kolonial

Filsafat sudah sejak lama dianggap sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Perkembangan cara 
berfikir yang diajarkan oleh para filsuf dikembangkan oleh para ilmuwan untuk menghasilkan 
berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa kesejahteraan bagi manusia. Alam dan 
manusia itu sendiri merupakan sumber inspirasi berfikir manusia mencari kebenaran dalam rangka 
memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya  Dengan bertitik tolak pada manusia, 
cara pandang manusia terhadap alam dan dirinya sendiri mengantarkan manusia kepada cara berfikir 
monisme dan dualisme , Kelak cara berfikir monisme dan dualisme tersebut 
dikembangkan menjadi metodologi kuantitatif dan kualitatif.  Filsafat Ilmu dinyatakan bahwasanya metodologi kuantitatif yang menganut nilai 
kebenaran tunggal bertolak dari cara berfikir monisme melihat hukum-hukum alam yang berlaku 
universal, sedangkan metodologi kualitatif yang menganut nilai kebenaran jamak bertolak dari cara 
berfikir dualisme melihat fenomena alam berdasarkan sudut pandang manusia yang kompleks.
Dibidang arsitektur, kelahiran arsitektur modern sebagai produk gerakan modernisme di Barat 
yang berawal dari kebangkitan ilmu pengetahuan (renaissance) melawan dogma-dogma gereja 
zaman kegelapan (dark ages). Semangat kebebasan ilmu pengetahuan dari atribut teologi yang saat 
itu identik dengan keberadaan gereja juga tidak dapat dilepaskan dari perubahan filsafat berfikir 
manusia yang ingin memurnikan kembali manusia dari dogma gereja yang dianggap membelenggu 
dan hanya berpihak pada golongan tertentu. Beberapa filsuf yang berpengaruh pada masa ini 
diantaranya adalah Leibniz (1646-1716), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan lain￾lain. Selanjutnya arsitektur sebagai simbol melepaskan dirinya dari ornamen-ornamen yang dianggap 
tidak fungsional dan membebani bangunan itu sendiri . Di Indonesia, semangat modernisme hadir seiring dengan kedatangan kolonialis ke tanah 
Hindia Belanda (sebutan Indonesia pada masa itu). Penemuan heliosentris dan bentuk bumi yang 
bulat oleh Copernicus dan Galilleo mendorong para pelaut menjelajahi dan mencari sumber daya 
alam yang dihasilkan bumi dengan dalih untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Sumalyo 
(2005) selanjutnya menyatakan bahwasanya adanya Benteng Belanda di Indonesia merupakan wujud 
arsitektur Eropa yang pertama didirikan sebagai simbol dari keinginan Belanda melalui serikat 
dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk meneguhkan kekuasaan monopoli 
perdagangan rempah-rempah yang merupakan komoditas dagang yang memberikan keuntungan 
besar bagi Eropa. Seiring waktu arsitektur kolonial digunakan dan dikembangkan sebagai simbol 
peneguhan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda di berbagai bidang kehidupan masyarakat 
 bahwasanya penerapan arsitektur 
kolonial dan simbol-simbolnya dimaksudkan sebagai pembeda status sosial antara warga Eropa dan 
kaum bangsawan dengan warga pribumi.  bahwa 
perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial 
dan lingkungan Hindia Belanda yang berbeda dengan Eropa, mereka melakukan adaptasi dan 
akulturasi dengan arsitektur lokal untuk menciptakan arsitektur yang lebih sesuai untuk mereka 
tinggali di Hindia Belanda. Arsitektur Indis selanjutnya merupakan istilah yang kerap digunakan 
untuk menyebutkan arsitektur kolonial Belanda hasil proses adaptasi dan akulturasi tersebut.
Pada tulisan ini akan dibahas bagaimanakah pengaruh perkembangan filsafat keilmuan barat 
terhadap perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Sehingga kedepannya diharapkan 
dapat dijadikan salah satu landasan berfikir bagi peneliti arsitektur maupun masyarakat awam dalam 
mengamati keberadaan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia secara lebih tepat dan terperinci. 
Meskipun arsitektur kolonial di Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan arsitektur yang ada di 
Eropa, namun pengaruh alam dan budaya yang berbeda tentunya akan melahirkan cara berfikir 
arsitektur yang berbeda juga. Hal tersebut tentunya akan menghasilkan keragaman dan kekhasan 
arsitektur kolonial sebagai bagian tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan arsitektur di 
Indonesia.Sejarah filsafat barat mencatat kolonialisasi paling tua dilakukan oleh Bangsa Sparta atas 
Athena. Hal tersebut bertujuan untuk melegitimasi bahwa Bangsa Sparta lebih unggul jika 
dibandingkan dengan Athena yang dikenal telah maju pola berfikirnya dan telah memiliki sistem 
kenegaraan yang melembaga ,. Dengan begitu maka sudah sejak lama kolonialisasi 
identik dengan keinginan untuk menaklukan bangsa atau kelompok masyarakat lain dan merebut 
identitasnya. Hal ini tentunya merupakan tujuan dari pendekatan berfikir kategori, dimana pada 
akhirnya terdapat label antara bangsa yang unggul dan bangsa yang tidak unggul. 
Apa yang dilakukan oleh Bangsa Sparta terhadap Athena tersebut ternyata mempengaruhi 
Plato untuk menciptakan konsepsi negara ideal yang diberi nama Negara Utopia 
Selanjutnya konsep tersebut selalu menjadi rujukan beberapa pemikir penting dari masa Aristoteles, 
hingga Karl Marx ,. Adapun intisari dari Konsep Negara Utopia adalah 
penciptaan institusi yang selanjutnya disebut dengan negara, yang bertujuan untuk menciptakan 
kebahagiaan bersama melalui serangkaian penaklukan untuk menerapkan kepatuhan aturan yang 
diberikan oleh kaum bangsawan terhadap rakyat jelata. Jelaslah bahwasanya untuk dapat 
membedakan golongan bangsawan atau tidak bangsawan diperlukan pengakuan bahwasanya ada 
golongan yang lebih unggul dan ada kesediaan untuk mengikuti aturan dari yang lebih unggul.
Selanjutnya kolonialisasi berkembang dengan berbagai motif. Pada masa Helenisme misalnya, 
Philipos dari Makedonia menaklukkan Yunani untuk menguasai filsafat, ilmu pengetahuan serta 
aturan-aturan negara dalam rangka untuk mengklaim bahwasanya ia adalah Rasul-Raja (wakil Tuhan 
untuk memerintah). Ia kemudian melanjutkan penaklukannya ke daerah lain dan menerapkankan 
kelembagaan negara Yunani yang telah ditaklukkannya pada wilayah taklukan sebagai simbol 
eksistensi. Bahkan ia juga membangun beberapa bangunan dengan menggunakan gaya arsitektur 
Yunani sebagai simbol fisik. Penulis berpendapat bahwasanya inilah awal mula arsitektur dapat 
dipergunakan sebagai simbol atau identitas kolonialisme.
Pada zaman Epikurean dan Stoisme, kegiatan berfilsafat berkembang pesat dari sebelumnya 
dan mampu melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Lahirnya berbagai macam ilmu 
pengetahuan berarti melahirkan spesialisasi dalam berfikir yang kemudian mendorong lahirnya 
materialisasi ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mendapatkan kesejahteraan dan pengakuan dari 
masyarakat . Dengan demikian maka muncul gejala simplifikasi filsafat agar lebih 
mudah dirasa secara indrawi. Lebih lanjut jika filsafat dinilai dengan suatu hal yang bersifat indrawi 
maka tentuya dapat ditukar atau dimiliki dengan barang lain yang indrawi pula. Dari sini kemudian 
muncul kategorisasi pengguna filsafat, dengan lahirnya kaum skeptis dan sinis ,
Kedua kaum ini selanjutnya selalu muncul dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Kaum 
Skeptis adalah mereka yang hasil pemikirian ataupun ilmu pengetahuannya diapresiasi oleh 
masyarakat, dan mendapatkan kesejahteraan atasnya. Sebaliknya mereka yang pemikiran ataupun 
ilmu pengetahuannya tidak diapresiasi masyarakat akan digolongkan sebagai kaum sinis yang 
merasa dimarjinalkan karena tidak mendapatkan kesejahteraan atasnya.
Kategorisasi Kaum Skeptis dan Sinis menjadi mencapai belahan Dunia Timur melalui 
penaklukan atau kolonialisasi Barat yang disimbolkan dengan semangat 3G (Gold, Gospel, Glory) 
yang didengungkan oleh kerajaan dan gereja Eropa. Semangat 3G tersebut mempertegas dikotomi 
keberadaan kaum Skeptis yakni penjajah dan kaum Sinis yang diwakili oleh pribumi. Menariknya 
keberadaan Kaum Skeptis dan Sinis tidak muncul pada saat penyebaran Islam, karena pemikiran dan 
ilmu pengetahuan Islam disebarkan tanpa motif untuk mendapatkan keuntungan, dan Islam tidak 
mengenal penaklukan untuk menyebarkan ideologinya. Hal ini salah satunya dapat terlihat pada 
peradaban Islam di Andalusia .Untuk mengukuhkan identitas sebagai kaum yang lebih unggul di tanah jajahan (setidaknya 
menurut orang-orang Barat sendiri), mereka tetap memaksakan pemikiran mereka sendiri alih-alih 
menyesuaikan dengan yang telah ada di Timur. Mereka menerapkannya diberbagai bidang 
kehidupan termasuk arsitektur sebagai simbol pengukuhan jati diri. Selanjutnya hal tersebut semakin 
menjadi dikarenakan mereka kemudian berhasil menguasai sumber daya alam yang ada sehingga 
orang-orang Timur terpaksa mengikuti aturan-aturan yang didasarkan pada pola pikir orang-orang 
Barat. Dalam konteks ini, arsitektur dan perancangan kota merupakan wujud material dari pemikiran 
yang bertujuan untuk menjadi simbol pengukuhan,
Kelak di akhir masa kolonialisasi akhirnya terjadi kompromi antara Barat dan Timur karena faktor 
perbedaan lingkungan dan iklim yang mau tidak mau harus diselesaikan oleh orang-orang Barat.
Pengaruh Perkembangan Filsafat Terhadap Kegiatan Kolonialisasi
Kolonialisasi dimulai pada masa Yunani Kuno, dengan adanya penaklukan Sparta terhadap 
Athena, kode moralitas dan cara hidup bermasyarakat berkembang dengan tidak menempatkan 
adanya raja sebagai penguasa. Hal ini dikarenakan mereka mengetahui bahwasanya kesejahteraan 
hidup diperoleh dari ketersediaan sumber daya. Situasi inilah yang kemudian menjadi awal dari 
kolonialisasi yang bermotif pengumpulan sumber daya alam. Dalam keadaan yang tenang, 
rasionalitas manusia Yunani Kuno dapat tumbuh dan berkembang melahirkan berbagai macam 
filsafat. Tujuan dari berbagai macam filsafat pada masa Yunani Kuno adalah menghadirkan 
kebahagiaan yang identik dengan rasa sejahtera manusia akibat terpenuhinya sumber daya. Adapun 
ciri filsafat yang lahir pada masa ini adalah religius dan mistik. Di sisi lain, penaklukan Athena oleh 
Sparta didasarkan atas keinginan untuk membuktikan kode moralitas dan cara hidup siapa yang 
paling unggul. Uniknya, setelah penaklukan terjadi justru kedua kode moralitas dan cara hidup 
tersebut berdampingan dan pada akhirnya melahirkan kasta-kasta warga yang lebih beragam. Dari 
fenomena di atas dapat diketahui bahwasanya meskipun terdapat kategori yang berbeda (Sparta dan 
Athena), filsafat mengajarkan untuk lebih mengutamakan rasionalitas, mencapai “nilai bersama” 
yaitu kebahagiaan hidup.
Seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, filsafat Yunani Kuno diantaranya 
menghasilkan mazhab epikurean dan stoisme sebagai cara memperoleh kebahagiaan hidup melalui 
proses berfikir. Filsafat tersebut semakin meluas di daratan Eropa pada masa Milesian. Melalui 5 
(lima) tokoh utamanya yaitu Thales, Anaximenes, dan Anaximander, Phytagoras, dan Heraklitus, 
mereka mengajarkan bahwasanya segala sesuatu memiliki unsur utama alam yang dapat diketahui 
dengan melakukan pengamatan atau pengalaman empiris (Hadiwijono, 1980). Kelak pada akhir 
masa dark ages (jaman kegelapan) hingga modernisme awal, kemajuan ilmu pengetahuan yang 
berbasis empirisme mampu melahirkan teknologi yang semakin memudahkan manusia melakukan 
segala urusannya, dan hal ini semakin mempertegas posisi kaum Skeptis dan Sinis (Russell, 2007). 
Penulis berpendapat bahwasanya skeptisme dan sinisme melahirkan dikotomi masyarakat 
beradab dan tidak beradab menurut persepsi pemikiran orang-orang Barat dan hal ini menjadi label
golongan masyarakat pada masa kolonialisme. Kaum skeptis dicirikan sebagai pemilik ilmu 
pengetahuan maupun modal yang mampu menggerakkan masyarakat dan mendatangkan 
kesejahteraan. Pemikiran mereka cenderung didasarkan atas kesadaran individual (liberal) dalam 
melihat permasalahan hidup, serta menggunakan ilmu pengetahuan atau teknologi untuk 
mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu mereka sering kali dicirikan sebagai kaum yang 
materialistik, pragmatis, namun demikian mereka cenderung mampu berfikir secara prosedural. 
Sebaliknya kaum sinis berusaha mencapai kebahagiaan secara komunal, sehingga setiap 
permasalahan dikaji secara holistik dan mereka mencoba melepaskan diri semaksimal mungkin dari 
materialitas ilmu pengetahuan. Oleh karena itu mereka sering kali dicirikan sebagai kaum yang 
spiritualistik, setia, dengan ciri khas berfikir secara holistik. Kaum skeptis dalam konteks 
kolonialisme di dunia Timur termasuk Indonesia dapat diidentikkan sebagai kaum penjajah yang berorientasi pada kesejahteraan negara berbasis individualisme yang berpedoman pada aturan-aturan 
yang prosedural, sedangkan kaum sinis identik dengan rakyat biasa (pribumi) yang berorientasi pada 
kebahagiaan sederhana. Kolaborasi keduanya merupakan tujuan dari institusi negara saat itu (Hindia 
Belanda) untuk mendapatkan kebahagiaan bersama dengan cara mengeksploitasi serta mengolah 
sumber daya dengan cara-cara pemaksaan yang diterapkan oleh penjajah terhadap pribumi.
Dalam konteks yang lebih luas, kaum skeptis dan kaum sinis merupakan representasi dari 
penguasa dan yang dikuasai. Keduanya selalu ada dan bertukar peran meskipun filsafat pemikiran 
manusia terus berganti. Contohnya dapat dilihat pada akhir zaman kegelapan Eropa menuju zaman 
moderisme yang ditandai oleh gerakan renaissance. Kaum skeptis yang semula terdiri atas golongan 
bangsawan dan gereja bertukar peran dengan golongan pedagang dan pengusaha pada masa 
renaissance hingga modernisme. Munculnya filsafat kenegaraan Machiavelli di akhir masa 
kegelapan juga mendorong lahirnya konsep negara yang akomodatif terhadap kaum pedagang. Hal 
ini dikarenakan dahulu pihak gereja dan kerajaan mengambil sumber daya rakyat hanya untuk 
dihambur-hamburkan, sedangkan pedagang setidaknya membeli dari rakyat. Kaum pedagang merasa 
semakin didukung setelah penemuan sains kebumian terutama mengenai penggambaran bentuk bumi 
oleh Copernicus, Kepler, Galilleo, dan Newton. Penemuan itu mendorong semangat manusia untuk 
menjelajah bumi demi mencari sumber daya alam yang selanjutnya akan diperdagangkan dan 
mengisi kas negara melalu pajak. Sehingga situasi yang berkembang pada saat ini adalah sinergitas 
antara kerajaan, sains, dan kaum pedagang.
Selanjutnya terdapat 2 golongan bangsa Eropa yang melakukan perjalanan keliling dunia yaitu 
kaum kontra reformis bernuansa Gereja Katholik yang dipelopori oleh Bangsa Portugis dan Bangsa 
Spanyol, serta kaum reformis bernuansa gerakan Protestan yang dipelopori oleh Jerman, Belanda, 
Inggris, dan lain-lain (Russell, 2007). Hal tersebut dapat kita lihat pada banyaknya ekspedisi 
menjelajahi dunia yang dilakukan oleh bangsa Eropa pada abad ke 16 dan 17 dalam rangka mencari 
sumber daya alam yang bernilai ekonomi. Diantara ekspedisi tersebut sampai ke Indonesia melalui 
Belanda dan berhasil mendapatkan komoditas rempah-rempah. Rasa puas mendapatkan keuntungan 
ekonomi kemudian menarik Belanda untuk kembali pada abad ke 18 dengan keinginan memonopoli 
perdagangan. Dari sinilah kemudian muncul kolonialisme yang dicirikan dengan praktek pemaksaan 
aturan yang beragam rupa oleh diterapkan oleh orang-orang Belanda terhadap pribumi di Hindia 
Belanda.
Seperti pisau bermata dua, selain menghadirkan derita, kolonialisme menghadirkan 
modernisme Eropa di Dunia Timur termasuk Indonesia. Pemikiran filsuf-filsuf Barat yang 
mendorong munculnya modernisme di Eropa dapat dirasakan pula di Hindia Belanda melalui gaya 
hidup yang diterapkan orang-orang Eropa. Alih-alih beradaptasi terhadap sendi-sendi kehidupan 
masyarakat Hindia Belanda, modernisme justru kembali melahirkan berbedaan perlakuan 
berdasarkan golongan sebagai akibat dari perkembangan filsafat di jaman modern yang medorong 
sains lepas dari sistem kepercayaan. Seperti yang kita ketahui, masyarakat Hindia Belanda 
merupakan masyarakat yang masih memegang teguh agamanya. Filsafat Francis Bacon misalnya, 
kebenaran logika yang dibangun bertujuan untuk menghasilkan prosedur ilmiah yang dapat 
diduplikasi tanpa memandang perbedaan konteks . Pengaruh filsafat Bacon pada 
bidang hukum kolonial terlihat dari adanya perbedaan perlakuan hukum warga negara di Hindia 
Belanda berdasarkan ras. Warga pribumi dan asia lainnya diadili di Landraad dengan hukum lokal, 
agama, dan kolonial sebagai salah satu cara mencapai kebenaran logika Barat, sedangkan warga 
Eropa diadili di Raad van Justitie hanya dengan hukum kolonial karena dianggap sudah mencapai 
kebenaran logika Barat. Praktek pengadilan tersebut semakin parah dengan penunjukan hakim Eropa 
saja yang berhak memutuskan karena dianggap merupakan manusia yang logis meskipun kurang 
faham konteks sosial yang dibangun dari sistem kepercayaan lokal. Contoh yang lain adalah 
bagaimana filsafat politik John Locke diduga tercermin dari praktek penguasaan tanah pertanian dan 
perkebunan di Indonesia oleh VOC ataupun Pemerintah Kolonial Belanda melalui praktek TanamPaksa (Cultuurstelsel). Aset-aset penting yaitu tanah dan tenaga kerja dikuasai oleh kaum 
aristokratik, kaum buruh bekerja untuk kaum aristokratik dan menggantungkan perekonomiannya 
pada kemajuan perekonomian yang didapatkan oleh aristokratik. Pemahaman ini mendorong 
penjajah Belanda untuk melakukan kontrak tanah jangka panjang yang tidak seimbang dengan para 
raja atau golongan priyayi. Singkat kata Belanda hanya memikirkan hasil bumi dan keuntungannya 
dan tidak memperdulikan kondisi tanah dan nasib kaum buruh.
Implikasi Pemikiran Filsafat Terhadap Perkembangan Ilmu Arsitektur Kolonial
Dari pemaparan yang telah dilakukan, Penulis berpendapat bahwasanya cara berfikir 
kategorisasi merupakan titik tolak untuk mempelajari ilmu arsitektur kolonial. Hal tersebut karena 
situasi arsitektur yang terdapat pada awal masa kolonialisasi di Indonesia yang didominasi 2 kategori 
besar yakni arsitektur lokal dan Eropa. Hal ini sesuai dengan kebanyakan penelitian mengenai 
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia yang menekankan pada aspek karakteristik. Dalam proses 
perkembangannya, cara berfikir analogi mulai digunakan untuk menciptakan karya arsitektur yang 
lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan arsitektur campuran antara lokal dan Eropa yang 
sering disebut sebagai Arsitektur Indis.
Lebih lanjut Arsitektur Indis merupakan bukti bahwasanya cara berfikir manusia menerapkan 
pendekatan kategori dan analogi secara beriringan. Dengan mempelajari fenomena arsitektur 
kolonial Belanda di Indonesia pada umumnya, dan Arsitektur Indis pada khususnya maka kita 
mempelajari bagaimana paradigma arsitektur Barat yang bersumber dari filsafat ilmu pengetahuan 
Barat diterapkan di Dunia Timur yang tentunya memiliki konteks sosial dan setting lingkungan yang 
sama sekali berbeda. 
Mempelajari arsitektur maupun kota kolonial Belanda di Indonesia berarti kita mempelajari 
sesuatu yang telah terjadi di masa lampau. Namun demikian tidak menutup kemungkinan 
bahwasanya sesuatu yang lampau akan terulang kembali di masa yang akan datang meskipun tidak 
persis sama. Singkat kata arsitektur kolonial Belanda di Indonesia menjadi preseden untuk 
perkembangan arsitektur Indonesia kedepannya. Hal ini selaras dengan perkembangan pemikiran 
manusia yang senantiasa berubah dan berulang antara monisme, dan dualisme. 
Secara umum kita mengetahui bahwasanya kolonialisme Belanda di Indonesia dilakukan oleh 
dua pelaku yang berbeda yakni VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Keduanya tentu memiliki 
motif yang berbeda dalam melakukan praktek kolonialisasi di Indonesia, sehingga hal ini tentunya 
akan mempengaruhi bentuk arsitektur maupun kota. Kemunculan VOC merupakan bukti dari filsafat 
akhir masa kegelapan Eropa yang menginginkan adanya penguatan institusi negara dengan 
merangkul kaum pedagang sebagai solusi dari ketidakmampuan gereja dan kerajaan mengayomi dan 
mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini selanjutnya menyebabkan sistem monarki absolut 
mengalami pembatasan kekuasaan atau bahkan tidak lagi menjadi sistem pemerintahan yang dianut 
oleh sebagian besar masyarakat Eropa. Akibatnya muncul beberapa pembaharuan dibidang ideologi, 
politik, dan tata pemerintahan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi 
warga negara yang mampu berdagang untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan warga 
Eropa melalui pajak yang dibayarkan kepada kerajaan. Filsafat Erasmus dan More sebagai salah satu 
filsafat yang berpengaruh di Eropa Tengah menghasilkan gagasan untuk melakukan pembagian 
peran dalam kenegaraan , Politik, hukum, dan pemerintahan tetap dilakukan oleh 
kerajaan dan lembaga-lembaga negara, ekonomi oleh kaum pedagang, dan budaya serta kode 
moralitas oleh Gereja . Hal ini dimaksudkan agar tidak terulang kembali tirani seperti 
yang terjadi pada zaman kegelapan. Selanjutnya Filsafat Rousseau mengusulkan untuk memberikan 
wewenang khusus kepada kaum pedagang atau pemodal untuk mencari sumber daya alam seluas￾luasnya demi menciptakan kesejahteraan kerajaan dan masyarakat. Filsafat ini juga ditemukan pada 
filsafat Leibniz, dan filsafat lainnya yang muncul pada masa renaissance.Didukung oleh semangat kebangkitan dan kemajuan sains dan teknologi dibidang kebumian, 
Belanda mengawali penjajahannya dengan motif ekonomi perdagangan di Indonesia. Semula mereka 
datang dengan perangai yang merendahkan pribumi sehingga pada ekspedisi yang pertama (1596), 
Cornelis de Houtman diusir oleh Kesultanan Banten. Munculnya perangai Belanda yang kurang baik 
tampaknya dipengaruhi dari resistensi semangat tumbuhnya modernisme yang mereka bawa dari 
Eropa terhadap kondisi masyarakat Indonesia pada masa itu masih sangat kental dengan unsur-unsur 
kosmologi maupun kepercayaan. Lebih khusus, menurut pendapat penulis, pemisahan antara filsafat 
dengan teologi serta penolakan terhadap sistem pemerintahan kerajaan yang orang-orang Belanda 
bawa dari Eropa kurang sejalan dengan sistem kepercayaan Islam dan sistem pemerintahan 
kesultanan di Banten. Hal inilah yang diduga oleh penulis menyebabkan Cornelis de Houtman 
beserta rombongan diusir karena memaksakan apa yang mereka yakini. Belajar dari ekspedisi 
pertama, pada ekspedisi kedua orang-orang Belanda mampu menahan diri, berpikir lebih 
kontekstual, serta bersedia bekerjasama dengan penguasa untuk terlibat pada perang lokal demi 
mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih besar. Sikap pragmatis menjadikan mereka sukses 
pada ekspedisi yang kedua ini. 
Selanjutnya Indonesia kemudian banyak menjadi tujuan dari pelayaran Eropa. Tujuannya 
sama, yakni berdagang rempah-rempah yang banyak memberikan pemasukan pajak bagi kerajaan 
Eropa. Pada tahun 1600an negara-negara Eropa banyak membentuk perserikatan dagang, hal ini 
dimaksudkan untuk memperkuat modal semi memenangkan perlombaan dagang. Bahkan, demi 
memuluskan keinginan mereka untuk memonopoli perdagangan, mereka rela untuk mengotori 
tangannya sendiri menjadi tentara bayaran untuk memihak dan membantu salah satu kerajaan lokal 
memerangi kerajaan disekitarnya. Melihat prospek pemasukan pajak yang besar, kerajaan ikut 
memberikan dukungan terhadap serikat dagang ini. Adapun serikat dagang yang bersaing ketika itu 
antara lain adalah The British East India Company tahun 1600 yang berkedudukan di Kalkutta India, 
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) tahun 1602 yang berkedudukan di Amsterdam dan 
Batavia, serta French East India Company tahun 1604 juga berkedudukan di Kalkutta India.
Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwasanya kaum pedagang dan pemodal 
mendapatkan peran yang signifikan dan mendapatkan dukungan penuh dari institusi kerajaan di 
Eropa. Kebebasan berfikir memberikan kesempatan bagi siapapun yang menguasai ilmu 
pengetahuan maupun modal untuk mengumpulkan dan memanfaatkan sumber daya demi 
peningkatan kesejahteraan. Mereka berlayar ke luar Benua Eropa berbekal ilmu pelayaran, teknologi 
navigasi, dan juga teknologi persenjataan untuk mencari dan mengumpulkan komoditas 
perdagangan. Dengan demikian maka pada saat ini orang-orang Belanda tentunya akan lebih 
mengutamakan perasaan aman, sembari menunjukkan bahwasanya mereka berada pada posisi yang 
lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain.  bahwasanya benteng merupakan arsitektur kolonial yang mula-mula ada untuk 
memfasilitasi keamanan perdagangan. Pada tahap ini arsitektur digunakan sebagai simbol kekuasaan 
yang lebih mempertimbangkan aspek keamanan, dan kelancaran aktivitas ekonomi perdagangan. 
Tentunya, dikarenakan orang-orang Belanda saat ini belum memiliki hak atas tanah, maka 
merekapun belum memungkinkan untuk menerapkan arsitektur maupun penataan kota yang 
mempertimbangkan kenyamanan. Benteng-benteng sebagai pos perdagangan sekaligus permukiman menjadi bentuk sederhana 
dari kota yang didirikan di daerah aman yakni di wilayah pelabuhan ataupun muara sungai 
. Barulah di pertengahan kedua abad ke-17 dan 18 setelah orang-orang Belanda 
memiliki hak atas beberapa wilayah tanah yang didapatkan dari keikutsertaan mereka pada 
peperangan antar kerajaan lokal, mereka mulai berfikir dan bertindak untuk lebih menguasai 
komoditas perdagangan yang mereka monopoli dari sektor hulu ke hilir . Oleh 
karena itu maka diberlakukanlah politik tanam paksa (cultuurstelsel) yang kemudian menarik minat 
penduduk Eropa yang lebih banyak untuk datang menguasai sektor pertanian maupun perkebunan 
yang menghasilkan komoditas favorit di Pasar Eropa. Selanjutnya hal ini kemudian memicu 
munculnya pemukiman-pemukiman Belanda di Indonesia khususnya berada di daerah pesisir 
Abad ke 19 merupakan abad yang cukup bersejarah bagi Indonesia. Pada abad ini modernisasi 
yang tumbuh pesat di Eropa mulai masuk dan berkembang di Indonesia seiring dengan pemberlakukan beberapa kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai pelaku baru kolonialisme 
di Indonesia. Kebijakan-kebeijakan tersebut diantaranya adalah kebijakan Politik Etis, Liberalisasi 
Agraria, serta Pemerintahan Desentralisasi. Adapun pelaku dari modernisasi di Indonesia adalah 
orang-orang Eropa asli maupun orang-orang Indonesia yang berhasil menyelesaikan studinya di 
Eropa dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Pelaku modernisme tersebut diduga mencoba 
mengedepankan nilai-nilai kebebasan berfikir manusia melalui penciptaan gaya hidup di Indonesia 
yang lebih menonjolkan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai solusi permasalahan 
masyarakat. Derasnya arus ilmu pengetahuan dan teknologi yang masuk ditambah tekanan 
pengawasan penerapan Politik Etis dari masyarakat Eropa terhadap Indonesia mengakibatkan sekat￾sekat sosial di Hindia Belanda terbuka meskipun tidak sempurna. Hal ini dikarenakan konstruksi 
berfikir manusia yang pada saat itu mempercayai bahwasanya ilmu pengetahuan merupakan sesuatu 
yang sifatnya universal dan dapat diterapkan dimanapun, maka setiap warga yang mampu berhak 
menerima ilmu pengetahuan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan dirinya. Dari fenomena diatas kita 
dapat menarik kesimpulan bahwa pemikiran monoisme dalam arti hanya mengakui satu golongan 
masyarakat yaitu masyarakat berilmu yang saat itu didominasi oleh orang-orang Belanda dan kaum 
bangsawan muncul masa ini.
Penerapan Politik Etis menurut penulis merupakan salah satu contoh dari wujud pemikiran 
monisme di bidang politik pemerintahan tanah jajahan, politik tersebut berkeinginan untuk 
menyetarakan kedudukan pribumi dengan orang Eropa menggantikan sistem kasta yang sebelumnya 
diterapkan. Alhasil, politik ini mampu mendorong gerakan diberbagai bidang yang berorientasi 
mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama. Salah satu contoh dari gerakan tersebut adalah 
munculnya partai politik Indische Partij yang oleh para ahli sejarah diyakini sebagai tonggak awal 
modernisme dalam segi pemikiran politik bagi warga pribumi pada masa kolonialisasi Belanda.
Pada abad ke-19 ini, arsitektur dan perencanaan kota kolonial Belanda di Indonesia dihadapkan 
kepada tantangan untuk memenuhi tingginya angka kebutuhan permukiman bagi orang-orang Eropa 
yang salah satu sebab utamanya adalah kemudahan migrasi lintas benua akibat dibukanya Terusan 
Suez yang menjadikan jarak tempuh dari Benua Eropa menuju Asia lebih dekat. Akibatnya banyak 
orang Eropa mencoba peruntungan ekonomi di Benua Asia seperti yang pernah dilakukan oleh 
orang-orang Eropa sebelumnya. Di sisi lain arus urbanisasi di Indonesiapun semakin tinggi akibat 
adanya jalan pos besar (De Grote Postweg) dan pembukaan jalur-jalur kereta api yang mampu 
menghubungkan kota-kota di pesisir dengan pedalaman pulau 
Pemerintah Kolonial Belanda kemudian menerapkan kebijakan pembangunan pemukiman 
berbasis standarisasi desain rumah sehat dan industrialisasi bahan bangunan sebagai salah satu 
solusinya. Burgerlijke Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum Pemerintah Kolonial 
Belanda menjadi ujung tombak dari penerapan kebijakan pembangunan tersebut dengan 
mengeluarkan perencanaan kota, panduan desain untuk rumah sehat, dan pengawasan penggunaan 
bahan bangunan. Standarisasi, dan industrialisasi kemudian digunakan sebagai paradigma arsitektur 
untuk menyelesaikan permasalahan permukiman dengan cepat . Namun demikian 
tampaknya industrialisasi dan standarisasi juga memiliki beberapa efek samping. Yang pertama 
adalah berkurangnya eksplorasi dibidang arsitektur akibat penyederhanaan rasa atau persepsi 
manusia terhadap sesuatu. Manusia kemudian semakin fokus pada hal-hal yang terukur saja. Hal-hal 
yang sifatnya tidak terukur seperti nilai simbolisme semakin berkurang. Permasalahan baru yang 
kedua adalah eksploitasi alam yang berlebihan. Meskipun demikian, penulis berpendapat 
bahwasanya standarisasi juga membawa dampak positif yakni semakin terukurnya kenyamanan 
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia meskipun belum secara kuantitatif.
Fenomena yang dijabarkan pada paragraf di atas tampaknya sesuai dengan pernyataan 
beberapa filsuf penting di abad ke 18. bahwa ide (pokok pikiran 
manusia) berasal dari indera serta persepsi, karena ide bersifat terukur dan dapat diindera maka ide selanjutnya mungkin diterapkan pada hal lain selama permasalahan yang dihadapi sama  tertulis pada buku The 
Dialogues of Hylas and Philonous. Berkeley menyatakan bahwa sebuah realitas adalah fenomena 
mental, respon indera atas suatu realitas tidak akan mampu membuat kesimpulan atas suatu sifat 
benda, melainkan sifat tersebut tergantung pada persepsi orang yang melihatnya ,
Dari dua buah karya filsafat diatas kita dapat memperoleh gambaran bahwasanya keberhasilan dari 
suatu ilmu pada masa ini semata-mata hanya dilihat dari apakah ilmu tersebut mampu memenuhi 
tujuannya secara terukur. Jika dihubungkan dengan arsitektur maka tujuan yang dapat diukur secara 
obyektif adalah fungsi yang selanjutnya diidentikkan dengan ruang. 
Dengan demikian maka elemen bentuk pada arsitektur mengalami degradasi makna oleh 
manusia. Bentuk arsitektur yang dahulu dianggap sebagai salah satu elemen yang dapat membedakan 
(identitas) karya arsitektur yang satu dengan yang lain tidak lagi dipandang menjadi bagian penting. 
Manusiapun kemudian merasa tidak perlu untuk menerapkan simbolisme dalam arsitektur sebagai 
bahasa identitas. Dengan demikian maka bentuk bangunan dipandang hanya sebagai penutup yang 
berfungsi melindungi bagian dalam bangunan. Kondisi ini tercermin dari persepsi masyarakat 
kolonial pada abad ke 19 dan 20 mengenai karya arsitektur dimana arsitektur yang baik adalah 
arsitektur yang fungsional. Untuk menunjang arsitektur yang lebih mengutamakan fungsi maka 
penyelesaian bagian luar (enclosure) bangunan didesain bebas dari ornamen yang diidentikkan 
dengan upaya menghadirkan simbol dalam arsitektur. 
Menguatnya keinginan untuk lebih menyelesaikan fungsi dan mengurangi simbolisme pada 
bentuk juga dapat dilihat dari morfologi desain arsitektur permukiman dan perumahan kolonial yang 
semakin sederhana. Namun demikian faktor kesehatan tidak dapat diabaikan oleh manusia agar dapat 
menikmati fungsi dalam arsitektur. Orang-orang Belanda secara sadar menyadari bahwa mereka 
harus beradaptasi dengan perbedaan iklim dan lingkungan yang ada. Hal ini kemudian menjadikan 
penerapan modernisme pada arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tidak mutlak berdasarkan 
pemikiran monoisme (standarisasi dan industrialisasi) melainkan beralih ke dualisme. Orang-orang 
Belanda tersebut merasa perlu menerapkan elemen-elemen eksterior bangunan yang dapat 
menciptakan kenyamanan fungsi di bagian dalam bangunan melalui pengamatan empiris. Hal ini 
menurut pemikiran penulis merupakan wujud dari pendekatan berfikir analogi dari tubuh manusia, 
dimana kulit yang sehat merupakan salah satu tanda tubuh yang sehat. Selanjutnya melalui 
pengamatan empiris diketahui bahwasanya elemen-elemen eksterior bangunan lokal merupakan 
contoh terbaik yang ada ketika itu. 
Penulis berpendapat bahwasanya munculnya arsitektur indis yang merupakan campuran antara 
arsitektur Eropa dengan arsitektur lokal adalah wujud pemikiran dualisme yang pada akhirnya 
menjadi ciri pembeda dengan arsitektur modern Eropa yang menjadi acuan awal. Adapun 
karakteristik utama bangunan Indis , perpaduan 
bentuk antara arsitektur Barat dengan arsitektur lokal melalui penggunaan atau re-desain elemen￾elemen eksterior bangunan lokal sebagai penyelesaian selubung bangunan (building envelope).
Arsitektur Indis pada masa kolonialisasi Belanda memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat 
. Bangunan arsitektur indis mampu tampil sebagai bangunan yang fungsional, 
mejadi simbol dari bangsa Eropa yang saat itu dianggap sebagai penguasa, berestetika baik, serta 
nyaman ditinggali karena mampu beradaptasi dengan lingkungan dan iklim setempat. Pada akhirnya 
dapat disimpulkan bahwasanya pengaruh perkembangan filsafat ilmu pada bidang arsitektur kolonial 
melahirkan kesadaran berfikir bahwasanya manusia perlu kembali menjadikan alam sebagai sumber 
berfikir dan menerapkannya sesuai dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Adapun identitas yang 
dituangkan dalam praktek simbolisme perlu diterapkan dengan mengedepankan keselarasan dengan 
alam agar manusia tetap dapat hidup dan berkehidupan dalam ruang lingkup arsitektur dan 
perencanaan kotamakna atau ide dasar dari suatu fenomena yang diceritakan kembali secara sistematis dan 
komprehensif melalui berbagai sudut pandang. Dengan adanya metodologi-metodologi penelitian 
tersebut maka penelitian sejarah ataupun penelitian yang menggunakan objek sejarah semakin 
mengarah ke hal-hal yang sifatnya tematik. Namun demikian pada kajian arsitektur kolonial Belanda 
di Indonesia tidak memungkinkan untuk menerapkan metodologi penelitian fenomenologi. Hal ini 
dikarenakan peneliti tidak lagi bisa merasakan dan bersinggungan secara langsung dengan 
kebudayaan atau kehidupan sehari-hari dari orang-orang Belanda di Indonesia. Selanjutnya, tradisi￾tradisi ini dapat menggunakan beragam metode penelitian sesuai dengan fokus ataupun keluaran 
penelitian yang diharapkan. Selanjutnya akan dibahas kemungkinan penggunaan ragam metode 
penelitian untuk bidang arsitektur kolonial Belanda di Indonesia pada paragraf di bawah ini.
Mengacu pada sub bab sebelumnya, bahwa perkembangan pemikiran arsitektur kolonial di 
Indonesia berawal dari masa VOC yang dimulai dari keinginan untuk menonjolkan identitas guna 
mendapatkan pengakuan atau kedudukan yang lebih tinggi yang kemungkinan berimplikasi pada 
meningkatnya rasa aman bagi orang-orang Belanda. Dengan paradigma monisme yang mereka pakai 
dimana mereka hanya mengetahui dan meyakini bahwa satu-satunya bentuk arsitektur yang baik 
adalah arsitektur Eropa, mereka menandai dan menciptakan teritori sebagai penegasan kategori yang 
berbeda antara orang Belanda yang dianggap beradab, dengan orang lokal yang dianggap kurang 
beradab. Untuk mengkaji fenomena ini, peneliti dapat menggunakan beberapa metode seperti kajian 
literatur, komparasi kasus antar sesama kasus arsitektur kolonial, dan metode penelitian lainnya. 
Selanjutnya seiring dengan semakin berkuasanya orang-orang Belanda di Indonesia di akhir 
masa pemerintahan VOC, mereka semakin dapat mengontrol sendi-sendi kehidupan di Indonesia. 
Pada saat ini dasar pemikiran yang digunakan tetap monisme meskipun arsitektur Eropa yang 
diterapkan semakin memiliki tipologi yang beragam. Adapun yang berkembang adalah bangunan￾bangunan tersebut membentuk suatu sistem yang terpisah dengan sistem lokal yang telah ada 
sebelumnya. Sistem tersebut dapat berbentuk permukiman, ataupun kota kolonial. Oleh karena itu 
arsitektur kolonial Belanda pada masa ini dapat dikatakan sebagai simbol kekuasaan atas orang￾orang lokal. Untuk mengkaji fenomena ini, peneliti dapat menggunakan beberapa metode seperti 
kajian literatur, komparasi kasus antar sesama kasus arsitektur kolonial atau antar kasus arsitektur 
lokal dan kolonial, etnografi yang menyinggung mengenai simbol-simbol dari kebudayaan, tipo￾morfologi dan metode penelitian lainnya.
Memasuki abad ke 19, seiring dengan perpindahan kekuasaan kolonial Belanda dari VOC 
kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan munculnya paham moderisme di Eropa, monisme 
yang menjadi latar belakang pemikiran dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia berubah wujud 
seiring dengan masuknya paham modernisme di Indonesia. Fungsionalisme dan industrialisme 
dianggap menjadi solusi utama pemecahan masalah arsitektur dan perencanaan kota saat itu. Hal ini 
dikarenakan saat itu manusia memerlukan kecepatan untuk mengatasi permasalahan yang ada, dan 
dua hal di atas merupakan reduksi atas kompleksitas solusi yang mungkin bisa diambil. Keadaan ini 
terus berlangsung setidaknya sampai dengan akhir abad ke 19. Monisme pemikiran yang terjadi pada 
masa ini dalam konteks arsitektur kolonial Belanda cenderung menjadikan manusia menjauhi alam, 
manusia di Indonesia mulai meninggalkan alam sebagai sumber pembelajaran sehingga arsitektur 
yang dihasilkan terkesan kurang ramah terhadap alam. Untuk mengkaji fenomena ini, peneliti dapat 
menggunakan beberapa metode seperti kajian literatur, komparasi kasus, etnografi, tipo-morfologi 
dan metode penelitian lainnya.
Cara berfikir dualisme mulai mengikis cara berfikir monisme pada akhir abad ke 19 hingga 
berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia. Meskipun demikian tampaknya sampai akhir 
penjajahan Belanda di Indonesia, cara berfikir dualisme tidak menggantikan cara berfikir monisme 
dalam konteks arsitektur dan perencanaan kota kolonial Belanda di Indonesia. Pada masa ini, arsitek 
dan perencana kota mulai kembali melihat alam sebagai sumber pembelajaran serta memaknai 
arsitektur lokal yang sebelum kehadiran arsitektur Eropa di Indonesia telah ada sebagai buah pemikiran arsitektur yang berhasi mengatasi tantangan iklim dan lingkungan tropis. Di bidang 
arsitektur, munculnya arsitektur indis dapat dianggap sebagai tesis atas permasalahan kesehatan dan 
kenyamanan arsitektur yang dicari oleh arsitek saat itu. Di bidang perencanaan kota, adaptasi 
penggunaan prinsip garden city pada perencanaan kota-kota kolonial di Indonesia dianggap sebagai 
solusi atas keinginan manusia mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik atas kota tempat ia 
tinggal. Untuk mengkaji fenomena ini, peneliti dapat menggunakan beberapa metode seperti kajian 
literatur, komparasi kasus antar sesama kasus arsitektur kolonial atau antar kasus arsitektur lokal dan 
kolonial, tipo-morfologi dan metode penelitian lainnya khususnya yang mengenai kinerja bangunan.
di Indonesia Terhadap Alam dan Manusia
Dengan memperhatikan perkembangan keilmuan arsitektur pada umumnya, dan perkembangan 
keilmuan arsitektur kolonial khususnya maka kita mendapatkan gambaran bahwasanya arsitektur 
tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial budaya manusia dan setting lingkungan yang ada. 
Fenomena arsitektur kolonial Belanda di Indonesia memberikan gambaran bahwasanya pemikiran 
filsafat barat juga mempengaruhi dunia timur. Dinamisme cara berpikir monisme dan dualisme 
dengan alam dan manusia sebagai titik tolaknya, melahirkan cara pandang baru yang lebih ilmiah 
terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia pada saat itu.
Cara berfikir yang bertitik tolak pada manusia (anthroposentris) merupakan dasar pemikiran 
arsitektur maupun perencanaan kota yang pertama kali diterapkan. Keinginan untuk menonjolkan 
teritori dan identitas sebagai pembeda antara Belanda dengan masyarakat lokal diduga menjadi latar 
belakang utama bagaimana arsitektur Eropa yang diterapkan di Indonesia pada awal kedatangan 
VOC hingga akhir abad ke 18 tidak mempertimbangkan kesesuaiannya dengan konteks sosial 
maupun setting lingkungan yang ada. Dari uraian di atas jelaslah bahwa berfikir kategorisasi 
merupakan model berfikir arsitektur kolonial yang paling awal.
Memasuki abad 19 hingga pertengahan menjelang akhir abad ke 19, pengaruh modernisme di 
Eropa menjadikan cara berfikir arsitektur maupun perencanaan kota kolonial di Indonesia semakin 
kental dengan nuansa monisme. Cara berfikir ala mesin yang menganut nilai kebenaran tunggal 
menjadi semangat untuk menyelesaikan pertumbuhan angka permukiman dan kota yang semakin 
cepat.
Barulah kemudian memasuki abad ke 20, cara berfikir manusia mulai diwarnai oleh alam. Hal 
ini dikarenakan masyarakat kolonial ketika itu mulai sadar bahwa wujud arsitektur maupun kota 
yang ada membawa efek negatif bagi mereka karena pembangunannya yang tidak selaras dengan 
karakteristik iklim dan lingkungan setempat. Selanjutnya fenomena ini mengantarkan pada 
munculnya dualisme dalam memikirkan arsitektur dan perencanaan kota yang paling baik di 
Indonesia menurut orang-orang Belanda. Pada masa ini orang-orang Belanda mulai menggali 
pengetahuan arsitektur lokal yang sebelumnya tidak pernah dipelajari. Dari sinilah kemudian model 
berfikir arsitektur maupun perencanaan kota kolonial di Indonesia mulai menggunakan model 
analogi. Hal tersebut dapat terlihat dari praktek-praktek desain yang dilakukan oleh orang-orang 
Belanda dimana mulai memasukkan unsur arsitektur lokal ke dalam wujud arsitektur Eropa, ataupun 
mulai mensintesakan antara arsitektur Eropa dengan arsitektur lokal meskipun terkadang hanya pada 
taraf elementer saja. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan wujud arsitektur yang kontekstual 
terhadap konteks sosial maupun setting lingkungan. Singkat kata, pada akhirnya pengetahuan 
mengenai arsitektur kolonial di Indonesia membawa kita kembali kepada cara berfikir yang 
bersumber pada alam dengan nilai kebenaran yang relatif (tidak mutlak) sesuai dengan konteks yang 
ada. Bahwa manusia merupakan bagian kecil dari alam, dan tidak dapat menentang alam kecuali 
untuk kehancuranya sendiri.





Pada bulan Desember 1903, seorang pelancong dari Samarinda tiba di Pelabuhan 
Surabaya. Dalam perjalanan dari pelabuhan menuju ke penginapan maupun saat 
berkeliling kota di hari berikutnya, hanya kekaguman yang dirasakannya. Berbagai 
aktivitas masyarakat dan fasilitas pendukung kota, seperti perkampungan padat, perumahan eksklusif orang kulit putih, deretan pertokoan, jalan raya, lorong (gang), 
dan hilir mudik kendaraan, belum pernah dijumpai di kota lain. Sebagai ungkapan 
ekspresi kagum pada kota ini, dia menyatakan “djika orang-orang koerang pande 
berdjalan-djalan di kota ini ta’bolih tida temtoelah sesat badannja ta’tahoe 
menoedjoe, [.....]” (BS 17/2/1904). Kesaksian ini menginformasikan dan menegaskan 
bahwa Surabaya telah berubah dari kota tradisional menjadi kota modern pada awal 
abad ke-20. 
Perubahan kota tentu tidak terjadi secara mendadak, tetapi berlangsung melalui 
proses panjang pengaruh industrialisasi sejak pertengahan abad ke-19. Menurut H. 
W. Dick (2000:177; 2002:253), kegiatan ekonomi industri inilah yang menyebabkan
Surabaya berubah status menjadi kota industri dari agraris. Perubahan kota juga
didukung oleh kemajemukan kegiatan ekonomi produksi (pertanian dan
perkebunan) dan distribusi (pertokoan, pergudangan, dan pasar). Sektor pertanian 
dan perkebunan merupakan pendukung utama perdagangan pada pertengahan 
abad ke-19, tetapi sejak akhir abad ke-19 produk industri ikut berkontribusi 
menyuplai kebutuhan perdagangan. Ini ditandai oleh munculnya beberapa jenis 
pabrik, antara lain perkapalan, peleburan tembaga, sabun, minuman, makanan, dan 
peralatan rumah tangga.
Perwujudan kemajuan dan modernitas kota juga ditunjukkan oleh perkembangan 
infrastruktur, seperti jalan, rel, pelabuhan, dan bangunan. Pembangunan 
infrastruktur membuktikan penerimaan masuknya alat transportasi baru, seperti 
kereta api, trem, truk, bus, mobil, dan sepeda motor. Industri dan transportasi 
ternyata mendorong laju migrasi yang berimplikasi pada pertambahan jumlah 
penduduk kota dari tahun ke tahun dan perubahan komposisi penduduk. 
Akibatnya, perluasan permukiman penduduk tidak dapat dihindari sebagai efek 
kecenderungan positif perekonomian. Sehubungan dengan hal itu, tulisan ini
membahas perubahan Surabaya menjadi kota modern yang ditandai oleh 
industrialisasi, transportasi, dan permukiman, dalam kisaran waktu akhir abad ke-
19. Perubahan kota berpengaruh pada komposisi penduduk dan kehidupan 
masyarakat.
Secara teoretis, perkembangan kota modern berhubungan dengan berdirinya 
berbagai jenis industri sebagai tempat penduduk kota bekerja (Ginsburg 1989:78). 
Perkembangan industri merupakan tahapan tipe kota setelah agraris dan pra￾industri (Nas 1986a:5). Surabaya disebut kota agraris ketika dikendalikan oleh
otoritas lokal yang berlangsung pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18. 
Hal ini berarti kelahiran kota tidak secara spontan atas kehendak pedagang, 
pengrajin, dan petani, tetapi tergantung pada otoritas raja sehingga juga disebut 
kota tradisional. Kompleks abdi dalem dan pemerintahan didesain mengelilingi 
kraton, kemudian berkembang menjadi perkampungan, seperti Kampung 
Kranggan, Maspati, Tumenggungan, Carikan, dan Kepatihan. Perkembangan 
kampung lainnya disusun berdasarkan istilah pertanian, pertukangan, 
perdagangan, dan pasar, yang menunjukkan karakteristik perekonomian kota tradisional ditopang oleh kegiatan pertanian, kerajinan, dan perdagangan (Lombard
2000:218).
Kota Surabaya di bawah kendali bangsa asing dimulai ketika VOC berkuasa pada 
tahun 1743. Sejak saat itu, VOC lebih leluasa mendirikan kota sesuai model dan ciri￾ciri kota di Eropa, seperti tembok kota, kanal, dan benteng. Pusat kota bergeser dari 
tempat kedudukan raja (negaragung) ke kompleks perdagangan dan permukiman 
Belanda. Meskipun pusat kota dan kegiatan komersial telah dikendalikan oleh VOC, 
karakteristik aktivitas ekonomi masih serupa dengan periode sebelumnya, yaitu 
pertanian, perdagangan, dan kerajinan. Transisi Surabaya menjadi kota praindustri 
dimulai pada awal abad ke-19. Kampung dan permukiman kota belum menjadi 
bagian persoalan kota yang serius karena lahan-lahan masih tersedia luas untuk 
pembangunan permukiman baru, tetapi kota mulai menghadapi persoalan terkait 
kepadatan kampung yang semakin meningkat yang berakibat pada memburuknya 
keadaan fisik kampung. Pada dekade ketiga abad ke-20, pemerintah 
mengagendakan program khusus perbaikan kampung (Kampong Verbetering). 
Pada era setelah kemerdekaan juga muncul KIP (Kampung Improvement Program). 
Ketika waktu semakin bergerak jauh dari titik awal Surabaya sebagai kota modern, 
masalah yang dihadapi semakin rumit terutama permukiman liar di bantaran 
Sungai Mas yang menjadi ikon kota (King dan Idawati 2010). Hal ini berarti 
perubahan kota membawa konsekuensi pada persoalan lain. Tulisan ini tidak akan 
menjelaskan akibat perubahan kota, tetapi penekanan tertuju pada realitas objektif 
tentang Surabaya pada akhir abad ke-19.
Surabaya sebagai kota praindustri bertepatan dengan masa F.J. Rothenbuhler (1799-
1808) menjabat gezaghebber ujung timur Jawa. Pada saat itu, infrastruktur pertahanan 
kota berupa pabrik senjata dan peralatan perang (constructie winkel) mulai dibangun
di Kalisosok. Pabrik senjata merupakan awal kemunculan industri skala besar yang 
berpengaruh pada terciptanya peluang kerja dalam bidang pengecoran tembaga￾kuningan-besi, perakitan senjata, dan pembukuan (von Faber 1931:127). Kebijakan
Sistem Tanam Paksa oleh Gubernur Jenderal Joannes van den Bosch (1830-1833)
tidak hanya meningkatkan volume perdagangan yang dikuasai oleh Nederlandsche 
Handel Maatschapij (disebut Koempeni Ketjil) pada pertengahan abad ke-19 (PP 
24/3/1924), tetapi juga menyebabkan industri semakin berkembang khususnya 
industri gula.
Kebijakan Tanam Paksa mengubah wilayah pinggiran kota sebelah selatan sampai 
kawasan Sidoarjo menjadi sentra perkebunan tebu. Perkebunan tebu pertama di 
Jawa Timur terdapat di Pasuruan yang ditanami sejak akhir abad ke-18 sebagai 
pengembangan dari Batavia, kemudian diikuti oleh berdirinya pabrik gula juga di 
Pasuruan pada 1779 oleh Han Kit Ko. Industri gula di Surabaya berkembang pesat 
pada tahun 1830-an (Lombard 2000:248, 463). Beberapa pabrik gula di sekitar 
Surabaya adalah Buduran, Waru, Karang Bong, dan Ketegan pada tahun 1835; 
Candi pada tahun 1837; Watutulis, Balongbendo, Gedek, dan Seranten pada tahun 
1839; dan Sruni pada tahun 1940. Pabrik gula yang terdapat di kawasan Surabaya di 
antaranya Ketabang, Jagir, Karah, Darmo, Keputran, Gubeng, Bagong, Dadongan, 
dan Petemon. Beberapa pengusaha pabrik gula di Surabaya dan sekitarnya antara 
lain J.E. Banck, von Franquemont, J.D. Kruseman, The Goan Tzing, Han Kok Tie, 
Notto Dipuro, dan Soemo Diwirjo (von Faber 1931:178-179; Tjiptoatmodjo 1983:132).
Kemunculan pabrik gula di beberapa tempat tentu menciptakan kesempatan kerja 
baru, baik di bidang produksi maupun di gudang-gudang penyimpanan gula.
Produksi gula dengan tenaga binatang mulai diganti dengan peralatan modern 
(mesin uap) pada tahun 1830-an, sehingga mengubah volume dan percepatan
produksi gula. Sejak saat itu, penggunaan teknologi uap mendorong kemunculan
usaha lain, yaitu penyediaan alat angkut dan perawatan mesin. Alat angkut gula 
menggunakan pedati (cikar) dari pabrik ke gudang dianggap kurang efisien. Hal ini
mendorong Firma Besier en Jonkheym mulai menjual lokomobil (locomobiel) pada 
tahun 1868 sebagai alat angkut gula (von Faber 1931:180). Perubahan alat produksi
juga melahirkan pengusaha bengkel reparasi dan pembuatan ketel. Industri yang 
dibangun tidak hanya terbatas pada perangkat produksi gula, tetapi juga terus berkembangnya industri lain, seperti peralatan uap, kapal, senjata, pengecoran besi 
dan tembaga, dan kerajinan (Dick 2000:253-258).
Perkembangan industri pada masa Sistem Tanam Paksa ditandai oleh lahirnya 
pengusaha. Pengusaha perintis yang bergerak di bidang peralatan berat adalah 
Frans Jacob Hubert Bayer. Keahliannya tidak dihabiskan sebagai pekerja biasa di 
bengkel konstruksi pemerintah, tetapi beralih profesi menjadi pengusaha petualang. 
Hal ini ditunjukkan ketika F.J.H. Bayer mengundurkan diri dari pekerjaan pada 
tahun 1841, kemudian mendirikan pabrik peralatan uap De Phoenix yang 
berkembang baik dalam waktu tiga tahun. Pada tahun 1844, pabrik ini dijual kepada 
pemerintah dan hasil penjualan digunakan lagi sebagai modal mendirikan pabrik 
De Volharding yang dikelola hinggadia meninggal pada tahun 1879 dalam usia 72 
tahun (BT 15/1/1879).
Beberapa tokoh industrialis lain adalah Bezier en Jonkheym, C.F. Huysdens, dan F. 
Willems. Industri permesinan didirikan oleh Bezier Jonkheym en Smith di Kalimas,
C.F. Huysdens di Rustenburgerpad, dan F. Willems di Grisseescheweg. Industri 
tempat tidur dari besi (ijzeren ledikanten) terdapat di beberapa tempat, seperti di 
Chineesche Voorstraat (dikelola oleh A. Matzen), Boomstraat (Meduwe Schmid), 
dan Kalimas (Haije dan van Marle). Industri konsumsi sehari-hari juga berkembang, 
misalnya pabrik sabun di Kalongan didirikan oleh Rosemier en Perret, dua pabrik es 
di Societeitstraat dikelola oleh G. Kuneman dan J.J. Spiekerman, dan pabrik air 
minum (waterfabriek) milik J.A.A. Nicolai terdapat di Kalimas (Anonim 1872: 39).
Sebagian besar industri yang berkembang pada pertengahan abad ke-19 ternyata
didominasi oleh pembuatan barang kerajinan tangan. Industri kerajinan
mengandalkan bahan dari kayu, kulit, dan logam. Produk yang dihasilkan berupa 
barang jadi dan setengah jadi untuk memasok instrumen kapal, kereta kuda, mebel, 
dan rumah. Adres-boek 1872 menyebutkan bahwa kampung-kampung di Kota 
Surabaya identik dengan pekerjaan kerajinan, seperti arloji di Kampung Pecantian, 
pengecoran tembaga dan kuningan di Kampung Kawatan dan Pabean, pengolahan 
kulit di Kampung Songoyudan, pembuatan kereta kuda di Kampung Donorejo, 
pelana di Kampung Kramatgantung, dan tambangan di Kampung Bandaran
(Anonim 1872:40). Perekonomian kampung yang bersumber dari sektor kerajinan 
semakin menguat sehingga beberapa kampung dikenal sebagai kampung pengrajin, 
seperti Kampung Pecantikan (kampung reparasi atau pengrajin jam tangan), 
Pesapen (meubelmakers, pengrajin meubel), Kawatan (kopergieters, pengrajin 
tembaga), Pabean (geelgieters, pengrajin dari kuningan), Bubutan dan Maspati 
(draaijers, ivoor, en hoornwerkers, tukang bubut, gading, dan tanduk), Kampung Baru 
(bathikers, pengrajin batik), Ampel (kledermakers, penjahit pakaian), dan Sangayudan 
(huidenbereiders, pengrajin kulit) (Anonim 1872:53). Beberapa jenis industri kerajinan
melahirkan tenaga terampil yang disebut tukang.
Jumlah pekerja di bidang pertukangan sebanyak 13.347 orang, seperti tukang kayu, 
perabot rumah tangga, batik, kapal, kereta, dan pengecoran kuningan, tembaga, dan 
besi (von Faber 1931:183-184). Golongan Bumiputra mengisi semua jenis pekerjaan, kecuali pengrajin besi (bukan pande besi) dan pembuat roti. Persentasi pekerja dapat
dihitung melalui jumlah penduduk kota pada 1859, yaitu 34.927 jiwa (2.404 Eropa, 
1.809 Cina, Arab, India, dan golongan lain, 30.714 Bumiputra). Jumlah golongan
Eropa yang bekerja di sektor industri pertukangan sebesar 289 orang sama dengan 
12%, sedangkan golongan Cina, Arab, dan India, dan golongan lain sebesar 952 
sama dengan 52%. Golongan Eropa yang dianggap sebagai tuan ternyata memiliki 
kelompok yang berprofesi dalam bidang pertukangan.
Pertumbuhan jenis pekerjaan di sektor industri secara bertahap mengubah pola 
kerja. Jika pekerjaan di sektor pertanian didasarkan pada ikatan tradisional selama
kurun waktu sebelum abad ke-19, kemunculan industri mengubah ikatan yang 
diatur oleh pengusaha (Burger 1983:14). Pada awal abad ke-20, perkembangan lebih 
lanjut sektor industri melibatkan penanam modal dari Eropa yang bergerak dalam 
skala besar di berbagai bidang, misalnya industri logam, es, mineral, kilang minyak 
dan gas, galangan kapal, dan percetakan (Dick 2002:262-267). Kawasan industri yang 
dikembangkan bergeser ke selatan kota di daerah sekitar Ngagel sebagai bukti 
bahwa industrialisasi pada awal abad ke-20 bergerak dinamis.
Infrastruktur dan Transportasi
Perkembangan industri seperti dijelaskan di atas didukung oleh beberapa faktor, 
seperti pemerintah kolonial, teknologi, inovasi, bahan baku, tenaga kerja, dan 
modal, terbukti mengantarkan Surabaya bergerak dinamis. Faktor pendukung lain
adalah percepatan distribusi yang berhubungan dengan perbaikan, pelebaran, dan 
pembuatan jalan baru, misalnya jalan lebar dibuka antara Keputran dan Kayun. 
Perbaikan jalan diawali pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) 
membuka jalur pos yang melintas Kota Surabaya. Jalan utama kota mendapatkan 
perhatian serius pada paruh kedua abad ke-19 ketika aspal sebagai material penting 
pengeras jalan. Ini berarti infrastruktur jalan merupakan sarana utama percepatan 
distribusi. Distribusi barang dan angkutan orang sebelum muncul kendaraan mesin 
masih mengandalkan alat transportasi tradisional, seperti pedati (cikar) dan kereta 
kuda. 
Kereta kuda digunakan sebagai alat transportasi ke tempat bekerja. Bagi pekerja 
berpenghasilan rendah, menyewa kereta kuda memberatkan jika hanya untuk 
keperluan berangkat kerja. Realitas ini menginspirasi A. Ledeboer membuka usaha 
angkutan umum pada tahun 1859 yang tarifnya tentu lebih murah. Kereta kuda
berangkat pada pagi hari menuju ke pusat kegiatan ekonomi, kemudian
mengantarkan para pekerja kembali pulang pada sore hari. Kereta kuda sederhana 
dan murah disebut dos-a-dos (dilafalkan menjadi sado), yakni kereta kecil roda dua 
dengan tempat duduk penumpang saling membelakangi. Setelah dilakukan 
modifikasi, kendaraan ini juga disebut dokar pada tahun 1877. Muncul lagi istilah 
kosong untuk menyebut dokar ketika calon penumpang mencegat dokar sewaan di 
jalan (von Faber 1931:197-198). Sebutan kosong merupakan bentuk pertanyaan pada
kusir dokar sewa yang kembali ke rumah dalam keadaan kosong setelah 
mengantarkan penumpang atas perintah majikan. Usaha kusir memperoleh pendapatan tambahan dilakukan dengan cara mengangkut penumpang dan 
mengantarkan ke alamat yang dituju dengan pembayaran langsung ke kusir.
Pedati dan kereta kuda mendapatkan saingan ketika hadir alat transportasi baru, 
yaitu kereta api dan trem uap. Rel dibangun secara bertahap pada akhir abad ke-19.
Pembangunan rel Surabaya-Pasuruan dan Surabaya-Malang (disambungkan di 
Bangil) dilakukan oleh Perusahaan Kereta Api Negara (Staatspoorwegen), yang 
dimulai pada 1875, merupakan keputusan parlemen dan pemerintah Belanda (BT 
18/5/1878). Ini terjadi setelah satu dekade pembukaan jalur kereta api antara 
Semarang dan wilayah-wilayah kerajaan di Jawa Tengah (Knaap 1989:12). Pada 
tahun 1878, jalan besi pertama di Jawa Timur selesai dikerjakan. Sehubungan 
dengan hal ini, Gubernur Jenderal Johan Willem van Landberge (1875-1881) datang 
ke Surabaya, seperti diabadikan dalam syair yang dimuat di Bintang Timor
(18/5/1878).
Soenggoeh rameh di Surabaija,
Datengnja goebernoer dengen bininja,
Goebernoer VAN LANSBERGHE itoe namanja,
Kaja dan meskin kloewar semoeanja,
Kapal belaboe berboeni meriam,
Tinggal kwali di atas keren,
Denger djindral njang soeda dateng
Masak nasi setengah mateng
Kedatangan gubernur jenderal meresmikan jalur pertama kereta api Surabaya￾Pasuruan dan pembukaan pameran pertanian. Pejabat yang memberi sambutan 
dalam peresmian adalah Gubernur Jenderal Johan Willem van Landberge, Inspektur 
Jenderal Kolonel David Maarschalk, dan pejabat kepala pembangunan jalur rel, H.G. 
Derx. Setelah acara seremonial, gubernur jenderal beserta pejabat yang hadir 
mengawali perjalanan kereta api dari Surabaya menuju Pasuruan pada tanggal 16 
Mei 1878 (BT 18/5/1878). Perjalanan ini merupakan momentum penting yang 
memberi makna bahwa kereta api sebagai angkutan penumpang jarak jauh dan
distribusi hasil perkebunan. Komoditas pertanian dan perkebunan dari pedalaman 
terdistribusikan dengan baik, sehingga mendukung Kota Surabaya semakin kuat 
sebagai pusat perdagangan ekspor-impor. Jadwal keberangkat dari Kota Surabaya 
menuju Pasuruan dalam satu hari, yaitu pada pukul 07.00 dan 14.30, sedangkan 
keberangkatan sebaliknya pada pukul 06.15 dan 14.10. Jadwal perjalanan kereta api 
menambah pengalaman hidup baru penumpang terkait kedisiplinan terhadap 
waktu (von Faber 1931:201). Jalur kereta api disambungkan ke kota-kota lain di 
bagian selatan dan timur. Gubernur Jenderal Johan Willem van Landberge datang 
lagi ke Kota Surabaya meresmikan jalur rel kereta api Surabaya-Malang (1875-1879)
pada 20 Juli 1879. Jalur rel kereta api diperpanjang ke timur, yaitu dari Pasuruan
sampai Banyuwangi (PS 22/4/1918). Hal ini menandakan perubahan percepatan,
mobilitas, dan ketepatan.
Transportasi darat yang tidak kalah penting adalah jalur rel trem uap yang 
dibangun oleh perusahaan kereta api lokal (Oost Java Stoomtram). O.J.S. didirikan 
oleh W.A. Zilver Rupe dan A.J. Snouck Hurgronje pada 7 Juni 1888. Perbedaan OostJava Stoomtram (O.J.S.) dan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij
(N.I.S.M.) terletak pada segi yuridis dan aktivitas beroperasi. Kereta api lokal dan 
trem O.J.S. hanya menjangkau wilayah karesidenan tertentu, sedangkan kereta api 
N.I.S.M. menempuh jarak lebih jauh antarkaresidenan (Knaap 1989:13). Trem uap 
melalui jalur dalam dan luar kota, seperti Tarik (Mojokerto), Krian (Sidoarjo), 
Sepanjang (Sidoarjo), Wonokromo, Kebun Raja (Stadstuin), dan Ujung. Panjang jalur 
dari Sepanjang sampai Ujung kurang lebih 20 kilometer yang digunakan pada tahun 
1889 dan 1890 (von Faber 1931:205 dan PS 13/9/1923). Kendala yang dihadapi oleh 
O.J.S. terkait pembebasan lahan-lahan partikelir di beberapa kawasan Surabaya 
Selatan. Pada tahun 1910 O.J.S. mulai mengerjakan jalan baru dari Wonokromo–
Kebun Raja yang diresmikan pada 1 Maret 1916 (PS 7/2/1916).
Pembangunan trem listrik (electrische trem) diajukan oleh O.J.S. pada 31 Desember 
1910 kepada gubernur jenderal (PS 13/9/1923). Gagasan ini dilatarbelakangi oleh 
kehadiran perusahaan listrik Algemeene Nederlandsche Electriciteit Maatschappij
(A.N.I.E.M.) pada tahun 1909. Akan tetapi, pembangunan rel dimulai dari 
Wonokromo sampai Willemplein pada pertengahan tahun 1919 hingga 1923. Pada 
bulan Juni 1923, trem listrik dibuka untuk publik, tetapi kehadirannya tidak 
menghentikan trem uap karena terbukti tetap mengangkut penumpang hingga
tahun 1968 (PS 22/8/1919, 4/7/1923; Gpr 10/1968). Jalur pertama trem listrik 
adalah dari stasiun Wonokromo (di sebelah utara Sungai Mas), Palmenlaan, 
Simpang, Tunjungan, Kramat Gantung, Kebun Raja, Societeitstraat, Williemplein, 
Grisseescheweg, dan Pelabuhan. Jalur keberangkatan kedua dimulai dari Stasiun 
Gubeng, Celebesstraat, Konninginneweg, Sumatrastraat, kemudian melalui 
Jembatan Gubeng, dan bertemu dengan jalur dari Wonokromo di Simpang. Dari 
Simpang ini pula jalur trem listrik dipecah menjadi dua, yaitu dari Simpang ke arah 
Utara menuju kota bawah dan ke arah Barat menuju Princesselaan (Jalan 
Embongmalang) (PS 3/11/1921; 28/11/1922; 11/7/1923). Tempat duduk dibagi 
dalam dua kelas, yaitu kelas satu 12 tempat duduk dan kelas dua 23 tempat duduk,
yang berada dalam satu gerbong (PS 31/12/1920 dan 3/11/1921). Antusiasme
masyarakat pada trem listrik dapat dilihat dari jumlah penumpang selama setengah 
tahun sejak pembukaan seperti tampak pada Tabel 1.
pengguna trem listrik kurang lebih 10% per hari. Angka ini tidak termasuk jumlah 
pengguna trem uap dan kendaraan pribadi, artinya mobilitas penduduk kota 
tergolong tinggi, seperti kutipan “pada waktoe Stoomtram masih berdjalan dan 
belon ada tram listrik, belon pernah djoemlah penoempang ada begitoe banjak” (PS 
10/9/1923). Trem listrik sempat menimbulkan kekhawatiran angkutan umum lain
karena “sedjak ada tram terseboet, semoea kandara’an lainnja moendoer dengen 
santer, jaitoe seperti kosong” (PS 10/9/1923). Penurunan jumlah penumpang (Tabel 
1) terjadi pada penumpang kelas 1 yang sebagian besar ditempati oleh orang Eropa. 
Penurunan ini disebabkan oleh kehadiran taksi, “dengen taxi orang brasa lebih 
seneng, lantaran bisa toeroen di depan tempat jang ditoedjoe, sedeng dengen tram 
listrik orang masih moesti djalan lagi” (PS 17/1/1924).
Beberapa jenis alat transportasi, seperti trem uap, trem listrik, bus, taksi, pedati, dan 
kosong, telah meramaikan jalan di Kota Surabaya. Menurut Gerrit J. Knaap (1989:16), 
kendaraan baru bermesin sebagai tanda kemajuan yang menuntut pengorbanan, 
misalnya pedati dan kereta kuda, menjadi korban ekspansi kendaraan bermotor.
Dari tahun ke tahun, mobil semakin banyak melintas dan saling berpapasan di jalan 
dengan kendaraan lain. Sejak pertengahan tahun 1910-an telah tersedia mobil sewa,
seperti tampak pada Gambar 1, sehingga orang tidak harus memiliki mobil jika 
ingin mengendarainya.Iklan persewaan mobil (Gambar 1) yang dikelola oleh Liem Giok Tien dan Teng 
Giok Tjiang menunjukkan pergeseran usaha jasa angkutan yang semula didominasi 
persewaan kereta kuda. Persewaan kereta kuda kalah bersaing dengan persewaan 
mobil, akibatnya “itoe satoe per satoe kosongan soedah disimpen sadja dan tiada 
didjalanken. Malah ada dikabarken, bahoea banjak verhuurdery [persewaan] kosong 
soedah ditoetoep” (PS 17/9/1920). Merasakan naik mobil menjadi lebih mudah 
pada tahun 1920-an ketika hadir taksi yang dikelola oleh pemerintah, gemeente 
taxidienst dan swasta, Maatschappij tot Exploitatie Taxi Onderneming (M.E.T.O.) 
pada 1920 (PS 28/6 dan 9/10/1920). Kehadiran taksi juga disebut-sebut 
menyebabkan berkurangnya kosong. Kendaraan kosong yang mangkal di stasiun 
mulai enggan mengangkut penumpang Eropa yang tidak bersedia diangkut bersama. Hal ini terkait pada pendapatan yang lebih kecil dibanding mengangkut
penumpang Bumiputra yang bersedia diangkut bersama.
Peralihan sarana transportasi disebabkan oleh meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor. Pada tahun 1922, jumlah kendaraan sebesar 6.065, terdiri atas mobil (auto) 
4.288, truk (vrachtauto) 566, dan sepeda motor (motorfiets) 1.211 (PS 20/3/1922).
Jumlah kendaraan bermotor pada tahun 1927 menjadi 8.290, terdiri atas mobil 5.973, 
truk 685, sepeda motor 1.452, dan omnibus 180 (PS 5/1/1928). Selama lima tahun 
(1922-1927) kendaraan bermotor di Kota Surabaya bertambah sebesar 36,7%.
Perubahan alat transportasi berpengaruh pada percepatan, mobilitas, dan 
menimbulkan keluhan baru kemacetan. Ketika gerak kendaraan bertemu dalam satu 
titik tertentu terutama di sisi perlintasan kereta api dan trem yang ditutup, maka 
macet tidak dapat dihindari (PS 21/4/1923). Selain kendaraan darat sebagai wujud 
kemajuan transportasi, muncul transportasi jarak jauh yang lebih cepat, yaitu 
transportasi udara. Pada tahun 1920, alat transportasi baru diperagakan di udara 
Kota Surabaya, sehingga menarik perhatian dan menjadi tontonan masyarakat,
“doea tukang terbang militer Luitenant Behrens dan De Ruyter soedah membikin 
kalangan terbang di atas Soerabaia, kira lima menit lamanja kita bisa pandang itoe
pengliatan indah” (PS 30/6/1920). Penerbangan rintisan ini ditindaklanjuti dengan 
lahirnya Eerste Nederlandsch Indische Vlieg Onderneming (ENIVO) (BS 
20/8/1921).
Alat transportasi modern, seperti kereta api, mobil, dan pesawat terbang,
memperlancar perhubungan yang memungkinkan setiap orang dapat bepergian 
lebih cepat. Perkembangan transportasi merupakan penjelasan faktual tentang kota 
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang bermakna sebagai tanda kemajuan 
zaman dan membuktikan Surabaya sebagai kota modern
Permukiman Kota
Akibat yang ditimbulkan oleh industrialisasi dan perkembangan transportasi 
tampak pada perluasan permukiman. Perluasan permukiman kota juga dipengaruhi 
oleh faktor lain, seperti pertokoan, jalan, dan pertambahan penduduk. Sekitar tahun 
1860, muncul perkampungan baru dan toko-toko mengikuti radial jalan. Bagian 
selatan kota, di sisi jalan yang membentang dari Simpang sampai Societeitstraat 
berderet bangunan pertokoan berdiri berdampingan dan di belakangnya terdapat 
perkampungan yang tumbuh semakin padat (von Faber 1931:44). Kelompok etnik di 
Kota Surabaya pada pertengahan abad ke-18 dapat diklasifikasi berdasarkan 
rumpun kebangsaan, yaitu Bumiputra, Cina, Arab, dan Eropa. Segregasi 
antargolongan ditunjukkan oleh perbedaan permukiman yang tetap dipertahankan 
meskipun tipologi kota telah berubah menjadi kota industri pada awal abad ke-20. 
Sebelum kedatangan bangsa Barat, permukiman di Surabaya telah dimulai jauh
sebelumnya, seperti tampak pada Gambar 2.Gambar 2 tidak menyatakan nama permukiman atau kampung, tetapi ini menarik 
perhatian jika dirujuk berdasarkan pendapat Sukadana yang menyebutkan bahwa 
dari segi kewilayahan Surabaya berada di dataran rendah hilir Sungai Mas yang 
berfungsi sebagai jalan masuk pelayaran ke pedalaman (Sukadana 1979:5). Menurut 
G.H. von Faber (JP & PS 1/3/1952), di hilir sungai terdapat pelabuhan bernama 
Dadungan yang ada sejak zaman Pu Sindok (929-948). Lokasi pelabuhan diduga 
berada di sekitar Wonokromo dan diyakini sebagai faktor penting kemunculan
perkampungan. Nama tempat yang tergolong tua di muara sungai atau di delta￾delta, di antaranya Gunungsari, Ngasem, Pumpungan, Pulo Wonokromo, Kupang, 
Ujunggaluh, dan Pacekan. Tempat ini sampai saat ini masih menjadi nama kampung
(Timoer 1983:27-29). Peta sketsa hilir sungai dan delta-delta di Gambar 2
diperkirakan sudah berkembang menjadi perkampungan penduduk sejak abad ke-
10 yang bertepatan dengan perpindahan pusat Kerajaan Mataram Hindu dari Jawa 
Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan kerajaan merupakan peristiwa besar yang
mengubah Jawa Timur menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi. Bukti kuat 
tentang perubahan kawasan dapat dihubungkan dengan hilir dan delta Sungai Mas 
yang dimanfaatkan sebagai lokasi terbentuknya perkampungan pada Airlangga 
(1019-1042) (CÅ“dÄ—s 2010:202-6).
Perkampungan penduduk yang tergolong tua dikuatkan oleh bukti arkeologis dan 
historis zaman Majapahit (Lbt 9/9/1961; 15/2/1964; Gpr 7-8/1968). Penelusuran 
bukti-bukti dapat dimulai dari Prasasti Trowulan I berangka tahun 1358 dan Kitab 
Negarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365. Dua sumber ini
menyebutkan nama-nama yang diduga sebagai kampung, yaitu Terung (dekat 
Krian wilayah Sidoarjo), Kambangan Sri atau Kembangsri (desa di Mojokerto), Teda, 
Gesang atau Pagesangan, Bukul, dan Surabaya. Sampai sekarang nama-nama ini 
masih menjadi nama kampung. Dalam prasasti Trowulan I tertulis, “[...] i trung, i kambangan çri, i tda, i gsang, i bukul, i çurabhaya, muwah prakãraning naditira 
pradeça sthananing anãmbangi i madanten [...]” (Timoer 1983:13) dan “[...] di 
Terung, Kambangan Sri, Teda, Gesang, Bukul, Surabaya, demikian pula halnya 
desa-desa tepian sungai tempat penyeberangan seperti Madanten […].”
Bukti lain keberadaan kampung ditunjukkan oleh situs Ampel (pemakaman dan 
masjid). Apabila suatu kawasan memiliki tempat pemakaman dan ibadah, maka 
dapat dipastikan sebagai kawasan berpenghuni. Kawasan Ampel berkembang pada 
pertengahan abad ke-15 ketika Raden Rahmat (Sunan Ampel) mengemban tugas 
Raja Majapahit memperbaiki perilaku masyarakat di tempat itu. Hal ini berarti di
tempat itu telah terbentuk permukiman. Setelah Sunan Ampel meninggal, situs 
pemakaman dan masjid menjadi tujuan peziarah muslim, sedangkan Kampung 
Ampel menjadi konsentrasi tempat tinggal komunitas Arab berbaur dengan 
Bumiputra.
Ketiga bukti yang disebutkan di atas, yaitu bukti geografis, peristiwa, dan situs, 
menunjukkan kepastian adanya perkampungan di kawasan hilir Sungai Mas. 
Kedatangan pedagang dari luar membuktikan Surabaya telah lama disinggahi,
bahkan dihuni oleh koloni-koloni asing berdampingan dengan penduduk lokal. 
Perkembangan perkampungan pada abad ke-16 dapat dihubungkan dengan 
kegiatan perdagangan. Pada saat itu, beberapa kapal pedagang dan kapal Portugis
yang melintasi Selat Madura singgah di Pelabuhan Gresik (de Jonge 1989:3-4), 
karena lebih unggul dibanding Surabaya. Akan tetapi, pusat perdagangan beralih ke 
Pelabuhan Surabaya sejak pengaruh Kerajaan Demak mulai melemah. Kondisi 
politik ini juga dimanfaatkan oleh daerah kabupaten di kawasan pantai utara Jawa 
untuk melepaskan diri dari hegemoni Kerajaan Demak (de Graaf dan Pigeaud 
1985:18-26, 174, 196). Sejak saat itu, Surabaya berkembang menjadi negara kota yang 
kuat dalam menjalankan fungsi ideologis, administratif, politik, dan ekonomi secara 
dominan dibanding kota lain di sekitarnya (Nas 1986b:18-36; de Graaf dan Pigeaud
1985:206).
Tata ruang kota terdiri atas beberapa unsur, seperti kraton, alun-alun, pasar, dan 
perkampungan. Perwujudan Kraton Surabaya mengalami kerusakan parah setelah 
perang dengan pasukan Sultan Agung pada 1625, sehingga struktur tata ruang 
kraton dan perkampungan tidak dapat digambarkan secara detail. Kekuasaan 
kraton yang melemah sejak peristiwa perang dan berdirinya perkampungan baru 
secara alamiah menyebabkan bekas-bekas Kraton Surabaya terkikis. Kondisi ini
diperparah ketika VOC memilih membangun perangkat teknis pertahanan, benteng, 
permukiman, dan aktivitas ekonomi di sebelah utara kraton. Penguasa lokal hanya 
berkedudukan secara simbolik tanpa kewenangan besar dalam mengendalikan kota. 
Akibatnya, bukti arkeologis kraton secara berangsur-angsur sirna dan peninggalan 
yang tersisa hanya nama dan toponimi kampung (Lombard 2000:217, 222).
Pertumbuhan penduduk pada abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-18 dalam 
keadaan lambat karena situasi politik tidak kondusif. Sebelum Sultan Agung (1613-
1645) menaklukkan Surabaya pada 1625, penduduk kota ditaksir 50.000 sampai 60.000 jiwa (de Graaf 2002:94-120). Jumlah ini menurun drastis setelah perang 
selesai, yaitu kurang lebih 1.000 jiwa. Penurunan jumlah penduduk karena kematian 
dan yang lebih besar karena migrasi untuk menghindari perang. Pada tahun 1706, 
jumlah penduduk meningkat lagi hingga mencapai kurang lebih 20.000 jiwa. G.H. 
von Faber (1931:16) mengibaratkan orang yang tinggal di Kota Surabaya bagaikan 
hidup di gunung berapi yang dapat meletus setiap saat karena ketenangan
kehidupan kota masih terusik oleh pemberontakan. Kehadiran VOC sejak awal abad 
ke-17 hingga pertengahan abad ke-18 belum berperan mengubah kota karena hanya 
menjalankan kegiatan ekonomi dan tidak memiliki kekuasaan politik. 
Perubahan model dan bentuk kota mulai terlihat ketika VOC memegang kendali 
kekuasaan sejak tahun 1743 yang diperoleh melalui perjanjian politik dengan 
Pakubuwono II (1726-1749). Pada tahun 1763, Surabaya ditetapkan sebagai tempat 
kedudukan Gezaghebber in den Oosthoek. Penetapan ini secara bertahap berpengaruh 
pada perubahan infrastruktur yang ditandai dengan pembangunan fasilitas 
pertahanan dan pemisahan ketat tempat tinggal penduduk Bumiputra, Eropa, Cina, 
dan Arab. Segregasi etnik ini tampak pada tahun 1787 (Gambar 4 Kiri), kemudian 
pada tahun 1865, permukiman yang tersegregasi semakin meluas (Gambar 4 
Kanan).
Gambar 4 menunjukkan komponen utama pertahanan didukung oleh pos jaga, 
benteng, tembok keliling, gerbang, gudang mesiu, dan gudang amunisi, yang berada 
di sebelah barat sungai. Fasilitas ini berfungsi sebagai perlindungan kepentingan 
Belanda. Tempat tinggal golongan Eropa berada di dalam tembok dan benteng, 
sedangkan golongan lain berada di luarnya. Beberapa fasilitas pendukung yang ada 
di kompleks adalah kantor, pergudangan, dan gereja. Pos jaga berfungsi sebagai 
tempat penjagaan dan akses keluar masuk menuju permukiman eksklusif Eropa dan 
tempat yang memudahkan pemantauan permukiman Cina di seberang sungai. 
Segregasi etnik ditujukan untuk melindungi kepentingan Eropa dan mengawasi 
golongan etnik lain yang ternyata menghambat terjadinya pembauran antaretnikSteele 1980:41). Kurang dari satu abad, pemerintah kolonial berupaya membangun 
tembok kota dan benteng lebih luas dibanding sebelumnya.
Posisi permukiman Cina, Melayu, dan Arab, berada di luar garis batas (Gambar 4 
kiri), lokasinya saling bersebelahan di sebelah timur Sungai Mas. Letak kampung 
Bumiputra tersebar mengelilingi permukiman Eropa (Bleeker 1850:99-101). Proyek 
infrastruktur pertahanan kota diperluas lagi pada tahun 1835. Model dan bentuk 
sama dengan sebelumnya, yaitu benteng, tembok, dan parit yang melingkari pusat 
kota (Gambar 4 Kanan). Jarak antara ujung utara sampai selatan kurang lebih 2.700 
elo (1.854,9 m), sedangkan garis yang ditarik lurus dari timur ke barat kurang lebih 
1.850 elo (1.270,9 m) (Tjiptoatmodjo 1983:246). Proyek pertahanan ini menggusur 
beberapa kampung Bumiputra. Jumlah kampung yang terdapat di kawasan tembok 
dan sekitarnya sebanyak 192, sedangkan kampung yang digusur sebanyak 54 
kampung. Perkampungan ini dihuni oleh penduduk lokal. Dari jumlah yang tersisa 
sebanyak 138 kampung, hanya 46 kampung yang berada di dalam tembok kota
(Basundoro 2013:75).
Menurut G.H. von Faber (1931:43, 45, 86), pembangunan benteng pertahanan kota
yang tidak tuntas menghambat perluasan kota sebab wilayah yang dibatasi oleh 
tembok diibaratkan seperti ruang dalam sangkar. Residen S. van Deventer (1868-
1873) memutuskan membongkar tembok kota pada tahun 1871. Wilayah yang 
dibatasi oleh garis-garis itu disebut kota bawah (benedenstad) atau kota lama. Istilah 
benedenstad sebagai pembeda dari bovenstad (kota atas) yang berkembang pesat di 
sebelah selatan pada awal abad ke-20, yaitu kawasan Simpang, Tunjungan, Darmo, 
dan sekitarnya. Pembongkaran tembok kota berpengaruh pada pengembangan
kawasan permukiman ke arah selatan kota. Perluasan ini tidak serta-merta berjalan 
lancar karena kendala kepemilikan tanah. Sebagian besar tanah di sebelah selatan 
kota telah banyak dijual kepada pihak swasta pada masa Daendels dan Raffles, 
sehingga statusnya berubah menjadi tanah partikelir. Menurut Adres-boek 1872, 
penguasa tanah partikelir di bagian selatan kota terdiri atas para tuan tanah yang 
berasal dari kalangan Cina, Arab, Eropa, dan Jawa (Anonim 1872:59).
Tuan tanah keturunan Arab adalah Sech Awal Mohammad bin Boebsaid, penguasa
tanah di Embong Malang, Sawahan, dan Kenjeran. Sederet nama keturunan Cina, 
seperti Tjoa Djin Ho, Tjoa Djin Sing, dan Tan Tong Lip, menguasai tanah di 
Keputran Kidul dan Kupang. Tan Bin Djang menguasai tanah di Wonokromo, 
Dadungan, Karang Poh, dan sebagian persil di Kupang. Beberapa tanah yang 
tersebar di selatan kota dikuasai oleh beberapa orang, seperti Ketintang milik Oei 
Pik Tjioen, Karah milik Han Liong Kong, Tegalsari milik J. Jansen, Dinoyo milik Said 
Alwi Alhabsi, Bubutan milik Schmilouw dan Matzen, Ketabang Selatan milik Han 
Tian Ki, dan Ketabang Utara milik Han Tjian Kie. Tanah partikelir juga dimiliki oleh 
bangsawan Jawa, misalnya Prawiro Adi Koesoemo menguasai tanah di Simo dan 
Rekso Adi Koesoemo menguasai tanah di Petemon dan Kedung Anyar (Anonim 
1872:59-60). Realitas kepemilikan tanah oleh para tuan tanah menyebabkan Kota 
Surabaya sulit berkembang ke selatan selama abad ke-19 meskipun tembok kota 
telah dibongkar dan parit-parit telah ditimbun. Perluasan permukiman kota ke selatan secara bertahap mulai terealisasi pada abad ke-20 ketika pemerintah pusat 
memberi bantuan keuangan kepada gemeente untuk membeli kembali tanah 
partikelir (Basundoro 2013:51).
Perluasan permukiman secara pesat berlangsung setelah penetapan Surabaya 
sebagai gemeente pada 1 April 1906. Sebelumnya, yang disebut Kota Surabaya hanya 
salah satu distrik setara Jabakota dan Gunung Kendeng, di bawah administratif 
Kabupaten Surabaya. Walikota definitif baru ditetapkan pada 21 Agustus 1916
bertepatan dengan selesainya pembangunan kantor pemerintahan kota. Dengan 
adanya walikota, kebutuhan perumahan dan perbaikan kampung terutama 
pembenahan sanitasi mulai mendapat perhatian. Kawasan selatan kota berkembang 
pesat menjadi pusat pemerintahan, perekonomian, dan permukiman. Contohnya 
adalah perumahan yang dibangun di Ketabang Utara dan Selatan pada dekade 
kedua abad ke-20 merupakan hasil pembelian tanah partikelir oleh pemerintah
(ASGBB 1891-1942; PS 6/5, 3/6/1918). Kedua tanah itu dibeli dari Tan Tiang Kie dan 
Tan Tjiang Kie. Proses serupa juga terjadi pada perumahan yang dibangun di 
beberapa tempat, seperti Sawahan, Gubeng, dan Darmo. Rumah-rumah di kawasan 
tersebut identik sebagai permukiman mewah golongan Eropa. 
Area permukiman awalnya berfungsi sebagai lahan persawahan yang diubah atas 
intervensi pemerintah kota hingga menjadi permukiman elite. Perkembangan 
perumahan dilengkapi dengan fasilitas penting menyesuaikan standar hidup 
modern. Perumahan yang dibangun lebih mengakomodasi tempat tinggal golongan 
Eropa daripada Bumiputra, sehingga hanya golongan Eropa yang mampu membeli 
rumah itu. Hal ini berarti pengorganisasian ruang permukiman selama abad ke-19 
dan abad ke-20 tetap menerapkan prinsip etnisitas. Pola yang terbentuk masih mirip 
permukiman pada akhir abad ke-18, yaitu pada saat dimulainya segregasi etnik. 
Kampung-kampung Jawa tetap terhalang oleh pemandangan rapi deretan 
perumahan modern di sepanjang jalan utama.
Komposisi Penduduk dan Masyarakat Kota
Perkembangan perekonomian kota (industri dan perdagangan) dan pembangunan 
infrastruktur (jalan, transportasi, dan permukiman) berpengaruh terhadap 
komposisi penduduk dan masyarakat kota. Ini disebabkan oleh peluang kerja yang 
besar sehingga menarik minat orang bermigrasi. Pemilik modal swasta berpeluang 
mengembangkan perkebunan, perdagangan, dan perusahaan karena didukung oleh 
kebijakan liberalisasi ekonomi pada 1870. Hal ini menyebabkan perubahan populasi 
dan komposisi penduduk kota. Golongan Eropa yang datang belakangan 
terkonsentrasi pada bidang pekerjaan di perusahaan dan pemerintahan, tetapi 
beraneka ragam pekerjaan lain juga tercipta, misalnya pengacara, konsultan, guru 
privat, seniman, dan wartawan. Akibatnya, jumlah golongan Eropa di Kota 
Surabaya mulai berubah, misalnya, penduduk Eropa pada tahun 1850 berjumlah 
3.000, tahun 1.870 menjadi 4.500, dan tahun 1890 menjadi 7.500 (von Faber 1931:61).
Kenaikan jumlah penduduk berlangsung secara berkelanjutan hingga pemerintah 
Hindia Belanda runtuh. Populasi golongan etnik lain tampak pada Tabel 2.Angka di Tabel 2 setidaknya dapat mewakili terjadinya perubahan jumlah 
penduduk. Persentase jumlah penduduk menunjukkan kenaikan paling tinggi 
terjadi pada kurun waktu tahun 1920 hingga 1930 sebesar 81,71%, kenaikan rata-rata 
per tahun sebesar 8%. Orang Eropa mengalami kenaikan tinggi pada periode 1906 
hingga 1920, yaitu kenaikan rata-rata per tahun sebesar 9%, sedangkan periode 
tahun 1930 hingga 1940 menunjukkan kenaikan rata-rata per tahun sebesar 3%. 
Kenaikan pesat jumlah orang Cina terjadi pada periode 1920 sampai 1930, yaitu 
kenaikan rata-rata per tahun sebesar 14%. Jumlah Bumiputra antara periode 1906 
hingga 1920 mengalami kenaikan sebesar 19,23%, tetapi tidak dapat ditarik rata-rata 
kenaikan per tahun karena terjadi banyak persoalan jika dicermati dari tahun ke 
tahun dalam periode itu. Jumlah penduduk Bumiputra kurang detail. Pada tahun 
tertentu pertumbuhan tampak lambat, bahkan pernah terjadi penurunan.
Perbandingan populasi dapat dilihat pada tahun 1906 dan 1913. Jumlah penduduk 
kota sebesar 150.188 jiwa (tahun 1906) dan 133.632 (tahun 1913), sedangkan jumlah 
Bumiputra 124.473 jiwa (tahun 1906) dan 123.584 jiwa (tahun 1913). Populasi 
Bumiputra mengalami penurunan yang disebabkan oleh kondisi buruk kesehatan 
karena wabah penyakit pes tahun 1910 (von Faber 1936:297). Penyakit ini menjadi 
persoalan serius yang mengakibatkan angka kematian tinggi terutama di kalangan 
penduduk Bumiputra pada periode 1910 hingga 1920. Pada tahun 1916, jumlah 
penduduk Bumiputra sebesar 124.291 jiwa (bandingkan dengan tahun 1906) dengan angka kematian sebesar 5.960 jiwa atau 4,79% (OH 2/2/1917; PS 7/2/1917).
Penurunan populasi juga dipengaruhi oleh pembangunan yang menggusur 
kampung, “pendoedoek anak negri di ini kota soedah semangkin koerang lantaran 
bebrapa kampoeng soedah dibeli boeat diriken gedoeng, hingga hilang ratoesan 
orang boemipoetra ke paksa pindah di lain tempat” (PS 14/1/1914).
Komposisi penduduk yang disusun menurut klasifikasi etnik (Tabel 2)
memperlihatkan stratifikasi sosial berdasarkan etnisitas. Hal ini menjadi ciri khas 
masa kolonial sekaligus sumber diskriminasi rasial dalam kehidupan 
bermasyarakat. Kelompok etnik terstruktur secara hierarkis berdasar status sosial
dalam posisi atas, menengah, dan bawah. Lapisan atas ditempati oleh golongan 
Eropa dan paling bawah adalah Bumiputra. Posisi di antara kedua golongan ini 
ditempati oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing. Penduduk Eropa terdiri atas 
orang yang berasal dari Eropa (kebangsaan Belanda, Armenia, Belgia, Jerman, 
Prancis, Inggris, Italia, Hongaria, dan lain-lain) dan keturunan campuran (von Faber 
1936:35).
Kelompok Indo atau Indis menguat seiring dengan mantapnya kekuasaan Belanda. 
Keturunan ini hasil dari perkawinan campuran dan tindakan menyimpang orang 
Belanda yang memiliki gundik Bumiputra. Perilaku seperti ini masih ditemukan 
pada abad ke-20 (BS 9/11/1912; PS 1/6/1914). Kehidupan Indo cenderung 
mengikuti atau mengadopsi pola hidup Eropa (ke-Eropa-an) dibanding Bumiputra
(ke-Jawa-an), sehingga Indo disamakan dengan Eropa. Sebagian besar Indo bekerja 
sebagai ambtenaar rendahan, tetapi posisi yang dipegang bertahun-tahun itu tidak 
dapat dipertahankan setelah masa kemerdekaan. Golongan Indo yang tidak mampu 
bertahan dan tidak sepenuhnya diterima dalam kehidupan bermasyarakat harus 
eksodus dan menjadi warga negara Belanda merupakan sebuah pilihan (TM 
20/6/1952).
Kelompok etnis lain (kebangsaan) adalah Cina, Arab, dan Timur Asing, yakni 
imigran yang menempati kelas menengah dan bertempat tinggal secara terpisah di 
bawah pemimpin sendiri. Mereka sebagian besar berprofesi sebagai wiraswasta,
terutama kegiatan perdagangan. Orang Cina peranakan pada akhir abad ke-19
sudah tidak menggunakan bahasa Cina, tetapi berkomunikasi dengan bahasa 
Melayu, bahasa sehari-hari masyarakat kampung, dan sebagian kecil berbahasa 
Belanda. Fenomena ini menjadi perhatian seorang penulis seperti yang dimuat di 
surat kabar (PS 18/11/1914) yang berbunyi ”kaloe saja pikir-pikir soenggoeh maloe 
sekali orang peranakan Tionghoa, kebanjakan tiada mengerti hoeroef dan bahasa 
TH.” Secara umum, golongan Cina memakai kombinasi istilah Tionghoa, Melayu, 
dan Belanda.
Golongan Arab dikelompokkan dalam etnik tersendiri, sehingga golongan Timur 
Asing adalah orang Asia selain Arab dan Cina. Orang Arab sudah bertempat tinggal 
di Kampung Ampel sejak abad ke-17 (tahun 1680) yang dirintis oleh Syekh Awad 
Boebsaid yang berasal dari Hadramaut (pantai selatan Arab antara Yaman dan 
Oman). Peranakan Arab yang berkembang pada periode berikutnya diidentifikasi menjadi dua golongan genealogis, yaitu kelompok yang menyatakan diri sebagai 
golongan alawiyyin atau sayid, beranggapan keturunan Nabi Muhammad dan bukan 
sayid (Patji 1983:57). Mayoritas komunitas Arab bermatapencaharian sebagai 
saudagar, berdagang, dan meminjamkan uang. Orang Arab yang berjualan 
mindringan oleh orang Jawa disebut singkek Arab yang terkenal karena 
meminjamkan barang dan uang dengan bunga tinggi (PB 29/6, 1/8/1896). Hal ini 
menjadi perbincangan dan peringatan, seperti dikutip dari Bintang Soerabaia
(23/1/1904).
“Singkek-singkek Arab sekarang soeda moelai banjak lagi masoek 
kloewar dalem kampoeng mendjalanken mindringan barang dan 
oewang rentenan, itoe anak negri gampang sekali menarik hatinja 
boewat pindjem apa apa sama Arab itoe jang mana achirnja keberatan 
dirinja sendiri, inilah di koewatirkan keroesaken bagi anak boemi jang 
koerang ingetan di blakang harinja.”
Lapisan bawah dalam kategori etnik adalah Bumiputra, yang didominasi oleh etnik 
Jawa dan berbagai macam etnik, seperti Madura, Bali, Sulawesi, dan Ambon.
, stratifikasi sosial berubah sejak abad ke-20
dengan munculnya kelas sosial baru, yaitu pamongpraja Belanda, pegawai swasta, 
pengusaha partikelir Eropa, akademisi, dan pengusaha ,Pekerjaan, pendidikan, peranan, kekayaan, jabatan, dan genealogi 
menunjukkan perbedaan status sosial dengan penyebutan priyayi dan wong cilik
(kawula alit, rakyat jelata). Kelompok swasta bekerja atas inisiatif sendiri di sektor 
perdagangan dan perusahaan, seperti ahli mesin, pelayan toko, hotel, restoran, dan 
sopir, dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan meningkatnya kontak dengan 
dunia Barat. William H. Frederick (1989:28-30) mengklasifikasikan status sosial 
Bumiputra di Kota Surabaya secara hierarkis tingkat bawah, menengah, dan atas. 
Golongan tingkat bawah adalah rakyat jelata, tingkat menengah dikenal dengan 
istilah kaum cukupan yang ditetapkan dari kriteria ekonomi, yaitu pengusaha, 
pedagang, pegawai, tukang, dan buruh berkeahlian khusus. Stratifikasi sosial atas 
adalah priyayi, yaitu kelompok yang bergelar bangsawan dan yang mempunyai 
kedudukan pada profesi-profesi modern, seperti dokter, pengacara, dan guru.
Meskipun beberapa profesi-baru bermunculan, mayoritas Bumiputra yang 
didominasi oleh etnik Jawa masih menggantungkan matapencaharian di sektor 
pertanian dibanding pedagang dan pegawai administratur. Seiring dengan 
longgarnya kehidupan sosial di kota, tampaknya kelompok priyayi masih 
dikategorikan sebagai elite. Ini menunjukkan perubahan kota pada pergantian abad 
ke-20 terjadi secara menyeluruh, misalnya ekonomi, teknologi, infrastruktur, 
penduduk, dan sosial.

Kemajuan Kota Surabaya sekitar awal abad ke-20 telah mengubah status kota 
menjadi kota kolonial modern yang ditunjukkan oleh munculnya simbol 
modernitas. Simbol modernitas menjadi pembeda karakteristik fisik kota, yaitu 
industri, alat transportasi, dan permukiman. Perkembangan pesat industri
menyebabkan terjadinya perubahan kegiatan ekonomi dan pola bekerja. Dari 
perubahan ini ditemukan bahwa masyarakat kota tidak hanya bertumpu pada 
pertanian dan perdagangan, tetapi juga sektor-sektor lain khususnya industri.
Perkembangan industri di Kota Surabaya meliputi berbagai jenis pabrik skala besar 
dan kerajinan. Sektor kerajinan dikategorikan sebagai industri karena memproduksi 
barang secara berkesinambungan. Unsur lain yang menunjukkan kemajuan kota 
adalah perubahan alat transportasi modern. Kendaraan modern mendukung 
percepatan distribusi barang dan mobilitas semakin tinggi. Sejak kehadiran alat 
transportasi modern, terjadi perubahan jasa angkutan. Kendaraan yang dianggap 
kuno digeser oleh kendaraan bermotor. Hal ini menyebabkan mobilitas penduduk 
kota semakin tinggi, sehingga populasi kota semakin menigkat dari tahun ke tahun. 
Kemajuan kota juga menghasilkan perubahan stratifikasi masyarakat. Setiap orang 
memiliki peluang menempatkan status sosial di masyarakat melalui persaingan 
terbuka, misalnya pendidikan, pekerjaan, dan kekayaan. Mobilitas vertikal baru 
dapat diraih pada awal abad ke-20.

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate