hindustan 4
lokus penelitian karena banyaknya pura yang ditinggalkan
oleh orang orang suci dari sejak jaman kerajaan dahulu.
Kemudian jarak tempuh antar pura tidak terlalu jauh,
sehingga dapat memungkinkan observasi partisipatif di
beberapa kegiatan pura secara langsung.
Sebagaimana diketahui, NTB adalah sebuah provinsi
di negarakita yang berada dalam gugusan Sunda Kecil dan
termasuk dalam Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini
memiliki 10 Kabupaten/Kota. Di awal kemerdekaan negarakita,
wilayah ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil
Mr. Muhamad Yamin yang pada 1950-an ketika menjadi Menteri P.P. dan
K. mengganti istilah Kepulauan Sunda Kecil menjadi Kepulauan Nusa Tenggara.
yang beribukota di Singaraja. Kemudian, wilayah Provinsi
Sunda Kecil dibagi menjadi 3 provinsi: Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Saat ini nama "Nusa
Tenggara" digunakan oleh dua daerah administratif: Provinsi
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sesuai
dengan namanya, provinsi ini meliputi bagian barat
Kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini
adalah Lombok yang terletak di barat dan Sumbawa yang
terletak di timur. Ibu kota provinsi ini adalah Kota Mataram
yang berada di Pulau Lombok.
NTB terdiri dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa,
memiliki luas wilayah 20.153,15 km2. Terletak antara 115° 46' -
119° 5' Bujur Timur dan 8° 10' - 9 °g 5' Lintang Selatan. Selong
merupakan kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi,
yaitu 148 m dari permukaan laut, sementara Raba terendah
dengan 13 m dari permukaan laut. Dari tujuh gunung yang
ada di Pulau Lombok, Gunung Rinjani merupakan gunung
tertinggi dengan ketinggian 3.775 m, sedangkan Gunung
Tambora merupakan gunung tertinggi di Sumbawa dengan
ketinggian 2.851 m.
Sebagian besar dari penduduk Lombok berasal dari
suku Sasak, sementara suku Bima dan Sumbawa merupakan
kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas
Sebab, istilah Kepulauan Sunda Kecil diganti dengan Kepulauan Nusa Tenggara,
maka istilah Kepulauan Sunda Besar juga tidak lagi digunakan dalam ilmu bumi dan
perpetaan nasional negarakita – meskipun dalam perpetaan Internasional istilah
Greater Sunda Islands dan Lesser Sunda Islands masih tetap digunakan."
penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam. Berikut tabel
menurut jumlah pemeluk agama.
Melihat jumlah keseluruhan di NTB, posisi Umat Hindu
sekitar 2.5%, sebagian besar tinggal di Kota Mataram,
terkonsentrasi di pulau Lombok jumlah cukup signifikan. Di
Kota Mataram, persentase pemeluk Hindu 16.13% sedangkan
di Kabupaten Lombok Barat 6.63%, Kabupaten Lombok Utara
8.47%. Sedangkan di Sumbawa 2.82%. Keberapdaan Umat
Hindu di Kabupaten lain jumlahnya tidak terlalu signifikan,
tidak terlalu besar namun cukup lekat dengan tradisi yang
berkembang seperti kabupaten lain.
Pembahasan Hasil
Konsep Ketuhanan
Kelompok Hindu tradisional di NTB khususnya pulau
lombok, seperi halnya Hindu Bali lebih dekat pada konsep
Trimurti, tiga sesembahan satu kesatuan, unitarian. Awalnya
ada Sembilan sekte utama setidaknya yang berkembang di
Nusantara, Bali. Hadirnya Pedanda Kuturan yang
menginisiasi menyatukan berbagai sekte melalui kesepakatan
bersama menjadi tiga aliran besar, Siwaisme, Waisnama, dan
Brahmaisme65. Banyaknya kesimpangsiuran pemahaman di
kalangan pemeluk, penyederhanaan sesembahan dalam tiga
dewa utama ini menjadi sejarah penting dalam perjalanan
Hindu di negarakita. Berbeda dengan India yang memilih satu
dewa untuk diagungkan dan disembah, Hindu Bali
menyembah semua dewa, hal ini cukup menarik karena
konsepsi penyatuan berbagai aliran menjadikan cirikhas
tersendiri.
Konsep ketuhanan yang dibangun dalam Tri Murti
juga menarik, karena penganut Siwaisme, Waisnamawa,
Brahmaisme serta aliran Budha yang kemudian digabungkan
sebagai Siwa-Budha (Siwa Sidhanta),66 tiga arus dalam
trimurti memiliki tiga pandita yang terdiri atas Pedanda Siwa
dan Pedanda Budha, pandita resi dapat dilekatkan pada
waisnawa, kemudian pandita empu yang berada pada aras
Siwa. Tiga karakter kepanditaan dapat memimpin secara
lintas-batas, tidak ada dikotomi sekte atau aliran. Secara
faktual Siwa menyatu dengan Budha, menjadi Siwa-Budha,
menyatu dalam hal ritual yang memiliki tugas masing-
masing. Penyelesaaian ritual dari atas menghadirkan Tuhan
dilakukan oleh Pedanda Siwa, kemudian menyiapkan tempat
menyelesaikan di bawah adalah Pedanda Budha. Bagi
penganut Siwa, bahwa Dewa Siwa lah yang paling penting,
menduduki tempat yang tertinggi karena bertugas terakhir
setelah pemeliharaan alam oleh Wisnu. Siwa adalah
pengembali segala bentuk, wujud kembali ke asalnya, dalam
hal konsepsi yang mudah dipahami adalah pengembalian
wujud manusia ke dalam empat anasir pembentuknya, air,
api, angin dan tanah.
Sedangkan bagi penganut Waisnama, dewa Wisnu lah
yang paling penting karena mengagungkan pemelihara bumi
dan alam semesta ini yang akan membuat kesempurnaan
bhakti manusia, sehingga memungkinkan ketercapaian
muksa70. Tidak perlu reinkarnasi. Linear dengan keagungan
Wishnu sebagai pemelihara dan penting, karena dari Sri
Wishnu turunnya awatara Tuhan Yang Maha Esa ke dunia
melalui wujud Sri Krishna.
Keberadaan Budha pada Siwa Sidanta adalah suatu
kompromi atas sejarah sejak zaman majapahit atas dua arus
besar Siwa dan Sogata, sehingga ada dua pandita saat itu
Dang Acarya Kasiwan dan Dang Acarya Kasogatan.
Selanjutnya dua eksistensi ini terbawa ke Bali, seiring
munculnya pendande Budha Keling di Bali pasca runtuhnya
Majapahit, mengikuti gelombang pindahnya para penganut
Siwa ke Bali72 (cikal bakal Hindu Dharma). Istilah Budha
sendiri berbagai macam, satu diantaranya yang dipahami
dalam Siwa Sidanta adalah lebur, jadi Budha itu bertugas
meleburkan segala hal yang negatif menjadi stabil73, meskipun
sejatinya tidak dapat dipisahkan dari ajaran dan nilai yang
dikembangkan oleh Sidharta Gautama, sebagai awatara
Tuhan kesembilan.
Ajaran Pokok Hindu sejatinya terbagi dalam tiga
bagian utama, yaitu Tatwa (filsafat), Susila (ethika), dan
ritual (ritual),74 Lebih lanjut dalam buku Upadeca yang
diterbitkan Parisada Hindu Dharma negarakita, tatwa sendiri
diartikan sebagai kerangka dasar agama Hindu (Hindu
Dharma) yang memuat lima kerangka kepercayaan mutlak
yang harus diyakini, yaitu: percaya adanya Sang Hyang
Widhi (Widhi Tatwa); percaya adanya Atma (Atma Tatwa);
percaya adanya Hukum Karma Phala; percaya adanya
Samsara (Purnabhawa); dan percaya dengan adanya Moksa.
Etika dan Moralitas
Susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia yang
selaras dengan ketentuan dharma dan yadnya. Cukup banyak
struktur etika dan moralitas dalam agama hindu. Beberapa hal
menyangkut Susila dapat dipahami melalui beberapa bagian:
1. Tri Hita Karana:75 hubungan manusia dengan Tuhan,
Manusia dengan manusia, manusia dengan Alam
2. Tatwam Asi:76 intinya tidak boleh menyakiti (saya adalah
kamu, kamu adalah saya)
3. Tri Kaya Parisudha (tiga perbuatan yang disucikan) yaitu
kayika (berbuat yang baik), wacika (berkata yang baik) dan
manacika (berpikir yang baik)
4. Wasudewa Kutum Bakam: (kita semua adalah saudara)
5. Sad Ripu (enam musuh yang harus dihindari):77
a. Kama: keinginan, nafsu
b. Lobha: rakus, tamak
c. Krodha: kemarahan
d. Moha: kebingungan
e. Mada: mabuk
f. Matsarya: iri hati, dengki
6. Lima pilar dalam kehidupan:78
a. Satya: Kejujuran
b. Dharma: kebenaran
c. Shanti: Kedamaian
d. Prema: Cinta/kasih sayang, Prema dikatakan sebagai
hal terpenting dalam hal mewujudkan dharma dalam
kehidupan, karena dengan kasih sayang empat hal
yang lain akan muncul dengan sendirinya bagi setiap
orang yang mamahami hal ini.
e. Ahimsa: nirkekerasan.
Dalam hal etika dan moralitas, diyakini oleh pemeluk
Hindu bersumber pada Weda. Ajaran Weda yang membentuk
manusia untuk melakukan Catur Dharma. Terutama setia
pada karma masing-masing.
Praktek Ibadah
Praktek Ibadah yang dilakukan oleh umat Hindu
mengenal empat jalan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan
Yang Maha Esa dikenal dengan Catur
Marga, yaitu Bhakti Marga (jalan kebaktian), Karma marga
(jalan perbuatan), Jnana Marga (jalan pengetahuan
kerohanian), dan Yoga Marga (jalan Yoga/menghubungkan diri
kepadanya).
Parama Prema dan Prappati adalah bentuk yang bisa
dipahami dari bhakti marga, parama prema dimaksudkan
untuk memahami atman dengan membaca mantram yang
diajarkan Weda. Parama prema adalah kasih yang sejati
seperti yang diberikan oleh bapak, sanak saudara, sahabat dan
didalam Gurupuja Sedangkan Prappati adalah
penyerahan diri sebagai cermin dari orang berbudi luhur yang
paling mulia.
Kewajiban pemeluk Hindu dalam peribadatan adalah
Tri Sandhya, dengan kata lain harus dilakukan oleh umat
Hindu setiap hari. Tri Sandya terdiri atas Surya Puja:
pemujaan dewa pada saat matahati terbit; Rahina Puja:
pemujaan Tuhan pada tengah hari; dan Sandhya Puja:
pemujaan pada saat matahari terbenam. Meskipun dalam
beberapa pihak menganggap semua kewajiban dalam Hindu
tidaklah mutlak, karena Hindu fleksibel.81 Selain Tri Sandhya,
Hindu juga mengenal panca sembah. Sembahyang dapat
berlaku dalam beberapa praktek ritual dan secara tradisi
berlaku dalam Tri Sandhya itu sendiri.82 Pada prakteknya
pemeluk melaksanakan Tri Sandhya dengan panca sembah,
seperti yang dilakukan oleh seorang informan, melalui
observasi keseharian, I Putu Agung Sanjaya83 pada waktu
yang ditetapkan melakukan puja pagi saat matahari terbit,
siang hari pada saat matahari hampir bergeser, kemudian di
sore hari menjelang terbenam.
Panca sembah terdiri dari lima bagian,84 yaitu: muspa
pemuyung, sembah tanpa bunga yang ditujukan pada Sang
Hyang Widhi; Surya Raditya, yaitu sembah pada Dewa Surya;
sembah pada Ista Dewata, yaitu kepada dewa tertentu, dalam
hal ini perbedaan pada mantra tergantung dewanya; nunas
panugrahan, yaitu mengucap rasa syukur. Dan terakhir muspa
puyung untuk matur suksma. Biasanya dilanjutkan untuk
meminta tirta dan bija.
Istadevata puja adalah mantram yang dibaca saat
persembahan, adapun mantram sebagian besar berkembang
dan dikutip dari purana, secara praktis biasanya termaktub
dalam Upadeca yang dikeluarkan PHDI atau buku tuntunan
muspa
Mantram dapat dibaca pada persembahyangan di pura
atau kahyangan maupun sebagian yang dikembangkan
sebagai mantra sehari-hari. Begitu juga dengan mantra yang
berkembang khusus untuk tradisi tertentu, seperti kelahiran
bayi, mendoakan meninggal dunia dan beberapa hal sejenis.
Berikutnya, peribadatan yang dikenal sebagai japa, berjapa
adalah mengucapkan mantra secara berulang-ulang yang
bertujuan untuk membersihkan rohani, menyucikan diri
pribadi.
Tradisi Keagamaan
Bagi Hindu di Lombok, seperti halnya Bali mengenal
beberapa tradisi keagamaan, meskipun secara kekhususan
beberapa tradisi tidak sama persis dengan di Bali. Sebagian
tradisi keagamaan yang melekat pada warga Hindu di
Lombok adalah sebagai berikut:
1. Melasti: membersihkan buana agung (makrokosmos) dan
buana alit (mikrokosmos)86 menjelang Nyepi. Kegiatan ini
biasanya dilakukan di pantai satu hari menjelang Nyepi.
Tirta dan bija disesuaikan pada kebutuhan puja itu sendiri, baik secara
pribadi ataupun kegiatan puja di sanggah atau di Pura.
2. Pawai ogoh ogoh: sebagai bagian dari cerminan bhutakala,
suatu gambaran kekuatan alam semesta yang tak terukur,
ogoh ogoh dapat dipahami sebagai suatu proses
keinsyafan manusia akan kekuatan maha dahsyat menuju
kebahagiaan dan kehancuran.
3. Perang Tupat (populer di Lombok): dirayakan tiap tahun
bersamaan dengan pujawali di Pura Lingsar Lombok
Barat, bersamaan dengan hari penting berdirinya pura
tersebut. Perang tupat adalah lempar lemparan ketupat di
area depan Pura, pesertanya dari berbagai etnis dan
pemeluk agama. Uniknya tupat bekas alat perang-
perangan tersebut diambil kemudian ditaburkan di sawah
masing-masing karena diyakini dapat menyuburkan tanah
garapan tersebut.
4. Perang api adalah kegiatan tahunan sebagai akhir dari
pawai ogoh ogoh. Di Lombok khususnya Kota Mataram
biasanya terpusat di simpang antara dua banjar, yaitu
Banjar Negarasakah dan Banjar Sweta dengan
menggunakan bobok yang dibuat dari daun kelapa yang
diikat kemudian dibakar
Istilah mikrokosmos dan makrokosmos dikutip dari sambutan oleh I
Gede Mandra pada saat kegiatan mlasti di Pantai Mlase Lombok Barat, tanggal 8
Maret 2016. Kegiatan mlasti besar dilakukan secara seremonial oleh warga Hindu
yang didukung oleh Kanwil Kemega NTB dan PHDI Provinsi NTB.
5. Rangkat: tradisi ini sejatinya adalah milik Suku Sasak,
kemudian tumbuh juga dalam tradisi Suku Bali yang ada
di Lombok karena filosofi lokal meminta anak gadis orang
tidaklah etis, sehingga membawa lari merupakan sikap
ksatria , Jadi inti dari rangkat
adalah membawa lari anak gadis orang untuk dinikahi
sebagai wujud keberanian dan kekastriaan.
6. Megae: tradisi undangan khusus, setidaknya di Lombok
lebih cenderung diartikan sebagai undangan untuk
mengikuti ritual ngaben. Meskipun dalam hal istilah bisa
juga sebagai undangan untuk ngaben (megae ala) maupun
megae ayu (yadnya selain ngaben).
7. Megibung: tradisi memandu makan oleh seorang tukang
tarek (pemandu yang ditunjuk pemilik hajat).
8. Sidikara: diartikan sebagai sebuah kebersamaan dalam
suatu upaya untuk mensukseskan suatu kegiatan, tidak
hanya ngaben90 tetapi banyak hal lain terutama yang
berhubungan dengan panca yadhnya.
9. Maturan: istilah lain untuk menyebut sembahyang yang
berkembang di Lombok bagi kalangan Suku Bali pemeluk
Hindu. Istilah maturan kerap dilekatkan pada kegiatan
sembahyang di Pura.
10. Turun daun: semacam kidung suci yang dimiliki Hindu di
Lombok, bahasanya dapat dikatakan bahasa Sasak.
Klasifikasi pada tembang Bali jika mau dimasukkan lebih
Pembicaraan tidak terstruktur dengan Imron Rosadi, seorang Suku Sasak
yang menyatakan bahwa tradisi kawin lari, dibawa lari tumbuh kembang di sukunya
tersebut. Begitu juga penjelasan informan bahwa kawin lari tidak dikenal di Bali.
tepat dikatakan sebagai lelayuan yang bisa dinyanyikan
secara bebas, sesuai dengan kreasi mereka yang
mengidungkannya . Tekot: sebuah tempat atau wadah yang terbuat dari daun
pisang diedarkan setelah ngaturang bhakti, berisi amherta,
wasapada atau kekuluh
Selain kegiatan tradisi yang melekat dan sering
dilakukan oleh pemeluk Hindu di Lombok di atas, banyak
lagi yang belum disebutkan, misalnya ngejod, ngesange,
mekemit, dlsb.
Sumber Ajaran
Sumber ajaran agama Hindu di Lombok adalah Weda
sebagai norma utama, kemudian Bhagawadgita, ada purana-
purana, aguron-guron. Tradisi menjadikan Bhagawadgita
sebagai bacaan di emudian hari berkembang sebagai bagian
dari sumber ajaran di kalangan waisnama. Setidaknya ada
forum penghayat pada golongan waisnama. Tokoh penting
dalam hal penghayatan Bagavat Gita adalah I Gusti Mangku
Surata.
Weda sebagai hukum dasar,92 patokan dasar yang
mengatur tentang pola tingkah laku umat Manawa Dharma
Sastra. Beberapa kelompok penghayat Bhagawadgita juga
cukup signifikan di Lombok, meskipun secara formal
kelompok tersebut adalah bagian dari pemeluk Hindu
Kelompok kajian atau penghayatan membaca Bhagawadgita tidak diberi
nama maupun tema, sesuai dengan penjelasan forum yang ada tidak diberi nama
khusus.
tradisional (arus besar). I Gusti Ngurah Mangku Sunartha,
seorang pemangku yang cenderung reformatif menginisiasi
kegiatan ini sehingga terciptalah suatu forum kajian. Beliau
memelopori berhasil menghidupkan Bhagawadgita sebagai
suatu jalan pencerahan terutama bagi anakmuda dan pencari
makna adalah mereka yang haus spiritualitas, aktifitasnya
adalah mengucapkan mantra dan merenungkan makna dari
ayat-ayat di dalam kitab tersebut, ada aspek dharma tula di
bagian akhir dari perkumpulan ini.
Posisi Purana, dan seloka cukup penting, terutama
yang telah dilakukan sejak maharesi yang membawa banyak
tulisan serta yang dikembangkan di Lombok itu sendiri,
Simbol-simbol
Hindu di Lombok, seperti halnya di Bali, juga memiliki
banyak symbol yang penuh makna. Beberapa di antaranya,
adalah:
1. Benang Tridatu: simbol Tri Murti. Simbol Tri Datu adalah
fenomena yang muncul sekitar tahun 80-an,94 ini adalah
bentuk penguatan diri dan pernyataan pemeluk Hindu di
hadapan peradaban nasional
2. Rambut mepusung pada Pedanda Siwa dan Waisnawa.
Mengenai rambut sulinggih, benar dalam konsepnya,
megelung, lingga mudra, mangga mudra. budha sipataking
maknanya adalah kalau lingga mudra, sudah mampu
mengikat indria beliau itu sehngga focus melakukan
sesuatu. Sipataking, bahwa Pedanda memotong indria
yang melekat.95 Kalau di China bekundul, amundi, di sini
tidak menghilangkan indria, dominan pada rajas
(keinginan), tanpa keinginan tidak dapat hidup seimbang,
Budha memangkas tidak melebihi kepentingan tubuh dan
spiritual.
3. Perangkat ritual: pakaian pedanda/pandita, banten, bajra.
Ada perbedaaan antara peralatan yang dipakai oleh
Pedanda Siwa dengan Pedanda Budha, yaitu pada alas,
kalau Siwa berbentuk gula, kalau Budha berkaki empat.
kemudian soal banten tidak ada perbedaan.
4. Bajra. Ada pemahaman tentang bajra rancu. Pada pedanda
Budha di kiri ada genta, bajra di kanan tanpa genta. Pada
pedanda Siwa, bajra genta jadi satu. Kalau seorang
pinandita di Budha, bahwa pemangku boleh pakai genta,
sebelumnya belum boleh, hanya dwijati. Tahun 70an
seorang pinandita boleh pakai bajra. Berbeda konsep
sebelum dan sesudah 70an. Dalam konsep itu yang boleh
menggunakan bajra dan genta, hanya kaum dwijati yang
sudah disucikan. Dulu memang ada pengekangan
pembelajaran Weda. Hanya brahmana yang boleh.
Sekarang, pemangku boleh memegang genta. Pada Budha,
bajra adalah penyimpanan bhuana agung, sedangkan di
kiri adalah bhuana alit, bisa menjadi penghancur dan
pelestari.
ritual Periodik
Dalam agama Hindu dikenal namanya Tri Sandhya,
peribadatan harian yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam
sehari. Sedangkan kegiatan yang bersifat mingguan adalah
kliwonan, yang dilakukan saat masuk weton kliwon dan kajang
kliwon setiap putaran kliwon ketiga. Ibadah yang bersifat
bulanan adalah purnama tilem, setidaknya sekali atau dua kali
dalam sebulan, yaitu saat bulan purnama dan bulan tidak
tampak (tilem). Sedangkan hari besar dilakukan setiap tahun
dikenal luas, yaitu Nyepi, Galungan dan Kuningan. Berikut
beberapa hal yang berkenaan dengan hari raya.
Kliwon datang setiap lima hari ketemu kliwon pada
hari pasaran/neptu/pancawara. Kliwon dianggap istimewa
dalam tubuh ini di hari kliwon untuk mengekang sifat
keraksasan (asura). Pancawara adalah hari suci berdasarkan
wuku (hari pasar dalam istilah Jawa). Berikut penjelasan I
Putu Agung Sanjaya:
“Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara
(Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) dengan Triwara
(Pasah, Beteng, Kajeng) diperingati sebagai hari
turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak
melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula
para bhuta muncul menilai manusia yang
melaksanakan dharma”.
Kajeng Kliwon adalah hari kelipatan ketiga dari
keliwonan. “Kajeng Keliwonan merupakan pelipatan, lebih
istimewa lagi”, tutur Ida Wayan Oka Santosa. Berikut
penjelasan tentang Kajeng Keliwonan:
“Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali
pada saat itu kita menghaturkan segehan Mancawarna.
Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini
merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada
Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah
mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita
telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari
alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar),
sedangkan sekalanya kita selalu berbuat tri kaya
parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi
dewa dengan harapan dunia seimbang”.
Ritual bulanan yang dilakukan oleh pemeluk Hindu di
Lombok adalah Purnama Tilem, setiap bulan dilakukan
purnama dan pada saat bulan tenggelam. Ritual saat bulan
mencapai puncak. Berikut kegiatan tahunan yang umum
dilakukan di Lombok:
1. Nyepi: merupakan peringatan tahun baru saka, setahun
sekali, tepatnya pada penanggal satu sasih kedase (bulan ke
sepuluh). Nyepi dari sepi yang artinya sunyi, sepi, hening.
Rangkaian Nyepi adalah:
a. ritual pengerupukan/pecaruan
Sehari sebelum nyepi, pada tilem sasih kesanga umat
Hindu melaksanalan tawur (pembersihan) kesange
untuk membersihkan alam dari pengaruh yang tidak
baik dari bhutakala. Untuk harmonis dengan Tuhan (Tri
Hita Karana). Pecaruan dilakukan pada siang hari/sore,
dilanjukan dengan penabur nasi tawur sambil
membawa obor ke segala penjuru pekarangan rumah
disertai dengan memukul kentongan/bunyi-bunyian.
Pawai ogoh ogoh bagian dari pengerupukan.
b. Pelaksanaan Nyepi adalah melaksanakan catur brata
penyepian:
1) Amati geni (tidak menyalakan api)
2) Amati karya (tidak bekerja)
3) Amati Lelanguan (tidak bepergian)
4) Amati lalanguan (tidak bersenang-senang)
c. Ngembak geni
d. Dharma santi/simakrama
2. Galungan dirayakan setiap enam bulan (210 hari), yaitu
hari Rabu kliwon dungulan. Memperingati ulang tahun
bumi atau pawedalan jagat, yakni menangnya dharma
melawan adharma.
Prosesinya:
a. Penyekeban: tiga hari sebelum Galungan, pada neptu
pahing hari Minggu. Bermakna bahwa umat Hindu
menyekeb/menahan hawa nafsu. Waspada menjaga
kesucian diri dari godaan bhutakala (sang kala tiga).
b. Penyajaan Galungan: jatuh pada hari Soma pon dungulan,
dua hari sebelum galungan (sang kala tiga melakukan
tugasnya).
c. Penampahan Galungan: sehari sebelum Galungan,
memotong hewan, ayam, itik, babi dsb. artinya secara
filosofi membunuh kebinatangan dari tubuh manusia.
Umat Hindu memasang penjor sebagai wujud rasa
terimakasih.
3. Kuningan: dirayakan sepuluh hari setelah Galungan, jatuh
pada hari sanescare kliwon kuningan. Identik dengan tas-
tasan terdiri dari biji ratus (seratus biji-bijian),
endongan/candung, segahan (nasi), cemperan (tebu).
Prosesi hari raya Kuningan adalah sembahyang di mrajan
(sanggah) lebih dari jam 12 siang karena pada saat itu
dewa-dewi dan roh suci sudah mulai kembali ke
kahyangan.
4. Siwalatri atau Siwaratri: dilaksanakan satu tahun sekali,
saat purwaning tilem kepitu (bulan mati ketujuh), jatuh pada
bulan januari, pada malam Siwalatri, paling gelap, yaitu
bulan ketujuh paling gelap karena bersamaan dewa Siwa
bersemadi (payogan dewa Siwa).
5. Saraswati: pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati yang jatuh
pada saniscara umanis waku gunung setiap enam bulan
sekali (210 hari). Kata Saraswati dalam Bahasa Sanskerta
berurat kata saras yang berarti mengalir, dan wati yang
berarti memiliki. Saraswati adalah dewinya kata-kata,
pelajaran dan bijaksana. Persembahyangan yang ditujukan
pada dewi Saraswati sebagai saktinya dewa Brahma.
mengucap syukur dengan tidak membaca pada saat itu
semua sumber ilmu pengetahuan dibantenin dengan
banten khusus, isinya terdiri dari buah, simbol cicak,
simbol telur kecil, daun beringin, tempatnya terbuat dari
ron bentuknya lingkaran. Saraswati adalah lambang ilmu
pengetahuan, bertangan empat, dilukiskan sebagai
mahadewi yang mahacantik terdiri dari:
a. Tangan pertama memegang genitri: ilmu pengetahuan
terus berputar tidak putus putus,
b. Tangan kedua memegang keropak, daun lontar:
lambang penyimpan ilmu pengetahuan
c. Tangan memegang wina: alat musik, ilmu
mengandung rasa estetika.
d. Tangan memegang teratai: sebagai lambang bahwa
ilmu itu indah. Pada saat itu turunnya ilmu
pengetahuan maka wajib kita membaca sloka.
e. Keesokan harinya dilakukan banyu pinaruh, penyucian
lahir bathin. tempatnya di segara atau di mata air.
6. Pagerwesi: jatuh pada budha kliwon sinta, setiap enam
bulan sekali (210), merupakan payogan Sang Hyang
Paramesti Guru, bersama panca dewata: dewa Iswara,
berstanakan di arah timur, dewa Brahma, berstanakan
arah selatan, dewa Mahadewa, beristanakan arah barat,
dewa Wisnu, berstanakan di arah utara, dewa Siwa di
tengah. Pada saat ini dilakukan tapa, brata, yoga dan
samadi untuk memeroleh ketenangan, dan ketentraman.
7. Pujawali: dilakukan perayaan yang berpusat di pura
(besar), seperti Suranadi dan Lingsar. Pujawali di Lingsar
dilaksanakan setiap tahun yang diramaikan dengan perang
tupat, setelah perang selesai, tupat-tupat diambil oleh
petani untuk menyuburkan tanahnya.98 Uniknya, Pura
Lingsar juga dipakai untuk peribadatan umat Islam
terutama penganut Wetu Telu, Sasak. Dua umat secara
bersama-sama merawat pura secara bertahun-tahun dari
sejak tahun 1714.
Mengembangkan Eksistensi Hindu Lombok
“Umat Hindu di Lombok secara jumlah tidak terlalu banyak,
jumlahnya kecil namun menentukan”, jelas Jero Mangku Karsa.
Posisi vital umat Hindu terasa saat Nyepi dan beberapa
kegiatan lainnya, pawai ogoh-ogoh dan melasti cukup menarik
perhatian berbagai pihak, tidak hanya warga Lombok
yang terdiri dari multiagama tetapi banyak wisatawan dari
berbagai negara. Posisi vital lainnya mungkin saja dimaksud
adalah posisi tawar pada politik dan pembangunan sosial di
Lombok, NTB secara luas.
Adapun menyangkut eksistensi internal, sebagai
jawaban atas munculnya kritik terhadap kehidupan
keagamaan Hindu (arus besar) yang lebih cenderung ramai
diaspek ritual namun dianggap kurang mendalam diurusan
spiritual, beberapa kegiatan baru muncul, antara lain:99
1. Mengembangkan tradisi tilem, berkumpul di puri
kemudian berjalan kaki ke pura. Informasi yang dapat
diperoleh kegiatan tilem ini berkembang di wilayah
Pagesangan. Di wilayah lain belum terlalu membudaya
menjadi kegiatan tahunan.
2. Dharmawacana mulai dikembangkan oleh pedanda,
pandita dan pinandita yang memiliki kemampuan untuk
ber-dharmawacana di acara mlaspas, peresmian pura baru,
acara tiga bulanan, persembahyangan besar, hari
Saraswati baik di pura, mrajan dan di rumah.
3. Dharmagita, mengembangkan tradisi kidung dan sloka
yang sebelumnya telah dimiliki namun mulai
direvitalisasi, yaitu:
a. Sekar alit atau sekar agung dipakai saat hari Siwalatri
(malam peleburan dosa), turunnya ilmu pengetahuan,
pujwali di pura tertentu (weda wakya)
b. Sloka dan palawakaya adalah bagian sekar agung.
4. Di pemerintahan, posisi penyuluh101 cukup strategis dan
diakomodasi sebagai bagian dari petugas pemerintahan.
Umumnya, penganut Trimurti dikategorikan sebagai
kelompok tradisional, di dalamnya ada beberapa sekte,
Siwa, Waisnama dan Brahma. Ada sebuah kelompok di dalam
tradisional yang cukup berkontribusi terhadap eksistensi
mereka di Lombok, yaitu Seruling Dewata. Kelompok ini
tidak menganggap dirinya sebagai sampradaya (kelompok
terpisah dari mainstream) namun memiliki aturan sendiri di
100 Wawancara dengan I Putu Agung Sanjaya, yang mengakui bahwa Ketua
Paruman Sulinggih kerap memberikan dharmawacana di acara-acara tertentu, tanggal
19 Maret 216. Agung kerap menjadi presenter di TV lokal mendampingi Pandita
memberikan dharmawacana.
Banyak pemangku dan pandita merupakan PNS di STAHN dan unit
pemerintahan lainnya. Hal ini cukup memberikan suatu warna hubungan antara
pemerintah dengan agamawan yang dirasa memberikan dampak yang positif dalam
hal membangun kehidupan keagamaan.
102 Meskipun beberapa pandita yang diwawancai menyebut istilah sekte,
sepertinya istilah aliran dan sekte tidak terlalu disepakati di kalangan Hindu.
dalamnya. Sesuatu yang menarik dari Seruling Dewata adalah
kemampuannya menembus batas agama, terutama dalam hal
mengenalkan silat Seruling Dewata dan Yoga. Teknik yoga
yang dikembangkan oleh Seruling Dewata dinamakan sebagai
Yoga Watukaru, sesuai nama asalnya di Bali. Seruling
Dewata meyakini banyak tradisi dan kekayaan agama Hindu
yang mereka pertahankan karena di India sendiri sudah tidak
ditemukan, terutama menyangkut Yoga (Watukaru) itu
sendiri.
Organisasi Keagamaan
Hampir semua organisasi Hindu disatukan di PHDI,
sedangkan dari kelompok tradisional beberapa organisasi
yang bersifat paguyuban ada juga organisasi formal, banyak
organisasi yang tergabung dalam PHDI. Secara umum PHDI
terbagi dalam Paruman Pandita yang mengurus persoalan
keagaman dan Paruman Walaka adalah struktur yang concern
pada urusan di luar peribadatan, misalnya politik,
kebudayaan dan lain sebagainya.
Paruman Sulinggih
merupakan organisasi mandiri untuk mengoordinasikan
seluruh sulinggih di NTB, sedangkan Paruman Pandita untuk
memenuhi struktur pada PHDI105.
Adapun organisasi yang termasuk dalam lingkup
PHDI, antara lain:
1. Perhimpunan Pemuda Hindu negarakita (Peradah)
2. Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma negarakita (KMHDI)
3. Pinandita Sanggraha Nusantara
4. Mahagotra Pasek Sanak Sakti Resi
5. Wanita Hindhu Dharma negarakita (WHDI)
6. Sampradaya-sampradaya:
a. Asram Gaura Chandra (Krisna)
b. Jalananda
c. Sai Baba
d. Brahma Charini
e. Seruling Dewata106
Organisasi dalam lingkup warga Hindu yang
bernuansa keagamaan selain struktur dalam PHDI, memiliki
keunikan dan perlu diberi penjelasan tersendiri, antara lain:
1. Mahagotra Pasek Sanak Sakti Resi
Sejarah kelahiran organisasi Warga Pasek yang sekarang
disebut Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi atau MGPSSR
dapat ditelusuri sampai ke awal tahun 50-an. Setelah
melalui beberapa tahap persiapan dan rapat-rapat,
akhirnya sejumlah tokoh Warga Pasek dari beberapa dadia
Seruling Dewata merupakan bagian dari Hindu (tradisional), lahir dan
tumbuh berkembang dari Watukaru, Bali. Seruling Dewata adalah sebuah perguruan
silat yang berpusat di Bali, namun memiliki suatu tata aturan dan tata nilai sendiri di
dalamnya. Organisasi ini perlu dimasukkan sebagai sebuah fenomena untuk
memertahankan tradisi yang kuat di Hindu (Bali) yang di Lombok.
dan dadia agung seluruh Bali mengadakan pertemuan di
gedung bioskop Sampurna, di Klungkung pada hari
Kamis, 17 April 1952. Pertemuan tersebut menghasilkan
deklarasi pembentukan organisasi Warga Pasek yang
disebut dengan Ikatan Warga Pasek. Ikatan Warga Pasek
pada waktu pembentukannya diketuai oleh I Made Sirya,
tokoh dari dadia agung Pasek Gelgel di Desa Aan,
Klungkung. Selain ketua organisasi, pada setiap
kabupaten dibentuk juga koordinator untuk
mengkoordinasikan Warga Pasek di kabupaten masing-
masing.
2. Paruman Pemangku, berupa Pinadita Sanggraha
Nusantara (PSN). Merupakan organisasi antarpemangku
secara nasional, keterlibatan para pemangku dari Lombok
dalam pendirian PSN cukup signifikan karena sebelumnya
sudah berdiri Himpunan Pinandita Pemangku yang
didirikan pada tahun 1998.108 Namun karena berkaitan
dengan jaringan dan legalitas sebagai organisasi
warga termasuk hubungannya dengan pengakuan di
PHDI, akhirnya tahun 2010 berdiri PSN Nusa Tenggara
Barat sampai dengan Koordinator Daerah di delapan
Kabupaten/Kota. Stuktur organisasi pada PSN dapat
dilihat pada bagan di bawah.
Wawancaara dengan Pandita Mpu
Wawancara dengan Jero Mangku Karsa, tanggal 12 Maret 2016
Bagan 1:
Struktur Organisasi PSN pada tingkatan Korwil
3. Banjar
Struktur Banjar secara umum hanya ada dua
organisasi, yaitu :
a. Ketua (Kelian)
b. Wakil Ketua (Wakil Kelian)
c. Sekretaris (penyarikan)
d. Bendahara/seringkali dirangkap oleh Penyarikan
e. Anggota
f. Organisasi berbasiskan wilayah/lingkungan.
g. Sebelum swatantra, hanya ada dua kepala desa,
perbekel (mayoritas Hindu) dan pemusungan (di
mana umat muslim kebanyakan)
Beradasarkan uraian di atas, konflik sebagai fungsi
yang bersifat manifest tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan
berbagai nilai yang masih terjaga. Adapun ketegangan
antarkelompok dan “aliran”, ataupun sekte tidak pernah
mengarah serius. Keberadaan sampradaya dirasa baik,
meskipun dengan berbagai syarat sosial tidak mengganggu
tatanan yang sudah ada.109
Nilai yang mengikat secara internal:110
1. Sidikara: kesepakatan untuk bersama-sama mensukseskan
kepentingan kelompok (sidi = sebenarnya, kara = tangan)
dalam hal pelaksanakan kegiatan keagamaan dari Pance
Yadnya sampai keagamaan lainnya.
2. Mwarang: pertemuan antara dua keluarga diakibatkan oleh
perkawinan untuk membina kerukunan anak-anak yang
terjalin dalam perkawinan dan keluarga besar.
Nilai yang mengikat dengan ekternal:111
1. Belangar: saling kunjungi ketika ada yang meninggal atau
musibah
2. Simakrama: menjalin keakraban saat hari raya maupun
pesta
Wawancara dengan Ida Pedanda Kerta Arse, tanggal 11 Maret 2016.
Beliau mengungkapkan kalau ajaran Hindu itu flesksible tidak begitu mengikat
pemeluknya sedemikian kaku pada satu ajaran atau nilai, hanya pranata yang sudah
ada tidak boleh asal ditabrak.
3. Ngejot: memberi dan menerima dalam hal sesuatu yang
lebih sebuah acara sebagai wujud rasa syukur dan saling
memiliki.
4. Hubungan perkawinan antarsuku, antaragama. hubungan
akan menjadi baik, bagaimanapun jelek awalnya. Konversi
adalah keniscayaan.
Dengan adanya Parisada Hindu Dharma negarakita,
terutama wilayah NTB, ini menjadi jembatan komunikasi
yang baik dengan pemerintah, begitu juga dengan adanya
Kabid Bimas Hindu di Kanwil Kementerian Agama yang
mengayomi semua kelompok dalam agama Hindu
menjadikan.
Hubungan antara pemeluk Hindu dan pemerintah
juga sedemikian baik dan aktif. Begitu juga hubungan dengan
pemerintah daerah, Provinsi dan Kota/Kabupaten terjalin baik
yang dapat dilihat dari kehadiran para pejabat dalam
kegiatan-kegiatan agama Hindu dan dapat pula
diselenggarakan di kantor pemerintahan/pendopo
gubernuran.
Keberadaan Hindu di Lombok yang diejawantahkan
dalam tiga bentuk, yaitu Tatwa, Susila dan ritual
memberikan dampak positif terhadap internal kelompok
dalam agama Hindu. Bagi individu dapat menjalani hidup
yang nyaman, lahir dan bathin. Begitu juga hubungannya
antarpemeluk Hindu, meskipun berbeda jalan, semua proses
beragama dapat memancarkan dharma. Kehidupan
tradisionalitas dalam Hindu merupakan suatu cara yang
efektif memertahankan tradisi, dapat mengembangkan
mentalitas dan jatidiri. ritual hendaknya tidak selalu dapat
dipahami sebagai pemborosan karena setiap hal yang
diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan kembali dengan
setimpal dan berguna baik untuk mencapai kehidupan
sempurna (Moksa).
ritual tidak hanya memberikan dampak terhadap
diri pemeluk namun juga menjadi media perputaran ekonomi
karena aktivitas jual beli upakara (peralatan ritual) diakses
oleh semua pemeluk agama, dalam hal ini muslim juga
terlibat. Tatwa, dapat memberikan dampak kepada individu
untuk meningkatkan keyakinan Tuhan, tujuan datang ke
dunia, dlsb. Dampak terhadap ekternal adalah mawas diri,
dan mengenali siapa dirinya. Sedangkan Susila terlihat dapat
memberikan perubahan bagi umat Hindu sendiri, terutama
karakternya. Selaras sengan revolusi mental, memberikan
mentalitas perubahan dan kenyamanan bagi keluarga dan
warga.
Keberadaan kaum tradisionalis Hindu di Lombok
cukup memberikan warna tidak hanya pada kehidupan
keagamaan namun berdampak pada aspek sosial lainnya.
Posisi vitalnya dalam kehidupan sosial dan keagamaan di
NTB, mencerminkan identitas kultural. Keajegan ritual
keagamaan yang tampak dalam pelaksanaan ritual, baik
yang kecil maupun besar menjadikan Hindu di Lombok
cukup unik sehingga tercipta kekhasan sendiri. Aktivitas
Keesaan Tuhan Yang Maha Esa yang termaktub dalam Bagavadgita yang
dijelaskan oleh Gusti Mangku Sunartha yang hidup dalam seluruh aktvitas manusia
baik dalam terjaga maupun tidak, baik itu duduk, berjalan dan tidur, untuk itu
selalulah mengingatNya.
keagamaan tidak hanya memberikan hal positif bagi
pemeluknya namun memberikan efek yang baik yaitu
meningkatkan kesejahteraan umum.
Sedangkan hubungannya dengan kelompok
(sampradaya) dinilai antarmereka cukup baik, tidak
menimbulkan friksi yang serius, bahkan beberapa model
diadopsi ke dalam kehidupan tradisional Hindu sendiri, yaitu
tumbuhnya forum penghayat spiritualitas dengan membaca
Bhagawadgita di rumah tokoh agama. Dengan kata lain, ritual
sosial (ritual) jalan terus, tetapi penghayatan spiritual jalan
terus. Hal tersebut cukup memberikan nuansa pencerahan
tersendiri khususnya bagi kaum muda yang haus akan
siraman rohani dan kebutuhan bathin, sebagai bentuk
perimbangan terhadap intelektualitas yang semakin
meningkat.
Dengan tidak tampaknya potensi “konflik” antara
sampradaya dan kaum tradisionalis, meskipun potensi itu
relatif, maka dampaknya dalam kehidupan keagamaan di
Lombok memberikan prospek yang dinamis. Ke depan, dua
arus tersebut dapat saling melengkapi dan memerkaya agama
Hindu itu sendiri, meskipun syarat untuk tidak ditabraknya
pranata (tradisi) perlu untuk didiskusikan secara terus
menerus, karena indikasi adanya sifat reformatif di tubuh
sampradaya cukup terasa. Misalnya adanya aktivitas
sampradaya tertentu di pantai Senggigi saat pelaksanaan Nyepi
dapat menjadi titik krusial.
Secara umum penelitian ini dapat menjawab tujuan
penelitian, yaitu diperolehnya informasi dan data tentang
240
perkembangan tradisional Hindu (arus besar) di Lombok
NTB; kemudian dapat dipahami tentang dampak keberadaan
kelompok tradisional dalam agama Hindu terhadap kelompok
spiritual di Lombok NTB; serta diperolehnya pemahaman
tentang hubungan antarkelompok dalam Agama Hindu pada
kehidupan keagamaan di Lombok NTB. Diharapkan
penelitian ini dapat menjadi informasi dan data awal
perumusan kebijakan tentang kelompok di agama Hindu oleh
Kementerian Agama.
Berdasarkan uraian dan simpulan di atas, rekomendasi
yang dapat diajukan dalam penelitian adalah:
Tetap diperlukan suatu dialog yang serius di tingkat
cendikiawan tentang keberlangsungan tradisonal Hindu dan
perkembangan sampradaya untuk mengurai kesalahpahaman
satu sama lain. Cendikiawan dapat mengurai pelik hubungan
tradisionalis dengan pihak yang mungkin akan bergerak
secara reformatif.
Kementerian Agama dapat merumuskan suatu
kebijakan strategis menyangkut keberadaan tradisionalis
Hindu sebagai suatu potensi pengembangan spiritualitas,
begitu juga sebaliknya sengan sampradaya menjadi penunjang
terciptanya harmonisasi.
Memahami Hindu Kaharingan
Sebagaimana tradisi lama dalam Hindu dan juga
menurut Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental
Hinduistik yang mendasari banyaknya perbedaan bentuk
bagaimana Hindu itu dilaksanakan. Beberapa aliran begitu
meyakini Weda, tapi tidak bagi yang lain. Perbedaan ini lalu
diikat oleh kesamaan yang dipuja. Misalnya, sekte
Linggargayata tidak mengikuti Weda, namun percaya pada
Siwa. Hal yang sama juga dapat dibaca dalam kepercayaan
“agama-agama lokal” di negarakita. Salah satu contoh, orang
Marapu menyebut Tuhannya dengan Amallahu Amarawi Begitu juga dengan Kaharingan yang
memiliki kitab Panaturan dan menyebut Tuhannya dengan
Ranying Hatalla Langit atau Mahatara. Sedangkan suku
Huaulu menyebut Lahalata; Naulu menyebutnya Natanaka dan
sebagainya
Secara teologis semua itu sama dengan Tuhan dalam
Hinduisme113. Semua aliran memiliki mitos berbeda, sesuai
budaya dan lingkungan. Meski banyak aliran mandiri, tetapi
ada kadar interaksi yang saling acu antara tokoh agama dan
113Nama-nama Tuhan memang bisa berbeda-beda dalam setiap komunitas
suku. Di Jawa misalnya, menyebut dengan Pengeran atau Gusti Allah. Seingat
penulis, guru agama di Langgar dan Musala lebih banyak menyebut Pengeran dari
pada Allah.
tradisi, sehingga semua tetap mengindikasikan adanya rasa
jati diri dan rasa koherensi dalam konteks yang sama.
Pada era reformasi muncul kelompok spiritual yang
kegiatan utamanya adalah membaca kitab suci, dan agak
mengabaikan ritual, misalnya hanya menjalankan tradisi
agni hotra dan bhajan. Munculnya kelompok spiritual awalnya
menimbulkan reaksi negatif kelompok tradisional yang
menekankan pelaksanaan ritual dari pada membaca kitab
suci, meskipun kenyataanya juga membaca kitab suci,
menghayati dan mengamalkanya Weda atau Panaturan
(Kaharingan). Saat ini hubungan dua kelompok ini sudah
mencair. Jadi sebenarnya kita agak kesulitan membedakan
Hindu spiritual dan Hindu tradisonal, karena dalam Hindu
spiritual ada ritual dan dalam Hindu tradisional ada
spiritualnya. Satu-satunya argumen paling mudah dan logis
dari makna Hindu tradisional adalah Hindu yang bersifat
lokal (agama suku), seperti Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu
Hualulu, Hindu Naulu, Hindu Tolotang, dsb. Oleh karena itu
yang disebut Hindu tradisional di Kota Palangka Raya adalah
Hindu Kaharingan.
Masalah yang digali dalam penelitian ini adalah
eksistesi Hindu Kaharingan di Kota Palangka Raya yang
ternyata belum banyak diketahui sebagian besar pegawai di
lingkungan Bimas Hindu Kementerian Agama. Begitu juga
bagaimana dampaknya terhadap kehidupan keagamaan. Atas
dasar masalah itu, maka implikasinya adalah harus
menjelaskan sejarah dan perkembangan; jumlah penganut,
model struktur organisasi, tokoh, simbol yang melekat, tradisi,
media mempertahankan diri, dan relasinya dengan kelompok
Hindu lainnya.
Kota Palangka Raya dan Kehidupan Keagamaannya
Palangka Raya adalah ibukota Provinsi Kalimantan
Tengah. Kota ini dibangun mulai tahun 1957 (UU Darurat No.
10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tk I
Kalimantan Tengah) dari hutan belantara, melalui Desa
Pahandut (bapak si Handut) di tepian Sungai Kahayan. Luas
wilayahnya 2.400 km² dan kota terluas di negarakita. Sebagian
berupa hutan, konservasi alam dan Hutan Lindung (seperti di
Tangkiling). Berdasarkan data BPS tahun 2013, kota Palangka
Raya berpenduduk sekitar 330.962 jiwa dengan kepadatan
penduduk 9.067 jiwa/km².
Kota Palangka Raya terbagi menjadi 5 Kecamatan,
yaitu Kecamatan Pahandut (6 kelurahan), Jekan Raya (4
kerlurahan), Sabangau (6 kelurahan), Bukit Batu (7 kelurahan)
dan Kecamatan Rakumpit (7 kelurahan). Penduduk terdiri
banyak suku, yaitu suku Dayak (46,62%), Jawa (21,67%) dan
Banjar (21,03%), etnis Melayu (3,96%), Madura (1,93%), Sunda
(1,29%), Bugis (0,77%), Batak (0,56%), Flores (0,38%), Bali
(0,33%) dan suku-suku lainnya.
warga Kota Palangka Raya cukup relegius.
Terbukti terdapat banyak sekolah-sekolah agama, rumah
ibadah dan tokoh agama seperti ulama, mubaligh, pendeta,
penatua, pastur, pedande, basir dan sebagainya. Jika tidak
relegius, tentu tidak ada sekolah agama, rumah ibadah dan
tokoh agama. Penduduk berdasarkan agamanya, adalah Islam
234.700 jiwa (74%); Kristen 81.766 jiwa (17%); Katolik 8.793
jiwa (3%); Hindu 47.942 jiwa (9,7) ; Buddha 2.218 jiwa (0,6);
dan Khonghuchu 572 jiwa (Kalimantan Tengah Dalam Angka,
2013).
Secara kuantitas, penganut Hindu Kaharingan ini
sudah stagnan atau semakin menurun, karena tidak ada misi
Kaharinganisasi. Sementara rumah ibadah yang dimiliki umat
Islam 143 buah, Kristen 127 buah, Katolik 12 buah, Hindu 6
buah, dan Buddha 6 buah. Umat Khonghuchu belum punya
rumah ibadah.
warga Dayak Pemangku Agama Hindu Kaharingan
warga pemerhati kehidupan sosial keagamaan
selama ini hanya tahu bahwa Kaharingan merupakan bagian
dari Hinduisme, tetapi tidak banyak orang tahu tentang
bagaimana Hindu Kaharingan sebagai agama hanya dianut
warga Dayak. Suku Dayak yang sudah muslim, masih
melaksanakan tradisi leluhur yang berakar pada nilai Hindu
Kaharingan. Akibat banyak subkultur suku, tradisi yang
filosofid dan maknanya sama tetapi istilah sering berbeda,
terutama nama tradisi. Nama tradisi yang secara kata, makna
dan filosofinya sama-sama dipahami kalangan suku Dayak
adalah ritual Tiwah. Kata Kaharingan sudah akrab dalam
kehidupan suku Dayak sehari-hari meskipun sudah beragama
lainnya. Hindu Kaharingan adalah kepercayaan suku Dayak,
penganut pasti suku Dayak, tetapi tidak semua Dayak itu
Hindu Kaharingan, bahkan mayoritas muslim.
Dalam penelitian ini sangat sulit menemukan lektur
keagamaan Hindu Kaharingan, seperti tafsir berjilid-jilid,
tuntunan beragama, beragama Hindu secara utuh dan
sebagainya. Hal ini berbeda dengan umat agama lain yang
dapat memperolehnya di toko-toko buku, sehingga dapat
dipelajari kapan saja dan di mana saja. Ketika anak-anak
dewasa ini telah semakin kritis, pasti menghendaki memiliki
argumen yang kuat tentang berbagai hal dari agama yang
dianutnya, agar mereka dapat membentengi dirinya.
Dibukukannya Kitab Suci Panaturan (ajaran leluhur)
dan Telatah Basarah (tatacara beribadat) sepertinya tidak
banyak membantu umat Hindu Kaharingan untuk bertahan.
Untuk mempertahankan agama dan tradisinya, faktanya
sangat tergantung Basir dan Mantir. Kurangnya lektur
keagamaan dan majelis pendidikan agama Kaharingan
menjadi tantangan besar bagi para agamawan Hindu
Kaharingan. Jika tidak segera disikapi secara benar, maka
pelan tetapi pasti, agama ini akan semakin ditinggalkan.
Seperti yang sudah terjadi, di mana suku Dayak di
Kalimantan Tengah saat ini mayoritas muslim, dan sebagian
juga Kristen atau Katolik. Hal ini juga terlihat di Palangka
Raya, Suku Dayak sebagai kelompok terbesar ternyata
mayoritas beragama Islam. Kondisi ini sama saja dengan di
wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara yang
mayoritas beragama Kristen atau Katolik.
Suku Dayak mulanya hidup di seluruh hilir sampai ke
hulu sungai di seluruh Kalimantan dan distereotip sebagai
suku terbelakang. Stereotip itu salah besar, sebab jauh
sebelum negarakita merdeka dan muncul berbagai gerakan
pemuda negarakita awal abad 20, mereka sudah memiliki visi
kebangsaan untuk mengatur seluruh warga di
Kalimantan, apa pun agamanya. Suku Dayak itu berhimpun
pada tahun 1894 dalam jumlah yang cukup besar mewakili
406 suku Dayak (dan subnya) dalam pertemuan bersejarah
“Tumbang Anoi”, Damang Batu, Gunung Mas. Dalam
pertemuan itu termasuk 16 undangan dari Kesultanan
Banjarmasin, Pontianak, Sambas, dan kesultanan Kutai
Kartanegara serta suku Dayak di Serawak, Sabah dan Brunai.
Pertemuan itu dipersiapkan selama 4 bulan untuk
mengumpulkan akomodasi para peserta yang jumlah ribuan.
Pertemuan berlangsung selama 60 hari. Sambil menunggu
utusan terakhir mereka membahas semua hal berkaitan masa
depan suku Dayak paska perang Banjar. Salah satu
kesepakatan terpenting adalah 96 pasal berkaitan dengan adat
yang diberlakukan dan dijaga secara bersama-sama oleh
seluruh suku Dayak apa pun agamanya. Setelah semua
berkumpul membuat pernyataan bersama hasil pertemuan.
Kehebatan suku Dayak yang dapat menghasilkan
kesepakatan 96 pasal nyata, karena suku lainya di Nusantara
belum ada gerakan berhimpun secara besar-besaran seperti
dilakukan suku Dayak ini. Perjuangan untuk berhimpun itu
sendiri sudah merupakan semangat kebangsaan luar biasa.
Apalagi masa ini belum ada transportasi darat dan alat
komunikasi modern seperti sekarang. Bagaimana cara
menghubungi kepala suku sebanyak 406 orang dan
bagaimana mereka harus datang di Tumbang Anoi.
Pulau Kalimantan masa itu benar-benar masih hutan
belantara. Wilayahnya pun begitu luas (5,5 kali pulau Jawa).
Ada yang tetap mengganjal dilihat dari sudut logika mana
pun, bahwa mereka saling berhubungan untuk berkumpul
tanpa alat komunikasi seperti dewasa ini. Munginkah mereka
menggunakan cara supranatural, belum ada bukti tertulis.
Memang, dalam legenda maupun cerita informan, para
pemimpin suku dikenal dapat memanggil sauadara atau anak
buahnya tanpa harus mendatangi. Mereka cukup memanggil
secara batin, maka yang dipanggil akan datang dengan
sendirinya. Dalam kasus perang Sampit misalnya, diceritakan
tentang ahli supranatural memanggil roh-roh dan orang-orang
pedalaman untuk membantu dalam perang Sampit.
Untuk datang ke Tumbang Anoi, mereka harus
mengayuh perahu di sugai-sungai lebar, jalan kaki di darat
yang masih hutan belantara, mengayuh perahu dan
seterusnya sepanjang ribuan kilometer, barulah sampai di
Tumbang Anoi. Jumlah utusan sekitar 1480-an orang. Tuang
rumah (Tumbang Anoi) yang ditugaskan selama 4 bulan
mengumpulkan akomodasi menyerahkan 100 ekor kerbau dan
sapi untuk akomodasi peserta selama 2 bulan. Tetapi
warga Tumbang Anoi dan peserta bergotong-royong,
ada juga yang bawa bekal seperti beras, ayam, ikan atau lainya
dan pertemuanpun berhasil sukses. Kesuksesan pertemuan
Tumbang Anoi ini tidak terlepas dari filosofi rumah Betang
yang mengajarkan kesetaraan, gotong-royong, demokratis,
memahami nasib dan didorong oleh cita-cita yang sama. Hasil
pertemuan bersejarah itu menjadi pegangan para Tamanggung,
Demang, Dambung dan Singa atau pemangku adat, apapun
agamanya. Paska pertemuan Tumbang Anoi, kehidupan
warga Dayak menjadi sangat baik dan damai, tidak ada
perang antar suku dan sub suku lagi.
Sebagian warga Dayak jika sudah memeluk
Islam, suka tidak menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Sikap ini secara tidak langsung melahirkan munculnya
stereotif negatif. Gubernur saat ini yang belum dilantik,
Sugiyanto adalah suku Dayak. Namanya Jawa, padahal ia
suku Dayak beragama Islam, pengusaha kaya Pangkalanbun
dan eks anggota DPR RI. Menurut pandangan suku Dayak
dahulu, suku Melayu dan Islam adalah simbol kemodernan,
dan Dayak dengan Kaharingan distereotifkan sebagai simbol
ketertinggalan dan kekolotan.116 Komunitas suku Dayak saat
ini sangat terpelajar, sehingga menempati semua posisi
strategis di semua lini birokrasi Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten Kota.
Umat Hindu Kaharingan Berjuang Memperoleh Jatidiri
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno)
dari akar kata “Haring” yang berarti ada dan tumbuh atau
hidup. Dalam istilah danum, Kaharingan diartikan air
kehidupan dan dilambangkan dengan Batang Garing atau
pohon kehidupan. Istilah Kaharingan diperkenalkan tahun
1945, menjelang kemerdekaan oleh Dai Nippon atas saran
tokoh adat Dayak Ngaju, Damang Y. Salilah dan W. A. Samat
saat Tjlik Riwut menjadi Residen Sampit berkedudukan di
Banjarmasin. Agama Kaharingan sudah menjadi agama bagi
suku Dayak, seperti agama-agama lain meskipun belum ada
pembukuan ayat-ayat dari Ranying Hatala Langit saat itu.
Umat Hindu Kaharingan sekuat tenaga
memperjuangkan jatidirnya agar diakui seperti agama lain
sejak tahun 1950. Wadahnya adalah organisasi Serikat
Kaharingan Dayak negarakita (SKDI) yang didirikan 20 Juli
1950 di Palangka Raya. Perjuangan pengakuan ini tidak sukses
seperti umat Hindu Bali yang secara bersamaan juga
memperjuangkan jatidirinya. Hindu Bali diuntungkan
banyaknya kabupaten yang sudah berjalan efektif saat itu.
Ketika pemerintah belum menyepakati, umat Hindu Bali
sudah membentuk semacam dinas-dinas agama Hindu di
seluruh kabupaten di Bali. Karena itu tidak diakui pun, Hindu
Bali sudah memiliki struktur birokrasi di Pemerintah Daerah
Kabupaten, yang diketuai seorang Padanda.
Sementara umat Kaharingan menghadapi kendala luar
biasa. Kota Palangka Raya baru mulai dibangun dari hutan
belantara, belum ada jalur transportasi kecuali melalui sungai.
Kitab Suci Panaturan belum dibukukan, dan buku-buku
panduan beribadah juga belum ada, apalagi buku-buku lektur
keagamaan Kaharingan sama sekali belum ada. Budaya yang
ada adalah budaya tutur bukan budaya tulis, seperti di agama
lain. Karena itu perjuanganya menjadi terhambat akibat belum
siapnya berbagai perangkat sebagai agama, sibuknya
penataan struktur pemerintahan, membangun tata ruang kota
dan kondisi infra strutur yang belum memadai. Akhirnya
Hindu Bali diakui sebagai agama, membentuk PHDI, dan
menempatkan tokoh di kantor Kementerian Agama pusat,
sementara umat Kaharingan gagal karena Pemerintah Pusat
tetap menolak mengakui Kaharingan sebagai agama. Hal ini
mendorong para tokohnya untuk mencari kemungkinan lain.
Atas dasar itu, maka Majelis Besar Alim Ulama
Kaharingan negarakita (MB-AUKI) yang terbentuk setelah
SKDI, mengajukan integrasi kepada PHDI Pusat. Pengajuan
tertulis dalam surat No: 5 /KU/MB-AUKI/1980, 1 Januari 1980
tentang Penggabungan/ Integrasi Majelis Besar Agama Hindu
Kaharingan (MB-AHK) dengan PHDI yang ditanda tangani
Lewis KDR, BBA. Lewis KDR adalah Ketua umum dan
pemegang mandat penuh dari MB-AUKI dengan Nomor.:
131/MB/-AUKI/II/1979, 29 Desember 1979 (PHDI Kalimantan
Tengah, 17 Juni 2006).
Sebelum integrasi, dilakukan dialog antara pengurus
MB-AHK dengan para tokoh Hindu di Bali. Dialognya
mengenai teologi, ritual, tradisi dan sebagainya dengan
intelektual Hindu Bali mirip ujian fit and proper test, dipimpin
doktor Hindu lulusan India, Ida Bagus Mantra. Selesai dialog,
dinyatakan Kaharingan adalah Hindu kuno yang telah dianut
suku Dayak sejak jaman Weda. Karena keterputusan
intelektual, sehingga ajarannya tersosialisasi dalam bentuk
tuturan. Paska dialog, utusan MB-AUKI semakin mantab
berintegrasi. Padanda Bali pun didatangkan untuk lebih
meyakinkan. Padanda melakukan pertapaan di Bukit Batu
(Tengkiling) dan kemudian menyampaikan Kaharingan
adalah Hindu pertama di Nusantara.
Keberadaan (MB-AUKI) yang berubah menjadi MB-
AHK dipertegas SK Dirjen Bimas Hindu dan Buddha 19 April
1980, tentang Pengukuhan MB-AHK sebagai badan
keagamaan Hindu. Posisinya dipertegas bahwa Pembimas
Kanwil Kementerian Agama hanya memberikan bimbingan
dan pelayanan kepada umat Hindu Kaharingan. Posisi MB-
AHK bersama Parisada Hindu Dharma negarakita (PHDI)
menjadi mitra utama Pembimas Kanwil Kementerian Agama
dalam melaksanakan bimbingan warga Hindu
Kaharingan. Pembinaanya efektif dilakukan oleh mitra kerja
yang memiliki legalitas dari pemerintah, yaitu PHDI Pusat
hingga Daerah dan MB-AHK Pusat juga sampai ke Daerah.
Karena itu dalam struktur organisasi MB-AHK ada unsur
Pusat (Palangka Raya), Kota dan Kabupaten (MD-AHK),
Kecamatan/ resort (MR-AHK) dan Kelompok (tingkat Desa
atau MK-AHK) (Surat Edaran Kepala Kanwil Prov.
Kalimantan Tengah).
Akhirnya pada tanggal 20 April 1980 dilakukan prosesi
“Sumpah Hambai” yang dihadiri ribuan orang dari berbagai
wilayah di Kalimantan. Dalam prosesi integrasi itu, PHDI
diwakili 4 orang, 1orang dari Dirjen Bimas Hindu dan
Buddha, dan 6 orang dari Hindu Kaharigan (anggota MB-
AUKI). Para utusan membubuhkan tanda tangan dan cap
surat pernyataannya dengan darahnya masing-masing. Proses
integrasi dilakukan di gedung pertemuan sederhana miliki
MB-AHK Pusat dan ditandatangani oleh 100 orang yang
disaksikan ribuan orang. Para utusan sepakat saling
mengangkat sumpah sebagai saudara kandung, seiman dan
seagama. Jika ada kelompok ingin melepaskan Kaharingan
menjadi agama sendiri, perlu mengingat kembali sumpah
Hambai yang bersejarah itu. Mereka yakin siapa berkhianat
akan menerima karma buruk. Beberapa informan mengatakan
bahwa mereka yang mencoba-coba keluar (berkhianat) dari
sumpah Hambai telah mendapat karma buruknya dan
hidupnya menjadi sengsara.
Satu bulan paska “Sumpah Hambai”, berdatanganlah
orang-orang Dayak luar Palangka Raya mempertanyakan,
mengapa Kaharingan masuk PHDI, sementara nama
Tuhannya lain, kitab sucinya beda, ritual dan tradisinya pun
beda. Dijelaskanlah, bahwa tidak mungkin bergabung dengan
Islam atau lainnya. Sementara umat tidak dapat menunggu
lebih lama lagi, sebab berbagai administrasi memerlukan KTP,
dan dalam KTP ada kolom agamanya. Satu-satunya jalan
adalah berintegrasi dengan PHDI. Semua harus paham dalam
Hindu tidak mengenal satu jalan keselamatan, satu kitab suci,
dan semua asesoris keagamaan harus disesuaikan dengan
alam sekitar di mana seseorang beragama Hindu. Guna
mengefektifkan pembinaan keagamaan, didirikanlah
Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH). Pendirian PGA
didukung penuh PHDI. Guru agama Hindu di Kalimantan
Tengah adalah alumni PGA ini. Umur PGA ternyata tidak
lama, ketika pemerintah menghapuskan seluruh PGA, SPG
dan SGO di akhir tahun 1990-an. Kemudian didirikanlah
Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan Tampung Penyang
(STAHK-TP) dengan program D1, D2 dan D3. Program
diploma ini juga tidak lama, dan dibuatlah program S1
Agama. Pada saat ini STAHN-TP sudah membuka program S2
dan meluluskan beberapa angkatan. Dari para alumni inilah,
umat Hindu Kaharingan akan mendapat pembinaan, dan
mudah-mudhan lahir Basir-Basir baru yang menjadi banteng
agama Hindu Kaharingan. Hal ini akan menjadi harapan siapa
saja yang tulus dalam beragama agar semua umat beragama,
termasuk umat Hindu Kaharingan dapat tumbuh dengan
sehat tanpa diskriminasi.
Paska integrasi ternyata masih ada segelintir orang
yang tetap ingin Kaharingan menjadi agama tersendiri, karena
merasa bahwa perjuang sejak tahun 1950 melalui SKDI itu
belum selesai, dan merasa tidak cocok dengan integrasi ke
PHDI. Munculah organisasi atas nama Kaharingan, seperti
Badan Amanat Kaharingan Dayak negarakita (BAKDI), Badan
Agama Kaharingan negarakita (BAKRI) dan Majelis Agama
Kaharingan negarakita (MAKRI).
menjelaskan bahwa sebagian mereka merasa ditipu dan
digiring ke dalam Hindu dan tidak puas berintegrasi dengan
Hindu (PHDI).
Ormas keagamaan BAKDI dipimpin Lubis, mantan
guru agama Hindu. Oleh Gubernur Teras narang, Lubis
diangkat menjadi Camat di Rangkupit. Saat ini yang
bersangkutan sudah tidak aktif lagi, praktis organisasi BAKDI
juga terhenti. Sementara Majelis Agama Kaharingan negarakita
(MAKRI) dipimpin Suel, S. Ag, mantan Kepala Pembimas
Kanwil Kementerian Agama tahun 2004-2007. Suel S.Ag juga
sebagai dosen di STAHN-TP. Oleh Gubernur Teras Narang,
Suel diangkat Kepala Dinas Pendidikan dan kemudian Kepala
Dinas Satpol PP Provinsi.119 Sangat disayangkan bahwa
peneliti tidak dapat menemui satupun informan dua
organisasi keagamaan mengatasnakaman Hindu Kaharingan
ini. Menurut Pembimas Kanwil Kementerian Agama, dan
banyak informan lainya, kedua organisasi itu tidak jelas lagi
eksistensinya semenjak para pemimpinya tidak aktif.
Dalam perjalanan berikutnya, MB-AHK mendapat
perlakuan istimewa dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten
Kota di Kalimantan Tengah, seolah lebih istimewa dari PHDI.
Banyak tokoh MB-AHK sangat dekat dengan Pemerintah.
Bahkan mata anggaran bantuan MB-AHK di Pemerintah
Provinsi terpisah dengan PHDI. Seolah MBAHK setara
dengan PHDI. Pengurus PHDI sendiri yang mengetahui hal
itu legowo saja, karena pada prinsipnya PHDI itu ormas
keagamaan mandiri, dan tidak tergantung kepada siapa pun.
Jika ada yang membantu finansial diterima, jika tidak adapun
PHDI tetap jalan. Hubungan antara keduanya selama ini
sangat harmonis, dan sangat koordinatif.
Ciri Pokok Hindu Kaharingan
Konsep Ketuhanan Hindu Kaharingan
Orang Dayak dahulu tidak memiliki nama
kepercayaan terhadap Tuhannya. Orang Dayak Ngaju
menyebutnya sebagai kepercayaan tato-hiang (nenek moyang,
leluhur), kepercayaan huran (kuno), atau kepercayaan helo
(dulu). Jika orang non-Dayak ditanya, akan menyebutnya
sebagai kepercayaan tempon atau tempon telun, artinya cara
orang Dayak berkepercayaan. Belanda menyebut kepercayaan
Ngaju, bahkan menyebutnya kafir, pagan atau penyembah
berhala, atau dianggap ateis atau ragi usang. Ini karena
Belanda melihat dari kacamata Kristen. Jadi, sesungguhnya
Belanda tak tahu apapun tentang Kaharingan, hingga
simpulannya serampangan dan sangat berbeda dengan yang
dipahami orang Dayak.121 Kaharingan berasal dari bahasa
Sangiang (Sangyang), yang merupakan bahasa tingginya para
imam dan tetua adat Dayak. Dalam konteks teologis,
kehidupan alam ini berasal dari Tuhan, Ranjing, Hatala, atau
Maha Tala seluruh semesta, langit dan Bumi.
Nama Tuhan dalam Hindu Kaharingan disebut
Ranying HaTala Langit, Raja Tuntung Matan Andau, Tuhan
Tambing Kabanteran Bulan, Jatha Balawang Bulau, Kanaruhan
Bapager Hintan (Panaturan 1: 3. 2:12. 41:45). Atau Ranying
Hatala Langit, Jhata Balawang Bulan, Kanaruhun Bapager Hintan,
Sahur Baragantung, Palapah Baratuyang Hawun. Artinya Tuhan
yang Maha Besar, yang memiliki Sinar Suci, yang tiada tara,
tempat menaruh harapan yang tidak terbatas dan memiliki
kuasa Maha Tinggi.
Sebutan Tuhan dalam kitab Panaturan Pasal 1 ayat 2:
“Ie je tamparan taluh handiai mukei kahain kuasae,
Jai panapatuk sukup simpan murai japa jimat tanteng,
Hayak auh Nyahu Batengkung langit , Homboh Malentar
Kilat BAsiring Hawun
Palus Ambun ije dia bajahuntun tanduk, enun
Basansinep isen baterus kening, Badandang
Manjadi balawa hayak barasih, lenda lendang,
linge lingei, hayak IE hamauh mananggare arepe
AKU TUH RANYING HATALLA, mijen Balau Bulau
Napatah Hintan,
Balai Hintan Napatah Bulau, Mijen
Tasik Malambung Bulau, Marung Laut Bapantan Hintan
Sesuai pasal tersebut jelas tentang keberadaan Tuhan,
yaitu Ranying Hatalla Langit. Dalam ayat ini dijelaskan,
Ranying Hatalla adalah awal segala kejadian dan paling
kuasa. Dalam ayat 3 menyatakan:
Aku tuh ranying hatalla ije paling kuasa,
Tamparan taluh handiai tuntang kahapuse,
Tuntang kalawa jituh iete kalawa pambelum, ije
inanggareku
Gangguranan area bagare hintan kaharingan
Ranjing Hatala berarti "Tuhanku yang ditinggikan",
memiliki arti sangat luas dan tak terbatas, yaitu Keberadaan
Tunggal Maha Cerdas, Maha Pencipta segala, Maha Hidup,
Maha Mandiri, Maha Penentu tiap sesuatu, sehingga menjadi
harapan dan gantungan tiap sesuatu. Maha Raja, Maja
Penguasa, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Pengasih,
Maha Penyayang, Maha Memberi-rejeki, Maha Mendengar,
Maha Melihat, Maha Mengetahui segala hal. Ranjing Hatala
adalah keberadaan dengan wujud Maha Ghaib, Maha Halus,
tak akan pernah dapat dilihat oleh mata manusia, namun
dapat dirasakan dan dipikirkan oleh kalbu dan akal manusia,
sejauh jangkauan manusia dapat memahami kehadiranNya,
dan selebihnya adalah rahasiaNya.
Ranjink hatala langit, raja tuntung matan andau, tuhan
tambing kabanteran bulan, memiliki arti Tuhanku yang
ditinggikan setinggi langit, Raja segalanya, pelindung,
pengayom, dan pemelihara tiap sesuatu. Raja Tuntung Matan
Andau, raja yang tuntas sempurna, sumber segala cahaya dan
tenaga hidup seluruh semesta. Tuhan Tambing Kabanteran
Bulan, tuhan yang indah dan memiliki pesona cahaya bulan,
menganugerahkan kedamaian, kesentosaan, dan
kesejahteraan, melimpahkan rahmat, berkat, dan nikmat
kepada seluruh makhluk yang berserah-diri. Jatha Balawang
Bulau, Kanaruhan Bapager Hintan, Ranjing Hatala Langit adalah
Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Memulai dan Maha
Mengakhiri, Maha Mencipta, Maha Berkarya, Maha
Merancang, dan Maha Membentuk.
Secara teologis, keyakinan umat Hindu Kaharingan
dapat dijelaskan bahwa Ranying Hatala adalah Tuhan Yang
Maha Esa. Tuhan adalah Maha Pencipta dan Maha Penentu
atau tiap sesuatu. Tuhan yang meciptakan seluruh semesta,
tujuh langit dan Bumi. Tuhan yang menciptakan malaikat, jin,
hama, tumbuhan, binatang, dan manusia. Tuhan yang
menciptakan Raja Garing Hatungku dan Kameluh Petak bulau
Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan tambun, Tuhan yang
menetapkan bahwa pria adalah pemimpin dan pelindung bagi
wanita. Tuhan yang menetapkan kesetaraan gender antara
pria dan wanita, sesuai kudrat. Tuhan yang menetapkan
pemimpin bertanggungjawab atas semua yang dipimpinnya.
Tuhan yang mendatangkan nabi dan rasul dan mewahyukan
kitab suci. Tuhan yang memerintah manusia beribadah dan
berserah diri (basarah) kepada Dia. Tuhan yang memerintah
manusia untuk membangun rumah ibadah (balai basarah).
Tuhan yang memerintahkan manusia untuk menyembelih
hewan kurban (yadnya). Tuhan yang memerintahkan manusia
untuk mensyukuri rezeki. Tuhan yang mendatangkan
kebaikan kebajikan dan keburukan kejahatan. Tuhan yang
menjadikan pahala dan dosa atas perbuatan manusia. Tuhan
yang menetapkan hukum balasan setimpal atau setara. Tuhan
yang menetapkan larangan mengganggu wanita dan anak-
anak. Tuhan yang Tuhan yang menetapkan hukum adat
dalam warga. Tuhan yang memerintahkan berdo'a dan
memohon pengampunan. Tuhan yang menciptakan dunia dan
akhirat, surga dan neraka, kehidupan setelah mati, yang
menerima do'a orang masih hidup untuk yang telah mati. Dan
Tuhan yang pula mendatangkan hari kemudian, atau akhir
dunia.
Selain alam dunia, penganut agama Kaharingan juga
percaya akan adanya alam gaib yang dihuni oleh Sangiang dan
parajin (malaikat) sebagai pembantu Tuhan. Selain Sangiang
sebagai pembantu Tuhan, penganut Kaharingan juga percaya
bahwa ada orang yang menerima ajaran (berita) dari Tuhan
namanya Raja Bunu, Bawi Ayah (perempuan), Hawun Barun-
Barun, dan Bandar Huntip Batu Api. Bandar Huntip Batu Api
(titisan Sangiang), jarak kehadirannya dengan ketiga nabi
lainnya sangat jauh. Bandar tidak hanya menerima wahyu
keagamaan tetapi juga ajaran-ajaran tentang sosial, politik
moral, hukum adat, ilmu perang, ilmu pemerintahan dan
cara-cara berwarga. Oleh sebab itu Bandar Huntip Batu
Api dikenal pula sebagai raja yang adil dan sukses. Ia diberi
gelar “Anak Janatha Lampang, Hatuen Sangiang Hadurut”,
artinya anak sangiang yang menguasai air, dan yang datang
dari langit. Sampai sekarang setiap 41 minggu diperingati hari
lahir Bandar Huntip Batu Api, yang disebut Sansana Bandar
(membaca cerita tentang Bandar).
Praktek Ibadah
Penganut Hindu Kaharingan memiliki tempat
pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut
Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Mereka memiliki waktu
ibadah rutin yaitu setiap Kamis atau malam Jumat. Bentuk
ibadah (ritual) dalam agama Kaharingan ada dua macam,
yaitu Manyanggar dan Basarah. Manyanggar adalah ritual
memberikan sesajen kepada makhluk-makhluk halus agar dia
tidak mengganggu (agar ia menghindari tempat tersebut).
Sesajen itu diletakkan di tempat yang diperkirakan ada
makhluk halusnya. Basarah artinya menyerahkan diri kepada
Tuhan.
Basarah biasanya dilakukan di Balai Kaharingan. Ada
tiga macam basarah, yaitu basarah perorangan, basarah
keluarga dan basarah umum. Basarah perorangan yaitu berdo’a
sendiri, menabur beras kuning, atau meletakkan telor di
tempat-tempat yang sakral (keramat). Basarah Keluarga
biasanya dikerjakan di rumah masing-masing, waktunya
disesuaikan dengan kebutuhan.
Sedangkan basarah umum diadakan di Balai Kaharingan,
dihadiri oleh banyak umat Kaharingan pada hari kamis atau
malam jum’at. Dalam setiap ritual persembahyangan atau
ritual basarah, penganut Kaharingan secara bersama-sama
melantunkan Kandayu atau nyayian suci. Ada beberapa jenis
kandayu: Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja, Kandayu
Mantang Kayu Erang, Kandayu Parewei, dan Kandayu Mambur
Behas Hambaruan.
Sarana ritual Keagamaan dan Jenisnya
Sarana ritual
Dalam Hindu Kaharingan dikenal sarana
persembahyangan seperti Sangku Tambak Raja, berisikan
berbagai macam, yaitu wadah kuningan (sangku), beras, telur,
minyak kelapa, duit singah hambaruan, bulu burung tingang,
sirih pinang, rokok, bunga, beras hambaruan dalam bungkusan
kain putih, dan kain alas sangku yang kesemuanya memiliki
makna yang dipahami oleh umat Hindu kaharingan. Arti
masing-masing sarana itu adalah:
1) Sangku, bermakna penyatuan jiwa dan raga dalam
melaksanakan basarah kepada Ranying Hatalla Langit
Tuhan Yang Maha Esa.
2) Beras. Menurut mitologi Hindu Kaharingan, Ranying
Hatalla Langit menciptakan beras untuk kelangsungan
hidup Raja Bunu dan keturunannya. Dalam acara auh
manawur dijelaskan “balang bitim jadi isi, hampuli balitam jadi
daha, dia balang bitim injamku akan duhung luang rawei pantai
danum kalunen, isen hampuli balitam bunu bamban panyaruhan
tisui luwuk kampungan bunu”. Artinya “behas manyangen
tingang, bukan hanya untu kelangsungan hidup manusia,
namun juga sebagai perantara manusia dengan yang
kuasa, dan perantara manusia dengan leluhur”.
3) Bulu burung tingang atau “Tingang Rangga Bapantung
Nyahu”, bermakna bahwa alam kehidupan manusia penuh
dengan pertentangan, perselisihan, baik antara kebenaran
dengan ketidakbenaran. Warna putih dibagian bawah
berarti kesucian yang dapat dicapai melalui usaha
individu melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada
saatnya, bila dihubungkan dengan ritual keagamaan
Hindu Kaharingan, yaitu sampai pada ritual
Tiwah/Wara.
4) Sipa (sirih pinang) dan ruku (rokok), penggunaan kedua
sarana perlambang penyatuan jiwa dan raga dalam
pelaksanaan basarah.
5) Duit singah hambaruan, uang merupakan simbol
penyempurna segala kekurangan upakara.
6) Minyak kelapa, atau disebut minyak bangkang haselan
tingang uring katilambung nyahu, bermakna membersihkan
semua kekotoran yang menempel diri manusia.
7) Telur ayam, disebut tanteluh manuk darung tingang
merupakan simbol pensucian diri serta permohonan
keselamatan dan kesejahteraan.
8) Kain alas sangku, melambangkan keindahan alam semesta
karunia Ranying Hatalla Langit.
9) Bunga, selalu digunakan dalam ritual basarah dan
ditempatkan di Sangku Tambak Raja, agar seperti bunga
yang harum, dan manusia menerima anugrah Ranying
Hatalla Langit.
10) Beras hambaruan adalah beras yang dipilih sebanyak 7 biji
yang terbaik,tanpa cacat kemudian dibungkus kain putih
dan diletakkan di tengah-tengah sangku. Sebagai
perlambang raja uju hakanduang, hanya basakati yang
menjadi perantara Ranying Hatalla Langit memberikan
anugerah kepada manusia yang pada akhir
persembahyangan dibagikan kepada semua yang hadir.
Beberapa Jenis ritual
Di kalangan umat Hindu Kaharingan dan warga
Dayak umumnya sangat kuat mempertahankan berbagai
ritual dalam sepanjang hidupnya yang disebut dengan
Balian yaitu ritual ritual Kaharingan. Ada tiga kelompok
besar ritual balian, yaitu pertama, ritual balian untuk
kesejahteraan hidup (15 ritual). Kedua, balian untuk roh
leluhur penjaga desa wilayah (5 ritual). Ketiga, balian pada
ritual kematian. ritual Balian dipimpin oleh seorang Basir
Ufu, (basir yang senior), dan didampingi oleh Basir
pengampit.
Dalam ritual Balian selalu dibunyikan “Katambung”
(kidung). Selain itu ada pula yang disebut “Manabur”, yaitu
beras kuning dikasih minyak kelapa, lalu dinyalakan
kemenyan, kemudian ditabur baik bagi roh yang jahat, dan
roh yang baik. Manabur dipimpin oleh “Pisur” (pembantu
Basir atau orang yang berpengetahuan setingkat). Seluruh
ajaran tentang keimanan, ritual dan tata cara pelaksanaan
ritual bersumber pada satu kitab suci agama Kaharingan
yang disebut Panaturan. Kitab ini terdiri atas 63 pasal, dengan
tebal 652 halaman. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Dayak
Kuno (Sangiang). Pada tahun 1996 kitab ini diterjemahkan ke
dalam bahasa negarakita melalui kerjasama antara Pemerintah
daerah setempat dengan Hanno Kampff Meyer MA, seorang
mahasiswa Fakultas Antropologi dari Universitas Munchen
Jerman (Nuhrison, op.cit). Semua orang Dayak adalah
pengamal Kaharingan, walaupun mereka sudah memeluk
agama lain (Islam, Kristen, Katolik, Hindu), setidaknya
tradisinya atau setidak-tidaknya adalah ritual Tiwah.
Beberapa ritual itu adalah ritual kelahiran,
perkawinan, kematian (Balian Tantulak Ambun Rutas Matei)
yang dilakukan tiga hari setelah ritual penguburan dengan
tujuan untuk memindahkan arwah orang yang baru saja
meninggal dari alam kubur ke tempat penantian bersama Nyai
Bulu Indu Rangkang (sebelum dilaksanakannya pesta tiwah).
ritual Tiwah (ritual terakhir kematian) yang merupakan
ritual sakral dan bertujuan mengantarkan jiwa atau roh
manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang
dituju, yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja
Dia Kamalesu Uhate, Lewu tatau Habaras Bulau, Habusung
Hintan, hakarang lamiang atau Lewu Liau yang letakknya di
langit ke-7.
ritual Manyanggar, yaitu ritual adat yang
dilakukan oleh warga Dayak karena mereka percaya
bahwa dalam kehidupan di dunia, selain manusia juga hidup
makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal
batas dengan roh halus tersebut yang diharapkan tidak saling
mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai
ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan
makluk lain.
Simbol-Simbol Keagamaan
Hindu Kaharingan disimbolkan dengan pohon
kehidupan yang memiliki rincian makna filosofis, yaitu
pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan
antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia
bawah yang merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat
oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling
membutuhkan.
Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga
kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja
Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara
Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah
mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang
berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu
menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.Tempat
bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung
yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum
manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek
moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu
hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi.
Dengan demikian, orang-orang suku bangsa Dayak
diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara
bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya
adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian
sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu
mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.Pada
bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang
melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal
dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang
lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan
sumber segala kehidupan.Jadi inti lambang dari pohon
kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara
sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan
Tuhan.
Dampak Keberadaan Hindu Kaharingan terhadap
Kehidupan Beragama
warga Dayak meskipun memiliki adat yang
dibukukan pada kesepakatan Tumbang Anoi posisinya beda
dengan Desa Adat di Bali. Adat yang menjadi pegangan para
pemangku adat tidak dapat diklaim sendirian, sehingga tidak
dapat dijadikan sandaran umat Hindu Kaharingan.
warga suku Dayak yang beragama Hindu Kaharingan
hanya dapat bersandar pada Basir dan Mantir. Basir dan
Mantir sebagai ilmuwan sekaligus alimnya harus memacu
semangat misinya, agar warga Dayak tetap beragama
Hindu Kaharingan dengan baik. Selama ini komunitas suku
Dayak banyak yang keluar dan mayoritas muslim, Kristen dan
Katolik. Dampak nyata secara sosiologis adalah bahwa Hindu
Kaharingan semakin ditinggalkan warga Dayak sendiri
padahal mereka inilah yang menjadi pemangku utama agama
Hindu Kaharingan. warga Dayak pun menjadi
pluralistik dalam beragama.
Orang Dayak dikenal sangat menjaga harmoni,
sehingga mengenal tiga relasi yang benar-benar harus dijaga
keharmonisannya, yaitu hubungan manusia dengan Ranying
Hatalla. Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit,
artinya beriman kepada Yang Tunggal, yaitu Ranying Hatalla
Langit; Hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hatamuei
Lingu Nalatai. Artinya saling kenal mengenal, tukar
pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong.
Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit.
Artinya, berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati
Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati
kebesaran Tuhan; dan hubungan manusia dengan alam
semesta karena ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan
sempurna adalah manusia. Karena itu manusia wajib menjadi
suri tauladan bagi segala mahluk lainnya. Keajaiban-
keajaiban yang terkadang terjadi adalah sarana untuk
mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla.
Dengan demikian, segala makhluk hidup semakin
menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut
disembah. warga Suku Dayak percaya bahwa
Kaharingan sudah ada sejak awal manusia pertama. Dalam
siklus kehidupan, seperti pada saat kelahiran bayi, pemberian
nama, pernikahan, bahkan hingga kematianpun mereka selalu
melakukan apa yang digariskan Ranying Hatalla, yaitu ritual
adat. Berbagai ritual adat sudah dilakukan oleh warga
Dayak sejak berabad-abad lampau terbukti dengan banyak
ditemukannya Sandung (tempat menyimpan tulang pada
ritual Tiwah). Sandung sendiri terbuat dari kayu ulin yang
tahan panas dan tahan air.
Suku Dayak yang menjadi penyangga dari Hindu
Kaharingan dengan filosofi rumah Betangnya sangat toleran,
demokratis, sangat menghargai dan menjaga tamunya, sangat
egaliter telah berakibat pada umat Hindu Kaharingan sendiri,
dimana Hindu Kaharingan semakin menurun pengikutnya.
Jika tidak segera berbenah, sepertinya Hindu Kahringan akan
semakin berkurang. Hindu Kaharingan hampir-hampir hanya
bertumpu pada Basir, sehingga umat Hindu Kaharingan yang
hidupnya terpecar-pencar menjadi kurang mendapat
perhatian. Di samping itu begitu tidak ada buku-buku bacaan
keagamaan Hindu Kaharingan yang dipelajari oleh generasi
muda Hindu Kaharingan. Buku yang ada hanyalah Kitab
Panaturan, Talatah Basarah, dan Kidung Sembahyang saja.
Keberadaan Hindu Kaharingan dapat dikatakan
stagnan, jika tidak dikatakan semakin menurun jumlah
pengikutnya, meskipun dulunya seluruh suku Dayak
beragama Kaharingan. Hal ini terlihat bahwa mayoritas suku
Dayak ternyata muslim, sementara Hindu Kaharingan dan
umumnya hanya 6%. Penyebabnya antara lain, tidak ada
lembaga pendidikan kegamaan anak-anak secara massal,
seperti dalam Islam dan Kristen atau Katolik. Umat Hindu
Kaharingan hanya bertumpu pada Basir dan Mantir (ilmuwan
agama) untuk bertahan, sementara yang bersangkutan masih
perlu ditingkatkan wawasan keagamaanya. Di samping itu,
organisasi keagamaan Majelis Besar Agama Hindu
Kaharingan (MB-AHK) kurang dinamis dalam kegiatan
keagamaanya, karena tidak banyak program yang
dilaksanakan.
Organisasi Hindu Kaharingan adalah MB-AHK Pusat
Palangkaraya, MW.AHK (wilayah), MD-AHK (Kabupaten
Kota), MC.AHK (Kecamatan), MD-AHK (desa) dan terakhir
MK.AHK (kelompok). Tokoh-tokoh dalam Hindu Kaharingan
adalah Basir dan Mantir. Simbol utama Hindu Kaharingan
adalah Batang Garing, dan tradisi utamanya adalah kelahiran,
perkawinan, kematian (tantulak) dan terakhir dan termahal
adalah ritual Tiwah. Media utama untuk mempertahankan
diri adalah adanya Basir dan Mantir saja. Sementara itu
hubungan dengan Hindu lainya sangat baik.
Berdasarkan uraian dan hasil temuan di atas,
rekomendasi yang diajukan melalui penelitian adalah:
1. Para tokoh agama Hindu Kaharingan baik Basir dan
Mantir atau para cendekiawanya perlu menyusun buku
keagamaan Hindu Kaharingan agar generasi baru Hindu
Kaharingan dapat belajar dan melaksanakan ajaran agama
Hindu Kaharingan dengan sebaik-baiknya.
2. Majelis Agama Hindu Kaharingan dari Pusat sampai
kelompok perlu mencanagkan program-program yang
menyentuh kepentingan warga, agar keberadaanya
dapat ketahui oleh warga luas.
Setidaknya, setelah membaca utuh buku ini, kita akan
dibawa pada satu pemahaman bahwa bagaimanapun
berbedanya kelompok keagamaan yang ada dalam agama
Hindu, pada akhirnya disatukan oleh filsafat ketuhanannya
(tentang Brahman dan Atman) yang ditemukan di dalam
banyak kitab suci. Misalnya, Bhagawadgita, IV.11 menyatakan
“Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku
memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)”.
Bhagawadgita, VII.21 juga menyatakan: “Kepercayaan apapun
yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama
dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih
mantap”.
Bunyi sloka Bhagawadgita tersebut menyuratkan
bahwa apapun jalan yang ditempuh umat Hindu akan sama
diterima Tuhan, asalkan semua bentuk bhaktinya dilakukan
dengan tulus dan ikhlas. Beragam doa yang disampaikan
dengan bahasa yang berbeda tetapi semua doa itu akan
sampai pada Tuhan yang sama. Berikut dalil yang
memperkuat pendapat ini. Regweda I.164.46: “Tuhan itu
hanya satu adanya, oleh para Resi disebutkan dengan
berbagai nama seperti: Agni, Yama, Matariswanam”.
Upanisad IV.2.1: “Tuhan itu hanya satu tidak ada duanya”.
Samaweda. 327: “Marilah datang bersama, engkau semua,
dengan semangat kuat pada Penguasa Langit. Dia yang hanya
Esa, tamu semua orang. Dia yang purba ingin kembali baru.
Kepada-Nyalah semua jalan perpaling, Sesungguhnya Dia Esa
belaka”. Rgweda X.83.3: “Oh, Bapa kami, Pencipta kami,
pengatur kami yang mengetahui semua keadaan, semua apa
yang terjadi,Dia hanyalah Esa belaka memikul nama
bermacam-macam dewa. Kepada Nyalah yang lain mencari-
cari dengan bertanya-tanya”. Rgweda. 10.90.1: “Tuhan
memiliki ribuan kepala, ribuan mata demikian pula ribuan
kaki. Ia tersebar di seluruh penjuru bumi, memiliki 10 jari
yaitu Panca Maha Butha dan Panca Tanmantra yang juga
berada di luar jagat raya ini”
Mendiskusikan Tuhan dan Ketuhanan dalam Hindu,
kita bisa memulainya dengan membaca Upanisad salah satu kitab penting yang
membahas Tuhan atau Brahman yang diyakini memiliki
kekuasaan untuk berada di dalam (immanent) dan di luar
ciptaanNya (transcendent), seperti udara yang sama berada di
dalam dan di luar ruangan . Ia juga ibarat penari dan tariannya. Tuhan itu satu adanya
(monotehisme), namun bagi orang suci yang mengetahuinya
diberi banyak nama (ekam sat wiprah bahuda wadanti). Ia Maha
Ada karena berada di mana-mana dan tak terbatasi oleh apa
pun (wyapi wyapaka nirwikara), bukan menyepi di satu tempat
atau tidak seperti raja yang hanya duduk disinggasana
emasnya. Ia Maha Tak Terbatas karena ia dapat mengambil
sahasra rupam (1000 wajah) dan sahasra namam (1000 nama),
bukan hanya satu bentuk lalu menyembunyikan diri.
Brahman dalam Upanisad hanya memiliki sifat-sifat
satyam (kebenaran), siwam (kebaikan), dan sundaram
(keindahan) sehingga ia hanya memberikan kasih sayang
kepada semua makhluk hidup. Tema ini akan membawa kita
pada pembicaraan tentang Atma atau untuk
menyederhanakannya disebut jiwa. Dalam pandangan Hindu,
badan bukanlah penjara yang mengekang Atma, seperti
anggapan Plato di masa Yunani kuno. Badan terbuat dari
prakerti atau potensi materi yang berasal dari Tuhan sendiri.
Badan bersifat sementara, tidak seperti jiwa yang kekal dan
abadi, bahkan ketika badan sudah rusak dan mati. Inti
manusia adalah tentang jiwanya, atman atau sang diri yang
menggerakkan badan, yang dalam Upanisad disebut berasal
dan bagian tak terpisahkan dari Brahman itu sendiri. Selain
dalam Mundaka Upanisad, Brihad Aranyaka Upanisad, Katha
Upanisad, Chandogya Upanisad, Subala Upanisad, arti dan
sifat-sifat atman juga banyak dijelaskan dalam Bhagawadgita.
Misalnya dalam Bab X, 20 dinyatakan: “Aku adalah atma,
menetap dalam hati semua makhluk. Aku adalah permulaan,
pertengahan dan akhir dari semua makhluk”
Adagium Tat Twam Asi yang artinya ITU (Tuhan)
adalah Engkau, lahir dari konsep ini yang jika mampu
direalisasikan maka manusia berhak menyebut dirinya “Aku
adalah Tuhan” itu sendiri (Brahma Aham Asmi). Manusia pada
level Brahma Aham Asmi akan melihat semuanya menjadi
sama, menghargai semua makhluk hidup, tidak menyakiti
dan membunuh karena ia melihat jiwa yang sama dalam
setiap makhluk. Ada Tuhan yang sama dengan dirinya.
Apa yang belum terjawab dalam penelitian ini telah
mendapat jawaban ketika berbagai perbedaan yang ada dalam
setiap kelompok keagamaan Hindu bermuara pada filsafat
ketuhanannya yang sanggup menjadi samudera luas
(pantheisme), tempat penjernihan segala perbedaan bahkan
noda, dosa dan papa. Setiap aliran air boleh mengklaim
kebenaran yang diyakininya, tetapi ketika masuk dan larut
dalam air samudera luas itu, seluruh aliran air juga ikut larut
dan menyatu. Begitulah akhir dari dinamika keberadaan
berbagai kelompok keagamaan Hindu, harmoni dalam
pelukanNya. Semua kelompok keagamaan, bahkan yang
berbeda sekalipun berasal dari sumber yang sama: sarwam
idham kalu brahma, serta berada di bawah rumah besar karena
mereka merasa bersaudara: wasudewa kutum bakam