pariwisata 4
Tahap 1. Penemuan (Exploration)
Tahap ini merupakan tahap awal berkembangnya suatu area menjadi area
tujuan wisata. Jumlah kunjungan turis ke area ini masih dalam
jumlah yang sangat terbatas. Pada tahap ini warga lokal menyambut dengan
sangat antusias kedatangan turis ini. Kedatangan turis merupakan
sesuatu yang baru yang dianggap dapat memberi wawasan baru di dalam
kehidupan sosialnya. Tahap explorasi sering pula disebut sebagai tahap
penemuan (discovery) suatu area tujuan wisata. Pada tahap ini dampak
pembangunan pariwisata masih belum tampak nyata atau masih sangat kecil.
Meskipun muncul kegiatan yang berkaitan dengan kedatangan turis namun
masih pada skala yang sangat kecil.
Tahap 2. Pelibatan (Involvement)
Pada tahap pelibatan, jumlah kedatangan turis mulai meningkat. Seiring
dengan meningkatnya jumlah turis , penduduk lokal mulai menyediakan
sarana dan fasilitas yang diperlukan oleh turis seperti penginapan serta
layanan makan dan minum. Penyediaan fasilitas oleh penduduk lokal masih
dalam bentuk usaha yang bersifat individu ataupun usaha keluarga. Pemasaran
sarana dan fasilitas ini hanya terbatas di dalam wilayah ini dan
melalui turis yang datang. Pada tahap ini ketertarikan turis akan cara
hidup warga lokal serta keinginan untuk berinteraksi secara dekat masih
sangat tinggi. turis masih menghormati dan menaruh simpati pada
kehidupan warga lokal mengambil inisiatif dengan menyediakan berbagai
pelayanan jasa untuk para turis yang mulai menunjukkan tanda-tanda
peningkatan dalam beberapa periode. warga dan pemerintah lokal sudah
mulai melakukan sosialisasi atau periklanan dalam skala terbatas, pada musim
atau bulan atau hari-hari tertentu misalnya pada liburan sekolah terjadi
kunjungan turis dalam jumlah besar, dalam kondisi ini pemerintah lokal
mengambil inisiatif untuk membangun infrastruktur pariwisata namun masih
dalam skala dan jumlah yang terbatas, sehingga hubungan penduduk lokal dan
turis masih tampak harmonis.
Tahap 3. Pengembangan (Development)
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan turis dalam jumlah besar dan
pemerintah sudah berani mengundang investor nasional atau internasional untuk
menanamkan modal di area turis yang akan dikembangkan.
Perusahaan asing (MNC) Multinational company) telah beroperasi dan
cenderung mengantikan perusahan lokal yang telah ada, artinya usaha kecil
yang dikelola oleh penduduk lokal mulai tersisih hal ini terjadi karena adanya
tuntutan turis global yang mengharapkan standar mutu yang lebih baik.
Organisasi pariwisata mulai terbentuk dan menjalankan fungsinya khususnya
fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah sehingga
investor asing mulai tertarik dan memilih destinasi yang ada sebagai tujuan
investasinya.
Pada tahap ini, area ini sudah mulai dikenal sebagai area tujuan
wisata. Penyediaan sarana dan fasilitas pariwisata mulai dilakukan oleh orang
orang yang lebih profesional. Pemasaran fasilitas sudah dilakukan ke luar
wilayah khususnya ke area -area yang menjadi asal turis . Pariwisata
pada tahap ini sudah benar-benar telah menjadi sebuah bisnis. Interaksi langsung
antara penduduk lokal dengan turis mulai berkurang seiring dengan
banyaknya penduduk pendatang yang bekerja di sektor pariwisata yang sedang
berkembang ini . Di akhir tahap pembangunan (development stage),
pertumbuhan industri pariwisata perlahan-lahan mulai melambat tidak lagi
secepat di awal tahap pembangunan.
Tahap. 4 Konsolidasi (consolidation)
Pada tahap ini, sektor pariwisata menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi
pada suatu area dan ada kecenderungan dominasi jaringan internasional
semakin kuat memegang peranannya pada area turis atau destinasi
ini . Kunjungan turis masih menunjukkan peningkatan yang cukup
positif namun telah terjadi persaingan harga diantara perusahaan sejenis pada
industri pariwisata pada area ini . Peranan pemerintah lokal mulai
semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi untuk melakukan re-
organisasional, dan balancing peran dan tugas antara sektor pemerintah dan
swasta.
Tahap. 5 Stagnasi (Stagnation)
Pada tahapan ini, angka kunjungan tertinggi telah tercapai dan beberapa periode
menunjukkan angka yang cenderung stagnan. Walaupun angka kunjungan masih
relatif tinggi namun destinasi sebenarnya tidak menarik lagi bagi turis .
turis yang masih datang yaitu mereka yang termasuk repeater guest atau
mereka yang tergolong turis yang loyal dengan berbagai alasan. Program-
program promosi dilakukan dengan sangat intensif namun usaha untuk
mendatangkan turis atau pelanggan baru sangat sulit terjadi. Pengelolaan
destinasi melampui daya dukung sehingga terjadi hal-hal negatif tentang
destinasi seperti kerusakan lingkungan, maraknya tindakan kriminal, persaingan
harga yang tidak sehat pada industri pariwisata, dan telah terjadi degradasi
budaya warga lokal. Pada tahap jenuh, industri pariwisata mulai mengalami
persaingan yang semakin tajam karena jumlah kunjungan turis tidak lagi
mengalami peningkatan. Fasilitas pariwisata mulai dijual dengan harga murah
untuk mempertahankan jumlah kunjungan turis . Kebutuhan akan tenaga
kerja yang murah untuk mengurangi kerugian mendorong terjadinya urbanisasi.
sesudah lokal turut berebut sumber daya dengan penduduk pendatang yang
memicu munculnya masalah-masalah sosial dan lingkungan di area
tujuan wisata. Pembuat kebijakan lebih memilih mengembangkan insfrastruktur
untuk memecahkan masalah daripada membatasi pertumbuhan.
Tahapan. 6 Penurunan (Decline)
sesudah terjadi stagnasi, ada dua kemungkinan bisa terjadi pada kelangsungan
sebuah destinasi. Jika tidak dilakukan usaha-usaha keluar dari tahap stagnasi,
besar kemungkinan destinasi ditinggalkan oleh turis dan mereka akan
memilih destinasi lainnya yang dianggap lebih menarik. Destinasi hanya
dikunjungi oleh turis domestik saja itupun hanya ramai pada akhir pekan
dan hari liburan saja. Banyak fasilitas wisata berubah fungsi menjadi fasilitas
selain pariwisata. Pada titik jenuh kualitas pelayanan pada berbagai fasilitas
pariwisata mulai menurun. Penurunan kualitas memicu berkurangnya
permintaan, hal ini akan mendorong area tujuan wisata mulai ditinggalkan
baik oleh turis maupun investor yang tidak lagi bisa meraih keuntungan di
area ini . Jika hal ini terjadi maka area ini menuju tahap
kemunduran (decline). Pada tahap ini penduduk lokal kembali mendapatkan
otoritas di area mereka sendiri seiring dengan menurunnya keuntungan
ekonomi yang dapat mereka raih dari pariwisata.
Tahap 7 Peremajaan (Rejuvenation)
Jika ingin melanjutkan pariwisata, perlu dilakukan pertimbangan dengan
mengubah pemanfaatan destinasi, mencoba menyasar pasar baru, mereposisi
atraksi wisata ke bentuk lainnya yang lebih menarik. Jika manajemen destinasi
memiliki modal yang cukup?, atau ada pihak swasta yang tertarik untuk
melakukan penyehatan seperti membangun atraksi man-made, usaha seperti itu
dapat dilakukan, namun semua usaha belum menjamin terjadinya peremajaan.
Terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
pariwisata. Pendudul lokal yang kini memiliki otoritas penuh di area nya bisa
melakukan terobosan-terobosan baru seperti menciptakan atraksi wisata artifisial
yang baru ataupun penggunaan sumber daya alam yang belum terekplorasi
sebelumnya untuk menarik kembali turis untuk datang ke area mereka.
6.5 Model Index of Irritation
Seiring dengan dengan siklus perkembangan destinasi yang dikemukakan oleh
Butler, pengembangan pariwisata juga harus berdimensi jangka panjang, karena
pengembangan pariwisata yang tidak terencana justru dapat memicu kerusakan
lingkungan dan sosial warga lokal, yang akan menghancurkan kehidupan jangka
panjang bagi warga dan keberlangsungan usaha dari pelaku usaha itu sendiri.
Misalnya, persoalan yang timbul dari konsep wisata massal (mass tourism) yang tidak
terencana sering berakibat pada persoalan-persoalan lokal yang sangat banyak, diantaranya
yaitu pada kemacetan lalu lintas, degradasi lingkungan, polusi, dan lain sebagainya.
Terlepas dari persoalan pro dan kontra, kejenuhan destinasi terhadap meningkatnya jumlah
kunjungan turis ini juga dirasakan sebagian area -area tujuan wisata seperti
misalnya di Kuta-Bali. Akibat meningkatnya jumlah turis yang datang, Kuta mulai
akan mengurangi kualitas destinasi yang ada di masa depan. Dan hal ini terekam pula
dari keluhan warga lokal.
Kehadiran turis pada sebuah destinasi dapat berakibat positif bila terjadi
proses interaksi yang saling melengkapi, karena sebuah interaksi sosial budaya memang
suatu hal yang sangat diperlukan dalam pengembangan kebudayaan itu sendiri. Contohnya
yaitu bagaimana kearifan lokal warga Jawa dapat memperkaya kisah Mahabarata
yang datang dari India, dengan menambah tokoh-tokoh punakawan di dalamnya. Namun
menghadirkan turis yang tidak terencana pada sebuah destinasi akan dapat berakibat
pula pada perusakan struktur sosial warga lokal. Bahkan hal ini dapat terjadi
tanpa disadari oleh kedua belah pihak. Bencana budaya dapat muncul ketika warga
lokal tidak tidak dapat secara arif menghadapi kehadiran gelombang budaya asing ini .
Sering terjadi, justru warga lokal yang mengikuti gaya hidup turis dan bukan
sebaliknya. Hasil penelitian Doxey di Barbados dan Niagara-on the Lake juga
menunjukkan betapa berbahayanya sebuah proses pembangunan pariwisata yang tidak
didesain dengan baik. Pembangunan pariwisata pada awalnya dapat diterima oleh
warga dengan antusias, namun pada akhirnya akan dapat memicu iritasi pada
warga lokal. Di sini warga lokal pada akhirnya akan menerima warisan
kerusakan fisik dan sosial dari pembangunan pariwisata di area nya sendiri.
Menurut Doxey ada beberapa tahapan tahapan perubahan sikap warga lokal
dalam perkembangan suatu destinasi. Untuk menentukan perkembangan sebuah destinasi
dapat dipakai analisa Index of Irritation yang terdiri dari empat tahapan atau fase yakni:
euphoria, apathy, annoyance, dan antagonism. Metode ini lebih mengarah pada analisa
sosial yang mengukur dampak pariwisata dari sisi sosial. Hasil dari analisa ini dapat
mengukur perubahan perilaku warga lokal terhadap kehadiran pariwisata di
area nya.
(1) Phase Euphoria ditandai dengan ditemukannya potensi pariwisata kemudian
pembangunan dilakukan, para investor datang menanamkan modal dengan
membangun berbagai fasilitas bisnis pendukung pariwisata, sementara
turis mulai berdatangan ke sebuah destinasi yang sedang dibangun, namun
perencanaan dan kontrol belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
(2) Phase Apathy ditandai dengan adanya perencanaan terhadap destinasi khususnya
berkaitan dengan aspek pemasaran termasuk promosi pariwisata. Terjadinya
hubungan antara penduduk lokal dengan penduduk luar dengan tujuan bisnis,
sementara turis yang datang berusaha menemukan keistimewaan yang
dimiliki oleh destinasi namun tidak menemukannya.
(3) Phase berikutnya yaitu phase annoyance dengan ditandai terjadinya kelesuan
pada pengelolaan destinasi mulai terasa atau dapat dikatakan mendekati titik
jenuh. Para pemegang kebijakan mencari solusi dengan meningkatkan
pembangunan infrastruktur tanpa berusaha mengurangi jumlah turis yang
datang ke destinasi sehingga kedatangan turis dianggap sudah
mengganggu warga lokal.
4) Phase yang terakhir dalam analisa index of irriatation yaitu antagonism
dimana warga lokal merasa telah terjadi gesekan sosial secara terbuka
akibat kehadiran para turis dan turis dianggap sebagai penyebab dari
segala permasalahan yang terjadi pada sebuah destinasi. Perencanaan pada
destinasi dilakukan dengan melakukan promosi untuk mengimbangi
menurunnya citra destinasi. Jika hal ini terus berlanjut akan muncul apa yang
disebut antagonism di mana warga lokal mulai membenci pembangunan
pariwisata di area mereka yang mendorong terjadinya pengerusakan ataupun
ancaman bagi pariwisata di area nya. Pada tahap di mana kebencian
warga lokal pada pembangunan pariwisata tidak dapat merubah keadaan
yang sudah terjadi, warga mulai menyadari bahwa mereka harus
beradaptasi dengan keadaan warga yang telah berubah secara drastis akibat
pembangunan pariwisata, tahap ini disebut tahap resignation.
Menurut soebandrio perpindahan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya
dalam model irridex Doxey disebabkan oleh tiga hal yaitu : pertama yaitu jarak, semakin
besar jarak ini baik ekonomi maupun budaya antara turis dan warga lokal,
semakin besar akibat sosial yang ditimbulkan dan semakin besar pula kemungkinan
terjadinya pergerakan pada tahapan tahapan yang ada. Kedua, kemampuan area
menyerap secara fisik dan kejiwaan pertumbuhan kunjungan turis , hal ini terkait
dengan perbandingan jumlah mereka yang datang dan jumlah penduduk. Ketiga, jumlah
dan kecepatan perkembangan pariwisata itu sendiri, semakin cepat dan intensif tingkat
perkembangannya, maka semakin besar kecendrungan terjadinya dampak sosial.
6.6 Daya Dukung Lingkungan Kepariwisataan
Seperti telah disinggung dalam uraian sebelumnya, keberlanjutan maupun
kelestarian suatu industri kepariwisataan sangat ditentukan oleh seberapa jauh keberadaan
faktor daya dukung (carrying capacity) lingkungan di suatu destinasi sudah
terlanggar/terlampaui oleh beban kegiatan kepariwisataan yang ada atau belum.
Secara teoritik, setiap destinasi pariwisata akan memiliki tingkat daya dukung
lingkungannya (carrying capacity) yang berbeda-beda dalam mendukung atau menyangga
beban aktivitas kepariwisataan yang ada.
Dalam pengertian yang sangat luas, pemahaman carrying capacity dari suatu
destinasi pariwisata yang dimaksudkan dalam pengertian ini yaitu suatu tingkat daya
dukung lingkungan (phisik, biotik maupun sosial budaya) terhadap gangguan aktifitas
kepariwisataan yang ada, sehingga memungkinkannya untuk dapat berlanjut dalam jangka
waktu yang lama tanpa menimbulkan suatu perubahan lingkungan yang signifikan.
Dalam konteks kepariwisataan, pengertian daya dukung lingkungan (carrying
capacity) dapat juga dimengerti sebagai suatu kondisi dimana jumlah kedatangan, lama
tinggal dan pola perilaku turis di destinasi yang akan memberi dampak pada
warga lokal, lingkungan dan ekonomi warga tadi, masih terjaga dalam batas
aman dan memungkinkan untuk keberlanjutannya bagi kepentingan generasi mendatang.
Kondisi semacam ini dapat dihitung dan dianalisa berdasar pada perhitungan
beberapa variabel penting sebagai berikut :
a. Jumlah kedatangan dan kategori turis
b. Jangka waktu lama tinggal turis
c. Karakter dan pola perilaku turis
d. Karakter dan ketahanan lingkungan setempat, baik pada aspek fisik, biotik, dan
sosial ekonomi dan sosial budaya
Untuk dapat menjelaskan lebih lanjut tentang beberapa faktor determinan atau
penentu terhadap daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang terjadi dalam destinasi
pariwisata, dalam gambar model berikut ini dapat diilustrasikan pola interaksinya antara
kegiatan kepariwisataan yang diukur dari berbagai variabel tadi dan dampak lingkungan
yang ditimbulkan.
Dari ilustrasi gambar berikut dapat dijelaskan bahwa daya dukung lingkungan
(carrying capacity) suatu destinasi pariwisata yaitu kondisi hasil dari fungsi berbagai
macam faktor, baik internal maupun eksternal.
Bagaimanapun juga, kondisi carrying capacity dari suatu destinasi pariwisata akan
memiliki keterkaitan timbal balik antara fihak warga setempat yang bermukim di
destinasi wisata dan faktor turis (faktor eksternal) yang berkunjung dan berinteraksi
dengan warga di destinasi. Seiring dengan berjalannya waktu kondisi warga dan
turis akan bisa juga berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan (carrying
capacity) dari suatu destinasi pariwisata.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep carrying capacity dalam pemahaman
kepariwisataan yang merupakan respon lingkungan terhadap gangguang perilaku
turis di destinasi ini yaitu bersifat dinamis. Secara skematis proses interaksi
antara faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal dalam kepariwisataan yang akan
berakibat pada beban tekanan kepariwisataan terhadap daya dukung lingkungan , dapat dielaborasi lebih lanjut bahwa faktor-faktor internal
yang bisa menjadi penentu dari tingkat kondisi daya dukung lingkungan dalam suatu
destinasi pariwisata yaitu sebagai berikut :
1. Daya dukung sosial
Struktur sosial dan ketahanan warga di suatu destinasi memiliki peran penting
dalam menentukan tingkat daya serap destinasi terhadap turis untuk
mengunjunginya. Sebagai contoh destinasi kota-kota besar seperti London dan New
York yang memiliki kemampuan yang sangat besar dalam menerima dan menyerap
kehadiran turis dan sangat berbeda jauh dari kondisi kemampuan dari warga
di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur yang memiliki tingkat daya serap terhadap
kehadiran turis yang jauh lebih terbatas dan memiliki kerentanan yang lebih
tinggi terhadap dampak negatif yang berasal dari turis yang berkunjung ke
destinasi itu.
2. Daya dukung budaya
sifat dan ketahanan sosial budaya dari suatu destinasi wisata juga memiliki
peran yang sangat menentukan dalam menyerap dampak dari kunjungan turis ke
destinasi ini . Secara teoritik, sifat sosial budaya yang unik (lain dari yang
ada pada umumnya) akan memiliki peluang lebih besar dalam menarik jumlah
turis untuk datang berkunjung. Namun demikian manakala kondisi tadi tidak
disertai dengan pengelolaan ketahanan sosial budaya dengan baik, akan cenderung
menimbulkan dampak yang berupa rusaknya tatanan dan perilaku sosial budaya dan
adat serta tradisi dari warga setempat. Salah satu perwujudan dari keterlanggaran
daya dukung budaya di suatu destinasi yaitu terjadinya komersialisasi dan provanisasi
nilai budaya, seperti : upacara ritual, kesenian tari, seni pertunjukkan, tata busana,
maupun seni kerajinan yang sudah terkooptasi oleh pasar.
3. Daya dukung fisik
Daya dukung lingkungan suatu destinasi, baik pada aspek biotik maupun aspek abiotik
(phisik) juga akan sangat menentukan jumlah maksimum turis yang dapat
ditampung oleh destinasi ini . Seperti halnya yang telah dibicarakan dalam
pembahasan sebelumnya, faktor lingkungan di destinasi wisata akan dapat berubah
karena pengaruh dari kehadiran dan interaksi turis di destinasi ini . Secara
teoritik dapat dikatakan bahwa aspek lingkungan alam lebih rentan dibandingkan
dengan lingkungan buatan dari dampak negatif yang timbul dari aktifitas kepariwisataan
yang ada. Secara hipotetik, tingkat keterlanggaran daya dukung lingkungan phisik di
suatu destinasi yang diakibatkan oleh beban kunjungan turis , akan dapat
dikendalikan melalui langkah-langkah pembatasan pengendalian : jumlah, lama tinggal,
serta perbaikan manajemen perilaku kunjungan turis di destinasi.
4. Daya dukung ekonomi
Secara luas dapat dikemukakan bahwa daya dukung ekonomi di suatu destinasi
merupakan parameter pokok dalam menentukan besaran investasi pengembangan
kepariwisataan di suatu destinasi. Struktur dan kekenyalan sistem ekonomi di suatu
destinasi akan dapat menentukan rasio perbandingan manfaat dan biaya yang terkait
dengan investasi kepariwisataan di suatu destinasi. Semakin berkembang dan maju
perekonomian, maka kondisi industri kepariwisataan di destinasi ini juga akan
semakin kuat. Di samping itu dapat dikatakan bahwa industri kepariwisataan dapat
memberi manfaat yang maksimal dalam arti ekonomi walaupun dengan biaya dan
besaran investasi yang relatif kecil.
5. Daya dukung politik
Daya dukung politik terhadap keberadaan industri kepariwisataan di suatu destinasi
pada hakekatnya merupakan gambaran derajad legitimasi dan akseptabilitas dari
warga yang sekaligus mencerminkan : harapan, cita-cita dan mandat dari
warga pada kinerja kepariwisataan di suatu destinasi wisata. Daya dukung politik
dapat berperan secara aktif untuk mendorong pengembangan industri kepariwisataan di
suatu destinasi. Namun demikian di sisi lain, dukungan warga yang rendah bahkan
mungkin antagonism, menjadi penghalang besar bagi pengembangan industri
kepariwisataan pada destinasi itu sendiri.
6. Daya dukung sumber daya lokal
Daya dukung lingkungan yang berupa ketersediaan sumber daya lokal di destinasi, baik
yang berupa : tenaga kerja, sumber pendanaan, penyediaan lahan maupun peran aktif
para pelaku usaha kepariwisataan dari warga setempat, ternyata akan sangat
berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kepariwisataan di destinasi ini .
Saat ketersediaan sumber daya lokal di destinasi mengalami kelangkaan, maka tingkat
persaingan untuk pemanfaatannya juga akan semakin meningkat dan kesempatan untuk
memanfaatkan sumber daya ini juga akan tinggi, sehingga biaya total yang harus
dibayar dalam penyelenggaraan kepariwisataan akan semakin besar dan keberlanjutan
usaha kepariwisataan akan terganggu.
Di samping faktor-faktor internal, ada beberapa faktor yang bersifat eksternal yang akan
berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan suatu destinasi pariwisata. Beberapa faktor
eksternal ini yaitu :
1. Jumlah dan karakter turis
Seperti telah banyak diuraikan di penjelasan sebelumnya, bahwa sifat
turis akan berpengaruh besar pada perilakunya di destinasi. Interaksi perilaku
turis dengan lingkungan warga akan menjadi faktor penting dalam
menentukan dampak sosial dan budaya warga lokal. Sebagai contoh, pengunjung
yang termasuk dalam kelompok pariwisata (rombongan) cenderung memiliki dampak
sosial dan budaya yang jauh lebih besar daripada mereka yang termasuk kategori
explorer dan petualang yang biasanya tidak berombongan dalam melakukan perjalanan
wisata. Secara umum dapat dihipotesiskan, semakin besar perbedaan latar belakang
sosial budaya antara warga lokal dan turis , maka akan semakin besar pula
konsekuensi dampak perubahannya. sifat turis ini juga termasuk pola
pengeluaran pengunjung, moda transportasi, struktur kelompok, usia, latar belakang
pendidikan, pendapatan dan tujuan kunjungan, semua faktor ini akan berpengaruh
pada sifat dan besarnya dampak aktivitas kepariwisataan pada warga di destinasi.
2. Jenis aktivitas turis
Seperti telah dijelaskan di atas, perilaku kunjungan turis terkait erat dengan
sifat turis yang berkunjung ke destinasi ini . Khususnya pada
aktivitas turis yang tergolong pada segmen turis minat khusus, dalam hal-
hal tertentu memerlukan pengaturan dan cara penanganan secara khusus untuk
meminimalkan dampak negatif. Aktivitas turis yang tergolong dalam gambling
misalnya, kalau tidak diatur secara khusus dalam wujud pembatasan tempat (lokalisasi)
akan dapat dengan mudah meningkatkan aktivitas-aktivitas yang terkait lainnya seperti :
prostitusi, narkoba, dan kejahatan, yang akan menjadi ancaman bagi warga
setempat.
3. Faktor lainnya
Daya dukung infrastruktur yang merupakan ketersediaan berbagai fasilitas pendukung
kepariwisataan seperti : ketersediaan air tanah, sistem pembuangan limbah, sistem
transportasi, jumlah kamar untuk menampung turis , keamanan, fasilitas
kesehatan, fasilitas perbankan dan sebagainya, semua akan sangat berpengaruh pada
kenyamanan turis dalam berinteraksi dengan lingkungan di destinasi.
Keterlanggaran terhadap daya dukung dari infrastruktur ini pada gilirannya akan
menjadi bentuk kampanye negatif terhadap calon turis yang akan berkunjung ke
destinasi ini (Pariwisata Sebagai Industri
Pariwisata yaitu suatu gejala sosial yang sangat kompleks, yang menyangkut
manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek : sosiologis, psikologis, ekonomis,
ekologis, dan sebagainya. Aspek yang mendapat perhatian yang paling besar dan hampir-
hampir merupakan satu-satunya aspek yang dianggap penting ialah aspek ekonomisnya.
Untuk mengadakan perjalanan orang harus mengeluarkan biaya, yang diterima oleh
orang-orang yang menyelenggarakan angkutan, menyediakan bermacam-macam jasa,
atraksi, dan lain-lainnya. Keuntungan ekonomis untuk area yang dikunjungi turis
itulah merupakan salah satu tujuan pembangunan pariwisata.
Dalam hubungan dengan aspek ekonomis dari pariwisata ini, orang telah
mengembangkan konsep ”industri pariwisata”. Banyak pihak yang hampir tidak bisa
menerima pariwisata sebagai industri, padahal banyak literatur pariwisata di awal
dasawarsa 1960-an sudah menyebutkan pariwisata sebagai industri. Pemahaman tentang
istilah “industri” itu sendiri dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang. Bila kita
mendengar istilah “industri” selalu dihubungkan dengan pengertian yang terkandung di
dalamnya, yaitu “proses produksi” yang menghasilkan suatu produk, baik dalam kaitan
perubahan bentuk, peningkatan nilai maupun kegunaannya. Namun dalam beberapa hal,
istilah “industri” diartikan juga dalam pengertian lebih modern: sekumpulan usaha bidang
produksi yang menghasilkan produk (barang atau jasa) yang sejenis. Misalnya industri ban,
industri kimia, industri pharmasi, industri kertas, industri textil, industri perhotelan,
industri catering (hidangan makan/minum), dan sebagainya. Di samping itu, istilah
“industri” juga dapat diterapkan sebagai sebutan terhadap kelompok usaha produksi
dengan proses yang sama, seperti industri batik, industri tenun, industri rekaman, industri
tata busana (fashion), dan sebagainya yang dewasa ini mendapat tempat dalam “industri
kreatif”.
Kalau ada industri tentu ada produk tertentu, di sini produk kepariwisataan. Ada
konsumen, permintaan (demands), dan penawaran (supply). Ada produsen yang
menghasilkan produk untuk memenuhi permintaan konsumen. Dalam hal industri
pariwisata itu agaknya jelas bahwa konsumen itu ialah turis . turis lah yang
memiliki kebutuhan dan permintaan-permintaan yang harus dipenuhi dan untuk itu
turis mengeluarkan uang.
Harus diperhatikan bahwa meskipun kita dapat berbicara tentang industri
pariwisata, akan tetapi industri di sini tidak dalam arti ekonomis biasa. Ada perbedaan-
perbedaan yang nyata. Industri pariwisata yaitu industri yang kompleks, yang meliputi
industri-industri lain. Dalam kompleks industri pariwisata ada industri perhotelan,
industri rumah makan, industri kerajinan/cinderamata, indsutri perjalanan, dan sebagainya.
Di samping itu ada perbedaan-perbedaan lain. Di antaranya yang terpenting ialah
sebagai berikut :
1. Produk tidak dapat dibawa ke tempat kediaman turis , akan tetapi harus
dinikmati di tempat dimana produk itu tersedia.
2. Wujud produk wisata akhirnya ditentukan oleh konsumen sendiri, yaitu turis .
Bagaimana bentuk komponen-komponen produk wisata itu akhirnya tersusun
menjadi suatu produk wisata yang utuh, pada dasarnya turis lah yang
menyusunnya. Atraksi yang dipilihnya, angkutan apa yang akan dipakai nya,
berapa lama dan di hotel mana ia akan singgah, itu semua turis sendirilah
yang menentukan. Sering karena kurang pengalaman dan pengetahuan si calon
turis produk itu diramu oleh perusahaan perjalanan, akan tetapi perusahaan
perjalanan yang berpengalaman selalu menyediakan kemungkinan bagi turis
yang diurusnya untuk mengubah acara perjalanan yang disusunnya itu, misalnya,
dengan memberi waktu bebas yang dapat diisi dengan kegiatan yang dipilih oleh
turis sendiri.
3. Apa yang diperoleh oleh turis sebagai konsumen kalau ia membeli produk
kepariwisataan tidak lain daripada sebuah pengalaman (experiences)
Menurut soebandrio , Pariwisata sebagai suatu industri masih diperdebatkan
diantara para pakar. Batasan pariwisata sebagai suatu industri diberikan secara terbatas,
hanya sekedar untuk menggambarkan apa sebenarnya pariwisata itu. Dengan demikian
dapat memberi pengertian yang lebih luas. Jadi sebenarnya, ide memberi istilah
industri pariwisata (tourism industry) lebih banyak bertujuan memberi daya tarik
susaha pariwisata dapat dianggap sebagai sesuatu yang berarti bagi perekonomian suatu
negara, terutama pada negara-negara sedang berkembang.
Gambaran pariwisata sebagai suatu industri diberikan hanya untuk menggambarkan
pariwisata secara konkret, dengan demikian dapat memberi pengertian yang lebih jelas.
Jadi ide sebenarnya memakai istilah “industri pariwisata” itu lebih banyak bertujuan
untuk meyakinkan orang-orang bahwa pariwisata itu memberi dampak positif dalam
perekonomian, terutama dampak dari multiplier effect yang ditimbulkan.
Sebagai suatu industri, pariwisata tidak dapat diukur, karena tidak memiliki standar
nomor klasifikasi seperti dikatakan oleh Robert Cristie soebandrio dan Alais M. Morrison :
“There is no standard industrial classification number for tourism”. Oleh karena itu seperti
apa pariwisata sebagai suatu industri sukar menjelaskan. namun, keberadaannya dapat
dijelaskan dengan adanya sekelompok perusahaan yang hidup dan kehidupannya sangat
tergantung dari kunjungan turis . Dengan perkataan lain, bila tidak ada turis ,
maka dapat dikatakan kelompok perusahaan ini tidak eksis, karena tidak ada orang yang
akan dilayani
Hanya saja, keberadaan kelompok perusahaan ini tidak berada dalam suatu
kelompok seperti halnya suatu pabrik yang terletak pada suatu lokasi yang sama seperti
halnya dengan suatu pabrik yang biasanya kita kenal. Perusahaan-perusahaan kelompok
industri pariwisata ini berbeda dalam hal : kepemilikan (ownership), manajemen
(management), produk (products), pemasaran (marketing), lokasi (lacation).
Di bawah ini kita coba untuk memberi penggolongan perusahaan-perusahaan
yang dapat diklasifikasikan sebagai industri pariwisata dengan maksud agar dapat
dipergunakan sebagai patokan dalam merumuskan investasi modal dan perkiraan
pendapatan dari sektor ini.
1. Perusahaan Pariwisata Utama langsung
Yang dimaksud dengan perusahaan-perusahaan pariwisata utama langsung yaitu
semua perusahaan yang tujuan pelayanannya khusus diperuntukkan bagi perkembangan
kepariwisataan dan kehidupan usahanya memang benar-benar tergantung padanya. Bila
pemikiran untuk menggolongkan rincian-rincian perusahaan-perusahaan ini dipergunakan
dengan istilah-istilah objek sentra dan subjek sentra, yaitu yang berkisar pada objek dan
pada subjek masing-masing, maka pembagian perusahaan-perusahaan pariwisata dapat
juga dimasukkan ke dalam kategori demikian, tergantung pada kegiatan perusahaan-
perusahaan itu sendiri, apakah kegiatan itu termasuk objek atau subjek pariwisata. Di
bawah ini yaitu perusahaan-perusahaan tergolong dalam objek sentra.
1. Perusahaan akomodasi, termasuk hotel, losmen, tempat berlibur, asrama, bungalow,
homestay, inn, dan lain sebagainya.
2. Tempat peristirahatan khusus bagi pengunjung yang sakit beserta kliniknya,
termasuk pemandian, khusus untuk orang sakit, spa, steambath, peristirahatan
dengan tempat pijatnya, dan sebagainya.
3. Perusahaan angkutan publik, termasuk pengangkutan udara, laut, maupun darat
seperti pengangkutan dengan kereta api, bis, dan mobil (taksi) yang teratur menurut
jaringan-jaringan yang telah ditetapkan bagi pengangkutan umum tidak termasuk
dalam kategori perusahaan angkutan pariwisata. Tetapi mobil, bus, kereta api,
pesawat udara, atau kapal laut, yang dipergunakan khusus untuk keperluan
pariwisata seperti, misalnya untuk berdarmawisata, piknik, berlayar pesiar (cruise),
bersenang-senang dan alat-alat pengangkutan yang diborong (charter) untuk
keperluan ini , mobil dan sepeda motor (rental car or motorcycle) dan
sebagainya yang khusus disewakan kepada turis yaitu termasuk kategori
perusahaan angkutan pariwisata.
4. Perusahaan pengrajin atau manufaktur, seperti perusahaan kerajinan tangan atau
barang-barang kesenian (terkenal dengan nama souvernir), kartu pos bergambar
untuk turis , penerbitan buku-buku petunjuk kepariwisataan dan lain
sebagainya.
5. Toko-toko penjual souvernir, seperti barang-barang kerajinan tangan atau benda-
bend lain khusus untuk turis .
6. Usaha-usaha khusus menyediakan dan menyajikan tempat-tempat rekreasi dan
hiburan-hiburan lain khusus untuk turis .
7. Organisasi atau usaha yang menyediakan pramuwisata (guide), penerjemah,
sekretaris, juru tik, juru strankripsi, perlengkapan konvensi, dan sebagainya.
8. Klab atau lembaga khusus mempromosikan pariwisata dengan jalan mengelola,
mengatur perbaikan, dan kebersihan objek-objek yang dikunjungi para turis
dalam dan luar negeri.
Perusahaan-perusahaan pariwisata yang termasuk dalam kategori ”subjek sentra”
yaitu perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha-usaha bagi orang yang
merasa tertarik akan kebutuhan untuk mengadakan perjalanan atau memberi kesempatan
kepada mereka untuk menikmati perjalanan apabila mereka sendiri tidak mampu untuk
berbuat demikian. Dalam kategori ini, perusahaan yang termasuk subjek sentra yaitu :
1. Perusahaan-perusahaan penerbit kepariwisataan yang memajukan promosi
pariwisata secara umum ataupun khusus
2. Usaha-usaha yang membiayai kepariwisataan seperti bank pariwisata, usaha kredit
pariwisata, badan-badan yang membiayai wisata sosial atau wisata remaja.
3. Perusahaan asuransi pariwisata seperti asuransi kecelakaan, sakit, biaya rumah
sakit, kematian pada waktu mengadakan perjalanan.
Kategori ketiga yaitu perusahaan pariwisata yang menyangkut objek maupun
subjek pariwisata sendiri. Adapun kegiatan usahanya yaitu terdiri dari bentuk,
hubungannya dengan kedua kategori perusahaan di atas. Prototip bentuk hubungan ini
yaitu biro perjalanan umum dan agen perjalanan yang memiliki dwifungsi, yaitu
keagenan pariwisata dan pengaturan perjalanan. Tugasnya yaitu membawa subjek
pariwisata ke objek pariwisata, dengan jalan menyajikan objek ini bagi kebutuhan
turis sebagai subjek (dalam hal ini fungsinya yaitu pengaturan perjalanan) atau
dengan jalan mengatur objek pariwisata yang dikehendaki oleh subjek pariwisata (di sini
fungsinya yaitu sebagai agen pariwisata atau agen perjalanan)
Ciri-ciri Industri Pariwisata
1. Service Industry
Pariwisata disebut sebagai industri jasa karena masing-masing perusahaan yang
membentuk indutri pariwisata yaitu perusahaan jasa (service industry) yang
masing-masing bekerja sama menghasilkan produk (goods and service) yang
diperlukan turis selama dalam perjalanan wisata yang dilakukan pada suatu
area tujuan wisata. Atas dasar itulah pariwisata dapat disebut sebagai industri
jasa (service industry). Adapun faktor-faktor produksinya yaitu :
1. Kekayaan alam (natural resources)
2. Modal (capital)
3. Tenaga kerja (manpower)
4. Keterampilan (skill)
2. Labor intensive
Industri pariwisata mampu menumbuhkan dan menciptakan kesempatan kerja, baik
langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan keperluan manusia yang
melakukan perjalanan wisata. Oleh sebab itu, sektor pariwisata tergolong dan
berpeluang sebagai kegiatan padat karya. Mulai dari usaha jasa pariwisata, usaha
objek dan daya tarik wisata (alam, budaya, maupun minat khusus) sampai dengan
usaha sarana pariwisata (akomodasi, restoran, dan area ) secara langsung
menciptakan lapangan kerja yang tidak kecil jumlahnya. Apalagi secara tidak
langsung atau yang merupakan dampak pengganda (multiflier effect)
pengembangan pariwisata itu sendiri, dapat menimbulkan kesempatan bekerja dan
kesempatan berusaha yang cukup luas. Misalnya, pembangunan konstruksi
prasarana dan sarana pariwisata, termasuk apabila dikaitkan dengan
berkembangnya kerajinan rakyat dan kreasi-kreasi baru bidang seni pertunjukkan di
area -area padat wisata. Hal ini menandakan bahwa dengan banyaknya industri
pariwisata yang ada pada suatu wilayah atau area membawa dampak positif
terhadap pengentasan kemiskinan dan pengangguran pada wilayah yang
bersangkutan.
3. Capital intensive
Untuk membangun sarana dan prasarana industri pariwisata diperlukan modal yang
besar untuk investasi, akan tetapi di lain pihak pengembalian modal yang
diinvestasikan itu relatif lama dibandingkan dengan industri manufaktur lainnya.
4. Sensitive
Industri perjalanan itu sangat peka sekali terhadap keadaan sosial, politik,
keamanan (security), dan kenyamanan (comportably). Kita mengetahui turis
yaitu orang-orang yang mencari kesenangan pada suatu destinasi, sehingga
dengan adanya situasi politik, kondisi sosial keamanan yang stabil, baik di negara
asal turis maupun di negara yang akan dikunjungi, biasanya menjadi faktor
penentu bagi turis , apakah akan melakukan perjalanan wisata atau tidak.
5. Seasonal
Permintaan akan perjalanan wisata juga ditentukan oleh musim ramai (peak season)
atau musim sepi (off season). Musim ramai (peak season) terjadi pada hari-hari
libur seperti libur sekolah (school holiday), atau libur akhir tahun seperti Natal dan
Tahun Baru. Pada musim ramai ini dapat dikatakan permintaan meningkat
dibandingkan dengan hari biasanya. Pada musim ramai ini, walau harga-harga
relatif meningkat, namun permintaan untuk melakukan perjalanan wisata umumnya
tetap tinggi. Sebaliknya, pada musim sepi (off season) permintaan untuk melakukan
perjalanan wisata akan menurun. Adanya fluktuasi naik atau turunnya permintaan
untuk berkunjung pada suatu area tujuan wisata (DTW) tertentu, merupakan
masalah bagi industri pariwisata. Sebagai akibat terjadinya fluktuasi itu, banyak
biro perjalanan wisata dan area tujuan wisata mengalami kesulitan, karena pada
musim ramai dirasakan kekurangan sarana atau tenaga yang melayani turis ,
sedangkan pada musim sepi semua sarana dan karyawan menjadi menganggur
karena tidak ada yang dilayani, sehingga menimbulkan pengangguran.
6. Quick yielding industry
Dengan mengembangkan pariwisata sebagai industri, devisa (foreign exchanges)
akan lebih cepat bila dibandingkan dengan kegiatan ekspor yang dilakukan secara
konvensional. Hal ini bisa dilihat dari sejak turis menginjakkan kakinya di
negara yang dikunjungi, karena saat itu wisatawna harus membayar semua
kebutuhannya, mulai dari akomodasai, hotel, makanan dan minuman, transportasi,
souvernir, dan lain-lain.
Produk yaitu suatu barang atau jasa yang ditawarkan pada konsumen untuk
memperoleh pendapatan (income) melalui sistem perdagangan yang umum berlaku. Pada
umumnya, produk juga didefinisikan sebagai segala sesuatu (benda fisik, jasa, tempat,
organisasi, dan ide) yang dapat ditawarkan (ke pasar) untuk diperhatikan, dipakai ,
diakuisisi, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan pelanggan.
Globalisasi meningkatkan keseragaman dan modifikasi produk-produk pariwisata melalui
ekspansi dan atau outsourcing yang membentuk homogenitas standar rantai nilai produk
destinasi, hotel, lingkungan dan penjual, oleh karena itu sangat mungkin, perusahaan akan
dikejutkan oleh penurunan pengalaman berwisata dan di sisi lain meningkatnya kesulitan
dalam menggerakkan pemasaran untuk membedakan diri dari pesaing. Sistem pemasaran
berbasis pasar dipandu oleh nilai, minat, motivasi dan keuntungan. Oleh karena itu, secara
umum, nilai dari sebuah produk yaitu segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen (turis ) dapat terwujud atau
tidak berwujud atau kombinasi keduanya.
Produk industri pariwisata tidak banyak berbeda dengan komoditi yang banyak
diperdagangkan seperti yang kita ketahui, dalam perdagangan produk industri pariwisata
juga berlaku hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply). Produk pariwisata
(tourism product) merupakan suatu bentukan yang nyata (tangible product) dan tidak nyata
(intangible product), dikemas dalam suatu kesatuan rangkaian perjalanan yang hanya dapat
dinikmati, apabila seluruh rangkaian perjalanan ini dapat memberi pengalaman
yang baik bagi orang yang melakukan perjalanan atau yang memakai produk ini .
Sehingga bentuk dari produk pariwisata itu pada hakikatnya yaitu tidak nyata, karena
dalam suatu rangkaian perjalanan ada berbagai macam unsur yang saling melengkapi,
tergantung pada jenis perjalanan yang dilakukan oleh turis . Seperti ilustrasi misalkan
turis akan melakukan perjalanan ke sebuah pulau dengan tujuan menikmati
keindahan taman alam bawah laut di sekitar pulau ini , tentunya turis akan
memerlukan fasilitas penunjang, seperti perahu untuk menyeberang ke pulau, fasilitas
kendaraan yang membawa mereka dari rumah ke pulau yang dituju dan setibanya di pulau,
turis memerlukan fasilitas akomodasi dilengkapi makan dan minum selama berada
di pulau itu, serta tentu adanya perlengkapan untuk menyelam. Dengan demikian,
berdasar ilustrasi di atas jelas bahwa rangkaian perjalanan turis ke sebuah pulau
memerlukan komponen produk pariwisata secara holistik dan tidak bisa berdiri sendiri-
sendiri, yang berarti bahwa fasilitas penunjang, transportasi, akomodasi, makan dan minum
serta perlengkapan menyelam dan bahkan atraksi wisata di pulau ini merupakan satu
kesatuan yang saling mengikat dan melengkapi untuk tujuan menciptakan kepuasan
pengalaman rekreasi bagi turis . Dan masih banyak komponen produk pariwisata lain
yang tidak nampak dalam ilustrasi ini , yang pada umumnya disebut sebagai
komponen pelayanan, seperti yang terjadi pada saat petugas memberi layanan kepada
turis pada saat turis berada di berbagai fasilitas yang dipakai . Dari uraian
ini , secara umum mudah dikenali bahwa produk pariwisata terdiri dari aksesibilitas,
fasilitas dan pelayanan serta atraksi wisata dan hiburan.
Produk industri itu dikemas dari bermacam-macam produk perusahaan kelompok
industri pariwisata yang dikonsumsi turis dalam perjalanan wisata yang
dilakukannya. Produk-produk yang membentuk suatu paket wisata (package tour) itu
paling sedikit terdiri dari tempat duduk (seat) di pesawat, kamar hotel (rooms) tempat
dimana akan menginap, makan dan minum di restoran, objek dan atraksi wisata (tourist
attractions) yang akan dilihat atau disaksikan di area tujuan wisata yang akan
dikunjungi.
Menurut soebandrio (1994:14), kegiatan pariwisata dapat menjadi besar disebabkan
tiga hal. Pertama, penampilan yang eksotis dari pariwisata; kedua, adanya keinginan dan
kebutuhan orang modern yang disebut hiburan waktu senggang; dan ketiga, memenuhi
kepentingan politis pihak yang berkuasa dari negara yang dijadikan area tujuan
pariwisata. Memang, sebagian besar aktivitas pariwisata berkaitan dengan mobilitas
dengan istilah pariwisatanya disebut tur, yaitu suatu kegiatan perjalanan yang memiliki
ciri-ciri tersendiri yang memberi warna wisata, bersifat santai, gembira, bahagia, dan untuk
bersenang-senang ,
berdasar aktivitasnya, penyelenggaraan pariwisata harus memenuhi tiga
determinan yang menjadi syarat mutlak. Pertama, harus ada komplementaritas antara motif
wisata dan atraksi wisata, kedua, komplementaritas antara kebutuhan turis dan jasa
pelayanan wisata, ketiga, transferbilitas, artinya kemudahan untuk berpindah tempat atau
bepergian dari tempat tinggal turis ke tempat atraksi wisata (Soekadijo, 1997:23).
Dipertegas oleh Witt dan Motinho (1994:2) yang menjelaskan sistem pariwisata
menunjukkan bahwa pariwisata berada di dalam lingkungan fisik, teknologi, sosial,
budaya, ekonomi dan politik. Sistem ini melibatkan dua tipe area yaitu area yang
menghasilkan dan area yang menerima. Bagian dari area yang menghasilkan terdiri dari
pelayanan tiket, tur operator, dan agen perjalanan, ditambah dengan pemasaran dan
kegiatan promosi dari persaingan area tujuan. Saluran tranportasi dan komunikasi
yang menghubungkan bagian dari sistem pariwisata melalui tranportasi udara, daratan dan
air yang membawa turis ke dan dari yaitu ketiga bagian ini . Sedangkan area
penerima menyediakan fungsi akomodasi, catering, minuman, industri hiburan, obyek dan
atraksi wisata, tempat pembelanjaan dan pelayanan wisata. Atas penegasan ini
memperjelas bahwa produk pariwisata meliputi keseluruhan pelayanan yang diperoleh,
dirasakan atau dinikmati turis , semenjak ia meninggalkan rumah dimana biasanya ia
tinggal, sampai ke area tujuan wisata yang telah dipilihnya dan kembali ke rumahnya
(soebandrio ,1996:172). Ditambahkan oleh Baud-Bovy (soebandrio , 2002:128) bahwa produk
pariwisata yaitu sejumlah fasilitas dan pelayanan yang disediakan dan diperuntukkan bagi
turis yang terdiri dari tiga komponen, yaitu sumber daya yang ada pada suatu
area tujuan wisata, fasilitas yang ada di suatu area tujuan wisata dan transportasi
yang membawa dari tempat asalnya kesuatu area tujuan wisata tertentu.
Bagaimana kalau seorang turis yang melakukan perjalanan wisata secara
individu dan membeli komponen paket wisata secara terpisah (tiket dipesan sendiri, kamar
hotel dicari pada waktu di kota yang dikunjungi, makan dipilih dimana mereka suka,
hiburan sesuai dengan event yang ada, obyek dan atraksi wisata dipilih setelah sampai di
area tujuan wisata yang dikunjungi) yang mana dalam hal ini dapat disebut sebagai
produk industri pariwisata ? Dalam hal ini, soebandrio (2002:128) menjelaskan si turis
membeli ketenangan secara terpisah (buy separately) yang langsung membeli kepada unit-
unit usaha yang termasuk dalam kelompok industri pariwisata. Hal seperti ini tidak dapat
dikatakan membeli produk industri pariwisata, tetapi membeli produk airline (tiket), hotel
(kamar), restaurant (food and beverages), entertainment (cultural performance), tourist
attractions (natural and cultural resources).
Dari uraian ini , semakin jelas bahwa produk industri wisata merupakan
produk gabungan (composite product), campuran dari berbagai obyek dan atraksi wisata
(tourist attractions), tranportasi (transportation), akomodasi (accommodations) dan
hiburan (entertainment). Tiap komponen disuplai oleh masing-masing perusahaan atau unit
kelompok industri pariwisata. Kini semakin jelas, bila dilihat dari sisi turis , produk
industri pariwisata itu tidak lain yaitu suatu pengalaman yang lengkap semenjak ia
meninggalkan negara asal dimana ia biasa tinggal berdiam, selama di area tujuan wisata
yang dikunjungi, hingga ia kembali pulang ke tempat asalnya semula di mana ia biasa
tinggal.
Berkaitan dengan produk pariwisata menurut Marrioti
manfaat dan kepuasan berwisata ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan, yaitu
pertama, tourist resources yaitu segala sesuatu yang ada di area tujuan wisata yang
merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat area
tujuan wisata dan kedua, tourist service yaitu semua fasilitas yang dapat dipakai dan
aktifitas yang dapat dilakukan yang pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara
komersial.
Produk pariwisata merupakan produk jasa yang bersifat kompleks dan memiliki
sifat spesial, dimana akan membedakan mereka dengan produk manufaktur, seperti
produk barang-barang elektronik ataupun hasil bumi. Pemahaman atas sifat produk
pariwisata sangat diperlukan dalam keberhasilan suatu pemasaran produk pariwisata
ini . Untuk lebih jelasnya, sifat tentang produk pariwisata yang merupakan
produk jasa, sifat nya antara lain sebagai berikut.
1) Intangibilty
Sebuah produk jasa yang bersifat intangible artinya produk ini tidak dapat
didemontrasikan atau dicoba (dites) sebelum dibeli atau dipakai . Berbeda dengan
produk mobil yang bisa dicoba pada show room atau produk televisi yang dapat
disaksikan kejernihan gambarnya karena bisa dicoba. Produk jasa atau pariwisata
hanya dapat sebatas menawarkan janji atau garansi serta ketepatan waktu penyediaan
jasa kepada turis yang akan melakukan perjalanan wisata. Penyediaan brosur,
video, dan media lainnya kurang lebih dapat menutupi permasalahan yang timbul
sebagai akibat dari tidak memungkinkannya seorang calon turis bisa mencoba
suatu produk pariwisata.
2) Perishability
Artinya, sebuah produk jasa seperti produk pariwisata (tidak seperti produk barang)
yang tidak dapat disimpan lama, dan kemudian untuk dijual saat harga tinggi. Produk
pariwisata yang tidak dapat terjual pada saat itu, artinya tidak dapat dijual selama-
lamanya. Seperti contoh: penjualan kamar hotel, penjualan tempat duduk pada pesawat
terbang, penjualan tempat seminar pada convention center.
3) Inseparibility
Pada umumnya, produk jasa diproduksi dan dikonsumsi pada tempat yang sama dan
bersamaan. Tidak sama seperti barang, suatu produk pariwisata harus dikonsumsi pada
tempat di mana produk itu dihasilkan. Contohnya: Jika seorang turis ingin
berlibur dan menikmati keindahan suasana pantai Kuta, gemerlapnya suasana Kuta -
Bali di malam hari, maka seorang turis harus datang ke Bali. Artinya, tidak
mungkin pantai Kuta yang indah itu dibawa ke area asal turis ini .
Berbeda dengan produk barang seperti: DVD player, sebuah produk yang dibuat di
Jepang tetapi dapat diperoleh atau dikonsumsi di mana saja. Jadi, tidak harus pergi
jauh-jauh ke Jepang hanya untuk mendapatkan atau membeli sebuah DVD player.
Dengan mengetahui sifat suatu produk pariwisata, maka juga dapat diketahui
betapa sensitifnya dan penuh resiko yang tinggi. Suatu produk pariwisata akan
dipengaruhi oleh hal-hal, seperti terorisme, wabah penyakit, keamanan politik suatu
negara, dan isu-isu lainnya.
4) Complementarity of tourist service
Produk masing-masing perusahaan pariwisata itu baru akan tinggi nilainya bila produk
yang satu dikombinasikan dengan produk yang lain hingga memiliki nilai yang lebih
tinggi (value added) bagi konsumen pemakainya seperti turis .
5) Pemasaran memerlukan dukungan organisasi resmi
Karena sifat dan karakter produk industri pariwisata yang jauh berbeda dengan produk
manufaktur, apalagi dengan karakter supply yang terpisah-pisah dan terdiri perusahaan
kecil menengah, sedang permintaan dalam satu paket wisata yang utuh, maka wajar
pemerintah ikut membantu suksesnya pemasaran dalam kepariwisataan.
6) Memerlukan after sales service
Salah satu faktor yang paling penting dan menentukan yaitu pelayanan purna jual
(after sales service). Umumnya orang tidak mau membeli barang berharga yang tidak
disertai pelayanan purna jual.
Di samping itu, turis akan melakukan perjalanan wisata bila ada
hubungan antara motif melakukan wisata dengan area yang dituju. Sedangkan
perjalanan wisata dapat dilakukan bila ada sarana untuk mencapai tempat ini , seperti
pesawat terbang, kereta api, kapal laut dan kereta. Sarana ini tidak cukup memenuhi syarat
bila di area yang menjadi area tujuan wisata tidak dilengkapi sarana untuk keperluan
hidup turis selama berwisata, seperti jasa makanan dan minuman, akomodasi,
hiburan, tempat perbelanjaan dan sarana tranportasi yang dapat mengantarkan ke tempat-
tempat wisata yang lainnya. Agar perjalanan wisata ke area tujuan wisata dapat
terpuaskan, maka diperlukan pengemasan produk pariwisata yang sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan turis .
Pandangan keseluruhan produk pariwisata sangat relevan dengan keputusan
pemasaran yang diambil oleh usaha perorangan di sektor pariwisata. Hal ini menentukan
hubungan timbal balik dan cakupan untuk kerjasama dan kemitraan antara pemasok di
berbagai sektor industri, misalnya antara transportasi dan akomodasi. Tapi dalam
merancang produk mereka menawarkan layanan khusus di sekitar wilayah kerja mereka,
ada yang dimensi internal produk untuk pemasar untuk mempertimbangkan. Ini yang
umum untuk semua bentuk pemasaran konsumen dan bagian teori pemasaran secara luas
diterima. Produk pariwisata merupakan produk komposit yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lainnya dalam membentuk pengalaman berwisata. Hal ini menunjukkan totalitas
produk yang terdiri dari packaging, programming, people, dan partnership sebagai bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari core product, facilitating product, supporting product dan
augmented product.
1. Core Product
Core product dalam pariwisata yaitu serangkaian layanan penting dari sebuah produk
intangible yang dirancang dan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan turis ,
manfaat inti yang dirasakan dan dicari oleh pelanggan, dinyatakan dalam kata-kata dan
image yang dirancang untuk memotivasi pembelian. Untuk kegiatan akhir pekan,
manfaat inti dapat didefinisikan sebagai relaksasi, istirahat, menyenangkan dan
pemenuhan kebutuhan dalam konteks keluarga. Jika terpenuhi maka inilah sebetulnya
jawaban terhadap apa yang sebenarnya akan dibeli oleh konsumen. Setiap produk
yaitu paket untuk memecahkan masalah konsumen. Jika sebaliknya maka produk
bukan produk inti.
Perlu dicatat bahwa produk inti mencerminkan sifat dan kebutuhan target
pelanggan, bukan hotel atau destinasi. Produk inti menetapkan pesan utama dimana
destinasi atau hotel mengomunikasikan dirinya. Destinasi dirancang untuk
mengkomunikasikan produk inti yang lebih baik dibandingkan pesaingnya, dan
menyampaikan pesan manfaat yang jauh lebih baik dibandingkan lainnya. Semua
perusahaan mengarah pada kebutuhan dasar pelanggan biasanya cenderung tidak terlalu
cepat berubah, tetapi perusahaan harus berubah secara drastis dalam memenuhi
kebutuhan turis dengan lebih baik, ini mungkin karena (1) tekanan pesaing
sehingga pelanggan beralih, atau (2) persepsi pelanggan tidak pernah dipahami dengan
cepat.
Produk inti ini menjadi produk formal (berwujud) yang ditawarkan secara khusus dan
juga resmi sebagaimana tercantum dalam situs brosur atau web, menyatakan apa yang
akan diberikan kepada turis pada waktu tertentu pada harga tertentu, misalnya
kunjungan dua hari-malam dan dua kali sarapan di lokasi tertentu, memakai kamar
standar : kamar mandi, telepon, televisi, lift, kedai kopi, AC, dan kolam renang semua
dalam bentuk formal dan nama hotel beserta destinasi juga disertakan.
Dalam produk hotel umumnya, dianggap sebagai komoditas dan harga mungkin
menjadi alasan utama para turis untuk menentukan pilihan, atau setidaknya
pelanggan akan mudah mengenali identitas perusahaan. Gambaran produk resmi, bukti
fisik, penggunaan desain dan identifikasi sebagai salah satu cara untuk membedakan,
membuat lebih nyata dan mengkomunikasikan produk formal dalam pikiran calon
pembeli dan membentuk dasar atau berlanjut pada sebuah kontrak atau transaksi
penjualan.
2. Facilitating product
Jasa atau barang harus hadir untuk tamu/pengunjung agar bisa memakai produk
inti. Ini sangat bervariasi untuk produk dan jasa yang berbeda dan sangat tergantung
pada espektasi para tamu. Sebagai contoh, sebuah hotel berkelas dimana tamu
memerlukan layanan check in dan layanan check out, telepon, restoran, dan layanan
lainnya. Di sisi lain, di sebuah hotel melati dengan layanan terbatas, fasilitas layanan
mungkin tidak lebih dari layanan check in dan layanan check out , telepon umum. Selain
itu, salah satu aspek penting dalam facilitating product yaitu aksesibilitas. Misalnya,
tamu mengharapkan hotel berbintang untuk menyediakan fasilitas bisnis dan dapat
diakses ketika tamu ingin memakai layanannya. Oleh karena itu, desain produk
sangat memerlukan pemahaman target pasar dan fasilitas layanan yang mereka
butuhkan.
3. Supporting product
Produk inti umumnya memerlukan facilitating product tetapi belum tentu memerlukan
supporting product. Supporting product tambahan yang ditawarkan untuk menambah
nilai produk inti dan membantu memberdayakan posisinya diantara pesaing. Sebagai
contoh, supporting product dalam sebuah hotel misalnya menyediakan layanan pusat
bisnis, spa, atau layanan purna jual dapat membantu untuk menarik pelanggan ke hotel,
atau repeater. Facilitating product untuk satu segmen pasar dapat mendukung produk
yang lain, sementara supporting product tidak selalu, misalnya keluarga mungkin tidak
memerlukan restoran dan layanan lainnya ketika menginap di sebuah hotel, turis
bisnis tergantung diri mereka sendiri.
4. Augmented product
Augmented product (produk tambahan) terdiri dari semua bentuk nilai tambah yang
disediakan oleh produsen untuk memperkuat tawaran produk inti, untuk membuat
tawaran kita lebih menarik dari tawaran pesaing kepada calon turis . Augmented
product termasuk aksesibilitas, atmosfer, interaksi pelanggan dengan layanan
organisasi, partisipasi atau keterlibatan pelanggan, dan interaksi antar pelanggan. Unsur-
unsur ini harus terintegrasi dengan produk inti, facilitating product, dan supporting
product akan menentukan apa yang akan diterima oleh pelanggan, bukan persoalan
bagaimana mereka menerimanya. Menawarkan produk inti dan produk tambahan,
menggabungkan apa yang akan ditawarkan dan cara menyampaikannya itulah masalah
yang tidak pernah usang dalam bisnis. Augmented product berwujud dan tidak berwujud
sulit didefinisikan dengan presisi yang tepat, terutama untuk mencari keunggulan
kompetitif dan perbedaan penting sebuah produk formal dan totalitas semua manfaat
produk dalam kaitannya dengan penyampaian produk kepada pelanggan. Produk
tambahan harus dapat mengekspresikan nilai tambah di atas tawaran resmi. Ini
merupakan area penting bagi kesempatan produsen untuk membedakan produk mereka
dari pesaing.
Perusahaan dapat menambahkan manfaat tambahan tangible ke produk inti formal
walaupun terkesan sepele seperti kotak cokelat gratis, atau segelas es teh atau lainnya
pada saat kedatangan, sampai pada bentuk yang signifikan, seperti tiket masuk ke
tempat-tempat hiburan lokal. Tambahan lain mungkin dalam bentuk intangible, seperti
kualitas layanan yang disediakan, keramahan staf dan suasana yang hangat dan
menyenangkan. Prinsipnya semua elemen tambahan harus dirancang dan dikembangkan
untuk menambah manfaat produk inti dan dihitung seberapa kekuatannya dalam
meningkatkan daya tarik untuk memenuhi kebutuhan segmen sasaran. Dengan
demikian, produk pariwisata merupakan 1) totalitas tawaran manfaat dari sebuah paket
produk berwujud dan tidak berwujud yang dimaknai atau dipersepsikan oleh turis
sebagai suatu pengalaman dari setiap destinasi yang berbeda dengan harga yang sama
atau berbeda; 2) total tourist product yaitu totalitas mental construction dalam benak
konsumen saat melakukan transaksi produk wisata, misalnya keinginan dan harapan; 3)
specific tourist product yaitu produk yang dikonsumsi oleh turis untuk produk
utama, misalnya akomodasi, transportasi, atraksi, daya tarik wisata, dan fasilitas
pendukung lainnya seperti persewaan mobil dan penukaran uang asing.
5. Partnership
Kemitraan (partnership) pemasaran menjadi sangat relevan dalam pemasaran
pariwisata, konsep relationship marketing (membangun, memelihara, dan
meningkatkan relasi jangka panjang) dengan turis , pemasok, dan perantara dalam
travel trade mendapat nilai strategisnya dalam pemasaran pariwisata. Kemitraan bisa
berbentuk kerjasama promosi (joint promotion) maupun kerjasama penjualan (sales
cooperation) diantara pelaku usaha maupun dengan pemerintah. Bentuk kerjasama bisa
berdurasi pendek maupun perjanjian kerjasama pemasaran jangka panjang yang
melibatkan penyedia produk lintas industri maupun pemerintah lintas wilayah .
6. People
Seperti telah disebutkan sebelumnya, produk pariwisata yang mengandung banyak
komponen jasa dan pelayanan. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya manusia
menjadi tantangan tersendiri dalam pemasaran pariwisata. Service culture dan
kreativitas packaging dan programming memerlukan pengelolaan sumber daya
manusia dan intellectual capital secara strategis. Dalam hal ini, pelatihan, pengendalian
kualitas, standarisasi kualifikasi dan sertifikasi kompensasi sumber daya bidang
pemasaran pariwisata menjadi bagian penting dalam menentukan keberhasilan
pemasaran suatu destinasi wisata.
7. Packaging
Dalam industri pariwisata, packaging merupakan elemen yang ikut menentukan daya
saing produk wisata. Serangkaian produk wisata yang dikemas dan dijual dengan
menarik akan membentuk pengalaman berwisata yang menarik pula. Packaging yaitu
kombinasi dari jasa dan daya tarik wisata yang saling berkaitan dalam satu paket
penawaran harga.
8. Programming
Programming yaitu suatu teknik yang berkaitan dengan packaging, yaitu
pengembangan aktivitas tertentu, acara atau program untuk menarik dan meningkatkan
pembelajaan turis , atau memberi nilai tambah pada paket atau produk wisata.
9. Kemasan atraksi
Kesempatan besar lainnya manfaat ekonomi yang signifikan yaitu mendorong dan
memfasilitasi peluang kemasan paket produk liburan dalam jumlah hari (misalnya 3, 5,7
hari) yang sepenuhnya inklusif dalam menciptakan dominasi pengalaman liburan dalam
berbagai ragam produk. Kemasan atraksi berpotensi positif terhadap semua sektor
industri dan akan mendorong operator wisata terisolasi ke jaringan korporasi
Oleh karena itu, kemampuan untuk memenuhi memotivasi perjalanan seperti
kebutuhan untuk menghilangkan kejenuhan, relaksasi, petualangan atau lainnya bervariasi
antar segmen dan tergantung pada tujuan perjalanan. Produk destinasi yang disediakan
mungkin menawarkan produk inti yang berbeda untuk pasar yang berbeda dan pada waktu
yang berbeda karena destinasi dilihat oleh turis sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Produk tambahan merupakan komponen yang memberi nilai tambah terhadap produk
inti, itulah sebabnya provider, travel agent dan host lainnya sebagai bagian dari totalitas
produk harus memastikan bahwa mereka dapat memberi jaminan kepuasan untuk
mengatasi resiko perjalanan yang mungkin akan dialami
Siklus Hidup Produk Pariwisata
Konsep pemasaran produk dirancang untuk memenuhi kebutuhan target pasar.
Namun produk utama destinasi wisata terbaik biasanya sulit untuk beradaptasi dengan
perubahan permintaan. Misalnya perang harga antar tour operator yang memicu
parmintaan akomodasi meningkat, mendorong pembangunan hotel baru. Pergeseran
permintaan pasar dan destinasi berkembang melalui siklus hidup produk yang
menunjukkan fluktuasi permintaan dan munculnya kesempatan baru, mengidentifikasi
potensi peluang dan permasalahan yaitu cara bijak untuk menyelamatkan kegagalan
usaha. Siklus hidup produk (product life cycle) pariwisata ditandai oleh lima tahapan yang
berbeda :
1. Pengembangan produk
Tahap ini dimulai ketika perusahaan menemukan dan mengembangkan ide produk
baru. Selama pengembangan produk, penjualan nol dan biaya investasi bertambah.
Dalam pengembangan produk wisata perlu mempertimbangkan :
a) Dalam kondisi tertentu, pengembangan produk dilakukan dari produk yang
sudah ada, dengan lebih menekankan pada peningkatan style, tampilan produk
dan nilai tambah untuk meningkatkan daya tarik yang lebih besar, daripada
membuka destinasi wisata baru
b) Pengembangan produk harus mempertimbangkan partisipasi warga lokal,
budaya, karakter ikatan sosial, dan lingkungan alam. Manajemen dan
warga lokal dapat menikmati keuntungan dari pariwisata dalam
keselarasan dengan budaya, sosial, dan lingkungan setempat.
c) Kerjasama antar unit di area , dikoordinasikan dengan dukungan teknologi
informasi dan komunikasi untuk merangsang apresiasi terhadap pentingnya
pengembangan produk untuk kepentingan warga lokal secara
keseluruhan.
d) Situasi dan tren pariwisata dipertimbangkan, karena akan menjadi faktor
penentu permintaan pasar.
2. Tahap introduksi
Sebagai produk yang diperkenalkan ke pasar, keuntungan belum ada, biaya-biaya
tambahan masih diperlukan dalam pengenalan produk. Tahap pengenalan
memerlukan waktu, dan pertumbuhan penjualan cenderung masih lambat.
Misalnya, ketika hotel berbintang yang baru diperkenalkan, sementara pemain
sudah banyak maka budget tambahan untuk promosi diperlukan sampai hotel
ini membuktikan diri di pasar.
3. Tahap pertumbuhan
Ini merupakan tahap penerimaan pasar yang cepat dan keuntungan mulai
meningkat. Perusahaan memakai beberapa strategi untuk mempertahankan
pertumbuhan pasar yang cepat selama mungkin, dengan cara : 1) meningkatkan
kualitas produk, layanan dan menambah fitur dan varians produk, 2)
mengembangkan segmen pasar baru, 3) memperluas saluran distribusi baru, 4)
pergeseran pesan iklan dari membangun kesadaran produk menjadi membangun
keyakinan terhadap produk dan pembelian, atau 5) menurunkan harga pada saat
yang tepat untuk menarik lebih banyak pembeli
4. Tahap Kedewasaan
Tahap ini menunjukkan masa perlambatan pertumbuhan penjualan karena produk
telah mencapai penerimaan oleh sebagian besar pembeli potensial. Laba sering
mendatar atau menurun akibat persaingan dan strategi pertahanan produk. Tahap
ini biasanya berlangsung lebih lama dari tahap 2 dan 3 sebelumnya. Tahap ini
merupakan tantangan terbesar bagi marketer. Sebagian besar produk dalam tahap
ini berisi pesaing-pesaing yang sudah mapan di segmen pasar utama. Dengan
demikian, manajer produk seharusnya tidak hanya mempertahankan produk tetapi
harus mempertimbangkan memodifikasi target pasar, produk, dan bauran
pemasarannya.
5. Tahap penurunan
Pada tahap ini ditandai oleh penjualan dan keuntungan yang menurun dengan cepat.
Penurunan ini karena berbagai alasan, misalnya kemajuan teknologi, pergeseran
selera konsumen, dan meningkatnya persaingan. Akibatnya, beberapa perusahaan
menarik diri dari pasar karena mempertahankan produk yang lemah bisa sangat
mahal, dan bukan hanya dalam hal penjualan dan keuntungan berkurang, tetapi
juga menguras waktu manajemen. Oleh karena itu, manajemen harus memutuskan
apakah akan mempertahankan, memanen, atau menjualnya.
Kegunaan Product Life Cycle (PLC) dapat menggambarkan kelas produk (restoran
cepat saji) bentuk produk (makanan cepat saji). Product Life Cycle disamping sebagai alat
prediksi, tetapi juga sebagai cara mengonseptualisasikan pengaruh pasar, lingkungan, dan
persaingan. Tidak semua produk mengikuti siklus hidup produk. Beberapa produk yang
diperkenalkan dan cepat mati, misalnya, klub malam trendi seringkali akan memiliki siklus
hidup yang pendek dengan kurva yang lebih curam. Hotel sering mulai mengalami
penurunan dan kemudian melalui renovasi dan reproduksi, popularitasnya kembali menjadi
besar dan memasuki tahap pertumbuhan baru.
Menciptakan Daya Saing Produk
negara kita sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000
pulau, 300 lebih suku bangsa merupakan sebuah destinasi pariwisata yang sangat besar dan
kaya dengan keragaman sumber daya wisata, baik alam, dan budaya. Ini memerlukan
manajemen atraksi, dukungan sarana-prasarana dan infrastruktur, serta dukungan
warga di sekitar destinasi perlu diperkuat agar potensi-potensi kepariwisataan dan
produk-produk pariwisata dapat dikelola dan dikemas sebagai produk wisata yang
menarik, berdaya saing tinggi, dan menciptakan unique selling points bagi turis .
Menciptakan daya saing dapat dilakukan melalui inovasi brand. Produk wisata
dengan konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan mampu menciptakan jenis wisata
baru, yaitu produk wisata yang ramah lingkungan (green tourism). Inovasi brand sebagai
bagian penting dari konsep marketing dalam menghasilkan :
a) Atraksi wisata alam atau budaya yang sesuai dengan prinsip kelestarian
lingkungan, misalnya model ecotourism, adventure tourism, wildlife tourism, dan
community based tourism
b) Akomodasi wisata, misalnya penginapan dan restoran yang ramah lingkungan
c) Aksesibilitas wisata seperti jalan dan transportasi yang ramah lingkungan
d) USP (Unique selling point) keunikan nilai jual dari sebuah produk wisata
Dalam konteks green tourism, secara umum cara-cara yang dapat dipakai untuk
mencipatakan daya saing produk wisata, sebagai berikut :
a) Mengidentifikasi peluang produk wisata baru
Salah satu tren wisata yaitu eco-lodge, yaitu penginapan yang bernuansa alam dan
dibangun dengan memakai material yang ramah lingkungan dan dikelola
dengan sustainable management. Misalnya Bali mountain eco-lodge yaitu bentuk
eco-lodge yang terletak di Gunung Batukaru, Sarinbuana Bali yang menawarkan
berbagai atraksi wisata alam dan budaya warga lokal.
Eco-lodge ini umumnya dilengkapi dengan penawaran produk tambahan, seperti
trekking, hiking, swimming dengan kolam alami yang ada air terjunnya, melihat
burung misalnya di jam 6-7 pagi, memetik padi pada musim panen, berkebun dan
memasak dengan warga setempat, traditional massage oleh warga warga
setempat yang terlatih.
Paluang baru seperti ini bagi area -area di negara kita yang memiliki potensi
alam dan budaya warga lokal yang masih asli. Atraksi wisata alam dan budaya
warga lokal yang dikelola dan dijaga keasliannya, dikemas dalam satu paket
wisata atraktif dan ramah dengan lingkungan sekitar yang masih alami untuk
menciptakan daya tarik unik tersendiri bagi green tourist (turis suka atau
cinta atau ramah lingkungan).
Untuk menciptakan kepuasan turis minat khusus ini, misalnya saja berwisata
ke Taman Nasional Komodo, maka inovasi baru berbasis sustainable tourism
development dengan memakai konsep Komodo Dragon Eco-lodge. Sebuah
penginapan di area Labuan Bajo yang terletak paling dekat dengan Taman
Nasional Komodo yang dikembangkan dengan konsep eco-hotel. Dengan konsep
ini turis bisa menikmati atraksi wisata Pulau Komodo untuk beberapa lama,
termasuk melihat kupu-kupu, burung, trekking, safari sungai, menyelam, dan
snorkling.
b) Menambah nilai sustainabilitas
Seolah-olah souvernir merupakan barang yang dianggap wajib dibeli turis
setiap berkunjung ke objek wisata. Seiring dengan adanya isu pemanasan global, di
mana bumi mengalami kerusakan akibat berbagai tindakan manusia. Misalnya
industri-industri yang menghasilkan berbagai limbah. Kesadaran akan bahaya
pemanasan global ini sekarang muncul berbagai produksi yang ramah lingkungan
seperti :
1. Kerajinan tangan dari bahan daur ulang atau bahan ramah lingkungan,
hotel-hotel yang menjual kerajinan warga lokal dan menyajikan
makanan lokal
2. Hotel resort yang memakai bahan dan sistem pengelolaan limbah yang
ramah lingkungan, memakai pembangkit tenaga surya. Misalnya :
Sarinbuana eco-lodge, Tangkahan Nature Reserve, Bajo Komodo Eco-
lodge.
3. Waterboom yang memakai sistem sterilisasi air yang ramah
lingkungan. Air disterilkan dan dapat dipakai kembali, sehingga terjadi
penghematan penggunaan air.
c. Pengembangan kemitraan
Pengembangan kemitraan dengan warga lokal, akan berdampak pada
kehidupan sosial warga dan kelangsungan perekonomian warga di
sekitar area . Munculnya desa sebagai atraksi wisata di beberapa area
memicu warga lokal bermata pencaharian, misalnya pertunjukan
kesenian (penari), pedagang souvernir, pemandu wisata, penyewa homestay, dan
lainnya yang dapat meningkatkan penghasilan warga setempat.
Memfasilitasi kemitraan antara warga dengan komunitas bisnis pariwisata
lainnya, misalnya dengan :
a. Pembuatan outlet kerajinan khas (souvernir shop) di restoran dan hotel
b. Kemitraan plasma inti antara hotel dan pengrajin khas sekitar hotel, hotel
mendapat suplai dari pengrajin sekitar hotel, seperti sandal, kap lampu, kotak
tisu, dan lain-lain.
Langkah awal yang dianjurkan dalam
mengemas produk pariwisata yaitu membagi pasar menjadi kelompok-kelompok pembeli
khas yang mungkin memerlukan produk yang disebut dengan segmentasi pasar. Langkah
selanjutnya yaitu membidik pasar dengan cara mengevaluasi daya tarik masing-masing
segmen dan memilih satu atau beberapa segmen pasar. Maksudnya, tindakan yang harus
dilakukan setiap area tujuan wisata yaitu mengemas produknya disesuaikan dengan
keinginan dan kebutuhan turis mancanegara yang dibidiknya. Mendukung tindakan
ini , area tujuan wisata harus mengembangkan posisi bersaing produk pariwisatanya
dengan area tujuan wisata yang lainnya yang disebut menetapkan posisi.
Banyak obyek dan atraksi wisata di negara kita yang ditawarkan akan tetapi pada
beberapa tempat dikeluhkan oleh Tour Leader luar negeri karena tidak ada perubahan
(soebandrio :1997:58). Ini, perlu diperhatikan, karena Tour Leader yaitu perwakilan dari tur
operator yang mempromosikan dan membawa turis datang ke area tujuan wisata.
Bilamana obyek yang dipromosikan terbatas pada atraksi yang terbatas, suatu saat dia akan
menghentikan promosi area ini kemudian memilih area tujuan wisata lain. Harus
disadari bahwa turis melakukan perjalanan wisata ke suatu area tujuan wisata
tertentu yaitu untuk mencari pengalaman-pengalaman baru, menemukan sesuatu yang
aneh dan belum pernah disaksikannya. turis biasanya lebih menyukai sesuatu yang
berbeda (something different) dari apa yang pernah dilihat, dirasakan, dilakukan di negara
dimana biasanya ia tinggal. menyarankan bahwa mengemas produk
pariwisata harus mempertahankan keaslian lingkungan karena selalu lebih menarik
daripada yang dibuat-buat. Oleh karena itu, menciptakan suatu lingkungan yang tidak asli
(artificial) dari keadaan yang sebenarnya pasti tidak akan bertahan lama dan bagi promosi
kepariwisataan jangka panjang tidak menguntungkan bagi negara kita . Bukan hanya
keasliannya, tetapi keseluruhan pelayanan yang diberikan kepada turis hendaknya
memiliki style yang beda dari yang lain tetapi tetap memuaskan turis . Style produk
sangat diperlukan dalam mengemas area tujuan wisata, tujuannya ialah untuk
memperbaharui dan menguasai pasar ( to re-new dan re-sell the market) sehingga dapat
menjamin penjualan. Dikatakan oleh soebandrio dalam kepariwisataan product style
yang baik, misalnya (1) obyek harus menarik untuk disaksikan maupun dipelajari, (2)
memiliki kekhususan dan berbeda dari obyek yang lain, (3) prasarana menuju ke tempat
ini terpelihara dan baik, (4) tersedia fasilitas something to see, something to do dan
something to buy, (5) kalau perlu dilengkapi dengan sarana-sarana akomodasi dan hal lain
yang dianggap perlu. Bilamana produk yang ditawarkan oleh berbagai produsen dianggap
sama oleh turis , maka perbedaan yang menguntungkan terletak pada product style
yang dimiliki. Oleh sebab itu,diperlukan suatu seni (art) untuk mengolah satu obyek wisata
sedemikian rupa sehingga dengan adanya obyek ini beserta segala fasilitas yang
tersedia dapat menjadikan suatu area tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Mendukung mengemas product style sistem pariwisata perlu diadakan survey obyek dan
atraksi wisata yang potensial untuk ditawarkan.
Hadinoto (1996:69-70) menjelaskan bahwa survey diadakan untuk penggolongan
obyek danatraksi wisata yang digolongkan, menjadi (1) penggolongan jenis kepariwisataan
berupa destination tourism (untuk turis yang tinggal lama), touring tourism (untuk
turis yang tinggal sebentar), (2) penggolongan atraksi berupa atraksi utama (core
attraction), atraksi pendukung (supporting attraction), (3) penggolongan jenis atraksi
terdiri dari resource-based attraction, dan user-oriented attraction.
Pada penjelasan di atas yang dimaksud dengan touring tourism ialah atraksi,
transportasi, fasilitas pelayanan, dan pengarahan promosi yang dipakai di dalam tour ke
beberapa lokasi selama perjalanan akhir minggu atau libur. Atraksi terletak dekat rute
perjalanan, dipersimpangan jalan, dan hanya dikunjungi satu kali oleh masing-masing
kelompok pengunjung. Aktivitas hampir pasif karena waktu hampir terbatas, sebab jadwal
perjalanan tertentu. Distribusi geografis yaitu suatu sirkuit, bukan suatu titik. Sedangkan
destination tourism yaitu geografis suatu kelengkapan sendiri. Semua aktivitas dilakukan
di satu titik destinasi,yang harus direncanakan untuk kunjungan berulang . Mengemas obyek dan atraksi wisata sesuai bentuk touring tourism bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan turis yang tinggal sebentar, sebaliknya untuk turis
yang hendak tinggal lebih lama dikemas dalam bentuk destination tourism. Mengemas
obyek wisata candi Borobudur, candi Prambanan dan Monjali di Jawa Tengah merupakan
bagian dari konsep touring karena obyek ini tidak didukung oleh sarana yang dapat
menahan lama turis . Sedangkan pengemasan berdasar konsep destination tourism
dapat diperhatikan pada obyek wisata Pantai Kuta di Bali, Gunung Bromo di Jawa Timur,
dan Pantai Senggigi di Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini dipenuhi oleh fasilitas-fasilitas
yang menahan turis seperti hotel, restoran, tempat hiburan dan sejenisnya.
Di samping itu, perlu pula diperhatikan dalam penataan obyek wisata dan atraksi
wisata yang menarik. Tindakan yang harus dilakukan yaitu menetapkan obyek dan atraksi
wisata sebagai obyek wisata inti (core attraction) dan pendukungnya (supporting
attraction). Contoh penataan ini dapat dipelajari pada area tujuan wisata di Bali, di mana
inti atraksinya yaitu danau Kintamani dengan pendukungnya yaitu kesenian tari barong,
kerajinan perak, pasar Sukawati, pemandian tirta empul dan sejenisnya. Jarak antara obyek
inti dan pendukungnya dekat sehingga dapat dikunjungi kurang dari satu hari dan rutenya
dirancang berbentuk lingkaran (cycle) sehingga dapat kembali ke tempat keberangkatan
semula.
Dalam menata obyek dan atraksi wisata penyelenggara di area tujuan wisata
lebih mencermati jenis atraksinya yang mampu mendatangkan turis jarak jauh/luar
negeri, atraksi jenis ini misalnya Candi Borobudur, Danau Toba, Gunung Bromo dan
sejenisnya. Perlu digolongkan pula obyek dan atraksi wisata yang mampu menarik orang
lokal berekreasi, misalnya air terjun Sedudo, Kolam Renang Selecta dan lain-lain.
Penggolongan atraksi pertamayang disebut dengan resource-based attraction sedangkan
penggolongan kedua disebut sebagaiuser-oriented attraction.
Selain obyek dan atraksi wisata, sarana akomodasi harus direncanakan secara
matang dalam mengembangkan dan menetapkan lokasinya. Sarana akomodasi berperan
sangat penting dalam pariwisata sebab turis yang meninggalkan tempat tinggalnya
memerlukan sarana penginapan di area tujuan wisata yang mereka kunjungi.
Perencanaan pengembangan sarana akomodasi yang dikerjakan secara sembarangan akan
berdampak pada lama tinggal (length of stay) turis di area tujuan wisata, maka
dalam mengembangkan sarana akomodasi yang baik harus memenuhi persyaratan fasilitas,
pelayanan, tarif dan lokasi (Soekadijo, 1997:95). Syarat-syarat fasilitas akomodasi yang
terpenting, yaitu pertama, bentuk fasilitas akomodasi harus dapat dikenal (recognizable),
misalnya fasilitas mandi di dalam hotel yang paling baik dalam kepariwisataan ialah bak
mandi rendam (bathtub). Kedua, semua fasilitas-fasilitas di dalam hotel harus berfungsi
dengan baik. Ketiga, penempatan fasilitas yang ada di dalam hotel harus dapat dilihat
oleh turis sehingga mempermudah turis untuk mempergunakan; Keempat,
fasilitas-fasilitas yang dipakai di dalam hotel harus memiliki kualitas yang baik atau
bermutu.
Sedangkan syarat pelayanan, wajib memperhatikan tentang unsur aktornya
terutama mengenai kegiatan aktornya, apa yang dikerjakan dalam memberi pelayanan.
Pelayanannya harus dapat diandalkan dan kemudahan untuk dihubungi serta selalu siap
membantu kesulitan turis . Demikan pula kualitas pelayanannya harus bermutu,
artinya pelayanan yang dikerjakan oleh aktor ini harus bebas dari kesalahan. Agar
hotel dapat memberi jasa dengan baik, disamping fasilitas dan pelayanannya faktor
menetapkan tarif tidak boleh diabaikan. Tarif akomodasi dalam pariwisata tidak berdiri
sendiri, akan tetapi merupakan komponen dari biaya perjalanan seluruhnya yang harus
dikeluarkan oleh turis . Penetapan tarif akomodasi harus direncanakan dengan cermat
karena merupakan salah satu bahan pertimbangan turis untuk berwisata ke suatu
area tujuan wisata.
Disamping persyaratan-persyaratan yang telah dijelaskan di atas, pembangunan dan
pengembangan sarana akomodasi harus memperhatikan masalah lingkungan. Persyaratan
lingkungan hotel menuntut bahwa citra hotel dengan citra lingkungan itu harus saling
sesuai, artinya menetapkan lokasi pengembangan dan pembangunan sarana akomodasi
harus dapat mengangkat citra lingkungannya di mana hotel ini berdiri. Jangan sampai
berdirinya suatu hotel berakibat timbulnya ekses-ekses dan citra negatif di lingkungan
warga .
Dalam merencanakan area sarana akomodasi wisata patut mempertimbangkan
juga syarat sentralitas akomodasi, maksudnya lokasi sarana