Tampilkan postingan dengan label uang Voc. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label uang Voc. Tampilkan semua postingan

uang Voc





Siapa yang mencetak uang kepeng di awal abad ke-19, kini diperdebatkan. 
Tujuan kajian untuk mengetahui siapa yang mencetak uang kepeng negeri 
Trumon sebagai salah satu instrumen administrasi kolonial awal abad ke-19. 
Kajian menggunakan metode studi literatur dengan cara mengumpulkan 
data uang kepeng dari kolektor; dan informasi litaratur dari referensi yang 
relevan. Selanjutnya dibahas menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan 
perbandingan. Hasil kajian menunjukkan otoritas dagang-partikelir Inggris 
mengadakan uang kepeng negeri Trumon melalui pabrik percetakan uang di 
Inggris. Pengadaan uang kepeng tersebut sebagai salah satu instrumen 
administrasi kolonial Inggris awal abad ke-19 yang bertujuan untuk meraih 
keuntungan perdagangan dan kemenangan persaingan menghadapi kolonial 
Hindia-Belanda, sehingga wilayah perdagangan baik di Sumatra maupun di 
kedua sisi selat Malaka dikuasainya untuk kepentingan negeri induk.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa umat manusia telah 
menggunakan uang sebagai alat tukar dalam transaki jual-beli sejak 
zaman dahulu kala. Hal ini dapat dipelajari lebih lanjut dengan 
bersumber kepada kitab suci al-Qur’an, surat Al-Kahfi, ayat 19 bagian 
akhir:
Artinya, “… Maka suruhlah salah seorang di antara kita pergi ke kota (ke 
pasar) dengan mata uang ini, buat membeli makanan, supaya ia melihat 
makanan, yang terlebih baik dan terus dibawanya kemari, …” (Tafsir Qur’an, 
Joenoes & Bakry, 1938). 
Berdasarkan kisah Ashabul Kahfi sebagaimana telah diterangkan 
dalam al-Qur’an, maka dapat dipetik pelajaran, antara lain: (1) mata 
uang telah ada sejak zaman dahulu; (2) kerajaan tertentu telah 
memproduksi mata uang, lebih dari 2000 tahun yang lalu; (3) mata 
uang diproduksi ke dalam bentuk kepingan; (4) kepingan mata uang 
dibuat dari logam, ada yang dari logam emas, contohnya dinar; dari 
perak, contohnya dirham; dan dari tembaga, contohnya fulus (uang 
receh atau kepeng); (5) mata uang dicetak dengan memberi tulisan, 
simbol kerajaan, tahun, dan nilai tertentu; (6) kerajaan merupakan 
otoritas yang mencetak dan memberlakukan mata uang; dan (7) mata 
uang digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi jual-beli di wilayah 
otoritas yang bersangkutan.
Uang dipelajari sebagai sebuah obyek studi ilmu pengetahuan. 
Dalam ilmu administrasi kajian uang sebagai instrumen administrasi 
untuk mencapai tujuan, diperkirakan merupakan sebuah kajian baru 
(novelty). Kajian uang sebagai instrumen administrasi dilakukan 
berdasarkan periode tertentu, yaitu masa lalu, dan/atau masa kini. 
Ada perdebatan mengenai siapakah pembuat uang kepeng 
negeri Trumon bertahun 1247 H. (1831/32 M.). Oleh karena itu, 
dilakukan kajian dengan merumuskan permasalahan ke dalam 
pertanyaan kajian. Siapa yang mencetak uang kepeng negeri Trumon, 
pemerintah kolonial atau kerajaan negeri Trumon? Tujuan kajian 
untuk mengetahui siapa yang mencetak uang kepeng negeri Trumon 
sebagai instrumen administrasi kolonial awal abad ke-19. 
Kajian uang kepeng negeri Trumon sebagai instrumen 
administrasi kolonial awal abad ke-19, merupakan sebuah kajian 
sejarah (zaman kolonial) termasuk numismatic (uang kuno); dan juga 
merupakan kajian administrasi. Jadi, kajian ini menggunakan 
pendekatan ilmu sejarah dan ilmu administrasi yang hasilnya 
diharapkan berguna untuk mengembangkan ilmu tersebut.
Menurut Siagian (1986), administrasi adalah keseluruhan proses 
kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas 
rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan 
sebelumnya. Sarjana administrasi dan manajemen dalam 
melaksanakan tugasnya perlu mengetahui sejarah. Manfaatnya untuk 
menarik pelajaran dan pengalaman masyarakat, bangsa dan 
pemerintahan yang lalu agar segi positif dapat lebih dikembangkan 
lagi dan segi negatifnya tidak terulang kembali. Jadi, sejarah 
mempunyai hubungan dengan ilmu administrasi.
Administrasi dilakukan melalui fungsi Planning, Organizing, 
Actuating & Controlling (POAC). Menurut Terry (Siagian, 1986), POAC
merupakan fungsi organik administrasi dan manajemen. Fungsi 
tersebut diterapkan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan 
berbagai sumberdaya yang tersedia yaitu Man, Money, Material, 
Machines, Method & Marketting (6-M). Dengan demikian, uang adalah 
salah satu instrumen administrasi untuk mencapai tujuan; dan 
instrumen administrasi adalah alat atau sarana yang digunakan oleh 
suatu pemerintahan dalam pelaksanaan kegiatan untuk mencapai 
tujuan.
Kajian uang kepeng Trumon sebagai instrumen administrasi 
kolonial awal abad ke-19, mempunyai relevansi dengan 2 (dua) kajian 
terdahulu, sebagai berikut: (1) Restiyadi & Nasoichah (2017) dalam 
kajian Praktik Kolonialisme dalam Eksistensi Uang Kebon pada 
Perkebunan Sumatera Timur Abad ke-19-20, menemukan makna uang 
kebon sebagai alat praktik hegemoni yang dilakukan oleh para tuan 
kebon terhadap kuli/pekerjanya. Kajian terdahulu tersebut, 
menunjukkan bahwa penguasa perkebunan Sumatera Timur Abad ke-
19-20 menggunakan uang kebon sebagai alat praktik hegemoni. 
Dengan kata lain, uang kebon dijadikan sebagai sebuah instrumen 
administrasi kolonial. 
Apabila dibandingkan kajian terdahulu tersebut dengan kajian 
ini maka dijumpai adanya persamaan dan perbedaan diantara 
keduanya. Persamaannya, kajian uang kebon yang terdahulu tersebut 
dan kajian uang kepeng sama-sama mengkaji instrumen administrasi.
Dalam hal ini, uang kebon sebagai salah satu instrumen administrasi 
kolonial Belanda di wilayah jajahannya; sedangkan uang kepeng 
diduga juga sebagai salah satu instrumen administrasi kolonial. 
Perbedaannya, terletak pada zaman kolonial yang dikaji. Kajian uang 
kebon menyoroti zaman kolonial di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20; sedangkan kajian uang kepeng menyoroti zaman kolonial awal 
abad ke-19. Jadi, masing-masing kajian tersebut mempunyai hubungan 
relevansi dan saling melengkapi. 
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam kajian ini menggunakan 
pendekatan ilmu administrasi dan ilmu sejarah. Hal ini dapat diamati 
dari cara pengumpulan dan analisis data menunjukkan adanya 
hubungan ilmu sejarah yang membahas masa lalu (zaman kolonial) 
termasuk numismatic (uang kuno) dengan ilmu administrasi, 
khususnya dalam membahas uang kepeng Trumon sebagai instrumen
administrasi kolonial.
Kajian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan studi 
pustaka, melalui pengumpulan data berupa contoh uang kepeng yang 
relevan dari kolektor atau dokumentasi yang dimiliki; dan informasi 
seputar permasalahan tersebut dengan membaca referensi yang 
relevan. Selanjutnya, dilakukan analisis deskriptif dan perbandingan 
terhadap data dan informasi yang diperoleh untuk menarik 
kesimpulan. Kajian dilaksanakan di kwartal pertama tahun 2021.
D. Pembahasan
Pada zaman dahulu, Trumon dikenal sebagai sebuah negeri 
yang strategis terletak diantara negeri-negeri lain yang wilayahnya 
berada di pesisir pantai barat-utara pulau Sumatra; dan juga di antara 
negeri-negeri lain yang wilayahnya berada di kedua sisi selat Malaka. 
Penulis asing jaman dahulu - diantaranya pejabat kolonial Inggris; dan 
kartografer - telah mengidentifikasi nama negeri Trumon. Mereka, 
antara lain: (a) Reynolds (1835) menyatakan, Trumon merupakan 
sebuah negeri kerajaan, dipimpin oleh Raja Bujang yang mempunyai
keinginan memperbesar wilayah dan meningkatkan kekuasaannya. 
Kerajaan memiliki dua sampai tiga kapal, dengan nakhoda, 
diantaranya orang Inggris, untuk menjangkau perdagangan jarak jauh 
ke negeri Madras (India) dan sekitarnya, guna menunjang 
perekonomiannya. 
Millies (1852) menyatakan, kerajaan Trumon memiliki 
pelabuhan yang dibangun sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal 
dari berbagai bangsa untuk tujuan perdagangan. Pelabuhan tersebut 
memiliki syahbandar bernama Teuku Lebeiddien. Hasil bumi negeri 
Trumon adalah lada (peper) dengan hasil mencapai 40.000 pikul per 
tahun. Hal ini membawa Trumon sebagai sebuah negeri penghasil lada 
dalam jumlah besar yang diperdagangkan antar bangsa sehingga 
negeri tersebut berkembang pesat dan menjadi terkenal.
Di samping itu, ia menyatakan bahwa nama negeri Trumon 
teridentifikasi dalam manuskrip kuno, sebagai berikut: (i) Buku 
Histoire generale des voyages, van Prevost (Vol. XII. P. 344, La Haye, 1755)
berisi lampiran peta memuat jejak nama: “Fouroumane”; (ii) Raffles
yang pernah menjabat sebagai Letnan Gubernur Inggris di Jawa (1811-
1816); dan Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu (1818-1824) - dalam 
buku memorinya (Memoir, p. 248) menyebutkan nama “Trumon”. 
Maka selanjutnya, nama itu disebut sebagai “Taroemon” atau 
“Teroemon”; dan (iii) Peta (kartografi) Von Derfelden De Hindersteyn 
mengidentifikasi nama seperti dalam ucapan bahasa Inggris: 
“Tarooman”. 
Herbert, Neele & Pinkerton (1818) sebagai kartografer telah 
mengidentifikasi letak geografis negeri Trumon (Turumon),
sebagaimana disajikan dalam sepotong gambar pulau Sumatra dan 
kedua sisi selat Malaka dalam peta Hindia-Timur (lihat tanda panah di 
gambar 1).
Pada saat sekarang, kata “Trumon” digunakan sebagai nama 3 
(tiga) wilayah kecamatan, sebagai berikut: Kecamatan Trumon; 
Kecamatan Trumon Timur; dan Kecamatan Trumon Tengah. Ketiga
kecamatan tersebut terletak di kabupaten Aceh Selatan, provinsi Aceh, 
Indonesia
1. Uang Kepeng Negeri Trumon
Pada awalnya, kajian ini menemukan sebuah mata uang kepeng 
negeri Trumon, yang digunakan sebagai obyek kajian. Gambar uang 
kepeng negeri Trumon (lihat gambar 2). 
Ciri-ciri fisik atau bentuk dan desain koin uang kepeng negeri 
Trumon: Koin terbuat dari logam tembaga. Pada sisi depan koin (lihat 
gambar 2) tertera tulisan Arab-Melayu sebagai suatu ciri khas, bila 
ditransliterasi ke tulisan Latin menjadi “negeri Trumon”. Sedangkan 
sisi belakang, transliterasi baris atasnya, angka 2; transliterasi baris 
tengah, “dua kepeng” sebagai nilai nominalnya; dan transliterasi baris 
bawah, 1247 menunjukkan tahun Hijriah, yang artinya sama dengan 
tahun 1831/32 Masehi. 
Penggunaan tulisan Arab-Melayu seperti tertera dalam uang 
koin tersebut diperkirakan merupakan langkah adaptasi yang 
dilakukan oleh otoritas Inggris untuk menarik minat penduduk lokal 
sehingga dapat diterima dan digunakan dengan mudah sebagai alat 
tukar dalam perdagangan di negeri-negeri baik yang berada di wilayah 
Sumatra maupun di kedua sisi selat Malaka, karena kebanyakan 
diantara penduduk negeri di wilayah tersebut menggunakan bahasa 
Melayu dan baca tulis Arab-Melayu. 
Bentuk uang kepeng Trumon yang sedemikian rupa telah 
menimbulkan perdebatan tentang siapa yang mengadakan uang 
kepeng Trumon di awal abad ke-19 tersebut. Perdebatan tersebut 
memunculkan berbagai pendapat. Satu pendapat mengatakan, bahwa 
otoritas kerajaan negeri Trumon yang mengeluarkan uang kepeng 
tersebut karena memang pada sisi depan koin uang kepeng tersebut 

tertera tulisan Arab-Melayu yang bila ditransliterasikan kedalam 
tulisan latin menjadi “negeri Trumon”.
Sebaliknya, pendapat lain mengatakan, pemerintahan kolonial 
yang mencetak uang kepeng tersebut karena pada masa itu adalah 
masa penjajahan, dimana negeri Trumon termasuk negeri-negeri di 
Sumatra yang diperebutkan oleh Inggris dan Belanda untuk dapat 
dijadikan sebagai wilayah jajahan diantara mereka. Oleh karena itu, 
untuk mengetahui siapa yang mengadakan uang kepeng negeri 
Trumon tersebut; dan menggunakan uang kepeng Trumon sebagai 
instrumen kolonial awal abad ke-19, maka dilakukan analisis uang 
kepeng Trumon menurut variabel-indikator otoritas, tujuan dan 
standar nilai mata uang (kurs)-nya.
2. Uang Kepeng Negeri Trumon: Otoritas, Tujuan, Alat Tukar, dan 
Standar Nilai Tukar Mata Uang (kurs). 
Data mengenai variabel-indikator yang dikumpulkan ternyata 
menunjukkan adanya kontroversi otoritas, tujuan, nilai tukar dan kurs 
uang kepeng negeri Trumon, lihat tabel 1.
Tabel 1
Kontroversi Otoritas, Tujuan, Nilai Tukar dan Kurs Uang Kepeng 
Trumon
Nama Otoritas Tujuan Alat Tukar Kurs
Uang 
Kepeng 
Negeri 
Trumon 
Versi 1:
-Partikelir-Dagang
 Inggris;
-Pabrik cetak uang 
Inggris/ Soho,
Birmingham
Inggris meng￾adakan uang 
kepeng untuk 
Sumatra.
Uang kepeng alat 
tukar perdagang￾an di Sumatra 
dan kedua sisi 
Selat Malaka
2 kepeng = 
½ sen

Versi 2:
-Kerajaan Trumon; 
-Bangunan-pabrik 
cetak uang di Kuala 
Batee
Kerajaan men￾cetak uang 
kepeng untuk 
Perdagangan
Uang kepeng alat 
tukar dalam 
perdagangan di 
Trumon
2 kupang =
1 ringgit

Kontroversi otoritas, tujuan, nilai tukar dan kurs uang kepeng negeri 
Trumon, sebagai berikut:
(a) otoritas. 
Ada 2 (dua) versi data tentang otoritas pengadaan uang kepeng 
(lihat tabel 1), pertama, uang kepeng negeri Trumon dibuat oleh otoritas 
Inggris. Menurut Netscher, E. & Chijs, J.A.V.D. (1863) uang kepeng 
tersebut masuk ke dalam kelompok uang kepeng yang dicetak untuk 
Sumatra oleh otoritas Engelsche Particulieren (Inggris: English Merchant) 
yang selanjutnya disebut otoritas dagang-partikelir Inggris pada awal 
abad ke-19. 
Sebelumnya, telah dicetak pula sekelompok uang kepeng untuk 
Sumatra oleh otoritas Engelsche Oost-Indische Compagnie (Inggris: the 
British East-India Company) yang selanjutnya disebut otoritas Kongsi 
Dagang Hindia-Timur Inggris atau kompeni Inggris (Zainuddin, H.M., 
1961) pada akhir abad ke-18. Otoritas tersebut mengadakan uang 
kepeng dalam jenis dan jumlah yang banyak untuk memenuhi 
kebutuhan di Sumatra (Veth, P.J., 1882), pada koin kepeng tersebut 
tertera nama-nama negeri tertentu di Sumatra, sehingga ada uang
kepeng negeri Trumon, negeri Aceh.Menurut Howorth (1890), walaupun pada uang koin itu tertera 
nama-nama negeri negeri tertentu baik di Sumatra maupun di kedua 
sisi selat Malaka - negeri Trumon tidak tergolong dalam jajahan Inggris 
- namun uang kepeng negeri itu disebutkan disini karena asal (buatan) 
Inggris. Dengan kata lain, meskipun tertera nama negeri Trumon pada 
koin, namun bentuk dan desainnya menunjukkan koin itu dibuat oleh 
pabrik Inggris, dimana terdapat pabrik percetakan uang Soho, 
Birmingham (Millies, 1852). Namun, bahwasanya uang kepeng 
Trumon dicetak di pabrik Soho, Birmingham, masih perlu dikaji. 
Versi kedua uang kepeng negeri Trumon dibuat oleh kerajaan 
negeri yang bersangkutan. Uang kepeng tersebut dicetak di bangunan 
(pabrik) di dalam benteng Kuta Bate, Trumon. Hal ini sebagaimana 
pendapat Muchsin (2019), dalam bukunya berjudul “Trumon Sebagai 
Kerajaan Berdaulat dan Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda di 
Barat-Selatan Aceh” yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan 
Pariwisata Aceh, Banda Aceh. Pendapat demikian dapat terjadi, 
karena tulisan sisi depan koin “negeri Trumon”, maka otoritas kerajaan 
negeri tersebut yang dianggap membuat uang kepeng.
Jadi, terdapat kontroversi otoritas yang mengadakan uang 
kepeng Trumon. Kontroversi tersebut, bisa dijembatani dengan 
menggunakan pendapat Zainuddin (1961), bahwa dahulu di Aceh 
beredar uang yang dikeluarkan kompeni Inggris buat Sumatra kepeng 
namanya, berupa mata uang seharga 2 kepeng yang bertulisan negeri 
Trumon, negeri Aceh terbuat di negeri Inggris yang disuruh buat oleh 
Raja Bujang Trumon. 
Berdasarkan kedua versi tersebut, argumentasi versi pertama 
lebih meyakinkan dari pada versi kedua, karena sumber data 
menunjukkan otoritas Inggris telah mengadakan berbagai mata uang 
kepeng untuk Sumatra yang bentuk dan desainnya sama, dalam 
jumlah dan jenis yang banyak, sehingga uang kepeng tersebut dapat 
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu uang kepeng yang 
dikeluarkan oleh otoritas kongsi-dagang Inggris pada akhir abad-18; 
dan uang kepeng yang dikeluarkan oleh otoritas dagang-partikelir 
Inggris pada awal abad ke-19. Uang kepeng tersebut dicetak melalui 
pabrik percetakan uang di Inggris sehingga memiliki bentuk dan 
desain yang sama. Dengan demikian, kajian ini berpendapat bahwa 
uang kepeng negeri Trumon dikeluarkan oleh otoritas dagang￾partikelir Inggris; melalui pabrik percetakan uang di Inggris yang 
mencetak berbagai mata uang kepeng dengan bentuk dan desain yang 
sama untuk Sumatra. 
Perlu dicatat, koin uang kepeng yang dikeluarkan oleh otoritas 
Inggris tersebut menggunakan tulisan Arab-Melayu sebagai sebuah 
bentuk adapatasi sedemikian rupa untuk menarik penduduk lokal 
sehingga ia familier menggunakannya sebagai alat tukar dalam 
perdagangan di negeri-negeri baik yang berada di wilayah Sumatra 
maupun di kedua sisi selat Malaka, karena kebanyakan diantara 
penduduk negeri-negeri di wilayah tersebut menggunakan bahasa 
Melayu dan baca tulis Arab-Melayu. 
Di samping itu, uang koin Trumon menggunakan nilai 
“kepeng”. Nilai uang tersebut tidak hanya tertera pada uang koin 
Trumon, tapi juga digunakan pada uang koin negeri-negeri baik di 
wilayah Sumatra maupun di kedua sisi selat Malaka. Dengan 
demikian, hal ini menjadi petunjuk bahwa yang mencetak uang koin 
tersebut adalah pabrik percetakan uang Inggris. 
(b) Tujuan
Ada 2 (dua) versi data mengenai tujuan pengadaan uang kepeng 
(lihat tabel 1), pertama, tujuan pengadaan uang kepeng oleh otoritas 
kongsi-dagang Inggris yang selanjutnya diteruskan oleh otoritas 
dagang-partikelir Inggris melalui pabrik percetakan Inggris dalam 
bentuk uang kepeng untuk sirkulasi Sumatra, salah satu diantaranya 
berupa uang kepeng negeri Trumon (Netsche & Chijs, 1863). Di 
samping itu, pengadaan uang kepeng dilakukan dalam berbagai jenis 
dan jumlah yang besar untuk meraih keuntungan perdagangan dan 
kemenangan dalam persaingan, dimana Inggris menghadapi Belanda 
untuk menguasai perdagangan di kedua sisi selat Malaka (The Coin 
Collectors Journal, 1884). 
Versi Kedua, Muchsin (2019) mengatakan, tujuan kerajaan negeri 
Trumon mengadakan uang kepeng tersebut untuk kegiatan 
perdagangan dan perekonomian. Alasannya, negeri Trumon adalah 
penghasil lada dalam jumlah besar yang diperdagangkan antar bangsa 
sehingga dibutuhkan pengadaan uang kepeng sebagai alat tukar dalam 
perdagangan tersebut. 
Berdasarkan kedua versi tersebut, data versi pertama lebih 
meyakinkan daripada versi kedua, sebab bukti dan sumber data yang 
ada menunjukkan bahwa bentuk koin uang tersebut dicetak dengan 
desain pabrik percetakan uang Inggris (Howorth, 1890) karena 
diantara koin uang kepeng tersebut memiliki ciri-ciri yang sama, 
menggunakan huruf Arab-Melayu serta mencantumkan nama-nama 
negeri tertentu di Sumatra antara lain negeri Aceh dan negeri Trumon. 
Dengan demikian, kajian ini berpendapat bahwa uang kepeng negeri 
Trumon diadakan oleh otoritas partikelir-dagang Inggris melalui 
pabrik pabrik percetakan uang di Inggris. 
(c) Alat Tukar
Ada 2 (dua) versi data tentang penggunaan uang kepeng 
sebagai alat tukar, Pertama; uang kepeng digunakan sebagai alat tukar
dalam perdagangan di Sumatra (Netscher & Chijs, 1863). Di samping 
itu, menurut The Coin Collectors Journal (1884), uang kepeng digunakan 
sebagai alat tukar dalam perdagangan di kedua sisi Selat Malaka. Versi 
kedua yaitu uang kepeng digunakan sebagai alat tukar dalam 
perdagangan di negeri Trumon (Muchsin, 2019). 
Data tersebut menunjukkan, otoritas dagang-partikelir Inggris 
membutuhkan pengadaan alat tukar berupa uang dalam perdagangan 
untuk sirkulasi baik di wilayah Sumatra maupun di kedua sisi selat 
Malaka, sehingga otoritas mengadakan uang kepeng sebagai alat tukar 
dalam perdagangan di wilayah tersebut antara lain berupa uang 
kepeng negeri Trumon. 
(d) Nilai Mata Uang (kurs)
Ada 2 (dua) versi data mengenai kurs uang kepeng (lihat tabel 
1), pertama; standar nilai tukar mata uang (kurs) 2 kepeng = ½ sen dan 
1 kepeng = ¼ sen (Howorth, 1890). Versi kedua yaitu kurs 2 (dua) 
kupang = 1 (satu) ringgit (Muchsin, 2019). Sehubungan versi pertama 
menggunakan istilah “kepeng”; sedangkan versi kedua tidak 
menggunakan istilah “kepeng” melainkan “kupang” maka kajian ini 
berpendapat sesuai versi pertama, bahwa kurs mata uang 1 kepeng = ¼ 
sen; dan 2 kepeng = ½ sen. 
Keberadaan nilai mata uang kepeng tersebut menunjukkan 
bahwa otoritas melakukan pengawasan kurs mata uang untuk meraih keuntungan dalam perdagangan baik di wilayah Sumatra maupun di 
kedua sisi selat Malaka. Hal ini mengindikasikan, uang kepeng negeri 
Trumon digunakan sebagai salah satu instrumen administrasi kolonial 
awal abad ke-19 untuk kepentingan negeri induknya.
Pengadaan uang kepeng Trumon oleh otoritas Inggris bertujuan 
untuk meraih keuntungan perdagangan dan kemenangan dalam 
persaingan menghadapi pemerintah kolonial Hindia-Belanda; dan 
untuk menguasai perekonomian dan negeri-negeri di wilayah 
Sumatra. Sumatra merupakan pulau terbesar yang kaya dengan 
sumberdaya alam dengan hasil bumi antara lain rempah-rempah –
lada; dan terletak di posisi yang strategis yaitu di sisi barat selat Malaka 
yang merupakan pintu keluar-masuk kapal-kapal diantaranya kapal 
dagang dari Barat (Eropa) ke Timur (Asia) dengan tujuan melakukan 
perdagangan – jual-beli rempah-rempah; sehingga Sumatra menjadi 
rebutan Inggris dan Belanda. Inggris menamai Sumatra dengan East￾Indie; sedangkan Belanda menamainya dengan Nederlandsche-Indie. 
Dengan demikian, kedua belah pihak tersebut saling bersaing satu 
sama lain dengan tujuan untuk menguasai dan menjajah negeri-negeri 
di wilayah Sumatra bahkan juga negeri-negeri di kedua sisi selat 
Malaka, dengan melakukan cara-cara kolonial dagang, uang dan 
perang (3-Ang).
Strategi 3-Ang diterapkan oleh pihak kolonial dengan tujuan 
untuk menjajah suatu wilayah negeri sehingga dikuasainya, Cara-cara 
tersebut dilakukan oleh mereka dalam 3 (tiga) tahapan. Tahapan 
pertama, dagang. Dalam tahapan ini mereka melakukan perdagangan 
dengan negeri tertentu sementara waktu dengan tujuan untuk 
dikuasainya. Tahap kedua, uang. Dalam tahapan ini mereka 
mengadakan uang yang diedarkan di negeri tertentu guna menunjang 
perdagangan dengan tujuan untuk menguasai negeri tersebut. Tahap 
ketiga, yaitu perang. Dalam tahapan ini, apabila suatu negeri tidak 
dapat ditaklukkan oleh mereka dalam tahapan sebelumnya, maka 
akhirnya mereka mengadakan perang dengan untuk menguasai negeri 
tersebut sehingga menjadi sebuah negeri jajahannya.
Berkaitan dengan strategi uang sebagai bagian dari strategi 3-
Ang, pihak kolonial baik Belanda maupun Inggris bersaing satu sama 
lain dalam pengadaan uang dengan melakukan cara dan pola yang 
sama, yaitu mencetak dan mengedarkan uang dalam berbagai jenis dan 
jumlah yang banyak sebagai modal untuk pencapaian tujuan
menguasai negeri tertentu. Dalam hal ini, mereka sebenarnya saling 
melancarkan perang dingin satu sama lain untuk menguasai negeri 
tertentu sehingga berhasil dijadikan sebagai wilayah jajahannya.
Di satu pihak, Inggris mencetak koin uang “kepeng” untuk 
Sumatra yang dinamakan - dicetak dengan mencantumkan nama 
negeri tertentu di Sumatra; salah satu diantaranya negeri Trumon, 
sehingga koin tersebut dikenal sebagai uang kepeng negeri Trumon
dengan nilai 2 kepeng (lihat gambar 2). 
Di lain pihak, Belanda pun tidak tinggal diam, melainkan 
mencetak uang “Stuiver” untuk Sumatra dalam berbagai pecahan nilai 
mata uang yaitu ½, ¼ dan 1/8. Salah satu diantaranya uang pecahan ¼
Stuiver (lihat gambar 3).
Ciri-ciri fisik atau bentuk dan desain koin uang Stuiver: Koin 
terbuat dari logam tembaga. Pada sisi depan koin, terdapat 5 barisan
tanda, berturut-turut dari atas ke bawah: (1) bintang, (2) Nederl; dan 
(3) Indie, apabila ke dua kata tersebut disambungkan menjadi 
“Nederlandsch Indie” (Hindia-Belanda); (4) tahun cetakan tertera 1826 
(Masehi); dan (5) huruf “S” (inisial dari Suermondt) nama pabrik uang 
di Utrecht, Belanda. Pada sisi belakang koin di bagian tengahnya, 
tertera lambang mahkota di atas perisai kerajaan Hindia-Belanda; di 
sisi kirinya tertera: angka pecahan (½, ¼ dan 1/8) sebagai nilai uang; 
dan sisi kanannya tertera singkatan nama mata uang yaitu “St.” 
(Stuiver). 
Diperkirakan, nilai uang pecahan terkecil yaitu 1/8 Stuiver 
setara dengan uang kepeng Trumon yang bernilai 2 kepeng. Alasan 
uang Stuiver setara dengan uang Kepeng, sebagai berikut: (1) terbuat 
dari logam tembaga; (2) sirkulasi dilakukan pada waktu dan tempat 
yang sama yaitu di wilayah Sumatra yang merupakan koloni Hindia￾Belanda. Hal tersebut menunjukkan adanya persaingan diantara 
kedua belah pihak dengan cara menjadikan uang sebagai instrumen 
administrasi kolonial pada awal abad ke-19, untuk menguasai 
perekonomian dan negeri-neri baik di wilayah Sumatra maupun di 
kedua sisi selat Malaka sehingga menjadi wilayah jajahannya.
Perbandingan uang kepeng (yang dibuat di Inggris) dan uang 
Stuiver (yang dibuat di Belanda) menunjukkan bahwa kongsi dagang 
Hindia-Timur Inggris dan pemerintah Hindia-Belanda melakukan 
pola yang sama dalam hal pengadaan uang. Mereka mengadakan uang
sebagai alat tukar dalam perdagangan dengan cara mencetak, 
mengedarkan dan menggunakan uang dalam berbagai jenis dan
jumlah serta waktu dan tempat yang sama untuk disirkulasikan baik 
di wilayah Sumatra maupun di kedua sisi selat Malaka untuk 
kepentingan negeri induknya .
Pengadaan uang Stuiver oleh kolonial Belanda berdasarkan
analisis variabel-indikator, sebagai berikut: (1) Otoritas pengadaan 
uang Stuiver adalah pemerintah Hindia-Belanda di bawah kerajaan 
Belanda yaitu Raja Williem I yang memerintah tahun 1813-1840. Pada 
sisi depan koin, tercantum nama otoritas uang Stuiver adalah Nederl 
Indie (Hindia-Belanda). Otoritas tersebut mengadakan uang Stuiver 
untuk Sumatra (Hindia-Belanda) dalam 3 (tiga) ukuran: ½, ¼ dan 1/8 
Stuiver melalui pabrik percetakan uang Suermondt, Utrecht tahun 1826
(Stephanik, J.W., 1888). (2) Tujuan pengadaan uang Stuiver untuk 
menutupi kebutuhan modal perdagangan bagi pemerintahan Hindia￾Belanda; (3) Penggunaan uang Stuiver sebagai alat tukar di wilayah 
Sumatra (Hindia-Belanda) yang menjadi koloninya; dan (4) Standar 
nilai uang (kurs) 1 Stuiver = 4 Doit; 30 Stuiver = 120 Doit = 1 Gulden
(Netscher, & Chijs, 1863).
Dampak penggunaan uang kepeng negeri Trumon sebagai alat 
tukar dalam transaksi perdagangan – jual-beli yang dilakukan oleh 
pihak kerajaan itu sendiri tentunya tidak menguntungkan, sebab 
otoritas dan nilai uang kepeng negeri Trumon tidak jelas dalam 
perdagangan. Otoritas pengadaan uang kepeng negeri Trumon 
ternyata bukanlah kerajaan negeri Trumon. Nilai uang kepeng negeri 
Trumon tidak jelas karena hanya tersedia 1 (satu) jenis koin uang 
Trumon bernilai dua kepeng yang terbuat dari logam tembaga 
sehingga nilainya rendah. 
Di lain pihak, kondisi tersebut berdampak juga terhadap 
penduduk lokal, mereka tidak tertarik menggunakan uang kepeng 
tersebut sebagai alat tukar dalam perdagangan dan jual-beli. Lain 
halnya jika dibandingkan dengan uang Stuiver, mereka lebih tertarik 
menggunakan uang Stuiver karena memiliki otoritas yang jelas 
(Nederl. Indie) sehingga memiliki nilai tukar yang lebih tinggi 
daripada uang kepeng meskipun keduanya sama-sama terbuat dari 
logam tembaga. 
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tulisan Nederl-Indie 
yang menunjukkan otoritas uang Stuiver yaitu pemerintah kolonial 
Hindia-Belanda. Sedangkan pada uang kepeng dengan adanya tulisan 
negeri Trumon ternyata tidak demikian.Artinya kerajaan negeri 
Trumon bukan sebagai otoritasnya, karena ternyata uang kepeng 
tersebut dikeluarkan oleh otoritas dagang-partikelir Inggris yang 
justru tidak mencantumkan namanya dalam koin uang kepeng
tersebut. 
Selain itu, mengenai standar nilai tukar (kurs), diketahui bahwa 
kurs Stuiver dengan gulden yaitu 1 Gulden = 30 Stuiver. Sedangkan 
kurs mata uang kepeng dengan gulden jauh lebih rendah, yaitu 1 
Gulden = 400 Kepeng (1 Kepeng = ¼ Sen; dan 100 Sen = 1 Gulden). Jadi 
kurs mata uang Stuiver lebih tinggi dibandingkan dengan mata uang 
kepeng.
Berdasarkan indikator otoritas, tujuan, alat tukar dan nilai tukar 
(kurs) yang diturunkan dari fungsi administrasi yang meliputi 
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan
(POAC), yang dilanjutkan dengan analisis perbandingan uang kepeng 
negeri Trumon dan uang Stuiver, maka diketahui bahwa pengadaan 
uang kepeng negeri Trumon bukan sekedar sebagai alat tukar dalam 
perdagangan; melainkan sebagai salah satu instrumen administrasi 
kolonial Inggris antara lain dengan dilakukannya pengawasan nilai 
tukar mata uang (kurs)-nya untuk meraih keuntungan dalam 
perdagangan dan kemenangan dalam persaingan menghadapi 
pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Dengan kata lain, Inggris 
mempunyai tujuan untuk menjadikan wilayah Sumatra dan selat 
Malaka sebagai koloninya melalui pengadaan uang kepeng sebagai 
instrumen administrasi kolonial pada awal abad ke-19. Dengan 
demikian, perekonomian dan negeri-negeri baik di wilayah Sumatra 
maupun di kedua sisi Selat Malaka dapat dikuasainya untuk 
kepentingan negeri induknya.






Sejarah pakaian saat ini mulai diminati. Hal itu disebabkan oleh munculnya 
trend baru penggunaan masker karena terjadinya pandemik global yang 
masih berlangsung hingga kini yaitu Covid-19. Untuk menelusuri 
perkembangan pakaian di Indonesia pada masa lalu tentu diperlukan 
pengkajian kepustakaan atau bibliografi. Tentu saja, pada masa lalu sudah 
terdapat publikasi-publikasi yang diterbitkan terkait perkembangan 
pakaian seperti buku, jurnal, majalah, surat kabar yang dapat diakses untuk 
digunakan dalam merekonstruksi sejarah pakaian. Diawali dengan 
memaparkan konteks sejarah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, 
maka tujuan penelitian ini yaitu menginventarisasi dan mengidentifikasi 
sumber-sumber informasi terakait sejarah pakaian. Adapun metode yang 
digunakan adalah metode sejarah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 
sumber-sumber terkait sejarah pakaian sangat banyak dan beragam. Oleh 
karenanya harus dimanfaatkan dengan baik dan efektif sehingga dinamika 
yang terjadi dalam bidang sejarah budaya terlihat lebih lengkap dan 
komprehensif. Selain itu pula, diharapkan penelitian menganai bibliografi 
sejarah pakaian dapat membantu para peneliti khususnya peneliti sejarah
yang tertarik mengkaji sejarah pakaian di Indonesia.�Pakaian merupakan pelindung tubuh, lebih 
dari itu, pakaian juga dapat menunjukkan 
identitas seseorang atau sekelompok individu. 
Misalnya, jika seorang individu menggunakan jas 
atau blazer, kemeja, dan celana pantalon, maka 
otomatis orang berpikir bahwa individu tersebut 
bekerja kantoran. Contoh lainnya adalah jilbab 
yang identic dengan muslimah. Jilbab menjadi 
penanda identitas bahwa perempuan tersebut 
beragama Islam.
Pada masa pandemik Covid-19 dimana 
pemerintah menyosialisasikan penggunaan 
masker sebagai satu di antara beberapa cara 
pencegahan penularan virus korona, menjadikan 
masker sebagai trend baru dalam gaya 
berpakaian. Sebelum pandemik, masker hanya 
dikenal dalam dunia medis yang dinamakan 
masker medis penggunanya pun kalangan 
terbatas yaitu mereka yang bergerak dalam 
bidang kesehatan seperti dokter, perawat, dan 
tenaga kesehatan lainnya, selain itu juga, masker 
hanya digunakan oleh para pengendara sepeda 
motor untuk melindungi mereka dari bahaya 
polusi udara.
Pada masa pandemik Covid-19 hingga kini. 
Muncul beragam jenis masker dengan berbagai 
motif dan bahan. Selain itu pula muncul inovasi 
aksesoris pelengkap masker seperti connectori
dan strap mask. Berangkat dari fenomena 
kekinian tersebut menurut hemat penulis 
pakaian menjadi unsur yang penting dan perlu 
dikaji lebih dalam. Pun ketika pada masa lalu saat 
Indonesia masih dalam penguasaan Pemerintah 
Hindia Belanda, bagaimana pengaruh 
perempuan Eropa di Hindia Belanda 
memengaruhi pemikiran perempuan bumiputra 
yang terikat kuat oleh budaya patriarki yang 
membatasi ruang gerak mereka. Paradigma 
bahwa perempuan hanya mengurus urusan 
dapur, sumur, dan kasur sangat melekat kuat 
sehingga para perempuan bumiputra pada masa 
tunduk dan patuh pada sistem patriarki.
Tulisan ini merupakan ulasan ilmiah yang 
memfokuskan pada penjelasan tentang sumber￾sumber terkait sejarah pakaian. Menurut hemat 
penulis, kajian terdahulu yang secara khusus 
membahas sumber-sumber tentang sejarah 
pakaian belum ada. Jikalaupun ada, dalam bentuk 
katalog yang biasanya ditemui di perpustakaan￾perpustakaan daerah seperti Perpustakaan 
Provinsi Jawa Barat dan perpustakaan negara 
seperti Perpustkaan Nasional Republik 
Indonesia, serta perpustakaan lembaga negara 
seperti Arsip Nasional Republik Indonesia.
Tulisan yang membahas tentang bibliografi 
sumber-sumber sejarah penulis temukan melalui 
situs internet dari Jurnal Paramita Vol. 22 No. 2, 
Juli 2012. Artikel tersebut berjudul “Bibliografi 
Sejarah Kesehatan Pada Masa Hindia Belanda” 
karya Mumuh Muhsin Zakaria. Dalam artikel 
tersebut dipaparkan mengenai publikasi￾publikasi yang terbit pada masa kolonial baik 
berupa buku, jurnal, surat kabar yang dapat 
diakses untuk mengetahui dan merekonstruksi 
Sejarah Kesehatan di Nusantara. Sementara itu 
karya lainnya memfokuskan pada sejarah 
pakaian pada suatu masa tertentu yang justru 
bukan menjadi objek pembahasan dalam artikel 
ini.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis 
dapatlah dikatakan bahwa artikel berjudul 
“Bibliografi Sejarah Pakaian di Indonesia pada 
Masa Hindia Belanda” ini merupakan artikel 
pertama yang membahas mengenai sumber￾sumber terkait sejarah pakaian pada Masa Hindia 
Belanda.
Alasan penulis mengangkat judul tersebut 
yaitu untuk memberikan informasi kepada 
pembaca baik yang memiliki latar belakang 
Pendidikan Sejarah seperti mahasiswa sejarah 
dari berbagai jenjang pendidikan, guru dan 
dosen maupun masyarakat yang tidak memiliki 
latar belakang pendidikan sejarah seperti 
pemerhati, pegiat, dan penulis buku atau novel 
sejarah. Selain itu, pakaian merupakan tema yang 
menarik karena memiliki perjalanan sejarah 
yang relative panjang dan menyentuh relasi 
gender antara laki-laki dan perempuan. Fokus 
pembahasan dalam artikel ini yaitu sumber￾sumber baik primer maupun sekunder tentang 
sejarah pakaian.
Dengan demikian, tujuan penelitian ini yaitu 
menginventarisasi dan mengidentifikasi sumber￾sumber informasi terkait sejarah pakaian. 
Adapun landasan konsep yang digunakan yaitu 
konsep identifikasi dan inventarisasi. Menurut 
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 538 & 
562), identifikasi adalah perbuatan menetapkan 
identitas seseorang, benda, dan sebagainya. 
Sementara itu inventarisasi adalah pencatatan 
atau pengumpulan data.
Dalam kaitannya dengan artikel ini, penulis 
mengidentifikasi sumber-sumber sekunder 
seperti jurnal ilmiah dan buku yang diakses 
melalui internet. Setidaknya terdapat satu judul 
buku yang penulis identifikasi dan penulis 
jadikan sebagai referensi utama dalam penulisan 
artikel ini yaitu buku berjudul “Outward 
Appearance; Trends, Identitas, dan Kepentingan.” 
Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan dari �beberapa penulis yang memiliki ketertarikan 
dalam hal peran dan arti pakaian dalam 
pergaulan sosial. Buku tersebut ditulis oleh 11 
penulis dengan judul yang berbeda-beda dan 
dieditori oleh Henk Schulte Nordholt. Namun, 
dari 11 judul dalam buku tersebut, hanya tiga 
tulisan yang penulis ulas dalam artikel ini karena 
aspek temporal dalam tiga tulisan tersebut 
sesuai dengan pembahasan artikel ini yaitu pada 
masa Pemerintahan Hindia Belanda. Selain buku 
kumpulan tulisan tersebut, penulis juga 
mengulas tentang sumber primer seperti buku, 
arsip, surat kabar, dan majalah yang diterbitkan 
pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menyusun 
artikel ini adalah metode studi pustaka seperti 
buku dan jurnal tercetak serta sumber pustaka 
yang diperoleh secara online seperti e-journal, e￾book, dan e-archive.
Penyusunan artikel ini dilakukan melalui 
tiga tahap, pertama mencari judul artikel. Kedua, 
melakukan penelusuran sumber secara offline 
dan online. Ketiga, penyusunan naskah. Dalam 
proses mencari judul artikel, penulis melakukan 
studi pustaka secara offline di perpustkaan 
pribadi penulis karena penulis memiliki minat 
pada bidang sejarah khususnya sejarah pakaian. 
Selain itu, tema tentang budaya material 
khususnya pakaian sedang diminati terutama 
ketika masa pandemik terjadi, hingga kini inovasi 
dalam bidang pakaian semakin berkembang 
dengan adanya penggunaan masker sebagai satu 
di antara cara pencegahan penularan virus 
Covid-19. Maka, tercetuslah judul artikel 
“Bibliografi Sejarah Pakaian di Indonesia pada 
Masa Pemerintahan Hindia Belanda.”
Penelusuran sumber mula-mula dilakukan 
secara offline dengan memanfaatkan koleksi 
kepustakaan milik pribadi penulis. Selanjutnya, 
penulis melakukan penelusuran secara online
dengan memanfaatkan situs 
www.perpustakaan.go.id, 
https://sinta.kemendikbud.go.ig/ dan 
https://www.delpher.nl/. Ketiga situs tersebut 
merupakan situs milik lembaga negara yang 
kredibel. Adapun tahap ketiga yaitu penyusunan 
naskah berjudul “Bibliografi Sejarah Pakaian di 
Indonesia pada Masa Pemerintahan Hindia 
Belanda.”
Selain sumber-sumber kepustkaan 
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, 
penulis juga menyinggung beberapa sumber 
seperti surat kabar dan majalah yang menjadi 
koleksi Perpustakaan Nasional Republik 
Indonesia yang terbit pada masa Pemerintahan 
Hindia Belanda dan dapat digunakan sebagai 
sumber primer bagi penulisan sejarah pakaian.
Hasil dan Pembahasan
Indonesia pada Masa Pemerintahan Hindia 
Belanda
Setelah VOC resmi dibubarkan pada 1799, 
Hindia Belanda mengalami masa transisi. 
Penguasaan terhadap Hindia Belanda berpindah 
ke tangan Pemerintah Belanda. Peristiwa penting 
berkait dengan kedudukan bupati dan sejarah 
pakaian adalah pada masa Herman Willem 
Daendels menjadi Gubernur Jenderal yang 
memerintah dari tahun 1808-1811. Daendels 
secara drastic menurunkan kedudukan bupati. 
Bupati ditempatkan sebagai pegawai pemerintah 
yang digaji dan berada di bawah perinta prefek. 
Hal ini mempengaruhi gelar bupati, baik gelar 
kebangsawanan maupun gelar jabatan 
(Hardjasaputra, 1985: 42).
Kemudian, pada masa Raffpes (1810-1811), 
bupati menjabat sebagai polisi yang mengawasi 
keamanan daerahnya. Hal ini juga tentunya 
disimbolkan dalam pangkat yang digunakan. 
Barulah pada masa Van der Capellen, kedudukan 
bupati perlahan-lahan dinaikkan kembali. Bupati 
diberi tanda kepangkatan. Seiring dengan 
berjalannya waktu, prinsip pewarisan jabatan 
diteguhkan kembali dan bupati diberi tanda jasa 
oleh Pemerintah Hindia Belanda bagi mereka 
yang memiliki hubungan kerja sama yang baik 
dengan pemerintah (Hardjasaputra, 1985: 49).
Pada abad ke-19 pakaian dan kekuasaan 
sangat erat kaitannya. Oleh karenanya, dalam 
tulisan ini, penulis mengungkapkan bahwa posisi 
bupati sebagai pegawai pemerintah dan 
pemimpin tradisional disimbolkan dalam 
pakaian yang digunakan oleh mereka, pakaian 
yang digunakan bupati mencakup atribut yang 
melambangkan gelar kebangsawanan dan gelar 
jabatan yang dimilikinya. Seiring dengan 
perubahan sistem politik dalam struktur 
Pemerintah Hindia Belanda pun memengaruhi 
posisi dan kedudukan bupati. Hal tersebut 
kemudian berdampak pada penggunaan atribut 
dan tanda kebesaran bupati dalam pakaian 
mereka.
Pada abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda 
mempertahankan ciri-ciri kebangsawanan
bupati bahkan diatur secara tertib dengan 
peraturan dan undang-undang. Hal tersebut 
bertujuan untuk menjaga dan melestarikan 
kewibawaan golongan bupati sebagai aparatur 
pemerintah dan sebagai pemimpin tradisional. �Ketika pada akhir abad ke-19 hingga awal abad 
ke-20 muncul golongan intelektual dan 
menggeser kedudukan bupati, pemerintah 
Hindia Belanda tetap melestarikan ciri-ciri 
kebangsawanan bupati dengan memberikan 
berbagai tanda jasa atas kerja sama yang baik 
yang dilakukan oleh para bupati.
Kedudukan Sumber dalam Penelitian Sejarah
Ilmu Sejarah merupakan ilmu yang bersifat 
empiris. Artinya, penelitian terkait bidang ilmu 
sejarah harus menggunakan sumber. Sumber￾sumber dalam ilmu sejarah dapat 
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori. 
Menurut Gottschalk (1975: 35-36), sumber 
sejarah dikategorikan dalam tiga golongan besar 
yaitu sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber 
benda. Sementara itu, Renier 
mengelompokkannya dalam dua kelompok besar 
yaitu immaterial dan material. Terdapat dua 
klasifikasi sumber material menurut Renier yaitu 
tertulis dan tidak tertulis. Adapun sumber 
immaterial menurut Renier yaitu semua jejak 
yang tidak terlihat dan masih hidup dalam 
masyarakat seperti lembaga, adat-istiadat, 
ajaran-ajaran, etika, legenda, tradisi dan 
kepercayaan (Renier, 1997: 104).
Klasifikasi sumber sejarah menurut 
Garraghan (1957: 98-99; 107; 122-123) terbagi 
menjadi dua yaitu berdasarkan bentuknya dan 
asal usulnya. Sumber sejarah berdasarkan 
bentuknya sama seperti pendapat Gottschalk 
terdiri dari sumber tertulis, sumber lisan, dan 
sumber benda. Sedangkan berdasarkan asal 
usulnya, sumber sejarah terdiri dari sumber 
primer, sekunder, dan tersier. Dalam bukunya 
berjudul “A Guide to Historical Method” (1957: 
107), Garraghan menjelaskan secara lebih rinci 
tentang sumber primer, sekunder, dan tersier.
Sumber primer yaitu sumber atau penulis 
menyaksikan, mendengar, dan mengalami 
sendiri peristiwa yang dituliskan dalam sumber 
tersebut. Sumber primer terbagi dua yaitu 
strictly primary sources (sumber primer kuat) 
yakni sumber yang berasal langsung dari saksi 
mata peristiwa dan less strictly primary sources 
(sumber primer kurang kuat) yakni sumber yang 
berasal dari zaman terjadinya suatu peristiwa 
tetapi tidak memiliki hubungan langsung dengan 
peristiwa tersebut. Sementara itu, sumber 
sekunder merupakan sumber atau penulis 
sumber hanya mendengar peristiwa itu dari 
orang lain. Sedangkan sumber tersier merupakan 
konsep khusus dan tidak berlaku umum, 
contohnya skripsi, tesis, disertasi, dan karya 
ilmiah lain. Dalam kajian sejarah sumber tersier 
acapkali disamakan dengan sumber sekunder. 
Artinya konsep sumber yang berlaku untuk 
kajian sejarah hanya dua yaitu primer dan 
sekunder. Para peneliti sejarah biasanya 
berangkat dari sumber sekunder yang digunakan 
sebagai “pintu masuk” untuk menemukan 
sumber-sumber primer baik yang kuat maupun 
kurang kuat.
Dengan demikian, kedudukan sumber bagi 
penelitian sejarah sangan penting dan utama. 
Terlebih jika berkaitan dengan tema-tema 
sejarah material, seperti pakaian. Sumber yang 
diulas dalam artikel ini berbentuk buku yang 
termasuk dalam sumber sekunder. Selain itu pula 
disinggung arsip yang termasuk dalam sumber 
primer kuat. Sementara itu, diulas pula Koran 
dan majalah yang terbit pada masa 
Pemerintahan Hindia Belanda yang termasuk 
dalam kategori sumber sezaman atau sumber 
primer kurang kuat (less strictly primary sources).
Sumber-Sumber Berkait Penulisan Sejarah 
Pakaian
Sumber pertama yang penulis temukan 
mengenai sejarah pakaian yaitu buku kumpulan 
tulisan yang dieditori oleh Henk Schulte Nordholt 
berjudul “Outward Appearance; Trend, Identitas, 
dan Kepentingan.” Dalam buku tersebut terdapat 
beberapa artikel yang dapat dijadikan sebagai 
sumber sekunder untuk penulisan sejarah 
pakaian.
Dalam buku kumpulan tulisan tersebut 
terdapat tiga tulisan yang membahas tentang 
pakaian pada masa Pemerintahan Hindia 
Belanda. Pertama, artikel karya Jean Gelman 
Taylor berjudul “Kostum dan Gender di Jawa 
Kolonial tahun 1800-1940.”
Dalam tulisannya, Gelman memaparkan 
bagaimana pakaian dapat memengaruhi relasi 
gender. Negara colonial telah mendorong 
munculnya perbedaan penampilan antara laki￾laki dan perempuan. Hal tersebut menunjukkan 
bahwa proses penaklukan oleh Pemerintah 
Hindia Belanda disertai dengan sejarah sosial 
tentang perubahan aturan perpakaian (Nordholt, 
1997: 5).
Kedua, artikel karya Rudolf Mrazek berjudul 
Kenecisan Indonesia; Politik Pakaian pada akhir 
Masa Kolonial 1893:1942. Dalam tulisannya, 
Mrazek menceritakan tentang para nyonya 
Hindia Belanda yang menampilkan koleksi 
boneka kepada Ratu Belanda berjumlah sekitar 
150 buah. Beberapa boneka mengenakan 
pakaian serba putih, dan lainnya 
menggambarkan hierariki kepegawaian 
bumiputra yang dikelompokkan berdasarkan 
regionalnya. Contohnya, satu set boneka dari �Preanger dan Jawa Timur memperlihatkan 
adipati, raden ajoe adipati, patih, mantra, 
djoeroetoelis, sampai 35 tingkat jabatan ke bawah 
termasuk orang tani dan njai tani. Selain itu 
terdapat pula boneka yang menggambarkan 
profesi-profesi bumiputra, seperti jaksa dan 
istirnya, subkolektor pajak, pengawas pengairan, 
guru, dokter, dan petugas yang berwenang 
memberikan vaksinasi ,
Adapun artikel ketiga dalam buku Nordholt 
(1997) berjudul “Pakaian Musim Panas dan 
Makanan Kaleng; Perempuan Eropa dan Gaya 
Hidup Barat di Hindia tahun 1990-1942,” yang 
ditulis oleh Elsbeth Locher-Scholten.
Elsbeth menganalisis sikap perempuan 
berdasarkan alam kultural perempuan yaitu 
mode dan makanan. Menurutnya, pakaian dapat 
dilihat sebagai ungkapan pembeda sosial seperti 
usia, kelompok, dan gender, serta sebagai 
indicator norma dan nilai. Elsbeth memaparkan 
tentang pakaian yang dimiliki oleh para 
perempuan Eropa, meliputi blus, rok, dan gaun. 
Semua pakaian tersebut dibuat dari bahan katun 
dan linen. Para perempuan Eropa tersebut juga 
kerap menggunakan kaca mata pelindung debu 
dan topi. Hal tersebut tentu saja disesuaikan 
dengan wilayah Hindia Belanda yang beriklim 
tropis (Nordholts, 1997: 223, 234-235).
Dalam stratfikasi masyarakat Hindia 
Belanda saat itu. Bangsa Eropa menempati 
stratifikasi paling atas, posisi kedua ditempati 
oleh Timur Asing, dan ketiga oleh bumiputera. 
Pakaian yang dikenakan oleh perempuan Eropa 
yang sudah tinggal di Hindia Belanda sebelum 
awal abad ke-20 adalah kebaya putih dan kain 
jarik atau sarung motif batik, dalam hal ini 
bumiputera memengaruhi penampilan orang 
Eropa. Namun, ketika gaun-gaun pendek khas 
musim panas yang dibuat dari linen dan katun 
muncul pada awal abad ke-20, kebaya dan sarung 
mulai ditinggalkan. Para perempuan Eropa 
merasa nyaman menggunakan gaun pendek yang 
modis karena menjamin kebebasan bergerak 
dibandingkan dengan menggunakan kebaya dan 
sarung. Selain itu alasan lainnya yang 
diungkapkan oleh Elsbeth adalah adanya 
kekhawatiran dari para perempuan Eropa untuk 
‘menjadi bumiputera’ karena sifat asli dari 
kebaya (Nordholt, 1997: 237). Pada masa itu 
orang Eropa bersifat rasis ketika memandang 
bumiputra. Dalam pandangan orang Eropa kala 
itu, bumiputra adalah kelompok masyarakat 
kelas bawah yang terbelakang, miskin, berkulit 
gelap dan tidak berpendidikan.
Berikutnya adalah arsip. Terdapat beberapa 
arsip yang diulas dalam tulisan ini, pertama 
Staatsblad tahun 1820 No. 22 tentang Resolusi 
dari Gubernur Jenderal dalam Dewan tanggal 9 
Mei 1820 No. 6, dimana dikukuhkan menjadi 
suatu peraturan mengenai kewajiban dan tugas, 
pangkat dan gelar para bupati di Pulau Jawa. 
Dalam Staatsblad tersebut dijelaskan mengenai 
pangkat kehormatan militer. Bupati dengan gelar 
raden atau kyai adipati mendapat kehormatan 
pangkat militer Letnan Kolonel, bupati bergelar 
kyai tumenggung mendapat kehormatan pangkat 
militer Mayor, dan bupati bergelar mas ngabehi 
mendapat kehormatan pangkat militer kapten.
Kedua, Reglement op de Verplichtingen, Titles 
en Rangen der Regenten op het Eiland Java 
(Peraturan tentang kewajiban-kewajiban, gelar￾gelar, dan pangkat-pangkat para bupati di Pulau 
Jawa) peraturan ini diperkirakan dikeluarkan 
antara tahum 1925-1930. Dalam peraturan itu 
disebutkan bahwa para bupati sebagai orang 
nomor satu di kabupaten diperlakukan sebagai 
“saudara muda” residen dan harus 
diikutsertakan dalam musyawarah urusan 
pemerintahan.
Ketiga, Staatsblad tanggal 2 April tahun 1870 
no. 9 tentang pakaian dinas pegawai pribumi. 
Dalam Staatsblad tersebut, pemerintah Hindia 
Belanda menetapkan jenis pakaian kaum laki￾laki dan cara serta waktu menggunakannya.
Peraturan ini menetapkan pakaian dinas yang 
dipakai pada kesempatan resmi, seperti pada 
waktu pelantikan suatu jabatan, pertemuan 
resmi dengan pejabat Belanda, dan pesta 
perayaan yang berkaitan dengan acara dinas. 
Selain itu, ditetapkan pula pakaian dinas bila 
akan melakukan perjalanan yang disebut 
pakaian keprajuritan. Peraturan cara berpakaian 
ini diberlakukan untuk semua kepala dan para 
pegawai pribumi di Jawa dan Madura. Sementara 
itu, pakaian untuk istri bupati tidak diatur secara 
spesifik. Mereka biasanya menggunakan kebaya 
dari bahan beludru dipadukan dengan kain jarik 
motif batik. Untuk para bangsawan motif batik 
yang digunakan adalah motif Parang Rusak 
Barong� ,
Gambar 1 adalah motif batik Parang Rusak 
Barong. Motif batik tersebut hanya boleh 
digunakan oleh para bangsawan bumiputra. Ide 
membuat motif ini datang dari Sultan Agung 
Hanyakrakusuma. Dia ingin menyatakan 
pengalaman jiwanya sebagai seorang raja 
dengan segala tugas dan kewajibannya serta 
sebagai seorang manusia yang tidak berdaya di 
hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber berikutnya adalah majalah. Dalam 
artikel ini majalah yang diulas adalah majalah 
Pedoman Istri dan Doenia Kita. Majalah Pedoman 
Istri digagas oleh Rangkajo Chailan Sjamsoe 
Datoe Toemenggoeng. Pedoman Istri terbit di 
Batavia tahun 1932, kantor pusatnya berada di 
Eijkmanpark. Dalam tiap terbitannya, majalah 
tersebut menggunakan bahasa melayu. Oleh 
karena Rangkajo Chailan Sjamsoe menggagas 
pula organisasi Persatoean Istri Pegawai 
Bestuur, maka isi berita majalah tersebut pun 
didominasi oleh berita seputar perkumpulan 
tersebut.
Gambar 2 merupakan satu di antara 
beberapa model kebaya yang dimuat dalam 
Majalan Pedoman Istri pada Rubrik Mode. Dalam 
artikel tersebut dinyatakan bahwa sebaiknya 
kebaya dibuat dari bahan lurik berwarna hijau 
tua. Bagian tangan dibuat dari kain lain yang 
cocok dan memiliki warna senada lurik. Bagian 
dada disebut kutubaru. Bagian kutubaru dapat 
menggunakan kain satin, crêpe, marocain, atau 
charmeuse, sebaiknya dihiasi pula dengan motif. 
Motif yang digunakan menggunakan kain yang 
pemilihannya diserahkan kepada selera masing￾masing perempuan. Motif itu disulam dengan 
gambar bunga atau daun, bisa juga ditambah 
dengan renda atau lamee.
Majalan Doenia Kita merupakan majalah 
yang terbit pada November 1937 di Batavia. 
Penggagas majalah ini adalah seorang tokoh 
perempuan terkemuka bernama Alimah Latip. 
Majalah Doenia Kita mengusung tema kemajuan 
perempuan dari sudut pandang barat dan timur 
karena dimotori oleh perempuan-perempuan 
terpelajar yang juga tercatat sebagai anggota 
Organisasi Istri Indonesia. Sehingga tulisan di 
dalam majalah tersebut menyiratkan pemikiran 
yang sama dengan Organisasi Istri Indonesia.
Dalam Majalah Doenia Kita terdapat Rubrik 
Mode dimana rubric tersebut berisi pengetahuan 
tentang model pakaian perempuan. Model 
pakaian perempuan dalam majalah tersebut 
dibagi berdasarkan waktu pemakaian (pagi, 
siang, sore, dan malam).
Kebaya pada gambar 3 merupakan satu di 
antara beberapa contoh model kebaya yang 
digunakan perempuan berdasarkan waktu 
pemakaian. Kebaya tersebut dibuat dari crêpe 
georgette warna biji gandaria (lilac). Di bagian 
bawah dihiasi hiasan dari beludru dan chiffon
warna ungu. Sekeliling badan, leher, dan tangan�dihiasi dengan potongan warna ungu dan 
kancing tangan berwana senada.
Selain memuat aturan berpakaian 
berdasarkan waktu pemakaian, dicantumkan 
pula aturan berpakaian menurut tempat dan 
situasi/keadaan. Misalnya, pakaian untuk acara 
pesta dan kematian tentu saja berbeda. Jika pada 
acara pesta perempuan disarankan 
menggunakan pakaian yang indah dan mewah 
agar kelihatan menarik, misalnya menggunakan 
bahan kain sutera berwarna cerah dengan 
berbagai motif. Lain halnya jika menghadiri acara 
kematian.
Berdasarkan artikel dalam Majalah Doenia 
Kita edisi No. 11, September 1938 halaman 6-7 
dinyatakan bahwa orang Eropa menggunakan 
warna hitam dan orang Tionghoa menggunakan 
warna putih ketika menghadiri acara kematian. 
Hal tersebut sebagai cara untuk menyatakan 
kesedihan mereka. Namun, tidak demikian 
halnya bagi bumiputra. Pada masa itu, tidak ada 
pakaian khusus yang digunakan oleh bumiputra 
untuk menghadiri acara kematian seseorang. 
Artikel tersebut menyebutkan, bahwa kamu 
bumiputra tidak perlu meniru orang Eropa atau 
orang Tionghoa. Pakaian yang digunakan oleh 
bumiputra untuk menghadiri acara kematian 
adalah pakain yang pantas dan dapat 
menunjukkan empati dan rasa duka cita kepada 
keluarga.
Dalam Majalah Doenia Kita terdapat pula 
pakaian berdasarkan status perempuan (lajang 
atau menikah).
Gambar 4 merupakan gambar sebuah 
kebaya untuk perempuan lajang. Potongannya 
membentuk tubuh sehingga cocok digunakan 
untuk perempuan yang bertubuh langsing. 
Kebaya ini dibuat dari sutra berwarna blau muda 
yang tidak berkilat, sedangkan kraag dan 
manchet dibuat dari sutra berkilat yang 
berwarna blau tua. Kain panjang yang dipakai 
bermotif lereng berwarna kuning muda 
mencolok.
Simpulan
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak 
Sejarawan asal Jerman, Leopold von Ranke, pada 
abad ke-19 bahwa no document, no history. Oleh 
karenanya, sumber dalam kajian sejarah 
mempunyai kedudukan yang paling tinggi. 
Artinya, ketika seseorang bermaksud menulis 
karya sejarah, maka yang pertama harus 
ditelusuri adalah sumber.
Berkait dengan sumber tentang sejarah 
pakaian pada masa Pemerintahan Hindia 
Belanda, dapat kita lihat bahwa sebelum abad ke-
20 Pemerintah Hindia Belanda sangat 
berkepentingan mengatur tata cara berpakaian 
para bupati. Hal itu disebabkan oleh dalam 
struktur pemerintahan bumiputra kala itu, 
bupati menempati posisi paling tinggi, rakyat 
menganggap bahwa bupati sebagai representasi 
seorang raja-dewa. Sehingga hubungan antara 
rakyat dan bupati adalah hubungan kawula￾gusti. Pemerintah Hindia Belanda membuat 
aturan berpakaian untuk menarik simpati rakyat 
agar patuh pada perintah bupati sebagai pegawai 
pemerintah kolonial.
Memasuki abad ke-20, terutama ketika
perempuan bumiputra mulai diizinkan untuk 
menempuh pendidikan di sekolah Eropa untuk 
bumiputra, muncullah kesadaran di kalangan 
perempuan bumiputra. Kesadaran tersebut 
meliputi kesadaran berpikir, berperilaku, dan 
berpenampilan. Sehingga munculah gagasan 
mendirikan organisasi dan menerbitkan majalah 
sebagai corong perjuangan mereka. Hal itu juga 
yang menyebabkan pada abad ke-19 belum 
ditemukan sumber tentang ragam pakaian 
perempuan.

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate