jayabaya 4



ritual   tradisional  di petilasan  Sri  Aji Joyoboyo
ini  merupakan  tradisi  yang  dilakukan  secara  turun
temurun  dan  tetap  dilestarikan  oleh  warga   Desa
Menang  sejak tahun 1976 hingga sekarang.  Petilasan Sri
Aji  Joyoboyo ini  mulai  dipugar  pada  22 Februari  1975,
menghabiskan  waktu  1  tahun  hingga  akhirnya  selesai
dipugar  pada  17 April  1976,  dan  kemudian   dilakukan
ritual   tradisional  setiap  bulan  1  Suro untuk
menghormati  dan  mendoakan  Sri  Aji  Joyoboyo
(wawancara  Bapak  Suratin  sebagai  juru kunci  sendang
Tirto Kamandanu, 13 November 2014). 
Pemugaran  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo dilakukan
oleh  keluarga  besar  Hondodento  dari  Yogyakarta.
Keluarga  besar  Hondodento adalah  sebuah  perkumpulan
yang perduli terhadap pelestarian budaya dari Yogyakarta,
yang  berwujud  sebuah  yayasan.  ritual   diserahkan
kepada  warga   Desa  Menang  dan  mulai  tercatat
sebagai  wisata  daerah  serta  dikelola  oleh  pemerintah
daerah pada tahun 2000. Keluarga besar Hondodento dan
warga  Desa Menang percaya bahwa tempat tersebut
adalah  tempat  moksa dari  Sri  Aji  Joyoboyo dan  sebagai
pusat  dari  Kerajaan  Kadiri  (wawancara  Bapak  Warsidi
sebagai Kepala Desa Menang, 10 November 2014).
Sri  Aji  Joyoboyo merupakan  salah  satu  raja  dari
garis  keturunan  Kerajaan  Panjalu  yang  berhasil
mempersatukan  kerajaan  Panjalu  dan  kerajaan  Janggala
menjadi  kerajaan  besar  yaitu  kerajaan  Kadiri  dan
memerintah  dari  tahun  1130-1157 Berdasarkan  prasasti
Ngantang yang bertarikh  7 September 1135 menjelaskan
kemenangan  raja  Joyoboyo atas  kerajaan  Janggala  pada
saat  memerintah  di  kerajaan  Panjalu.  Sri  Aji  Joyoboyo
adalah  raja  yang  paling  besar  dan  paling  masyhur  di
antara  raja-raja  kerajaan  Panjalu.  Kebesaran  Sri  Aji
Joyoboyo  masih  bisa  dirasakan  sampai  sekarang  dan
terbukti  dari  ramalan-ramalan  tentang  tanah  Jawa,  yang
dikemukakan dalam jangka Joyoboyo 
 warga   Desa  Menang  merasa  bahwa  tidak
selayaknya  petilasan  seorang  raja  terlantar  begitu  saja.
Kondisi  petilasan  pada  awalnya  hanyalah  sebuah
gundukan  tanah  di  tengah  rawa-rawa,  kemudian
ditemukan  oleh  Warsodikromo,  salah  satu  warga  yang
tinggal  di sekitar  petilasan.  warga   yang hadir  pada
ritual   tradisional  1  Suro di petilasan  Sri  Aji Joyoboyo
percaya  kegiatan  ini  baik  untuk  mengawali  tahun
baru  Jawa dan  sebagai  penghargaan  atas  kearifan  lokal
yang  dimiliki  oleh  daerahnya  (wawancara  Bapak  Misri
sebagai jurukunci makam Sri Aji Joyoboyo, 11 November
2014). 

Sumber  primer  yang  digunakan  dalam  penelitian
ini antara lain yaitu: (1) buku Loka Moksa Sang Prabu Sri
Aji  Joyoboyo  dan  sendang  Tirto  Kamandanu  karya
Yayasan  Hondodento,  (2)  buku  Petunjuk  Pelaksanaan
ritual   Tradisonal  1 Suro di  Pusat Wilayah Petilasan
Sang Prabu Sri Adji Djojobojo Desa Menang Kecamatan
Pagu  Kabupaten  Kediri  Jawa  Timur  dan  Petunjuk
Pelaksanaan ritual  Labuhan di Parangkusumo Pantai
Selatan  Bantul  Yogyakarta karya  Yayasan  Hondodento,
(3)  buku  Profil  Kebudayaan  Informasai  Nilai-nilai
budaya  dan  legenda  Kabupaten  Kediri dari  Dinas
Kebudayaan  dan  Pariwisata  Kabupaten  Kediri,(4)  buku
Hari  Jadi  Kediri dari  Lembaga  Javanologi,  (5)  buku
Nagarakretagama  dan  Tafsir  Sejarah karya  Slamet
Muljana 
Tahap  kedua  adalah  Kritik.  Kritik  merupakan
usaha  untuk  menilai,  menguji  atau  menyeleksi  sumber-
sumber  yang  telah  didapatkan.  Sumber-sumber  tersebut
diseleksi  untuk  mendapatkan  keabsahan  sumber  guna
mendukung  penulisan  peristiwa  sejarah.  Tahap  kritik
dalam penelitian ini dilakukan secara intern dan ekstern. 
Kritik  intern  merupakan  pembuktian  bahwa
kesaksian  yang  diberikan  oleh  suatu  sumber  dapat
dipercaya.  Kritik  intern  bertujuan untuk meneliti  tingkat
kebenaran  data dari  sumber yang digunakan.  Sedangkan
kritik  ekstern  untuk  memperoleh  keyakinan  bahwa
penelitian  telah  dilaksanakan  dengan  menggunakan  data
yang tepat, untuk itu perlu ditegaskan dengan jelas antara
penulis  buku dan  latar  belakang,  judul  buku,  dan  tahun
penerbitan. 
Hasil dari kritik intern dan ekstern terdapat sumber
primer  dan  sumber  skunder  yang  lebih  validi.  Sumber
primer yang dianggap valid dan relevan dalam penelitian
ini diantaranya: (1) buku Petunjuk Pelaksanaan ritual 
Tradisonal 1 Suro di Pusat Wilayah Petilasan Sang Prabu
Sri  Adji  Djojobojo  Desa  Menang  Kecamatan  Pagu
Kabupaten Kediri Jawa Timur dan Petunjuk Pelaksanaan
ritual   Labuhan  di  Parangkusumo  Pantai  Selatan
Bantul  Yogyakarta karya  Yayasan  Hondodento. Sumber
skunder yang dianggap valid dan relevan dalam penelitian
ini  diantaranya:  (1)  buku  Menggelar  Mantra  Menolak
Bencana karya  Ayu  Sutarto,  (2)  buku  Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan karya Koenjaraningrat,  (3)


1.Asal-usul ritual   Tradisional  1  Suro Di  Petilasan
Sri Aji Joyoboyo.
ritual   tradisional  di  petilasan  Sri  Aji Joyoboyo
diperingati  setiap  bulan  Suro,  tepatnya  pada  tanggal  1
Suro. Tanggal 1 Suro digunakan sebagai tanda kembali ke
awal  atau  kembali  bersih  dan  menghindari  malapetaka
serta  selalu  mendapatkan  perlindungan  dari  Tuhan
ditahun  mendatang  (Wawancara  dengan  Bapak  Sutari
selaku Ketua  Paguyuban  Ngesti  Budi  Sejati  dari  cabang
Organisasi Penghayat Kepercayaan Kabupaten Kediri, 21
April 2015).
Petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo  dipercaya  oleh
warga   sebagai  tempat  moksa  dari  salah  satu  raja
Kerajaan  Kadiri  Sri  Aji  Joyoboyo.  Terdapat  berbagai
macam  versi,  baik  cerita  secara  rasional  maupun
irrasional  yang  menceritakan  bahwa  lokasi  tersebut
merupakan  tempat  moksa Sri  Aji Joyoboyo. Sampai  saat
ini  belum  ada  bukti  secara  fisik  maupun  tertulis  yang
menjelaskan tempat ini sebagai tempat moksa Sri Aji
Joyoboyo.  Setelah dipercaya sebagai tempat moksa Sri Aji
Joyoboyo,  tempat  ini  banyak  dikunjungi  oleh
warga   baik  dari  luar  maupun  dari  dalam  daerah
Kediri  (Wawancara  dengan  bapak  Eko  Prianto  selaku
Kepala Seksi Museum dan Purbakala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Kediri, 2 April 2015). 
warga   Desa  Menang  yang  peduli  terhadap
pelestarian  budaya  tergabung  dan  membentuk  sebuah
komunitas  tradisi  budaya  daerah  dengan  nama
“Paguyuban  Sri  Aji  Joyoboyo”  yang  nantinya  sebagai
pengelola dan jurukunci petilasan hingga saat ini. Secara
rutin  Paguyuban Sri Aji Joyoboyo mengadakan kegiatan-
kegiatan  ritual  tradisi  budaya  yang  banyak  diikuti  oleh
komunitas-komunitas  pelestarian  budaya  lain  dari  luar
daerah  Kediri.  Salah  satunya  adalah  Keluarga  Besar
Hondodento  yang  sekarang  ini  bernama  Yayasan
Hondodento,  yaitu  pengunjung  petilasan  sekaligus
komunitas  yang  perduli  terhadap  pelestarian  tradisi
budaya yang berasal dari Yogyakarta (Wawancara Bapak
Warsidi selaku Kepala Desa Menang, 17 Maret 2015).
 Pada awal kedatangan  Keluarga  Besar Hondodento
berkunjung  ke  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo,  kondisi
petilasan  masih  berbentuk  gundukan  tanah  dengan  batu
nisan di atasnya dan dikelilingi batu bata merah. Keadaan
petilasan  yang demikian,  terlihat  bahwa sebelumnya ada
beberapa  pihak  yang  berkeinginan  untuk  memperbaiki
atau  memugar  petilasan  ini  yang  mengalami
kegagalan  dan  tidak  berkelanjutan.  Proses  pemugaran
dilakukan  selama  ±1 tahun  selama  420 hari,  yaitu  dari
peletakan  batu  pertama  pada  hari  sabtu  pahing,  22
Februari 1975 sampai selesai hari  sabtu pahing, 17 April
1976.  ritual   tradisional  di  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo
mulai diselenggarakan pada tahun 1976 setiap awal bulan
Suro,  tepat  setelah  petilasan  selesai  dipugar.  warga 
Desa  Menang  dibantu  oleh  Yayasan  Hondodento  dari
Yogyakarta untuk mengelola ritual  tradisional setiap 1
Suro di  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo  hingga  saat  ini
(Wawancara  dengan  Bapak  Suratin  selaku  Juru  Kunci
sendang Tirto Kamandanu, 10 Maret 2015). 
 Tujuan ritual 
ritual   tradisional  1  Suro di  petilasan  Sri  Aji
Joyoboyo  diselenggarakan  dengan  tujuan  untuk
mengenang  dan  menghornmati  raja  besar  yang  pernah
memerintah di Kerajaan Kadiri.  Selain ditujukan sebagai
persembahan  kepada  seorang  raja,  ritual   juga
dilaksanakan  untuk  memperingati  dan  menyambut
datangnya  bulan  Suro.  warga   merasa  perlu  untuk
terus  melestarikan  budaya  lokal  yang  dimiliki,  tujuanya
adalah  agar  tidak  tertinggal  oleh  perkembangan  zaman
yang semakin maju. 
Tujuan  umum  untuk  terus  menyelenggarakan
ritual  tradisional 1 Suro setiap tahundi petilasan Sri Aji
Joyoboyo diantaranya adalah:
1.mempertebal iman dan keyakinan  kepada Tuhan  Yang
Maha Esa;
2.mengenang dan mengambil hikmah sejarah perjuangan
para leluhur, para pemimpin, dan para pejuang dari masa
ke masa;
3.memperingati  tahun  baru  1  Suro dalam  penanggalan
Jawa sekaligus memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa
susaha  diberi limpahan taufik dan hidayah;
4.memperkuat  sikap  mental  atau  kepribadian  dan
menambah  rasa  percaya  diri  sebagai  bangsa  yang
berkehidupan bernegara pancasila;
5.melaksanakan  tradisi  para  leluhur  yang  sudah
berlangsung  lama  karena  kalau  ritual   tradisi  tidak
dilaksanakan takut terjadi sesuatu dikemudian hari;
6.menjaga  pusaka yang didapat  dengan  susah  dan  cerita
yang berbau mistis dengan olah tapa dan lain sebagainya
maka  untuk  menjaga  kesaktian  dan  keampuhan  dari
pusaka  ini  maka  dilakukan  prosesi  pembersihan
pusaka pusaka yang dimilik;
7.tujuan  warga   dari  dalam  maupun  luar  daerah
Kediri  adalah untuk membersihkan diri  baik secara lahir
maupun  batin  dengan  cara  tirakatan,  berdoa,  sholat,
semedi dan lain sebagainya;
8.sebagian  orang  yang  percaya  terhadap  hal-  hal  yang
berbau  tahayul  meminta  bekas  air  untuk  membersihkan
benda-  benda  pusaka  ini  untuk  obat,  penglarisan,
jimat dan lain sebagainya;
9.menyebarkan  daya  magis  dari  pusaka  yang  dikirap
ini  susaha   membawa  keselamatan,  kesejahteraan
bagi  keraton,  warga   dan  bangsa  Indonesia  (Buku
Petunjuk  Pelaksanaan ritual   Ziarah 1 Suro  di Pusat
Wilayah  Petilasan  Sang  Prabu  Sri  Aji  Djojobojo  Desa
Menang  Kecamatan  Pagu  Kabupaten  Kediri Propinsi
Jawa Timur dari Yayasan Hondodento tahun, 1989: 2).
2. Pelaksanaan ritual  Tahun 1976
Tahap-tahap  pelaksanaan  ritual   tradisional  di
petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo  di  dalamnya  meliputi
perlengkapan  yang  dipakai  pada  saat  ritual ,  tatacara
ritual , dan prosesi ritual  di petilasan Sri Aji Joyoboyo
dari mulai kegiatan ritual  sampai berakhirnya ritual .
2.1 Perlengkapan ritual .
Perlengkapan yang digunakan  dalam pelaksanaan
ritual   merupakan  alat-alat  yang  dibutuhkan  selama
berlangsungnya ritual  di petilasan Sri Aji Joyoboyo baik
berupa  pusaka  maupun  sesaji  yang  diperlukan  dalam
ritual , peralatan ini diantaranya, meliputi.
1. Perlengkapan ritual  di loka  moksa, loka busana dan
loka mahkota Sri Aji Joyoboyo.
1) Rangkaian pusaka
2) Payung susun tiga sebanyak lima buah
3) Payung tidak bersusun sebanyak 28 buah
4) Plooncon
5) Gamelan (Monggang)
6) Samir 
2.Perlengkapan ritual  di sendang Tirto Kamandanu 
1) Payung tidak bersusun sebanyak 28 buah
2) Plooncon
3) Samir 
Perlengkapan-perlengkapan  yang  digunakan
dalam pelaksanaan ritual  tradisional 1 Suro di petilasan
Sri Aji Joyoboyo sudah dipersiapkan oleh panitia sejak 1
bulan  sebelum  ritual   dilaksanakan.  Perlengkapan-
perlengkapan  yang  telah  disediakan  digunakan  sesuai
dengan  fungsinya  masing-masing  pada  saat  proses
berjalanya ritual .
 Tata cara ritual 
1. Susunan  barisan  pelaku  dan  peserta  ritual   di  loka
moksa, loka busana dan loka mahkota Sri Aji Joyoboyo.
Pelaku  dan  peserta  ritual   di  loka  moksa,  loka
busana  dan  loka  mahkota  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo
disusun  dalam  suatu  barisan  menjadi  6  kelompok  agar
pelaksanaan  ritual   menjadi  tertib  dan  khidmat.
Pembagian susunan barisan ini terdiri dari.
1) 5 pembuka barisan  dan 2 pendampingnya,  2
anak  remaja  kecil,  Pimpinan  rombongan  (cucuk
barisan), 1 pembawa pusaka, 1 penyongsong susun
3  dan  pendampingnya,  1  pembawa  bunga  caos
dahar,  1  penyongsong  susun  3  dan
pendampingnya, 2 pembawa padupan, 1 pembawa
dupa atau ratus, pengarah acara, 2 pembawa acara,
pembaca doa, pembaca unjuk atur atau lengser, 16
remaja penabur bunga dan 16 penyongsongnya.
2) 2 petugas keris, 3 pembawa bunga caos dahar,
1  penyongsong  susun  3  dan  pendampingnya,  2
pembawa bunga caos dahar,  2 penyongsong susun
1,  pembawa  peralatan  ritual,  pemimpin  ritual,
kepala Desa Menang, juru kunci, 10 wakil bapak-
bapak dan 2 wakil ibu-ibu.
3) 3 pembawa bunga caos dahar, 1 penyongsong
susun 3 dan pendampingnya, 2 penyongsong susun
1, 3 pembawa bunga tabur,  dan  13 ibu-ibu wakil
peserta.
 4) 3 pembawa bunga caos dahar, 1 penyongsong
susun 3 dan pendampingnya, 2 penyongsong susun
1, pembawa bunga tabur dan 13 bapak-bapak wakil
peserta.
 5) 3 pembawa bunga caos dahar, 3 penyongsong
susun  1,  13  remaja  putra-putri  wakil  peserta,  3
pembawa bunga caos dahar,  3 penyongsong susun
1, 5 penutup barisan dan pendampingnya.
 6) Peserta  ibu-ibu  dipimpin  ibu  pamong  Desa
Menang  dan  peserta  bapak-bapak dipimpin  bapak
pamong  Desa  Menang  (Buku  Petunjuk
Pelaksanaan  ritual   Ziarah  1  Suro  di Pusat
Wilayah  Petilasan  Sang Prabu Sri  Aji  Djojobojo
Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri
Propinsi  Jawa  Timur dari  Yayasan  Hondodento
tahun, 1989: 7).
2. Susunan  barisan  ritual   di  sendang  Tirto
Kamandanu.

6

1) Pembuka barisan dan pendampingnya, 2 anak
putra  dan  putri,  cocok  barisan  atau  pimpinan
barisan,  pembawa  padupan,  pembawa  dupa  atau
ratus,  pengarah  acara,  pembawa  acara,  pembawa
munjuk atur  atau lengser,  16 putri  penabur bunga
dan penyongsongnya.
2) 2  pembawa  bunga  caos  dahar  dan
penyongsongnya,  pimpnan  rombongan,  pimpinan
ritual, kepala Desa Menang, Juru kunci, 10 bapak-
bapak memakai surjan belah banten dan 2 ibu-ibu.
3) 2  pembawa  bunga  caos  dahar  dan
penyongsongnya dan 3 pembawa keranjang,  serta
13 wakil peserta ibu-ibu.
4) 2  pembawa  bunga  caos  dahar  dan
penyongsongnya,  dan  3  pembawa  kerajang,  13
wakil peserta bapak-bapak.
5) 3  pembawa  bunga  caos  dahar  dan
penyongsongnya,  13  wakil  peserta  remaja,  3
pembawa bunga caos dahar dan penyongsongnya,
penutup barisan dan pendamping.
6) Peserta  ibu-ibu  yang  dipimpin  ibu  kepala
Desa  Menang,  dan  peserta  bapak-bapak  yang
dipimpin  oleh  bapak  kepala  Desa  Menang(Buku
Petunjuk  Pelaksanaan ritual  Ziarah 1 Suro  di
Pusat  Wilayah  Petilasan  Sang  Prabu  Sri  Aji
Djojobojo  Desa  Menang  Kecamatan  Pagu
Kabupaten  Kediri Propinsi  Jawa  Timur dari
Yayasan  Hondodento tahun,  1989: 34-35) (untuk
lebih jelasnya dapat  dilihat  pada  lampiran  I foto
Denah  Susunan  ritual   Di  Sendang
Tirtokamandanu).
Para pelaku dan peserta ritual  harus menempati
susunan  barisan  yang telah  ditentukan.  Susunan  barisan
disusun  oleh  panitia  pelaksanaan  ritual   dengan
menentukan  tugas  dan  tempat  masing-masing  dari  para
pelaku dan peserta ritual . 
2.3 Prosesi ritual 
Proses pelaksanaan  ritual   tradisional  1  Suro di
petilasan Sri Aji Joyoboyo diawali dari  acara pembukaan
di  kantor  kepala  Desa  Menang  menuju  petilasan  dan
diakhiri  di  sendang  Tirto  kamanadanu  sebagai  acara
penutup ritual . Pelaksanaan ritual  di petilasan dibagi
menjadi 2 lokasi. Lokasai pertama berada di loka  moksa,
loka  busana  dan  loka  mahkota.  Lokasi  kedua  berada  di
sendang Tirto Kamandanu.
Susunan  acara  ritual   tradisional  1  Suro di loka
moksa,  loka  busana  dan  loka  mahkota  petilasan  Sri  Aji
Joyoboyo adalah  sebagai  berikut.  Pada pukul  07.00 para
pelaku dan peserta  ritual   mengikuti  serangkaian  acara
pembukaan yang dilakukan di pendopo kantor kepala desa
Menang. Serangkaian acara pembuka ini diantaranya
adalah  sambutan-sambutan  yang  dilakukan  oleh  kepala
daerah  dan  pemerintah  kota  Kediri  serta  ketua  panitia
penyelenggara  ritual   dan  perwakilan  dari  yayasan
Hondodento.
Seluruh  pelaku  dan  peserta  ritual   sampai  di
tempat pelaksanaan  ritual  pertama di petilasan Sri Aji
Joyoboyo,  yaitu:  loka  moksa,  loka  busana  dan  loka
mahkota  pukul  09.45  dan  telah  siap  menempati  tempat
yang telah  ditentukan.  kemudian  setelah  semua pelaku
dan  peserta  ritual   siap,  pada  pukul  10.00  pembawa
acara memulai ritual  dengan kata pembuka. 
Setelah  hening  cipta  selesai  dilakukan,  pimpinan
rombongan  ritual   melakukan  munjuk  atur  menuju  ke
loka  moksa untuk menghaturkan  maksud dan tujuan dari
kehadiran rombongan ritual  ke hadapan sang prabu Sri
Aji Joyoboyo. Acara kemudian  adalah tabur bunga yang
dilakukan oleh 16 remaja putri di halaman sebelah timur
loka  moksa  sebagai tanda penghormatan  dan rasa syukur
atas kehadiran  para  tamu agung dan para  leluhur,  maka
16  remaja  putri  melakukan  tabur  bunga  di  halaman
sebelah  timur  pamoksan,  pada  pukul  10.20  dilanjutkan
dengan  acara  caos  dahar  yang  dilakukan  ditiga  tempat
yang berbeda secara bersamaan, yaitu di loka moksa oleh
Kepala Desa Menang,  pimpinan  ritual dan ibu pimpinan
panitia, di loka mahkota oleh Bapak Carik Desa Menang,
di loka busana oleh Ibu Kepala Desa dan Ibu Carik Desa
Menang. Secara bersama-sama caos dahar  dilakukan dan
diiringi oleh pembawa bunga dan pembawa payung susun
satu.

7

kemudian   adalah  peletakan  pusaka  tongkat  di
dalam loka  moksa Sri  Aji  Joyoboyo oleh ketua  Yayasan
Hondodento  yang  terlebih  dahulu  diserahkan  oleh
pimpinan rombongan ritual . Peletakan tongkat di dalam
loka  moksa diiringi  oleh  pembawa  payung  susun  tiga.
Acara kemudian  adalah pembacaan doa ritual  1  Suro
yang dipimpin  oleh ketua panitia  dari  Desa Menang.  Isi
dari  doa ritual  1  Suro adalah  untuk memanjatkan  puji
syukur  kehadirat  Tuhan  Yang  Maha  Esa  atas
terlaksananya ritual  dan peringatan  tahun baru Jawa 1
Suro  tahun  ...  dan  mendapat  perlindungan,  kemudahan,
kebahagiaan  lahir  dan  batin.  Setelah  pembacaan  doa  1
Suro selesai,  pimpinan  ritual  ritual   munjuk  lengser
menghadap  ke  loka  moksa Sri  Aji  Joyoboyo,
menghaturkan rombongan ritual  agara  diizinkan untuk
mengundurkan diri dari hadapan Sri Aji Joyoboyo
Selesai  acara  munjuk  lengser,  acara  kemudian 
adalah  pengambilan  kembali  pusaka  tongkat  yang  juga
dilakukan oleh ketua Yayasan Hondodento di loka moksa
Sri  Aji  Joyoboyo,  yang  kemudian  diserahkan  kembali
kepada  pimpinan  rombongan  ritual .  Pimpinan
rombongan ritual  menerima tongkat dari ketua Yayasan
Hondodento dengan  cara  jongkok, diikuti  oleh pembawa
payung  susun  tiga  dan  kemudian  kembali  ke  tempat
semula.  kemudian   acara  terakhir  adalah  caos  dahar
umum yang akan  diikuti  oleh warga   maupun  tamu
undangan  yang  hadir  dalam  ritual .  Pembawa  bunga
caos  dahar  secara  bergantian  maju  menuju  loka  moksa
untuk melayani  caos dahar  umum yang diikuti pembawa
payung  susun  satu  sampai  di  depan  loka  moksa.
kemudian   setelah  caos  dahar  umum  selesai  acara
ritual   di  loka  moksa,  loka  busana  dan  loka  mahkota
petilasan Sri Aji Joyoboyo di tutup oleh pembawa acara. 
Selesainya  kata  penutup  yang  dibacakan  oleh
pembawa  acara,  para  pelaku  dan  peserta  ritual 
menyusun barisan yang sudah ditentukan untuk berangkat
menuju  sendang  Tirto  Kamandanu  dan  melaksanakan
serangkaian  ritual   kemudian .  Para  tamu  undangan
dan  warga   umum  yang  berada  di  dalam  pendapa
loka  moksa masih  diperkenankan  untuk melakukan  caos
dahar di loka moksa Sri Aji Joyoboyo.
Rombongan ritual  sampai di loka sendang Tirto
Kamandanu pukul 12.40 dan langsung menyusun barisan
yang  sudah  ditentukan  di  halaman  sendang  Tirto
Kamandanu.  Pembawa acara membacakan kata pembuka
untuk  membuka  ritual   di  sendang  Tirto  Kamandanu.
Sebagai acara awal untuk mengawali ritual , di sendang
Tirto  Kamandanu  dilakukan  hening  cipta  dengan  tetap
duduk dan  menempati  tempat  masing-masing,  dipimpin
oleh perwakilan dari panitia pelaksanaan ritual . Hening
cipta dilakukan untuk kelancaran pelaksanaan ritual  di
sendang  Tirto  Kamandanu  dan  mendoakan  arwah  para
leluhur  serta  para  pahlawan  bangsa.  kemudian   setelah
Hening  cipta  selesai  dilakukan,  perwakilan  Ibu  dari
Yayasan  Hondodento  melakukan  munjuk  atur  untuk
menghaturkan kedatangan rombongan ritual  di sendang
Tirto Kamandanu kepada sang prabu Sri Aji Joyoboyo. 
kemudian  dilakukan tabur bunga oleh 16 remaja
putri  yang dilakukan  di  halaman  sebelah  utara  sendang
Tirto  Kamandanu  sebagai  tanda  penghormatan  kepada
tamu dan rasa syukur atas kehadiran tamu agung dan para
leluhur.  Pelaku  ritual   ke  enam  belas  remaja  putri
berjajar  dua  baris  membawa  baki  berisi  sekar  setaman
yang  sudah  direndam,  kemudian  bergantian  memasuki
gapura  pintu  masuk  di  sebelah  utara  sendang  dan
melakukan  tabur  bunga  secara  bergantian  dengan
didampingi  juru kunci dan  pembawa payung susun satu.
Selesainya  16  remaja  putri  melakukan  tabur  bunga  di
halaman  sebelah  utara  sendang,  kemudian  kordinator
pemugaran  sendang  Tirto  Kamandanu  memimpin  acara
kemudian   yaitu caos dahar  yang diikuti  oleh pimpinan
ritual beserta Ibu (pasangan dari pimpinan ritual), Kepala
Desa  Menang  beserta  Ibu  (pasangan  dari  Kepala  Desa
Menang),  3  perwakilan  Ibu  dari  Pemerintah  Kabupaten
Kediri, 3 perwakilan Ibu dari peserta, dan 3 wakil peserta
remaja  putri  dengan  bergantian  menuju  muka  halaman
sendang Tirto Kamandanu. Petugas pembawa bunga caos
dahar  beserta  penyongsong  mengikuti  untuk  melayani
caos dahar.
Selesai  acara  caos  dahar  di  sendang  Tirto
Kamandanu,  acara  kemudian   yang  dilakukan  adalah
pembacaan  doa.  Acara  terakhir  di  sendang  Tirto
Kamanadanu  adalah  munjuk  lengser,  untuk  memohon
izin mengundurkan  diri dari  hadapan sang prabu Sri Aji
Joyoboyo dan  meninggalkan  sendang  Tirto  Kamandanu
yang kemudian diikuti kata penutup dari  pembawa acara
yang menandakan  ritual   di  petilasan  Sri  Aji Joyoboyo
telah selesai. 
Setelah  selesai  pembacaan  kata  penutup  yang
disampaikan  oleh  pembawa  acara,  maka  berakhirlah
rangkaian  ritual   di  pelisan  Sri  Aji  Joyoboyo. Barisan
ritual   diberangkatkan  kembali  menuju  pamoksan,
sampai  di  jalan  perempatan  sebelah  selatan  pamuksan
bertemu  pelaku  ritual   atau  penyongsong  yang
menunggu  di  pamuksan.  Barisan  disusun seperti  semula
dan  diberangkatkan  kembali  menuju  ke  Kantor  Kepala
Desa.
3. Dinamika ritual  Tradisional 1 Suro
Pada setiap pelaksanaan sebuah tradisi dalam suatu
daerah  pasti  mengalami  sebuah  perubahan.  Perubahan
yang  ada  dapat  menuju  ke  arah  peningkatan  maupun
mengalami  penurunan.  Kejadian  ini  dapat
dipengaruhi oleh keadaan daerahnya sendiri maupun pola
pikir  manusia  yang  semakin  mengalami  perkembangan.
Begitu  pula  yang  terjadi  pada  pelaksanaan  ritual 
tradisional  1  Suro  di  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo.
Pelaksanaan  ritual   di  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo
mengalami perubahan pada beberapa periode waktu.
ritual  Tradisional 1 Suro Tahun 1976-1980
Perubahan pelaksanaan ritual  di petilasan Sri Aji
Joyoboyo pada  intinya  terletak  pada  segi  pengelolaanya.
Pelaksanaan  ritual   diselenggarakan  pertama  kali  pada
tahun  1976.  Yayasan  Hondodento  dalam  membimbing
pengelolaan  ritual   di  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo
mengikuti  tata  cara  dan  prosesi  ritual   dari  Kraton
Yogyakarta.  ritual   tradisional  di  petilasan  Sri  Aji
Joyoboyo merupakan  sebuah  ritual  yang  sakral,  karena
ditujukan kepada seorang raja 
ritual   di  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo
diselenggarakan  melalui  musyawarah  dengan  masyrakat,
pemerintah  desa  dan  pemerintah  daerah.  Pada  awal
diselenggarakan  ritual ,  pemerintah  menyerahkan
pengelolaan  sepenuhnya  kepada  warga   dan
pemerintah  Desa  Menang  yang  dipandu  oleh  Yayasan
Hondodento (wawancara  dengan bapak kusnandi  sebagai

Pada awal pelaksanaanya, ritual  di petilasan Sri
Aji  Joyoboyo  menggunakan  perlengkapan  yang  masih
bersifat sederhana dan tradisional, seperti:
1) rangkaian pusaka
2) payung susun tiga sebanyak lima buah
3) payung tidak bersusun sebanyak 28 buah
4) plooncon
5) gamelan (Monggang)
6) samir 
Sesaji  merupakan  sebuah  unsur  dalam  ritual 
yang tidak  boleh  dilupakan  dan  dikurangi,  karena  akan
mengurangi  nilai-nilai  magis  dan  kesakralan  dalam
ritual . Sesaji yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Ubo Rampen
2) Dahar ambengan pepak dan lauk pauk
3) Jenang Suro
4) Apem, Ketan dan kolak
5) Jenang Pliringan hitam dan putih
6) Tumpeng Urubing Damar 
7) Sekar Setaman
Pada  saat  awal  dilaksanakan  ritual   tahun  1976
sampai  tahun  1980  belum menggunakan  peralatan  atau
sarana dan prasarana yang lengkap. Pelaksanaan ritual 
belum  diliput  dan  bahkan  ditayangkan  dimedia-media
sosial  
Pada pelaksanaan ritual  tahun 1980 sampai pada
tahun 2000, pengelolaan  ritual   diserahkan  sepenuhnya
kepada  warga   Desa  Menag  dan  panitia  yang  telah

dibentuk. Yayasan Hondodento sepenuhnya menyerahkan
pengelolaan  ritual   kepada  warga   Desa  Menang,
karena  sudah  memberikan  kepercayaan  dalam
pelaksanaan  ritual .  Yayasan  Hondodento  juga
membentuk  beberapa  panitia  yang  ditugaskan  untuk
membantu jalanya ritual  di petilasan Sri Aji Joyoboyo.
Pada saat  ritual   tanggal  1  Suro,  Yayasan  Hondodento
hanya  mengirimkan  perwakilan  anggota  sebagai  tamu
undangan.
Terdapat  beberapa  perubahan  dalam  pelaksanaan
ritual  tahun 1980 dengan tahun sebelumnya, perubahan
ini terletak  pada  perlengkapan  ritual ,  sesaji yang
digunakan  pada  saat  ritual   dan  pengelolaan  ritual .
Terdapat  beberapa  tambahan  perlengkapan  yang
digunakan  pada  saat  ritual .  Pada  tahun  1980
perlengkapan  yang  digunakana  pada  saat  ritual 
mendapat tambahan sepeti: (1) pengeras suara; (2) karpet
merah dan hijau; (3) serta tenda dan umbul-umbul. Sesaji
yang  digunakan  pada  saat  prosesi  ritual   juga
mengalami  tambahan.  Pada  saat  prosesi  ritual   panitia
menambahkan sesaji Jajan Pasar dan Tumpeng Robyong.
Sesaji  Jajan  Pasar dinilai  mempunyai  makna  ramai,
maksudnya  adalah  ramai  seperti  suasana  di  pasar.
Sedangkan sesaji Tumpeng Robyong bergembira atau suka
cita.  
ritual   tradisional  1  Suro  di  petilasan  Sri  Aji
Joyoboyo  telah  resmi  ditetapkan  sebagai  objek  wisata
daerah  Kabupaten  Kediri  pada  tahun  2000.  Setelah
menjadi  objek  wisata  daerah  Kabupaten  Kediri,
pemerintah  melalui  Dinas  Pariwisata  dan  Kebudayaan
mulai  ikut  membantu  dalam  mengelola  ritual   di
petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo ini.  Pemerintah  tidak  secara
penuh  ikut  serta  mengelola  ritual ,  hanya
menyumbangkan  bantuan  dalam  bentuk  tenaga  serta
sarana dan prasarana  yang dibutuhkan pada saat ritual 
diselenggarakan.  Bantuan  yang  telah  diberikan  oleh
pemerintah baik dalam bentuk tenaga maupun sarana dan
prasarana  telah  memberikan  perubahan  pada  proses
pelaksanaan ritual  di petilasan Sri Aji Joyoboyo ini. 
Prosesi  ritual   mengalami  perubahan  pada  saat
awal  dimulainya  ritual ,  seperti  tari-tarian  yang
disumbangkan oleh pemerintah  melalui  Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Kediri sebagai sambutan dan
persemabahan  yang  ditujukan  kepada  para  tamu  agung
pada awal prosesi ritual .  Pemerintah Kabupaten Kediri
menyumbangkan  pertunjukan  wayang dan kuda lumping
yang di mainkan  pada saat  malam 1  Suro  sebagi sarana
hiburan bagi para pengunjung yang memang datang pada
saat malam sebelum ritual  dipetilasan Sri Aji Joyoboyo
mulai  dilaksanakan.  Pemerintah  juga  memberikan
bantuan  tenaga  seperti  peserta  ritual   yang  bertugas
sebagai  pembawa  acara  pada  saat  prosesi  ritual 
Pelaksanaan ritual  tradisional 1 Suro di petilasan
Sri  Aji  Joyoboyo telah  mengalami  perubahan  dari  awal
dilaksanakan  ritual   hingga  saat  ini.  Perubahan  yang
terdapat  dalam  ritual   adalah  pada  prosesi  dan
pengelolaan,  serta  peralatan  yang  digunakan  dalam
ritual .  Perubahan  dalam  segi  apapun  yang  muncul
dalam ritual   tidak  dapat  dihindari  karena  keterlibatan
semua pihak yang ingin melestarikan budaya warisan dari
para  leluhur  
Pada sebuah tradisi budaya yang terdapat di setiap
daerah  pasti  mengalami  perubahan,  baik  mengalami
peningkatan  maupun  penurunan  dari  segi  apapun  di
dalam  tradisi  tersebut.  Begitu  juga  yang  terjadi  pada
tradisi budaya yang telah diwariskan para leluhur di Desa
Menang,  yang telah mengalami perubahan dari  tahun ke
tahun. Perubahan pada pelaksanaan sebuah tradisi disuatu
daerah  disebabkan adanya pengaruh  dari  berbagai  pihak
dan keadaan warga  yang juga mengalami perubahan.
 usaha   yang  Dilakukan  dalam  Mengelola
ritual 
ritual   trasidional  1  Suro dipetilasan  Sri  Aji
Joyoboyo merupakan salah satu objek wisata yang dimiliki
oleh  warga   Kediri.  Pemerintah  Kabupaten  Kediri
telah  melakukan  usaha   pelestarian  untuk  meningkatkan
daya  tarik  warga   terhadap  tradisi  budaya  leluhur
yang berada di Desa Menang tersebut.  warga   Desa
Menang juga ikut berpartisipasi untuk melestarikan tradisi
budaya leluhur  yang dimiliki  dalam bentuk memberikan
kenyamanan kepada pengunjung yang datang. 
 usaha  yang Dilakukan Pemerintah
Sejak  diresmikan  sebagai  objek  wisata  daerah
sekitar tahun 2000, pemerintah Kabupaten Kediri melalui
Dinas  Pariwisata  dan  Kebudayaan  mulai  membantu  dan
menyokong  untuk  melestarikan  ritual   tradisional  di
petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo.  Meningkatnya  jumlah
pengunjung yang datang pada saat ritual  menyebabkan
pemerintah  berusaha   untuk  menyediakan  fasilitas  dan
memberikan  pelayanan  yang  baik  kepada  para
pengunjung.  Pemerintah  Kabupaten  Kediri  memberikan
bantuan berupa tenaga dan membantu untuk memperbaiki
jalan menuju petilasan.  Pemerintah  memberikan  bantuan
berupa  tari-tarian  yang  disumbangkan  untuk  digunakan
pada  saat  menyambut  para  tamu  agung  di  awal  prosesi
ritual ,  pada  saat  malam  1  Suro sebelum  ritual 
pemerintah  juga  menyumbangkan  pertunjukan  wayang
untuk  memberikan  hiburan  bagi  para  pengunjung  yang
sudah  datang.  Pihak  Pemerintah  Kabupaten  Kediri
melalui  Dinas  Pariwisata  dan  Kebudayaan  juga
menyumbangkan  bantuan  tenaga  dengan  mengirimkan
pembawa  acara  pada  saat  ritual   mulai  dilakasanakan
(wawancara dengan Nanik Yuniasari selaku Kepala Seksi
Sejarah  Nilai  dan  Tradisi  Dinas  Pariwisata  dan
Kebudayaan Kabupaten Kediri, 08 Maret 2015). 
Bantuan  yang  diberikan  oleh  pemerintah  Desa
Menang  adalah  penyediaan  tempat,  sarana  prasarana
seperti  listrik  dan  membantu  menyediakan  peralatan
ritual  yang dibutuhkan. Pemerintah  Desa Menang juga
membantu  dalam  pengkoordinasian  peserta  ritual 
melaui  panitia  pengelola  yang  ditugaskan  oleh  Kepala
Desa Menang.  Panitia  yang telah  ditunjuk mendapatkan
tugas  mengkoordinasikan  peserta  ritual   dengan
mengumpulkan  pemuda-pemudi  yang  ada  di  Kabupaten
Kediri  dengan  cara  proses  seleksi  dari  sekolah-sekolah.
 usaha  yang Dilakukan warga 
warga  sebagai komponen yang ikut mengelola
ritual   di  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo,  juga  berusaha 
untuk  ikut  membantu  manjaga  kelestarian  budaya  yang
telah  di  wariskan  leluhur  Desa  Menang.  warga 
menyumbangkan  bantuan  dengan  cara  memberikan
fasilitas  dan  kenyamanan  untuk  para  pengunjung  yang
datang.  Fasilitas  yang  diberikan  warga   sekitar
petilasan  berupa  pembangunan  sarana  dan  prasarana
ritual   tradisional  yang  ada  di  Desa  Menang,
selain  telah  menjadi  objek  wisata  di  Kabupaten  Kediri
juga banyak memberikan  manfaat  bagi  warga   yang
tinggal  disekitar  petilasan.  Selain  memajukan
pembangunan yang ada di sekitar wilayah Desa Menang,
ritual  di petilasan Sri Aji Joyoboyo telah meningkatkan
perekonomian dan produksi lokal warga  yang tinggal
di sekitar petilasan. Setelah petilasan Sri Aji Joyoboyo ini
dipugar dan diresmikan sebagai objek wisata daerah oleh
pemerintah  Kabupaten  Kediri  sedikit  banyak  telah
merubah kehidupan perekonomian warga sekitar petilasan
dan  membuka  lapangan  kerja  baru,  seperti  penjual
souvenir, warung makanan-minuman, dan pelayanan jasa
lainya.  Pada  hari-hari  biasa  pendapatan  dari  hasil
penjualan  berbeda jauh dengan  pendapatan  yang didapat
pada saat berlangsungnya ritual  tanggal 1 Suro. Secara
tidak  langsung,  dengan  terselenggaranya  ritual   di
petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo  telah  memberikan  berkah
tersendiri kepada warga  Desa Menang.
ritual   tradisional  di  petilasan  Sri  Aji Joyoboyo
merupakan  sebuah  tradisi  budaya  yang  diwariskan  oleh
para  leluhur  warga   Jawa.  ritual   tradisional  dari
Desa Menang ini dilakukan di petilasan seorang raja yang
pernah  memerintah  pada  kerajaan  Kadiri  yang  awalnya
adalah  kerajaan  Panjalu  dengan  dahanapura  sebagai
ibukotanya.  warga   mempercayai  bahwa  di  tempat
ini merupakan tempat  moksa dari  Sri Aji Joyoboyo.
Dari berita yang di sebarkan melalui satu orang ke orang
lain akhirnya ritual  di petilasan Sri Aji Joyoboyo mulai
banyak di  kunjungi  warga   dari  dalam maupun dari
luar daerah Kediri dengan tujuanya masing-masing. 
ritual   tradisional  di  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo
telah  berlangsung  sejak  tahun  1976  yang  selalu
diselenggarakan pada setiap awal bulan Suro atau tanggal
1 Suro menurut penanggalan Jawa. Bulan  Suro dianggap
sebagai  bulan  yang  istimewa  oleh  sebagian  warga 
Jawa yang mempercayai, khususnya pada tanggal 1 Suro. 
Asal-usul  ritual   yang  diselenggarakan  di
peilasan  Sri  Aji  Joyoboyo  adalah  setelah  ditemukanya
petilasan  ini  oleh  warga .  Lokasai  yang
dipercaya  warga   sebagai  tempat  moksa Sri  Aji
Joyoboyo sebebelumnya merupakan tempat yang dianggap
wingit.  ritual   tradisional  1  Suro  di  petilasan  Sri  Aji
Joyoboyo sejak  tahun  2000  telah  menjadi  objek  wisata
daerah  Kabupaten  Kediri.  Setelah  menjadi  objek wisata
daerah,  petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo  semakin  banyak
dikunjungi  setiap  tahunya  dan  dikenal  oleh  warga 
dari  luar  daerah  Kediri.  Melihat  semakin  meningkatnya
jumlah  pengunjung  yang  datang  pada  saat  ritual ,
pemerintah  Kabupaten  Kediri  berusaha   untuk
meningkatkan  kenyamanan  bagi  para  pengunjung  baik
dalam  segi  fasilitas  maupun  sarana  prasarana.  Selain
merasa bangga karena wisata yang dimiliki daerah Kediri
menjadi  dikenal  oleh  warga   luas,  peningkatan
pengunjung  pada  saat  ritual   juga dapat  meningkatkan
pendapatan daerah Kabupaten Kediri serta meningkatkan
perekonomian  warga  yang tinggal  diselitar  petilasan  Sri
Aji Joyoboyo. 
Pelaksanaan ritual  di petilasan Sri Aji Joyoboyo
dalam  prosesinya  menggunakan  tata  cara  dan
perlengkapan  seperti  yang  digunakan  pada  ritual 
tradisional  di  kraton  Yogyakarta.  ritual   tradisional  1
Suro di petilasan Sri Aji Joyoboyo menggunakan tata cara
dan  perlengkapan  yang  sesuai  untuk  ditujukan  kepada
raja-raja  di  Jawa.  Yayasan  Hondodento dari  Yogyakarta
merupakan  pemrakarsa  sekaligus  pemandu  jalanya
ritual   yang  diselenggarakan  oleh  warga   Desa
Menang. 
Pada  pelaksanaan  ritual   tradisional  setiap
tanggal  1  Suro dipetilasan  Sri  Aji  Joyoboyo  telah
mengalami  perubahan,  baik  mengalami  peningkatan
maupun  penurunan.  Perubahan  yang  terdapat  pada
ritual   yang dilaksanakan  di petilasan  Sri  Aji Joyoboyo
terjadi pada beberapa periode. Perubahan-perubahan yang
ada  terdapat  pada  cara,  perlengkapan  maupun
pengelolaan  ritual .  ritual   yang  diselenggarakan  di
petilasan  Sri  Aji  Joyoboyo telah  banyak  didatangi  oleh
masyaraakat  lokal  maupun  warga   dari  luar  daerah
kediri.  Pelaksanaan  ritual   tradisional  1  Suro di  Desa
Menang  telah  berdampak  pada  pendapatan  dan
pembangunan  daerah  Kabupaten  Kediri.  Pemerintah
Kabupaten  Kediri  beserta  warga   bekerjasama untuk
tetap  menjaga  dan  melestarikan  budaya  yang  telah
menjadi slah satu objek wisata di daerah Kediri tersebut.
2. Saran
Berkaitan  dengan  simpulan  diatas,  maka  penulis
dapat menyampaikan beberapa saran:
Bagi  pemerintah  Kabupaten  Kediri,  diharapkan
agar  dengan  serius  ikut  mengelola  dan  memberikan
bantuan  sesuai  dengan  ketentuan  pengelolaan  kawasan
wisata, agar dapat menyentuh semua aspek-aspek penting
dan  mengakomodir  semua  kepentingan  terkait
pengelolaan  kawasan  wisata,  serta  mendapat  kebijakan
yang spesifik sesuai denagan Perda Kabupaten Kediri No.
16  tahun  2011  yang  menjadi  acuan  pokok  kegiatan
pengelolaan kawasan wisata.
Bagi  warga   sekitar  petilasan,  diharapkan
dapat lebih meningkatkan pelayanan dan sarana prasarana
bagi  para  pengunjung  yang  datang  ke  petilasan  Sri  Aji
Joyoboyo.  Agar  meningkatkan  jumlah  pengnjung  dan
berdampak bagi meningkatnya perekonomian warga 
sekitar petilasan.
Bagi  para  pengunjung,  diharapkan  agar  ikut
melestarikan  taradisi  budaya  apapun  yang  telah
diwariskan  oleh  para  leluhur  yang  kelak  akan  dapat
diteruskan  sampai  para  penerus  kemudian   untuk  tetap
dijaga kelestarianya,  khususnya ritual   tradisional  yang
ada  di  Desa  Menang  agar  tidak  terkikis  oleh
perkembangan zaman yang semakin maju.
Bagi pembaca dan  peneliti  lain,  dapat  menambah
pengetahuan  dan  pemahaman  mengenai  tradisi
kebudayaan lokal yang dimiliki  oleh daerah  sendiri  serta
mengetahui  tokoh Sri Aji Joyoboyo yang pernah  menjadi
pemmimpin  besar  dan  diharapkan  dapat  mengetahui
nilai-nilai tauladan yang dapat dicontoh dari sosok Sri Aji
Joyoboyo,  serta  dapat  digunakan  sebagai  masukan  atau
acuan  untuk  melakukan  penelitian  lanjutan  sejenis  yang
berkaitan  dengan  ritual   tradisional  1  Suro  pada waktu
mendatang.
Demikian beberapa saran-saran yang dapat penulis
sampaikan, semoga dapat diambil segala manfaatnya.

Ramalan Joyoboyo Dan Sejarahnya 
 
Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya 
dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada 
khususnya di kalangan masyarakat Jawa. 
Namun studi akademis yang dilakukan oleh banyak sarjana, akhirnya menemukan 
bahwa Ramalan Jayabaya ini bukanlah karya raja Jayabaya. 
 
Asal-usul 
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, 
maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya 
hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan 
Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H =1618 M, hanya 
selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan 
Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan 
sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-
1645 M). 
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya 
Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang 
dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa=1741-1743 M. Sang Pujangga ini 
memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya 
punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat 
Demak! Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau 
dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat 
masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai 
pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang 
Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong. 
Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton 
Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang 
Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, 
Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, SejarahEmpu, 
dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di 
Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada 
tahun 1691-1704. Kemudiandiganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya 
Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang 
sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 
Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn. 
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta 
pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban 
sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk 
mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).Sang 
Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 
M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya 
sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran 
Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran 
Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta 
diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 
1672 Jawa = 1747 M. 
 
Analisa 
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, 
yang sebenarnyauntuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3 
tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu. 
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran  
gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu 
diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Silam pertama di Jawa yang 
disebut sebagai ”Giri Kedatan". Giri Kedatan ini nampaknya Merupakan jaman 
peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 
M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para 
Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih 
bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3. 
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang 
dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) 
Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu 
seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-
kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri 
pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang 
wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa 
Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan 
sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh 
kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam 
di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya 
sejak para Wali masih hidup. 
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu 
Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo 
(Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian 
hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan 
muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah 
seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di 
seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya. 
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah 
beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, 
justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja 
pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak 
bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya 
praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan 
Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk 
ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung). Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan 
dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil 
pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari 
Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 
1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data 
baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, 
sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu membuat karangan berjudul "JANGKA 
JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha 
dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya 
sebelumnya dalam bentuk babad. 
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk 
karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan 
bagi generasi anak cucu di kemudian hari. Cita-cita yang pujangga yang 
dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran 
batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata 
menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini 
benama "REPUBLIK INDONESIA"!. 
Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para 
pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., 
cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I. Jangka Jayabaya 
dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di 
Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan 
dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-
karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan 
belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa 
karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau 
ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan 
historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini. 
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan 
Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat 
Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya 
ini merupakan karya Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama 
dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu 
menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini. 
 
ISI RAMALAN 
1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda. 
2. Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi. 
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa. 
4. Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air. 
5. Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara. 
6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman  
Jayabaya telah mendekat. 
7. Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut. 
8. Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak. 
9. Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal. 
10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian 
lelaki. 
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda 
orang akan mengalami zaman berbolak-balik 
12. Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati. 
13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar 
sumpah sendiri. 
14. Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan. 
15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang 
Widhi. 
16. Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung. 
17. Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci. 
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit---Banyak orang hanya 
mementingkan uang. 
19. Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan. 
20. Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan. 
21. Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara. 
22. Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak. 
23. Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu. 
24. Nantang bapa--- Menantang ayah. 
25. Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat. 
26. Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga. 
27. Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan. 
28. Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul. 
29. Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman Raja tidak adil 
30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil 
31. Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil 
32. Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih. 
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja 
halal justru merasa malu. 
34. Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu. 
35. Wegah nyambut gawe --- Malas untuk bekerja. 
36. Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah. 
37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu 
angkara murka, memupuk durhaka. 
38. Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu. 
39. Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria. 
40. Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-
pong). 
41. Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat. 
42. Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan 
43. Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji. 
44. Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu. 
45. Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang perwira/kejantanan 
46. Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri. 
47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada 
suami. 
48. Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak. 
49. Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri. 
50. Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang tukar istri/suami. 
51. Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda. 
52. Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu. 
53. Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen). 
54. Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis. 
55. Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang. 
56. Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu. 
57. Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri. 
58. Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga. 
59. Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka. 
60. Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat. 
61. Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim. 
62. Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua. 
63. Akeh randha nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi. 
64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya. 
65. Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang. 
66. Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang. 
67. Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi. 
68. Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja. 
69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana. 
70. Akeh laknat--- Banyak kutukan 
71. Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat. 
72. Anak mangan bapak---Anak makan bapak. 
73. Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara. 
74. Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan. 
75. Guru disatru---Guru dimusuhi. 
76. Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga. 
77. Kana-kene saya angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi. 
78. Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban. 
79. Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan. 
80. Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi perang. 
81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan utara. 
82. Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara. 
83. Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia. 
84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau. 
85. Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar. 
86. Pengkhianat nikmat---Pengkhianat nikmat. 
87. Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna. 
88. Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat. 
89. Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu. 
90. Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara. 
91. Sing curang garang--- Yang curang berkuasa. 
92. Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara. 
93. Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam. 
94. Wong main akeh sing ndadi---Penjudi banyak merajalela. 
95. Akeh barang haram---Banyak barang haram. 
96. Akeh anak haram---Banyak anak haram. 
97. Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki. 
98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri. 
99. Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang. 
100. Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan telanjang. 
101. Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk penjual. 
102. Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat. 
103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi. 
104. Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas. 
105. Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu. 
106. Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar. 
107. Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset. 
108. Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur. 
109. Sing wedi mati---Yang takut mati. 
110. Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat. 
111. Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih 
112. Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur 
113. Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati merintih. 
114. Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima bagian. 
115. Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir. 
116. Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat. 
117. Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang. 
118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya. 
119. Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat. 
120. Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi. 
121. Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar. 
122. Sing jujur kojur---Yang jujur celaka. 
123. Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda. 
124. Wong mangan wong---Orang makan sesamanya. 
125. Anak lali bapak---Anak lupa bapa. 
126. Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan mereka. 
127. Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang semakin laris. 
128. Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin habis. 
129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping 
makanan. 
130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup 
sengsara. 
131. Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek. 
132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok membangun mahligai. 
133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil hidup merana 
dan 
tersisih. 
134. Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam. 
135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para 
pembesar banyak salah faham. 
136. Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin merajalela. 
137. Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak. 
138. Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara. 
139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak orang mati karena perang. 
140. Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan kebakaran. 
141. Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin tertegun. 
142. Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai. 
143. Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana 
144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat 
lenyap entah mengapa. 
145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak 
haram. 
146. Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar. 
147. Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa. 
148. Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si waspada. 
149. Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin menjadi. 
150. Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung. 
151. Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan. 
152. Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan majikan. 
153. Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan. 
154. Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh. 
155. Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki. 
156. Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan. 
157. Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan hati. 
158. Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit 
159. Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau. 
160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang 
161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah merasa serba salah. 
162. Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah. 
163. Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi. 
164. Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci dibenci. 
165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin 
kuasa. 
166. Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela. 
167. Maling lungguh wetenge mblenduk --- Pencuri duduk berperut gendut. 
168. Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam mengeram di atas pikulan. 
169. Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah. 
170. Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar. 
171. Rampok padha keplok-keplok---Perampok semua bersorak-sorai. 
172. Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh 
173. Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga. 
174. Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin. 
175. Akeh wong mendem donga---Banyak orang mabuk doa. 
176. Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut menang. 
177. Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka menjadi-jadi. 
178. Agama ditantang---Agama ditantang. 
179. Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka. 
180. Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka. 
181. Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar. 
182. Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak. 
183. Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan. 
184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang 
akal budi. 
185. Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir. 
186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat. 
187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan 
berprajurit. 
188. Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit. 
189. Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri seperdelapan dunia. 
190. Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap semakin merajalela. 
191. Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima. 
192. Wong suci dibenci---Orang suci dibenci. 
193. Timah dianggep perak---Timah dianggap perak. 
194. Emas diarani tembaga---Emas dibilang tembaga 
195. Dandang dikandakake kuntul---Gagak disebut bangau. 
196. Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa. 
197. Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan. 
198. Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur. 
199. Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab. 
200. Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci. 
201. Buruh mangluh---Buruh menangis. 
202. Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan. 
203. Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi. 
204. Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat. 
205. Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil. 
206. Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh. 
207. Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin tercela. 
208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---Para raja 
berunding negeri mana yang dipilih dan disukai. 
209. Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah. 
210. Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina tinggal sepasang. 
211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil. 
212. Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat bagian. 
213. Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak berhemat. 
214. Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu. 
215. Akeh wong limbung---Banyak orang limbung. 
216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah kelak 
terbaliknya zaman. 

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate