uang Voc
Tujuan kajian untuk mengetahui siapa yang mencetak uang kepeng negeri
Trumon sebagai salah satu instrumen administrasi kolonial awal abad ke-19.
Kajian menggunakan metode studi literatur dengan cara mengumpulkan
data uang kepeng dari kolektor; dan informasi litaratur dari referensi yang
relevan. Selanjutnya dibahas menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan
perbandingan. Hasil kajian menunjukkan otoritas dagang-partikelir Inggris
mengadakan uang kepeng negeri Trumon melalui pabrik percetakan uang di
Inggris. Pengadaan uang kepeng tersebut sebagai salah satu instrumen
administrasi kolonial Inggris awal abad ke-19 yang bertujuan untuk meraih
keuntungan perdagangan dan kemenangan persaingan menghadapi kolonial
Hindia-Belanda, sehingga wilayah perdagangan baik di Sumatra maupun di
kedua sisi selat Malaka dikuasainya untuk kepentingan negeri induk.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa umat manusia telah
menggunakan uang sebagai alat tukar dalam transaki jual-beli sejak
zaman dahulu kala. Hal ini dapat dipelajari lebih lanjut dengan
bersumber kepada kitab suci al-Qur’an, surat Al-Kahfi, ayat 19 bagian
akhir:
Artinya, “… Maka suruhlah salah seorang di antara kita pergi ke kota (ke
pasar) dengan mata uang ini, buat membeli makanan, supaya ia melihat
makanan, yang terlebih baik dan terus dibawanya kemari, …” (Tafsir Qur’an,
Joenoes & Bakry, 1938).
Berdasarkan kisah Ashabul Kahfi sebagaimana telah diterangkan
dalam al-Qur’an, maka dapat dipetik pelajaran, antara lain: (1) mata
uang telah ada sejak zaman dahulu; (2) kerajaan tertentu telah
memproduksi mata uang, lebih dari 2000 tahun yang lalu; (3) mata
uang diproduksi ke dalam bentuk kepingan; (4) kepingan mata uang
dibuat dari logam, ada yang dari logam emas, contohnya dinar; dari
perak, contohnya dirham; dan dari tembaga, contohnya fulus (uang
receh atau kepeng); (5) mata uang dicetak dengan memberi tulisan,
simbol kerajaan, tahun, dan nilai tertentu; (6) kerajaan merupakan
otoritas yang mencetak dan memberlakukan mata uang; dan (7) mata
uang digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi jual-beli di wilayah
otoritas yang bersangkutan.
Uang dipelajari sebagai sebuah obyek studi ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu administrasi kajian uang sebagai instrumen administrasi
untuk mencapai tujuan, diperkirakan merupakan sebuah kajian baru
(novelty). Kajian uang sebagai instrumen administrasi dilakukan
berdasarkan periode tertentu, yaitu masa lalu, dan/atau masa kini.
Ada perdebatan mengenai siapakah pembuat uang kepeng
negeri Trumon bertahun 1247 H. (1831/32 M.). Oleh karena itu,
dilakukan kajian dengan merumuskan permasalahan ke dalam
pertanyaan kajian. Siapa yang mencetak uang kepeng negeri Trumon,
pemerintah kolonial atau kerajaan negeri Trumon? Tujuan kajian
untuk mengetahui siapa yang mencetak uang kepeng negeri Trumon
sebagai instrumen administrasi kolonial awal abad ke-19.
Kajian uang kepeng negeri Trumon sebagai instrumen
administrasi kolonial awal abad ke-19, merupakan sebuah kajian
sejarah (zaman kolonial) termasuk numismatic (uang kuno); dan juga
merupakan kajian administrasi. Jadi, kajian ini menggunakan
pendekatan ilmu sejarah dan ilmu administrasi yang hasilnya
diharapkan berguna untuk mengembangkan ilmu tersebut.
Menurut Siagian (1986), administrasi adalah keseluruhan proses
kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas
rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Sarjana administrasi dan manajemen dalam
melaksanakan tugasnya perlu mengetahui sejarah. Manfaatnya untuk
menarik pelajaran dan pengalaman masyarakat, bangsa dan
pemerintahan yang lalu agar segi positif dapat lebih dikembangkan
lagi dan segi negatifnya tidak terulang kembali. Jadi, sejarah
mempunyai hubungan dengan ilmu administrasi.
Administrasi dilakukan melalui fungsi Planning, Organizing,
Actuating & Controlling (POAC). Menurut Terry (Siagian, 1986), POAC
merupakan fungsi organik administrasi dan manajemen. Fungsi
tersebut diterapkan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan
berbagai sumberdaya yang tersedia yaitu Man, Money, Material,
Machines, Method & Marketting (6-M). Dengan demikian, uang adalah
salah satu instrumen administrasi untuk mencapai tujuan; dan
instrumen administrasi adalah alat atau sarana yang digunakan oleh
suatu pemerintahan dalam pelaksanaan kegiatan untuk mencapai
tujuan.
Kajian uang kepeng Trumon sebagai instrumen administrasi
kolonial awal abad ke-19, mempunyai relevansi dengan 2 (dua) kajian
terdahulu, sebagai berikut: (1) Restiyadi & Nasoichah (2017) dalam
kajian Praktik Kolonialisme dalam Eksistensi Uang Kebon pada
Perkebunan Sumatera Timur Abad ke-19-20, menemukan makna uang
kebon sebagai alat praktik hegemoni yang dilakukan oleh para tuan
kebon terhadap kuli/pekerjanya. Kajian terdahulu tersebut,
menunjukkan bahwa penguasa perkebunan Sumatera Timur Abad ke-
19-20 menggunakan uang kebon sebagai alat praktik hegemoni.
Dengan kata lain, uang kebon dijadikan sebagai sebuah instrumen
administrasi kolonial.
Apabila dibandingkan kajian terdahulu tersebut dengan kajian
ini maka dijumpai adanya persamaan dan perbedaan diantara
keduanya. Persamaannya, kajian uang kebon yang terdahulu tersebut
dan kajian uang kepeng sama-sama mengkaji instrumen administrasi.
Dalam hal ini, uang kebon sebagai salah satu instrumen administrasi
kolonial Belanda di wilayah jajahannya; sedangkan uang kepeng
diduga juga sebagai salah satu instrumen administrasi kolonial.
Perbedaannya, terletak pada zaman kolonial yang dikaji. Kajian uang
kebon menyoroti zaman kolonial di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20; sedangkan kajian uang kepeng menyoroti zaman kolonial awal
abad ke-19. Jadi, masing-masing kajian tersebut mempunyai hubungan
relevansi dan saling melengkapi.
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam kajian ini menggunakan
pendekatan ilmu administrasi dan ilmu sejarah. Hal ini dapat diamati
dari cara pengumpulan dan analisis data menunjukkan adanya
hubungan ilmu sejarah yang membahas masa lalu (zaman kolonial)
termasuk numismatic (uang kuno) dengan ilmu administrasi,
khususnya dalam membahas uang kepeng Trumon sebagai instrumen
administrasi kolonial.
Kajian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan studi
pustaka, melalui pengumpulan data berupa contoh uang kepeng yang
relevan dari kolektor atau dokumentasi yang dimiliki; dan informasi
seputar permasalahan tersebut dengan membaca referensi yang
relevan. Selanjutnya, dilakukan analisis deskriptif dan perbandingan
terhadap data dan informasi yang diperoleh untuk menarik
kesimpulan. Kajian dilaksanakan di kwartal pertama tahun 2021.
D. Pembahasan
Pada zaman dahulu, Trumon dikenal sebagai sebuah negeri
yang strategis terletak diantara negeri-negeri lain yang wilayahnya
berada di pesisir pantai barat-utara pulau Sumatra; dan juga di antara
negeri-negeri lain yang wilayahnya berada di kedua sisi selat Malaka.
Penulis asing jaman dahulu - diantaranya pejabat kolonial Inggris; dan
kartografer - telah mengidentifikasi nama negeri Trumon. Mereka,
antara lain: (a) Reynolds (1835) menyatakan, Trumon merupakan
sebuah negeri kerajaan, dipimpin oleh Raja Bujang yang mempunyai
keinginan memperbesar wilayah dan meningkatkan kekuasaannya.
Kerajaan memiliki dua sampai tiga kapal, dengan nakhoda,
diantaranya orang Inggris, untuk menjangkau perdagangan jarak jauh
ke negeri Madras (India) dan sekitarnya, guna menunjang
perekonomiannya.
Millies (1852) menyatakan, kerajaan Trumon memiliki
pelabuhan yang dibangun sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal
dari berbagai bangsa untuk tujuan perdagangan. Pelabuhan tersebut
memiliki syahbandar bernama Teuku Lebeiddien. Hasil bumi negeri
Trumon adalah lada (peper) dengan hasil mencapai 40.000 pikul per
tahun. Hal ini membawa Trumon sebagai sebuah negeri penghasil lada
dalam jumlah besar yang diperdagangkan antar bangsa sehingga
negeri tersebut berkembang pesat dan menjadi terkenal.
Di samping itu, ia menyatakan bahwa nama negeri Trumon
teridentifikasi dalam manuskrip kuno, sebagai berikut: (i) Buku
Histoire generale des voyages, van Prevost (Vol. XII. P. 344, La Haye, 1755)
berisi lampiran peta memuat jejak nama: “Fouroumane”; (ii) Raffles
yang pernah menjabat sebagai Letnan Gubernur Inggris di Jawa (1811-
1816); dan Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu (1818-1824) - dalam
buku memorinya (Memoir, p. 248) menyebutkan nama “Trumon”.
Maka selanjutnya, nama itu disebut sebagai “Taroemon” atau
“Teroemon”; dan (iii) Peta (kartografi) Von Derfelden De Hindersteyn
mengidentifikasi nama seperti dalam ucapan bahasa Inggris:
“Tarooman”.
Herbert, Neele & Pinkerton (1818) sebagai kartografer telah
mengidentifikasi letak geografis negeri Trumon (Turumon),
sebagaimana disajikan dalam sepotong gambar pulau Sumatra dan
kedua sisi selat Malaka dalam peta Hindia-Timur (lihat tanda panah di
gambar 1).
Pada saat sekarang, kata “Trumon” digunakan sebagai nama 3
(tiga) wilayah kecamatan, sebagai berikut: Kecamatan Trumon;
Kecamatan Trumon Timur; dan Kecamatan Trumon Tengah. Ketiga
kecamatan tersebut terletak di kabupaten Aceh Selatan, provinsi Aceh,
Indonesia
1. Uang Kepeng Negeri Trumon
Pada awalnya, kajian ini menemukan sebuah mata uang kepeng
negeri Trumon, yang digunakan sebagai obyek kajian. Gambar uang
kepeng negeri Trumon (lihat gambar 2).
Ciri-ciri fisik atau bentuk dan desain koin uang kepeng negeri
Trumon: Koin terbuat dari logam tembaga. Pada sisi depan koin (lihat
gambar 2) tertera tulisan Arab-Melayu sebagai suatu ciri khas, bila
ditransliterasi ke tulisan Latin menjadi “negeri Trumon”. Sedangkan
sisi belakang, transliterasi baris atasnya, angka 2; transliterasi baris
tengah, “dua kepeng” sebagai nilai nominalnya; dan transliterasi baris
bawah, 1247 menunjukkan tahun Hijriah, yang artinya sama dengan
tahun 1831/32 Masehi.
Penggunaan tulisan Arab-Melayu seperti tertera dalam uang
koin tersebut diperkirakan merupakan langkah adaptasi yang
dilakukan oleh otoritas Inggris untuk menarik minat penduduk lokal
sehingga dapat diterima dan digunakan dengan mudah sebagai alat
tukar dalam perdagangan di negeri-negeri baik yang berada di wilayah
Sumatra maupun di kedua sisi selat Malaka, karena kebanyakan
diantara penduduk negeri di wilayah tersebut menggunakan bahasa
Melayu dan baca tulis Arab-Melayu.
Bentuk uang kepeng Trumon yang sedemikian rupa telah
menimbulkan perdebatan tentang siapa yang mengadakan uang
kepeng Trumon di awal abad ke-19 tersebut. Perdebatan tersebut
memunculkan berbagai pendapat. Satu pendapat mengatakan, bahwa
otoritas kerajaan negeri Trumon yang mengeluarkan uang kepeng
tersebut karena memang pada sisi depan koin uang kepeng tersebut
tertera tulisan Arab-Melayu yang bila ditransliterasikan kedalam
tulisan latin menjadi “negeri Trumon”.
Sebaliknya, pendapat lain mengatakan, pemerintahan kolonial
yang mencetak uang kepeng tersebut karena pada masa itu adalah
masa penjajahan, dimana negeri Trumon termasuk negeri-negeri di
Sumatra yang diperebutkan oleh Inggris dan Belanda untuk dapat
dijadikan sebagai wilayah jajahan diantara mereka. Oleh karena itu,
untuk mengetahui siapa yang mengadakan uang kepeng negeri
Trumon tersebut; dan menggunakan uang kepeng Trumon sebagai
instrumen kolonial awal abad ke-19, maka dilakukan analisis uang
kepeng Trumon menurut variabel-indikator otoritas, tujuan dan
standar nilai mata uang (kurs)-nya.
2. Uang Kepeng Negeri Trumon: Otoritas, Tujuan, Alat Tukar, dan
Standar Nilai Tukar Mata Uang (kurs).
Data mengenai variabel-indikator yang dikumpulkan ternyata
menunjukkan adanya kontroversi otoritas, tujuan, nilai tukar dan kurs
uang kepeng negeri Trumon, lihat tabel 1.
Tabel 1
Kontroversi Otoritas, Tujuan, Nilai Tukar dan Kurs Uang Kepeng
Trumon
Nama Otoritas Tujuan Alat Tukar Kurs
Uang
Kepeng
Negeri
Trumon
Versi 1:
-Partikelir-Dagang
Inggris;
-Pabrik cetak uang
Inggris/ Soho,
Birmingham
Inggris mengadakan uang
kepeng untuk
Sumatra.
Uang kepeng alat
tukar perdagangan di Sumatra
dan kedua sisi
Selat Malaka
2 kepeng =
½ sen
Versi 2:
-Kerajaan Trumon;
-Bangunan-pabrik
cetak uang di Kuala
Batee
Kerajaan mencetak uang
kepeng untuk
Perdagangan
Uang kepeng alat
tukar dalam
perdagangan di
Trumon
2 kupang =
1 ringgit
Kontroversi otoritas, tujuan, nilai tukar dan kurs uang kepeng negeri
Trumon, sebagai berikut:
(a) otoritas.
Ada 2 (dua) versi data tentang otoritas pengadaan uang kepeng
(lihat tabel 1), pertama, uang kepeng negeri Trumon dibuat oleh otoritas
Inggris. Menurut Netscher, E. & Chijs, J.A.V.D. (1863) uang kepeng
tersebut masuk ke dalam kelompok uang kepeng yang dicetak untuk
Sumatra oleh otoritas Engelsche Particulieren (Inggris: English Merchant)
yang selanjutnya disebut otoritas dagang-partikelir Inggris pada awal
abad ke-19.
Sebelumnya, telah dicetak pula sekelompok uang kepeng untuk
Sumatra oleh otoritas Engelsche Oost-Indische Compagnie (Inggris: the
British East-India Company) yang selanjutnya disebut otoritas Kongsi
Dagang Hindia-Timur Inggris atau kompeni Inggris (Zainuddin, H.M.,
1961) pada akhir abad ke-18. Otoritas tersebut mengadakan uang
kepeng dalam jenis dan jumlah yang banyak untuk memenuhi
kebutuhan di Sumatra (Veth, P.J., 1882), pada koin kepeng tersebut
tertera nama-nama negeri tertentu di Sumatra, sehingga ada uang
kepeng negeri Trumon, negeri Aceh.Menurut Howorth (1890), walaupun pada uang koin itu tertera
nama-nama negeri negeri tertentu baik di Sumatra maupun di kedua
sisi selat Malaka - negeri Trumon tidak tergolong dalam jajahan Inggris
- namun uang kepeng negeri itu disebutkan disini karena asal (buatan)
Inggris. Dengan kata lain, meskipun tertera nama negeri Trumon pada
koin, namun bentuk dan desainnya menunjukkan koin itu dibuat oleh
pabrik Inggris, dimana terdapat pabrik percetakan uang Soho,
Birmingham (Millies, 1852). Namun, bahwasanya uang kepeng
Trumon dicetak di pabrik Soho, Birmingham, masih perlu dikaji.
Versi kedua uang kepeng negeri Trumon dibuat oleh kerajaan
negeri yang bersangkutan. Uang kepeng tersebut dicetak di bangunan
(pabrik) di dalam benteng Kuta Bate, Trumon. Hal ini sebagaimana
pendapat Muchsin (2019), dalam bukunya berjudul “Trumon Sebagai
Kerajaan Berdaulat dan Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda di
Barat-Selatan Aceh” yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Aceh, Banda Aceh. Pendapat demikian dapat terjadi,
karena tulisan sisi depan koin “negeri Trumon”, maka otoritas kerajaan
negeri tersebut yang dianggap membuat uang kepeng.
Jadi, terdapat kontroversi otoritas yang mengadakan uang
kepeng Trumon. Kontroversi tersebut, bisa dijembatani dengan
menggunakan pendapat Zainuddin (1961), bahwa dahulu di Aceh
beredar uang yang dikeluarkan kompeni Inggris buat Sumatra kepeng
namanya, berupa mata uang seharga 2 kepeng yang bertulisan negeri
Trumon, negeri Aceh terbuat di negeri Inggris yang disuruh buat oleh
Raja Bujang Trumon.
Berdasarkan kedua versi tersebut, argumentasi versi pertama
lebih meyakinkan dari pada versi kedua, karena sumber data
menunjukkan otoritas Inggris telah mengadakan berbagai mata uang
kepeng untuk Sumatra yang bentuk dan desainnya sama, dalam
jumlah dan jenis yang banyak, sehingga uang kepeng tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu uang kepeng yang
dikeluarkan oleh otoritas kongsi-dagang Inggris pada akhir abad-18;
dan uang kepeng yang dikeluarkan oleh otoritas dagang-partikelir
Inggris pada awal abad ke-19. Uang kepeng tersebut dicetak melalui
pabrik percetakan uang di Inggris sehingga memiliki bentuk dan
desain yang sama. Dengan demikian, kajian ini berpendapat bahwa
uang kepeng negeri Trumon dikeluarkan oleh otoritas dagangpartikelir Inggris; melalui pabrik percetakan uang di Inggris yang
mencetak berbagai mata uang kepeng dengan bentuk dan desain yang
sama untuk Sumatra.
Perlu dicatat, koin uang kepeng yang dikeluarkan oleh otoritas
Inggris tersebut menggunakan tulisan Arab-Melayu sebagai sebuah
bentuk adapatasi sedemikian rupa untuk menarik penduduk lokal
sehingga ia familier menggunakannya sebagai alat tukar dalam
perdagangan di negeri-negeri baik yang berada di wilayah Sumatra
maupun di kedua sisi selat Malaka, karena kebanyakan diantara
penduduk negeri-negeri di wilayah tersebut menggunakan bahasa
Melayu dan baca tulis Arab-Melayu.
Di samping itu, uang koin Trumon menggunakan nilai
“kepeng”. Nilai uang tersebut tidak hanya tertera pada uang koin
Trumon, tapi juga digunakan pada uang koin negeri-negeri baik di
wilayah Sumatra maupun di kedua sisi selat Malaka. Dengan
demikian, hal ini menjadi petunjuk bahwa yang mencetak uang koin
tersebut adalah pabrik percetakan uang Inggris.
(b) Tujuan
Ada 2 (dua) versi data mengenai tujuan pengadaan uang kepeng
(lihat tabel 1), pertama, tujuan pengadaan uang kepeng oleh otoritas
kongsi-dagang Inggris yang selanjutnya diteruskan oleh otoritas
dagang-partikelir Inggris melalui pabrik percetakan Inggris dalam
bentuk uang kepeng untuk sirkulasi Sumatra, salah satu diantaranya
berupa uang kepeng negeri Trumon (Netsche & Chijs, 1863). Di
samping itu, pengadaan uang kepeng dilakukan dalam berbagai jenis
dan jumlah yang besar untuk meraih keuntungan perdagangan dan
kemenangan dalam persaingan, dimana Inggris menghadapi Belanda
untuk menguasai perdagangan di kedua sisi selat Malaka (The Coin
Collectors Journal, 1884).
Versi Kedua, Muchsin (2019) mengatakan, tujuan kerajaan negeri
Trumon mengadakan uang kepeng tersebut untuk kegiatan
perdagangan dan perekonomian. Alasannya, negeri Trumon adalah
penghasil lada dalam jumlah besar yang diperdagangkan antar bangsa
sehingga dibutuhkan pengadaan uang kepeng sebagai alat tukar dalam
perdagangan tersebut.
Berdasarkan kedua versi tersebut, data versi pertama lebih
meyakinkan daripada versi kedua, sebab bukti dan sumber data yang
ada menunjukkan bahwa bentuk koin uang tersebut dicetak dengan
desain pabrik percetakan uang Inggris (Howorth, 1890) karena
diantara koin uang kepeng tersebut memiliki ciri-ciri yang sama,
menggunakan huruf Arab-Melayu serta mencantumkan nama-nama
negeri tertentu di Sumatra antara lain negeri Aceh dan negeri Trumon.
Dengan demikian, kajian ini berpendapat bahwa uang kepeng negeri
Trumon diadakan oleh otoritas partikelir-dagang Inggris melalui
pabrik pabrik percetakan uang di Inggris.
(c) Alat Tukar
Ada 2 (dua) versi data tentang penggunaan uang kepeng
sebagai alat tukar, Pertama; uang kepeng digunakan sebagai alat tukar
dalam perdagangan di Sumatra (Netscher & Chijs, 1863). Di samping
itu, menurut The Coin Collectors Journal (1884), uang kepeng digunakan
sebagai alat tukar dalam perdagangan di kedua sisi Selat Malaka. Versi
kedua yaitu uang kepeng digunakan sebagai alat tukar dalam
perdagangan di negeri Trumon (Muchsin, 2019).
Data tersebut menunjukkan, otoritas dagang-partikelir Inggris
membutuhkan pengadaan alat tukar berupa uang dalam perdagangan
untuk sirkulasi baik di wilayah Sumatra maupun di kedua sisi selat
Malaka, sehingga otoritas mengadakan uang kepeng sebagai alat tukar
dalam perdagangan di wilayah tersebut antara lain berupa uang
kepeng negeri Trumon.
(d) Nilai Mata Uang (kurs)
Ada 2 (dua) versi data mengenai kurs uang kepeng (lihat tabel
1), pertama; standar nilai tukar mata uang (kurs) 2 kepeng = ½ sen dan
1 kepeng = ¼ sen (Howorth, 1890). Versi kedua yaitu kurs 2 (dua)
kupang = 1 (satu) ringgit (Muchsin, 2019). Sehubungan versi pertama
menggunakan istilah “kepeng”; sedangkan versi kedua tidak
menggunakan istilah “kepeng” melainkan “kupang” maka kajian ini
berpendapat sesuai versi pertama, bahwa kurs mata uang 1 kepeng = ¼
sen; dan 2 kepeng = ½ sen.
Keberadaan nilai mata uang kepeng tersebut menunjukkan
bahwa otoritas melakukan pengawasan kurs mata uang untuk meraih keuntungan dalam perdagangan baik di wilayah Sumatra maupun di
kedua sisi selat Malaka. Hal ini mengindikasikan, uang kepeng negeri
Trumon digunakan sebagai salah satu instrumen administrasi kolonial
awal abad ke-19 untuk kepentingan negeri induknya.
Pengadaan uang kepeng Trumon oleh otoritas Inggris bertujuan
untuk meraih keuntungan perdagangan dan kemenangan dalam
persaingan menghadapi pemerintah kolonial Hindia-Belanda; dan
untuk menguasai perekonomian dan negeri-negeri di wilayah
Sumatra. Sumatra merupakan pulau terbesar yang kaya dengan
sumberdaya alam dengan hasil bumi antara lain rempah-rempah –
lada; dan terletak di posisi yang strategis yaitu di sisi barat selat Malaka
yang merupakan pintu keluar-masuk kapal-kapal diantaranya kapal
dagang dari Barat (Eropa) ke Timur (Asia) dengan tujuan melakukan
perdagangan – jual-beli rempah-rempah; sehingga Sumatra menjadi
rebutan Inggris dan Belanda. Inggris menamai Sumatra dengan EastIndie; sedangkan Belanda menamainya dengan Nederlandsche-Indie.
Dengan demikian, kedua belah pihak tersebut saling bersaing satu
sama lain dengan tujuan untuk menguasai dan menjajah negeri-negeri
di wilayah Sumatra bahkan juga negeri-negeri di kedua sisi selat
Malaka, dengan melakukan cara-cara kolonial dagang, uang dan
perang (3-Ang).
Strategi 3-Ang diterapkan oleh pihak kolonial dengan tujuan
untuk menjajah suatu wilayah negeri sehingga dikuasainya, Cara-cara
tersebut dilakukan oleh mereka dalam 3 (tiga) tahapan. Tahapan
pertama, dagang. Dalam tahapan ini mereka melakukan perdagangan
dengan negeri tertentu sementara waktu dengan tujuan untuk
dikuasainya. Tahap kedua, uang. Dalam tahapan ini mereka
mengadakan uang yang diedarkan di negeri tertentu guna menunjang
perdagangan dengan tujuan untuk menguasai negeri tersebut. Tahap
ketiga, yaitu perang. Dalam tahapan ini, apabila suatu negeri tidak
dapat ditaklukkan oleh mereka dalam tahapan sebelumnya, maka
akhirnya mereka mengadakan perang dengan untuk menguasai negeri
tersebut sehingga menjadi sebuah negeri jajahannya.
Berkaitan dengan strategi uang sebagai bagian dari strategi 3-
Ang, pihak kolonial baik Belanda maupun Inggris bersaing satu sama
lain dalam pengadaan uang dengan melakukan cara dan pola yang
sama, yaitu mencetak dan mengedarkan uang dalam berbagai jenis dan
jumlah yang banyak sebagai modal untuk pencapaian tujuan
menguasai negeri tertentu. Dalam hal ini, mereka sebenarnya saling
melancarkan perang dingin satu sama lain untuk menguasai negeri
tertentu sehingga berhasil dijadikan sebagai wilayah jajahannya.
Di satu pihak, Inggris mencetak koin uang “kepeng” untuk
Sumatra yang dinamakan - dicetak dengan mencantumkan nama
negeri tertentu di Sumatra; salah satu diantaranya negeri Trumon,
sehingga koin tersebut dikenal sebagai uang kepeng negeri Trumon
dengan nilai 2 kepeng (lihat gambar 2).
Di lain pihak, Belanda pun tidak tinggal diam, melainkan
mencetak uang “Stuiver” untuk Sumatra dalam berbagai pecahan nilai
mata uang yaitu ½, ¼ dan 1/8. Salah satu diantaranya uang pecahan ¼
Stuiver (lihat gambar 3).
Ciri-ciri fisik atau bentuk dan desain koin uang Stuiver: Koin
terbuat dari logam tembaga. Pada sisi depan koin, terdapat 5 barisan
tanda, berturut-turut dari atas ke bawah: (1) bintang, (2) Nederl; dan
(3) Indie, apabila ke dua kata tersebut disambungkan menjadi
“Nederlandsch Indie” (Hindia-Belanda); (4) tahun cetakan tertera 1826
(Masehi); dan (5) huruf “S” (inisial dari Suermondt) nama pabrik uang
di Utrecht, Belanda. Pada sisi belakang koin di bagian tengahnya,
tertera lambang mahkota di atas perisai kerajaan Hindia-Belanda; di
sisi kirinya tertera: angka pecahan (½, ¼ dan 1/8) sebagai nilai uang;
dan sisi kanannya tertera singkatan nama mata uang yaitu “St.”
(Stuiver).
Diperkirakan, nilai uang pecahan terkecil yaitu 1/8 Stuiver
setara dengan uang kepeng Trumon yang bernilai 2 kepeng. Alasan
uang Stuiver setara dengan uang Kepeng, sebagai berikut: (1) terbuat
dari logam tembaga; (2) sirkulasi dilakukan pada waktu dan tempat
yang sama yaitu di wilayah Sumatra yang merupakan koloni HindiaBelanda. Hal tersebut menunjukkan adanya persaingan diantara
kedua belah pihak dengan cara menjadikan uang sebagai instrumen
administrasi kolonial pada awal abad ke-19, untuk menguasai
perekonomian dan negeri-neri baik di wilayah Sumatra maupun di
kedua sisi selat Malaka sehingga menjadi wilayah jajahannya.
Perbandingan uang kepeng (yang dibuat di Inggris) dan uang
Stuiver (yang dibuat di Belanda) menunjukkan bahwa kongsi dagang
Hindia-Timur Inggris dan pemerintah Hindia-Belanda melakukan
pola yang sama dalam hal pengadaan uang. Mereka mengadakan uang
sebagai alat tukar dalam perdagangan dengan cara mencetak,
mengedarkan dan menggunakan uang dalam berbagai jenis dan
jumlah serta waktu dan tempat yang sama untuk disirkulasikan baik
di wilayah Sumatra maupun di kedua sisi selat Malaka untuk
kepentingan negeri induknya .
Pengadaan uang Stuiver oleh kolonial Belanda berdasarkan
analisis variabel-indikator, sebagai berikut: (1) Otoritas pengadaan
uang Stuiver adalah pemerintah Hindia-Belanda di bawah kerajaan
Belanda yaitu Raja Williem I yang memerintah tahun 1813-1840. Pada
sisi depan koin, tercantum nama otoritas uang Stuiver adalah Nederl
Indie (Hindia-Belanda). Otoritas tersebut mengadakan uang Stuiver
untuk Sumatra (Hindia-Belanda) dalam 3 (tiga) ukuran: ½, ¼ dan 1/8
Stuiver melalui pabrik percetakan uang Suermondt, Utrecht tahun 1826
(Stephanik, J.W., 1888). (2) Tujuan pengadaan uang Stuiver untuk
menutupi kebutuhan modal perdagangan bagi pemerintahan HindiaBelanda; (3) Penggunaan uang Stuiver sebagai alat tukar di wilayah
Sumatra (Hindia-Belanda) yang menjadi koloninya; dan (4) Standar
nilai uang (kurs) 1 Stuiver = 4 Doit; 30 Stuiver = 120 Doit = 1 Gulden
(Netscher, & Chijs, 1863).
Dampak penggunaan uang kepeng negeri Trumon sebagai alat
tukar dalam transaksi perdagangan – jual-beli yang dilakukan oleh
pihak kerajaan itu sendiri tentunya tidak menguntungkan, sebab
otoritas dan nilai uang kepeng negeri Trumon tidak jelas dalam
perdagangan. Otoritas pengadaan uang kepeng negeri Trumon
ternyata bukanlah kerajaan negeri Trumon. Nilai uang kepeng negeri
Trumon tidak jelas karena hanya tersedia 1 (satu) jenis koin uang
Trumon bernilai dua kepeng yang terbuat dari logam tembaga
sehingga nilainya rendah.
Di lain pihak, kondisi tersebut berdampak juga terhadap
penduduk lokal, mereka tidak tertarik menggunakan uang kepeng
tersebut sebagai alat tukar dalam perdagangan dan jual-beli. Lain
halnya jika dibandingkan dengan uang Stuiver, mereka lebih tertarik
menggunakan uang Stuiver karena memiliki otoritas yang jelas
(Nederl. Indie) sehingga memiliki nilai tukar yang lebih tinggi
daripada uang kepeng meskipun keduanya sama-sama terbuat dari
logam tembaga.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tulisan Nederl-Indie
yang menunjukkan otoritas uang Stuiver yaitu pemerintah kolonial
Hindia-Belanda. Sedangkan pada uang kepeng dengan adanya tulisan
negeri Trumon ternyata tidak demikian.Artinya kerajaan negeri
Trumon bukan sebagai otoritasnya, karena ternyata uang kepeng
tersebut dikeluarkan oleh otoritas dagang-partikelir Inggris yang
justru tidak mencantumkan namanya dalam koin uang kepeng
tersebut.
Selain itu, mengenai standar nilai tukar (kurs), diketahui bahwa
kurs Stuiver dengan gulden yaitu 1 Gulden = 30 Stuiver. Sedangkan
kurs mata uang kepeng dengan gulden jauh lebih rendah, yaitu 1
Gulden = 400 Kepeng (1 Kepeng = ¼ Sen; dan 100 Sen = 1 Gulden). Jadi
kurs mata uang Stuiver lebih tinggi dibandingkan dengan mata uang
kepeng.
Berdasarkan indikator otoritas, tujuan, alat tukar dan nilai tukar
(kurs) yang diturunkan dari fungsi administrasi yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan
(POAC), yang dilanjutkan dengan analisis perbandingan uang kepeng
negeri Trumon dan uang Stuiver, maka diketahui bahwa pengadaan
uang kepeng negeri Trumon bukan sekedar sebagai alat tukar dalam
perdagangan; melainkan sebagai salah satu instrumen administrasi
kolonial Inggris antara lain dengan dilakukannya pengawasan nilai
tukar mata uang (kurs)-nya untuk meraih keuntungan dalam
perdagangan dan kemenangan dalam persaingan menghadapi
pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Dengan kata lain, Inggris
mempunyai tujuan untuk menjadikan wilayah Sumatra dan selat
Malaka sebagai koloninya melalui pengadaan uang kepeng sebagai
instrumen administrasi kolonial pada awal abad ke-19. Dengan
demikian, perekonomian dan negeri-negeri baik di wilayah Sumatra
maupun di kedua sisi Selat Malaka dapat dikuasainya untuk
kepentingan negeri induknya.
Sejarah pakaian saat ini mulai diminati. Hal itu disebabkan oleh munculnya
trend baru penggunaan masker karena terjadinya pandemik global yang
masih berlangsung hingga kini yaitu Covid-19. Untuk menelusuri
perkembangan pakaian di Indonesia pada masa lalu tentu diperlukan
pengkajian kepustakaan atau bibliografi. Tentu saja, pada masa lalu sudah
terdapat publikasi-publikasi yang diterbitkan terkait perkembangan
pakaian seperti buku, jurnal, majalah, surat kabar yang dapat diakses untuk
digunakan dalam merekonstruksi sejarah pakaian. Diawali dengan
memaparkan konteks sejarah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda,
maka tujuan penelitian ini yaitu menginventarisasi dan mengidentifikasi
sumber-sumber informasi terakait sejarah pakaian. Adapun metode yang
digunakan adalah metode sejarah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sumber-sumber terkait sejarah pakaian sangat banyak dan beragam. Oleh
karenanya harus dimanfaatkan dengan baik dan efektif sehingga dinamika
yang terjadi dalam bidang sejarah budaya terlihat lebih lengkap dan
komprehensif. Selain itu pula, diharapkan penelitian menganai bibliografi
sejarah pakaian dapat membantu para peneliti khususnya peneliti sejarah
yang tertarik mengkaji sejarah pakaian di Indonesia.�Pakaian merupakan pelindung tubuh, lebih
dari itu, pakaian juga dapat menunjukkan
identitas seseorang atau sekelompok individu.
Misalnya, jika seorang individu menggunakan jas
atau blazer, kemeja, dan celana pantalon, maka
otomatis orang berpikir bahwa individu tersebut
bekerja kantoran. Contoh lainnya adalah jilbab
yang identic dengan muslimah. Jilbab menjadi
penanda identitas bahwa perempuan tersebut
beragama Islam.
Pada masa pandemik Covid-19 dimana
pemerintah menyosialisasikan penggunaan
masker sebagai satu di antara beberapa cara
pencegahan penularan virus korona, menjadikan
masker sebagai trend baru dalam gaya
berpakaian. Sebelum pandemik, masker hanya
dikenal dalam dunia medis yang dinamakan
masker medis penggunanya pun kalangan
terbatas yaitu mereka yang bergerak dalam
bidang kesehatan seperti dokter, perawat, dan
tenaga kesehatan lainnya, selain itu juga, masker
hanya digunakan oleh para pengendara sepeda
motor untuk melindungi mereka dari bahaya
polusi udara.
Pada masa pandemik Covid-19 hingga kini.
Muncul beragam jenis masker dengan berbagai
motif dan bahan. Selain itu pula muncul inovasi
aksesoris pelengkap masker seperti connectori
dan strap mask. Berangkat dari fenomena
kekinian tersebut menurut hemat penulis
pakaian menjadi unsur yang penting dan perlu
dikaji lebih dalam. Pun ketika pada masa lalu saat
Indonesia masih dalam penguasaan Pemerintah
Hindia Belanda, bagaimana pengaruh
perempuan Eropa di Hindia Belanda
memengaruhi pemikiran perempuan bumiputra
yang terikat kuat oleh budaya patriarki yang
membatasi ruang gerak mereka. Paradigma
bahwa perempuan hanya mengurus urusan
dapur, sumur, dan kasur sangat melekat kuat
sehingga para perempuan bumiputra pada masa
tunduk dan patuh pada sistem patriarki.
Tulisan ini merupakan ulasan ilmiah yang
memfokuskan pada penjelasan tentang sumbersumber terkait sejarah pakaian. Menurut hemat
penulis, kajian terdahulu yang secara khusus
membahas sumber-sumber tentang sejarah
pakaian belum ada. Jikalaupun ada, dalam bentuk
katalog yang biasanya ditemui di perpustakaanperpustakaan daerah seperti Perpustakaan
Provinsi Jawa Barat dan perpustakaan negara
seperti Perpustkaan Nasional Republik
Indonesia, serta perpustakaan lembaga negara
seperti Arsip Nasional Republik Indonesia.
Tulisan yang membahas tentang bibliografi
sumber-sumber sejarah penulis temukan melalui
situs internet dari Jurnal Paramita Vol. 22 No. 2,
Juli 2012. Artikel tersebut berjudul “Bibliografi
Sejarah Kesehatan Pada Masa Hindia Belanda”
karya Mumuh Muhsin Zakaria. Dalam artikel
tersebut dipaparkan mengenai publikasipublikasi yang terbit pada masa kolonial baik
berupa buku, jurnal, surat kabar yang dapat
diakses untuk mengetahui dan merekonstruksi
Sejarah Kesehatan di Nusantara. Sementara itu
karya lainnya memfokuskan pada sejarah
pakaian pada suatu masa tertentu yang justru
bukan menjadi objek pembahasan dalam artikel
ini.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis
dapatlah dikatakan bahwa artikel berjudul
“Bibliografi Sejarah Pakaian di Indonesia pada
Masa Hindia Belanda” ini merupakan artikel
pertama yang membahas mengenai sumbersumber terkait sejarah pakaian pada Masa Hindia
Belanda.
Alasan penulis mengangkat judul tersebut
yaitu untuk memberikan informasi kepada
pembaca baik yang memiliki latar belakang
Pendidikan Sejarah seperti mahasiswa sejarah
dari berbagai jenjang pendidikan, guru dan
dosen maupun masyarakat yang tidak memiliki
latar belakang pendidikan sejarah seperti
pemerhati, pegiat, dan penulis buku atau novel
sejarah. Selain itu, pakaian merupakan tema yang
menarik karena memiliki perjalanan sejarah
yang relative panjang dan menyentuh relasi
gender antara laki-laki dan perempuan. Fokus
pembahasan dalam artikel ini yaitu sumbersumber baik primer maupun sekunder tentang
sejarah pakaian.
Dengan demikian, tujuan penelitian ini yaitu
menginventarisasi dan mengidentifikasi sumbersumber informasi terkait sejarah pakaian.
Adapun landasan konsep yang digunakan yaitu
konsep identifikasi dan inventarisasi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 538 &
562), identifikasi adalah perbuatan menetapkan
identitas seseorang, benda, dan sebagainya.
Sementara itu inventarisasi adalah pencatatan
atau pengumpulan data.
Dalam kaitannya dengan artikel ini, penulis
mengidentifikasi sumber-sumber sekunder
seperti jurnal ilmiah dan buku yang diakses
melalui internet. Setidaknya terdapat satu judul
buku yang penulis identifikasi dan penulis
jadikan sebagai referensi utama dalam penulisan
artikel ini yaitu buku berjudul “Outward
Appearance; Trends, Identitas, dan Kepentingan.”
Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan dari �beberapa penulis yang memiliki ketertarikan
dalam hal peran dan arti pakaian dalam
pergaulan sosial. Buku tersebut ditulis oleh 11
penulis dengan judul yang berbeda-beda dan
dieditori oleh Henk Schulte Nordholt. Namun,
dari 11 judul dalam buku tersebut, hanya tiga
tulisan yang penulis ulas dalam artikel ini karena
aspek temporal dalam tiga tulisan tersebut
sesuai dengan pembahasan artikel ini yaitu pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda. Selain buku
kumpulan tulisan tersebut, penulis juga
mengulas tentang sumber primer seperti buku,
arsip, surat kabar, dan majalah yang diterbitkan
pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menyusun
artikel ini adalah metode studi pustaka seperti
buku dan jurnal tercetak serta sumber pustaka
yang diperoleh secara online seperti e-journal, ebook, dan e-archive.
Penyusunan artikel ini dilakukan melalui
tiga tahap, pertama mencari judul artikel. Kedua,
melakukan penelusuran sumber secara offline
dan online. Ketiga, penyusunan naskah. Dalam
proses mencari judul artikel, penulis melakukan
studi pustaka secara offline di perpustkaan
pribadi penulis karena penulis memiliki minat
pada bidang sejarah khususnya sejarah pakaian.
Selain itu, tema tentang budaya material
khususnya pakaian sedang diminati terutama
ketika masa pandemik terjadi, hingga kini inovasi
dalam bidang pakaian semakin berkembang
dengan adanya penggunaan masker sebagai satu
di antara cara pencegahan penularan virus
Covid-19. Maka, tercetuslah judul artikel
“Bibliografi Sejarah Pakaian di Indonesia pada
Masa Pemerintahan Hindia Belanda.”
Penelusuran sumber mula-mula dilakukan
secara offline dengan memanfaatkan koleksi
kepustakaan milik pribadi penulis. Selanjutnya,
penulis melakukan penelusuran secara online
dengan memanfaatkan situs
www.perpustakaan.go.id,
https://sinta.kemendikbud.go.ig/ dan
https://www.delpher.nl/. Ketiga situs tersebut
merupakan situs milik lembaga negara yang
kredibel. Adapun tahap ketiga yaitu penyusunan
naskah berjudul “Bibliografi Sejarah Pakaian di
Indonesia pada Masa Pemerintahan Hindia
Belanda.”
Selain sumber-sumber kepustkaan
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
penulis juga menyinggung beberapa sumber
seperti surat kabar dan majalah yang menjadi
koleksi Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia yang terbit pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda dan dapat digunakan sebagai
sumber primer bagi penulisan sejarah pakaian.
Hasil dan Pembahasan
Indonesia pada Masa Pemerintahan Hindia
Belanda
Setelah VOC resmi dibubarkan pada 1799,
Hindia Belanda mengalami masa transisi.
Penguasaan terhadap Hindia Belanda berpindah
ke tangan Pemerintah Belanda. Peristiwa penting
berkait dengan kedudukan bupati dan sejarah
pakaian adalah pada masa Herman Willem
Daendels menjadi Gubernur Jenderal yang
memerintah dari tahun 1808-1811. Daendels
secara drastic menurunkan kedudukan bupati.
Bupati ditempatkan sebagai pegawai pemerintah
yang digaji dan berada di bawah perinta prefek.
Hal ini mempengaruhi gelar bupati, baik gelar
kebangsawanan maupun gelar jabatan
(Hardjasaputra, 1985: 42).
Kemudian, pada masa Raffpes (1810-1811),
bupati menjabat sebagai polisi yang mengawasi
keamanan daerahnya. Hal ini juga tentunya
disimbolkan dalam pangkat yang digunakan.
Barulah pada masa Van der Capellen, kedudukan
bupati perlahan-lahan dinaikkan kembali. Bupati
diberi tanda kepangkatan. Seiring dengan
berjalannya waktu, prinsip pewarisan jabatan
diteguhkan kembali dan bupati diberi tanda jasa
oleh Pemerintah Hindia Belanda bagi mereka
yang memiliki hubungan kerja sama yang baik
dengan pemerintah (Hardjasaputra, 1985: 49).
Pada abad ke-19 pakaian dan kekuasaan
sangat erat kaitannya. Oleh karenanya, dalam
tulisan ini, penulis mengungkapkan bahwa posisi
bupati sebagai pegawai pemerintah dan
pemimpin tradisional disimbolkan dalam
pakaian yang digunakan oleh mereka, pakaian
yang digunakan bupati mencakup atribut yang
melambangkan gelar kebangsawanan dan gelar
jabatan yang dimilikinya. Seiring dengan
perubahan sistem politik dalam struktur
Pemerintah Hindia Belanda pun memengaruhi
posisi dan kedudukan bupati. Hal tersebut
kemudian berdampak pada penggunaan atribut
dan tanda kebesaran bupati dalam pakaian
mereka.
Pada abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda
mempertahankan ciri-ciri kebangsawanan
bupati bahkan diatur secara tertib dengan
peraturan dan undang-undang. Hal tersebut
bertujuan untuk menjaga dan melestarikan
kewibawaan golongan bupati sebagai aparatur
pemerintah dan sebagai pemimpin tradisional. �Ketika pada akhir abad ke-19 hingga awal abad
ke-20 muncul golongan intelektual dan
menggeser kedudukan bupati, pemerintah
Hindia Belanda tetap melestarikan ciri-ciri
kebangsawanan bupati dengan memberikan
berbagai tanda jasa atas kerja sama yang baik
yang dilakukan oleh para bupati.
Kedudukan Sumber dalam Penelitian Sejarah
Ilmu Sejarah merupakan ilmu yang bersifat
empiris. Artinya, penelitian terkait bidang ilmu
sejarah harus menggunakan sumber. Sumbersumber dalam ilmu sejarah dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
Menurut Gottschalk (1975: 35-36), sumber
sejarah dikategorikan dalam tiga golongan besar
yaitu sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber
benda. Sementara itu, Renier
mengelompokkannya dalam dua kelompok besar
yaitu immaterial dan material. Terdapat dua
klasifikasi sumber material menurut Renier yaitu
tertulis dan tidak tertulis. Adapun sumber
immaterial menurut Renier yaitu semua jejak
yang tidak terlihat dan masih hidup dalam
masyarakat seperti lembaga, adat-istiadat,
ajaran-ajaran, etika, legenda, tradisi dan
kepercayaan (Renier, 1997: 104).
Klasifikasi sumber sejarah menurut
Garraghan (1957: 98-99; 107; 122-123) terbagi
menjadi dua yaitu berdasarkan bentuknya dan
asal usulnya. Sumber sejarah berdasarkan
bentuknya sama seperti pendapat Gottschalk
terdiri dari sumber tertulis, sumber lisan, dan
sumber benda. Sedangkan berdasarkan asal
usulnya, sumber sejarah terdiri dari sumber
primer, sekunder, dan tersier. Dalam bukunya
berjudul “A Guide to Historical Method” (1957:
107), Garraghan menjelaskan secara lebih rinci
tentang sumber primer, sekunder, dan tersier.
Sumber primer yaitu sumber atau penulis
menyaksikan, mendengar, dan mengalami
sendiri peristiwa yang dituliskan dalam sumber
tersebut. Sumber primer terbagi dua yaitu
strictly primary sources (sumber primer kuat)
yakni sumber yang berasal langsung dari saksi
mata peristiwa dan less strictly primary sources
(sumber primer kurang kuat) yakni sumber yang
berasal dari zaman terjadinya suatu peristiwa
tetapi tidak memiliki hubungan langsung dengan
peristiwa tersebut. Sementara itu, sumber
sekunder merupakan sumber atau penulis
sumber hanya mendengar peristiwa itu dari
orang lain. Sedangkan sumber tersier merupakan
konsep khusus dan tidak berlaku umum,
contohnya skripsi, tesis, disertasi, dan karya
ilmiah lain. Dalam kajian sejarah sumber tersier
acapkali disamakan dengan sumber sekunder.
Artinya konsep sumber yang berlaku untuk
kajian sejarah hanya dua yaitu primer dan
sekunder. Para peneliti sejarah biasanya
berangkat dari sumber sekunder yang digunakan
sebagai “pintu masuk” untuk menemukan
sumber-sumber primer baik yang kuat maupun
kurang kuat.
Dengan demikian, kedudukan sumber bagi
penelitian sejarah sangan penting dan utama.
Terlebih jika berkaitan dengan tema-tema
sejarah material, seperti pakaian. Sumber yang
diulas dalam artikel ini berbentuk buku yang
termasuk dalam sumber sekunder. Selain itu pula
disinggung arsip yang termasuk dalam sumber
primer kuat. Sementara itu, diulas pula Koran
dan majalah yang terbit pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda yang termasuk
dalam kategori sumber sezaman atau sumber
primer kurang kuat (less strictly primary sources).
Sumber-Sumber Berkait Penulisan Sejarah
Pakaian
Sumber pertama yang penulis temukan
mengenai sejarah pakaian yaitu buku kumpulan
tulisan yang dieditori oleh Henk Schulte Nordholt
berjudul “Outward Appearance; Trend, Identitas,
dan Kepentingan.” Dalam buku tersebut terdapat
beberapa artikel yang dapat dijadikan sebagai
sumber sekunder untuk penulisan sejarah
pakaian.
Dalam buku kumpulan tulisan tersebut
terdapat tiga tulisan yang membahas tentang
pakaian pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda. Pertama, artikel karya Jean Gelman
Taylor berjudul “Kostum dan Gender di Jawa
Kolonial tahun 1800-1940.”
Dalam tulisannya, Gelman memaparkan
bagaimana pakaian dapat memengaruhi relasi
gender. Negara colonial telah mendorong
munculnya perbedaan penampilan antara lakilaki dan perempuan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa proses penaklukan oleh Pemerintah
Hindia Belanda disertai dengan sejarah sosial
tentang perubahan aturan perpakaian (Nordholt,
1997: 5).
Kedua, artikel karya Rudolf Mrazek berjudul
Kenecisan Indonesia; Politik Pakaian pada akhir
Masa Kolonial 1893:1942. Dalam tulisannya,
Mrazek menceritakan tentang para nyonya
Hindia Belanda yang menampilkan koleksi
boneka kepada Ratu Belanda berjumlah sekitar
150 buah. Beberapa boneka mengenakan
pakaian serba putih, dan lainnya
menggambarkan hierariki kepegawaian
bumiputra yang dikelompokkan berdasarkan
regionalnya. Contohnya, satu set boneka dari �Preanger dan Jawa Timur memperlihatkan
adipati, raden ajoe adipati, patih, mantra,
djoeroetoelis, sampai 35 tingkat jabatan ke bawah
termasuk orang tani dan njai tani. Selain itu
terdapat pula boneka yang menggambarkan
profesi-profesi bumiputra, seperti jaksa dan
istirnya, subkolektor pajak, pengawas pengairan,
guru, dokter, dan petugas yang berwenang
memberikan vaksinasi ,
Adapun artikel ketiga dalam buku Nordholt
(1997) berjudul “Pakaian Musim Panas dan
Makanan Kaleng; Perempuan Eropa dan Gaya
Hidup Barat di Hindia tahun 1990-1942,” yang
ditulis oleh Elsbeth Locher-Scholten.
Elsbeth menganalisis sikap perempuan
berdasarkan alam kultural perempuan yaitu
mode dan makanan. Menurutnya, pakaian dapat
dilihat sebagai ungkapan pembeda sosial seperti
usia, kelompok, dan gender, serta sebagai
indicator norma dan nilai. Elsbeth memaparkan
tentang pakaian yang dimiliki oleh para
perempuan Eropa, meliputi blus, rok, dan gaun.
Semua pakaian tersebut dibuat dari bahan katun
dan linen. Para perempuan Eropa tersebut juga
kerap menggunakan kaca mata pelindung debu
dan topi. Hal tersebut tentu saja disesuaikan
dengan wilayah Hindia Belanda yang beriklim
tropis (Nordholts, 1997: 223, 234-235).
Dalam stratfikasi masyarakat Hindia
Belanda saat itu. Bangsa Eropa menempati
stratifikasi paling atas, posisi kedua ditempati
oleh Timur Asing, dan ketiga oleh bumiputera.
Pakaian yang dikenakan oleh perempuan Eropa
yang sudah tinggal di Hindia Belanda sebelum
awal abad ke-20 adalah kebaya putih dan kain
jarik atau sarung motif batik, dalam hal ini
bumiputera memengaruhi penampilan orang
Eropa. Namun, ketika gaun-gaun pendek khas
musim panas yang dibuat dari linen dan katun
muncul pada awal abad ke-20, kebaya dan sarung
mulai ditinggalkan. Para perempuan Eropa
merasa nyaman menggunakan gaun pendek yang
modis karena menjamin kebebasan bergerak
dibandingkan dengan menggunakan kebaya dan
sarung. Selain itu alasan lainnya yang
diungkapkan oleh Elsbeth adalah adanya
kekhawatiran dari para perempuan Eropa untuk
‘menjadi bumiputera’ karena sifat asli dari
kebaya (Nordholt, 1997: 237). Pada masa itu
orang Eropa bersifat rasis ketika memandang
bumiputra. Dalam pandangan orang Eropa kala
itu, bumiputra adalah kelompok masyarakat
kelas bawah yang terbelakang, miskin, berkulit
gelap dan tidak berpendidikan.
Berikutnya adalah arsip. Terdapat beberapa
arsip yang diulas dalam tulisan ini, pertama
Staatsblad tahun 1820 No. 22 tentang Resolusi
dari Gubernur Jenderal dalam Dewan tanggal 9
Mei 1820 No. 6, dimana dikukuhkan menjadi
suatu peraturan mengenai kewajiban dan tugas,
pangkat dan gelar para bupati di Pulau Jawa.
Dalam Staatsblad tersebut dijelaskan mengenai
pangkat kehormatan militer. Bupati dengan gelar
raden atau kyai adipati mendapat kehormatan
pangkat militer Letnan Kolonel, bupati bergelar
kyai tumenggung mendapat kehormatan pangkat
militer Mayor, dan bupati bergelar mas ngabehi
mendapat kehormatan pangkat militer kapten.
Kedua, Reglement op de Verplichtingen, Titles
en Rangen der Regenten op het Eiland Java
(Peraturan tentang kewajiban-kewajiban, gelargelar, dan pangkat-pangkat para bupati di Pulau
Jawa) peraturan ini diperkirakan dikeluarkan
antara tahum 1925-1930. Dalam peraturan itu
disebutkan bahwa para bupati sebagai orang
nomor satu di kabupaten diperlakukan sebagai
“saudara muda” residen dan harus
diikutsertakan dalam musyawarah urusan
pemerintahan.
Ketiga, Staatsblad tanggal 2 April tahun 1870
no. 9 tentang pakaian dinas pegawai pribumi.
Dalam Staatsblad tersebut, pemerintah Hindia
Belanda menetapkan jenis pakaian kaum lakilaki dan cara serta waktu menggunakannya.
Peraturan ini menetapkan pakaian dinas yang
dipakai pada kesempatan resmi, seperti pada
waktu pelantikan suatu jabatan, pertemuan
resmi dengan pejabat Belanda, dan pesta
perayaan yang berkaitan dengan acara dinas.
Selain itu, ditetapkan pula pakaian dinas bila
akan melakukan perjalanan yang disebut
pakaian keprajuritan. Peraturan cara berpakaian
ini diberlakukan untuk semua kepala dan para
pegawai pribumi di Jawa dan Madura. Sementara
itu, pakaian untuk istri bupati tidak diatur secara
spesifik. Mereka biasanya menggunakan kebaya
dari bahan beludru dipadukan dengan kain jarik
motif batik. Untuk para bangsawan motif batik
yang digunakan adalah motif Parang Rusak
Barong� ,
Gambar 1 adalah motif batik Parang Rusak
Barong. Motif batik tersebut hanya boleh
digunakan oleh para bangsawan bumiputra. Ide
membuat motif ini datang dari Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Dia ingin menyatakan
pengalaman jiwanya sebagai seorang raja
dengan segala tugas dan kewajibannya serta
sebagai seorang manusia yang tidak berdaya di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber berikutnya adalah majalah. Dalam
artikel ini majalah yang diulas adalah majalah
Pedoman Istri dan Doenia Kita. Majalah Pedoman
Istri digagas oleh Rangkajo Chailan Sjamsoe
Datoe Toemenggoeng. Pedoman Istri terbit di
Batavia tahun 1932, kantor pusatnya berada di
Eijkmanpark. Dalam tiap terbitannya, majalah
tersebut menggunakan bahasa melayu. Oleh
karena Rangkajo Chailan Sjamsoe menggagas
pula organisasi Persatoean Istri Pegawai
Bestuur, maka isi berita majalah tersebut pun
didominasi oleh berita seputar perkumpulan
tersebut.
Gambar 2 merupakan satu di antara
beberapa model kebaya yang dimuat dalam
Majalan Pedoman Istri pada Rubrik Mode. Dalam
artikel tersebut dinyatakan bahwa sebaiknya
kebaya dibuat dari bahan lurik berwarna hijau
tua. Bagian tangan dibuat dari kain lain yang
cocok dan memiliki warna senada lurik. Bagian
dada disebut kutubaru. Bagian kutubaru dapat
menggunakan kain satin, crêpe, marocain, atau
charmeuse, sebaiknya dihiasi pula dengan motif.
Motif yang digunakan menggunakan kain yang
pemilihannya diserahkan kepada selera masingmasing perempuan. Motif itu disulam dengan
gambar bunga atau daun, bisa juga ditambah
dengan renda atau lamee.
Majalan Doenia Kita merupakan majalah
yang terbit pada November 1937 di Batavia.
Penggagas majalah ini adalah seorang tokoh
perempuan terkemuka bernama Alimah Latip.
Majalah Doenia Kita mengusung tema kemajuan
perempuan dari sudut pandang barat dan timur
karena dimotori oleh perempuan-perempuan
terpelajar yang juga tercatat sebagai anggota
Organisasi Istri Indonesia. Sehingga tulisan di
dalam majalah tersebut menyiratkan pemikiran
yang sama dengan Organisasi Istri Indonesia.
Dalam Majalah Doenia Kita terdapat Rubrik
Mode dimana rubric tersebut berisi pengetahuan
tentang model pakaian perempuan. Model
pakaian perempuan dalam majalah tersebut
dibagi berdasarkan waktu pemakaian (pagi,
siang, sore, dan malam).
Kebaya pada gambar 3 merupakan satu di
antara beberapa contoh model kebaya yang
digunakan perempuan berdasarkan waktu
pemakaian. Kebaya tersebut dibuat dari crêpe
georgette warna biji gandaria (lilac). Di bagian
bawah dihiasi hiasan dari beludru dan chiffon
warna ungu. Sekeliling badan, leher, dan tangan�dihiasi dengan potongan warna ungu dan
kancing tangan berwana senada.
Selain memuat aturan berpakaian
berdasarkan waktu pemakaian, dicantumkan
pula aturan berpakaian menurut tempat dan
situasi/keadaan. Misalnya, pakaian untuk acara
pesta dan kematian tentu saja berbeda. Jika pada
acara pesta perempuan disarankan
menggunakan pakaian yang indah dan mewah
agar kelihatan menarik, misalnya menggunakan
bahan kain sutera berwarna cerah dengan
berbagai motif. Lain halnya jika menghadiri acara
kematian.
Berdasarkan artikel dalam Majalah Doenia
Kita edisi No. 11, September 1938 halaman 6-7
dinyatakan bahwa orang Eropa menggunakan
warna hitam dan orang Tionghoa menggunakan
warna putih ketika menghadiri acara kematian.
Hal tersebut sebagai cara untuk menyatakan
kesedihan mereka. Namun, tidak demikian
halnya bagi bumiputra. Pada masa itu, tidak ada
pakaian khusus yang digunakan oleh bumiputra
untuk menghadiri acara kematian seseorang.
Artikel tersebut menyebutkan, bahwa kamu
bumiputra tidak perlu meniru orang Eropa atau
orang Tionghoa. Pakaian yang digunakan oleh
bumiputra untuk menghadiri acara kematian
adalah pakain yang pantas dan dapat
menunjukkan empati dan rasa duka cita kepada
keluarga.
Dalam Majalah Doenia Kita terdapat pula
pakaian berdasarkan status perempuan (lajang
atau menikah).
Gambar 4 merupakan gambar sebuah
kebaya untuk perempuan lajang. Potongannya
membentuk tubuh sehingga cocok digunakan
untuk perempuan yang bertubuh langsing.
Kebaya ini dibuat dari sutra berwarna blau muda
yang tidak berkilat, sedangkan kraag dan
manchet dibuat dari sutra berkilat yang
berwarna blau tua. Kain panjang yang dipakai
bermotif lereng berwarna kuning muda
mencolok.
Simpulan
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak
Sejarawan asal Jerman, Leopold von Ranke, pada
abad ke-19 bahwa no document, no history. Oleh
karenanya, sumber dalam kajian sejarah
mempunyai kedudukan yang paling tinggi.
Artinya, ketika seseorang bermaksud menulis
karya sejarah, maka yang pertama harus
ditelusuri adalah sumber.
Berkait dengan sumber tentang sejarah
pakaian pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda, dapat kita lihat bahwa sebelum abad ke-
20 Pemerintah Hindia Belanda sangat
berkepentingan mengatur tata cara berpakaian
para bupati. Hal itu disebabkan oleh dalam
struktur pemerintahan bumiputra kala itu,
bupati menempati posisi paling tinggi, rakyat
menganggap bahwa bupati sebagai representasi
seorang raja-dewa. Sehingga hubungan antara
rakyat dan bupati adalah hubungan kawulagusti. Pemerintah Hindia Belanda membuat
aturan berpakaian untuk menarik simpati rakyat
agar patuh pada perintah bupati sebagai pegawai
pemerintah kolonial.
Memasuki abad ke-20, terutama ketika
perempuan bumiputra mulai diizinkan untuk
menempuh pendidikan di sekolah Eropa untuk
bumiputra, muncullah kesadaran di kalangan
perempuan bumiputra. Kesadaran tersebut
meliputi kesadaran berpikir, berperilaku, dan
berpenampilan. Sehingga munculah gagasan
mendirikan organisasi dan menerbitkan majalah
sebagai corong perjuangan mereka. Hal itu juga
yang menyebabkan pada abad ke-19 belum
ditemukan sumber tentang ragam pakaian
perempuan.
�