Tampilkan postingan dengan label banten. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label banten. Tampilkan semua postingan

banten

Sejak awal abad kesembilan belas, 
pemerintah kolonial Belanda mulai 
berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia) 
menggantikan VOC (Vereenigde 
Oostindische Compagnie) yang bubar 
pada tanggal 31 desember 1799 dan 
seluruh aset miliknya dikuasai oleh 
Negara Belanda. Bubarnya VOC 
disebabkan kesalahan urus dan persoalan 
korupsi para pejabatnya.2
 Selanjutnya, 
sebuah komisi Negara yang diketuai 
Sebastian Cornelis Nederburg bergelar 
komisaris jenderal dibebani tugas bidang 
administrasi, hukum, dan pertahanan. 
Barulah kemudian pada tahun 1808, si 
tangan besi, Herman Willem Deandels 
mengawali kekuasaannya sebagai 
gubernur jenderal di Hindia Belanda. Di 
antara kebijakannya adalah memangkas 
kekuasaan penguasa-penguasa lokal. Ia 
hanya tiga tahun berkuasa (1808-1811) 
yang kemudian digantikan oleh Thomas 
Stamford Raffles (1811-1816) yang 
mewakili penguasa Inggris di tanah 
bekas jajahan Belanda. Pada masanya 
terjadi sedikit pembaharuan. 
Kebijakan-kebijakan gebernur 
jenderal berikutnya bukan memperingan 
beban rakyat Hindia Belanda, bahkan 
semakin mempersulit keadaan, misalnya 
dengan penerapan cultuurstelsel.
 Sistem 
ini hanya menguntungkan pemerintah 
kolonial dan sedikit menguntungkan 
penguasa lokal akan tetapi sangat 
memperberat kehidupan rakyat jajahan. 
Berikutnya, pada era liberal hingga era 
politik etis, rakyat tetap saja menderita 
dan tidak banyak mengalami perubahan. 
Kondisi-kondisi inilah yang membuat 
rakyat semakin meningkatkan banyak 
perlawanan bersenjatanya4
 menyerang 
penjajah Belanda.
Sebenarnya, perlawanan 
abad XIX rakyat Banten merupakan 
kelanjutan dari abad-abad sebelumnya. 
Sebagaimana kita ketahui, Sultan 
Ageng Tirtayasa (1651-1683 M) 
gigih mempertahankan Kesultanan 
Banten dari kejahatan adu domba yang 
dilakukan oleh kaum kompeni antara 
dia dan putra mahkota, Sultan Haji, 
yang berujung tergerusnya kekusaan 
kesultanan oleh kompeni. 
Disamping itu, perlawanan 
terhadap Belanda di abad XIX muncul 
juga di berbagai daerah seperti Perang 
Jawa di bawah pimpinan Pangeran 
Diponegoro, Perang Padri di bawah 
pimpinan Imam Bonjol yang bergejolak 
di Sumatera Barat, Perang Batak dan 
Perang Aceh di Sumatera Bagian Utara.5
Bahkan, perang yang tak kalah penting 
adalah perlawanan rakyat Banten yang 
tak henti-hentinya sejak awal abad ini sampai peristiwa Geger Cilegon 18886
yang dikomandoi oleh K.H. Wasyid. 
Peristiwa-peristiwa perlawanan 
rakyat Banten didukung, dipelopori 
dan dipimpin oleh para Ulama, kaum 
bangsawan, dan Jawara bahkan 
para Srikandi7
 Banten, di antaranya 
adalah Nyai Gumpara, Tumenggung 
Muhammad, Demang dari Menes, 
Mas Jakaria, Ratu Bagus Ali, Pangeran 
Radli, Mas Jebeng (putera Mas Jakaria), 
Mas Anom, Mas Serdang, Mas Adong, 
Mas Anjung (Puteri Mas Jakaria), Nyai 
Permata (Ibu Nyai Gumpara), Raden 
Yintan, Pangeran Lamir, Sarinam, Mas 
Derik, H. Wakhia, Tubagus Ishak, Mas 
Diad. Peristiwa perlawanan petani 
Banten pada 1888 diinspirasi, dipimpin, 
dan/atau dipelopori oleh K.H. Abdul 
Karim, K.H. Tubagus Ismail, dan 
K.H. Wasyid. Selain mereka, tokoh 
yang juga berperan dalam perlawanan 
rakyat Banten adalah Haji Singadeli, 
Haji Asnawi, Haji Abu Bakar, dan Haji 
Marjuki.8
Para pejuang dan pahlawan 
Banten di atas memiliki semangat jihad yang kuat yang didasarkan 
pada keyakinan keagamaan bahwa 
kaum penjajah adalah orang kafir 
yang menzhalimi kaum Muslimin 
sehingga rakyat Banten wajib untuk 
memeranginya. Demikian yang dapat 
kita telusuri dari motivasi dan pendorong 
mereka untuk berperang; artinya 
hanya ada dua kata kunci bagi mereka, 
yaitu Jihad dan Perang. Hal demikian 
yang menjadikan K.H. Wasyid rela 
mengorbankan jiwa dan raganya demi 
mempertahankan harkat dan martabat 
rakyat Banten yang memang ia buktikan 
dengan wafatnya beliau di medan perang 
sebagai syahid dan pahlawan.
K.H. Wasyid memiliki semangat 
perjuangan menegakkan kebenaran 
Amar Ma’ruf Nahi Munkar sejak 
usianya masih muda. Darah pejuang 
yang dimiliki K.H. Wasyid diwariskan 
dari ayahnya, Abbas, yang pada tahun 
1850 bersama H. Wakhia melakukan 
perlawanan bersenjata. Dalam 
perjuangannya, ia memiliki keahlian 
dan kemampuan strategis, misalnya 
bagaimana ia melakukan komunikasi￾komunikasi politik dengan para 
ulama, jawara, dan pejuang-pejuang 
lainnya di Banten dan luar Banten 
untuk terlibat dalam perang melawan 
penjajah Belanda. K.H. Wasyid juga 
dikenal sebagai seorang ulama yang 
berdakwah dari satu tempat ke tempat 
lainnya terutama mengajak umat 
menjauhi perbuatan syirik. Akibat dari 
sikap tegas menegakkan ajaran Islam 
di tengah masyarakat ini, K.H. Wasyid 
menghadapi meja pengadilan sebelum 
peristiwa Geger Cilegon 1888.Sejak didirikan oleh Sunan 
Gunung Jati, Banten sebagai sebuah 
kesultanan sudah sangat menarik bagi 
para pedagang untuk merapatkan 
kapalnya di pelabuhan Banten, baik 
yang berasal dari Eropa maupun Asia 
termasuk Nusantara.9
 Kemudian, pada 
era sultan-sultan berikutnya; Sultan 
Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana 
Yusuf sampai Sultan Ageng Tirtayasa, 
menurut Claude Guillot, Banten masih 
menarik karena 1) sepenuhnya merdeka; 
2) merupakan periode yang cemerlang, 
khususnya tahun 1670 M; dan 3) 
Sultan Ageng Tirtayasa masih berkuasa 
penuh.
Sekalipun demikian, negara 
satelitnya, Jayakarta sudah lebih dulu 
jatuh ke tangan J.P. Coen pada 1619 dan 
mengganti namanya menjadi Batavia.
Artinya, upaya VOC menggerogoti 
kekuasaan kesultanan Banten sudah 
dimulai, di antaranya dengan berupaya 
mengurangi peran pelabuhan Banten.
Upaya-upaya VOC di Batavia 
yang sudah dikuasainya menggembosi 
peran pelabuhan Banten. Hal ini sangat 
dirasakan oleh Abdul Fath (Sultan 
Ageng Tirtayasa) yang mulai berkuasa 
tahun 1651. VOC dianggap menghalangi 
usaha Banten memajukan perdagangan. 
Namun, beliau tetap dianggap berhasil 
dalam bidang perdagangan dengan 
adanya ekspor-impor antara Banten dan 
Persia, Surat, Koromandel, Benggala, 
dan Siam. Dia juga membangun irigasi 
untuk pertanian dan persawahan. 
Suasana damai dan tenteram berjalan 
hinggga 1676.13 Lantas, Sultan Ageng 
Tirtayasa mengangkat putranya Abdul 
Kohar Nasar (Sultan Haji) menjadi 
sultan muda yang ternyata tidak suka 
keluarga kerajaan memusuhi kompeni. 
Dapat diprediksi bahwa akan terjadi 
pertentangan antara ayah dan anak. 
Sultan Ageng ingin terus mengadakan 
blokade terhadap VOC sementara Sultan 
Haji ingin mengadakan hubungan baik. 
Pasca perang Trunojoyo, tahun 1680 
Belanda melakukan agitasi terhadap 
Banten yang sudah dikuasai oleh 
Sultan Haji. Namun, Sultan Ageng 
Tirtayasa tidak mau kompromi dengan 
kompeni. Pertikaian antara Sulan Ageng dan Sulan Haji membuat Belanda 
mendukung salah satunya untuk dengan 
mudah menguasai. Terjadi perlawanan 
bersenjata Sultan Ageng Tirtayasa 
bersama ulama dan rakyatnya terhadap 
Kompeni, tapi berakibat jatuhnya 
Banten ke tangan mereka di atas nama 
Sultan Haji.
 Pasca bangkrutnya VOC 
(tahun 1799), kondisi sosial rakyat 
Banten bukan bertambah baik, justru 
sebaliknya, pemerintah kolonial 
Belanda bertambah represif sehingga 
menimbulkan perlawanan di berbagai 
daerah di Indonesia, termasuk di Banten. 
Berbagai sistem yang diciptakan 
kaum kolonial tak satupun yang dapat 
mensejahterakan rakyat; bahkan 
dipaksakan penerapannya dengan 
kekerasan. Pada saat Herman Willem 
Deandels berkuasa, sepak terjangnya 
sangat otoriter. Ia menambah serdadu 
dari 200 menjadi 18.000 orang dalam 
waktu singkat. Umumnya, serdadu 
berasal dari anak-anak Manado, Madura 
dan Jawa. Yang tidak mau menjadi 
tentara ia hukum dengan berbagai bentuk 
kekerasan. Untuk pakaian seragam 
serdadu, dia paksa petani memintal 
benang dan menenun kain. Semua 
bidang kehidupan di berbagai daerah 
dijamah Deandels, termasuk pengrajin 
tembaga untuk membuat bedil. Pada 
tahun 1808 Daendels membangun jalan 
raya dari Anyer sampai ke Panarukan 
dengan kerja paksa. Tidak sedikit rakyat 
meregang nyawa dalam pembangunan 
jalan ini karena kekurangan makan, 
penyakit, dan sebagainya. Si tangan besi Daendels juga 
memangkas kekuasaan para penguasa 
lokal; raja-raja lokal diturunkan 
jabatannya menjadi pegawai biasa, 
ia hapus pula tanda kehormatannya. 
Timbul perlawanan dari penguasa￾penguasa lokal khususnya di Banten. 
Daendels marah besar, istana sultan 
dihancurkan, Sultan ditangkap dan 
dibuang ke Ambon.
Pada tahun 1811, Daendels 
digantikan oleh Janssens. Akan tetapi, 
karena Perancis-Belanda dikalahkan 
Inggris maka pada tahun yang 
sama Inggris mengangkat Thomas 
Stamford Raffles berkuasa di daerah 
jajahan Belanda hingga tahun 1816. 
Pemerintahan Raffles disebut-sebut 
sebagai pemerintahan tangan liberal 
yang lebih lunak dibandingkan Daendels 
dan melakukan berbagai pembaharuan. 
Ia menghapus kebijakan-kebijakan 
Deandels, misalnya dalam bidang 
monopoli dagang, kerja rodi, sistem 
hak pemerintah atas hasil bumi, tak ada 
pemaksaan, yang paling terkenal dari 
kebijakan Raffles adalah pelaksanaan 
pajak tanah (land-rent). 
Kemudian, penguasaan tanah 
jajahan diserahkan kembali ke tangan 
pemerintah Belanda, berbagai kebijakan 
para gubernur jenderal di Hindia Belanda 
kembali membuat rakyat menderita, 
semisal penerapan sistem tanam paksa 
(cultuurstelsel) yang digagas Gubernur 
Jenderal Johannes Van den Bosch 
pada tahun1830.17 Empat puluh tahun
lamanya sistem ini diterapkan dengan 
berbagai dampak negatifnya bagi 
rakyat Indonesia umumnya dan rakyat 
Banten khususnya. Banyak penduduk 
yang meninggalkan kampungnya 
menghindari tanam paksa, lain 
halnya dengan rakyat Banten, mereka 
melakukan perlawanan terhadap sistem 
ini,18 dan kebijakan-kebijakan lainnya 
yang tidak pro-rakyat.
Jika dirunut dari sejak sebelum 
penerapan kultuurstelsel, hingga 
penerapannya selama empat puluh 
tahun, telah terjadi berbagai perlawanan 
bersenjata dari rakyat Banten terhadap 
kaum penjajah. Antara 1810 sampai 
1840, terjadi sebelas kali perlawan 
bersenjata rakyat Banten, di antaranya 
perlawanan Nyai Gumpara pada 1818 
untuk mengembalikan kesultanan 
Banten dan penyerangan ke Anyer 
dengan kekuatan 500 orang pada 1822. 
Pada akhir tahun 1825 Tumenggung 
Muhammad Demang dari Menes 
dengan dukungan para kiyai dan tokoh 
agama serta para santrinya memimpin 
perlawanan bersenjata menentang 
pemungutan pajak. Letnan de Quay 
mematahkan perlawanan ini yang 
membuat Tumenggung Muhammad 
mengundurkan diri melintasi puncak 
gunung Pulosari melalui perbatasan 
Pandeglang. Dua tahun kemudian 
muncul lagi perlawaanan bersenjata 
dari Mas Jakaria. Pada 1811, ia pernah 
menduduki Pandeglang yang kala itu 
menjadi kota kraton, tetapi ia tertawan. 
Namun pada tahun 1927, ia berhasil 
melarikan diri. Banyak hadiah disediakan 
bagi yang dapat menangkapnya, 
tetapi tetap gagal bahkan pada tahun
ini ia kembali menyerbu Pandeglang 
dan berhasil menewaskan anggota￾anggota detasemen tentara Belanda. 
Pasukan Belanda secara membabi buta 
membakari rumah penduduk untuk 
memaksa pengakuan penduduk dimana 
keberadaan Mas Jakaria. Barulah 
beberapa bulan kemudian ia berhasil 
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati 
dengan memenggal lehernya dan 
membakarnya. 
Pada tahun-tahun 1831, 
1833, 1836, dan 1839 terjadi banyak 
perlawanan bersenjata. Pemimpin￾pemimpin yang lolos dari perlawanan 
tahun 1936 adalah Ratu Bagus Ali 
dikenal sebagai Kiyai Gede, Pangeran 
Radli dan Mas Jebeng, putera Mas 
Jakaria. Rakyat bersemangat lagi 
melawan penjajah ketika ketiga putra 
Mas Jakaria melarikan diri dari penjara 
Banyuwangi; Mas Anom, Mas Serdang, 
dan Mas Andong. Salah seorang wanita 
yang memimpin perlawanan Nyai Mas 
Anjung, puteri Mas Jakaria, ikut pula 
Mas Ubid, kemenakan dan menantu 
Mas Jakaria. Raden Yintan, Pangeran 
Lamir, dan seorang wanita Sarinam 
dapat ditambahkan sebagai pemimpin 
perlawanan bersenjata.
Pada tanggal 13 Desember 1845, 
para pejuang Banten merebut rumah 
tuan tanah di Cikandi Udik dengan 
membunuh tuan tanah Kamphuys, 
istrinya dan lima anaknya. Peristiwa 
ini disebut peritiwa Cikandi, semua 
orang Eropa Cikandi menemui ajalnya. 
Sebuah detasemen bejumlah 60 orang 
berhasil melumpuhkan perlawanan 
di Cikandi. Sebenarnya, peristiwa ini 
dilakukan sebagai isyarat perlawanan 
di seluruh Banten. Mereka bersekutu 
dengan pemimpin kelompok BantenSelatan yang dipimpin oleh Nyai 
Permana, ibu Nyai Gumpara, pemimpin 
perlawan tahun 1836. Pada 24 Pebruari 
1850, Raden Bagus Jayakarta, patih 
Serang, mencetuskan perlawanan dan 
menewaskan Demang Cilegon beserta 
stafnya. Raden Bagus Jayakarta didukung 
oleh pemuda-pemuda antara lain 
Tubagus Iskak, Mas Derik, Haji Wakhia, 
dan Penghulu Dempol. Di Lampung, 
banyak orang Banten yang melarikan 
diri dari Banten untuk menghindar dari 
pengejaran kaum penjajah atau untuk 
mengelak dari penindasan para pejabat. 
Salah seorang daripadanya adalah orang 
kaya H. Wakhia dari Budang Batu yang 
dikejar-kejar polisi yang bersembunyi 
di Lampung kemudian menuju Mekkah 
untuk menunaikan ibadah haji. Pada 
tahun 1847 ia kembali ke desanya. 
Lagi-lagi ia tidak mau membayar 
pajak. Ia dipanggil residen, tapi tidak 
mengindahkannya. H. Wakhia turut 
serta dalam merencanakan perlawanan 
dan seruan H. Wakhia yang dibantu oleh 
Penghulu Dempol untuk melancarkan 
Perang Sabil disambut dengan semangat 
dan menyala-nyala. H. Wakhia dan 
penghulu Dempol mengambil posisi 
di sebelah barat bukit-bukit Simari 
Kangen, kelompok yang dipimpin Mas 
Derik dan Nasid berada di pegunungan 
sebelah timur Pulau Merak, sedangkan 
Tubagus Ishak dan Mas Diad dan 
pasukannya beroperasi di distrik Banten. 
R.B. Jayakarta, pengambil inisiatif 
berada di belakang layar. Lebih kurang 
tiga bulan lamanya pasukan-pasukan 
rakyat maju mundur diselingi serangan￾serangan sporadik terhadap kota-kota 
kecil dan desa seperti Tanjak dan Anyer. 
Dalam menghadapi pasukan kolonial 
pada tanggal 3 Mei 1850 di Tegalpapak 
mereka mengalami kekalahan dan 
beberapa pemimpin mereka ditawan. 
H. Wakhia dan Tubagus Ishak berhasil 
meloloskan diri ke Lampung dan di 
daerah ini ia kembali ikut perlawanan 
terhadap penjajah Belanda yang 
dilancarkan Raden Intan dan Pangeran 
Singabranta. H. Wakhia akhirnya 
ditangkap dan dihukum mati. Anak dan 
isterinya menetap di desa asal H. Wakhia 
yang kemudian dikenal dengan nama 
Arjawinangun. Di tempat ini mereka 
sangat dihormati. 
Antara tahun 1851 sampai 1871 
masih sering terjadi perlawan bersenjata, 
seperti peristiwa Usup di tahun 1851,
peristiwa Pungut di tahun 1852,
kerusuhan di Kolelet di tahun 1866 dan 
kasus Jayakusuma di tahun 1869. 
Dari rentetan peristiwa 
perlawanan bersenjata rakyat Banten 
terhadap kolonial Belanda sejak awal 
abad XIX, perlawanan bersenjata 
yang sangat besar adalah yang terjadi 
pada 9 Juli tahun 1888 yang dipimpin 
oleh K.H. Wasyid. Tengku Ibrahim 
Alfian merasa perlu menjelaskan ini 
secara komprehensif mengingat begitu 
dahsyatnya keadaan Banten baik 
sebelum, saat terjadinya peristiwa, dan 
sesudahnya
Dikutip dari Tengku Ibrahim 
Alfian. “Semangat Keagamaan Rakyat 
Banten dalam Mempertahankan Ke￾merdekaan” …. Alfian mengakui berhutang budi 
pada Sartono Kartodirdjo yang telah 
membuat kajian secara komprehensif 
tentang keperkasaan Rakyat Banten 
dan perlawanan mereka terhadap kaum 
penjajah Belanda khususnya tentang 
peristiwa Cilegon di tahun 1888 Diser￾tasinya di Den Haag yang berjudul, The 
Peasent’ Revolt of Banten in 1888: Its 
Condition, Course and sequence.
20Tengku Ibrahim Alfian. “Semangat Keag- Tengku Ibrahim Alfian 
menyatakan bahwa peristiwa 
perlawanan bersenjata rakyat Banten 
yang besar adalah yang terjadi 
pada 9 Juli 1888 di Cilegon, suatu 
perlawanan yang telah dipersiapkan 
dan direncanakan serta mempunyai 
ruang lingkup yang melampaui batas￾batas kota Cilegon. Menurut Prof. 
Dr. Sartono Kartodirdjo peristiwa ini 
merupakan kulminasi gerakan-gerakan 
perlawanan selama bertahun-tahun. 
Tarekat telah dijadikan sarana untuk 
menyebarkan informs-informasi rahasia 
dan komunikasi-komunikasi antara 
anggota dan memberikan peranan 
penting meletuskan peristiwa ini.21
Dalam teori sejarah, setiap 
peristiwa sejarah sedikitnya di dalamnya 
terdapat Pionir (pencetus peristiwa), 
Soil (tempat terjadinya peristiwa) 
dan peristiwa itu sendiri. Peristiwa 
perlawanan bersenjata Cilegon188822
pionir atau pencetus utamanya adalah 
K.H. Wasyid.
1. Pendidikan Dan Semangat 
Keagamaan
K.H. Wasyid adalah seorang 
ulama dan pendakwah yang dalam ilmuagamanya, seorang alumnus pesantren 
dan Timur Tengah. Seperti halnya 
rakyat Banten yang memiliki semangat 
keagamaan yang kuat dan mendalam, 
demikian pula K.H. Wasyid, beliau 
memiliki ilmu agama yang dalam berkat 
ketekunan dan kegigihannya menuntut 
ilmu di berbagai pesantren di Jawa 
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 
Corak pendidikan pesantren masa itu 
masih sangat berorientasi ilmu-ilmu 
agama dan sangat tergantung pada 
ustadz atau Kiyai. Mereka mempelajari 
kitab-kitab yang berkaitan dengan 
hukum Islam seperti Miftàh al-Jannah, 
Shiràt, Sabîl al- Muhtadîn, Bidàyah, 
Kitab Delapan dan Majmu’, Matan 
Taqrib, Fathu al-Qarîb, Fathu al￾Mu’în, Tahrir, Iqna’, Fathu al-Wahhab, 
Mahally, dan sebaginya. Di antara 
ilmu alat yang mereka pelajari, yakni 
Sharaf, Kitab al-Jurmiyah, Mukhtashar, 
Mutammimah, Nahwu. Mereka juga 
mempelajari kitab-kitab Tafsir dan 
Hadis, Balaghah, Tashawwuf, ihya 
ulumuddin, al-Mantiq, Tauhid, Ushul al￾Fiqh.23 Mata pelajaran yang diajarkan di 
pesantren-pesantren pada abad ke XIX 
sangat memengaruhi kepribadian para 
santri. Tidak mengherankan jika pada 
abad ini banyak peristiwa sejarah yang 
dimobilisasi oleh alumnus pesantren 
dan masyarakat pedesaan. Misalnya, 
peristiwa perlawanan bersenjata yang 
sangat terkenal, yakni “Geger Cilegon” 
yang juga terkenal dengan sebutan 
“Perang Wasyid”.24
 Beranjak dewasa, disampingmenimba llmu di pesantren, KH. Wasyid 
berangkat ke Mekkah berguru pada 
Syekh Nawawi al-Bantani,25 sedang di 
Banten dia berguru pada ulama-ulama 
Banten, seperti Kiyai Wakhia. Dengan 
ilmu yang dimilikinya, ia berdakwah 
dari satu tempat ke tempat lainnya. 
Dalam kesempatan dakwah ini K.H. 
Wasyid menyampaikan ayat-ayat dan 
hadis-hadis yang berkaitan dengan jihad.
Dalam al-Qur’an. dua ungkapan 
yang memotivasi setiap Muslim untuk 
berjuang menegakkan kebenaran 
dan keadilan serta menentang setiap 
kezhaliman kaum penindas ialah 
berperang di Jalan Allah dan berjihad 
di jalan Allah. Khusus untuk istilah 
perang dipakai kata qitàl yang terdapat 
dalam surat al-Baqarah 190, 191, dan 
193; surat al-Taubah ayat 111 dan surat 
al-Hajj ayat 39.a. Al-Baqarah 
190. Dan perangilah di jalan 
Allah orang-orang yang memerangi 
kamu, (tetapi) janganlah kamu 
melampaui batas, karena sesungguhnya 
Allah tidak menyukai orang-orang yang 
melampaui batas.
191. Dan bunuhlah mereka di 
mana saja kamu jumpai mereka, dan 
usirlah mereka dari tempat mereka 
telah mengusir kamu (Mekah); dan 
fitnah[117] itu lebih besar bahayanya 
dari pembunuhan, dan janganlah kamu 
memerangi mereka di Masjidil Haram, 
kecuali jika mereka memerangi kamu 
di tempat itu. Jika mereka memerangi 
kamu (di tempat itu), maka bunuhlah 
mereka. Demikanlah balasan bagi 
orang-orang kafir.
192. Kemudian jika mereka 
berhenti (dari memusuhi kamu), maka 
sesungguhnya Allah Maha Pengampun 
lagi Maha Penyayang.
b. At-Taubah
111. Sesungguhnya Allah telah 
membeli dari orang-orang mukmin diri 
dan harta mereka dengan memberikan 
surga untuk mereka. Mereka berperang 
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh 
atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji 
yang benar dari Allah di dalam Taurat, 
Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang 
lebih menepati janjinya (selain) daripada 
Allah? Maka bergembiralah dengan jual 
beli yang telah kamu lakukan itu, dan 
itulah kemenangan yang besar.
c. Al-Hajj
39. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena 
sesungguhnya mereka telah dianiaya. 
Dan sesungguhnya Allah, benar-benar 
Maha Kuasa menolong mereka itu.
Secara etimologi Jihàd berasal 
dari kata jahada yang berarti bersungguh￾sungguh mencurahkan segenap pikiran, 
kekuatan dan kemampuan untuk 
mencapai suatu tujuan, dapat juga berarti 
perang dan kekuatan. Secara terminologi 
(Ishtilàhan Syar’iyyan) “ jihad berarti 
bersunggguh-sungguh mencurahkan 
segenap pikiran dan kekuatan melawan 
hawa nafsu, setan, kebatilan, dan 
menghancurkan orang-orang yang 
melawan agama Allah serta membangun 
manusia yang berkemajuan.” Ayat-ayat 
lain yang berkaitan dengan ini seperti di 
bawah ini:
d. Al-Ankabût:
6. Dan barangsiapa yang 
berjihad, maka sesungguhnya jihadnya 
itu adalah untuk dirinya sendiri. 
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha 
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari 
semesta alam.
69. Dan orang-orang yang 
berjihad untuk (mencari keridhaan) 
Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan 
kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan 
sesungguhnya Allah benar-benar beserta 
orang-orang yang berbuat baik.
e. Al-Hajj
78. Dan berjihadlah kamu pada 
jalan Allah dengan jihad yang sebenar￾benarnya. Dia telah memilih kamu dan 
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk 
kamu dalam agama suatu kesempitan. 
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. 
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian 
orang-orang muslim dari dahulu[993], 
dan (begitu pula) dalam (Al Quran) 
ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas 
dirimu dan supaya kamu semua menjadi 
saksi atas segenap manusia, maka 
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah 
zakat dan berpeganglah kamu pada 
tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, 
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan 
sebaik- baik Penolong.
 Bak gayung bersambut, seruan￾seruan K.H. Wasyid diamini oleh semua 
elemen masyarakat mulai dari ulama, 
kiyai, petani, santri, anak-anak muda, 
pengikut tarekat, dan bahkan para jawara. 
Pada abad XIX semangat keagamaan 
mereka bertambah kuat. Seperti yang 
disebutkan Sartono Kartodirdjo dalam 
beberapa dasawarsa di akhir abad ke 
XIX, tampak peningkatan kebangkitan 
agama yang sangat luar biasa. Dimulai di 
Timur Tengah dengan Pan-Islamismenya 
yang sangat anti barat. Fanatisme dan 
militanisme keagamaan muncul karena 
benci orang kafir termasuk di Banten. 
Gejala lain kebangkitan agama ini ialah 
ramainya masjid dengan shalat jama’ah 
dan pengajian-pengajian oleh anak-anak 
muda Banten, bermunculan cabang￾cabang tarekat, jumlah orang naik haji 
bertambah dan tinggal disana sambil 
mencari ilmu.26 Tampaknya inilah yang 
memudahkan K.H. Wasyid memobilisir 
kekuatan dan massa untuk memerangi 
penjajah.
bagi orang-orang yang diperangi, karena 
sesungguhnya mereka telah dianiaya. 
Dan sesungguhnya Allah, benar-benar 
Maha Kuasa menolong mereka itu.
Secara etimologi Jihàd berasal 
dari kata jahada yang berarti bersungguh￾sungguh mencurahkan segenap pikiran, 
kekuatan dan kemampuan untuk 
mencapai suatu tujuan, dapat juga berarti 
perang dan kekuatan. Secara terminologi 
(Ishtilàhan Syar’iyyan) “ jihad berarti 
bersunggguh-sungguh mencurahkan 
segenap pikiran dan kekuatan melawan 
hawa nafsu, setan, kebatilan, dan 
menghancurkan orang-orang yang 
melawan agama Allah serta membangun 
manusia yang berkemajuan.” Ayat-ayat 
lain yang berkaitan dengan ini seperti di 
bawah ini:
d. Al-Ankabût:
6. Dan barangsiapa yang 
berjihad, maka sesungguhnya jihadnya 
itu adalah untuk dirinya sendiri. 
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha 
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari 
semesta alam.
69. Dan orang-orang yang 
berjihad untuk (mencari keridhaan) 
Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan 
kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan 
sesungguhnya Allah benar-benar beserta 
orang-orang yang berbuat baik.
e. Al-Hajj
78. Dan berjihadlah kamu pada 
jalan Allah dengan jihad yang sebenar￾benarnya. Dia telah memilih kamu dan 
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk 
kamu dalam agama suatu kesempitan. 
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. 
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian 
orang-orang muslim dari dahulu[993], 
dan (begitu pula) dalam (Al Quran) 
ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas 
dirimu dan supaya kamu semua menjadi 
saksi atas segenap manusia, maka 
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah 
zakat dan berpeganglah kamu pada 
tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, 
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan 
sebaik- baik Penolong.
 Bak gayung bersambut, seruan￾seruan K.H. Wasyid diamini oleh semua 
elemen masyarakat mulai dari ulama, 
kiyai, petani, santri, anak-anak muda, 
pengikut tarekat, dan bahkan para jawara. 
Pada abad XIX semangat keagamaan 
mereka bertambah kuat. Seperti yang 
disebutkan Sartono Kartodirdjo dalam 
beberapa dasawarsa di akhir abad ke 
XIX, tampak peningkatan kebangkitan 
agama yang sangat luar biasa. Dimulai di 
Timur Tengah dengan Pan-Islamismenya 
yang sangat anti barat. Fanatisme dan 
militanisme keagamaan muncul karena 
benci orang kafir termasuk di Banten. 
Gejala lain kebangkitan agama ini ialah 
ramainya masjid dengan shalat jama’ah 
dan pengajian-pengajian oleh anak-anak 
muda Banten, bermunculan cabang￾cabang tarekat, jumlah orang naik haji 
bertambah dan tinggal disana sambil 
mencari ilmu.26 Tampaknya inilah yang 
memudahkan K.H. Wasyid memobilisir 
kekuatan dan massa untuk memerangi 
penjajah. Pertempuran Cilegon memang 
diakui Snouck Hurgronye bahkan oleh 
pemeintah Belanda sangat serius, dia 
katakan, “Memang kekuasaan kita tidak 
akan mudah dirubuhkan oleh suatu 
gerakan fanatik. Tapi huru-hara setempat 
di Cilegon tahun 1888 memang cukup 
serius.” 27 Dua hal yang bisa kita telaah 
dari peristiwa ini, yakni latar belakang 
dan faktor-faktornya. Latar belakangnya 
tentu jauh dari yang telah diuraikan di 
atas, sedang faktor-faktornya dikatakan 
sendiri oleh K.H. Wasyid yang pernah 
disebut oleh saksi, Achmad; pertama, 
dua pejabat pemerintah kolonial, yaitu 
patih dan jaksa telah melarang umat 
Islam melakukan ibadah di Masjid. 
Kedua dinaikkannya pajak perahu dan 
pajak-pajak usaha yang lain. Ketiga, para 
pejabat sama sekali tidak menghiraukan 
para kiyai, bahkan memusuhi Islam, 
melarang shalat dengan suara keras 
dan melarang membuat menara-menara 
masjid tinggi, dan menyebar terlalu 
banyak mata-mata untuk mencari￾cari kesalahan orang yang melanggar 
peraturan.
Didorong latar belakang 
dan faktor-faktor di atas, K.H. 
Wasyid membuat perencanaan dan 
mengorganisir serta memobilisir seluruh 
elemen rakyat Banten untuk melakukan 
perlawanan. Dari hasil penyelidikanterhadap para tawanan dapat diketahui 
bahwa anggota-anggota perlawan 
bersenjata K.H. Wasyid mengadakan 
pertemuan di berbagai tempat dan 
menggunakan tarekat sebagai tempat 
berkumpul dan bersama-sama 
melakukan sembahyang dan dzikir. K.H. 
Wasyid dan para kiyai lainnya dapat 
bertemu dalam kesempatan ini untuk 
mengatur strategi dan taktik-taktik serta 
kordinasi. 
Dari setiap pertemuan, nampak 
kepiawaian dan kemampuan K.H. 
Wasyid mengumpulkan para kiyai, 
ulama, tokoh-tokoh agama lainnya 
bahkan para jawara. Dapat disebutkan 
disini K.H. Abdul Karim, seorang 
ulama besar dan dihormati rakyat 
Banten, pemimpin agama dan guru 
tarekat Qadariyah. K.H. Tubagus Ismail, 
H. Abdul Gani, K.H. Usman, Haji 
Nasiman, H. Sangadeli dari Kaloran, H. 
Abu Bakar dari Pontang, H. Asnawi dari 
Bendung Lempuyang, H. Muhammad 
Asik dari Bandung. Masing-masing 
mereka dan K.H. Wasyid menyampaikan 
propaganda-propaganda yang berkaitan 
dengan jihad dan perang sabil. 
Perjuangan rakyat Banten 
menuju kemerdekaan mendapat 
kekuatan baru dengan pulangnya H. 
Marjuki pada tahun 1887 dari Mekkah. 
Ia mulai mengunjungi daerah-daerah di 
Banten, Tengerang, Betawi, dan Bogor 
untuk menyampaikan gagasan tentang 
jihad. Tidak lama dikunjungi Haji 
Marjuki, entusiasme rakyat bertambah 
bergelora dan semangat keagamaan 
rakyatpun semakin meningkat, sehingga 
K.H. Wasyid menganggapnya sekutu 
paling setia. Kunjungan H. Marjuki 
ke para Kiyai tarekat Qadariyah 
mendapat sambutan dan dari mereka keluar pernyataan mendukung gerakan 
perlawanan yang dicanangkan K.H. 
Wasyid yang sebelumnya sudah 
melakukan apa yang dilakukan oleh 
H. Marjuki. Akan tetapi H. Marjuki 
kembali ke Mekkah sebelum terjadi 
perang. Sekalipun demikian, K.H. 
Wasyid taat asas mengabdikan dirinya 
kepada perjuangan berjihad melawan 
penjajah. 
Disela-sela kesibukannya 
berpropaganda, tiga bulan sebelum 
pertempuran K.H. Wasyid memimpin 
persiapan perang dengan mempergiat 
latihan-latihan pencak silat, 
pengumpulan dan pembuatan senjata￾senjata, dan sembari membakar 
semangat melalui khutbah-khutbahnya 
untuk melaksanakan perang sabil.29 
Berkat kepiawian K.H. Wasyid 
mengorganisir dan memoblisasi rakyat, 
gerakan kolektif ini diakui sangat 
terorganisir dan memiliki perencanaan 
yang matang. Tanda-tanda akan 
dimulainya perang tampak pada tanggal 
8 Juli 1888. Rombongan-rombongan 
prajurit berpakaian putih-putih mulai 
bergerak ke pos komando yang sudah 
disiapkan di desa saneja di rumah 
H. Ishak. Para pimpinan rombongan 
bermusyawarah di pimpinan K.H. 
Wasyid. Selaku pimpinan operasi, 
K.H. Wasyid mulai mengatur strategi 
penyerangan, ia bagi pasukan dalam 
beberapa kelompok yang masing-masing 
bertugas menyerang penjara, yang lain 
membebaskan tahanan, menyerang 
Kepatihan, menyerang rumah Asisten 
Residen. Pada hari Senin, 9 Juli 1888 
perang dimulai dan pada sore harinya 
Cilegon dapat diduduki K.H.Wasyid 
29Tengku Ibrahim Alfian. “Semangat Keag￾amaan Rakyat Banten dalam Mempertahankan 
Kemerdekaan” …. Hlm. 9. 
dan para pasukannya. 
Di bawah komando Kapten 
A.A. Veen huyzen, Belanda melakukan 
operasi mematahkan perlawanan dan 
melakukan pengejaran terhadap K.H. 
Wasyid dan kawan-kawannya. Namun, 
pertempuran terus berlangsung dan pada 
tanggal 30 Juli 1888 K.H. Wasyid, K.H. 
Tubagus Ismail, Haji Usman, dan Haji 
Abdul Gani terbunuh sebagai syahid 
dan pahlawan.30
Singkat cerita, dalam 
pertempuran Cilegon 1888, di pihak 
Belanda tewas 19 orang, yang luka 7 
orang. Di pihak prajurit Banten syahid 
30 orang, termasuk K.H. Wasyid, terluka 
13 orang. 94 orang dari pihak K.H. 
Wasyid dibuang ke berbagai daerah 
di dalamnya 42 orang haji, dua orang 
wanita Nyi Aminah dan Nyi Rainah dari 
Arjawinangun, keduanya puteri K.H. 
Wakhia.31
Dampak dari peristiwa Cilegon 
1888 sangat dirasakan oleh para kiyai, 
ulama, guru agama dan pengikut 
organisasi tarekat. Oleh karena Belanda 
meyakini bahwa peristiwa Cilegon 1888 
penggerak utamanya adalah anggota 
tarekat, maka diusulkan agar mereka 
dibuang. Kenyataan lain dimana-mana 
Belanda memburu guru agama, bahkan 
ada bupati yang melarang pengajaran 
kitab dan penyebaran tarekat. 32 
Tengku Ibrahim Alfian bertanya 
apakah pelajaran yang dapat ditarik dari 
sejarah perjuangan rakyat Banten dalam 
melawan penjajah di abad XIX?Historical Conciousness
(kesadaran sejarah) akan eksistensi 
bangsa kita di masa lalu perlu kita 
bangun. Hal ini sudah dimiliki oleh 
para pemimpin agama dan kiyai oleh 
karena memiliki pengetahuan yang 
dalam tentang al-Qur’an dan hadis Nabi 
hamammad Saw. yang tentunya wajib 
kita ikuti sebagai seorang Muslim, serta 
sanggup menggerakkan rakyat dengan 
semangat yang tinggi melawan penjajah. 
Kesadaran sejarah masa lalu 
bangsa kita perlu dibarengi oleh sense 
of responsibility (rasa tanggung jawab) 
setiap generasi berikutnya untuk terus 
mempertahankan eksistensi mereka 
sebagai sebuah bangsa yang besar yang 
sudah dibangun oleh para pendahulu 
dengan mengorbankan jiwa dan raga 
mereka sampai titik darah penghabisan. 
Disamping tanggungjawab itu, perlu 
pula kita merenungkan apa yang pernah 
disampaikan oleh presiden pertama kita, 
JASMERAH artinya jangan sekali-kali 
melupakan sejarah, sebab sebagaimana 
dikatakan oleh presiden kedua kita 
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang 
mengingat jasa para pahlawannya”. 
Abul ‘Ala Maududi, seorang 
ulama besar dasri India abad XX berkata 
bahwa semua tindakan dilakukan demi 
kehidupan umat manusia yang layak 
secara kolektif dan yang fungsionarisnya 
tidak ditunggangi kepentingan pribadi 
di dunia ini. Kepentingan tunggalnya 
hanyalah ridla Allah dalam Islam yang 
diakui sebagai “amal fi sabilillah”. 
Perjuangan untuk berbuat kebaikan 
dalam masyarakat Islam dan melawan 
kemungkaran adalah sebuah jihad. 
Maududi mengemukakan bahwa 
mengubah pendapat suatu masyarakat 
serta memulai suatu revolusi mental 
adalah salah satu bentuk jihad. Bukankah 
hal ini yang telah dicontohkan oleh para 
pejuang Banten?
Jihad fi sabilillah yang digalakkan 
untuk menggelorakan semangat 
berkorban guna mempertahankan 
tanah air dari penjajah seperti yang 
diperlihatkan oleh K.H. Wasyid dan 
rakyat Banten dapat dijadikan pendorong 
untuk membangun Banten khususnya 
dan Indonesia pada umumnya.

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate