maka semestinya pembuatan rumah yang 
bergaya Belanda juga berkiblat pada gaya arsitektur asli di Belanda. Tulisan ini dibatasi pada gaya 
arsitektur yang terjadi pada masa arsitektur modern sampai dengan berpindahnya ibukota 
Karesidenan Pasuruan ke Malang (Juli 1928) dan runtuhnya industri gula (1930). Akibat 
perkembangan industri dan pengingkaran-pengingkaran terhadap keindahan karya seni, serta 
berbagai unsur yang tumbuh dalam kehidupan sosial dengan tidak adanya kontrol yang ketat, 
terlepaslah ikatan akan kebiasaan mencipta bangunan dengan menyertakan ragam hias. Sudah 
barang tentu masalah ini melibatkan berbagai masalah dan pandangan akan nilai-nilai yang sangat 
kompleks. 
Tidak semua ciri arsitektur yang ada di Belanda diterapkan pada bangunan yang dibangun 
Belanda di Pasuruan. Terdapat 2 periode pembangunan rumah di Pasuruan, yaitu masa sebelum 
adanya Pusat Penelitian Gula dan sesudahnya. Adanya sistem rumah induk dan doorloop yang 
menghubungkan dengan fungsi service. Adanya penyesuaian terhadap iklim tropis di Indonesia pada 
rancangan rumah tinggal. Bahan utama untuk dinding yang digunakan adalah Bata, dengan ketebalan 
pasangan 1 bata. Cenderung sederhana permainan strukturnya dan minim ornamen.Arsitektur modern mulai berkembang 
sebagai akibat adanya perubahan dalam 
teknologi ,sosial, dan kebudayaan yang 
dihubungkan dengan Revolusi Industri (1760–
1863) . Pada umumnya perubahan-perubahan 
di dalam bidang arsitektur selalu didahului 
dengan perubahan dalam masyarakat karena 
itulah Revolusi Industri juga berakibat pada 
perubahan dalam masyarakat yang 
mempengaruhi timbulnya arsitektur modern 
yaitu :
1. Perubahan dalam bidang teknologi 
bangunan terutama dalam bidang 
konstruksi/struktur bangunan (1775-
1939)
2. Perubahan pada perkotaan atau 
perkembangan kota-kota (1800–1909)
3. Perubahan dalam kebudayaan yang 
menyangkut gaya neoklasik (1750–
1900)
Pada perubahan dalam bidang 
teknologi bangunan ,terjadi peningkatan mutu 
dan pengerjaan bahan bangunan tradisional 
seperti kayu, batu bata, genting , dan batu 
alam . Namun juga terjadi perubahan yang 
mencolok dengan pemakaian 3 bahan baru 
(penemuan teknologi terbaru) dalam 100 tahun 
terakhir yaitu :kaca, baja, beton.
Sebelum Revolusi Industri dan sebelum 
arsitektur modern berkembang ,pemakaian baja 
pada bangunan sangat terbatas sekali seperti 
hanya pada railing tangga, pagar, teralis 
jendela, dan sebagainya . Tak ada sistem 
konstruksi yang menggunakan baja . Namun 
dalam arsitektur modern baja merupakan 
bahan bangunan utama karena baja punya 
banyak keuntungan disamping kelemahannya 
korosi, tegangan tarik dan tekan baja hampir 
sama besar sehingga mutu produksi bisa 
diandalkan (dari pabrik) panjang bisa mencapai 
12 meter ,ukuran (profil), dan mutu baja bisa 
diatur, beratnya ringan sehingga 
pengangkutannya mudah dan ekonomis, serta 
mudah dirangkai di lapangan . Intinya teknologi 
perhitungan kontruksi serta pemakaian bahan 
bangunan seperti baja, beton dan kaca 
membuat kemajuan yang sangat pesat dalam 
arsitektur modern serta menghasilkan produk 
yang sebelumnya belum pernah diwujudkan 
seperti bangunan bentang lebar dan bangunan 
bertingkat banyak .revolusi 
Industri berakibat urbanisasi sehingga 
menambah jumlah penduduk kota yang juga 
berarti menambah masalah di dalam kota itu 
sendiri seperti komunikasi . Masalah 
komunikasi menyebabkan mobilitas tinggi 
sehingga perlu adanya fasilitas untuk 
menunjang kegiatan tersebut seperti stasiun, 
kantor, hotel, pasar, pusat perbelanjaan, dan 
sebagainya yang merubah struktur kota. 
Perubahan yang cepat dengan tidak adanya 
penyeimbangan darimfasilitas menimbulkan 
daerah kumuh (slums) yang sampai sekarang 
masih jadi masalah utama di berbagai kota di 
dunia .Kemudian perubahan dalam 
kebudayaan yang menyangkut gaya Neoklasik 
dimana keyakinan arsitektur adalah seni 
bangunan yang berbeda dengan kegiatan 
‘engineering’ mengalami tantangan berat . 
Tradisi fungsional pada pemikiran struktur mulai 
berpengaruh pada arsitektur terutama mulai 
abad 19.Perkembangan Arsitektur Modern di 
Inggris berawal dari timbulnya usaha-usaha 
dalam perbaikan hidup terutama di bidang
perkotaan dan arsitektur . Akibat urbanisasi 
dalam waktu singkat menyebabkan kualitas 
hidup di kota-kota menurun secara drastis 
sehingga muncullah Robert Owen yang 
dianggap sebagai pelopor perbaikan kota-kota 
industri dengan mendirikan pabrik pemintalan 
benang di New Lanark Skotlandia ,lalu 
mengadakan waktu kerja yang lebih rasional, 
memberi akomodasi yang baik bagi pekerja, 
dan menyediakan fasum bagi pekerja. Secara 
politisi Owen pun mengadakan undang-undang 
untuk memperbaiki kualitas hidup di perkotaan 
Inggris ,
Perkembangan Arsitektur Modern Di 
Amerika
Sebelum merdeka pada tahun 1781, 
arsitektur Amerika merupakan arsitektur 
kolonial Eropa yang telah disesuaikan dengan 
iklim dan tenaga kerja serta hasil bahan 
bangunan setempat Namun setelah terjadinya 
kebakaran hebat yang membumihanguskan 
kota Chicago, maka mulainya muncul ciri khas 
arsitektur Amerika yang sebenarnya yang lepas 
dari tradisi Eropa. Kota Chicago yang terletak 
diantara titik pertemuan Sungai Chicago yang 
mengalir ke danau Michigan dinilai sangat 
 2 Sampai abad 19 muncul ketidakpuasan masyarakat 
terhadap rendahnya mutu hasil produksi sehingga 
muncullah gerakan “ Art & Craft Movement “ yang sangat 
menentang hasil produksi pabrik (mesin ) . Pelopornya 
John Ruskin yang seorang pendidik dan teoritikus sejati . 
Menurutnya telah hilang proses produksi yang sangat 
dinikmati oleh seniman dengan hasil produksinya . Dalam 
bukunya “ The Seven Lamps of Architecture “, Ruskin 
mengupas habis-habisan kelemahan dari hasil produksi 
pabrik dan ketidakjujurannya ,
strategis dan berkembang menjadi sebuah 
pemukiman yang berkembang pesat menjadi 
sebuah kota.3 Gaya yang dianut adalah “Form 
Follow Function“ dimana bentuk bangunan 
mengikuti fungsinya , dan bangunan yang 
terjadi seolah-olah seragam tanpa sentuhan 
pribadi arsiteknya . Keadaan demikian dikecam 
oleh Louis Sullivan yang kemudian mendirikan 
kantor “Sullivan & Adler“, hasil karyanya 
memasukkan unsur estetika pada bangunan 
namun mendobrak dominasi arsitektur Eropa . 
Usahanya dilanjutkan oleh Frank Lloyd Wright 
yang sangat mengutamakan kebebasan lepas 
dari segala bentuk-bentuk tradisonal ,
Perkembangan Arsitektur Modern Di Eropa
Pada tahun 1890 sampai 1910 
merupakan masa transisi dalam perjalanan 
Arsitektur Modern . Timbullah 2 aliran di Eropa 
yaitu Art Nouveau dan Structure Rationalism
yang sangat mendominasi waktu itu. Langgam 
Art Nouveau lahir di Belgia, berkembang ke 
Australia dan Belanda, kemudian berkembang 
subur di Jerman. Nama internasional stylenya 
adalah Jugenstyle. Gerakan ini merupakan 
gerakan seni terapan yang memproduksi 
barang-barang seperti ikat pinggang, sendok, 
garpu, meja, kusri, lampu ,pegangan tangga, 
  Setelah terjadi kebakaran yang menghancurkan kota itu, 
maka para arsitek yang tergabung di dalam “ The Chicago 
School “ mulai memikirkan strategi membangun kota yang 
efisien , cepat , dan ekonomis dengan membangun kota 
sistem grid (papan catur) .
 Idenya “ Organic Architecture “ sangat terkenal dan 
dipandang sangat sesuai dengan sifat masyarakat Amerika 
yang terbuka ( spirit orang Amerika sejati ) . Bahkan 
menurutnya kebebasan adalah kata kunci dalam 
merancang ruang . Wright tidak memusuhi produksi mesin 
namun memanfaatkannya dalam karyanya sebagai hiasan 
geometris dan garis-garis horizontal (Soekiman (2000)),.pintu dan akhirnya seluruh bangunan. Wujud 
desainnya tampak sebagai pemberi hidup 
(tampak menggeliat, meliuk,mengalun, 
berguling dan berdengus), tampak juga seperti 
sejenis flora aneh atau organisme hidup yang 
tidak mempunyai makna apapun, hanya 
dinamisme abstraknya saja.5 Namun langgam 
ini dapat memadukan hiasan dan struktur 
dengan baik sehingga bentuk bangunan 
mengikuti naluri tetapi tetap punya fungsi 
struktural (gaya Romantism) . Reaksi dari 
langgam ini adalah munculnya gaya ragam hias 
seperti Art Deco dan Kubisme. Langgam 
Structural Rationalism ini mengutamakan suatu 
sistem struktur pada bangunan sebagai akibat 
langsung pada bentuk bangunannya sendiri. 
Salah seorang pelopornya adalah Violet Le Duc 
dari Perancis yang banyak bekerja sebagai 
restores pada bangunan Gothic di Eropa 
menyebabkan Le Duc yakin bahwa bentuk 
bangunan yang baik adalah sebagai akibat dari 
suatu sistem struktur yang benar. Pada 
langgam ini setiap elemen pada bangunan 
harus diperlihatkan dengan jelas mana yang 
structural dan mana yang non sruktural .Setiap 
detail sambungan harus dikerjakan secara 
benar dan teliti sehingga patut diperlihatkan 
apa adanya estetika detail , Tokoh yang terkenal adalah Antonio Gaudi dari Spanyol 
dengan karyanya La Grada Familia ( kuil untuk orang 
miskin ) yang seperti rimba , Tokoh lainnya yang terkenal adalah Adof Loos yang 
sangat menentang tradisi dalam bangunan terutama dalam 
pandangan menghias bangunan dengan ornamen . 
Menurut Loos, seseorang baru berhasil menciptakan 
sesuatu yang baru kalau orang itu menciptakan apa yang 
belum pernah diciptakan orang sebelumnya . Bahkan 
menurut Loos, arsitektur bukanlah suatu seni namun wadah 
untuk memenuhi suatu kebutuhan . Bukunya “ Ornament 
and Crime “ sangat kontoversial pada waktu itu karena 
mengolok-olok bahwa warisan tradisi masa lalu merupakan 
kebudayaan Barbar  setelah Perang Dunia I selesai, 
muncullah sekolah “Bauhaus“ di Weimar, 
Jerman pada tahun 1919 oleh Walter Grophius 
yang bertujuan menyatukan arsitek, seniman, 
dan tukang dengan prinsip “There is no 
essential difference between the artist and the 
craftman“, dimana simbonya adalah bangunan 
yang disinari oleh 3 buah bintang . Di sekolah 
ini pendidikan dibagi 2 yaitu 6 bulan pertama 
pengenalan materi dan pemecahan berbagai
masalah sederhana dan kemudian 3 tahun 
berikutnya mahasiswa harus memasuki 
berbagai bengkel (bengkel batu, bengkel kayu, 
bengkel logam ,bengkel tanah liat, bengkel 
gelas, bengkel tenun, dan bengkel warna), lalu 
setelah ujian dan lulus barulah mahasiswa 
menentukan jurusannya (arsitektur, desain 
grafis, desain interior, atau desain industri). 
Tujuan praktis dari sekolah ini adalah 
menciptakan suatu kehidupan baru dan style 
yang baru untuk suatu jaman yang baru dengan 
suatu kesatuan yang baru antara seni dan 
teknologi.7
Perkembangan Arsitektur Modern Di 
Belanda
Langgam Art Nouveau melanda 
Belanda pada abad 19 ke abad 20, menjadi 
“Neuwe Kunst“. Langgam baru ini masih 
mempertahankan prinsip-prinsip bentuk 
alamiah tetapi fungsional dipegang sebagai 
patokan . Akibatnya terciptalah bangunan yang 
memakai bahan dasar dari alam yang dipasang 
dengan ketrampilan tangan yang tinggi dan 
memungkinkan dibuatnya berbagai 
ornamentasi yang indah namun tetap 
memperhatikan fungsinya. Pada perkembangan selanjutnya Neuwe Kunst pecah 
menjadi 2 yaitu Amsterdam School dan De Stijl
( The Style ) .
Kelompok Amsterdam School lebih 
menitikberatkan pada ‘orisinalitas dan alamiah’ 
. Alirannya Romantism dan dijuluki ‘Dutch 
Expressionist Architecture’ yang berciri 
ketidakpuasan terhadap hasil desain industri . 
Bangunan karya mereka berdasarkan 
pengolahan massa yang kompak dan plastis , 
bahan dasar dari alam, ornamentasi 
berdasarkan garis-garis lengkung.8
Kelompok De Stijl sangat bertolak 
belakang dengan Amsterdam School karena 
lebih menitikberatkan pada fungsi dan estetika 
kelompok , kelompok ini lebih menyukai hasil 
industri yang terstandartisasi, dengan bentuk￾bentuk dan komposisi geometri. Menurut 
kelompok ini, penentuan ukuran serta bentuk 
ruang, hubungan antar ruang, dan sistem 
sirkulasi merupakan faktor penentu dalam 
 Mereka menganggap interior desain sebagai unsur yang 
tidak terpisahkan dalam bangunan bahkan hubungan 
antara interior dan eksterior sangat erat sekali sebagai 
pencerminan suatu bangunan . Karyanya sering disebut 
sebagai “ Idividual Art “. Tokoh-tokohnya antara lain 
Michael De Klerk , Job & Trey ,
merencanakan sebuah bangunan , apabila 
bangunan tersebut gagal dalam memenuhi 
tuntutan itu maka bangunan itu tidak dapat 
dikatakan berfungsi, oleh sebab itu arsitek pada 
kelompok ini berusaha membuat bangunan 
bebas dari pengaruh berbagai macam style 
baik datang dari luar maupun bentuk-bentuk 
peninggalan sejarah karena style dianggap 
menghambat berfungsinya sebuah bangunan 
secara efisien.
Perkembangan Arsitektur Modern Setelah 
Perang Dunia II 
Arsitektur Modern berkembang pesat 
setelah Perang Dunia II berakhir karena 
kerusakan akibat perang tersebut perlu 
dibangun kembali, maka usaha untuk 
mempercepat pembangunan antara lain 
dengan fabrikasi komponen bangunan yang 
lebih ekonomis dan rasional sesuai dengan 
tujuan Revolusi Industri.
.
Mies yang berasal dari Aechen, Jerman 
  Konsekuensi dari pandangan tersebut antara lain 
ornamen dianggap sebagai suatu kejahatan dan klassisme 
baru yang pernah diapakai oleh kaum fasis dan nazi 
menjadi simbol negatif dan perlu ditolak . Munculnya 2 
arsitek yang terkenal waktu itu yaitu Ludwig Mies Van Der 
Rohe dan Charles Le Corbusier merupakan staf pengajar di Bauhaus. Sifatnya 
yang konservatif dan kaku tercermin dalam 
karya-karyanya yang khas . Mies suka 
menggunakan baja dan kaca sebagai bahan 
bangunan utamanya. Bentuk arsitekturnya 
kotak yang dibuat dengan sistem rangka 
dengan bahan baja dan penutup kaca yang 
jelas .Semboyan-semboyannya menjadi cap 
bagi bentuk arsitektur modern antara lain 
seperti ‘ Less is more ‘, ‘ Simplicity is beauty ‘ , ‘ 
Reason is the first principle of all human work ‘ , 
dan sebagainya . Arsitekturnya mengesankan 
suatu bangunan yang monumental ,
Corbusier berpendapat bahwa situasi 
perkotaan yang semakin padat mengakibatkan 
orang yang berjalan di atas tanah terhalang 
oleh banyaknya bangunan maka dengan 
penggunaan beton gedung bisa seolah-olah 
diangkat dari atas tanah sehingga 
menghasilkan suatu perspektif baru yang 
terbuka . Atap bangunannya datar dari beton 
dapat dibuat teras untuk kebun (program 
penghijauan kota). Segala impian untuk 
membuat bangunan seakan-akan melayang di 
udara dapat terwujud dengan kontruksi beton 
ARSITEKTUR "INDIS”
Sebutan Indis berasal dari istilah 
Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam 
bahasa Indonesia. Itulah nama suatu daerah 
jajahan Pemerintah Belanda di Timur Jauh, dan 
karena itu sering disebut juga Nederlandsch 
Oost Indie. Menurut Pigeaud, orang Belanda 
pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 
1619. Mereka semula berdagang tetapi 
kemudian memonopoli lewat VOC dan akhirnya 
menjadi penguasa sampai datangnya Jepang 
pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang 
Belanda selama tiga abad di Indonesia tentu 
memberi pengaruh pada segala macam aspek 
kehidupan. Perubahan antara lain juga 
melanda seni bangunan atau arsitektur.
Soekiman (200) mengatakan bahwa, 
dalam membuat peraturan tentang bangunan 
gedung perkantoran dan rumah kedinasan 
Pemerintah Belanda memakai istilah Indische 
Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal 
ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang 
tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah 
bercampur dengan rumah adat Indonesia. 
Penggunaan kata Indis untuk gaya bangunan 
seiring dengan semakin populernya istilah Indis
pada berbagai macam institusi seperti Partai 
Indische Bond atau Indische Veeneging. 
Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau 
campuran dari unsur-unsur budaya Barat 
terutama Belanda dengan budaya Indonesia 
khususnya dari Jawa. Dari segi politis, 
pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk 
membedakan dengan bangunan tradisional 
yang lebih dahulu telah eksis, bahkan oleh 
Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis
dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati, 
sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan 
kebesaran penguasa saat itu .
Bentuk rumah bergaya Indis sepintas 
tampak seperti bangunan tradisional dengan 
atap berbentuk Joglo Limasan. Bagian depan 
berupa selasar terbuka sebagai tempat untuk 
penerimaan tamu. Kamar tidur terletak pada 
bagian tengah, di sisi kiri dan kanan, sedang 
ruang yang terapit difungsikan untuk ruang 
makan atau perjamuan makan malam. Bagian 
belakang terbuka untuk minum teh pada sore 
hari sambil membaca buku dan mendengarkan 
radio, merangkap sebagai ruang dansa 
Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada gaya bangunan 
Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. 
Lampu-lampu gantung dari Italia dipasang pada 
serambi depan membuat bangunan tampak 
megah terutama pada malam hari. Pintu 
terletak tepat di tengah diapit dengan jendela￾jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara 
jendela dan pintu dipasang cermin besar 
dengan patung porselen.10 Kebudayaan Indis
sebagai perpaduan budaya Belanda dan Jawa 
juga terjalin dalam berbagai aspek misalnya 
dalam pola tingkah laku, cara berpakaian, 
sopan santun dalam pergaulan, cara makan, 
cara berbahasa, penataan ruang, dan gaya 
hidup .
Arsitektur Indis tidak hanya berlaku 
pada rumah tinggal semata tetapi juga 
mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta 
api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan, 
pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya 
arsitektur Indis mungkin disebabkan oleh 
konsekuensi historis yang menyangkut 
berbagai aspek sosial budaya.12 Dengan 
datangnya perubahan zaman dan hapusnya 
kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan 
budaya feodal termasuk perkembangan 
arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan, 
 Khusus untuk gedung-gedung perkantoran, 
pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di 
daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri 
seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain agar 
tampak lebih berwibawa. 
 Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya 
yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas 
bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, 
pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai 
penghias gedung. 
sejarah terbentuknya budaya 
Indis karena didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang 
berkehendak menjalankan pemerintahan dengan 
menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di 
wilayah kolonialnya ,
bangsa Indonesia menganggap arsitektur Indis
sebagai monumen dan simbol budaya priayi 
yang tidak bisa lagi dipertahankan dan 
dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya 
tidak perlu diratapi. Arsitektur Indis mencapai 
puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring 
dengan perkembangan kota yang modern, 
lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan 
berubah menjadi bangunan-bangunan baru 
(nieuwe bouwen) yang bergaya art-deco
sebagai gaya internasional. 
RAGAM HIAS ARSITEKTUR BELANDA 
Dalam pembangunan rumah ataupun 
dalam menghias rumah sangatlah wajar jika 
identitas dari pemilik berusaha ditampilkan 
pada bangunan tersebut. Demikian juga orang 
belanda pada saat itu berusaha menampilkan 
identitas yang tentunya mereka ambil dari 
kebiasaan dan budaya tempat mereka berasal. 
Dengan kata lain, kita dapat mengetahui asal 
negeri belanda mana pemilik rumah ini 
sebelumnya, itu pun kalau bentukan-bentukan 
tersebut masih ada. 
Untuk itu ditampilkan ragam hias apa 
saja yang biasa terdapat pada bangunan 
Belanda tersebut, antara lain: MINTAKAT, Jurnal Arsitektur, Volume 2 Nomer 1, September 2003
a. Runeteken
• Sebagai simbol Kesuburan
• Rund, jenis binatang kerbau atau sapi yang diwujudkan dalam bentuk stilasi huruf “M”
• Lambang ini timbul lebih kurang tahun 800, yang kemudian seringkali dilukiskan dalam bentuk 
bunga tulip atau leli.
b. Tympanon (tadah angin)
Lambang dari masa pra-kristen
• Diwujudkan pohon hayat, kepala kuda, roda matahari
Masa Kristenan
• Lambang gambar salib, gambar hati, jangkar
Lambang Roma Katholik
• Miskelk dan hostie
c. Penunjuk Angin (windwijzer)
• Diletakkan di atas nok yang dapat berputar mengikuti arah angin
d. Hiasan Puncak Atap (Nok Acroterie)
• Dulu yang menghias atap rumah petani terbuat dari daun alang-alang (Stroo),kemudian dalam 
rumah bergaya Indis dibentuk dengan semen.e. Hiasan Kemuncak Tampak Depan (geveltoppen)
• Bentuk segitiga pada bagian depan rumah disebut voorschot, yang dihias dengan papan kayu 
yang dipasang vertikal yang dipergunakan sampai abad ke-19, memiliki arti simbolik antara 
lain :
• Lambang Manrune, mengandung arti kesuburan, digambarkan dengan huruf “M” atau bunga 
tulip/leli.
• Oelebord/uilebord/oelenbret, berupa papan kayu berukir.
• Hiasan berupa Makelaar, yaitu papan kayu berukir, panjang 2m, ditempel secara vertikal, 
diwujudkan seperti pohon palem, orang berdiri, dan sebagainya.
f. Ragam dari Material Logam
Melengkapi bangunan rumah dari bahan besi seperti pagar serambi (stoep), penyangga atap 
emper pada bagian depan rumah (kerbil), penunjuk arah mata angin, lampu taman, dan kursg. Cerobong Asap Semu
• Cerobong asap yang menjulang tinggi di Belanda, 
digantikan dengan cerobong asapnya semu yang 
berukuran pendek atau diwujudkan hiasan batu berukir 
ragam hias bunga.
h. Ragam Hias Pada Tubuh Bangunan
• Hiasan pada lubang angin di atas pintu atau jendela (bovenlicht)
• Adanya ornamen ikal-ikal sulur tumbuhan berakhir membentuk lambang Aries ram yaitu 
kambing bertanduk.
• Kolom Doric, Ionic, Korinthia, Komposit
• Gaya Doric, sesuai dengan watak dan jiwa 
bangsa Doria yang berjiwa militer, cocok 
sebagai hiasan bangunan pemerintahan atau 
penguasa.
• Gaya Ionic, bangsa Ionia menyukai 
keindahan dan keserasian.
• Gaya Korinthia, menunjukkan kekayaan, 
kemakmurandan kemewahan.
• Komposit, merupakan perpaduan antara Ionic dan Korinthia.
RAGAM HIAS YANG ADA DI KOTA-KOTA 
BELANDA 
Di Indonesia, khususnya Jawa, hiasan 
di bagian atap rumah kurang mendapat tempat, 
kecuali pada bagian bangunan-bangunan 
peribadahan (mesjid, gereja, pura dan candi). 
Pada bangunan rumah Eropa, hiasan 
kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai 
arti tersendiri, baik dari sudut keindahan, status 
sosial, maupun kepercayaan. Berikut ini 
tentang ragam hias dan latar belakang arti 
simbolik yang berasal dari budaya Belanda, 
yang kemudian terdapat diantaranya di Jawa, 
sungguhpun tanpa dimengerti lagi arti 
sebenarnya.
a. Friesland
• Hiasan yang terkenal dari para 
petaninya disebut oelebord atau 
uilebord (di Drente disebut oelenbret)
• Diletakkan di 1 meter dibawah nok 
atap, terdapat tympanon (tadah angin) 
– hiasan itu terdapat.
• Pada bagian initerdapat hiasan berupa 
dua ekor angsa yang saling bersandar 
bertolak belakang.
• Juga terdapat kepala kuda dan angsa 
dipergunakan berdampingan, sebagai 
lambang kesatuan suku Friesland dan 
Saksen.
• Friesland Utara dan Barat laut, 
Lambang Makelaar berupa harpa dan 
burung kecil dengan kepala menyusup 
di dalam bulu sayapnya
• Merupakan tanda abad keemasan 
Friesland pada abad ke-17Pahatan daun jendela berupa gambar 
segitiga, hati , atau pohon.
b. Elakhuzen dan Koudum
• Makelaar dengan hiasan puncak 
berupa gambar klaverblad
c. Groningen dan Drente
• Miskin dengan hiasan dengan simbol￾simbol dan arti-arti khusus.
d. Usselo, Enschede
• Penggunaan pohon hayat untuk 
Tympanon.
• Variasi bentuk pohon hayat yang 
bermacam-macam dari yang 
sederhana sampai rumit.
e. Engelum
• Oeleborden-nya pada tympanon 
terbuat daribatu bata.
f. Losser
• Oeleborden-nya pada tympanon 
bergambar salib pada bagian kepala 
kuda
• Weerhaan (penunjuk arah angin) pada 
bagian atap rumah terdapat lambang 
Kepala kuda dipahatkan seekor ayam 
jantan.
• Juga terdapat gambar petir atau kilat 
pada dinding rumah.
g. Elburg, Westfalen, Barcula Doesburg
• Terdapat gambar petir atau kilat pada 
dinding rumahnya, yang merupakan 
lambang untuk menolak petir dan 
penyakit.
h. Twente
• Kaya akan ornamen pada tympanon 
geveltoppen pada rumah petaninya.
• Tiap rumah dihias lukisan tokoh 
perwujudan dari kepercayaan 
masyarakat setempat berwarna putih 
dari bahan kayu.
• Hiasan di depan bangunan rumah 
twente diartikan juga sebagai jiwa, 
budi, angan-angan, badan halus, atau 
lelembut.
• Banyak juga menggunakan lambang 
dari bola matahari dan bulan.
i. Albergen,Geesteren, Volte, Dulder
• Lambang pada tympanon digambarkan 
berupa ikan (ichtus), kuda dan angsa, 
Roda matahari (ouwel), Bulan
j. Enter, Gemeente Wierden, Albergen
• Lambang pada tympanon digambarkan 
berupa lukisan palang salib, jangkar 
dan hati, yang disertakan mendampingi 
lambang-lambang masa kuno (kafir).
k. Limburg
• Pada tympanon terdapat tulisan I.H.S 
(In Hoc Signofinses), yang berarti “ 
dengan lambang ini kamu selalu 
menang”. Tanda ini kemudian terdapat 
di berbagai tempat dan terpencar di 
dunia.
• Di Limburg selatan terdapat palang 
salib putih dengan inisial BMC 
(Balthasar, Melchior, Casper) yang 
tertulis di atas pintu kandang kuda.
l. Zeeland, Utrecht (Belanda Selatan)
• Pada bagian tengah tidak terdapat 
hiasan yang karakteristik, hanya 
berupa bentuk ikal-ikal sederhana 
untuk pengisi hiasan tympanon yang 
berbentuk segitiga.
m. Rijnsburg
• Pada sudut-sudut pelipit atap (daklijst) 
dan saluran air (talang) kadang-kadang 
terdapat ornamen seperti gambar hati, 
bulatan-bulatan, bunga-bungaan, 
pohon hayat.
Pemerintah kolonial Belanda dalam 
masa penjajahan di Indonesia tidak 
selalu menggunakan langgam atau 
gaya Belanda, akan tetapi umumnya 
juga menggunakan langgam-langgam 
yang sedang digemari di Eropa.
• Perkembangan pramodern-modern 
muncul pada awal tahun 1890-1950 
setelah masa kejayaan Neoklasik mulai 
mengalami kemunduran. Ditemukannya 
kerangka baja kontruksi beton penguat 
dan teknis bervisi lingkungan.
• Perkembangan Arsitektur Modern di 
Belanda mempengaruhi pembangunan 
yang memakai bahan dasar dari alam 
yang dipasang dengan ketrampilan 
tangan yang tinggi dan memungkinkan 
dibuatnya berbagai ornamentasi yang 
indah namun tetap memperhatikan 
fungsinya 
• Amsterdam School Architecture 
menitikberatkan pada ‘orisinalitas dan 
alamiah’. Bangunan karya mereka 
berdasarkan pengolahan massa yang 
kompak dan plastis , bahan dasar dari 
alam, ornamentasi berdasarkan garis￾garis lengkung.
• De Stijl (The Style) lebih menyukai hasil 
industri yang terstandarisasi , dengan 
bentuk-bentuk dan komposisi geometri.
Ciri-ciri Rumah Kolonial di Heerenstraat
Tampilan Bangunan
• Bangunan satu lantai dengan 
ketinggian plafon 4 m.
• Menggunakan atap perisai dan pelana 
dengan sudut kemiringan 45°
• Tidak banyak menggunakan ornamen 
pada dinding rumah. Warna polos, 
biasanya dicat putih dan hitam (gelap).
• Permainan grid pada jendela.
• Terdapat Baluster dengan diberi batu￾batu kecil berwarna hitam.
Ruang Dalam
• Pada lantai terdapat beda warna tegel, 
yaitu hitam, abu-abu, dan kuning.
• Terdapat doorloop yang 
menghubungkan rumah induk dengan 
bagian dapur, KM, Gudang, kamar 
pembantu.
• Lubang udara berada 50 cm dari plafon
• Posisi ruang tamu lebih menjorok ke 
dalam terhadap ruang tidur depan.
• Penataan ruang tidur yang berderet 
dan saling terhubung satu sama lain.
Ruang Luar
• Terdapat halaman yang luas dengan 
pohon besar dan taman untuk bunga 
hias.
• Terdapat serambi sebagai tempat 
bersantai yang terdapat di bagian 
depan dan sebagian di bagian 
belakang rumah induk.
• Halaman samping untuk menjemur 
atau sebagai jalan menuju samping 
rumah, biasanya untuk jalan pembantu 
(jalur service).
Perbandingan Arsitektur Belanda Di Belanda Dan Di Pasuruan
Aspek Amsterdam School De Stijl Pasuruan
Kepala Kemiringan atap 45°
Atap datar
Kemiringan atap 
45°Atap Datar
Kemiringan atap 45°
Badan Perlihatkan Bata Tembok dicat Tembok dicat
Kaki Tanpa Baluster Tanpa Baluster Baluster
Ornamen Dekorasi pada 
bangunan & Struktur
Minim Ornamen Hampir tidak ada
Warna Memakai warna cerah Memakai warna cerah Hanya putih/polos
Tower Ada Tidak Tidak
Cerobong asap Ada Ada Tidak

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate