jayabaya 3

 batas agar perbuatannya dipenuhi kemuliaan seorang raja. 
Jenang sengkolo terdiri dari: dua piring jenang merah putih, dua piring 
jenang merah, dan dua piring jenang putih. Dua piring jenang merah putih ini 
melambangkan penghormatan pada air penghidupan yang berasal dari kedua 
orang tua yang melahirkan. Dua piring jenang abang melambangkan suatu 
harapan agar kedua orang tuanya memaafkan kesalahan anaknya yang 
mengadakan ritual (tekad hidup, kelangsungan hidup manusia). Dan dua piring 
jenang putih melambangkan harapan kepada orang tuanya supaya anaknya 
didoakan dalam melaksanakan proses ritual (kesucian hati, kesucian hidup 
manusia). Maka dalam jenang sengkolo memiliki makna bahwa manusia 
hendaknya menghormati orang tuanya dengan meminta maaf dan minta didoakan 
agar terhindar dari sengkolo atau bencana dalam menjalani hidup. 
Buah-buahan melambangkan persembahan untuk dewa-dewi. 
Sesaji keleman terdiri dari pendeman dan jajan pasar. Pendeman (pala 
kependem) atau hasil bumi yang berasal dari dalam tanah ini melambangkan, 
bahwa manusia itu diumpamakan seperti tanah, maksudnya tanah diinjak-injak, 
diberi kotoran dan sebagainya tidak pernah marah atau sakit hati, tetapi malahan 
memberi rizki atau rejeki berupa hasil bumi. Jadi manusia diibaratkan seperti 
tanah, berbuat baik kepada sesamanya (kejelekan hendaknya dibalas kebaikan). 
Jajan pasar melambangkan, agar peziarah yang hidupnya dari berdagang akan 
berhasil dengan sukses. Kecuali itu jajan pasar juga melambangkan, bahwa sesaji 
yang dipersembahkan sudah lengkap. 
Bila sesaji di atas ada yang tidak dapat dipenuhi oleh peziarah yang 
mengadakan proses ritual syukuran maka cukup ditambahkan dengan artha tindih. 
Artha tindih ini berupa uang sebanyak Rp. 100,-  (seratus rupiah). Uang ini 
  
memiliki makna sebagai tumbasan (tukonan) atau sarana untuk membeli 
kekurangan dari chaos dahar atau sesaji makanan. 
Sekarang ini banyak peziarah yang tidak ingin direpotkan dengan berbagai 
macam masakan tersebut di atas. Banyak peziarah yang memilih mewujudkan 
sesaji makanan itu berupa hasil produksinya sendiri, seperti: roti, tahu, gethuk 
pisang, maupun nasi beserta lauk pauk secukupnya saja. Sebagai pelengkap akan 
diberikan artha tindih untuk membeli kekurangan dalam sesaji makanan tersebut. 
Hal ini menunjukkan adanya pergeseran bentuk sesaji makanan. Menurut juru 
kunci pergeseran bentuk sesaji makanan ini tidak semata-mata dikarenakan 
peziarah tersebut kurang mampu atau tidak ingin direpotkan, sebab ada beberapa 
bahan baku dari sesaji makanan itu tidak dijual di pasar (Wawancara dengan 
Bapak. Kamdani, laki-laki, 55 tahun, juru kunci, Desa Menang. Direkam pada hari 
Kamis, 15 Septempber 2005 oleh Joko Nugroho, di Petilasan Sri Aji Jayabaya 
Desa Menang). 
Sesaji makanan di atas ada yang dibawa dari rumah atau memesan dari 
warga  di sekitar Petilasan Sri Aji Jayabaya. Cara memesan sesaji makanan 
ini adalah peziarah menyerahkan sejumlah uang untuk membeli bahan makanan 
yang diperlukan dan mengganti tenaga pemasak sesaji makanan. Bila uang yang 
diserahkan tidak mencukupi untuk membeli bahan baku maka ada  beberapa 
pengurangan dalam penyajian, seperti: berbagai macam nasi di atas akan dijadikan 
satu, jenang akan disajikan di lepek kecil, dan masih banyak cara lagi. Jadi hampir 
tidak ada pergeseran dari sesaji makanan jika memesan pada penduduk sekitar, 
kecuali uang yang diserahkan benar-benar kurang untuk membeli bahan baku. 
   Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual  
Peziarah sebelum mengadakan proses ritual syukuran terlebih dahulu 
melaksanakan proses ritual pribadi di Loka Muksa. sesudah  proses ritual pribadi, 
peziarah dan juru kunci bersama-sama menuju pendapa untuk memulai proses 
ritual syukuran bersama-sama dengan peziarah lain yang ada di pendapa. Namun 
banyak juga peziarah yang tidak melakukan proses ritual pribadi dan langsung 
pada pelaksanaan proses ritual syukuran. Hal ini dikarenakan sebagian besar 
peziarah yang mengadakan syukuran menganggap bahwa proses ritual pribadi dan 
syukuran adalah sama saja. Selain oleh karena kepadatang Loka Muksa sesudah  
jam 18.00 oleh pengunjung yang menjadikan peziarah yang mengadakan 
syukuran malas untuk melakukan proses ritual pribadi terlebih dahulu. 
Proses ritual syukuan ini diawali dengan salam pembuka dari juru kunci 
dan disahut oleh semua peziarah yang mengikuti proses ritual syukuran. Salam 
pembuka tersebut seperti dalam contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 
57 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 
Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di 
bawah ini. 
Juru kunci : “Poro Bapak soho Ibu ingkang wonten ing pendopo agung mriki 
assalamualaikum warohmatuloh hiwabarokatu”. 
Peziarah : “waalaikum warohmatuloh hiwabarokatu”. 
Juru kunci : “Matur sembah suwun kagem sederek sedoyo ingkang sampun dateng 
wonten pendopo agung mriki. Ingkang sepuh nyuwun pandungo ingkang wilujeng, 
ingkang enem inggih nyuwun pandungo ingkang wilujeng”. 
Peziarah : “Inggih”. 
Terjemahannya: 
Juru kunci : “Para Bapak dan Ibu yang ada di pendopo agung ini assalamualaikum 
warohmatuloh hiwabarokatu”. 
Peziarah : “waalaikum warohmatuloh hiwabarokatu”. 
Juru kunci : “Terima kasih untuk semua orang yang telah datang di pendopo agung ini. 
Yang tua minta didoakan agar selamat, yang muda juga minta didoakan agar selamat”. 
Peziarah : “Iya”. 
sesudah  salam pembuka dihaturkan, juru kunci akan melanjutkan dengan 
doa-doa permohonan dari peziarah yang mengadakan syukuran. Doa-doa 
permohonan ini juga untuk mendoakan sesaji makanan agar pantas untuk 
dihaturkan kepada Sri Aji Jayabaya. Doa permohonan tersebut seperti dalam 
contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 57 tahun, juru kunci pamuksan, 
Desa Menang dan penyebutan nama Bapak Subandi adalah peziarah. Direkam 
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri 
Aji Jayabaya) di bawah ini. 
Juru kunci: “Mulo ingkang kagungan hajat meniko putro wayah Bapak Subandi putro 
wayah saking bojonegoro”. 
Peziarah: “Inggih”. 
Juru kunci: “Hajatipun Bapak Subandi dinten Kemis Kliwon/Jemuah Legi27 meniko 
wilujengan caos kormat sekul suci ulam sari sak uborampenipun meniko dipun caosaken 
dumateng gusti dalem Sri Aji Jayabaya. Kabeh sak putri sak putro wayah sumonggo 
kalian kerabatipun nyuwon pandungo dumateng ing pamenang mriki”. 
Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Kolo meniko Bapak Subandi panyuwonipun sampun kinabulan boten wonten 
rubedo menopo-menopo. Kagem sak keluargamenipun Bapak Subandi sak perlu betho 
sekul suci ulam sari sak uborampenipun sedoyo dipun caosaken dumateng gusti prabu 
Sri Aji Jayabaya”. 
Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Nggih binten woten kelepatan, kekirangan menopo ke mawon, Bapak 
Subandi nyuwun pangapuntenipun dumateng asmonipun kanjeng Sri Aji Jayabaya”. 
Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih mugi-mugi panyuwunanipun lan anggenanipun wilujengan Bapak 
Subandi meniko dipun sekseni poro bapak soho ibu keaturan rawuh dumateng pendopo 
agung mriki”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih sekul suci ulam sari sak uborampenipun meniko inggih caos kormat, 
ingkang dipun kormati gusti kajeng Muhammad rassul asalo sak garwo putro sekabat 
sekawan abubakar, usman, umar lan gusti baginda Ali”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Pramilo dipun ngaweruhi inggih Bapak Subandi sak keluarganipun dipun 
wangsulan pandungo ingkang wilujeng”. 
 Peziarah: “Inggih” 
                                                 
27 Doa syukuran ini dilaksanakan pada sore hari pukul 15.30, maka juru kunci menyebut hari 
Kemis (Kamis) Kliwon/Jemuah (Jumat) Legi. Karena pada pukul 15.30 masih terhitung hari 
Kamis Kliwon menurut penanggalan Jawa padahal doa syukuran ini ditujukan untuk proses ritual 
tirakatan Jumat Legi, maka juru kunci menyebutkan kedua hari tersebut secara bersamaan. 
Tujuannya adalah menunjukan jika sekarang masih hari Kamis Kliwon dan proses ritual syukuran 
ini untuk keperluan tirakatan Jumat Legi-an. 
  
Juru kunci: “Mugi-mugi sedoyo panyuwunipun Bapak Subandi dinten Kemis 
Kliwon/Jemuah Legi, mugi-mugi gusti saget nginabulaken”.  
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Bapak Subandi meniko anggenanipun kagungan kewajiban rintenan sak 
garwo putro Bapak Subandi pinarengono selamet, wilujeng, tentrem, lan ayem 
sedantenipun”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Dumateng lelampahanipun sampun boten wonten rubedo menopo-menopo. 
Bapak subandi sak garwo putronipun manggiho raharjo inggih ngantos sak lami-
laminipun”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih sederek sedoyo, poro bapak soho ibu kinaturan rawuh wonten 
pendopo agung mriki”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih pisang ayu, suruh ayu, badhek setetes, kelopo enom meniko inggih 
caos kormat ingkang dikormati mbok Siti Fatimah sami panutanipun Ibu Subandi. Kabeh 
dipun kaweruhi, Ibu Subandi inggih nyuwun tambahi pangestu”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih Ibu Subandi meniko anggenanipun momong putro wayah lan 
anggenanipun disambi nyambut damel pinarengono gampang gampil. Bapak Subandi lan 
Ibu Subandi anggenanipun pados sandang wonten bumi bojonegoro sak wilayahipun 
pinarengono gangsar inggih pinarengono rejeki ingkang agung”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Pinarengono kathah berkah dipun sandang kinten Bapak Subandi sak garwo 
putro wayahipun inggih ngantos sak lami-laminipun. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih mugi-mugi shalawatipun poro bapak soho ibu kinaturan rawuh 
dumateng pendopo agung mriki” 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih ketan towo meniko caos kormat Bopo Adam, Bopo Kuoso/Angkoso, 
lan Ibu Bumi. Mulo dipun paringi caos kormat kagem Bopo Adam, Bopo Angkoso, lan 
Ibu Pertiwi inggih disuwuni pandungo ingkang wilujeng”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Tumpeng meniko ngaweruhi kiblat papat limo pancer ingkang mamori, 
utawi sederekipun papat kalima pancer. Mulo dicaosi kakormatan inggih Bapak Subandi 
sak putro wayah sami nyambut damel sampun mboten wonten rubedo menopo-menopo 
ngantos laminipun”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Ngaweruhi guru danyang cikal bakal dusun menang mriki kalian ngaweruhi 
guru danyang cikal bakal ingkang bakali bumine Bojonegoro kiblat sekawan gangsal 
dipun minggahi. Mulo dicaosi kakormatan inggih disuwuni pandungo ingkang wilujeng. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Ngrantos dipun ngaweruhi mugi-mugi ingkang sanjang tuo menopo ingkang 
dados panyuwune Bapak Subandi ingkang sampun kinabulan inggih ngantos sak lami-
laminipun. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih sebapipun poro bapak soho ibu kulo aturi rawuh ing pendopo mriki, 
inggih ngaweruhi dinten Kemis Kliwon/Jemuah Legi Bapak Subandi wilujengan caos 
dahar sekul suci ulam sari sak uborampenipun dipun caosaken dumateng adep sanjung 
gusti kanjeng sinuhun Sri Aji Jayabaya kakung soho putri sak putro wayah puniko Bapak 
Subandi inggih nyuwun wangsulan pandungo ingkang wilujeng”. 
 Peziarah: “Inggih” 
  
Juru kunci: “Janten Arum ngaweruhi kaki waluyo jati, nyai ngawulo jati, kadine madhep 
nyaine karep. Siji teguh, loro kuat, telu papat eling slamet  Kalimat ini sebenarnya berbunyi siji teguh, loro kuat, telu eling, lan papat slamet, tetapi dalam 
doa ini dipersingkat menjadi siji teguh, loro kuat, telu papat eling slamet. 

Mugi gusti Allah tansah 
kinabulono menopo dipun suwun Bapak Subandi sak keluarganipun enggalo kinabulan”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih Bapak Subandi meniko anggenanipun nyambut damel usaha menopo 
kemawon pinarengono lancar, pinarengono sukses ngantos sak suksesipun. 
Anggenanipun usaha Bapak Subandi pinarengono katah rejekinipun”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci : “Inggih Bapak Subandi sak keluarganipun pinaringono katah kesehatanipun 
ngantos sak lami-laminipun. Inggih mugi-mugi shalawatipun/doa-doa poro bapak soho 
ibu kinaturan rawuh sedanten dumateng pendopo agung mriki”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Inggih ngaweruhi anggenanipun urusan griyo, pinarengono slamet wilujeng 
sak ubenge griyo, pinaringono slamet wilujeng sak njawinipun griyo. Tebihno saking 
menopo kemawon inggih sambi kolo Bapak Subandi anggenanipun nggriyo manggiho 
raharjo ngantos sak lami-laminipun”. 
 Peziarah: “Inggih” 
Juru kunci: “Sak aturan maleh Bapak Subandi ingkang wilujengan caos dahar sekul suci 
ulam sari meniko, bok bileh wonten kalepatan caos dahar menopo ke mawon, Bapak 
Subandi nyuwun pangapunten dumateng asmonipun gusti dalem kanjeng sinuhun Sri Aji 
Jayabaya. Soho putri sak putro wayah anggenanipun wonten kalepatan menopo kemawon 
nyuwun pangapunten”. 
 Peziarah: “Inggih” 
 Terjemahannya: 
Juru kunci: “Adapun yang memiliki permintaan atau ujup adalah Bapak Subandi yang 
berasal dari Bojonegoro” 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Ujup dari Bapak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat Legi itu 
mengadakan syukuran sesaji makanan nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya 
itu diunjukkan kepada Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Seluruh anak cucu dan kerabatnya 
minta didoakan di Pamenang  Pamenang ini dihubungkan dengan Pamuksan Sri Aji Jayabaya bukannya Desa Pamenang atau 
Menang. 


 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Pada saat ini permintaan Bapak Subandi telah terkabulkan dan tidak ada 
halangan yang berarti. Bagi seluruh keluarganya, Bapak Subandi memiliki keperluan 
membawa nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya disajikan kepada Sang 
Prabu Sri Aji Jayabaya”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Apa bila ada kesalahan, kekurangan apa saja, Bapak Subandi minta maaf 
sebesar-besarnya kepada nama Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Semoga permintaan di dalam mengadakan syukuran Bapak Subandi yang 
disaksikan oleh para bapak dan ibu yang datang di pendapa agung ini. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Nasi gurih dengan lauk pauk dan perlengkapannya ini disajikan kepada Nabi 
Muhammad SAW dan kerabatnya Abubakar, Usman, Umar dan Yang Terhormat 
Baginda Ali. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Diberi sesaji ini agar Bapak subandi dan keluarga mendapatkan jawaban doa 
penuh berkah. 
 Peziarah: “Iya” 
                                                
Juru kunci: “Semoga segala permintaan Pak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat 
Legi, dengan kehendakNya dapat mengabulkannya. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Bapak Subandi punya kewajiban mengadakan syukuran agar seluruh 
keluarga Bapak Subandi diberikan keselamatan, berkah, ketentraman, dan nyaman 
kesemuanya”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Pada saat perjalanannya sudah tidak ada godaan apa saja. Bapak subandi dan 
keluarganya dipenuhi kesejahteraan hingga selama-lamanya”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Untuk itulah para bapak dan ibu diharapkan kedatangannya di pendapa 
agung ini”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Adapun pisang raja, daun suruh, badhek satu tetes, kelapa muda itu sesaji 
yang disajikan Ibu Siti Fatimah
Ibu Siti Fatimah ini memilik dua makna, yaitu Siti Fatimah nama dari ibu nabi Isa dan tanah. 
Jadi dalam doa ini memiliki arti bahwa semestinya ibu Subandi mampu mencontoh kehidupan Siti 
Fatimah (ibu nabi Isa) dan tanah yang selalu memberikan kesuburan bagi setiap tanaman. 

 yang menjadi panutan Ibu Subandi. Semua diberitahu 
dan Ibu Subandi minta diberikan berkah”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Ibu Subandi di dalam mengasuh keluarga dan sambil bekerja diberikan 
kemudahan. Pak Subandi dan Ibu Subandi di dalam mencari nafkah di Kota Bojonegoro 
dan sekitarnya diberikan kelancaran dengan berkah melimpah”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Berikanlah banyak berkah yang diperoleh Bapak Subandi dan seluruh 
keluarganya hingga selama-lamanya. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Semoga para bapak dan ibu yang diharapkan datang mendoakannya di 
pendapa agung ini”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Ketan tak berasa ini merupakan sesaji kepada Bapa Adam, Bapa Angkasa, 
dan Ibu Pertiwi. Oleh karenanya diberikan sesaji kepada Bapa Adam, Bapa Angkasa, dan 
Ibu Pertiwi semoga memberikan doa penuh berkah”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Tumpeng ini memberi pengertian pada kiblat papat limo pancer (empat 
kiblat lima menjadi pusat) Kiblat papat limo pancer memiliki arti bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan itu harus melalui 
empat cara atau jalan. Empat kiblat ini diasosiasikan dengan empat mazhab dalam agama Islam 
yaitu mazhab Safei, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Keempat mazhab ini merupakan jalan yang 
dapat ditempuh oleh seorang muslim agar sampai pada kehidupan yang menyenangkan di akherat 
(limo pancer). Tujuan dari kehidupan manusia adalah mencapai kelanggengan atau keabadian 
hidup di surga. 

 atau juga sederekipun papat kalima pancer (saudaranya 
empat yang ke lima menjadi pusat). Sederekipun papat kalima pancer ini memiliki makna bahwa kelahiran setiap insan ciptaan 
Tuhan selalu disertai empat unsur saudara,yaitu: (1) Kakang kawah, warna putih yang bertugas 
melindungi seluruh jasad manusia. (2) Adi ari-ari, warna kuning dan bertugas melindungi 
langkah-langkah hidup. (3) Arinta rah, warna merah, bertugas mengarahkan kelakuan baik. (4) 
Arinta puser, warna hitam dan bertugas melindungi suara. Dan yang ke lima adalah diri manusia 
itu sendiri. 
Maka diberikan sesaji agar Bapak Subandi dan 
seluruh keluarga dalam bekerja tidak mendapatkan halangan apa saja sampai selamanya”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Memberitahu kepada Guru yang mengawali Desa Menang ini dan 
memberitahukan Guru awal yang mengawali Kota Bojonegoro di atas empat dan lima 
kehidupan. Maka diberi sesaji juga dimintakan doa penuh berkah”. 
            Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Berharap semoga yang dituakan ini agar segala permintaan Pak Subandi 
yang sudah terkabulkan dapat bertahan hingga selama-lamanya. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Maka itu para bapak dan ibu, saya harapkan kedatangannya di pendapa ini, 
agar syukuran Bapak Subandi pada hari Kamis Kliwon atau Jumat Legi dengan 
membawa sesaji makanan nasi gurih dan lauk pauk beserta perlengkapannya yang 
disajikan kehadirat Sang Prabu Sri Aji Jayabaya memohon supaya seluruh keluarga 
Bapak Subandi diberikan jawaban doa penuh berkah”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Jika seorang lelaki mengetahui/menginginkan kehidupan sejati, maka 
seorang istri haruslah menuruti dengan kesejatian pula, seperti satu : keteguhan, dua : 
kekuatan, tiga : kesadarandan, dan empat : keselamatan. Semoga permintaan Bapak 
Subandi beserta keluarganya segera dikabulkan oleh Tuhan”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Bapak Subandi di dalam bekerja apa saja diberikan kelancaran, berikanlah 
kesuksesan-kesuksesan. Di dalam bekerja, Bapak Subandi, berikanlah banyak 
mendapatkan berkah”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Bapak Subandi dan seluruh keluarga diberikan banyak kesehatan hingga 
selama-lamanya. Semoga para bapak dan ibu yang diharapkan datang mendoakannya di 
pendapa agung ini”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Di dalam urusan rumah, berilah keselamatan di sekitar rumah dan di luar 
rumah. Jauhkanlah dari bahaya apa saja, Bapak Subandi dalam berumah tangga, dapat 
memperoleh kesejahteraan hingga selama-lamanya”. 
 Peziarah: “Iya” 
Juru kunci: “Satu haturan lagi Bapak Subandi yang syukuran sesaji makanan nasi gurih 
dengan lauk pauknya ini, jika ada kesalahan sesaji makanan berupa apa saja, Bapak 
Subandi minta pengampunan kepada nama Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Dan juga kepada 
semua orang yang ada di sini mempunyai kesalahan apapun juga minta minta 
pengampunannya”. 
 Peiarah: “Iya” 
  
Doa juru kunci ini selalu disahut dengan kata nggih oleh semua peziarah yang 
ikut. Nggih dalam bahasa indonesia bisa berarti menyetujui atau meng-iya-kan. Isi 
dari doa ini berupa penjelasan kedatangan peziarah dan doa permohonannya 
dalam mengadakan syukuran. 
sesudah  doa permohonan peziarah diucapkan, juru kunci melanjutkan 
dengan acara berdoa bersama yang diawali dengan ajakan seperti dalam contoh 
(rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 57 tahun, juru kunci pamuksan, Desa 
Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di 
Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di bawah ini. 
  
Juru kunci: “Mbok bileh wonten kekirangan atur kulo soho bapak poro ibu kulo aturi 
njejuruk ‘Amin’ kabul slamet”. 
Terjemahannya: 
Juru kunci: “Dan jika ada  kekurangan hatur saya semua yang hadir di sini, marilah 
kita haturkan kata ‘Amin’ agar terkabulkan keselamatan”. 
 
Ajakan juru kunci di atas diteruskan dengan doa yang diawali dengan 
tatacara Islam dan dilanjutkan doa wajib yang telah diajarkan turun-temurun 
seperti dalam contoh (rekaman suara Bapak Kamdani, laki-laki, 56 tahun, juru 
kunci pamuksan, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh 
Joko Nugroho, di Pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya) di bawah ini. 
Juru kunci: “Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah hirrobil’alamin”.
Bila secara lengkap doa tersebut akan berbunyi “Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah 
hirrobil’alamin. Allahumma shalli’ala sayyidina muhammadin wa’alaali saiyyidina muhammadin. 
Wa asyhaduanna muhammadar rasullulloh hirrobil ‘alamin”. 

Peziarah: “Amin…” 
Juru kunci: “Allahumma selamet bumi ingkang maringi rejeki. Jagat ingkang maringi 
kuat. Bumi pratolo ingkang nglebur doso. Sabdo purno ing ponco bolo resik”. 
Peziarah: “Amin…” 
Juru kunci: “Purno ing ponco bolo, urip kito ing dino rahayu, kito ing dino pithu”. 
Peziarah: “Amin…” 
Juru kunci: “Selamet kito kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bumi seng maringi rejeki, 
jagat seng maringi selamet. Umur panjang tanpo walangan. Sumber mengo banyu mili, 
anggenanipun katah panyembah wonten ingkang ngrahmati. 
Peziarah: “Amin…” 
Juru kunci: Bismillahir rohmanir rokhim. Al Hamdulillah hirrobil’alamin”. 
Juru kunci dan Peziarah: “Amin…” 
Terjemahannya 
Juru kunci: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji 
bagi Allah seru sekalian alam”. 
Peziarah: “Amin…” 
Juru kunci: “Ya Allah berilah keselamatan kepada bumi yang memberikan berkah. Jagat 
yang memberikan kekuatan. Bumi tempat kami berpijak yang meleburkan segala dosa. 
Sabda yang membersihkan lima bencana”. 
Peziarah: “Amin…” 
Juru kunci: “sesudah  terselesaikan kelima bencana besar, ke tujuh hari yang kita lalui akan 
dipenuhi dengan kemakmuran”. Kalimat ini bukan mengambil dari ajaran Hindu tentang lima bencana besar, melainkan doa 
yang dirangkai oleh juru kunci sendiri. 
Peziarah: “Amin…” 
Juru kunci: “Sumber keselamatan kita kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bumi akan 
memberikan rejeki, jagat akan memberikan keselamatan. Umur yang panjang tidak 
mendapat halangan. Saat sumber terbuka maka air mengalir tiada henti, jika banyak 
berdoa akan dibeikan limpahan rahmad”. 
Peziarah: “Amin…”                                                  
Juru kunci: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji 
bagi Tuhan”. 
Juru kunci dan Peziarah: “Amin…” 
 
Ungkapan doa yang diawali dengan tata cara agama Islam ini untuk mewakili 
peziarah yang beragama Islam, sedang yang beragama lain dapat mengikuti 
ataupun berdoa sendiri. Keseluruhan doa ini mengutip dari doa-doa di dalam 
agama Islam namun tidak secara lengkap atau dapat dikatakan doa-doa dalam 
bahasa Arap ini merupakan ungkapan spontanitas dari juru kunci. 
sesudah  doa dihaturkan, makanan yang dijajarkan dengan rapi di meja, 
kemudian dibungkus satu-satu dan dibagi-bagikan secara merata kepada semua 
peziarah yang mengikuti proses ritual syukuran untuk disantap bersama-sama. 
Proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya meliputi tahap persiapan dan pelaksanaan. 
1. Tahap persiapan ini dilakukan pada tempat ritual , saat ritual  atau 
pemilihan waktu, benda ritual , dan orang yang melakukan ritual . 
Semua persiapan ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan dan 
harus memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan. 
2. Tahap pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa 
Kliwon ini terbagi dalam dua bagian, yaitu proses ritual tirakatan 
pribadi dan syukuran. Proses ritual pribadi dilakukan oleh peziarah 
dengan bimbingan juru kunci. Proses ritual bancakan atau syukuran 
merupakan ungkapan terima kasih seorang peziarah yang diwujudkan 
dengan acara makan bersama dengan peziarah lain yang datang di 
pamuksan Sri Aji Jayabaya. Walaupun ada  beberapa pergeseran 
tentang sesaji makanan dan tata cara ternyata tidak mengurangi 
kesakralan proses ritual tirakatan itu sendiri. Hingga sekarang proses 
ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon masih dirasakan 
sebagian besar warga  Kediri sebagai kebutuhan untuk membina 
hubungan baik kepada Sri Aji Jayabaya, leluhur, maupun sesama 
peziarah yang datang.  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  86
BAB IV 
PROSES RITUAL 1 SURO ATAU MUHHARAM 
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KOTA KEDIRI 
 
4.1 Pengantar 
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini diprakarsai oleh 
Yayasan Hondodento sesudah  proses pemugaran wilayah pamuksan terselesaikan. 
Proses ritual ziarah ini dilakukan secara adat keraton Yogyakarta. Hingga saat ini 
Yayasan Hondodento masih berperan sebagai penyelenggara proses ritual 
peringatan tahun baru Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Kemudian dalam 
perjalanan waktu oleh pendukung atau warga  sekitar wilayah Petilasan Sri 
Aji Jayabaya dipercaya sebagai tradisi ritual setempat. 
Disamping proses ritual ziarah 1 Suro, Yayasan Hondodento juga 
mengadakan ritual  labuhan di bulan Suro, tepatnya tanggal 15 Suro, di pantai 
Parangkusumo Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka tidak mengherankan jika 
antara proses ritual tahun baru Suro memiliki hubungan yang erat dengan ritual  
labuhan di pantai Parangkusumo Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun 
kepercayaan penduduk sekitar Petilasan Sri Aji Jayabaya menganggap bahwa 
eratnya hubungan proses ritual di bulan Suro ini dikarenakan ada  hubungan 
darah antara raja-raja di kerajaan Kediri dan Mataram (sekarang Keraton 
Yogyakarta Hadiningrat). Pendapat penduduk Desa Menang ini didukung juga 
oleh juru kunci Sendang Tirtokamandanu yang mengatakan bahwa “kerajaan 
Kediri merupakan cikal bakal atau asal mula dari kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa 
  87
sampai yang terakhhir adalah kerajaan Mataram Islam atau kalau sekarang disebut 
sebagai keraton Yogyakarta Hadiningrat” (penutur Bapak Suraten, laki-laki, 56 
tahun, juru kunci Pamuksan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang. Direkam pada hari 
Rabu, 4 Mei 2005, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang 
Tirtokamandanu)..35 
 
4.2 Persiapan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam 
Persiapan proses ritual 1 Suro atau Muhharam ini berhubungan dengan 
tempat ritual , saat ritual  atau pemilihan waktu, benda ritual , dan orang 
yang melakukan ritual . Persiapan-persiapan tersebut akan dijelaskan di bawah 
ini. 
 
4.2.1 Tempat ritual  
Persiapan tempat ritual  dilakukan satu hari sebelum perayakan proses 
ritual tanggal 1 Suro. Hal ini meliputi pemasangan umbul-umbul berwarna merah-
putih disepanjang jalan masuk menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kemudian 
pemasangan janur di pintu masuk pamuksan dan dilanjutkan dengan pembersihan 
(dengan cara mencuci) seluruh bagian bangunan dari lumut yang menempel. 
Pembersihan ini, meliputi: wilayah pendapa, Loka Muksa, Loka Busana, dan 
Loka Mahkota. sesudah  keempat tempat bersih, kemudian di lantai Loka Muksa 
dan pendapa dipasangkan karpet berwarna merah sebagai alas duduk para pelaku 
proses ritual 1 Suro. lalu , pembersihan dilakukan dengan cara doa-doa 
                                                 
35 Pendapat juru kunci ini didasarkan atas buku yang berjudul Sang Prabu Sri Adji Djojobojo 
karangan Yudoyono dan sekaligus menjadi buku panduan ziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
  88
oleh juru kunci. Doa-doa ini bertujuan meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya agar 
proses penyucian Loka Muksa dapat berjalan dengan lancar. Persiapan terakhir di 
pamuksan adalah penutupan pintu masuk untuk aktivitas umum, hingga 
menjelang acara proses ritual peringatan tahun baru Suro dilaksanakan. 
Sedangkan di Sendang Tirtokamandanu persiapan dilakukan dengan 
memasang pagar yang terbuat dari bambu dengan hiasan janur disepanjang jalan 
masuk gerbang utama. Kemudian dilanjutkan dengan membersih bagian-bagian 
yang meliputi: pendapa, sumber air suci, pelataran depan, dan tempat untuk 
semadi. sesudah  itu dilakukan doa-doa, meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya agar 
proses penyucian Sendang Tirtokamandanu dapat berjalan dengan baik. Terakhir 
dilakukan penutupan wilayah Sendang Tirtokamandanu untuk aktivitas umum. 
 
4.2.2 Saat ritual  
Pemilihan tanggal 1 Suro merupakan peringatan pergantian penanggalan 
Saka Hindu Jawa menjadi penanggalan Jawa. Sebab sebelum tahun 1633 Masehi 
warga  Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan 
Matahari. Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun 
konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India. 
Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1633 M., Raja Mataram 
Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar sistem 
penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat 
dibaca dalam buku Primbon Adji Çaka Manak Pawukon 1000 Taun yang ditulis 
dalam bahasa Jawa. Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu 
  89
Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem 
Syamsiyah (Matahari) menjadi Komariyah (Bulan). Perubahan penanggalan 
berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak 
termasuk daerah Mataram. 
Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian 
tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 
tanggal 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem penanggalan 
tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1, 
melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini. 
Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian-penyesuaian 
seperti nama bulan (month)36 dan hari (day)37. Yang semula menggunakan bahasa 
Sansekerta menjadi bahasa Arab atau mirip bahasa Arab. Hal ini menunjukkan 
kuatnya pengaruh penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa. 
Perbedaan kalender Jawa dengan kalender Masehi dan Hijriah selain 
ada  pada konsep mingguan atau pasaran yang terdiri dari lima hari (Kliwon, 
Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon)38 juga ada nya siklus delapan 
tahunan yang disebut windu yang merupakan konsep penanggalan khas Jawa. 
                                                 
36 Penyesuaian bulan ini menggunakan bahasa yang mirip bahasa Arab, seperit:  Sura, Sapar, 
Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, Besar. Lihat 
juga Lihat juga http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm 
37 Penyesuaian nama hari disebut juga sebagai Saptawara, yaitu: Soma (Senin), Anggara (Selasa), 
Buda (Rabu), Respati (Kamis), Sukro (Jumat), Tumpah (Sabtu), dan Dite atau Radite (Minggu). 
Masing-masing hari tersebut memiliki neptu dina atau nilai hari, misalnya: Soma bernilai 4. Lebih 
lanjut lihat (Ensiklopedi, 1975: 284) 
38 Pawukon berasal dari kata wuku adalah perhitungan waktu yang berjumlah 30 wuku dan setiap 
wuku lamanya 7 hari. Wuku-wuku tersebut ialah Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, 
Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, 
Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail, 
Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, dan Watugunung. Lihat juga (Ensiklopedi, 
1975: 82-88) 
  90
Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip, 
Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Kalender Jawa lebih tepat disebut 
sebagai penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah.39 
Pemilihan tanggal 1 Suro ini sebagai peringatan pada pergantian tahun 
yang dilakukan oleh Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo dan untuk 
menjaga kelestariannya. Proses ritual 1 Suro 1939 tahun Alip di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya Desa Menang Kota Kediri bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2006. 
Pelaksanaan proses ritual ini dimulai pada pukul 08.00 dengan tujuan agar tidak 
berbenturan dengan jadwal pelaksanaan ritual penyucian pusaka yang diadakan 
oleh keraton Yogyakarta di pantai Parangtritis. Hal ini ditegaskan oleh Bapak 
Priyo yang mengatakan “rangkaian ritual ziarah di bulan Suro ini mempunyai dua 
parayaan, yaitu: peringatan tahun baru Suro (tanggal 1 Suro) di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya dan ritual  labuhan di pantai Parangkusumo Yogyakarta. Karena 
mengikuti tatacara keraton Yogyakarta Hadiningrat maka waktu pelaksanaannya 
juga disesuaikan supaya jadwalnya tidak berbenturan” (penutur Bapak Suraten, 
laki-laki, 56 tahun, juru kunci Sendang Tirtokamandanu, Desa Menang. Direkam 
pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang 
Tirtokamandanu). 
 
4.2.3 Benda ritual  
Persiapan benda ritual  ini terdiri dari anglo dan kemenyan, sesaji bunga, 
peralatan tetabuhan, dan busana. 
                                                 
39 Lihat juga http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm 
  91
a. Anglo atau tungku untuk membakar kemenyan 
Tungku untuk membakar kemenyan atau anglo terdiri dari dua macam, 
yaitu: tungku untuk proses ritual perarakan dan tungku untuk berdoa di Pamuksan 
Sri Aji Jayabaya serta Sendang Tirtokamandanu. Tungku untuk doa di pamuksan 
dan sedang ini dibersihkan dahulu dari sisa-sisa kemenyan yang menempel 
dengan cara menyikat seluruh bagian tungku. Dua tungku untuk perarakan 
dibersihkan dengan cara menyikat dan menyepuh seluruh bagian tungku. 
Menyepuh dalam KBBI (1988: 920), berarti menuakan warna emas dengan 
campuran sendawa, tawas, dsb. Jadi dengan disepuh,40 warna keemasan dari 
tungku untuk kemenyan akan telihata lebih mengkilap. Kedua tungku untuk 
proses ritual perarakan ini memang dipersiapkan khusus untuk proses ritual 1 
Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
b. Sesaji Bunga 
Persiapan untuk sesaji bunga, yaitu penduduk setempat Desa Menang 
memetik bunga mawar dan melati pada pagi hari. Sesaji bunga ini kemudian 
dikumpulkan di pendapa Desa Menang sebelum proses ritual pembukaan 
berlangsung. 
c. Peralatan Tetabuhan atau Alat Musik yang di Pukul 
 Peralatan tetabuhan ini sebelum digunakan dalam acara proses ritual 1 
Suro terlebih dahulu disepuh dan nadanya disesuaikan. Tujuan menyepuh ini agar 
alat musik terlihat lebih mengkilat dan suaranya menjadi nyaring. Membenarkan 
                                                 
40 Digosok menggunakan kain yang diberi campuran sendawa. 
  92
nada berfungsi agar semua alat musik ini senada dan menjadi merdu untuk 
didengarkan.  
d. Busana 
Busana proses ritual 1 Suro yang disiapkan oleh panitia adalah busana 
untuk proses perarakan yang terdiri dari: busana barisan Subo Manggolo Putri, 
Pembawa Bunga, Pembawa Payung dan Pembawa Tungku. Selain itu busana ini 
disiapkan oleh masing-masing pelaku proses ritual, sebab merupakan koleksi 
pribadi mereka. 
 
4.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual  
Orang yang memimpin proses ritual 1 Suro atau juru kunci 
mempersiapkan diri sejak satu hari sebelum acara ziarah tahun baru Suro 
diadakan. sesudah  penyucian tempat ritual , juru kunci berkumpul dan 
melakukan penyucian diri di Loka Muksa untuk membersihkan batin mereka 
masing-masing. Demikian juga juru kunci yang ada di Sendang Tirtokamandanu. 
Penyucian ini dilakukan dengan cara bersemadi dari pukul 18.00 – 19.00. 
Bersemadi ini bertujuan untuk meminta petunjuk dan restu dari Sri Aji Jayabaya 
agar juru kunci sebagai pemimpin proses ritual dapat menjalankan tugas dengan 
sebaik-baiknya. sesudah  semadi acara dilanjutkan dengan tirakatan atau begadang 
bersama peziarah yang sudah datang.  
Sedangkan orang yang melakukan proses ritual 1 Suro dibagi menjadi tiga, 
yaitu: peziarah aktif, peziarah pasif, dan penonton. Peziarah aktif adalah mereka 
yang mengikuti proses ritual dari awal hingga akhir atau mereka yang ikut dalam 
  93
barisan perarakan. Peziarah aktif ini terdiri dari penduduk setempat Desa Menang 
dan perwakilan dari Yayasan Hondodento. Peziarah pasif adalah mereka yang 
hanya mengikuti proses ritual 1 Suro hanya di Pamuksan Sri Aji Jayabaya atau di 
Sendang Tirtokamandanu saja. Biasanya peziarah pasif ini terdiri dari orang-orang 
yang sudah berusia lanjut dan berasal dari luar Desa Menang. Sedangkan peziarah 
sebagai penonton ini adalah mereka mengikuti jalannya proses ritual 1 Suro dari 
awal hingga akhir namun tidak ikut langsung menjadi pelaku ritual. Sebagai 
penonton bukan berarti tidak mengikuti proses ritual namun lebih disebabkan 
karena keterbatasan tempat di pamuksan. 
Persiapan yang dilakukan oleh peziarah aktif adalah merias diri dan 
memakai busana yang dibutuhkan untuk proses ritual perarakan. Persiapan ini 
dilakukan sejak pukul 04.00, baik penduduk setempat Desa Menang atau 
perwakilan Yayasan Hondodento. Sedangkan persiapan peziarah pasif dilakukan 
sendiri-sendiri atau ada juga yang menyiapkan sehari sebelum pelaksanaan 
dengan mengikuti acara tirakatan bersama juru kunci. 
 
4.3 Pelaksanaan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam 
Pelaksanaan proses ritual peringatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya meliputi tiga bagian pokok, yaitu: proses ritual perarakan, proses 
ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya, dan tabur bunga di Sendang 
Tirtokamandanu. Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya berpusat di Loka 
Muksa, sedangkan di Sendang Tirtokamandanu berpusat di pelataran depan. 
Proses ritual tersebut akan dijabarkan di bawah ini. 
  94
4.3.1 Proses Ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya 
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini diawali dengan acara 
pembukaan di pendapa Desa Menang yang terdiri dari: laporan ketua panitia, 
sambutan kepala Desa Menang, dan sambutan dari perwakilan Pemerintah Daerah 
Kota Kediri41. Acara pembukaan ini diakhiri dengan penyerahan tongkat Kyai 
Bimo42 dari pihak Yayasan Hondodento kepada juru kunci pamuksan. Kemudian 
proses ritual dilanjutkan dengan acara pemberangkatan perarakan tongkat Kyai 
Bimo oleh perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa Timur43. Proses ritual 
perarakan pusaka Kyai Bimo dimaksudkan supaya kesaktian yang memancar dari 
pusaka itu dapat memberi pengaruh baik kepada yang melihat maupun tempat 
tinggal penduduk Desa Menang. 
Barisan proses ritual perarakan, terdiri dari: barisan pertama adalah barisan 
Subo Manggolo Putri berjumlah lima orang. Syarat barisan Subo Manggolo Putri 
adalah lima orang yang masih gadis dan pada saat proses ritual 1 Suro 
berlangsung tidak sedang mengalami datang bulan atau menstruasi. Sebab barisan 
Subo Manggolo Putri merupakan cermin dari kesucian proses ritual 1 Suro itu 
sendiri. 
                                                 
41 Dahulu perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri selaku undangan Yayasan Hododento untuk 
mengikuti proses ritual 1 Suro dan menyambut kedatangan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang 
selalu ikut berziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap perayaan tahun baru Suro. Namun 
sekarang kedatangan perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri ini didasarkan atas kepedulian 
terhadap warisan budaya sebagai tempat ziarah dan pariwisata. 
42 Tongkat Kyai Bimo ini adalah pusaka milik keraton Yogyakarta. Sebelum dibawa ke Petilasan 
Sri Aji Jayabaya pusaka ini telah disucikan dalam proses ritual penyucian pusaka di Parang Tritis. 
43 Dahulu perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa Timur selaku undangan Yayasan 
Hododento untuk mengikuti proses ritual 1 Suro dan menyambut kedatangan Sri Sultan 
Hamengkubuwono X yang selalu ikut berziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap perayaan 
tahun baru Suro. Namun sekarang kedatangan perwakilan Pemerintah Tingkat II Propinsi Jawa 
Timur ini didasarkan atas kepedulian terhadap warisan budaya sebagai tempat ziarah dan 
pariwisata. 
  95
Barisan kedua adalah pembawa tungku, berjumlah empat orang remaja 
putra yang terdiri dari: dua orang pembawa kemenyan dan dua orang pembawa 
tungku perarakan. Tugas barisan ini adalah untuk memberi keharuman suasana 
proses ritual yang sedang berlangsung. 
Barisan ketiga adalah barisan tabur bunga, berjumlah sepuluh orang yang 
terdiri dari: anak-anak setingkat Sekolah Dasar. Tugas dari barisan ini adalah 
menaburkan bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan di Sendang 
Tirtokamandanu pada saat proses ritual tabur bunga. Di antara barisan tabur bunga 
ada  sepuluh remaja putra yang bertugas sebagai pembawa payung. Barisan 
pembawa payung merupakan anak-anak setingkat Sekolah Lanjutan Tahap 
Pertama. Tugas barisan ini adalah memayungi atau membuat suasana sejuk bagi 
barisan penabur bunga. 
Barisan keempat adalah barisan pendamping, berjumlah dua orang yang 
terdiri dari: Kepala Desa Menang yang sedang menjabat dan istri atau anaknya. 
Dan dalam proses ritual 1 Suro yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2006 
ini Kepala Desa Menang didampingi oleh anaknya. Tugas barisan ini adalah 
mendampingi dan mengayomi barisan perarakan yang ada di depannya. 
Barisan kelima adalah barisan pembawa pusaka, berjumlah satu orang. 
Tugasnya adalah menjaga pusaka saat proses ritual perarakan berlangsung. 
Barisan terakhir adalah barisan pengawas, berjumlah tiga orang juru kunci 
dan satu orang tetua dari Desa Menang. Tugas barisan ini mengawasi jalannya 
perarakan dan proses ritual tahun baru Suro dari awal hingga akhir. Di belakang 
  96
barisan pengawas ini merupakan barisan peserta yang terdiri dari: panitia proses 
ritual 1 Suro, perwakilan Yayasan Hondodento, dan peziarah secara umum. 
 
4.3.1.1 Tempat ritual  
Tempat ritual  dalam proses ritual 1 Suro ada dua bagian, yaitu: pendapa 
Desa Menang dan Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kegunaan pendapa Desa Menang 
sebagai proses ritual pembukaan dan juga pemberangkatan barisan perarakan 
menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Sedangkan di Pamuksan Sri Aji Jayabaya 
tempat yang digunakan adalah Loka Muksa, Loka Busana, Loka Mahkota, 
halaman pamuksan, dan pendapa. Di depan Loka Muksa digunakan juru kunci dan 
tetua Desa Menang untuk memimpin jalannya proses ritual 1 Suro. Sedangkan 
Loka Muksa digunakan untuk proses ritual caos dahar atau sesaji makanan.44 
Tempat proses ritual tabur bunga berada di sebelah Loka Busana yang sudah 
disediakan sepetak tanah yang berbentuk persegi panjang. Loka Mahkota 
digunakan hanya untuk proses ritual sesaji makanan saja. Peziarah aktif 
menggunakan halaman pamuksan untuk duduk dan menunggu giliran 
melaksanakan tugas-tugas mereka. Pendapa pamuksan digunakan peziarah pasif 
untuk mengikuti jalannya proses ritual 1 Suro. Sedangkan peziarah sebagai 
penonton diperkenankan mengikuti proses ritual dari luar pagar wilayah 
pamuksan. Sebab sesudah  barisan perarakan masuk ke dalam wilayah pamuksan, 
pintu gerbang segera ditutup.  
 
                                                 
44 Sesaji makanan ini tidak berupa bermacam-macam makanan seperti dalam Bab III, namun 
berwujud bunga melati dan mawar. Sesaji makanan berbentuk bunga ini diperuntukkan Sri Aji 
Jayabaya untuk mengenang keharuman namanya. 
  97
4.3.1.2 Saat ritual  
Pelaksanaan proses ritual 1 Suro di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dimulai 
sekitar + pukul 09.00 dan berakhir pada pukul 12.00 WIB. Proses ritual ini 
diadakan sesudah  proses ritual perarakan benda pusaka Kyai Bimo dari balai Desa 
Menang menuju Pamuksan Sri Aji Jayabaya. 
 
4.3.1.3 Benda ritual  
 Benda ritual  ini dibagi atas beberapa bagian, seperti tungku untuk 
kemenyan, sesaji bunga, alat musik, dan pakaian. Semua perlengkapan proses 
ritual ini akan dijelaskan di bawah ini. 
1. Tungku untuk membakar kemenyan 
Tungku utama berada di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang 
Tirtokamandanu untuk proses ritual tabur bunga. Sedangkan kedua tungku untuk 
perarakan digunakan untuk mendampingi proses ritual perarakan benda pusaka 
dari balai Desa Menang hingga tiba di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Tungku untuk 
mengiringi perarakan ini harus tetap dalam keadaan menyala sepanjang 
perjalanan. Sedangkan tungku utama dinyalakan pada pagi hari sebelum ritual  
pembukaan dimulai, walaupun penggunaannya menunggu kedatangan barisan 
perarakan. 
Pemilihan kemenyan ini harus yang terbaik, sebab kemenyan ini dipakai 
juga sebagai caos dahar atau sesaji makanan untuk Sri Aji jayabaya. Kemenyan 
untuk proses ritual perarakan selain berguna sebagai sarana keharuman juga 
berguna untuk memberi makan kepada makhluk halus sepanjang perjalanan. 
  98
Dengan diberi makanan berupa kemenyan ini diharapkan makhluk halus tersebut 
tidak menggangu jalannya proses ritual perarakan. Sedangkan kemenyan di 
pamuksan selain untuk sarana keharuaman saat berdoa juga berfungsi sebagai 
pengantar doa atau mantra pada saat proses ritual 1 Suro di pamuksan sedang 
berlangsung. 
2. Sesaji bunga 
Sesaji bunga dalam proses ritual 1 Suro ini adalah bunga melati dan 
mawar. Bunga melati merupakan bunga yang harum baunya. Bunga melati juga 
melambangkan kesucian. Bunga melati ini diartikan sebagai pencerminan 
keharuman dan kesucian nama Sri Aji Jayabaya. 
Bunga mawar dihubungkan dengan kata tawar yang mengandung makna 
menawar atau menolak hambatan atau godaan yang tidak diinginkan. Bunga 
mawar ini dilambangkan sebagai penolak hambatan dan godaan saat mengadakan 
proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
3. Alat musik 
Alat musik ini terdiri dari: kenong, kempul, dan kendang. Kenong ini jika 
ditabuh atau dipukul bunyinya nong – nong – nong. Kalau dicocokkan dengan 
bahasa Jawa yaitu Nong – nung – ning, maka maksudnya Nong kana – Nung kono 
– Ning kene ( Di sana – Di situ – Di sini). Kempul, kalau dipukul suaranya akan 
berbunyi Pung, pung-pung bunyi seperti ini diartikan dengan kumpul-kumpul. 
Kendang, alat ini jika ditabuh akan kedengaran Ndang ndang-tak, Ndang-ndang 
tak suara seperti ini mengandung makna cepat-cepat. Ndang (enggal-enggal, 
cepat-cepat). Ndang tak (yen di tak enggal-enggal padha tumandang) kalau 
  99
diperintah cepat-cepat dilaksanakan. Jadi dalam alunan musik ini memiliki makna 
sebagai berikut: wahai orang-orang yang di sana, di situ, dan di sini marilah 
semua berkumpul cepat-cepat. Makna yang terkandung dalam alunan musik ini 
dihubungkan dengan berkumpul untuk melaksakan proses ritual 1 Suro di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
4. Pakaian 
Barisan Subo Manggolo yang terdiri dari lima remaja putri ini memakai 
rias wajah berupa wedak gahdung45 dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan 
di bawah kelopak mata. Rambut digelung konde46 dengan hiasan di atasnya 
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas mengenakan kebayak panjang 
tanpa kuthubaru47dan diganti dengan kancing baju biasa. Kebaya tanpa memakai 
kuthubaru ini mempunyai makna bahwa pemakainya belum pernah mempunyai 
suami atau anak. Pakaian bagian bawah adalah kain batik panjang dan tidak 
mengenakan alas kaki. 
Barisan kemenyan berjumlah empat orang ini pada bagian kepala 
mengenakan udeng atau ikat kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung48 
berwarna kuning dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian 
bawah adalah kain batik tanpa mengenakan alas kaki. 
                                                 
45 Wedak gahdung atau wedak teles adalah bedak yang terbuat dari bahan beras. 
46 Gelung konde merupakan jenis sanggul yang dibentuk dengan cara mengikat seluruh rambut ke 
belakang dipuntir mulai dari atas hingga ke bawah. Kemudian dibentuk dua bulatan yang 
menindih sebagian antara yang satu dengan yang lain. Masing-masing sisi dikencangkan dengan 
tusuk konde (biasanya terbuat dari logam) dengan cara menyelipkannya di tengah-tengah sanggul. 
47 Kuthubaru adalah kancing yang berbentuk bulat-bulat berwarna emas. 
48 Wakthung merupakan singkatan dari krowak di buthung atau krowak di punggung yang artinya 
baju yang berlubang di bagian punggung. Adapun bentuk dari pakaian wakthung ini merupakan 
baju kebesaran Solo. 
  100
Barisan tabur bunga yang terdiri dari sepuluh orang ini memakai rias 
wajah berupa wedak gahdung dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan di 
bawah kelopak mata. Rambut diberikan gelung konde dengan hiasan di atasnya 
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas digunakan kemben atau kain 
berwarna emas dengan motif pelangi yang dibalutkan pada badan remaja putri 
tersebut. Pada leher dikenakan kalung yang terbuat dari kain dengan motif 
disesuaikan dengan kemben. Pakaian bagian bawah adalah kain panjang batik dan 
tidak mengenakan alas kaki. 
Barisan pembawa payung yang berjumlah sepuluh orang ini memakai 
udeng mondolan49 pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung 
berwarna hitam dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian 
bawah adalah kain batik panjang dan tidak mengenakan alas kaki. 
Barisan pendamping, yaitu kepala Desa Menang dan seorang pendamping. 
Kepala Desa Menang ini memakai udeng atau ikat kepala pada bagian kepala. 
Pakaian bagian atas adalah baju wakthung berwarna hitam dengan tiga buah 
kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian bawah adalah kain batik dan 
mengenakan selop50 untuk alas kaki. Dan pendampingnya memakai rias wajah 
berupa wedak gahdung dengan diberi hiasan berupa garis di atas dan di bawah 
kelopak mata. Rambutnya diberikan gelung konde dengan hiasan di atasnya 
berupa dua buah tusuk konde. Pakaian bagian atas digunakan kebayak berwarna 
                                                 
49 Cara memakai udeng mondoloan adalah rambut digelung dan dimasukkan ke dalam ikat kepala, 
sehingga membentuk benjolan di belakang kepala. 
50 Alas kaki selop adalah sepatu yang dibuat dari bahan beludru pada bagian depannya tertutup 
dengan hak tidak terlalu tinggi. 
  101
kuning. Pakaian bagian bawah adalah jarik atau kain batik dan mengenakan selop 
untuk alas kaki. 
Barisan pembawa pusaka yang berjumlah satu orang ini memakai udeng 
mondolan pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju wakthung 
berwarna biru dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. Pakaian bagian 
bawah adalah kain batik dan tidak mengenakan alas kaki. 
Barisan pengawas yang terdiri dari juru kunci dan tetua Desa Menang 
memakai udeng mondolan pada bagian kepala. Pakaian bagian atas adalah baju 
wakthung berwarna hitam dengan tiga buah kancing dipergelangan tangan. 
Pakaian bagian bawah adalah kain batik tanpa mengenakan alas kaki. 
Barisan peserta yang terdiri dari: panitia proses ritual 1 Suro, perwakilan 
Yayasan Hondodento, dan peziarah secara umum ini kebanyakan pada pakaian 
bagian atas mengenakan kebayak dan selendang untuk wanita sedangkan baju 
wakthung untuk pria. Sedangkan bagian bawah tetap mengenakan jarik dan 
memakai selop untuk alas kaki. 
 
4.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual  
sesudah  sampai di Pamuksan Sri Aji Jayabaya, kemudian ketiga juru kunci 
dan tetua Desa Menang maju hingga berada di depan pintu masuk Loka Muksa. 
Acara dilanjutkan dengan unjuk atur atau doa pembukaan. Doa pembukaan proses 
ritual ini dipimpin oleh tetua dari Desa Menang seperti dalam kutipan di bawah 
ini. 
“Sak uro ura uri kaluhuran dalem Gusti Moho Agung. Ingkang sur mantep suryo kaping 
29 Agustus 1472 keluarga Hondodento sampun hanidik. Ingkang kalejengipun kabantu 
kalian kelompok rohani Sumber Karanganyer ing Plered Ngayogyokarto. Keperluanipun 
  102
kepareng dalem Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, kagungan dalem Luko Mukso kapugar 
ngantos rampung, ing suryo 17 april 1976 utawi 17 mulud 1908 Alip. Sedoyo ingkang 
sami marang was wonten ngarso kadetan mugi angsal berkah kaagus saking ingkang 
kamoho kraos. Lestari soho saget tho amiludho kito sedoyo kajenge lungo nis ing sambi 
kolo, soho saget tho ambaling suci, kaluhuran, lan mulyo. Mugi kaluhuran, 
kawicaksanaan soho puncaraning Sang Prabu Sri Aji Jayabaya sandoyonono soho 
murah katatanan dateng kito sedoyo. Nitahipun dateng nusa, bangsa, serto negari 
Republik Indonesia ingkang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Mugi 
ing samangke toto, titi, tentrem, karto raharjo, adil, poro wartos, kados pangayomanipun 
kawulo dalih krom magrok. Mugi Gusti ingkang Moho Kraos hamijapono 
Menang Suryo kaping 31 januari 2006 
Panitia Ziarah  Desa Menang soho Yayasan Hondodento kalepatanipun satrio kawulo”. 
Terjemahannya: 
“Puja dan puji keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung. Yang pada tanggal 29 Agustus 
1427 keluarga Hondodento telah berdiri. Dalam perjalanannya sudah dibantu oleh 
kelompok kepercayaan rohani Sumber Karanganyar di Plered Yogyakarta. Keperluannya 
di sini supaya diperkenankan oleh Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, agar Loka Muksa dapat 
dipugar dan sudah selesai, pada tanggal 17 April 1976 atau 17 Mulud 1908 Alip. Semua 
yang telah diberikan itu semoga mendapatkan berkah yang agung dari Sang Dewata. 
Semoga lestari dapat menauingi kita semua dan supaya pergi semua bahaya, maka 
terciptalah kesucian, keluhuran, dan kemulyaan. Semoga keluhuran, kebijaksanaan yang 
terpancar dari Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dengan kemurahannya dapat menaungi kita 
semua. Titahnya merahmati nusa, bangsa, serta negara republik Indonesia yang 
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Semoga semua penataan, 
ketentraman, kesejahteraan, adil, dan makmur, menjadi pelindung manusia. Semoga 
Tuhan Yang Maha Tahu memberikan berkatNya. 
Menang tanggal 31 Januari 2006 
Panitia Ziarah Desa Menang dan Yayasan Hondodento memohon maaf sebesar-
besarnya.” 
(penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun, 
tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 
2006, oleh Joko Nugroho, di depan Loka Muksa). 
 
Dalam doa pembukaan ini lebih menekankan pada sejarah berdiri Petilasan Sri Aji 
Jayabaya dan dilanjutkan dengan ijin untuk memulai proses ritual peringatan 
tahun baru Suro. Ternyata dalam doa pembukaan ini tidak hanya untuk proses 
ritual semata melainkan juga bertujuan untuk mendoakan seluruh negara 
Indonesia. 
Doa pembukaan di atas kemudian dilanjutkan doa bersama dengan 
menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan peziarah yang mengikuti 
proses ritual 1 Suro ini tidak semuanya dapat mengerti bahasa Jawa. Pergeseran 
bentuk doa yang dipimpin oleh juru kunci ini seperti dalam kutipan di bawah ini. 
  103
Ya Tuhan Yang maha mulia dengan segala kerendahan hati kami panjatkan puji syukur 
kehadiratMu karena atas RidhoMu hari ini Seloso Pon 31 Januari 2006 kami dapat 
berkumpul dipusat wilayah petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dalam rangka ziarah 
dan peringatan tahun baru Jawa 1 suro tahun Alip 1939. Ya Allah Ya Tuhan Maha 
Pengasih dan Pengampun ampunilah dosa kami dan dosa-dosa para pahlawan dan leluhur 
kami serta terimalah jasa dan pengorbanan jiwa raganya yang telah mereka persembahkan 
untuk meraih kejayaan bangsa dan negara kami. Berilah mereka ketempat yang sebaik-
baiknya di sisiMu sesuai dengan dharma bhaktinya. Ya Allah Ya Tuhan yang maha arif 
dan bijaksana berikanlah kepada kami dan pemimpin kami kekuatan, keteguhan, 
petunjuk, dan tuntunanMu sebagaimana telah engkau berikan kepada para pemimpin dan 
leluhur kami. Perkenankanlah kami dan generasi penerus kami mewarisi sifat-sifat budi 
pekerti para pahlawan dan leluhur kami dalam memelihara, mengisi kemerdekaan bangsa 
dan negara kami yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ya Allah ya Tuhan Yang 
maha Agung berkatilah hidup kami kini dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan, 
lahir dan batin, baik di dunia maupun dikemudian. Hindarkanlah kami dari segala mara 
bencana dan mara petaka, mudahkanlah jalan yang kami tempuh dalam mencapai cita-
cita warga  adil dan makmur. Ya Allah Yang Maha Mengetahui, jadikanlah ritual  
ziarah ini sebagai sarana untuk membangkitkan semangat generasi penerus kami dalam 
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur sejarah dan budaya bangsa. Sekalipun 
mendorong ketulusan jiwa bagi kami dan generasi penerus kami untuk meneruskan 
dharma bhakti para pahlawan dan leluhur kami dalam mengabdikan diri kepadaMu, 
kepada bangsa, dan negara kami Republik Indonesia. Ya Allah ya tuhan yang maha kuasa 
kepadaMulah kami menyembah dan berserah diri serta kepadaMulah kami memohon 
pertolongan. Ya Allah Ya Tuhan yang maha pengasih dan penyayang kabulkanlah doa 
kami. Amin Ya Robbil Alamin”. 
(penutur Bapak Suraten, laki-laki, 64 tahun, tetua Desa Menang, Desa 
Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 2006, oleh Joko Nugroho, 
di depan Loka Muksa). 
  
Doa dalam proses ritual tanggal 1 Suro ini ditujukan kepada Tuhan Yang Maha 
Esa untuk mengenang keberadaan Sri Aji Jayabaya. Doa ini juga menitikberatkan 
kepada peringatan raja Jayabaya sebagai ksatria karena keberanian dan 
ketangguhannya dalam berperang. Hal ini dihubungkan dengan kakawin 
Baratayudha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Harapannya agar 
sikap ksatria raja Jayabaya ini dikenang baik sekarang maupun masa mendatang. 
sesudah  berdoa proses ritual dilanjutkan dengan tabur bunga yang 
dilakukan oleh barisan pembawa bunga. Tabur bunga dilakukan di sebelah Loka 
Busana yang sudah disediakan sepetak tempat yang cukup luas untuk menabur 
bunga. Tata cara menaburkan bunga pertama-tama, keenam belas remaja putri 
maju berdua-dua dan bersujud di depan Loka Busana. 
  104
Kedua, keenam belas remaja putri itu membentuk barisan berjajar di depan 
tempat tabur bunga yang dilanjutkan dengan bersujud secara bersama-sama di 
depan tempat menabur bunga. Ketiga, keenam belas remaja putri itu maju berdua-
dua lagi. Di depan tempat menabur bunga bersujud sembah dan memulai acara 
menabur bunga. Cara menabur bunga, yaitu: menaburkan bunga yang dibawanya 
dengan berjalan jongkok mengitari tempat yang sudah disediakan. Keempat, 
sesudah  selesai kedua orang itu kembali ke tempat semula dan dilanjutkan 
temannya yang lain. sesudah  menabur bunga berdua-dua, ke enam belas remaja 
putri tesebut kembali berjajar dan bersujud bersama-sama. Kelima, ke enam belas 
remaja putri itu kembali ketempat duduk semula. Cara kebalikan dengan saat akan 
memulai proses ritual menaburkan sesaji bunga, yaitu: berjalan berdua-dua, 
kemudian sembah sujud di depan Loka Busana, dan kembali ketempat duduk 
mereka semula. 
 Acara dilanjutkan dengan caos dahar yang diawali oleh kepala Desa 
Menang dan anaknya terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan wakil dari Yayasan 
Hondodento, dan peziarah yang lainnya. Proses ritual caos dahar ini dilakukan di 
Loka Muksa secara bergiliran. Dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan caos 
dahar di halaman Loka Busana dan Loka Mahkota. Tatacara caos dahar di Loka 
Muksa untuk kepala desa, perwakilan Yayasan Hondodenton, dan peziarah adalah 
sujud sambil merapatkan tangan di depan dada kemudian mengangkatnya sampai 
di atas kepala. Hal ini dilakukan pada anak tangga pertama, anak tangga terakhir, 
dan di depan pintu Loka Muksa. sesudah  itu dilanjutkan dengan berdoa secara 
pribadi dan menaburkan sesaji bunga di sekeliling Loka Muksa. Saat proses ritual 
  105
caos dahar berlangsung, dibacakan juga sejarah Sri Aji jayabaya. Teks sejarah Sri 
Aji Jayabaya ini bisa dilihat dalam lampiran sejarah raja Jayabaya. 
Proses ritual berikutnya adalah peletakan dan pemberkatan pusaka 
Tongkat Kyai Bimo di depan pintu masuk Loka Muksa yang dilakukan oleh juru 
kunci. Pemberkatan ini bertujuan untuk meminta berkah kepada Sri Aji Jayabaya, 
supaya pusaka Tongkat Kyai Bimo dapat berguna dalam menjaga keamanan 
negara Indonesia. Sebelumnya pusaka ini juga sudah disucikan pada malam tahun 
baru Suro di pantai Parangtritis oleh keraton Yogyakarta. 
lalu  doa unjuk lengser atau doa penutup yang dilakukan oleh tetua 
Desa Menang, seperti dalam rekaman di bawah ini. 
“Poro sederek, panitia ziarah desa Menang soho yayasan Hondodento sedoyo, 
anggehipun upocoro Agung 1 Suro tahun Alip sampun paripurno. Ingknag meniko kito 
sami badhe lengser saking petilasan Sri Aji Jayabaya. Pangesti mugi Gusti Ingkang 
Moho Agung tansah minaringono pangayoman kito sami wilujrng langkah kito”. 
Terjemahannya: 
“Para semua peserta, panitia ziarah desa Menang dan yayasan Hondodento, bahwa 
ritual  Agung 1 Suro tahun Alip sudah selesai. Saat ini kita semua akan pulang dari 
petilasan Sri Aji Jayabaya. Semoga Tuhan Yang Maha Agung memberikan naungan dan 
berkah kepada kita ”. 
(penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun, 
tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 
2006, oleh Joko Nugroho, di depan Loka Muksa). 
 
Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya ini diakhiri dengan pengambilan 
pusaka Tongkat Kyai Bimo dan dilanjutkan perarakan menuju Sendang 
Tirtokamandanu. 
sesudah  barisan perarakan meninggalkan wilayah pamuksan, peziarah pasif 
dan penonton berdesak-desakan masuk wilayah pamuksan dan saling berebutan 
mengambil bunga-bunga yang telah ditaburkan di sebelah Loka Busana oleh 
keenam belas remaja putri tadi. Bunga ini dipercaya oleh sebagian besar peziarah 
  106
sebagai pembawa berkah, bahkan ada juga yang menggunakannya untuk 
mengobati penyakit tertentu. 
 
4.3.2 Proses Ritual Di Sendang Tirtokamandanu 
sesudah  proses ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji Jayabaya selesai 
kemudian perarakan dilanjutkan menuju ke Sendang Tirtokamandanu. Perarakan 
ini berjalan sambil diiringi alunan musik dan mempawaikan benda pusaka 
Tongkat Kyai Bimo disepanjang jalan menuju wilayah Sendang Tirtokamandanu. 
 
4.3.2.1 Tempat ritual  
Tempat ritual  di Sendang Tirtokamandanu, meliputi: pelataran depan 
dan tempat semadi. Pelataran depan digunakan sebagai tempat duduk peziarah 
aktif dan pasif. Tempat semadi dijadikan sebagai tempat proses ritual tabur bunga 
yang dilakukan oleh barisan tabur bunga. Di luar pagar Sendang Tirtokamandanu 
digunakan oleh peziarah sebagai penonton untuk menyaksikan jalannya proses 
ritual 1 Suro di Sendang Tirtokamandanu. 
 
4.3.2.1 Saat ritual  
Pelaksanaan proses ritual yang diadakan di Sendang Tirtokamandanu 
antara pukul 12.30 hingga pukul 14.30 WIB. Proses ritual ini dilaksanakan sesudah  
proses ritual perarakan dari pamuksan datang di Sendang Tirtokamandanu. 
 
 
  107
4.3.2.3 Benda ritual  
Benda ritual  di sini dapat dilihat pada benda ritual  dalam proses ritual 
1 Suro di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan baik 
di dalam penggunaan, makna, dan, fungsi benda ritual  antara proses ritual di 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan di Sendang Tirtokamandanu. 
 
4.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual  
Proses ritual di Sendang Tirtokamandanu diawali dengan unjuk atur atau 
doa pembukaan, seperti dalam rekaman di bawah ini. 
“Kaluhuran dalem Gusti Moho Agung, mugi lestari saget amiludho kito sedoyo kajenge 
lungo nis ing sambi kolo, soho saget tho ambaling suci kaluhur lan mulyo. Inggih  ziarah 
ing Sendang Tirtokamandanu mugi Sang Prabu Sri Aji Jayabaya saget ngrahmat kagem 
kito sedoyoi. 
Terjemahannya: 
“Keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung, dan semoga kelestarian dapat menauingi 
kita semua supaya kita terhindar dari semua cobaan dan mendapatkan kesucian, 
keluhuran, dan kemulyaan. Dalam  ziarah di Sendang Tirtokamandanu ini semoga Sang 
Prabu Sri Aji Jayabaya memberikan rahmadnya untuk kita semua. 
(penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 64 tahun, 
tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 
2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang Tirtokamandanu). 
 
Doa pembukaan ini dilakukan sebagai sarana meminta izin kepada Sri AJi 
Jayabaya agar proses ritual tahun baru Suro di Sendang Tirtokamandanu dapat 
berjalan dengan lancar. 
Proses ritual dilanjutkan dengan tabur bunga yang dilakukan oleh barisan 
pembawa bunga. Tabur bunga dilakukan di tempat semadi yang sebelumnya telah 
disediakan sepetak tempat cukup luas untuk menabur bunga. Tata cara 
menaburkan bunga pertama-tama, keenam belas remaja putri maju berdua-dua 
dan bersujud di gapura tempat semadi. Kedua, keenam belas remaja putri itu 
  108
membentuk barisan berjajar di depan tempat tabur bunga yang dilanjutkan dengan 
bersujud secara bersama-sama di depan tempat menabur bunga itu. Ketiga, 
keenam belas remaja putri itu maju berdua-dua lagi ke depan tempat menabur 
bunga dan bersujud sembah kemudian memulai acara menabur bunga. Cara 
menabur bunga, yaitu: bunga yang dibawa ditaburkan dengan berjalan jongkok 
mengitari tempat yang sudah disediakan tersebut. Keempat, sesudah  selesai kedua 
orang itu kembali ke tempat semula dan dilanjutkan temannya yang lain berdua-
dua secara bergiliran. sesudah  menabur bunga berdua-dua, keenam belas remaja 
putri tesebut kembali berjajar dan bersujud bersama-sama. Kelima, keenam belas 
remaja putri itu kembali ketempat duduk semula. Caranya merupakan kebalikan 
dari permulaan proses ritual menabur sesaji bunga, yaitu: berjalan berdua-dua, 
kemudian bersembah sujud di gapuran tempat semadi, dan kembali ketempat 
duduk mereka semula. 
sesudah  acara menabur sesaji bunga selesai, seharusnya ada  ritual 
pengalungan bunga pada patung Ganesha. Namun ritual pengalungan pada 
peringatan tahun baru Suro 1939 atau tepatnya tanggal 31 Januari 2006 ini tidak 
dilakukan. Menurut pendapat juru kunci Sendang Tirtokamandanu mengatakan 
“dahulu memang ada ritual pengalungan bunga pada patung Ganesha, namun 
sekarang ritual tersebut tidak dilakukan lagi. Pengalungan bunga pada patung 
Ganesha itu bukan suatu keharusan, tetapi ritual  perarakan dan tabur bunga saja 
yang merupakan acara wajib dari ritual ziarah 1 Suro ini”. (penutur Bapak Priyo, 
laki-laki, 59 tahun, juru kunci Sendang Tirtokamandanu, Desa Menang. Direkam 
  109
pada hari Rabu, 4 Mei 2005, oleh Joko Nugroho, di wilayah Sendang 
Tirtokamandanu). 
Oleh karenan ritual pengalungan bunga pada patung Ganesa tidak ada 
maka acara dilanjutkan dengan unjuk lengser atau doa penutup yang dipimpin 
oleh juru kunci Sendang Tirtokamandanu, seperti dalam kutipan di bawah ini. 
“Sedoyo kaluhuran dalem Gusti Moho Agung. Ziarah peringatan 1 Suro ing Petilasan Sri 
Aji Jayabaya sampaun pamungkasan. Mugi rahmad saking puncaraning Sang Prabu Sri 
Aji Jayabaya katatanan dateng kito sedoyo ngantos sak lami-laminipun. 
Menang tanggal 31 Januari 2006. 
Menawi wonten kalepatanipun panitia ziarah Desa Menang soho Yayasan Hondodento 
pangapuntenipun ingkan ageng”. 
Terjemahannya: 
“Segala keluhuran untuk Tuhan Yang Maha Agung. Ziarah peringatan 1 Suro di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya sudah selesai. semoga rahmad yang terpancar dari Sang Prabu Sri Aji 
Jayabaya menaungi kita semua hingga selama-lamanya. 
Menang tanggal 31 Januari 2006 
Jika ada kesalahan panitia ziarah Desa Menang dan Yayasan Hondodento memohon maaf 
sebesar-besarnya.” 
(penutur Bapak Sumadi (sebagai pengganti pak Pleret), laki-laki, 66 tahun, 
tetua Desa Menang, Desa Menang. Direkam pada hari Selasa, 31 Januari 
2006, oleh Joko Nugroho, di pelataran depan Sendang Tirtokamandanu). 
 
sesudah  pembacaan doa penutup di Sendang Tirtokamandanu para peziarah aktif 
ini kembali ke pendapa Desa Menang untuk mengadakan acara ramah tamah atau 
makan bersama. Dan untuk peziarah pasif dan penonton akan membubarkan diri 
masing-masing. Namun tidak sedikit dari peziarah pasif dan penonton sesudah  
selesai akan saling berebut mengambil air sendang dan bunga yang sudah 
ditaburkan oleh keenam belas remaja putri untuk dibawa pulang. Dengan 
membawa pulang bunga atau air sendang, peziarah berharap akan mendapatkan 
berkah yang melimpah. Terkadang bunga dan air sendang yang dibawa pulang ini 
diberikan kepada orang yang sakit untuk diminumkan dengan tujuan agar orang 
sakit itu segera sembuh. 
  110
Tujuan ritual diadakan di Sendang Tirtokamandanu selain untuk 
mengenang keagungan Sri Aji Jayabaya juga memiliki arti sebagai permintaan 
agar air yang muncul dari sendang senantiasa dapat memberi kehidupan kepada 
penduduk sekitar. Hal ini berhubungan dengan arti dari nama sendang, yaitu 
sumber kehidupan. 
 
3.5 Rangkuman 
Proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya meliputi tahap persiapan 
dan pelaksanaan. 
1. Tahap persiapan ini dilakukan di pendapa Desa Menang dengan urutan 
acara laporan ketua panitia, sambutan kepala Desa Menang, sambutan 
dari perwakilan Pemerintah Daerah Kota Kediri, penyerahan Tongkat 
Kyai Bimo, dan pemberangkatan perarakan Tongkat Kyai Bimo. Selain 
itu ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu persiapan pada 
tempat ritual , saat ritual  atau pemilihan waktu, benda ritual , dan 
orang yang melakukan ritual . Persiapan tempat, pemilihan waktu, 
dan sesaji ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan dan harus 
memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan. Persiapan 
yang dilakukan peziarah dan juru kunci adalah tirakatan atau begadang 
bersama sehari sebelum proses ritual 1 Suro digelar. Pagi harinya 
semua pelaku ritual yang terlibat merias diri masing-masing dan 
mengenakan busana yang dibutuhkan untuk proses ritual perarakan. 
  111
2. Tahap pelaksanaan proses ritual 1 Suro ini terbagi dalam tiga bagian, 
yaitu proses ritual perarakan, ritual tabur bunga di Pamuksan Sri Aji 
Jayabaya, dan ritual tabur bunga di Sendang Tirtokamandanu. Proses 
ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya berpusat di Loka Muksa, 
sedangkan di Sendang Tirtokamandanu berpusat di pelataran depan. 
Perarakan Tongkat Kyai Bimo ini dilakukan dengan berjalan dari 
pendapa Desa Menang, berhenti di Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan 
Sendang Tirtokamandanu untuk berdoa, kemudian kembali lagi ke 
pendapa Desa Menang. Proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya, 
meliputi: (1) unjuk atur atau doa pembukaan, (2) doa bersama dengan 
menggunakan bahasa Indonesia, (3) ritual tabur bunga di sebelah Loka 
Busana, (4) caos dahar atau sesaji bunga di Loka Muksa, (5) peletakan 
dan pemberkatan pusaka Tongkat Kyai Bimo, (6) unjuk lengser atau 
doa penutup. Proses ritual di Sendang Tirtokamandanu, meliputi: (1) 
unjuk atur atau doa pembukaan, (2) ritual tabur bunga di tempat 
semadi, (3) unjuk lengser atau doa penutup. 
 
 
 
 
 
 
 
  112
BAB V 
FUNGSI PROSES RITUAL TIRAKATAN 
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA PAMENANG KEDIRI. 
 
5.1 Pengantar 
 Pelaksanaan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya masih 
berlangsung sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa petilasan tersebut 
masih memiliki fungsi bagi warga  pendukungnya. Sebab jika proses ritual 
itu tidak memiliki fungsi maka proses ritual tersebut tidak akan dapat bertahan 
lama. Bab V ini penulis akan mengkaji secara cermat fungsi-fungsi yang dimiliki 
Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
 
5.2 Fungsi Spiritual 
Proses ritual memiliki fungsi spiritual berhubungan erat dengan emosi 
keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1967: 
218) emosi keagamaan atau religious emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada 
suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu 
hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja 
untuk kemudian menghilang lagi. 
Emosi keagamaan inilah yang mendorong manusia untuk berlaku serba 
religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis pada segala sesuatu yang 
bersangkutan dengan kelakuan serba religi tersebut, seperti: tempat, waktu, benda-
benda, dan orang-orang yang bersangkutan. Tempat kramat itu seperti Petilasan 
  113
Sri Aji Jayabaya yang menjadi media spiritual atau tempat bermukimnya roh 
lehuhur (Sri Aji Jayabaya). Waktu yang keramat itu misalnya Jumat legi dan 
Selasa kliwon yang dianggap sebagai hari baik oleh warga  Jawa. Benda-
benda keramat itu misalnya tungku untuk membakar kemenyan yang digunakan 
peziarah sebagai sarana untuk mengantarkan mantra atau doa-doa mereka kepada 
Tuhan. Orang-orang yang melakukan juga menjadi keramat jika melakukan 
proses ritual atau ritual  keagamaan. Kelakuan serba religi ini terlihat dalam 
kutipan di bawah ini. 
“Pak Santoso adalah seorang peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk 
meminta keselamatan dalam menjalani hidup. sesudah  berdoa di Loka Muksa kemudian 
Pak Santoso membawa pulang bunga kanthil dan sebuah mainan kecil (manik)51 yang 
dianggapnya sebagai wangsit”. 
(penutur Bapak Santosa, laki-laki, 62 tahun, wiraswasta, Kota Jombang. 
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di 
pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
Kelakuan serba religi ini telah merubah bunga kanthil dan sebuah mainan kecil 
yang biasa saja menjadi memiliki sebuah kesakralan tertentu. 
Proses ritual ini juga sebagai upaya manusia dalam mencari keselamatan 
dan sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Alam kosmos itu terdiri dari 
komponen yang bersifat materi (alam nyata) dan dan non-materi (alam gaib). 
Komponen yang bersifat materi terdiri dari warga  (interaksi manusia) dan 
alam sekitar (gunung, sungai, laut, dan lain sebagainya). Sedangakan komponen 
yang bersifat non-materi terdiri dari alam kelanggengan (alam gaib positif) dan 
alam lelembut (alam gaib negatif). Dengan melakukan proses ritual manusia 
                                                 
51 Manik dalam KBBI (1994: 627), berarti butir kecil-kecil (dari merjan, karang, plastic, dan 
sebagainya) berlubang dan cocok untuk perhiasan (kalung). 
  114
berharap mendapatkan ketentraman, keseimbangan batin dan akhirnya dapat 
singgah di alam kelanggengan. 
Kedatangan seseorang ke tempat yang dianggap keramat dengan 
mengadakan proses ritual merupakan suatu upaya manusia untuk membina 
hubungan baik dengan roh leluhur, dewa-dewa, ataupun Tuhannya. Demikian 
juga dalam proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan Sri Aji Jayabaya dijadikan 
peziarah untuk memohon sesuatu. Permohonan tersebut seperti dalam kutipan di 
bawah ini. 
“Saya ini baru sembuh dari sakit darah tinggi. Makanya sekarang mengadakan bancakan 
(syukuran) ini untuk merayakan kesehatan saya. Terlebih juga minta supaya diberi 
kesehatan selama-lamanya oleh Tuhan”. 
(penutur Bapak Madi, laki-laki, 73 tahun, petani, Desa Menang. Direkam 
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
Dalam kutipan di atas selain peziarah tersebut mensyukuri kesembuhannya juga 
meminta kesehatan selama-lamanya. Hal ini menandakan bahwa membina 
hubungan baik dengan roh leluhur, dewa-dewa, dan Tuhan didasarkan pada 
ungkapan syukur dan permohonan-permohonan manusia. Peziarah yang datang ke 
Petilasan Sri Aji Jayabaya ada juga yang dikarenakan kewajiban, seperti dalam 
kutipan berikut: 
“Bapak riyen nate kesupe mboten mriki lami sanget. Lha pikiran kulo mboten sekeco 
ngoten, sampe gerah lami mas, pitung wulan yen ora salah. Terus bapak kelingan lak lali 
dereng mriki niki. Sak sampune waras, inggih kulo mriki maleh nyuwun pangapunten 
kalian Ingkang Moho Agung. Inggih sampe dinten niki kok pun mboten wonten alangan 
menopo niku sakit-sakitan maleh, yen masuk angin kan yo biasa tho Mas.” 
Artinya: “Bapak dulu pernah lupa tidak datang ke sini (Petilasan Sri Aji Jayabaya) lama 
sekali. Kemudian pikiran saya tidak enak, sampai-sampai sakit lama sekali, tujuh bulan 
kalau tidak salah. sesudah  bapak ingat kalau belum sempat datang ke sini ini (Petilasan Sri 
Aji Jayabaya). sesudah  sembuh, ya saya ke sini lagi minta ampun kepada Yang Maha 
Agung. Ya sampai hari ini tidak pernah ada halangan apakah itu sakit-sakitan lagi, kalau 
masuk angin itukan biasa tho Mas. 
  115
(penutur Bapak Pandi, laki-laki, 44 tahun, wiraswasta, Kota Bojonegoro. 
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di 
pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
Dari kutipan di atas tampak bahwa jika tidak melakukan prose ritual di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya pikiran menjadi tidak enak (mboten sekeco) hingga berakibat 
pada keadaan sakit sampai tujuh bulan lamanya. Keadaan sakit ini berarti 
digambarkan sebagai mendapatkan bencana atau halangan dari Tuhan. Makanya 
peziarah memiliki kewajiban untuk melakukan proses ritual di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya agar hatinya tenang dan tidak mendapatkan halangan dari roh leluhur 
atau Tuhan. 
 
5.3 Fungsi Sosiologis 
Proses ritual memiliki fungsi sosial jika dihubungkan dengan kehidupan 
dan interaksi antar pendukungnya. Sesungguhnya proses ritual memiliki 
penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan juga berciri 
sosiologis, yaitu sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat 
kehidupan sosial antara warga warga . Para pemeluk suatu religi atau agama 
terkadang tidak menjalankan kewajiban mereka secara sungguh-sungguh, tetapi 
hanya melakukannya karena mereka menganggap melakukan ritual  itu sebagai 
suatu kewajiban sosial saja. Seperti dalam kutipan di bawah ini. 
“Setiap Jumat Legi saya ikut nyekar makam Sri Aji Jayabaya Mas…. Selain nyekar ya 
biar bisa ngobrol sama teman-teman sekampung. Rasanya kalau tidak ikut nyekar itu 
tidak enak dilihat sama tetangga atau teman-teman yang lain”. 
(penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam 
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
  116
Kedatangan Mas Jamri ini disebabkan oleh kewajiban sosial penduduk setempat 
Desa Menang. Jadi sifat proses ritual di sini sebagai pengendali sosial (social 
control) dan Petilasan Sri Aji Jayabaya dianggapnya sebagai media untuk 
melakukan hubungan sosial dengan warga  yang lain. 
Saat wawancara dengan Mas Jamri berlangsung, dia juga sempat bertanya 
kepada peziarah lain yang berasal dari luar desa Menang. Pertanyaan itu seperti 
dalam kutipan di bawah ini. 
Mas Jamri: “Mas, sampun lami mboten dugi mriki? Sibuk menopo kemawon?”  
Peziarah lain: “Meniko Mas, sibuk ngurusi nggriyo”. 
Artinya: 
Mas Jamri: “Mas, sudah lama tidak datang ke sini? Sedang sibuk apa saja?”  
Peziarah lain: “Itu Mas, sedang sibuk mengurus rumah”. 
(penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam 
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
Dari percakapan tersebut penulis tidak dapat mengerti tentang arah pertanyaan 
dan maksud jawaban, namun terlihat di sini bahwa interaksi sosial tidak hanya 
dilakukan antara penduduk sekitar Desa Menang saja, melainkan dilakukan 
penduduk sekitar dengan peziarah dari luar. Jadi yang dimaksud dengan proses 
ritual berfungsi sebagai interaksi sosial di sini bukan hanya dari penduduk 
setempat melainkan seluruh pendukung dari proses ritual di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya itu sendiri. 
 
5.4 Fungsi Ekonomis 
 Petilasan Sri Aji Jayabaya juga memiliki fungsi ekonomis tidak 
terpisahkan dengan pembukaan Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai obyek wisata. 
Banyaknya pendatang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya dimanfaatkan warga  
  117
sekitar untuk berjualan dan mencari nafkah. Tidak hanya itu, penduduk sekitar 
Desa Menang juga ada yang membuka jasa parkir dan akomodasi. Seperti halnya 
Bapak Supardi yang memanfaatkan hari Jumat Legi dan Selasa Kliwon untuk 
membuka jasa parkir dan menjual bunga di depan rumahnya, katanya: 
“Bagi saya Petilasan Sri Aji Jayabaya itu memberi berkah. Sebab selain dapat memarkir 
kendaraan yang ingin berziarah ke sini, saya juga bisa menjual bunga. Kalau parkir 
kendaraan yang ramai itu biasanya pada hari Jumat Legi dan tanggal 1 Suro. Kalau 
menjual bunga yang ramai pada hari Jumat Legi, pasti laris Mas”. 
(penutur Bapak Supardi, laki-laki, 52 tahun, wiraswasta, Desa Menang. 
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di 
pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
Dari kutipan di atas terlihat bahwa dibukanya Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai 
tempat wisata telah dimanfaatkan oleh penduduk Desa Menang untuk kegiatan 
ekonomi. Ternyata tidak hanya penduduk sekitar Desa Menang yang 
memanfaatkan obyek ziarah dan wisata Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Seorang 
pedagang dari luar juga memanfaatkannya untuk berjualan, khususnya pada 
proses ritual peringatan tahun baru Suro, seperti dalam kutipan di bawah ini. 
“Saya inikan pedagang celengan keliling yang di mana ada keramaian di situ saya 
berdagang. Pada perayaan tahun baru Suro di sini (Petilasan Sri Aji Jayabaya) banyak 
diadakan pertunjukan-pertunjukan, makanya ramai sekali oleh pendatang. Jelas ini adalah 
berkah untuk saya sebagai pedagang keliling, sebab dengan banyaknya orang yang datang 
dagangan saya menjadi semakin laris”. 
(penutur Umah, laki-laki, 24 tahun, wiraswasta, Kota Kediri. Direkam 
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
Petilasan Sri Aji Jayabaya tidak hanya dirasakan oleh penduduk setempat, 
melainkan pendagang dari luar Desa Menang juga akan berbodong-bondong 
memanfaatkan keramaian orang untuk menjual barang dagangannya di sana. Hal 
ini bisa dilihat pada saat Suroan banyak pedagang kaki lima yang berjualan di 
sekitar wilayah petilasan. 
  118
Proses ritual memiliki fungsi ekonomi juga berkaitkan dengan permintaan-
permintaan peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya. Menurut 
Endraswara (2005: 229-231) prinsip ekonomi orang Jawa untuk meraih kabegjan 
(keberuntungan) tidak dicapai semata menggunakan sistim pasar. Orang Jawa 
khususnya mencoba menerapkan manajemen batin yang secara tidak langsung 
akan membuat roda ekonomi lancar. Apalagi, jika pelaku ekonomi menjalankan 
mistik kejawen tulen, maka segala perilaku ekonomis akan diwarnai dengan 
ritual-ritual. Paling tidak, landasan yang menonjol adalah prinsip bahwa rezeki 
merupakan peparinge Pangeran (pemberian Tuhan) yang telah digariskan atau 
diatur oleh Tuhan. Kepercayaan ini menyebabkan orang Jawa gemar mendatangi 
tempat-tempat keramat yang biasanya ada  makam leluhur yang pantas 
dimintai tolong agar ekonominya lancar. Yang dilakukan di tempat itu adalah 
berdoa, nyekar, dan bersemedi agar diberikan kemudahan dalam menjalankan 
perekonomian mereka. Demikian pula peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji 
Jayabaya banyak di antara mereka yang meminta agar dagangan laris, seperti 
dalam kutipan di bawah ini. 
“Kulo dateng mriki nyuwun bantuan kalian Eyang menawi sadeyan celengan saget 
lancar. Sadeyan meniko wonten musimipun Mas, kadang sepi kadang inggih rame. 
Inggih mugi-mugi pengayomanipun Eyang saget maringi kelancaran usaha kulo”. 
Artinya: “Saya datang ke sini minta bantuan kepada Eyang (Sri Aji Jayabaya) semoga 
dalam berjualan celengan dapat lancar. Berjualan itu ada musimnya, terkadang sepi 
terkadang juga ramai. Ya semoga karunia Eyang dapat memberikan kelancaran usaha 
saya”. 
(penutur Ibu Suparmi, laki-laki, 55 tahun, wiraswasta, Kecamatan Semen 
(Kota Kediri). Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko 
Nugroho, di pendapa Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
Peziarah sebagai pelaku ekonomi di sini melakukan proses ritual dalam rangka 
mencari pelarisan (agar dagangan laris terjual). Pelarisan di sini tidak sama 
  119
dengan mencari pesugihan (kekayaan) semata, melainkan lebih mendasarkan pada 
kabegjan yang dimintakan kepada Tuhan.52 
 
5.5 Fungsi Politis 
Menurut Endraswara (2005: 236) hakikat politik dalam budaya Jawa 
adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya 
meraih kekuasaan. Kekuasaan dalam warga  Jawa ini sangat terkait dengan 
konsep kasekten (kesaktian) seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh 
kewibawaan seorang pemimpin. Cara memperoleh kekuasaan kasekten ini sering 
dilakukan melalui semedi di tempat-tempat keramat. 
Proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang memiliki fungsi politik 
dihubungkan dengan sikap mesianistik atau orang Jawa sering menyebutnya 
sebagai ratu adil53. Oleh sebab keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini secara 
historis diperkuat oleh legenda raja Jayabaya yang diceritakan tidak meninggal 
dunia melainkan muksa. Maka dengan datang dan bersemedi di petilasan ini, ada 
juga seseorang yang berharap mendapatkan wahyu sebagai ratu adil. Gerakan 
mesianistik yang ramai dibicarakan pada akhir abad ke-20 ini diperkuat dengan 
ideologi milenaristik54 yaitu akan hadirnya jaman emas di abad ke-21 yang 
dimulai dengan kehadiran ratu adil atau Imam Mahdi di akhir abad ke-20. Seperti 
gerakan Muhammad Arif yang menyandang nama Romo Bung Karno di Malang 
pada tahun 1998. 
                                                 
52 Bandingkan dengan Endraswara (2005) 
53 Menurut KBBI (1994: 821), ratu adil berarti tokoh yang diharapkan (diidealkan) menjadi 
pembebas kesengsaraan 
54 Ideologi milenaristik adalah gerakan mengulang kembali masa-masa kejayaan yang telah 
lampau. 
  120
Kuatnya mitos ratu adil di hati rakyat Jawa, maka banyak tokoh politik 
yang memiliki visi populis55 dengan menggunakan paham ini untuk memperoleh 
dukungan dari rakyat. Maka yang paling awal digarap menjadi pengikut adalah 
warga  yang frustasi dan tidak rasional, atau ada yang mengistilahkan 
warga  paranoid.56 Penyebab frustasi bisa macam-macam seperti kemiskinan 
yang menindih, ketakutan, konflik. Lapisan warga  bawah menjadi sasaran 
empuk karena rendahnya tingkat berpikir secara rasional. 
Seperti ditulis Dr Sindhunata (1999), yang mengatakan bahwa Ir. 
Soekarno datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya di Desa Menang Kota Kediri 
Propinsi Jawa Timur dengan disaksikan banyak orang. sesudah  berdiam atau 
bersemadi di petilasan selama sekitar tujuh menit mengaku telah menerima wahyu 
kedaton, wahyu kenegaraan. Hal ini juga dikatakan oleh Amat Radjo cucu 
Warsodikromo, juru kunci petilasan waktu itu, bahwa Ir. Soekarno sebelum dan 
sesudah menjadi presiden Republik Indonesia sering berziarah ke Petilasan Sri Aji 
Jayabaya. Kedatangan Ir. Soekarno ini dengan maksud untuk meminta restu dan 
bimbingan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dalam menjalankan tugasnya sebagai 
pemimpin negara. Sejak saat itu Ir. Soekarno dimitoskan sebagai ratu adil dan 
memiliki kasekten atau kesaktian luar biasa seperti HOS Tjokroaminoto, guru 
politik Ir. Soekarno. Bahkan di mata Samsuri, Ir. Soekarno tidak mati melainkan 
                                                 
55 Visi populis adalah pandangan yang berpaham pada untuk menjunjung tinggi hak, kearifan, dan 
keutamaan rakyat kecil. Lihat juga KBBI (1994: 782 dan 1120). 
56 Menurut KBBI (1994: 730) paranoid diartikan sebagai penyakit jiwa; penyakit yang membuat 
orang berpikir aneh-aneh yang bersifat khayalan. Jadi warga  paranoid adalah orang-orang 
yang sedang dihantui pikiran aneh-aneh yang bersifat khayalan. 
  121
masih hidup di Hutan Purwo Banyuwangi. Muhammad Arief mengaku titisan Ir. 
Soekarno itu berganti nama dengan sebutan Romo Bung Karno.57 
Selain Ir. Soekarno, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga 
memanfaatkan proses ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya sebagai sarana politik. 
Melalui acara Bedah Bumi Nusantara, Gus Dur yang telah menjadi mantan 
Presiden Republik Indonesia datang sebagai tamu kehormatan. Dan para 
undangan yang hadir adalah Sultan Kanoman dari Kesultanan Cirebon, Sultan 
Salahuddin XII bersama permaisurinya, Putri Mawar, serta perwakilan dari 
Kesultanan Surakarta Hadiningrat, Kesultanan Jogjakarta, Kerajaan Bali dari Puri 
Ubud. Serta para tokoh lintas agama, antara lain Bikkhu Dhama Sutta Tera (Ketua 
Umum Sangha Tera-vada Indonesia atau perwakilan agama Budha), Bunsu Ny 
Titis Subodro (perwakilan Khonghucu), Soeparno (perwakilan Penghayat 
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), H Kuncoro (perwakilan agama 
Islam), sedangkan tokoh agama Katolik, Kristen Protestan dan Hindu berhalangan 
hadir waktu itu.58 
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa keberadaan proses ritual di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi politik. Bung Kano di sini jelas-jelas 
mengatakan telah mendapatkan wahyu kedaton atau wahyu kenegaraan, 
sedangkan Gus Dur secara tidak langsung ingin menarik simpati warga  yang 
datang dalam ritual  bedah bumi nusantara. Dengan mengadakan atau ikut dalam 
proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dihadiri oleh ribuan peziarah itu 
seorang tokoh politik berharap akan memperoleh dukungan dari masyarakyat luas. 
                                                 
57 Lihat juga http://www.kompas.com/kompas-cetak/utama/1109/00.htm 
58 Lihat juga http://www.knightsps.co.id/27122003/01d.phtml+petilasan+sri+aji+jayabaya/id 
  122
Sebenarnya proses ritual sebagai sarana berpolitik dalam warga  Jawa 
sangatlah wajar, asalkan dalam memimpin bangsa mengikuti jejak raja-raja Jawa 
terdahulu. Menurut Endraswara (2005: 237), ada  delapan sifat pemimpin 
yang baik, yaitu: (1) galing (burung merak) lambang kekuasaan, (2) banyak 
(angsa) lambang kesucian, (3) dalang (kijang) lambang kepandaian, (4) sawung 
(jago) lambang keberanian, (5) ardawalika (naga) lambang tanggung jawab, (6) 
kacumas (sapu tangan emas) lambang kebersihan, (7) kutuk (sebangsa ikan) 
lambang keindahan, dan (8) saput (kota perluasan) lambang kesiapan. Jadi saat 
seseorang itu memiliki kekuasaan selayaknya punya kesucian, kepandaian, 
keberanian, tanggung jawab, kebersihan, keindahan, dan kesiapan sebagai tokoh 
pemimpin. 
 
5.6 Fungsi Budaya 
Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan di sini melekat pada kategori-
kategori fungsi dalam proses ritual tirakatan yang lain, yaitu fungsi spiritual, 
sosiologis, ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana fungsi budaya 
dalam proses ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya spiritual, budaya ekonomis, 
budaya sosiologis, dan budaya politis bagi pendukungnya. 
Proses ritual memiliki fungsi budaya spiritual masih berhubungan erat 
dengan emosi keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Maka seseorang itu 
akan berlaku serba religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis pada segala 
sesuatu, seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan orang-orang yang bersangkutan. 
Budaya spiritual menurut emosi keagamaan akan menciptakan tata cara saat 
  123
berada di tempat kramat seperti yang berlaku di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang 
menjadi media spiritual atau tempat bermukimnya roh lehuhur (Sri Aji Jayabaya). 
Budaya spiritual juga menjadikan Jumat legi dan Selasa kliwon acuhan ketetapan 
sebagai hari baik untuk menghaturkan segala permohonannya di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya. Begitupun dengan benda-benda dan para pendukungnya akan menjadi 
keramat jika melakukan semua tata cara dalam proses ritual tirakatan di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya. 
Proses ritual memiliki fungsi budaya sosial jika dihubungkan dengan 
kehidupan dan interaksi antar pendukungnya. Seperti dalam kutipan di bawah ini. 
“Setiap Jumat Legi saya ikut nyekar makam Sri Aji Jayabaya Mas…. Selain nyekar ya 
biar bisa ngobrol sama teman-teman sekampung. Rasanya kalau tidak ikut nyekar itu 
tidak enak dilihat sama tetangga atau teman-teman yang lain”. 
(penutur Jamri, laki-laki, 16 tahun, siswa SMU, Desa Menang. Direkam 
pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di pendapa 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya). 
 
Kedatangan Mas Jamri ini disebabkan oleh kewajiban sosial penduduk setempat 
Desa Menang. Kewajiban sosial ini membuat Mas Jamri merasa malu jika tidak 
datang di Petilasan Sri Aji Jayabaya pada Jumat legi dan Selasa kliwon. Maka 
proses ritual ini tidak semata-mata menjadi pengendali sosial semata namun telah 
menciptakan budaya sosial malu. 
Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi budaya ekonomis tidak 
terpisahkan dengan pembukaan Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai obyek wisata. 
Banyaknya pendatang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya membuat warga  sekitar 
berbudaya serba ekonomis dengan cara membuka jasa parkir, jasa akomodasi, 
berjualan bunga, hingga jasa menyewakan kamar mandi. Ternyata tidak hanya 
warga  sekitar Desa Menang seorang pedagang dari luar juga 
  124
memanfaatkannya untuk berjualan, khususnya pada proses ritual peringatan tahun 
baru Suro karena banyaknya orang yang datang untuk mengikuti perayaan 
tersebut. 
Menurut Endraswara (2005: 236) hakikat politik dalam budaya Jawa 
adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya 
meraih kekuasaan. Kekuasaan dalam warga  Jawa ini sangat terkait dengan 
konsep kasekten (kesaktian) seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh 
kewibawaan seorang pemimpin. Cara memperoleh kekuasaan kasekten ini sering 
dilakukan melalui semedi di tempat-tempat keramat. 
Proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang memiliki fungsi budaya 
politik dihubungkan dengan sikap mesianistik atau orang Jawa sering 
menyebutnya sebagai ratu adil. Seperti ditulis Dr Sindhunata (1999), yang 
mengatakan bahwa Ir. Soekarno datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya di Desa 
Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur dengan disaksikan banyak orang. 
sesudah  berdiam atau bersemadi di petilasan selama sekitar tujuh menit mengaku 
telah menerima wahyu kedaton, wahyu kenegaraan. Selain Ir. Soekarno, KH 
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga memanfaatkan proses ritual di Pamuksan Sri 
Aji Jayabaya sebagai sarana politik melalui acara Bedah Bumi Nusantara. Kedua 
contoh di atas menunjukkan fungsi budaya politis dalam proses ritual di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya karena bersifat populis dengan memanfaatkan budaya 
mesianistik yang ada dalam warga  Jawa. 
 
 
  125
5.7 Rangkuman 
Proses ritual Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki fungsi spiritual, 
sosiologis, ekonomis, politis, dan budaya ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan 
secara nyata. Sebab proses ritual berfungsi spiritual ini ada  juga perilaku 
sosial antar peziarah. Dalam fungsi ekonomi juga ada  interaksi sosial dan 
fungsi spiritual sebab di dalam permohonan kelancaran usaha termuat juga mantra 
atau doa. Bahkan fungsi politik di sini berpengaruh juga pada fungsi sosial 
(mengajak orang bersatu), ekonomi (kejayaan), dan spiritual karena berkaitan 
dengan kasekten (kesaktian), wahyu dari ilahi, dan kepercayaan warga  
terhadap ratu adil. Terlebih fungsi budaya yang akan selalu menempel pada 
fungsi-fungsi lain dalam proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
Makanya kelima fungsi proses ritual di sini saling berkaitan satu dengan lainnya, 
walaupun dalam kenyataannya fungsi spirituallah yang sangat dominan. Hal ini 
oleh Franz Magnis Suseno disebut sebagai pandangan hidup orang Jawa. 
Menurut Suseno (2001: 82), bahwa pandangan hidup orang jawa tidak 
dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu 
dengan lainnya, melainkan bahwa realita itu dilihat sebagai suatu kesatuan 
menyeluruh. Pada hakekatnya orang Jawa tidak membedakan antara sikap-sikap 
religius dan bukan religius, sebab di dalam sikap religius ada  interaksi-
interaksi sosial. Demikian pula sikap religius memiliki relevansi terhadap 
perkembangan ekonomi dan hakekat menguasai (politik). Bagi orang Jawa 
pandangan itu bukan suatu pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai 
sarana dalam usahanya untuk berhasil dalam menghadapi masalah-masalah 
  126
kehidupan. Tolok ukur arti pandangan hidup orang Jawa ini adalah nilai 
pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu: ketenangan, 
ketentraman, dan keseimbangan batin. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  127
BAB VI 
PENUTUP 
 
A. Kesimpulan 
Berdasarkan pembahasan uraian di depan, penulis menyimpulkan 
beberapa hal sebagai berikut: 
1. Keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini didukung oleh sejarah raja 
Jayabaya yang memerintah kerajaan Kadiri (Kediri) antara tahun 1135 M. 
hingga tahun 1157 M.. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi peziarah 
dari luar kota maupun warga  Kota Kediri untuk berkunjung. 
Hubungan historis antara sejarah Jayabaya dan keberadaan proses ritual 
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini terlihat dalam doa-doa yang 
selalu berpusat pada keagungan dan kebesaran nama raja Jayabaya. 
2. Pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon ini 
walaupun sudah mengalami beberapa perubahan, seperti wujud sesaji 
makanan dan urutan ritual, ternyata tidak mengurangi kesakralan proses 
ritual itu sendiri. Proses ritual tirakatan ini selain dipakai untuk meminta 
berkah dan memohon keselamatan kepada Tuhan melalui perantara Sri Aji 
Jayabaya juga sebagai sarana membina hubungan baik di antara peziarah. 
3. Proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya 
yang diprakarsai oleh Yayasan Hondodento ini pada akhirnya diyakini 
sebagai tradisi ritual setempat warga  sekitar Desa Menang dan Kota 
  128
Kediri. Buktinya hingga saat ini proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya masih dilaksanakan. 
4. Analisis fungsi yang dimiliki oleh Petilasan Sri Aji Jayabaya, penulis 
menemukan adanya lima fungsi, yakni: (1) keberadaan Petilasan Sri Aji 
Jayabaya sebagai tempat proses ritual memiliki fungsi spiritual dalam 
membina hubungan baik antara peziarah dengan Tuhan melalui perantara 
Sri Aji Jayabaya. (2) Petilasan Sri Aji Jayabaya dan proses ritual tirakatan 
memiliki fungsi sosial sebagai proses interaksi sosial di antara peziarah 
dan kontrol sosial bagi warga  Desa Menang. (3) dibukanya Petilasan 
Sri Aji Jayabaya sebagai tempat wisata ziarah tentu akan didatangi banyak 
orang dan tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan penduduk sekitar 
untuk berjualan, membuka penginapan, jasa parkir, dan lain sebagainya. 
Hal ini berakibat pada penambahan pendapatan warga  Desa Menang. 
Hal yang sama dirasakan oleh pedagang lain yang berjualan di sekitar 
wilayah Petilasan Sri Aji Jayabaya pada peringatan tahun baru Suro. (4) 
Petilasan Sri Aji Jayabaya ternyata juga dapat dijadikan simbol dan sarana 
untuk kepentingan politik. Hal ini dilakukan dengan menghadiri ritual  
ritual yang sudah ada maupun mengadakan ritual pribadi di Petilasan Sri 
Aji Jayabaya dengan mengundang banyak orang agar memperoleh simpati 
warga  luas (5) Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan yang 
selalu melekat pada kategori-kategori fungsi yang lain, yaitu fungsi 
spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana 
fungsi budaya dalam proses ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya 
  129
spiritual, budaya ekonomis, budaya sosiologis, dan budaya politis bagi 
pendukungnya. 
5. Penelitian ini telah membuktikan bahwa media tutur kata dalam takhyul 
atau folk belief yang terdiri dari tanda-tanda dan sebab-sebab menciptakan 
sebuah akibat. Akibat ini oleh Koentjaraningrat dikelompokkan ke dalam 
empat komponen, yaitu : (a) tempat-tempat ritual , (b) saat-saat ritual , 
(c) benda-benda ritual , (d) orang-orang yang melakukan dan memimpin 
ritual . Demikian halnya yang terjadi dalam proses ritual di Petilasan Sri 
Aji Jayabaya. Teori unsur-unsur dalam proses ritual dalam penelitian ini 
ada yang kurang relevan. Unsur tersebut adalah bekorban. ada  pula 
unsur-unsur proses ritual yang tidak secara langsung terlibat dalam proses 
ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya, yaitu : unsur menari dan menyanyi 
serta memainkan seni drama. Sebab unsur-unsur ini diadakan terpisah dari 
proses ritual namun masih merupakan satu rentetan acara. Penambahan 
unsur-unsur proses ritual di Petiladan Sri Aji Jayabaya adalah latar 
belakang alunan musik atau backsound untuk mengiringi jalannya proses 
ritual. 
 
B. Saran 
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakan penelitian 
tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Dalam bidang 
tradisi lisan perlu diadakan penelitian lebih mendalam tentang proses ritual pada 
hari-hari biasa dan proses ritual Bedah Bumi Nusantara. Demikian pula 
  130
disarankan untuk dilakukan kajian yang mendalam tentang munculnya 
kepercayaan-kepercayaan rakyat (folk belief) mengenai Petilasan Sri Aji 
Jayabaya. Dalam bidang psikologi perlu diadakan penelitian lanjut tentang alasan 
dan motivasi peziarah datang di Petilasan Sri Aji Jayabaya, baik datang untuk 
mengikuti tirakatan satu hari saja maupun yang tinggal di wilayah peti

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate