jayabaya 2


 Penelitian ini membahas tentang Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur: 
Sebuah Kajian Folklor. Judul ini dipilih karena ketertarikan penulis terhadap 
peziarah yang datang untuk meminta berkah di Petilasan Sri Aji Jayabaya, bahkan 
ada yang tinggal hingga bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah. 
 Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan konteks sejarah dan 
budaya Kota Kediri, (2) mendeskripsikan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan 
Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, (3) 
mendeskripsikan proses ritual tirakatan malam 1 Suro atau Muhharam di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, serta (4) melacak dan menjelaskan 
fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota 
Kediri. 
 Penelitian ini menggunakan pendekatan folklor sebagai pendekatan utama, 
sedangkan pendekatan analisis sastra, deskriptif historis, dan, etnografi sebagai 
pendekatan tambahan. Kerangka teori yang digunakan sebagai bahan referensi 
adalah teori proses ritual dan ritual  keagamaan, serta fungsi-fungsi proses ritual. 
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: teknik 
studi pustaka, teknik observasi, teknik wawancara, serta teknik perekaman dan 
pengarsipan. Nara sumber dalam penelitian ini adalah juru kunci dan peziarah. 
Tempat penelitian adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
Hasil penelitian mengenai proses dan fungsi ritual ini menunjukkan bahwa 
(1) keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini didukung sejarah raja Jayabaya yang 
memerintah kerajaan Kadiri (Kediri) antara tahun 1135 M. hingga tahun 1157 M.. 
(2) proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya memang sudah mengalami beberapa pergeseran, namun tidak 
mengurangi tingkat kesakralannya, (3) proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya yang diprakarsai oleh Yayasan Hondodento pada 
akhirnya diyakini sebagai tradisi ritual warga  setempat, dan (4) Petilasan Sri 
Aji Jayabaya memiliki empat fungsi, yaitu: (i) fungsi spiritual dalam membina 
hubungan baik antara peziarah dengan Tuhan melalui perantara Sri Aji Jayabaya, 
(ii) fungsi sosial sebagai proses interaksi sosial di antara peziarah dan kontrol 
sosial bagi warga  Desa Menang, (iii) fungsi ekonomis, dengan dibukanya 
Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai tempat wisata ziarah ternyata berakibat pada 
penambahan pendapatan warga  Desa Menang, dan pedagang lain yang 
berjualan di sana, (iv) fungsi politik untuk mendapatkan simpati warga  luas 
(v) fungsi kultural selalu melekat pada kategori-kategori fungsi yang lain, yaitu: 
fungsi spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. 
 
Perkembangan teknologi di era globalisasi dewasa ini tidak menghambat 
kehidupan kebudayaan dan tradisi lisan di Indonesia. Hal ini terbukti dari masih 
banyaknya tempat-tempat yang dianggap keramat dan didatangi orang untuk 
berziarah. Tempat-tempat ziarah yang dianggap keramat itu dapat berupa sebuah 
gua, daerah gunung berapi, petilasan (makam leluhur atau orang suci), pohon 
besar, dan masih banyak lagi. Kedatangan peziarah mengunjungi tempat-tempat 
tersebut didorong berbagai macam alasan. Ada yang bertujuan untuk mencari 
kekayaan, sukses dalam pekerjaan, jodoh, menikmati suasana hening, dan masih 
banyak alasan lain dari tujuan peziarah tersebut. 
Berbagai macam alasan peziarah mendatangi tempat-tempat yang 
dianggap keramat itu sebenarnya memiliki hubungan erat dengan emosi 
keagamaan yang dimilikinya. Menurut Koentjaraningrat (1967: 218), emosi 
keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah 
menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran 
itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang 
lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religius. 
Perilaku manusia yang serba religius ini mendorong mereka untuk 
mendatangi tempat-tempat keramat yang dianggap sebagai tempat besemayamnya 
arwah leluhur atau dewa-dewi, juga kekuatan-kekuatan gaib yang ada pada benda 
  2
tertentu, yang kebetulan tersimpan di tempat keramat itu. Maka tempat-tempat 
keramat itu pada saat-saat tertentu dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan, 
seperti ritual -ritual  persembahan kepada “Yang Maha Kuasa”. 
Tempat-tempat keramat yang dipercaya bersemayam tokoh leluhur yang 
pada masa hidupnya memiliki kharisma merupakan salah satu tempat favorit 
untuk didatangi peziarah, terlebih jika tokoh itu dimitoskan oleh pendukungnya 
dan dijadikan sebagai panutan perilaku kelompok orang tertentu. Tempat keramat 
yang didukung oleh keberadaan mitos yang kharismatis itu akan menjadi tempat 
ziarah dengan tujuan dan maksud tertentu. Ziarah yang dilakukan ini pada 
hakikatnya menyadarkan kondisi manusia sebagai pengembara di dunia yang 
hanya mampir ngombe1. Ziarah ke tempat-tempat keramat maksudnya sangat 
bervariasi dan salah satunya adalah untuk memperoleh restu leluhur yang 
dianggap telah lulus dalam ujian hidup (Subagya, 1981: 141). 
Salah satu tempat ziarah yang kharismatik adalah Petilasan Sri Aji 
Jayabaya yang terletak di Desa Menang, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri, 
sekitar delapan kilometer arah utara dari pusat Kota Kediri. Kota Kediri berada di 
sebelah selatan Propinsi Jawa Timur. Selain Petilasan Sri Aji Jayabaya, di kota ini 
masih ada banyak tersimpan cerita dan tradisi lisan lainnya. Cerita dan tradisi 
lisan di Kota Kediri masih terlihat lestari, hal ini ditandai dengan banyaknya 
kegiatan-kegiatan religi dan kepercayaan warga  terhadap mitos serta hal-hal 
gaib. 
                                                 
Mampir ngombe merupakan bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti singgah 
untuk minum. Dalam kehidupan di dunia ini kebanyakan orang Jawa percaya bahwa manusia 
menjalani hidup seperti halnya singgah untuk minum saja. 
  
Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dipercaya orang menjadi tempat 
muksanya2 Sri Aji Jayabaya, yaitu raja kerajaan Kediri yang memerintah sekitar 
tahun 1135 – 1157 M.. Jayabaya sangat dikenal warga  Indonesia oleh karena 
ramalan-ramalannya tentang hari depan Pulau Jawa (bangsa Indonesia) dari segala 
aspek. Ramalan Jayabaya yang sampai hari ini dianggap masih tetap relevan dan 
aktual bagi sebagian warga  Jawa, bisa disejajarkan dengan Nostradamus, 
"peramal" dari daratan Eropa. 
Tidak mengherankan jika situs yang dipagari tembok - bangunan baru - 
setinggi lima meter, dengan luas sekitar 25 meter persegi, dapat menjadi medan 
magnet bagi ribuan manusia pada setiap 1 Sura atau Muhharam. Tiap menjelang 1 
Sura, warga  dari dalam dan luar Kota Kediri berbondong-bondong memadati 
Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk meminta berkah.3 
Tradisi lisan yang berkembang di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini bermula 
dari mimpi Warsodikromo (1860), tentang sebuah gundukan tanah yang telah 
menjadi rawa, di sana dulu pernah bertahta seorang raja Kediri yang tersohor yaitu 
Sri Aji Jayabaya. Atas petuah dalam mimpi itu penduduk mengadakan pencarian 
terhadap petilasan atau makam tersebut. Akhirnya, dengan dibantu oleh seorang 
ahli metaphisik, petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil 
diketemukan. Letaknya di bawah naungan pohon kemuning. Dan mulai saat itu 
tempat yang dulunya hanya sebuah gundukan tanah, mulai ramai didatangi 
pengunjung untuk berziarah (Hondodento 1989: 8). 
                                                 
 Muksa berarti orang yang meninggal dan hilang bersama jasadnya 

Pada tahun 1975, keluarga besar Hondodento memugar petilasan Sri Aji 
Jayabaya yang terdiri dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang 
Tirtokamandanu. Bangunan Pamoksan Sri Aji Jayabaya yang dipugar meliputi, 
Loka Muksa4, Loka Busana5, serta Loka Makuta6. Sebelumnya banyak juga di 
antara peziarah yang datang dan ingin memugar, namun belum ada satu pun dapat 
menyelesaikan pemugaran tersebut. Pemugaran yang dilakukan oleh keluarga 
besar Hondodento ini menjadikan Pamoksan Sri Aji Jayabaya makin ramai 
didatangi orang-orang untuk berziarah. 
sesudah  keluarga besar Hondodento berhasil memugar Pamoksan Sri Aji 
Jayabaya dan dilanjutkan dengan pemugaran Sendang Tirtokamandanu, sekitar 
satu kilo dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya. Sendang ini konon digunakan untuk 
memandikan putra-putri raja Jayabaya sebelum mengunjungi pamuksan. 
Sendang Tirtokamandanu dan Pamoksan Sri Aji Jayabaya sekarang tidak 
hanya dipadati peziarah menjelang 1 Sura atau Muhharam saja, tetapi setiap 
malam Jumat Legi dan Selasa Kliwon juga ramai oleh kedatangan peziarah yang 
kebanyakan berasal dari luar Kota Kediri. Mereka datang dengan berbagai macam 
permintaan, ada yang meminta agar cepat mendapat jodoh, dagangan sukses, 
sembuh dari sakit, dan ada juga yang hanya ingin menikmati suasana sunyi. 
Setiap harinya ada saja peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya 
selain hari Jumat Legi, Selasa Kliwon, dan tanggal 1 Suro, bahkan ada  
beberapa orang yang tinggal bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah dan hanya 
bermukim di sekitar pendopo pamuksan atau sendang dengan perbekalan 
                                                 
seadanya. Keperluan sehari-hari untuk makan dan minum mereka menunggu 
kiriman dari saudara-saudaranya yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap 
hari Jumat Legi atau Selasa Kliwon. Kejadian-kejadian tersebut mempertebal 
keingintahuan peneliti untuk mendalami keberadaan proses ritual dan fungsi 
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa 
Timur. 
Melalui teori folklor, penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan 
sebagai berikut: (1) konteks budaya dan sejarah Kota Kediri, (2) proses ritual 
tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa 
Menang, Kota Kediri, (3) proses ritual 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, (4) fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri. 
Peneliti berharap dengan kajian terhadap proses ritual tirakatan di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya ini dapat memberikan informasi lebih dalam tentang 
keberadaan salah satu tradisi lisan yang ada di warga  Kota Kediri, Propinsi 
Jawa Timur, dan sebagai wujud pelestarian satu dari sekian banyak tradisi lisan 
yang masih ada di negara Indonesia. 
 

Penelitian ini membahas Petilasan Sri Aji Jayabaya berkenaan dengan 
proses ritual tirakatan yang ada di sana. Nama Jayabaya memang tidak asing bagi 
warga  Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku dan media cetak 
yang menuliskan tentang keberadaan Jayabaya terlebih tentang ramalan-
ramalannya, baik itu dihubungkan dengan politik (ratu adil) atau pun keberadaan 
alam Indonesia, seperti buku Ramalan Sakti Prabu Jayabaya: Membuka Tabir 
Tanda-tanda Jaman. Dalam buku ini secara garis besar berisi tentang isi ramalan 
Jayabaya yang dihubungkan dengan fenomena politik dan alam yang terjadi di 
Indoneisia (Purwadi, 2003). Soesetro dan Zein Al Arief (1999) juga menulis 
tentang ramalan Jayabaya yang dikaitkan dengan fenomena reformasi politik di 
Indonesia dalam bukunya yang berjudul Membuka Tabir Ramalan Jayabaya Di 
Era Reformasi.7 
Banyaknya tulisan mengenai Jayabaya terlebih tentang ramalan-
ramalannya, hanya sedikit yang ditemui oleh peneliti, buku atau artikel yang 
menuliskan keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya. Kebanyakan media cetak 
menulis berita atau artikel secara sepintas menyebutkan keberadaan Petilsan Sri 
Aji Jayabaya. tulisan itupun berkenaan dengan kegiatan proses ritual 1 Suro yang 
diadakan oleh Yayasan Hondodento. Seperti dalam kutipan berikut: “Labuhan 
                                                 

yang diselenggarakan oleh Yayasan Hondodento itu merupakan salah satu 
rangkaian dalam ritual  ziarah dan ritual yang dilakukan pada bulan Suro. 
Sebelumnya telah dilakukan di Komplek Candi peninggalan Prabu Jayabaya di 
daerah Mamenang Kediri”.8 
Hingga saat ini peneliti hanya menemukan satu buku tentang keberadaan 
Petilasan Sri Aji Jayabaya. Buku itu ditulis dan diterbitkan oleh Yayasan 
Hondodento dengan judul Petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Secara garis 
besar isi buku ini mengenai hal ihwal pemugaran Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan 
Sendang Tirto Kamandanu di desa Menang. Jadi buku ini lebih banyak 
mengungkapkan tentang arsitektur bangunan dan dampak pemugaran dari 
Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu bukan tentang proses 
ritual atau ritual  keagamaan di Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
 Peneliti juga pernah menemukan satu judul artikel tentang petilasan Sri Aji 
Jayabaya. Judul artikel itu adalah Pamoksan Sri Aji Jayabaya ing Menang.9 
Artikel ini ditulis oleh Suwarsono dalam majalah Jaya Baya. Majalah Jaya Baya 
adalah salah satu media cetak yang ada di Surabaya yang menggunakan Bahasa 
Jawa. Artikel ini berbicara tentang sejarah singkat dan daya tarik Petilasan Sri Aji 
Jayabaya bagi peziarah. 
 Perbedaan penelitian Proses Dan Fungsi Ritual Tirakatan Di Petilasan Sri 
Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur Sebuah Kajian 
Foklor ini adalah melanjutkan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian ini 
akan mendeskripsikan secara terperinci tentang sejarah, proses ritual, dan fungsi 
                                                 
proses ritual bagi pendukungnya. Jadi dalam penelitian ini tidak lagi berisi tentang 
arsitek dan daya tarik Petilasan Sri Aji Jayabaya saja namun berusaha 
mendeskripsikan tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri AJj Jayabaya 
secara mendalam. 
 
 Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan 
diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional 
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai 
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 2). 
Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1984: 21) berdasarkan tipenya folklor 
dibagi menjadi tiga kelompok : (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor 
sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) floklor bukan lisan (non verbal 
folklore)  
(1) Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. 
Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) 
bahasa rakyat (folk speech), (b) ungkapan tradisional, (c) pertanyaan tradisional, 
(d) pertanyaan rakyat, (e) cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat. 
(2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan 
campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor ini adalah 
kepercayaan rakyat dan permainan rakyat. 
  
(3) Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, 
walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk-bentuk folklor ini 
dibagi menjadi dua subkelompok, yaitu yang berupa material atau yang bukan 
material. 
 Dalam penelitian ini akan digunakan teori folklor sebagian lisan yang 
berbentuk kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat atau yang sering kali juga 
disebut sebagai “takhyul” atau kini lebih dikenal sebagai folk belief 
 Dundes dalam Danandjaja  mendefinisikan folk belief sebagai 
ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat; 
beberapa dari syarat-syaratnya bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat 
sebab. 
Takhyul mencakup bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga 
kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman (experiences), ada kalanya juga 
alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak 
Lebih lanjut Danandjaja (1984), menambahkan bahwa takhyul 
menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan). Pada umumnya diwariskan 
melalui media tutur kata. Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang 
terdiri dari tanda-tanda (sigus) atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan 
akan ada akibatnya (result) 
Berdasarkan maknanya, takhyul dibagi menjadi dua jenis, yaitu (a) 
hubungan asosiasi dan (b) ilmu gaib atau magic. Takhyul tersebut dapat dijelaskan 
melalui contoh takhyul berikut ini 
(1) Jika mendengar suara katak (tanda), maka akan turun hujan (akibat). 
(2) Jika kita memandikan kucing (sebab), maka akan turun hujan (akibat). 
Takhyul dalam contoh (1) adalah berdasarkan hubungan sebab akibat menurut 
hubungan asosiasi. Sedangkan takhyul yang kedua, yaitu perbuatan manusia yang 
dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan suatu “akibat”, adalah yang kita 
sebut ilmu gaib atau magic , 
Teori folk belief sebagai ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat 
dan satu atau lebih akibat digunakan untuk menjelaskan proses ritual tirakatan di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya dalam hubungannya dengan tanda-tanda atau sebab-
sebab terciptanya tempat-tempat, alat-alat, waktu, dan orang yang memimpin 
ritual . Dan juga untuk menjelaskan akibat yang muncul sesudah  dilakukannya 
ritual  keagamaan.  
 
emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi 
seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin 
hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi 
keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religi. 
  
Kelakuan serba religi menurut tata kelakuan yang baku, disebut ritual  
keagamaan atau religious ceremonies atau rites. Menurut Van Gennep dalam 
Koentjaraningrat (1985: 32) proses ritual dan ritual  keagamaan secara universal 
pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat 
kehidupan sosial antara warga warga . Hal ini disebabkan karena selalu ada 
saat-saat di mana semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya 
akan timbul kelesuan dalam warga . Kelesuan inilah yang menyebabkan 
manusia membuat ritual  keagamaan. 
Senada dengan Van Gennep, Robertson Smith mengatakan bahwa ritual  
religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga warga  
pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, mempunyai fungsi 
sosial untuk mengintensifkan solidaritas warga . Para pemeluk suatu religi 
atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan 
ritual  itu secara sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya 
melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk 
berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan 
keagamaannya secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap melakukan 
ritual  itu sebagai suatu kewajiban sosial 
Proses ritual atau ritus adalah tata cara dalam ritual  keagamaan , Sedangkan tirakatan adalah mengasingkan diri ke tempat yang sunyi 
(di gunung, dsb)  Jadi pengertian proses ritual tirakatan 
adalah tata cara dalam ritual  keagamaan dengan cara mengasingkan diri ke 
tempat yang sunyi. Pengertian ini digunakan peneliti sebagai dasar untuk 
  
menganalisis tata cara dalam proses ritual tirakatan 1 Suro, Jumat Legi dan Selasa 
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya. 
Menurut Koentjaraningrat,  tiap-tiap ritual  keagamaan 
dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen, yaitu : (a) tempat-tempat 
ritual , (b) saat-saat ritual , (c) benda-benda ritual , (d) orang-orang yang 
melakukan dan memimpin ritual . 
(a) Tempat-tempat ritual  yang keramat itu adalah biasanya suatu tempat 
yang dikhususkan dan yang tidak boleh didatangi oleh barang siapa yang 
tidak berkepentingan. Malahan mereka yang mempunyai kepentingan 
tidak boleh sembarangan berada di tempat ritual . Mereka harus berhati-
hati dan harus memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan. 
(b) Saat-saat ritual  biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan 
gawat, dan yang penuh dengan bahaya gaib. Saat itu biasanya saat yang 
berulang tetap, sejajar dengan irama gerak alam semesta. 
(c) Benda-benda dan alat-alat ritual  merupakan perlengkapan yang dipakai 
dalam hal menjalankan ritual -ritual  keagamaan. Alat-alat ritual  
yang amat lazim di mana-mana adalah patung yang mempunyai fungsi 
sebagai lambang dari dewa atau roh nenek moyang yang menjadi tujuan 
dari ritual . 
(d) Orang-orang yang melakukan dan memimpin ritual  adalah orang-orang 
yang karena suatu pendidikan yang lama menjadi ahli dalam hal 
melakukan pekerjaan sebagai pemuka ritual  keagamaan. 
 Disamping empat komponen ritual  keagamaan, Koentjaraningrat 
menambahkan unsur-unsur dari ritual  keagamaan, yaitu : (a) bersaji, (b) 
berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan menyanyi, (f) berpawai, 
(g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i) intoxikasi, (j) bertapa, (k) bersamadi. 
Secara singkat unsur-unsur itu dijelaskan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut : 
(a) Bersaji, meliputi perbuatan-perbuatan ritual  yang biasanya diterangkan 
sebagai perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makanan, benda-benda, 
atau lain-lainnya kepada dewa, roh-roh nenek moyang, atau makhluk halus 
lainnya, tetapi yang di dalam praktek jauh lebih komplek dari pada itu. 
(b) Berkorban merupakan suatu perbuatan pembunuhan binatang-binatang 
korban, atau manusia, secara ritual . 
(c) Berdoa adalah suatu unsur yang ada dalam banyak ritual  keagamaan di 
dunia. Doa itu pada mulanya adalah rupa-rupanya suatu ucapan dari 
keinginan manusia yang diminta dari para leluhur, dan juga ucapan-ucapan 
hormat dan pujian kepada leluhur itu. 
(d) Dasar pemikiran dari perbuatan makan bersama adalah rupa-rupanya 
mencari hubungan dengan dewa-dewa dengan cara mengundang dewa 
pada suatu pertemuan makan bersama. 
(e) Jalan pikiran yang ada tentang menari dan menyanyi adalah rupa-rupanya 
memaksa alam bergerak. 
(f) Berpawai atau dalam bahasa asing procession, merupakan juga suatu 
perbuatan yang amat umum dalam banyak religi di dunia. Pada pawai-
pawai itu sering dibawa benda-benda keramat, seperti patung-patung 
  
dewa, lambang-lambang totem, benda-benda pusaka yang sakti, dan 
sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari benda-
benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal 
manusia dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui oleh pawai itu. 
(g) Memainkan seni drama seringkali mempunyai arti sebagai suatu ritual  
agama, kalau yang dimainkan itu suatu cerita suci dari mitologi atau dari 
kitab-kitab suci. 
(h) Dasar yang ada pada perbuatan berpuasa bisa bermacam-macam, misalnya 
membersihkan diri atau meguatkan batin dengan penderitaan 
(i) Intoxikasi terdiri dari perbuatan-perbuatan untuk memabukkan atau 
menghilangkan kesadaran diri para pelaku ritual . Dengan demikian 
maka para pelaku ritual  sering melihat bayangan-bayangan atau 
khayalan-khayalan. 
(j) Bertapa ada dalam agama-agama dan religi-religi yang mempunyai 
konsepsi bahwa rohani itu lebih penting dari jasmani. Demikian ada 
pendirian bahwa kalau hasrat-hasrat jasmani dari manusia itu bisa ditekan, 
maka jiwa akan menjadi lebih bersih dan suci. 
(k) Bersamadi adalah berbagai macam perbuatan serba religi yang bertujuan 
untuk memusatkan perhatian si pelaku kepada maksudnya atau kepada hal-
hal yang suci 
 Teori proses ritual yang terdiri dari empat komponen dan sebelas unsur ini 
digunakan peneliti untuk mendeskripsikan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri 
Aji Jayabaya. Namun tidak menutup kemungkinan adanya pengurangan dan 
  
penggunaan teori-teori lain yang akan mendukung pendeskripsian tentang 
keberadaan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, 
Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur ini. 
Fungsi proses ritual secara umum terbagi menjadi empat, yaitu fungsi 
spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Proses ritual sebagai fungsi spiritual 
yaitu usaha manusia dalam berkomunikasi dengan dunia gaib. Cara manusia 
berkomunikasi melalui ritual -ritual  keagamaan baik untuk memohon 
keselamatan, menjaga keseimbangan kosmos, bahkan pembinaan hubungan baik 
dengan para leluhur dan Tuhannya 
Proses ritual memiliki fungsi spiritual juga berhubungan erat dengan 
emosi keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat ,emosi keagamaan atau religious emotion yaitu suatu getaran jiwa 
yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka 
waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik 
saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan inilah yang mendorong 
manusia untuk berlaku serba religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis 
pada segala sesuatu yang bersangkutan dengan kelakuan serba religi tersebut, 
seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan orang-orang yang bersangkutan. 
Sebagai fungsi sosiologis, ritual  keagamaan memiliki penjelasan-
penjelasan sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat kehidupan 
sosial antara warga warga . Para pemeluk suatu religi atau agama terkadang 
  
tidak menjalankan kewajiban mereka secara sungguh-sungguh, tetapi hanya 
melakukannya karena mereka menganggap melakukan ritual  itu sebagai suatu 
kewajiban sosial saja 
 prinsip ekonomis orang Jawa untuk 
meraih kabegjan (keberuntungan) tidak dicapai semata menggunakan sistim pasar. 
Orang Jawa khususnya mencoba menerapkan manajemen batin yang secara tidak 
langsung akan membuat roda ekonomis lancar. Demikian halnya dengan fungsi 
ekonomis yang ada dalam proses ritual tirakatan di petilasan Sri Aji Jayabaya, 
selain erat hubungannya dengan dibukanya sebagai obyek ziarah dan wisata yang 
secara ekonomis langsung dapat dirasakan oleh penduduk setempat, juga 
berhubungan dengan perilaku ekonomis yang diwarnai dengan ritual-ritual. 
Kepercayaan akan ritual-ritual ini menyebabkan penduduk setempat mendatangi 
petilasan Sri Aji Jayabaya dan meminta pertolongan agar roda perekonomianya 
selalu berjalan dengan lancar.  
Proses ritual berfungsi politis ini berkaitan dengan mesianistik atau sang 
pembebas. Mesianistik ini dengan cara menggunakan kepercayaan warga  
terhadap sosok sang pembebas atau orang Jawa menyebutnya sebagai “Ratu 
Adil”. Lantaran kuatnya mitos ratu adil di hati rakyat, maka banyak tokoh politik 
yang memiliki visi populis dengan menggunakan paham mesianistik untuk 
memperoleh dukungan rakyat. Gerakan mesianistik berupa ratu adil ini sangat 
dirasakan di Indonesia pada akhir abad ke-20.10 lalu   hakikat politik dalam budaya Jawa adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik 
                                                 
dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya meraih kekuasaan. Kekuasaan 
dalam warga  Jawa ini sangat terkait dengan konsep kasekten (kesaktian) 
seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh kewibawaan seorang 
pemimpin. 
Pengertian budaya atau kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan 
batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat  Meluasnya pengertian budaya ini membuat peneliti harus membatasi 
fungsi budaya dalam penelitian ini. Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan di 
sini tidak diartikan berdiri sendiri, melainkan akan melekat pada kategori-kategori 
fungsi dalam proses ritual tirakatan yang lain, yaitu fungsi spiritual, sosiologis, 
ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana fungsi budaya dalam proses 
ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya spiritual, budaya ekonomis, budaya 
sosiologis, dan budaya politis bagi pendukungnya. 
Teori fungsi proses ritual tirakatan ini digunakan untuk menjelaskan 
fungsi makna religius, sosiologisl, ekonomis, politis, dan budaya dari proses ritual 
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa 
Timur. 
 
juru kunci dan peziarah. Juru kunci 
sebagai informan dalam penelitian ini merupakan orang yang bahasa ibunya 
adalah bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli pulau Jawa, dengan alasan juru 
kunci merupakan pewaris dari tradisi lisan di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Suseno 
(1984) menyebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa 
Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa, yaitu 
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan peziarah adalah orang-orang yang 
datang ke petilasan Sri Aji Jayabaya untuk mengikuti proses ritual tirakatan dan 
bukan pewaris asli tradisi lisan tersebut. Peziarah ini ada yang merupakan 
warga  sekitar atau dari luar Desa Menang. 
Peneliti membatasi jumlah informan dalam penelitian ini adalah 15 
(sepuluh) orang. Juru kunci sebanyak 4 orang (2 juru kunci Pamuksan Sri Aji 
Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu), sedangkan peziarah dibatasi sebanyak 
10 orang (warga  sekitar maupun dari luar Desa Menang), dan tua Desa 
  
Menang sebanyak 1 orang.. Pembatasan informan ini didasarkan atas pendapat 
yang mengatakan bahwa dalam hal tertentu informan perlu 
direkrut seperlunya dan diberitahu tentang maksud dan tujuan penelitian. Agar 
peneliti memperoleh informan yang benar-benar memenuhi persyaratan dan bila 
perlu mengetes informasi yang diberikannya, apakah benar atau tidak. Jadi, 
informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang suatu peristiwa yang 
menjadi latar penelitian  Peneliti berharap dengan teknik 
pemilihan sampel seperti ini dapat lebih mengungkapkan proses ritual tirakatan di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri Propinsi Jawa Timur. 

Kota Kediri berada di ketinggian 67 m di atas permukaan air laut dan 
terletak antara -111.05 s/d -112.03  Bujur Timur dan -7.45 s/d -7.55 Lintang 
Selatan. Di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Gampengrejo, sebelah 
timur berbatasan dengan kecamatan Wates dan Gurah, sebelah selatan berbatasan 
dengan kecamatan Kandat dan Ngadiluwih, sebelah barat berbatasan dengan 
kecamatan Grogol dan Semen. Luas wilayah kota Kediri mencapai 63,40 Km2 
terbelah sungai Brantas yang mengalir dari selatan ke utara menjadi dua wilayah 
barat sungai dan timur sungai. 
Secara administratif, kota kediri yang mempunyai luas wilayah 63,40 km² 
terbagi menjadi tiga kecamatan yaitu kecamatan Mojoroto, kecamatan Kota dan 
kecamatan Pesantren. Wilayah barat sungai secara keseluruhan termasuk dalam 
wilayah kecamatan Mojoroto; 24,6 km², dan timur sungai sebagian termasuk 
  
dalam wilayah kecamatan Kota, 14,9 km² dan kecamatan Pesantren 23,9 km² 
(BPS, 2005: 1-2). 
Jumlah penduduk kota kediri pada tahun 2004 telah mencapai 241.170 
jiwa, bertambah 191 jiwa dari tahun 2003. Perkembangan penduduk kota Kediri 
tahun 2004 dibanding tahun 2003 adalah sebesar 0,08 persen di mana 
perkembangan penduduk perempuan relatif lebih besar dibandingkan penduduk 
laki-laki, yaitu 118.371 jiwa untuk perempuan dan 122.799 jiwa untuk laki-laki. 
Angka petambahan alami, yang merupakan selisih antara jumlah yang lahir 
dengan yang meninggal di kota Kediri tahun 2004 mencapai 923 jiwa. Jumlah 
penduduk yang pindah atau keluar meninggalkan kota Kediri lebih banyak 
dibandingkan yang datang ke kota Kediri. Hal ini dapat diketahui dari angka 
migrasi netto yaitu selisih penduduk yang datang dikurangi yang pindah, di mana 
tahun 2004 mencapai negatif 732 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk kota kediri 
pada tahun 2004 telah mencapai 3.804 jiwa per km². Apabila dirinci menurut 
kecamatan, maka kecamatan kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk paling 
tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya yaitu mencapai 5.737 jiwa per 
km², sedangkan kecamatan mojoroto mencapai 3.505 jiwa per km² dan 2.906 jiwa 
per km² untuk kecamatan pesantren (BPS, 2005: 40-42). 
Jumlah pencari kerja pada tahun 2004 meningkat sebanyak 1.266 orang 
dari 2.632 orang pada tahun 2003. Jumlah pencari kerja pada tahun 2004 
sebanyak 3.898 orang dengan persentase perempuan adalah 57 persen dan 43 
persen adalah laki-laki. Peningkatan jumlah pencari kerja yang mencapai 48,1 
persen pada periode 2003-2004 tidak diikuti dengan peningkatan jumlah 
  
penempatan tenaga kerja atau yang diterima kerja yang mencapai 442 orang di 
tahun 2004 (BPS, 2005: 58). 
Besaran upah minimum kota Kediri terus mengalami peningkatan dari 
tahun ke tahun dengan besarnya inflasi, yaitu 361.250 rupiah pada tahun 2002 
meningkat sebesar 31,36 persen dibanding tahun 2001, pada tahun 2003 mencapai 
415.000 rupiah, meningkat sebesar 14,86 persen dan tahun 2004 mencapai 
480.000 rupiah, meningkat sebesar 15,66 persen (BPS, 2005: 62-63). 
Pada tahun 2004 di kota kediri jumlah sekolah dasar (SD) sekolah 
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah umum (SMU) mengalami 
penurunan karena pada tahun 2004 ada beberapa sekolah yang dimerger. 
Penurunan jumlah sekolah dari tahun 2003 hingga 2004 mencapai 7 sekolah. Hal 
ini berpengaruh pada penurunan jumlah murid SD dan SMU, sedangkan murid 
SMP mengalami peningkatan. Penurunan jumlah murid sekolah dari tahun 2003 
hingga 2004 mencapai 347 murid. Sedangkan tenaga pengajar juga mengalami 
penurunan dari tahun 2003 hingga 2004 sebanyak 11 guru. (BPS, 2005: 65). 
 Menurut Badan Pusat Statistik kota Kediri tahun 2004 jumlah pemeluk 
agama di kota Kediri diperinci sebagai berikut: Islam 215.102, Kristen 16.097, 
Katholik 7.402, Hindu 817, dan Budha 1.752 (BPS, 2005: 141). Jumlah 
keseluruhan pemeluk agama dan jumlah penduduk di kota Kediri adalah sama 
yaitu 241.170 orang, namun menurut kenyataan di lapangan, masih banyak 
warga  kota Kediri yang menganut suatu aliran kepercayaan tertentu. Hal ini 
senada dengan pendapat Mulder dalam Suseno (1984), yang memperkirakan 
bahwa 3% sampai 5% semua orang Jawa menjadi bagian dalam salah satu 
  
organisasi kebatinan , Kedudukan aliran kepercayaan di kota 
Kediri sudah mengalami akulturasi dengan kelima agama yang berkembang baik 
di Indonesia. Contohnya aliran kepercayaan Paguyuban Ngesti Tunggal 
(Pangestu) yang cukup besar penganutnya di kota Kediri ini, para penganutnya 
selain menganut agama tertentu mereka juga menjalankan kewajiban sebagai 
anggota paguyupan. 
 Melihat jumlah penduduk, sekolah yang dimerger, pencari kerja, besaran 
upah minimum, dan banyaknya penduduk yang keluar dari kota Kediri ini 
tentunya akan mendukung pelestarian proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya. 
 

Mitos di sini berisi tentang beberapa contoh mitos yang masih dipercaya 
dan melekat pada kehidupan sehari-hari warga  Kediri. Sedangkan sejarah 
kota Kediri menjabarkan penemuan penggunaan kata Kediri atau Kadiri pertama 
kali dalam sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti batu atau lempengan emas 
dan sumber tertulis lainnya. 
 

Menurut Endraswara  mitos disebut juga mite (myth). Mite 
adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh 
empunya cerita. Karena itu, dalam mite sering ada tokoh pujaan yang dipuji atau 
sebaliknya (ditakuti). Baik tokoh mite yang dipuji maupun yang ditakuti 
implikasinya selalu muncul dalam bentuk penghormatan. Penghormatan yang 
disebut ada kalanya juga sering dimanifestasikan dalam wujud pengorbanan. 
Pemahanan atas cerita yang bernuansa mitos ini pada kenyataannya menjadi 
sebuah keyakinan yang berlebihan dan mempengaruhi pola pikir warga  
kearah takhyul. Sehingga, tidak jarang warga  menganggap keramat suatu 
mitos. Mite biasanya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia, maut, 
binatang, topografi, gejala alam, dan sebagainya. 
Dalam warga  Jawa, dikenal berbagai macam cerita rakyat. Artinya, 
ragam cerita prosa seperti mitos, legenda, dan dongeng yang berkembang di 
warga . Dalam cerita-cerita rakyat itu, banyak yang berbau dongeng. 
Pemahaman mereka atas dongeng pun lalu menyempit, hanya terbatas pada tokoh 
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda keramat lainnya. Sedangkan, cerita 
yang tokohnya dominan manusia mereka pahami sebagai cerita rakyat 
Demikian juga kebanyakan cerita rakyat atau mitos yang ada di kota 
Kediri yang menceritakan tentang tokoh manusia di antaranya Prabu Kelono 
Sewandono (sejarah kuda lumping sesuai dengan cerita Panji Asmorobangun), 
Totok Kerot, Muksanya Raja Jayabaya, dan Cerita Dewi Kilisuci. 
 
 Prabu Kelono Sewandono 
Alkisah, Pujonggo Anom melaporkan permintaan Dewi Songgolangit 
yang tidak lain adalah Dewi Sekartaji kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena 
sulitnya permintaan sang pujaan hati, akhirnya keduanya bersemedi mohon 
petunjuk kepada Sang Dewata Agung. Di ujung semedinya, Sang Dewata 
mengabulkan permohonan keduanya sehingga dalam waktu singkat Prabu Kelono 
Sewandono dapat memenuhi patemboyo (sayembra) Dewi Sekartaji. 
  Dilain pihak, Prabu Singobarong yang juga menaruh hati pada Sang Dewi, 
murka karena merasa dilangkahi, maka ditantanglah Prabu Kelono Sewandono. 
Dengan Pecut Kyai Samandiman, Prabu Kelono Sewandono unggul dalam 
peperangan dan sebagai tanda penghormatan, bersama Singo Kumbang yang 
berwujud seekor babi hutan, Prabu Singobarong mengabdikan dirinya sebagai 
penari untuk melengkapi patemboyo yang diajukan Dewi Sekartaji. 
 
 Totok Kerot 
Pada zaman kerajaan Kadiri diperintah oleh Prabu Jayabaya, datanglah 
seorang raksasa perempuan yang dikenal dengan nama dewi Totok Kerot. Seluruh 
penduduk merasa ketakutan, karena raksasa itu setiap hari memakan hewan ternak 
milik mereka. Awalnya penduduk desa tidak ada yang berani melawan raksasa 
perempuan itu. Namun kemudian penduduk yang merasa resah memberanikan diri 
untuk mengeroyok raksasa itu. Akhirnya raksasa perempuan itu roboh, tetapi 
belum mati, lalu Senopati Tunggul Wulung bertanya kepadanya, “Di mana tempat 
tinggalmu?” Jawab raksasa itu, “Rumahku di Lodoyong (Lodaya), di tepi laut 
selatan,”. Kemudian Tunggul Wulung bertanya lagi katanya, “Apa maksudmu 
masuk ke daerah kami?” Raksasa itu pun menjawab dengan lantang katanya, 
“Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.”  
  
Semua perkataan raksasa perempuan itu disampaikan Tunggul Wulung 
kepada Sang Prabu Aji Jayabaya. Kemudian Sang Prabu mendatangi tempat 
raksasa perempuan itu dan menjumpainya. Sang Prabu Jayabaya bertanya lagi 
kepada raksasa itu tentang maksud kedatangannya ke Kadiri? Sekali lagi raksasa 
itu menjawab “Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.” 
Kemudian Sang Prabu berkata, ”Kalau memang benar demikian kehendakmu 
dewata tak mengizinkan. Tetapi saya akan memberi tahu kepadamu, kelak sesudah  
aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun kemudian, di tanah sebelah barat 
kerajaan Kadiri ada orang yang mengangkat diri menjadi raja. Kerajaan itu beribu 
kota di Prambanan. Nama raja itu Prabu Prawatasari, dialah yang akan menjadi 
jodohmu.” 
Sebelum Prabu Jayabaya melanjutkan sabdanya, raksasa itu 
menghembuskan napas terakhir. Sang Prabu merasa sangat heran hati, lalu 
memberi perintah kepada Tunggul Wulung sebagai berikut: pertama desa di 
sebelah selatan Mamenang diberi nama Gumurah. Sebab ketika penduduk desa 
mengeroyok raksasa perempuan itu dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak 
sehingga menimbulkan suara hiruk-pikuk yang dalam bahasa Jawa dikatakan 
gumurah atau gumerah. 
Kedua, raja memerintahkan agar dibuat patung yang serupa dengan 
raksasa perempuan yang baru meninggal ini, sedang wajahnya hendaklah dipahat 
serupa dengan wajah patung gupala. Patung raksasa itu diberi nama patung Totok 
Kerot. Desa tempat patung itu dinamakan desa Nyaen. Tinggi patung itu empat 
belas kaki atau sekitar 300 cm. Bola matanya sebesar alas cawan atau lepek 
  
(bahasa Jawa), bulat besar, posisinya berlutut. Hingga sekarang patung raksasa 
perempuan atau Totok Kerot itu masih ada dan terletak di dusun Kunir desa 
Bulupasar kecamatan Gurah sekitar 8 (delapan) Km di timur kota Kediri. ada  
banyak versi tentang Cerita Totok Kerot ini sedangkan dalam penelitian ini 
diambil dari kisah Babad Kadiri atau Cerita Kediri. Perlu diketahui bahwa tulisan Babad Kadiri dan tulisan Kalam Wadi ini termasuk ceritera 
“Padalangan”. Jadi ada ketidaksamaan dengan tulisan yang ada di Pustaka Raja, Babad Tanah 
Jawi, apalagi tulisan Babad Demak. Yang memperbaiki dan menyempurnakan kalimat adalah 
Mangun Wijaya alih bahasa oleh Ny. Siti Halimah Suparno. 
 
Muksanya Raja Jayabaya 
Raja Jayabaya dipercaya oleh mayarakat tidak meninggal dunia, 
melainkan muksa, yaitu sukma dan raganya kembali ke alam kelanggengan secara 
bersama-sama. Menurut kepercayaan Hindu, seseorang yang telah mencapai 
tataran muksa dapat dikatakan telah sempurna dalam menjalankan dharmanya 
selama hidup di dunia. Hal ini berarti bahwa raja Jayabaya dianggap telah 
mencapai tingkat jiwa tertinggi hingga dianggap muksa atau layak menempati 
nirwana (Yudoyono, 1984: 39). 
Alkisah semasa hidup raja Jayabaya mempunyai seorang permaisuri yang 
bernama dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, raja Jayabaya mempunyai putera 
empat orang. dewi Pramesti, dewi Pramuna, dewi Sasani dan raden Jayaamijaya. 
Di saat kehamilan dewi Pramesti telah berumur 9 (sembilan) bulan, selama tujuh 
hari beliau merasakan kesakitan yang tidak kunjung berhenti. Oleh karenanya, 
raja Jayabaya beserta permaisuri masuk ke sanggar pamujaan untuk memohon 
petunjuk dewata. Kemudian raja Jayabaya mendapat bisikan yang mengatakan “                                                 
Hei… prabu Jayabaya, ketahuilah bahwa cucumu tidak mungkin akan lahir bila 
kamu tidak melepaskan kedudukanmu sebagai titisan dewa Wisnu. Apabila hal ini 
terjadi berkepanjangan, maka akan merusakkan segalanya.” 
Tanggap akan maksud bisikan tersebut raja Jayabaya segera memanggil 
seluruh perwira dan kerabat kerajaan. Dalam pertemuan itu raja Jayabaya 
menceritakan kembali wahyu yang dibisikkan dewata kepadanya. sesudah  usai 
memaparkan segalanya raja Jayabaya kemudian melakukan ritual “ngraga sukma” 
(melepaskan sukmanya) sebagai titisan dewa Wisnu. Tidak lama kemudian dari 
rahim dewi Pramesti lahirlah bayi laki-laki. Bayi tersebut kemudian diberi nama 
raden Anglingdarma oleh raja Jayabaya. Tiba-tiba cahaya terang memancar dari 
tubuh bayi hingga menyilaukan semua yang hadir di situ. sesudah  cahaya itu 
meredup jasad raja Jayabaya seakan ikut meredup dan menghilang. Raja Jayabaya 
muksa, kembali kealam kelanggengan. Suatu pertanda bahwa beliau telah 
sempurna dalam menjalankan dharmanya selama hidup di dunia 
Cerita mitos ini sangat mempengaruhi  terhadap proses ritual tirakatan 
di petilasan Sri Aji Jayabaya. Hal ini terlihat jelas dari doa-doa yang dihantarkan 
kepada Tuhan selalu lewat perantara Sri Aji Jayabaya dan juga pujian-pujian yang 
menyatakan keluhuran namanya.  
Dewi Kilisuci 
Mitologi warga  Kediri mengatakan bahwa nama Kediri berasal dari 
nama kedi yang artinya mandul atau tidak berdatang bulan dan dikaitkan dengan 
Rara Kilisuci yang bertapa di gua Selamangleng (kaki gunung Klotok di sebelah 
barat kota Kediri). Mitologi tersebut disinggung pula dalam makalah Bapak 
Sunarto Timur mengenai etimologi Kadiri yang dihubungkan dengan semacam 
kakografi, yaitu berdasarkan kalimat sang rara kêdi ring daha, perkataan kêdi 
diartikan: mandul, tidak berdatang bulan. Di dalam bahasa Jawa Kuna kêdi berarti 
orang dikebiri, bidan, dukun (Kartoadmodjo, 1985: 40). 
Walaupun Rara Kilisuci sebagai orang yang mandul namun mempunyai 
pribadi yang tinggi, mampu melaksanakan segala sesuatu tanpa pertolongan orang 
lain, atau dhiri yang berarti dapat berdikari. Rara Kilisuci juga tidak mau 
berhubungan dengan lelaki, tak mau bersuami atau wadat dalam bahasa Jawa. 
sesudah  lama bertapa di gua selomangleng akhirnya Rara Kilisuci pun menjadi 
Dewi Kilisuci yang menjaga ketentraman hidup pada warga  di kota Kediri. 
Babad Kediri juga menuliskan bahwa dalam perjalanan waktu, banyak 
wanita di Kediri yang meniru perbuatan Rara Kilisuci yang dhiri atau angkuh itu, 
merasa mampu melakukan pekerjaan apapun juga, termasuk pekerjaan kaum 
lelaki. Tetapi mereka hanya menirukan angkuhnya saja, bukan meniru pribadi 
yang tidak berhubungan dengan pria dan rela mengorbankan kesenangan duniawi 
dengan menjadi pendeta yang suci. Perbuatan Rara Kilisuci itu tidak hanya 
ditirukan kaum wanita, tetapi kaum lelaki juga ikut-ikutan menjadi angkuh atau 
sombong dan dhiri, namun memiliki sifat seperti wanita. Karenanya bila seorang 
  
pria dari kediri berperang, jika yang menantang perang orang Kediri, maka orang 
Kediri ini akan menang. Tetapi bila yang menyerbu orang luar atau orang asing 
terlebih dahulu, orang Kediri biasanya kalah. Sebab wanita itu bila di tempat lain 
dihormati, tetapi bila di rumah selalu mengalah. Cerita Dewi Kilisuci ini diambil 
dari buku Babad Kediri. 
 
 Sejarah Kota Kediri 
Bertentangan dengan mitologi kota Kediri tentang penyebutan kata kêdi 
yang dikaitkan dengan Rara Kilisuci, Kartoadmodjo mengatakan, 
bahwa nama Kediri tidak ada kaitannya dengan kêdi maupun tokoh Rara Kilisuci 
(Rara Kapucangan) yang dikatakan di dalam dongeng bertapa di gua 
Selamangleng (kaki gunung Klotok di dekat Kêdiri). Kalimat sang rara kêdi ring 
daha kemudian di eja dan dibaca sang rara Kêdiri (i)ng Daha. Dengan demikian 
kata Kêdiri berasal dari kata diri (adeg) mendapat awalan ka (di, ter). Dalam 
bahasa Jawa Kuna angdiri (mangdiri) berarti: berdiri, menjadi raja. Selain itu 
Kêdiri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau 
berswasembada. Jadi pendapat yang mengkaitkan kêdiri dengan perempuan, 
apalagi dengan kêdi kurang beralasan. 
Menurut Soedarmo dalam Kartoadmodjo . kata kediri dan 
kendiri dalam kamus Melayu sering menggantikan kata sendiri. Sedangkan 
mengenai perubahan pengucapan Kadiri menjadi Kêdiri dikatakannya, bahwa hal 
itu menunjukkan kepada kita adanya paling tidak dua buah gejala, pertama gejala 
usia tua, dan kedua gejala informalisasi. Dalam bahasa Jawa, dan juga bahasa-
bahasa lain di Austronesia sebelah barat perubahan suatu bunyi menjadi pêpêt 
seringkali terjadi karena dua hal tersebut. 
Sejarah Kediri menurut Babad Kadiri yang ditulis oleh Mas Ngabehi 
Purbowijaya, seorang Beskal I Kediri pada jaman Belanda, yang dibantu Ki 
Dermakanda, seorang dalang, mengatakan bahwa mula-mula daerah Kediri 
berupa hutan belantara di tepi sungai Brantas yang belum berpenghuni. Kemudian 
datang dua bersaudara kakak-beradik membuka daerah tersebut untuk dijadikan 
pemukiman. Kedua orang ini adalah “Kyai Daha” dan adiknya bernama “Kyai 
Daka”. Lama-kelamaan diikuti oleh orang lain sehingga menjadi suatu daerah 
yang ramai. Keduanya lalu diangkat sebagai sesepuh desa. Dalam Babad Kediri 
secara garis besar berisi tentang uraian pertama kali pembukaan daerah yang 
bernama Kadiri. Sayang sekali dalam manuskrip ini tidak disertakan tahun-tahun 
pendirian daerah yang bernama Kadiri. Terlebih menurut beberapa sumber 
manuskrip ini hanyalah cerita pedalangan belaka. Selain dari sumber mitos dan 
Babad Kediri sebenarnya nama Kadiri juga ada  di dalam berbagai karya 
sastra (manuskrip) Jawa Kuna lainnya, misalnya: Kitab Samaradahana, 
Nagarakrtagama, Pararaton, dan Calon Arang. 
lalu  Kartoadmodjo  mengatakan nama Kadiri 
pertama kali disebutkan di dalam prasasti batu Hariñjing B yang berangka tahun 
843 S. (25 Maret 921 M) dari daerah Pare (Kêdiri). Prasasti Hariñjing dipahat 
pada sebuah batu utuh (monolith) berukuran tinggi termasuk alas padmãsana 
(bantalan teratai) 1.18 cm (tanpa padmãsana: 1.03 cm). Tulisan Jawa Kuna 
                                                
melingkar di bagian depan (recto), belakang (verso) dan kedua belah sisi samping 
kanan dan kiri. Ternyata prasasti batu Harinjing ini terdiri dari tiga buah prasasti, 
namun ketiga-tiganya saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan serta 
mengenai masalah yang sama. Untuk memudahkan pembahasan maka disebut 
prasasti Hariñjing A berangka-tahun 726 S. (25 Maret 804 M), Hariñjing B 
berangka tahun 843 S. (19 September 921 M.) dan Hariñjing C berangka-tahun 
849 S. (7 Maret 927 M.). 
Mengingat prasasti Hariñjing A, B, dan C dipahat pada sebuah batu 
tunggal (monolith), demikian pula ketiga-tiganya berkisar sekitar tokoh 
Bhagawanta Bari dari desa Culanggi yang telah berjasa membuat tanggul dan kali 
di Hariñjing, maka prasasti Hariñjing merupakan sumber yang penting berkaitan 
dengan timbulnya Kadiri. Selain penyebutan nama tempat Kadiri, baik Hariñjing 
B maupun Hariñjing C menyebutkan sang dewata lumah i kwak (sang raja betahta 
di Kwak), yang letaknya dapat diperkirakan sama dengan nama dukuh Kuwak 
(Kal. Ngadirejo, dekat pemandian Tirtoyoso) di kota Kediri sekarang ini. 
Demikian pula nama-nama tempat (desa) di dalam prasasti Hariñjing A, B, dan C 
menunjukkan beberapa persamaan. Karena itu meskipun nama Kadiri tidak 
disebut dalam prasasti Hariñjing B, tetapi dapat dibayangkan bahwa nama itu juga 
sudah dikenal pada jaman prasasti Hariñjing A ditulis. Sebagai contoh misalnya 
prasasti Hariñjing A menyebut nama desa Paradah, dan sampai sekarang pun di 
daerah Pare, masih terletak sebuah dusun di dekat kali Srinjing bernama Bogor 
 Nama Bogor Paradah dapat dikembalikan kepada Paradah yang memang merupakan sebuah 
sima pada jaman dahulu, dan kedudukan sima tersebut masih tertinggal pada nama Siman. Ada 
dua buah prasasti yang disebut Paradah I dan Paradah II. Menurut Damais Paradah I angka 
tahunnya bertepatan dengan 24 Maret 934 M. (EEI.IV. hlm.121) dan Paradah II bertepatan dengan 
10 Juli 943 M. 
Paradah  (Kal. Siman, Kec. Kepung, Kab. Kediri). Dengan demikian meskipun 
nama Kadiri baru tersurat di dalam prasasti Hariñjing B, tetapi nama itu pasti 
sudah ada sebelumnya, karena nama Kadiri tidak akan muncul secara mendadak. 
Maka itu cukup beralasan apabila nama Kadiri harus dicari sebelum tahun 921 M. 
(Hariñjing B) atau pada tahun 804 M. (Hariñjing A). Pendek kata kita tidak hanya 
melihat apa yang tersurat saja, tetapi juga yang tersirat. Prasasti Hariñjing A 
ditulis pada tahun 726 Ś., tanggal 11 bagian paro-terang bulan Caitra (Kêsanga), 
paringkêlan Haryang, Wagai, Somawãra (Senin). Menurut perhitungan Damais 
unsur penanggalan tanggal 11 Caitra 726 Ś., Ha Wa So bertepatan dengan tanggal 
25 Maret 804 M.Angka tahun yang tertera 706 tetapi kemudian dihitung kembali oleh Damais dan sampai pada 
kesimpulan bahwa yang benar harus 726 Saka. Kekeliruan itu mungkin terjadi karena Harinjing 
rupa-rupanya ditulis pada jaman Pu Ketudhara (C) untuk memperingati tahun 921 M. (B) dan 
tahun 804 M. (A). pendek kata unsure penanggalannya Damais menetapkan bahwa angka tahun 
yang benar ialah 726 Saka (804 M.) Lihat EEI. IV. Hlm. 187-189. Juga unsur Haryang, Wagai, 
Canaiscara (HA WA CA) diperbaiki oleh Damais menjadi Haryang, Wagai, Soma (HA WA SO). 
Jadi bukannya Canaiscara (Saptu) melainkan Soma (Senin). 
bahwa di dalam prasasti 
Hariñjing B disebutkan nama Kwak yang sebenarnya nama Kwak ini sudah di 
kenal di dalam prasasti Kwak I dan Kwak II yang ada  di Jawa Tengah dan 
keduanya bertarikh 801 Ś. (27 Juli 879 M.), maka dugaan bahwa nama Kadiri 
sudah dikenal di Jawa Tengah bukannya tidak beralasan sama sekali. 
lalu  prasasti Śri Mahãdewi berangka tahun 938 Ś. yang menurut 
perhitungan sementara Kartoadmojo, (1985: 82) menetapkan tarikh Masehi 
prasasti Śri Mahãdewi adalah tanggal 7 Juni 1015 M. dan merupakan prasasti 
                                                 
turunan (tinulad). Mungkin tokoh Śri Mahãdewi ini sama dengan Śri Wijaya 
Mahãdewi yang semula menjadi raja putri di Bali. Menurut Damais yang 
didukung oleh Goris menuturkan bahwa Śri Wijaya Mahãdewi sama dengan Śri 
Iśãnatunggawijaya, putri Pu Sindok. Dengan demikian sekembalinya Śri 
Mahãdewi dari Bali, ia tetap menjadi seorang raja putri yang mempunyai 
kekuasaan cukup besar dan bertahta di Kadiri (siniwi ring kadiri). Pendek kata 
apabila pada tahun 921 M. (prasasti Hariñjing B) Kadiri masih merupakan sebuah 
desa (daerah) kecil, maka pada tahun 1015 M. (prasasti Śri Mahãdewi) Kadiri 
telah berkembang menjadi sebuah kerajaan yang besar. Hal ini membuktikan 
bahwa Kadiri yang semula hanya merupakan daerah kecil yang terus berkembang 
dan mampu menjawab tantangan jaman (challenge and response), sehingga dapat 
menjadi kota, negara atau kerajaan yang besar, dan dikenal hingga waktu 
sekarang. 
Menurut surat Keputusan Bupati Kepada Daerah Tingkat II Kediri tanggal 
22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, pada pasal 1 
berbunyi "Tanggal 25 Maret 804 M. ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri”. Pada 
pasal 3 berisi tentang peringatan pertama Hari Jadi Kediri yang akan dilaksanakan 
pada tanggal 25 Maret 1985. Keputusan penetapan ini berdasarkan pada makalah 
Drs. M.M. Soekarto Kartoatmodjo yang berjudul Sekitar Masalah Sejarah Kadiri 
Kuna. 
Pada tahun 2002 terjadi perubahan penetapan Hari Jadi Kediri dari tanggal 
25 Maret 804 M. menjadi tanggal 27 Juli 879 M.. Perubahan penetapan ini 
didasarkan pada prasasti Kwak I dan Kwak II, yaitu berlandaskan pada 
penyebutan daerah bernama Kwak. Prasasti Kwak berupa lempengan tembaga 
yang ditemukan di sebuah desa di Magelang, Jawa Tengah (Jateng). Meskipun 
ditemukan di Magelang namun prasasti itu mengacu pada nama lokal Kediri, hal 
ini yang menjadi dasar penentuan awal keberadaan kota Kediri. Yang menjadi 
pertanyaan adalah dalam penentuan hari jadi kota Kediri menurut prasasti Kwak 
ini diberlakuan pengambilan suara terbanyak oleh DPRD kota Kediri. Keputusan 
dengan pengambilan suara terbanyak ini dipertanyakan oleh Guru besar 
Anthropologi Ragawi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Dr Teuku Jacob 
katanya, “jika ada dua pendapat yang sama kuat, maka harus diadakan penelitian 
ulang untuk menentukan mana yang paling layak dipilih. Tidak bisa divoting. 
Karena, misalnya ada 10 orang yang melakukan voting, sembilan memilih A dan 
satu memilih B, belum tentu yang satu ini keliru. Bisa jadi justru dia yang benar 
dan oleh karenanya perlu dilakukan penelitian ulang". 
Semua pendapat di atas sebenarnya memiliki dasar yang kuat mengenai 
awal berdirinya kota Kediri. Namun dalam penelitian ini akan mengambil 
penentuan hari jadi kota Kediri berdasarkan bukti prasasti Hariñjing A yang 
berangka-tahun 726 Ś. (25 Maret 804 M). Pemilihan tentang penemuan pertama 
kali kata kediri ini didasarkan atas pemanfaatan hasil penelitian historiografi yang 
dilakukan oleh Kartoadmodjo yang kemudian pada tanggal 22 Januari 1985 
disahkan oleh pemerintah daerah kabupaten Kediri sebagai hari jadi kota Kediri. 
Dalam prasasti Hariñjing A selain bukti penyebutan nama tempat (Kedhiri atau 
Kadhiri), juga mampu menimbulkan rasa bangga (pride) pada warga . Rasa                                                
bangga ini tidak semata-mata berkiblat pada tokoh seorang raja, tetapi juga dapat 
bertumpu pada seorang pemimpin daerah seperti Bhagawanta Bari. Pada saat ini 
warga  Kediri juga patut berbangga karena prasasti Hariñjing A merupakan 
penemuan prasasti tertua yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (sejauh belum 
ditemukan sebuah prasasti yang lebih tua). Maka jika menurut prasasti Hariñjing 
A (25 Maret 804 M.) usia kota Kediri di tahun 2007 sudah mencapai 1203 M. 
 
Sejarah Sri Aji Jayabaya 
 Jayabaya adalah seorang tokoh raja yang memerintah di Kadiri antara 
tahun 1135 M. hingga tahun 1157 M. Sampai sekarang hanya tiga buah prasasti 
batu yang dikenal dari raja Jayabaya, yaitu prasasti Hantang tahun 1057 S. (7 
September 1135 M.), prasasti Talan tahun 1058 S. (24 Agustus 1136 M.) dan 
prasasti dari desa Jepun tahun 1066 S. (7 Juli 1144 M.). 
Keistimewaan prasasti Hantang yaitu dengan ada nya tulisan kwadrat 
(mirip huruf tebal, blokletters) yang besar melintang di tengah cap kerajaan 
berupa narasingha
Narasingha yaitu inkarnasi dewa Wisnu yang keempat sewaktu menolong umat manusia dengan 
cara membunuh Hiranyakaśipu yang dikatakan tidak dapat dibunuh oleh manusia maupun 
binatang. Dan tidak dapat mati baik siang maupun malam hari. Akhirnya Wisnu menjelma menjadi 
makhluk setengah manusia (nara) dan setengah binatang (singha) dan Hiranyakaśipu dibinasakan 
pada waktu senja (antara siang dan malam hari). Sepuluh inkarnasi dewa Wisnu disebut 
daśāwatāra, yaitu : 
1. Matsyawatāra (Ikan), 2. Kurmawatāra (Penyu), 3. Waharawatāra (Beruang), 4. 
Narasinghawatāra (Setengah Orang Setangah Singa), 5. Wamanawatāra (Cebol), 6. 
Parasuramawatāra (Rama bersenjatakan kapak), 7. Ramawatāra (suami Sinta dalam Ramayana), 8. 
Kresnawatāra (dalam Mahabarata), 9. Budhawatāra, 10. Kalkinawatāra. 

dan berbunyi pangjalu jayati, yang artinya Pangjalu menang. 
Semula oleh Brandes kalimat ini dibaca sang jalma wiyati. Kalimat pangjalu 
jayati itu mungkin sekali berkaitan dengan istilah panuwal di dalam prasasti itu 
sendiri yang dapat ditafsirkan sebagai perang sauradara atau perang perebutan 
                                                 
tahta. Di dalam Jawa Kuna panuwal (dari kata suwal) juga berarti: pembalasan 
atau penyerangan kembali. Lebih-lebih jika diingat bahwa pada masa 
pemerintahan Sang Mapanji Jayabhaya telah digubah kakawin Barathayuddha 
pada tahun 1079 S. (6 September 1157 M.) oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh 
yang menguraikan kisah perang saudara atau perang perebutan tahta antara 
Kaurawa dan Pandawa. Para Kaurawa memperoleh pusat kerajaan Hastinapura 
yang lama, sedang para Pandawa memperoleh daerah yang semula berupa hutan 
(jenggala) dan mendirikan ibu kota baru bernama Indraprastha. Dalam peperangan 
yang dahsyat itu para Pandawa akhirnya memperoleh kemenangan dan bertahta 
turun-temurun di Hastinapura 
Prasasti Talan berisi tentang penduduk desa Talan yang datang 
berbondong-bondong kepada raja memperlihatkan sebuah prasasi yang ditulis di 
atas daun lontar (ripta) dengan cap garudamukha dan yang telah mereka terima 
dari Bhatãra Guru (raja Airlangga) pada tahun 916 Ś. (27 Februari 1040 M.),17 
sekarang mohon supaya ditulis kembali pada batu (linggopala). Karena raja 
Jayabhaya semata-mata merupakan penjelmaan dewa Wisnu dan selalu menjaga 
keselamatan dunia (sãksãi wisnwangśa satata sakalajagatpãlaka), lagi pula 
penduduk Talan telah memperlihatkan kesetiaannya (srstabhakti) kepada raja, 
maka permohonan itu dikabulkan dengan mendapat tambahan anugerah raja 
Jayabhaya sendiri 
                                                
lalu  prasasti itu menetapkan desa Talan yang masuk wilayah 
Panumbangan (thãni watêk panumbangan)

Nama desa Panumbangan sekarang menjadi Plumbangan (Jawa Timur) 
 menjadi sebuah sima dan dibebaskan 
dari kewajiban membayar pajak (iuran).Tetapi meskipun mendapat kebebasan membayar pajak, kewajiban mereka mungkin malah 
bertambah. Artinya segala keperluan desa harus dibiayai sendiri. Tentu saja status (kedudukan) 
sima merupakan kebanggaan tersendiri bagi semua warga desa. 

Sayang sekali prasasti Talan yang 
menarik itu tidak menjelaskan apakah jasa penduduk Talan kepada Bathara Guru 
(Airlangga) sehingga memperoleh anugerah prasasti di atas ripta dengan cap 
garudamukha dan apa pula jasa mereka kepada raja Jayabhaya (selain kesetiaan) 
sehingga memperoleh anugerah prasasti pada batu (linggopala) dengan cap 
narasingha. 
Prasasti dari desa Jepun belum pernah diterbitkan secara lengkap. Tetapi 
transkripsi (alih aksara) 9 (sembilan) baris bagian permulaan telah diberikan oleh 
Damais. Angka tahunnya tidak jelas, tetapi Damais menduga 1066 Ś. (7 Juli 1144 
M.). Isi lengkapnya belum diketahui pula secara jelas, tetapi menyebutkan nama 
raja Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha 
Parakrama Digjayottungga-dewanama, yang merupakan nama penobatan Raja 
Jayabhaya. Sesuai dengan prasasti Hantang dan Talan, prasasti dari desa Jepun 
juga berisi permohonan kepada raja supaya diberi anugerah berupa prasasti batu 
dengan cap kerajaan narasingha (Kartoadmodjo 1985: 29-30). 
Sedangkan karya sastra di masa itu sangat berkembang dengan pesat dan 
pujangga yang terkenal di masa itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, karya-
karya mereka meliputi Kakawin Hariwangsa, Gatotkacasraya, dan 
Bharatayudha. Di antara karya sastra itu yang banyak menyinggung keberadaan 
                                                 
Sri Aji Jayabaya adalah Bharatayudha. Kitab ini berupa kakawin dalam bahasa 
Jawa Kuna yang ditulis oleh dua orang pujangga besar pada masa pemerintahan 
Raja Jayabaya, yaitu Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. 
Ceritera kitab Kakawin Bharatayudha merupakan pengabdian peristiwa 
sejarah peperangan antara dua keluarga satu keturunan (Kediri dan Jenggala). 
Dalam kakawin ini Raja Jayabaya digambarkan sebagai Batara Kresna yang 
peranannya ditonjolkan dari awal sampai akhir. Sri Kresna adalah salah satu 
bentuk penjelmaan atau titisan dewa Wisnu yang diturunkan ke dunia untuk 
mendampingi para Pandawa melawan Kurawa. Penonjolan Sri Kresna ini 
bertalian dengan sejarah Raja Jayabaya yang berhasil mengalahkan saudara-
saudaranya sendiri di kerajaan Jenggala. Kakawin Bharatayudha ini benar-benar 
dimaksudkan untuk memperingati perang yang dilakukan oleh Raja Jayabaya. 
 
 Konteks Sejarah dan Budaya di Petilasan Sri Aji Jayabaya 
 Konteks sejarah akan membahas masalah sejarah penemuan hingga proses 
pemugaran wilayah petilasan yang terdiri dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan 
Sendang Tirtokamandanu.
Dalam kenyataan dilapangan penyebutan petilasan dan pamuksan adalah sama-sama menunjuk 
pada Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Untuk menghindari kerancuan di dalam penelitian ini akan 
memisahkan istilah petilasan dan pamuksan itu sendiri. Petilasan di sini diartikan sebagai 
keseluruhan wilayah yang meliputi: wilayah Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang 
Tirtokamandanu. 
 Sedangkan konteks sosial dan budaya merupakan 
pembahasan kehidupan budaya warga  sekitar petilasan sesudah  dilakukan 
pemugaran oleh Yayasan Hondodento. 
 
 
                                                
 Petilasan Sri Aji Jayabaya Sebelum di pugar 
Melihat jauh ke belakang tentang keberadaan petilasan Sri Aji Jayabaya di 
desa Menang bermula dari jaman kerajaan Airlangga. Pada prasasti Wurara 1211 
Ś. (21 November 1289 M.) dituliskan bahwa raja Airlangga dengan terpaksa harus 
membagi kerajaannya oleh karena kedua anak Airlangga saling memperebutkan 
tahta kerajaan. Sumber lainnya adalah kitab Nãgarakŗtãgama yang digubah oleh 
pujangga Prapanca dan kitab Calon Arang. Pembagian wilayah tersebut dilakukan 
oleh seorang pendeta bernama Ãryya Bharãd. Kedua kerajaan itu adalah Pangjalu 
(juga disebut Kadiri atau Mamenang) yang beribu kota Daha dan Janggala 
mempunyai pusat kerajaan Kahuripan (Kartoadmodjo 1985: 12-13). 
Perkembangan lalu  menurut prasasti Malênga yang berangka tahun 
974 Ś. (1025 M.) kerajaan Pangjalu ditaklukkan oleh kerajaan Janggala. sesudah  
nama Pangjalu seakan-akan lenyap dari percaturan sejarah, kemudian muncul 
kembali di dalam prasasti Padlêgan I yang berangka tahun 1038 Ś. (1117 M.) 
yang berasal dari raja Śri Bãweswara. Kemudian prasasti Hantang tahun 1057 S. 
(7 September 1135 M.) yang ditulis oleh raja Jayabaya memuat tentang kata 
Pangjalu mayati atau Panjalu menang. Kalimat Pangjalu jayati ini mungkin sekali 
berkaitan erat dengan kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan 
Mpu Panuluh saat raja Jayabaya berkuasa. sesudah  Pangjalu mengambil alih 
kekuasaan Janggala sangat dimungkinkan bahwa pusat kerajaan berpindah ke 
Daha dan penyebutan nama lain dari Pangjalu yaitu Kadiri dan Mamenang dapat 
muncul kembali. Menurut uraian di atas sangat dimungkinkan bahwa Petilasan Sri 
Aji Jayabaya memang berada di desa Menang sekarang ini. 
Penemuan petilasan Sri Aji Jayabaya bermula dari mimpi Warsodikromo 
pada tahun 1860. Mimpi menceritakan tentang sebuah areal gundukan tanah yang 
telah menjadi rawa dan kadangkala diselingi semak belukar dan di sana dulu 
pernah bertahta seorang raja Kediri yang tersohor yaitu Sri Aji Jayabaya. Ceritera 
dalam mimpi tersebut kemudian diteruskan dari telinga ke telinga penduduk 
sekitar. Atas petunjuk itu seluruh penduduk secara bergotong-royong mengadakan 
pencarian petilasan tersebut. Akhirnya dengan dibantu oleh seorang ahli 
metaphisik, petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil 
diketemukan. Letaknya di bawah naungan sebuah pohon kemuning, pohon ini 
menurut cerita juga hasil peninggalan Sri Aji Jayabaya sendiri. Jadi usianya sudah 
ratusan tahun 
Sejak saat itu tempat yang tidak begitu luas di tengah rawa-rawa mulai 
ramai dikunjungi orang. Banyak peziarah merasa terharu dan bahagia. Terharu 
karena melihat keadaan petilasan yang tidak sepadan dengan keagungan Sri Aji 
Jayabaya serta bahagia karena berkesempatan mengunjungi Pamuksan Sri Aji 
Jayabaya. Maka banyak di antara peziarah yang berkeinginan memugar tempat 
tersebut tetapi tidak ada seorangpun yang berhasil menyelesaikannya. Beberapa 
orang pernah memprakarsai pemugaran areal tersebut, namun meninggal dunia 
ketika baru memasuki tahap awal. Akhirnya Pamuksan Sri Aji Jayabaya dianggap 
sebagai tempat yang wingit atau keramat. 
  
Paguyuban Keluarga Besar Hondodento
Beberapa orang Yogyakarta menyebut Honggodento. Hondodento adalah sebuah paguyuban 
aliran kepercayaan yang salah satu kegiatannya adalah memugar tempat-tempat sejarah untuk 
melestarikan nilai-nilai budaya negara Indonesia. Berkecimpungnya yayasan Hondodento dalam 
pemugaran Petilasan Sri Aji Jayabaya dilandasi oleh kepercayaan akan keluhuran Sri Aji Jayabaya 
dan ramalannya. Bukan tanpa alasan jika pencarian dan pemugaran petilasan Sri Aji Jayabaya 
inipun dilakukan oleh yayasan Hondodento. Tentang ramalan Sri Aji Jayabaya lihat Pethikan 
Jongko Joyoboyo yang ditulis oleh Ridwan Soebandhie. 
 Yogyakarta sempat melihat 
keadaan petilasan yang berpagar bambu dan di dalamnya ada  seonggok tanah 
bernisan, di tengah gundukan tanah yang bersemak belukar. Di situ juga terlihat 
sejumlah batu bata merah, baik dalam keadaan berserakan maupun terjajar rapi 
mengelilingi onggokan tanah tersebut hingga menyerupai makam. Hal ini 
merupakan tanda bahwa ada beberapa pihak yang telah berusaha memugar, 
namun tidak berlanjut atau gagal. 
 
 Petilasan Sri Aji Jayabaya sesudah  di pugar 
Keluarga Besar Hondodento dengan bantuan warga  sekitar telah 
berhasil merubah pamuksan Sri Aji Jayabaya menjadi monumen spiritual yang 
megah secara bergotong-royong. Proses pemugaran memakan waktu lebih kurang 
satu tahun, yaitu sejak peletakan batu pertama pada tanggal 22 Februari 1975 
Sabtu Pahing sampai dengan tanggal 17 April 1976 Sabtu Pahing saat diresmikan 
dan diserahkan hasil pemugaran kepada Pemerintah Daerah kota Kediri atau 
secara keseluruhan selama 420 hari. Luas tanah yang dipugar meliputi + 1650 m2, 
yang penggunaannya atas persetujuan pihak pimpinan desa melalui musyawarah. 
Hal ini ditetapkan dalam surat keputusan desa Menang, tertanggal 20 
Februari1975, model “E” Nomer 24 
                                                 

Pamoksan Sri Aji Jayabaya ini terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu Loka 
Muksa (tempat Sri Aji Jayabaya muksa), Loka Busana (lambang tempat busana 
diletakkan, sebelum muksa), serta Loka Makuta (lambang tempat mahkota 
diletakkan, sebelum muksa). Bentuk bangunan merupakan hasil konsultasi segi 
tiga, yaitu: dari rancangan berupa gambar yang dibuat oleh Keluarga Besar 
Hondodento dikonsultasikan ke alam astral melalui perantara Pak Plered (sebagai 
medium) kepada Sang Prabu Sri Aji Jayabaya (sebagai pemberi izin). Isi petunjuk 
Sri Aji Jayabaya mencakup letak tempat, bentuk, dan bahan bangunan, seperti: 
letak Loka Makuta berada di luar pagar sebagai lambang bahwa jaman kerajaan 
sudah berakhir. Bentuk untuk semua bangunan adalah harus tanpa atap atau 
langsung terkena sengatan sinar matahari serta curahan air hujan. Bahan untuk 
Loka Muksa harus dari batu gunung Merapi (Jawa Tengah) yang diukir oleh 
manusia. Sedangkan untuk bahan baku dari semua bangunan disesuaikan dengan 
kemajuan teknologi sekarang, yaitu: diperhitungkan daya tahan bangunan bisa 
mencapai umur ratusan tahun 
Bentuk Loka Muksa yang terdiri dari bangunan lingga dan yoni yang 
diatasnya menyatu dengan sebuah batu manik berlubang tembus. Seluruh 
bangunan itu dikelilingi pagar beton bertulang yang tembus pandang dan 
dilengkapi dengan tiga pintu. Bentuk bangunan lingga dan yoni mempunyai 
pengertian laki-laki dan perempuan, lahir dan batin, raga dan jiwa, atau satu tetapi 
sebenarnya terdiri dari dua bagian. Batu manik yang bentuknya seperti mata 
berarti kewaskitaan atau penglihatan dan berlubang tembus artinya mampu 
melihat jauh ke depan. Bila digabungkan akan memiliki makna penglihatan yang 
  
mampu meneropong jauh ke depan tentang segala sesuatu yang akan terjadi 
ratusan tahun mendatang seperti tertuang dalam Ramalan Jayabaya. Bangunan 
pagar dengan tiga pintu bermakna tingkatan hidup manusia, yaitu: lahir, dewasa, 
dan mati (
lalu  pemugaran dilakukan di Sendang Tirtokamandanu yang 
terletak di Timur Laut + 500 meter dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya. Sebelum di 
pugar sendang ini bernama Sendang Kolosonyo yang artinya “air untuk menolong 
yang sakit”. sesudah  di pugar oleh Yayasan Hondodento sendang ini berubah 
nama menjadi Sendang Tirtokamandanu yang artinya “air kehidupan”. Konon 
sendang ini dahulu digunakan oleh keluarga raja Jayabaya untuk menyucikan diri 
sebelum mendatangi pamoksan. Proses pemugaran yang dilakukan oleh Yayasan 
Hondodento ini dimulai pada tanggal 26 April 1980 hingga akhir tahun 1988 saja. 
Kemudian pemugaran di atas tanah seluas + 2.016 m2 dilanjutkan oleh 
pemerintah daerah Kediri dan penduduk setempat desa Menang. Pemugaran yang 
dilakukan oleh pemerintah daerah Kediri, meliputi: pintu gerbang utama, jalan 
lingkar, koni agung dan koni pengapit, serta sarana pancuran air. Sedangkan dari 
swadaya warga  telah dibangun dua buah gapura masuk sinar kinasih pada 
awal tahun 2005 dan hingga saat ini masih dalam perbaikan. 
Pemugaran Sendang Tirtokamandanu yang dilakukan oleh Yayasan 
Hondodento adalah bangunan kolam pemandian yang terdiri atas tiga bagian, 
yaitu: bagian utama yang dilengkapi patung Syiwa Harihara dan Ganesya, bagian 
tambahan berupa dua kolam pemandian dan tempat ganti pakaian untuk pria dan 
wanita. Bangunan lainnya berupa pendopo, tempat untuk mengambil air dari 
  
sendang, halaman khusus (tempat semadi) yang dilengkapi gapura, dan gapura 
utama. Semua bangunan tersebut berada di dalam pagar tembus pandang yang 
dilengkapi dengan empat patung dewa, yaitu Batara Indra, Bayu, Wisnu, dan 
Brahma. Secara keseluruhan, konsepsi ini merupakan perpaduan antara gaya 
bangunan Jawa dan Bali 
Dikenalnya Petilasan Sri AJi Jayabaya sebagai obyek ziarah dan kegiatan 
ritual oleh warga  luas - hingga menyebar ke luar pulau Jawa - akan menarik 
minat wisata warga  ke Petilasan Sri Aji Jayabaya, terutama pada saat 
penyelenggaraan ritual  ziarah 1 Suro dengan segala rangkain kegiatan ritualnya. 
Dampak positif dari pembangunan Petilasan Sri AJi Jayabaya terhadap kehidupan 
sosial warga  setempat, yaitu meluasnya lingkup pergaulan warga  dalam 
menerima dan memanfaatkan kunjungan para tamu yang merupakan para 
wisatawan baik domestik maupun asing. Dengan demikian terjadi perkembangan 
wawasan sosial warga  dalam tata pergaulan regional, nasional bahkan 
internasional, tanpa meninggalkan tata nilai luhur warisan nenek moyang serta 
tradisi setempat . sesudah  tahun 2000 hingga sekarang 
kegiatan 1 Suro tidak begitu memikat banyak peziarah lagi, terbukti dengan 
semakin menurunnya jumlah wiasatawan baik asing maupun domestik untuk 
mengikuti ritual 1 Suro di desa Menang. Keterlibatan secara langsung pihak 
Hondodento dan Pemerintah Daerah Kota Kediri juga semakin memudar. 
Menurut pendapat juru kunci dahulu yayasan Hondodento datang dan disertai 
Sultan Hamengkubuwono X, sedangkan Walikota Kediri selalu hadir selaku tuan 
  
rumah, namun sekarang baik Sultan Hamengkubuwono X dan Walikota Kediri 
jarang menghadiri proses ritual 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. 
Selain usaha melestarikan warisan budaya proses ritual ziarah 1 Suro oleh 
Keluarga Besar Hondodento, warga  sekitar juga mengusahakan pembinaan 
seni dan budaya lokal yang berkesinambungan melalui latihan dan pementasan. 
Sampai saat ini ada  tiga kesenian yang berkembang di desa Menang kota 
Kediri, yaitu kesenian kuda lumping, pencak silat, dan kesenian karawitan 

Petilasan Sri Aji Jayabaya dipercaya warga  Kediri menjadi tempat 
muksanya raja Jayabaya. Jayabaya adalah seorang raja yang memerintah kerajaan 
Kediri sekitar tahun 1135 – 1157 M yang dikenal warga  Indonesia oleh 
karena ramalan-ramalannya tentang hari depan Pulau Jawa (bangsa Indonesia) 
dari segala aspek. Kepercayaan ini yang kemudian mendukung kemunculan 
proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya. Kedatangan peziarah ke Petilasan Sri Aji Jayabaya didorong berbagai 
macam tujuan, seperti: cepat mendapatkan jodoh, sukses dalam pekerjaan, 
ketetraman dalam menjalani hidup, dan masih banyak alasan lain lagi. Proses 
ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya dan 
berbagai macam tujuan peziarah tersebut akan diuraikan di bawah ini. 
 Persiapan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon 
Persiapan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon ini 
meliputi tempat ritual , saat ritual  atau pemilihan waktu, benda ritual , dan 
orang yang melakukan ritual . Persiapan-persiapan tersebut dijelaskan di bawah 
ini. 
  Tempat ritual  
Persiapan yang dilakukan pada tempat proses ritual ini terdiri dari Sendang 
Tirtokamandanu dan Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Persiapan di Sendang 
Tirtokamandanu meliputi pembersihkan tempat penampungan air sendang yang 
digunakan peziarah untuk membersihkan diri atau mandi. Tempat penampungan 
air ini dibuat menyerupai kamar mandi pada umunnya, sedangkan kolam 
pemandian seperti disebutkan di dalam Bab II tidak lagi digunakan untuk mandi. 
Hal ini dikarenakan banyak peziarah yang merasa risih atau malu jika harus 
membersihkan diri terlebih mandi di tempat terbuka seperti di kolam pemandian 
Sendang Tirtokamandanu. Tempat lain yang dipersiapkan di wilayah Sendang 
Tirtokamandanu adalah tempat semadi yang digunakan peziarah berdoa sesudah  
membersihkan diri dan bagian pendapa yang digunakan untuk peziarah menanti 
giliran membersihkan diri. 
Di Pamuksan Sri Aji Jayabaya persiapan dilakukan seperti halnya di 
Sendang Tirtokamandanu, yaitu dengan cara membersihkan wilayah pamuksan 
yang terdiri dari Loka Muksa, Loka Busana, dan Loka Makota. sesudah  semua 
tempat dalam keadaan bersih, dilanjutkan dengan pemasangan kain berwarna 
kuning di sekeliling pagar beton Loka Muksa hingga tertutup seperti tembok. 
Penutupan ini bertujuan untuk menambah kesakralan peziarah dalam berdoa di 
Loka Muksa. Pembersihan juga dilakukan di pendapa yang digunakan peziarah 
untuk menunggu giliran berdoa di Loka Muksa terlebih jika ada peziarah 
memakai pendapa untuk tempat menginap. 
  Saat ritual  
Tahun 1933 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo 
mengganti konsep penanggalan Jawa dari sistem penanggalan Matahari menjadi 
sistem penanggalan Bulan. Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau 
Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram. Sejarah 
perubahan ini berkaitan proses ritual 1 Suro dan akan di bahas lebih mendalam 
pada Bab proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji 
Jayabaya Desa Menang Kediri. 
Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalannya sama 
yaitu penampakan bulan, namun kalender Jawa bukanlah kalender Hijriah. Meski 
mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, kalender Jawa tidak mengikuti 
aturan penanggalannya. Hal ini terlihat pada konsep hari pasaran yang terdiri dari 
lima hari Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage yang merupakan wujud unsur-
unsur Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah. Secara astronomis, 
kalender Jawa tergolong mathematical calendar, sedangkan kalender Hijriah 
astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem 
penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari 
fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong mathematical calendar. Adapun 
astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam itu 
sendiri, seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai 
mathematical calendar membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa 
atau kerancuan dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.
Menurut penanggalan Jawa, pergantian hari dimulai pada pukul 18.00. 
Jadi hari Jumat dalam penanggalan Jawa sama dengan hari Kamis dalam 
penanggalan Masehi. Hal ini dikarenakan penanggalan Jawa yang menggunakan 
sistem penampakan bulan, bukannya sistem penampakan matahari seperti pada 
penanggalan Masehi. Jadi jika dalam penanggalan masehi pergantian hari dihitung 
mulai pukul 00.00 dalam penanggalan Jawa dimulai pukul 18.00. 
Pemilihan hari Jumat Legi untuk melaksanakan proses ritual tirakatan di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya dipercayai merupakan hari baik untuk meminta berkah 
kepada Sang Hyang Widi melalui perantara Sri Aji Jayabaya. Dan pemilihan hari 
Selasa Kliwon selain merupakan hari baik juga dikeramatkan oleh sebagian 
warga  Kota Kediri, khususnya di wilayah Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. 
  Benda ritual  
 Persiapan benda ritual  ini terdiri dari anglo, sesaji bunga, dan makanan 
untuk ritual syukuran. Anglo atau tungku untuk membakar kemenyan sebelum 
dipakai dalam proses ritual Jumat Legi dan Selasa Kliwon, selalu dibersihkan 
dahulu dari sisa-sisa abu arang maupun dari gumpalan kemenyan yang menempel. 
Pembersihan ini dilakukan dengan cara menyikat tungku hingga bersih. Sesaji 
bunga terdiri dari bunga sekar telon dan kemenyan. Sesaji bunga ini bisa dibeli di 
sekitar wilayah petilasan atau dibawa peziarah dari di rumah masing-masing. 
Bunga yang digunakan untuk sesaji ini harus dalam keadaan segar atau minimal 
dipetik pada pagi hari. 
  
Peziarah yang akan mengadakan syukuran selain membawa sesaji bunga 
juga mempersiapkan beberapa jenis makanan untuk acara makan bersama. Proses 
ritual syukuran (dengan cara makan bersama) merupakan upaya peziarah dalam 
menjalin hubungan dengan Sri Aji Jayabaya sendiri pada suatu perjamuan makan 
bersama. Undangan kepada Sri Aji Jayabaya ini dimaksudkan agar segala 
permintaan peziarah dapat direstui oleh Tuhan melalui perantara Sri Aji Jayabaya. 
lalu  makanan untuk ritual  makan bersama ini akan disebut 
sebagai sesaji makanan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam 
mempersiapkan sesaji makanan. Pertama, sebelum memulai memasak sesaji 
makanan terlebih dahulu dilakukan doa dengan mengucap “Bismillah, sak perlu 
unjuk caos dahar kagem Sri Aji Jayabaya” yang artinya kurang lebih “Bismillah, 
sesaji makan ini digunakan untuk persembahan kepada Sri Aji Jayabaya” 
(wawancara dengan Bapak. Kamdani, laki-laki, 55 tahun, juru kunci, Desa 
Menang. Direkam pada hari Kamis, 15-9-2005 oleh Joko Nugroho, di Petilasan 
Sri Aji Jayabaya Desa Menang). Dalam doa di atas terlihat bahwa makanan 
tersebut merupakan bentuk sesaji dalam proses ritual syukuran. Cara memasak 
makanan untuk acara syukuran ada  sebuah pantangan, yaitu bahan baku dan 
dalam proses memasak tidak boleh dicicipi terlebih dahulu. Alasan yang 
mendasarinya adalah karena acara makan bersama bermakna mengundang roh 
nenek moyang (Sri Aji Jayabaya) ke dalam sebuah perjamuan makan bersama. 
Menurut kepercayaan warga  Jawa roh nenek moyang hanya memakan rasa 
dan aroma dari makanan tersebut maka secara kuantitas wujud makanan tidak 
akan berkurang namun rasa dan aromanya akan memudar dan hilang (menjadi 
  
hambar). Jadi jika di dalam mepersiapkan sesaji makanan untuk proses ritual 
syukuran dicicipi terlebih dahulu maka orang yang mempersiapkan dianggap telah 
berani mendahului roh nenek moyang (Sri Aji Jayabaya) dan sesaji makanan itu 
diangga tidak layak untuk dijadikan sesaji makanan. 
 
Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual  
Persiapan yang dilakukan oleh juru kunci adalah berdoa secara pribadi di 
Loka Muksa memohon izin kepada Sri Aji Jayabaya untuk melaksanakan 
tugasnya dalam memimpin proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon. 
Persiapan yang dilakukan peziarah, yaitu: meminta izin kepada juru kunci yang 
ada di Sendang Tirtokamandanu untuk melakukan ritual pembersihan diri sebelum 
mendatangi pamuksan. Membersihkan diri ini dikaitkan dengan kegiatan mandi di 
Sendang Tirtokamandanu. lalu  peziarah berdoa di tempat semadi yang ada 
di Sendang Tirtokamandanu bersama juru kunci sendang. sesudah  melakukan 
persiapan di Sendang Tirtokamandanu peziarah diperbolehkan datang ke 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kedatangan peziarah ke pamuksan dengan membawa 
bunga untuk sesaji, baik bunga yang dibawa dari rumah maupun yang telah dibeli 
di sekitar wilayah petilasan. Terakhir peziarah meminta izin kepada juru kunci 
yang ada di pamuksan untuk melakukan proses ritual tirakatan pribadi di Loka 
Muksa Sri Aji Jayabaya.  
 Pelaksanaan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon 
Pelaksanaan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di 
Petilasan Sri Aji Jayabaya meliputi dua bagian, yaitu: proses ritual pribadi dan 
bancakan
Bancakan adalah nama lain yang digunakan oleh warga  Kediri untuk mengantikan istilah 
ritual  ungkapan syukur yang diwujudkan dengan acara makan bersama. 

 Proses ritual pribadi dilakukan oleh peziarah sendirian di Loka 
Muksa, namun dalam perjalanan waktu peziarah lebih senang meminta bimbingan 
juru kunci dalam melakukannya. Proses ritual bancakan atau syukuran merupakan 
ungkapan terima kasih seorang peziarah yang diwujudkan dengan acara makan 
bersama. Makan bersama ini mengikutsertakan peziarah lain yang hadir di 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Proses ritual syukuran ini diadakan di pendapa 
Pamuksan Sri Aji Jayabaya dan dipimpin oleh seorang juru kunci. 
 
 Proses Ritual Pribadi 
Proses ritual tirakatan secara pribadi ini merupakan kegiatan nyekar atau 
mengunjungi makam leluhur dan dilakukan di Loka Muksa Sri Aji Jayabaya.. 
Mengunjungi makam leluhur ini sering disertakan doa-doa permohonan yang 
ditujukan kepada Tuhan melalui Sri Aji Jayabaya. Proses ritual pribadi pada hari 
Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini akan dijelaskan 
lebih mendalam di bawah ini. 
 
Tempat ritual  
Sendang Tirtokamandanu merupakan tempat untuk persiapan proses ritual 
tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon. Maka Sendang Tirtokamandanu di dalam 
                                                 
pelaksanaan proses ritual tirakatan tidak digunakan sama sekali. Namun ada juga 
beberapa peziarah yang menggunakan Sendang Tirtokamandanu sebagai tempat 
untuk melakukan semadi. Hal ini tergantung pada peziarah secara pribadi. 
Wilayah pamuksan yang digunakan untuk proses ritual pribadi Jumat Legi dan 
Selasa Kliwon adalah bagian Loka Muksa dan pendapa. Loka Busana dan Loka 
Makuta tidak digunakan secara langsung melainkan sebagai simbol saja. Loka 
Muksa merupakan tempat utama untuk kegiatan proses ritual pribadi pada hari 
Jumat Legi dan Selasa Kliwon. Dan pendapa pamuksan berfungsi sebagai tempat 
untuk menunggu giliran berdoa jika di Loka Muksa masih dipadati oleh peziarah 
lain yang melakukan proses ritual pribadi. Terkadang pendapa ini juga digunakan 
sebagai tempat untuk menginap atau begadang oleh peziarah seusai melakukan 
proses ritual pribadi. 
  Saat ritual  
Proses ritual pribadi di Pamuksan Sri Aji Jayabaya ini seharusnya dimulai 
pada sore hari pukul 18.00. Namun dalam kenyataannya banyak di antara peziarah 
yang menganggap bahwa suasana paling sakral adalah pada malam hari di saat 
banyak orang sedang nyenyak tertidur atau sekitar pukul 00.00-02.00 WIB. 
Menurut mereka suasana hening dan khitmat ini akan menambah kekuatan magis 
dari doa-doa permohonan yang ditujukan kepada Sang Hyang Widi melalui 
perantara Sri Aji Jayabaya. Maka tidak mengherankan jika pada jam-jam tersebut 
Loka Muksa dipadati oleh peziarah yang ingin berdoa. 
 Benda ritual  
 Benda ritual  dalam proses ritual tirakatan pribadi ini memiliki makna 
yang beraneka ragam. Makna-makna tersebut dapat dilihat di bawah ini. 
Tungku untuk membakar kemenyan ini memiliki makna simbolis sebagai 
wahana atau sarana dalam memantapkan permohonan dan permintaan yang 
berupa doa atau mantra. Kemenyan yang dibakar selain sebagai sarana untuk 
keharuman pada waktu berdoa juga memiliki maksud mengantarkan mantra atau 
doa-doa peziarah. 
Kain samir atau kain sutera berwarna kuning yang digunakan untuk 
menutup pagar beton Loka Muksa melambangkan kemakmuran dan ketentraman 
hidup manusia. Warna kuning juga melambangkan berbuah. Hal ini dihubungkan 
dengan padi menguning di sawah. Kata menguning menunjukkan suatu harapan 
adanya keberhasilan yang akan mendatangkan rejeki bagi manusia. 
Bunga sekar telon meliputi bunga melati, kenanga, dan mawar. Sekar telon 
ini melambangkan kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat 
manusia yang serba tiga. Sifat hidup manusia itu, meliputi hidup, yang 
menghidupi, yang membuat hidup. Dan kodrat manusia terdiri dari tiga, yaitu: 
lahir, berkembang biak, dan mati. 
Bila sekar telon diartikan secara terpisah akan memiliki makna, sebagai 
berikut: bunga melati adalah bunga yang harum baunya. Ini melambangkan bahwa 
orang itu harus dapat menjaga keharuman namanya sendiri. Bunga melati juga 
melambangkan kesucian. Jadi seseorang itu harus melakukan sesuatu yang baik 
dan menjauhi tindakan yang jahat agar namanya tetap harum dan suci. Kecuali itu 
  
melati dihubungkan dengan kata lathi yang dalam bahasa Indonesia berarti bibir. 
Bibir sebagai senjata utama manusia hendaknya dapat dikendalikan dengan tepat. 
Bunga mawar dihubungkan dengan kata tawar yang mengandung makna 
menawar atau menolak semua hambatan atau godaan yang tidak diinginkan, 
sehingga apa yang dicita-citakan dapat terwujud. Bunga kenanga diartikan sebagai 
ketentraman hidup manusia. Secara keseluruhan sekar telon memiliki makna, 
bahwa di dalam sifat hidup dan kodrat yang serba tiga itu manusia diwajibkan 
menjaga keharuman namanya dengan menawar atau menolak semua godaan agar 
mendapatkan ketentraman di dalam menjalani hidup. 
Sesaji bunga lalu  adalah bunga kanthil. Bunga kanthil ini 
disebarkan di sekitar Loka Muksa sebelum proses ritual tirakatan berlangsung 
oleh juru kunci yang bertugas. Bunga kanthil memiliki arti katut atau dalam 
bahasa Indonesia bermakna ikut. Sehingga pengertian ini mengacu pada 
keberhasilan sesuatu yang diharapkan peziarah. Kata kanthil biasa dipakai dalam 
kekanthilan kebahagiaan, kekanthilan rejeki, kekanthilan jodoh dan sebagainya. 
 
 Orang yang Memimpin dan Melakukan ritual  
sesudah  peziarah melakukan persiapan di Sendang Tirtokamandanu dan 
meminta izin untuk berdoa di Loka Muksa, kemudian peziarah bersama juru kunci 
memasuki Loka Muksa Sri Aji Jayabaya. Sebelum memasuki wilayah Loka 
Muksa, peziarah bersujud sambil menggabungkan tangan di tengah dada 
kemudian mengangkat tangan tersebut hingga di atas kepala, posisinya seperti 
sedang menyembah. Kegiatan bersujud ini dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu 
pada anak tangga pertama, anak tangga terakhir, dan di depan pintu Loka Muksa. 
Hal ini dimaksudkan sebagai permintaan izin peziarah atau mengetok pintu 
dahulu supaya diperbolehkan mengunjungi makam Sri Aji Jayabaya. Untuk juru 
kunci, hanya melakukan sujud ini saat berada di depan pintu masuk Loka Muksa 
saja. 
lalu  juru kunci dan peziarah duduk berhadapan di antara bangunan 
Loka Muksa dan pintu masuk. Pertama-tama juru kunci akan menanyakan maksud 
dan tujuan yang menuntun peziarah datang pada hari Jumat Legi atau Selasa 
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini. Maksud dan tujuan peziarah ini 
lalu  akan disebut dengan permohonan peziarah. Tanya jawab antara juru 
kunci dan peziarah tersebut seperti contoh (rekaman suara Bapak Misri, laki-laki, 
55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang dengan Bapak Wisnu Pamuksan 
adalah peziarah. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, 
di Loka Muksa) di bawah ini. 
Juru kunci: “Asmonipun panjenengan sinten lan wonten keperluan menopo?” 
Peziarah: “Nami kulo Wisnu Pamungkas. Kulo kagungan usaha pabrik roti Mbah. Kalian 
nyuwon keslametan kagem sak keluarga sedoyo”. 
Terjemahannya: 
Juru kunci: “Nama anda siapa dan ada keperluan apa?” 
Peziarah: “Nama saya Wisnu Pamungkas. Saya mempunyai usaha pabrik roti Mbah. Dan 
juga minta doa keselamatan untuk seluruh keluarga”. 
 
Jawaban peziarah di sini memang tidak menjelaskan permohonannya secara rinci, 
namun juru kunci mengetahui bahwa yang diinginkan adalah kesuksesan dalam 
menjalankan usaha dan minta keselamatan dan kesehatan bagi seluruh 
keluarganya. 
sesudah  peziarah menjelaskan permohonannya, juru kunci akan memulai 
proses ritual pribadi ini. Juru kunci akan menghaturkan doa pembuka yang inti 
  
dari isinya adalah meminta izin kepada Sri Aji Jayabaya. Doa pembukaan tersebut 
seperti contoh dalam (rekaman suara Bapak Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci 
pamuksan, Desa Menang dan penyebutan nama Wisnu Pamuksan adalah peziarah. 
Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa) 
di bawah ini. 
“Ngaturaken sembah sungkem kagem Gusti Agung, nyuwun kalepatan, meniko Bapak 
Wisnu Pamungkas saking Nganjuk nyuwun pandungo ingkang wilujeng” 
Terjemahannya: 
“Menghaturkan sembah sujud kepada Tuhan Yang Maha Agung, mohon maaf, di sini 
Bapak Wisnu Pamungkas dari Kota Nganjuk memohon doa penuh berkah”. 
 
Doa pembukaan yang dihaturkan oleh juru kunci ini bertujuan memintakan izin 
peziarah kepada Tuhan Yang Maha Agung melalui Sri Aji Jayabaya. Jadi salam 
Gusti Agung memiliki dua makna, yaitu: ditujukan kepada Tuhan Yang Maha 
Agung dan Sri Aji Jayabaya. 
Kemudian juru kunci akan mengucapkan mantra yang berisi doa 
permohonan peziarah itu sendiri. Pengucapkan doa permohonan ini sesekali 
diselingi dengan menaburkan kemenyan oleh juru kunci ke dalam anglo. 
Kemenyan yang terbakar akan mengeluarkan bau harum dan menciptakan asap 
tebal. Asap tebal yang tertiup angin ke atas ini dipercaya sebagai penghantar doa-
doa permohonan peziarah kepada Sang Hyang Widi lewat perantara Sri Aji 
Jayabaya. Doa atau mantra tersebut seperti contoh dalam (rekaman suara Bapak 
Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa Menang dan penyebutan 
nama Wisnu Pamuksan adalah peziarah. Direkam pada hari Kamis, 11 Agustus 
2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa) di bawah ini. 
“Sowanipun Bapak Wisnu Pamungkas ing Jumat Legi meniko wonten mriki kagungan 
kerso usaha pabrik roti inggih pinaringono lancar. Sowanipun Bapak Wisnu Pamungkas 
nyuwun tambahi pangestunipun kagem keslametan keluarganipun sedanten inggih 
  
pinaringono katentreman. Bapak Wisnu Pamungkas anggenanipun usaha menopo mawon 
inggih pinaringono sukses sak susesipun. Inggih pinaringono katah slamet kagem Bapak 
Wisnu Pamungkas sak keluarga sedanten. Inggih pinaringono laris usahanipun mboten 
wonten bedo menopo-menopo. Inggih pinaringono katah rejekinipun. Sowanipun putro 
wayah betho caosan kormat sekar telon, dipun caosaken kagem sultan kanjeng ingkang 
moho agung. Nyuwon diparingi pangestu bok bileh sak garwo putro meniko wonten 
usaha menopo ke mawon pinarengono lancar lan sukses sak suksesipun mboten wonten 
sambi kolo menopo ke mawon. Bapak Wisnu Pamungkas sak putro wayah pinaringono 
katah keslametan mboten wonten rubedho menopo-menopo. Bapak Wisnu Pamungkas 
pinarengono lancar kagem usahanipun. Putro wayah kegungan usaha pabrik roti 
pinaringono langgeng. Pinaringono gampang gampil usahanipun. Wontenipun Bapak 
Wisnu Pamungkas dateng mriki nyuwon wangsulan pandungo ingkang wilujeng 
anggenanipun kagungan usaha menopo ke mawon sageto sukses. Sowanipun putro 
wayah dugi ing mriki dinten Jemuah Legi mugi-mugi sedoyo panyuwune Bapak Wisnu 
Pamungkas kinabulan. Panyuwune Bapak Wisnu Pamungkas menawi usaha pabrik roti 
meniko mboten wonten bedo menopo-menopo. Inggih mugi-mugi pinaringono gampang 
gampil pados usahanipun. Putro wayah pinaringono langgeng, sak garwo putro 
paringono slamet. Pinarengono katah rejeki. Pinarengono slamet sak keluarganipun. 
Inggih Gusti rama ageng penyuwunipun rubedho menopo-menopo. Inggih menopo 
wonten kalepatan panyuwunipun mugi-mugi diparingi welas asih ingkang ageng”. 
Terjemahannya: 
“Kedatangan Bapak Wisnu Pamungkas pada hari Jumat Legi di sini karena memiliki 
keinginan agar usaha pabrik roti bisa berjalan dengan lancar. Kedatangan Bapak Wisnu 
Pamungkas juga meminta agar diberikan keselamatan dan ketentraman bagi seluruh 
keluarganya. Bapak Wisnu Pamungkas bila memiliki usaha apa saja diberikan 
kesuksesan-kesuksesan. Berikanlah banyak keselamatan untuk Bapak Wisnu Pamungkas 
dan seluruh keluarganya. Berikanlah kelancaran dalam menjalankan usaha dan 
jauhkanlah dari halangan apa saja. Berikanlah banyak berkah melimpah. Kedatangan 
Bapak Wisnu Pamungkas
Putro wayah bila diartikan menurut teks memiliki arti anak cucu atau keturunan. Namun dalam 
penelitian ini putro wayah diartikan sebagai peziarah atau dalam contoh teks ini Bapak Wisnu 
Pamungkas, sebab di dalam warga  Jawa makna keturunan itu berarti luas dan terkadang tidak 
memandang hubungan darah. Peziarah di sini dianggap sebagai anak cucu atau keturunan Sri Aji 
Jayabaya. 

dengan membawa sesaji sekar talon, dipersembahkan kepada 
Tuhan Yang Maha Agung. Mohon direstui apabila anak cucu memiliki usaha apa saja 
diberikan kelancaran dan kesuksesan dan tidak ada rintangan apapun juga. Bapak Wisnu 
Pamungkas beserta keluarga berilah banyak keselamatan dan tidak ada godaan apa-apa. 
Bapak Wisnu Pamungkas berikanlah kelancaran dalam menjalankan usahanya. Peziarah 
berikanlah kelanggengan dalam menjalankan usaha pabrik rotinya. Berilah kemudahan 
dalam usahanya. Adapun Bapak Wisnu Pamungkas datang ke sini meminta diberikan doa 
penuh berkah agar dalam menjalankan usaha apapun juga dapat sukses. Kedatangan 
peziarah di sini pada hari Jumat Legi, semoga semua permintaan Bapak Wisnu 
Pamungkas terkabulkan. Permintaan Bapak Wisnu Pamungkas apabila dalam 
menjalankan usaha pabrik rotinya itu tidak ada hambatan apapun juga. Semoga diberikan 
kelancaran dan kemudahan dalam usahanya. Peziarah minta diberikan kelanggengan dan 
kepada keluarganya diberikan keselamatan. Berikanlah banyak keuntungan. Berilah 
keselamatan bagi seluruh keluarganya. Tuhan Yang Maha Agung janganlah Engkau beri 
godaan apapun juga. Dan apabila ada kesalahan dalam permintaannya semoga Engkau 
berikan belas kasihMu yang sebesar-besarnya”. 
Pengucapkan mantra ini, juru kunci selalu mengulang-ulang permohonan 
peziarah. Pengulangan-pengulangan ini memiliki makna sebagai pemantapan doa 
                                                
permohonan peziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya kepada Tuhan Yang Maha 
Agung. sesudah  doa permohonan dihaturkan, peziarah akan mengucapkan terima 
kasih kepada juru kunci, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini. 
Peziarah : “Matur nuwun Mbah”. 
Juru kunci : “Inggih”. 
Artinya: 
Peziarah : “Terima kasih Mbah”. 
Juru kunci : “Iya” 
(penutur Bapak Misri, laki-laki, 55 tahun, juru kunci pamuksan, Desa 
Menang dengan Bapak Wisnu Pamungkas. Direkam pada hari Kamis, 11 
Agustus 2005, oleh Joko Nugroho, di Loka Muksa). 
 
Selesai berdoa dengan bimbingan juru kunci, proses ritual dilanjutkan 
dengan menaburkan bunga sekar telon di sekitar bangunan Loka Muksa Sri Aji 
Jayabaya. Kemudian peziarah akan mencari tempat untuk melakukan doa secara 
pribadi. Terakhir peziarah akan mencari bunga kanthil yang ada di sekitar 
bangunan Loka Muksa untuk dibawa pulang. Tujuan membawa pulang bunga 
kanthil adalah supaya permohonan peziarah di Loka Muksa Sri Aji Jayabaya bisa 
terwujud. Hal ini dihubungkan dengan makna bunga kanthil, yaitu: kekanthilan 
(keikutan) kebahagiaan, rejeki, jodoh, dan sebagainya. Maka peziarah berharap 
semua permintaannya dapat ikut bersama bunga kanthil yang dibawanya pulang. 
 
 Proses Ritual Syukuran 
Proses ritual bancakan atau syukuran merupakan ungkapan terima kasih 
seorang peziarah kepada Sri Aji Jayabaya karena permohonannya telah 
dikabulkan. Namun tidak sedikit peziarah yang mengadakan proses ritual 
syukuran ini untuk memantapkan permohonan agar cepat terkabulkan. Ungkapan 
terima kasih dalam proses ritual syukuran ini diwujudkan dengan acara makan 
bersama-sama peziarah lain yang datang di Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Proses 
ritual syukuran Jumat Legi dan Selasa Kliwon tersebut akan dijelaskan lebih 
mendalam di bawah ini. 
  Tempat ritual  
Pendapa yang digunakan untuk menunggu giliran berdoa di Loka Muksa 
(dalam proses ritual pribadi) ternyata juga berfungsi sebagai tempat untuk 
mengadakan proses ritual syukuran. Pendapa pamuksan ini memiliki luas 32 m² 
dan dilengkapi dua jalan masuk tanpa pintu. Bentuk bangunan pendapa pamuksan 
ini seperti bentuk pendapa-pendapa di Jawa pada umunya, yaitu beratap seperti 
halnya rumah dan bertembok keliling hanya setinggi satu meter saja. 
 Saat ritual  
Walaupun proses ritual tirakatan secara umum dimulai pada pukul 18.00, 
namun kebanyakan peziarah yang mengadakan syukuran akan datang lebih awal 
atau sekitar pukul 15.00. Menurut pendapat mereka jika proses ritual syukuran 
diadakan lebih awal, permohonan peziarah dapat disampaikan lebih jelas oleh juru 
kunci dengan tidak tergesa-gesa. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan tenaga 
juru kunci yang hanya dua orang saja, sedangkan banyaknya peziarah yang 
mengantri mencapai puluhan orang sesudah  pukul 18.00. Namun tidak semua 
peziarah yang mengadakan syukuran berpendapat sama, buktinya ada beberapa 
orang yang memang memilih malam hari dengan alasan proses ritual syukuran 
seharusnya dilaksanakan sesudah  pukul 18.00 atau pada hari Jumat Legi bukannya 
Kamis Kliwon. Hal ini dihubungkan dengan pergantian hari dalam penanggalan 
Jawa yang dimulai pada pukul 18.00. 
 
 Benda ritual  
Pendapa pamuksan ini dilengkapi dengan dua meja yang memiliki panjang 
+ 3 meter dan lebar + 1 meter. Meja ini berfungsi sebagai tempat untuk 
meletakkan sesaji makanan dalam proses ritual syukuran. Beberapa sesaji 
makanan tersebut meliputi: 
Nasi biasa beserta lauk pauknya ini, melambangkan keberuntungan dan 
permohonan agar semua pihak yang terlihat dalam ritual  dapat selamat dan 
dikaruniai banyak rejeki. 
Nasi gurih lengkap dengan lauk pauknya, melambangkan keselamatan dan 
kesejahteraan Nabi Muhammad SAW sekeluarga dan para sahabatnya. 
Nasi kabul atau kuning lengkap dengan lauk pauknya ini melambangkan 
harta kekayaan, dengan sesaji makanan seperti ini diharapkan akan semakin 
bertambah banyak kekayaan yang dimiliki peziarah. 
Nasi golong (nasi yang dibentuk bulat-bulat) beserta lauk pauknya ini, 
mengandung makna supaya semua peziarah mempunyai tekad yang bulat 
(golong), sehingga segala apa yang dicita-citakan akan dapat terlaksana dengan 
baik. 
Tumpeng dan nasi golong beserta lauk pauknya, melambangkan kebulatan 
tekad atau permintaan peziarah ini ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 
Tumpeng yang berbentuk kerucut memiliki makna tujuan doa yang tertuju pada 
Yang Satu, yaitu Tuhan. Nasi golong berbentuk bulat-bulat sebagai lambang dari 
kebulatan tekad atau permohonan peziarah. 
Tumpeng gundul, yaitu tumpeng tanpa nasi golong. Tumpeng gundul 
dengan lauk pauknya ini, melambangkan hilangnya keruwetan yang merongrong 
pikiran peziarah. 
Seekor ayam kemanggang ini, Ayam kemanggang ini adalah masakan berupa ayam yang di masak dengan cara di panggang 
secara utuh dan hanya di buang bagian usus dan lambung (jeroan) saja.

melambangkan bahwa pelbagai makanan 
yang disajikan itu selezat daging ayam. 
Ketan towo mengandung makna pengiriman doa kepada arwah leluhurnya 
agar selalu dekat dengan Tuhan serta pengampunan atas segala dosa-dosa dan 
kesalahannya. 
Sesaji berupa jambe, badhek,
Badhek merupakan minuman yang berasal dari sari tape singkong atau singkong yang diberi 
ragi dan mengandung alkohol. Dalam penyajian sesaji makanan ini, badhek akan dibungkus 
dengan plastik. 
 dan pisang raja sesisir. Jambe atau kelapa 
yang masih kecil ini, melambangkan pertumbuhan anak yang semakin sempurna. 
Badhek ini melambangkan perbuatan manusia itu hendaknya sedang-sedang saja, 
jangan melampaui batas, seperti halnya badhek jika diminum secukupnya akan 
menjadi jamu namun jika diminum terlalu banyak akan berakibat tidak baik atau 
bahkan membuat sakit. Dan pisang raja sesisir melambangkan kemuliaan seorang 
raja. Bila digabungkan antara jambe, badhek, dan pisang raja sesisir ini memiliki 
arti, bahwa jalan hidup manusia dari kecil hingga dewasa sebaiknya jangan 
m

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate