Home »
jayabaya 4
» jayabaya 4
jayabaya 4
ritual tradisional di petilasan Sri Aji Joyoboyo
ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun
temurun dan tetap dilestarikan oleh warga Desa
Menang sejak tahun 1976 hingga sekarang. Petilasan Sri
Aji Joyoboyo ini mulai dipugar pada 22 Februari 1975,
menghabiskan waktu 1 tahun hingga akhirnya selesai
dipugar pada 17 April 1976, dan kemudian dilakukan
ritual tradisional setiap bulan 1 Suro untuk
menghormati dan mendoakan Sri Aji Joyoboyo
(wawancara Bapak Suratin sebagai juru kunci sendang
Tirto Kamandanu, 13 November 2014).
Pemugaran petilasan Sri Aji Joyoboyo dilakukan
oleh keluarga besar Hondodento dari Yogyakarta.
Keluarga besar Hondodento adalah sebuah perkumpulan
yang perduli terhadap pelestarian budaya dari Yogyakarta,
yang berwujud sebuah yayasan. ritual diserahkan
kepada warga Desa Menang dan mulai tercatat
sebagai wisata daerah serta dikelola oleh pemerintah
daerah pada tahun 2000. Keluarga besar Hondodento dan
warga Desa Menang percaya bahwa tempat tersebut
adalah tempat moksa dari Sri Aji Joyoboyo dan sebagai
pusat dari Kerajaan Kadiri (wawancara Bapak Warsidi
sebagai Kepala Desa Menang, 10 November 2014).
Sri Aji Joyoboyo merupakan salah satu raja dari
garis keturunan Kerajaan Panjalu yang berhasil
mempersatukan kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala
menjadi kerajaan besar yaitu kerajaan Kadiri dan
memerintah dari tahun 1130-1157 Berdasarkan prasasti
Ngantang yang bertarikh 7 September 1135 menjelaskan
kemenangan raja Joyoboyo atas kerajaan Janggala pada
saat memerintah di kerajaan Panjalu. Sri Aji Joyoboyo
adalah raja yang paling besar dan paling masyhur di
antara raja-raja kerajaan Panjalu. Kebesaran Sri Aji
Joyoboyo masih bisa dirasakan sampai sekarang dan
terbukti dari ramalan-ramalan tentang tanah Jawa, yang
dikemukakan dalam jangka Joyoboyo
warga Desa Menang merasa bahwa tidak
selayaknya petilasan seorang raja terlantar begitu saja.
Kondisi petilasan pada awalnya hanyalah sebuah
gundukan tanah di tengah rawa-rawa, kemudian
ditemukan oleh Warsodikromo, salah satu warga yang
tinggal di sekitar petilasan. warga yang hadir pada
ritual tradisional 1 Suro di petilasan Sri Aji Joyoboyo
percaya kegiatan ini baik untuk mengawali tahun
baru Jawa dan sebagai penghargaan atas kearifan lokal
yang dimiliki oleh daerahnya (wawancara Bapak Misri
sebagai jurukunci makam Sri Aji Joyoboyo, 11 November
2014).
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain yaitu: (1) buku Loka Moksa Sang Prabu Sri
Aji Joyoboyo dan sendang Tirto Kamandanu karya
Yayasan Hondodento, (2) buku Petunjuk Pelaksanaan
ritual Tradisonal 1 Suro di Pusat Wilayah Petilasan
Sang Prabu Sri Adji Djojobojo Desa Menang Kecamatan
Pagu Kabupaten Kediri Jawa Timur dan Petunjuk
Pelaksanaan ritual Labuhan di Parangkusumo Pantai
Selatan Bantul Yogyakarta karya Yayasan Hondodento,
(3) buku Profil Kebudayaan Informasai Nilai-nilai
budaya dan legenda Kabupaten Kediri dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri,(4) buku
Hari Jadi Kediri dari Lembaga Javanologi, (5) buku
Nagarakretagama dan Tafsir Sejarah karya Slamet
Muljana
Tahap kedua adalah Kritik. Kritik merupakan
usaha untuk menilai, menguji atau menyeleksi sumber-
sumber yang telah didapatkan. Sumber-sumber tersebut
diseleksi untuk mendapatkan keabsahan sumber guna
mendukung penulisan peristiwa sejarah. Tahap kritik
dalam penelitian ini dilakukan secara intern dan ekstern.
Kritik intern merupakan pembuktian bahwa
kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber dapat
dipercaya. Kritik intern bertujuan untuk meneliti tingkat
kebenaran data dari sumber yang digunakan. Sedangkan
kritik ekstern untuk memperoleh keyakinan bahwa
penelitian telah dilaksanakan dengan menggunakan data
yang tepat, untuk itu perlu ditegaskan dengan jelas antara
penulis buku dan latar belakang, judul buku, dan tahun
penerbitan.
Hasil dari kritik intern dan ekstern terdapat sumber
primer dan sumber skunder yang lebih validi. Sumber
primer yang dianggap valid dan relevan dalam penelitian
ini diantaranya: (1) buku Petunjuk Pelaksanaan ritual
Tradisonal 1 Suro di Pusat Wilayah Petilasan Sang Prabu
Sri Adji Djojobojo Desa Menang Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri Jawa Timur dan Petunjuk Pelaksanaan
ritual Labuhan di Parangkusumo Pantai Selatan
Bantul Yogyakarta karya Yayasan Hondodento. Sumber
skunder yang dianggap valid dan relevan dalam penelitian
ini diantaranya: (1) buku Menggelar Mantra Menolak
Bencana karya Ayu Sutarto, (2) buku Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan karya Koenjaraningrat, (3)
1.Asal-usul ritual Tradisional 1 Suro Di Petilasan
Sri Aji Joyoboyo.
ritual tradisional di petilasan Sri Aji Joyoboyo
diperingati setiap bulan Suro, tepatnya pada tanggal 1
Suro. Tanggal 1 Suro digunakan sebagai tanda kembali ke
awal atau kembali bersih dan menghindari malapetaka
serta selalu mendapatkan perlindungan dari Tuhan
ditahun mendatang (Wawancara dengan Bapak Sutari
selaku Ketua Paguyuban Ngesti Budi Sejati dari cabang
Organisasi Penghayat Kepercayaan Kabupaten Kediri, 21
April 2015).
Petilasan Sri Aji Joyoboyo dipercaya oleh
warga sebagai tempat moksa dari salah satu raja
Kerajaan Kadiri Sri Aji Joyoboyo. Terdapat berbagai
macam versi, baik cerita secara rasional maupun
irrasional yang menceritakan bahwa lokasi tersebut
merupakan tempat moksa Sri Aji Joyoboyo. Sampai saat
ini belum ada bukti secara fisik maupun tertulis yang
menjelaskan tempat ini sebagai tempat moksa Sri Aji
Joyoboyo. Setelah dipercaya sebagai tempat moksa Sri Aji
Joyoboyo, tempat ini banyak dikunjungi oleh
warga baik dari luar maupun dari dalam daerah
Kediri (Wawancara dengan bapak Eko Prianto selaku
Kepala Seksi Museum dan Purbakala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Kediri, 2 April 2015).
warga Desa Menang yang peduli terhadap
pelestarian budaya tergabung dan membentuk sebuah
komunitas tradisi budaya daerah dengan nama
“Paguyuban Sri Aji Joyoboyo” yang nantinya sebagai
pengelola dan jurukunci petilasan hingga saat ini. Secara
rutin Paguyuban Sri Aji Joyoboyo mengadakan kegiatan-
kegiatan ritual tradisi budaya yang banyak diikuti oleh
komunitas-komunitas pelestarian budaya lain dari luar
daerah Kediri. Salah satunya adalah Keluarga Besar
Hondodento yang sekarang ini bernama Yayasan
Hondodento, yaitu pengunjung petilasan sekaligus
komunitas yang perduli terhadap pelestarian tradisi
budaya yang berasal dari Yogyakarta (Wawancara Bapak
Warsidi selaku Kepala Desa Menang, 17 Maret 2015).
Pada awal kedatangan Keluarga Besar Hondodento
berkunjung ke petilasan Sri Aji Joyoboyo, kondisi
petilasan masih berbentuk gundukan tanah dengan batu
nisan di atasnya dan dikelilingi batu bata merah. Keadaan
petilasan yang demikian, terlihat bahwa sebelumnya ada
beberapa pihak yang berkeinginan untuk memperbaiki
atau memugar petilasan ini yang mengalami
kegagalan dan tidak berkelanjutan. Proses pemugaran
dilakukan selama ±1 tahun selama 420 hari, yaitu dari
peletakan batu pertama pada hari sabtu pahing, 22
Februari 1975 sampai selesai hari sabtu pahing, 17 April
1976. ritual tradisional di petilasan Sri Aji Joyoboyo
mulai diselenggarakan pada tahun 1976 setiap awal bulan
Suro, tepat setelah petilasan selesai dipugar. warga
Desa Menang dibantu oleh Yayasan Hondodento dari
Yogyakarta untuk mengelola ritual tradisional setiap 1
Suro di petilasan Sri Aji Joyoboyo hingga saat ini
(Wawancara dengan Bapak Suratin selaku Juru Kunci
sendang Tirto Kamandanu, 10 Maret 2015).
Tujuan ritual
ritual tradisional 1 Suro di petilasan Sri Aji
Joyoboyo diselenggarakan dengan tujuan untuk
mengenang dan menghornmati raja besar yang pernah
memerintah di Kerajaan Kadiri. Selain ditujukan sebagai
persembahan kepada seorang raja, ritual juga
dilaksanakan untuk memperingati dan menyambut
datangnya bulan Suro. warga merasa perlu untuk
terus melestarikan budaya lokal yang dimiliki, tujuanya
adalah agar tidak tertinggal oleh perkembangan zaman
yang semakin maju.
Tujuan umum untuk terus menyelenggarakan
ritual tradisional 1 Suro setiap tahundi petilasan Sri Aji
Joyoboyo diantaranya adalah:
1.mempertebal iman dan keyakinan kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
2.mengenang dan mengambil hikmah sejarah perjuangan
para leluhur, para pemimpin, dan para pejuang dari masa
ke masa;
3.memperingati tahun baru 1 Suro dalam penanggalan
Jawa sekaligus memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa
susaha diberi limpahan taufik dan hidayah;
4.memperkuat sikap mental atau kepribadian dan
menambah rasa percaya diri sebagai bangsa yang
berkehidupan bernegara pancasila;
5.melaksanakan tradisi para leluhur yang sudah
berlangsung lama karena kalau ritual tradisi tidak
dilaksanakan takut terjadi sesuatu dikemudian hari;
6.menjaga pusaka yang didapat dengan susah dan cerita
yang berbau mistis dengan olah tapa dan lain sebagainya
maka untuk menjaga kesaktian dan keampuhan dari
pusaka ini maka dilakukan prosesi pembersihan
pusaka pusaka yang dimilik;
7.tujuan warga dari dalam maupun luar daerah
Kediri adalah untuk membersihkan diri baik secara lahir
maupun batin dengan cara tirakatan, berdoa, sholat,
semedi dan lain sebagainya;
8.sebagian orang yang percaya terhadap hal- hal yang
berbau tahayul meminta bekas air untuk membersihkan
benda- benda pusaka ini untuk obat, penglarisan,
jimat dan lain sebagainya;
9.menyebarkan daya magis dari pusaka yang dikirap
ini susaha membawa keselamatan, kesejahteraan
bagi keraton, warga dan bangsa Indonesia (Buku
Petunjuk Pelaksanaan ritual Ziarah 1 Suro di Pusat
Wilayah Petilasan Sang Prabu Sri Aji Djojobojo Desa
Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri Propinsi
Jawa Timur dari Yayasan Hondodento tahun, 1989: 2).
2. Pelaksanaan ritual Tahun 1976
Tahap-tahap pelaksanaan ritual tradisional di
petilasan Sri Aji Joyoboyo di dalamnya meliputi
perlengkapan yang dipakai pada saat ritual , tatacara
ritual , dan prosesi ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo
dari mulai kegiatan ritual sampai berakhirnya ritual .
2.1 Perlengkapan ritual .
Perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan
ritual merupakan alat-alat yang dibutuhkan selama
berlangsungnya ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo baik
berupa pusaka maupun sesaji yang diperlukan dalam
ritual , peralatan ini diantaranya, meliputi.
1. Perlengkapan ritual di loka moksa, loka busana dan
loka mahkota Sri Aji Joyoboyo.
1) Rangkaian pusaka
2) Payung susun tiga sebanyak lima buah
3) Payung tidak bersusun sebanyak 28 buah
4) Plooncon
5) Gamelan (Monggang)
6) Samir
2.Perlengkapan ritual di sendang Tirto Kamandanu
1) Payung tidak bersusun sebanyak 28 buah
2) Plooncon
3) Samir
Perlengkapan-perlengkapan yang digunakan
dalam pelaksanaan ritual tradisional 1 Suro di petilasan
Sri Aji Joyoboyo sudah dipersiapkan oleh panitia sejak 1
bulan sebelum ritual dilaksanakan. Perlengkapan-
perlengkapan yang telah disediakan digunakan sesuai
dengan fungsinya masing-masing pada saat proses
berjalanya ritual .
Tata cara ritual
1. Susunan barisan pelaku dan peserta ritual di loka
moksa, loka busana dan loka mahkota Sri Aji Joyoboyo.
Pelaku dan peserta ritual di loka moksa, loka
busana dan loka mahkota petilasan Sri Aji Joyoboyo
disusun dalam suatu barisan menjadi 6 kelompok agar
pelaksanaan ritual menjadi tertib dan khidmat.
Pembagian susunan barisan ini terdiri dari.
1) 5 pembuka barisan dan 2 pendampingnya, 2
anak remaja kecil, Pimpinan rombongan (cucuk
barisan), 1 pembawa pusaka, 1 penyongsong susun
3 dan pendampingnya, 1 pembawa bunga caos
dahar, 1 penyongsong susun 3 dan
pendampingnya, 2 pembawa padupan, 1 pembawa
dupa atau ratus, pengarah acara, 2 pembawa acara,
pembaca doa, pembaca unjuk atur atau lengser, 16
remaja penabur bunga dan 16 penyongsongnya.
2) 2 petugas keris, 3 pembawa bunga caos dahar,
1 penyongsong susun 3 dan pendampingnya, 2
pembawa bunga caos dahar, 2 penyongsong susun
1, pembawa peralatan ritual, pemimpin ritual,
kepala Desa Menang, juru kunci, 10 wakil bapak-
bapak dan 2 wakil ibu-ibu.
3) 3 pembawa bunga caos dahar, 1 penyongsong
susun 3 dan pendampingnya, 2 penyongsong susun
1, 3 pembawa bunga tabur, dan 13 ibu-ibu wakil
peserta.
4) 3 pembawa bunga caos dahar, 1 penyongsong
susun 3 dan pendampingnya, 2 penyongsong susun
1, pembawa bunga tabur dan 13 bapak-bapak wakil
peserta.
5) 3 pembawa bunga caos dahar, 3 penyongsong
susun 1, 13 remaja putra-putri wakil peserta, 3
pembawa bunga caos dahar, 3 penyongsong susun
1, 5 penutup barisan dan pendampingnya.
6) Peserta ibu-ibu dipimpin ibu pamong Desa
Menang dan peserta bapak-bapak dipimpin bapak
pamong Desa Menang (Buku Petunjuk
Pelaksanaan ritual Ziarah 1 Suro di Pusat
Wilayah Petilasan Sang Prabu Sri Aji Djojobojo
Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri
Propinsi Jawa Timur dari Yayasan Hondodento
tahun, 1989: 7).
2. Susunan barisan ritual di sendang Tirto
Kamandanu.
6
1) Pembuka barisan dan pendampingnya, 2 anak
putra dan putri, cocok barisan atau pimpinan
barisan, pembawa padupan, pembawa dupa atau
ratus, pengarah acara, pembawa acara, pembawa
munjuk atur atau lengser, 16 putri penabur bunga
dan penyongsongnya.
2) 2 pembawa bunga caos dahar dan
penyongsongnya, pimpnan rombongan, pimpinan
ritual, kepala Desa Menang, Juru kunci, 10 bapak-
bapak memakai surjan belah banten dan 2 ibu-ibu.
3) 2 pembawa bunga caos dahar dan
penyongsongnya dan 3 pembawa keranjang, serta
13 wakil peserta ibu-ibu.
4) 2 pembawa bunga caos dahar dan
penyongsongnya, dan 3 pembawa kerajang, 13
wakil peserta bapak-bapak.
5) 3 pembawa bunga caos dahar dan
penyongsongnya, 13 wakil peserta remaja, 3
pembawa bunga caos dahar dan penyongsongnya,
penutup barisan dan pendamping.
6) Peserta ibu-ibu yang dipimpin ibu kepala
Desa Menang, dan peserta bapak-bapak yang
dipimpin oleh bapak kepala Desa Menang(Buku
Petunjuk Pelaksanaan ritual Ziarah 1 Suro di
Pusat Wilayah Petilasan Sang Prabu Sri Aji
Djojobojo Desa Menang Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri Propinsi Jawa Timur dari
Yayasan Hondodento tahun, 1989: 34-35) (untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran I foto
Denah Susunan ritual Di Sendang
Tirtokamandanu).
Para pelaku dan peserta ritual harus menempati
susunan barisan yang telah ditentukan. Susunan barisan
disusun oleh panitia pelaksanaan ritual dengan
menentukan tugas dan tempat masing-masing dari para
pelaku dan peserta ritual .
2.3 Prosesi ritual
Proses pelaksanaan ritual tradisional 1 Suro di
petilasan Sri Aji Joyoboyo diawali dari acara pembukaan
di kantor kepala Desa Menang menuju petilasan dan
diakhiri di sendang Tirto kamanadanu sebagai acara
penutup ritual . Pelaksanaan ritual di petilasan dibagi
menjadi 2 lokasi. Lokasai pertama berada di loka moksa,
loka busana dan loka mahkota. Lokasi kedua berada di
sendang Tirto Kamandanu.
Susunan acara ritual tradisional 1 Suro di loka
moksa, loka busana dan loka mahkota petilasan Sri Aji
Joyoboyo adalah sebagai berikut. Pada pukul 07.00 para
pelaku dan peserta ritual mengikuti serangkaian acara
pembukaan yang dilakukan di pendopo kantor kepala desa
Menang. Serangkaian acara pembuka ini diantaranya
adalah sambutan-sambutan yang dilakukan oleh kepala
daerah dan pemerintah kota Kediri serta ketua panitia
penyelenggara ritual dan perwakilan dari yayasan
Hondodento.
Seluruh pelaku dan peserta ritual sampai di
tempat pelaksanaan ritual pertama di petilasan Sri Aji
Joyoboyo, yaitu: loka moksa, loka busana dan loka
mahkota pukul 09.45 dan telah siap menempati tempat
yang telah ditentukan. kemudian setelah semua pelaku
dan peserta ritual siap, pada pukul 10.00 pembawa
acara memulai ritual dengan kata pembuka.
Setelah hening cipta selesai dilakukan, pimpinan
rombongan ritual melakukan munjuk atur menuju ke
loka moksa untuk menghaturkan maksud dan tujuan dari
kehadiran rombongan ritual ke hadapan sang prabu Sri
Aji Joyoboyo. Acara kemudian adalah tabur bunga yang
dilakukan oleh 16 remaja putri di halaman sebelah timur
loka moksa sebagai tanda penghormatan dan rasa syukur
atas kehadiran para tamu agung dan para leluhur, maka
16 remaja putri melakukan tabur bunga di halaman
sebelah timur pamoksan, pada pukul 10.20 dilanjutkan
dengan acara caos dahar yang dilakukan ditiga tempat
yang berbeda secara bersamaan, yaitu di loka moksa oleh
Kepala Desa Menang, pimpinan ritual dan ibu pimpinan
panitia, di loka mahkota oleh Bapak Carik Desa Menang,
di loka busana oleh Ibu Kepala Desa dan Ibu Carik Desa
Menang. Secara bersama-sama caos dahar dilakukan dan
diiringi oleh pembawa bunga dan pembawa payung susun
satu.
7
kemudian adalah peletakan pusaka tongkat di
dalam loka moksa Sri Aji Joyoboyo oleh ketua Yayasan
Hondodento yang terlebih dahulu diserahkan oleh
pimpinan rombongan ritual . Peletakan tongkat di dalam
loka moksa diiringi oleh pembawa payung susun tiga.
Acara kemudian adalah pembacaan doa ritual 1 Suro
yang dipimpin oleh ketua panitia dari Desa Menang. Isi
dari doa ritual 1 Suro adalah untuk memanjatkan puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
terlaksananya ritual dan peringatan tahun baru Jawa 1
Suro tahun ... dan mendapat perlindungan, kemudahan,
kebahagiaan lahir dan batin. Setelah pembacaan doa 1
Suro selesai, pimpinan ritual ritual munjuk lengser
menghadap ke loka moksa Sri Aji Joyoboyo,
menghaturkan rombongan ritual agara diizinkan untuk
mengundurkan diri dari hadapan Sri Aji Joyoboyo
Selesai acara munjuk lengser, acara kemudian
adalah pengambilan kembali pusaka tongkat yang juga
dilakukan oleh ketua Yayasan Hondodento di loka moksa
Sri Aji Joyoboyo, yang kemudian diserahkan kembali
kepada pimpinan rombongan ritual . Pimpinan
rombongan ritual menerima tongkat dari ketua Yayasan
Hondodento dengan cara jongkok, diikuti oleh pembawa
payung susun tiga dan kemudian kembali ke tempat
semula. kemudian acara terakhir adalah caos dahar
umum yang akan diikuti oleh warga maupun tamu
undangan yang hadir dalam ritual . Pembawa bunga
caos dahar secara bergantian maju menuju loka moksa
untuk melayani caos dahar umum yang diikuti pembawa
payung susun satu sampai di depan loka moksa.
kemudian setelah caos dahar umum selesai acara
ritual di loka moksa, loka busana dan loka mahkota
petilasan Sri Aji Joyoboyo di tutup oleh pembawa acara.
Selesainya kata penutup yang dibacakan oleh
pembawa acara, para pelaku dan peserta ritual
menyusun barisan yang sudah ditentukan untuk berangkat
menuju sendang Tirto Kamandanu dan melaksanakan
serangkaian ritual kemudian . Para tamu undangan
dan warga umum yang berada di dalam pendapa
loka moksa masih diperkenankan untuk melakukan caos
dahar di loka moksa Sri Aji Joyoboyo.
Rombongan ritual sampai di loka sendang Tirto
Kamandanu pukul 12.40 dan langsung menyusun barisan
yang sudah ditentukan di halaman sendang Tirto
Kamandanu. Pembawa acara membacakan kata pembuka
untuk membuka ritual di sendang Tirto Kamandanu.
Sebagai acara awal untuk mengawali ritual , di sendang
Tirto Kamandanu dilakukan hening cipta dengan tetap
duduk dan menempati tempat masing-masing, dipimpin
oleh perwakilan dari panitia pelaksanaan ritual . Hening
cipta dilakukan untuk kelancaran pelaksanaan ritual di
sendang Tirto Kamandanu dan mendoakan arwah para
leluhur serta para pahlawan bangsa. kemudian setelah
Hening cipta selesai dilakukan, perwakilan Ibu dari
Yayasan Hondodento melakukan munjuk atur untuk
menghaturkan kedatangan rombongan ritual di sendang
Tirto Kamandanu kepada sang prabu Sri Aji Joyoboyo.
kemudian dilakukan tabur bunga oleh 16 remaja
putri yang dilakukan di halaman sebelah utara sendang
Tirto Kamandanu sebagai tanda penghormatan kepada
tamu dan rasa syukur atas kehadiran tamu agung dan para
leluhur. Pelaku ritual ke enam belas remaja putri
berjajar dua baris membawa baki berisi sekar setaman
yang sudah direndam, kemudian bergantian memasuki
gapura pintu masuk di sebelah utara sendang dan
melakukan tabur bunga secara bergantian dengan
didampingi juru kunci dan pembawa payung susun satu.
Selesainya 16 remaja putri melakukan tabur bunga di
halaman sebelah utara sendang, kemudian kordinator
pemugaran sendang Tirto Kamandanu memimpin acara
kemudian yaitu caos dahar yang diikuti oleh pimpinan
ritual beserta Ibu (pasangan dari pimpinan ritual), Kepala
Desa Menang beserta Ibu (pasangan dari Kepala Desa
Menang), 3 perwakilan Ibu dari Pemerintah Kabupaten
Kediri, 3 perwakilan Ibu dari peserta, dan 3 wakil peserta
remaja putri dengan bergantian menuju muka halaman
sendang Tirto Kamandanu. Petugas pembawa bunga caos
dahar beserta penyongsong mengikuti untuk melayani
caos dahar.
Selesai acara caos dahar di sendang Tirto
Kamandanu, acara kemudian yang dilakukan adalah
pembacaan doa. Acara terakhir di sendang Tirto
Kamanadanu adalah munjuk lengser, untuk memohon
izin mengundurkan diri dari hadapan sang prabu Sri Aji
Joyoboyo dan meninggalkan sendang Tirto Kamandanu
yang kemudian diikuti kata penutup dari pembawa acara
yang menandakan ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo
telah selesai.
Setelah selesai pembacaan kata penutup yang
disampaikan oleh pembawa acara, maka berakhirlah
rangkaian ritual di pelisan Sri Aji Joyoboyo. Barisan
ritual diberangkatkan kembali menuju pamoksan,
sampai di jalan perempatan sebelah selatan pamuksan
bertemu pelaku ritual atau penyongsong yang
menunggu di pamuksan. Barisan disusun seperti semula
dan diberangkatkan kembali menuju ke Kantor Kepala
Desa.
3. Dinamika ritual Tradisional 1 Suro
Pada setiap pelaksanaan sebuah tradisi dalam suatu
daerah pasti mengalami sebuah perubahan. Perubahan
yang ada dapat menuju ke arah peningkatan maupun
mengalami penurunan. Kejadian ini dapat
dipengaruhi oleh keadaan daerahnya sendiri maupun pola
pikir manusia yang semakin mengalami perkembangan.
Begitu pula yang terjadi pada pelaksanaan ritual
tradisional 1 Suro di petilasan Sri Aji Joyoboyo.
Pelaksanaan ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo
mengalami perubahan pada beberapa periode waktu.
ritual Tradisional 1 Suro Tahun 1976-1980
Perubahan pelaksanaan ritual di petilasan Sri Aji
Joyoboyo pada intinya terletak pada segi pengelolaanya.
Pelaksanaan ritual diselenggarakan pertama kali pada
tahun 1976. Yayasan Hondodento dalam membimbing
pengelolaan ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo
mengikuti tata cara dan prosesi ritual dari Kraton
Yogyakarta. ritual tradisional di petilasan Sri Aji
Joyoboyo merupakan sebuah ritual yang sakral, karena
ditujukan kepada seorang raja
ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo
diselenggarakan melalui musyawarah dengan masyrakat,
pemerintah desa dan pemerintah daerah. Pada awal
diselenggarakan ritual , pemerintah menyerahkan
pengelolaan sepenuhnya kepada warga dan
pemerintah Desa Menang yang dipandu oleh Yayasan
Hondodento (wawancara dengan bapak kusnandi sebagai
Pada awal pelaksanaanya, ritual di petilasan Sri
Aji Joyoboyo menggunakan perlengkapan yang masih
bersifat sederhana dan tradisional, seperti:
1) rangkaian pusaka
2) payung susun tiga sebanyak lima buah
3) payung tidak bersusun sebanyak 28 buah
4) plooncon
5) gamelan (Monggang)
6) samir
Sesaji merupakan sebuah unsur dalam ritual
yang tidak boleh dilupakan dan dikurangi, karena akan
mengurangi nilai-nilai magis dan kesakralan dalam
ritual . Sesaji yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Ubo Rampen
2) Dahar ambengan pepak dan lauk pauk
3) Jenang Suro
4) Apem, Ketan dan kolak
5) Jenang Pliringan hitam dan putih
6) Tumpeng Urubing Damar
7) Sekar Setaman
Pada saat awal dilaksanakan ritual tahun 1976
sampai tahun 1980 belum menggunakan peralatan atau
sarana dan prasarana yang lengkap. Pelaksanaan ritual
belum diliput dan bahkan ditayangkan dimedia-media
sosial
Pada pelaksanaan ritual tahun 1980 sampai pada
tahun 2000, pengelolaan ritual diserahkan sepenuhnya
kepada warga Desa Menag dan panitia yang telah
dibentuk. Yayasan Hondodento sepenuhnya menyerahkan
pengelolaan ritual kepada warga Desa Menang,
karena sudah memberikan kepercayaan dalam
pelaksanaan ritual . Yayasan Hondodento juga
membentuk beberapa panitia yang ditugaskan untuk
membantu jalanya ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo.
Pada saat ritual tanggal 1 Suro, Yayasan Hondodento
hanya mengirimkan perwakilan anggota sebagai tamu
undangan.
Terdapat beberapa perubahan dalam pelaksanaan
ritual tahun 1980 dengan tahun sebelumnya, perubahan
ini terletak pada perlengkapan ritual , sesaji yang
digunakan pada saat ritual dan pengelolaan ritual .
Terdapat beberapa tambahan perlengkapan yang
digunakan pada saat ritual . Pada tahun 1980
perlengkapan yang digunakana pada saat ritual
mendapat tambahan sepeti: (1) pengeras suara; (2) karpet
merah dan hijau; (3) serta tenda dan umbul-umbul. Sesaji
yang digunakan pada saat prosesi ritual juga
mengalami tambahan. Pada saat prosesi ritual panitia
menambahkan sesaji Jajan Pasar dan Tumpeng Robyong.
Sesaji Jajan Pasar dinilai mempunyai makna ramai,
maksudnya adalah ramai seperti suasana di pasar.
Sedangkan sesaji Tumpeng Robyong bergembira atau suka
cita.
ritual tradisional 1 Suro di petilasan Sri Aji
Joyoboyo telah resmi ditetapkan sebagai objek wisata
daerah Kabupaten Kediri pada tahun 2000. Setelah
menjadi objek wisata daerah Kabupaten Kediri,
pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
mulai ikut membantu dalam mengelola ritual di
petilasan Sri Aji Joyoboyo ini. Pemerintah tidak secara
penuh ikut serta mengelola ritual , hanya
menyumbangkan bantuan dalam bentuk tenaga serta
sarana dan prasarana yang dibutuhkan pada saat ritual
diselenggarakan. Bantuan yang telah diberikan oleh
pemerintah baik dalam bentuk tenaga maupun sarana dan
prasarana telah memberikan perubahan pada proses
pelaksanaan ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo ini.
Prosesi ritual mengalami perubahan pada saat
awal dimulainya ritual , seperti tari-tarian yang
disumbangkan oleh pemerintah melalui Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Kediri sebagai sambutan dan
persemabahan yang ditujukan kepada para tamu agung
pada awal prosesi ritual . Pemerintah Kabupaten Kediri
menyumbangkan pertunjukan wayang dan kuda lumping
yang di mainkan pada saat malam 1 Suro sebagi sarana
hiburan bagi para pengunjung yang memang datang pada
saat malam sebelum ritual dipetilasan Sri Aji Joyoboyo
mulai dilaksanakan. Pemerintah juga memberikan
bantuan tenaga seperti peserta ritual yang bertugas
sebagai pembawa acara pada saat prosesi ritual
Pelaksanaan ritual tradisional 1 Suro di petilasan
Sri Aji Joyoboyo telah mengalami perubahan dari awal
dilaksanakan ritual hingga saat ini. Perubahan yang
terdapat dalam ritual adalah pada prosesi dan
pengelolaan, serta peralatan yang digunakan dalam
ritual . Perubahan dalam segi apapun yang muncul
dalam ritual tidak dapat dihindari karena keterlibatan
semua pihak yang ingin melestarikan budaya warisan dari
para leluhur
Pada sebuah tradisi budaya yang terdapat di setiap
daerah pasti mengalami perubahan, baik mengalami
peningkatan maupun penurunan dari segi apapun di
dalam tradisi tersebut. Begitu juga yang terjadi pada
tradisi budaya yang telah diwariskan para leluhur di Desa
Menang, yang telah mengalami perubahan dari tahun ke
tahun. Perubahan pada pelaksanaan sebuah tradisi disuatu
daerah disebabkan adanya pengaruh dari berbagai pihak
dan keadaan warga yang juga mengalami perubahan.
usaha yang Dilakukan dalam Mengelola
ritual
ritual trasidional 1 Suro dipetilasan Sri Aji
Joyoboyo merupakan salah satu objek wisata yang dimiliki
oleh warga Kediri. Pemerintah Kabupaten Kediri
telah melakukan usaha pelestarian untuk meningkatkan
daya tarik warga terhadap tradisi budaya leluhur
yang berada di Desa Menang tersebut. warga Desa
Menang juga ikut berpartisipasi untuk melestarikan tradisi
budaya leluhur yang dimiliki dalam bentuk memberikan
kenyamanan kepada pengunjung yang datang.
usaha yang Dilakukan Pemerintah
Sejak diresmikan sebagai objek wisata daerah
sekitar tahun 2000, pemerintah Kabupaten Kediri melalui
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mulai membantu dan
menyokong untuk melestarikan ritual tradisional di
petilasan Sri Aji Joyoboyo. Meningkatnya jumlah
pengunjung yang datang pada saat ritual menyebabkan
pemerintah berusaha untuk menyediakan fasilitas dan
memberikan pelayanan yang baik kepada para
pengunjung. Pemerintah Kabupaten Kediri memberikan
bantuan berupa tenaga dan membantu untuk memperbaiki
jalan menuju petilasan. Pemerintah memberikan bantuan
berupa tari-tarian yang disumbangkan untuk digunakan
pada saat menyambut para tamu agung di awal prosesi
ritual , pada saat malam 1 Suro sebelum ritual
pemerintah juga menyumbangkan pertunjukan wayang
untuk memberikan hiburan bagi para pengunjung yang
sudah datang. Pihak Pemerintah Kabupaten Kediri
melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga
menyumbangkan bantuan tenaga dengan mengirimkan
pembawa acara pada saat ritual mulai dilakasanakan
(wawancara dengan Nanik Yuniasari selaku Kepala Seksi
Sejarah Nilai dan Tradisi Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Kediri, 08 Maret 2015).
Bantuan yang diberikan oleh pemerintah Desa
Menang adalah penyediaan tempat, sarana prasarana
seperti listrik dan membantu menyediakan peralatan
ritual yang dibutuhkan. Pemerintah Desa Menang juga
membantu dalam pengkoordinasian peserta ritual
melaui panitia pengelola yang ditugaskan oleh Kepala
Desa Menang. Panitia yang telah ditunjuk mendapatkan
tugas mengkoordinasikan peserta ritual dengan
mengumpulkan pemuda-pemudi yang ada di Kabupaten
Kediri dengan cara proses seleksi dari sekolah-sekolah.
usaha yang Dilakukan warga
warga sebagai komponen yang ikut mengelola
ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo, juga berusaha
untuk ikut membantu manjaga kelestarian budaya yang
telah di wariskan leluhur Desa Menang. warga
menyumbangkan bantuan dengan cara memberikan
fasilitas dan kenyamanan untuk para pengunjung yang
datang. Fasilitas yang diberikan warga sekitar
petilasan berupa pembangunan sarana dan prasarana
ritual tradisional yang ada di Desa Menang,
selain telah menjadi objek wisata di Kabupaten Kediri
juga banyak memberikan manfaat bagi warga yang
tinggal disekitar petilasan. Selain memajukan
pembangunan yang ada di sekitar wilayah Desa Menang,
ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo telah meningkatkan
perekonomian dan produksi lokal warga yang tinggal
di sekitar petilasan. Setelah petilasan Sri Aji Joyoboyo ini
dipugar dan diresmikan sebagai objek wisata daerah oleh
pemerintah Kabupaten Kediri sedikit banyak telah
merubah kehidupan perekonomian warga sekitar petilasan
dan membuka lapangan kerja baru, seperti penjual
souvenir, warung makanan-minuman, dan pelayanan jasa
lainya. Pada hari-hari biasa pendapatan dari hasil
penjualan berbeda jauh dengan pendapatan yang didapat
pada saat berlangsungnya ritual tanggal 1 Suro. Secara
tidak langsung, dengan terselenggaranya ritual di
petilasan Sri Aji Joyoboyo telah memberikan berkah
tersendiri kepada warga Desa Menang.
ritual tradisional di petilasan Sri Aji Joyoboyo
merupakan sebuah tradisi budaya yang diwariskan oleh
para leluhur warga Jawa. ritual tradisional dari
Desa Menang ini dilakukan di petilasan seorang raja yang
pernah memerintah pada kerajaan Kadiri yang awalnya
adalah kerajaan Panjalu dengan dahanapura sebagai
ibukotanya. warga mempercayai bahwa di tempat
ini merupakan tempat moksa dari Sri Aji Joyoboyo.
Dari berita yang di sebarkan melalui satu orang ke orang
lain akhirnya ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo mulai
banyak di kunjungi warga dari dalam maupun dari
luar daerah Kediri dengan tujuanya masing-masing.
ritual tradisional di petilasan Sri Aji Joyoboyo
telah berlangsung sejak tahun 1976 yang selalu
diselenggarakan pada setiap awal bulan Suro atau tanggal
1 Suro menurut penanggalan Jawa. Bulan Suro dianggap
sebagai bulan yang istimewa oleh sebagian warga
Jawa yang mempercayai, khususnya pada tanggal 1 Suro.
Asal-usul ritual yang diselenggarakan di
peilasan Sri Aji Joyoboyo adalah setelah ditemukanya
petilasan ini oleh warga . Lokasai yang
dipercaya warga sebagai tempat moksa Sri Aji
Joyoboyo sebebelumnya merupakan tempat yang dianggap
wingit. ritual tradisional 1 Suro di petilasan Sri Aji
Joyoboyo sejak tahun 2000 telah menjadi objek wisata
daerah Kabupaten Kediri. Setelah menjadi objek wisata
daerah, petilasan Sri Aji Joyoboyo semakin banyak
dikunjungi setiap tahunya dan dikenal oleh warga
dari luar daerah Kediri. Melihat semakin meningkatnya
jumlah pengunjung yang datang pada saat ritual ,
pemerintah Kabupaten Kediri berusaha untuk
meningkatkan kenyamanan bagi para pengunjung baik
dalam segi fasilitas maupun sarana prasarana. Selain
merasa bangga karena wisata yang dimiliki daerah Kediri
menjadi dikenal oleh warga luas, peningkatan
pengunjung pada saat ritual juga dapat meningkatkan
pendapatan daerah Kabupaten Kediri serta meningkatkan
perekonomian warga yang tinggal diselitar petilasan Sri
Aji Joyoboyo.
Pelaksanaan ritual di petilasan Sri Aji Joyoboyo
dalam prosesinya menggunakan tata cara dan
perlengkapan seperti yang digunakan pada ritual
tradisional di kraton Yogyakarta. ritual tradisional 1
Suro di petilasan Sri Aji Joyoboyo menggunakan tata cara
dan perlengkapan yang sesuai untuk ditujukan kepada
raja-raja di Jawa. Yayasan Hondodento dari Yogyakarta
merupakan pemrakarsa sekaligus pemandu jalanya
ritual yang diselenggarakan oleh warga Desa
Menang.
Pada pelaksanaan ritual tradisional setiap
tanggal 1 Suro dipetilasan Sri Aji Joyoboyo telah
mengalami perubahan, baik mengalami peningkatan
maupun penurunan. Perubahan yang terdapat pada
ritual yang dilaksanakan di petilasan Sri Aji Joyoboyo
terjadi pada beberapa periode. Perubahan-perubahan yang
ada terdapat pada cara, perlengkapan maupun
pengelolaan ritual . ritual yang diselenggarakan di
petilasan Sri Aji Joyoboyo telah banyak didatangi oleh
masyaraakat lokal maupun warga dari luar daerah
kediri. Pelaksanaan ritual tradisional 1 Suro di Desa
Menang telah berdampak pada pendapatan dan
pembangunan daerah Kabupaten Kediri. Pemerintah
Kabupaten Kediri beserta warga bekerjasama untuk
tetap menjaga dan melestarikan budaya yang telah
menjadi slah satu objek wisata di daerah Kediri tersebut.
2. Saran
Berkaitan dengan simpulan diatas, maka penulis
dapat menyampaikan beberapa saran:
Bagi pemerintah Kabupaten Kediri, diharapkan
agar dengan serius ikut mengelola dan memberikan
bantuan sesuai dengan ketentuan pengelolaan kawasan
wisata, agar dapat menyentuh semua aspek-aspek penting
dan mengakomodir semua kepentingan terkait
pengelolaan kawasan wisata, serta mendapat kebijakan
yang spesifik sesuai denagan Perda Kabupaten Kediri No.
16 tahun 2011 yang menjadi acuan pokok kegiatan
pengelolaan kawasan wisata.
Bagi warga sekitar petilasan, diharapkan
dapat lebih meningkatkan pelayanan dan sarana prasarana
bagi para pengunjung yang datang ke petilasan Sri Aji
Joyoboyo. Agar meningkatkan jumlah pengnjung dan
berdampak bagi meningkatnya perekonomian warga
sekitar petilasan.
Bagi para pengunjung, diharapkan agar ikut
melestarikan taradisi budaya apapun yang telah
diwariskan oleh para leluhur yang kelak akan dapat
diteruskan sampai para penerus kemudian untuk tetap
dijaga kelestarianya, khususnya ritual tradisional yang
ada di Desa Menang agar tidak terkikis oleh
perkembangan zaman yang semakin maju.
Bagi pembaca dan peneliti lain, dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman mengenai tradisi
kebudayaan lokal yang dimiliki oleh daerah sendiri serta
mengetahui tokoh Sri Aji Joyoboyo yang pernah menjadi
pemmimpin besar dan diharapkan dapat mengetahui
nilai-nilai tauladan yang dapat dicontoh dari sosok Sri Aji
Joyoboyo, serta dapat digunakan sebagai masukan atau
acuan untuk melakukan penelitian lanjutan sejenis yang
berkaitan dengan ritual tradisional 1 Suro pada waktu
mendatang.
Demikian beberapa saran-saran yang dapat penulis
sampaikan, semoga dapat diambil segala manfaatnya.
Ramalan Joyoboyo Dan Sejarahnya
Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya
dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada
khususnya di kalangan masyarakat Jawa.
Namun studi akademis yang dilakukan oleh banyak sarjana, akhirnya menemukan
bahwa Ramalan Jayabaya ini bukanlah karya raja Jayabaya.
Asal-usul
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya,
maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya
hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan
Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H =1618 M, hanya
selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan
Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan
sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-
1645 M).
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya
Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang
dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa=1741-1743 M. Sang Pujangga ini
memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya
punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat
Demak! Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau
dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat
masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai
pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang
Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton
Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang
Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit,
Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, SejarahEmpu,
dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di
Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada
tahun 1691-1704. Kemudiandiganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya
Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang
sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629
Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta
pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban
sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk
mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).Sang
Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747
M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya
sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran
Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran
Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta
diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be
1672 Jawa = 1747 M.
Analisa
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar,
yang sebenarnyauntuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3
tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran
gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu
diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Silam pertama di Jawa yang
disebut sebagai ”Giri Kedatan". Giri Kedatan ini nampaknya Merupakan jaman
peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481
M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para
Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih
bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3.
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang
dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481)
Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu
seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-
kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri
pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang
wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa
Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan
sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh
kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam
di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya
sejak para Wali masih hidup.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu
Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo
(Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian
hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan
muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah
seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di
seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah
beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya,
justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja
pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak
bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya
praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan
Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk
ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung). Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan
dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil
pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari
Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka =
1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data
baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal,
sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu membuat karangan berjudul "JANGKA
JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha
dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya
sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk
karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan
bagi generasi anak cucu di kemudian hari. Cita-cita yang pujangga yang
dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran
batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata
menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini
benama "REPUBLIK INDONESIA"!.
Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para
pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng.,
cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I. Jangka Jayabaya
dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di
Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan
dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-
karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan
belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa
karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau
ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan
historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan
Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat
Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya
ini merupakan karya Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama
dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu
menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
ISI RAMALAN
1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
2. Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
4. Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
5. Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman
Jayabaya telah mendekat.
7. Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
8. Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
9. Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian
lelaki.
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda
orang akan mengalami zaman berbolak-balik
12. Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar
sumpah sendiri.
14. Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang
Widhi.
16. Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
17. Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit---Banyak orang hanya
mementingkan uang.
19. Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
20. Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
21. Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
22. Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
23. Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
24. Nantang bapa--- Menantang ayah.
25. Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
26. Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
27. Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
28. Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
29. Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman Raja tidak adil
30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
31. Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
32. Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja
halal justru merasa malu.
34. Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
35. Wegah nyambut gawe --- Malas untuk bekerja.
36. Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah.
37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu
angkara murka, memupuk durhaka.
38. Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
39. Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
40. Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-
pong).
41. Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
42. Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
43. Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44. Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu.
45. Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang perwira/kejantanan
46. Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada
suami.
48. Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
49. Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
50. Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang tukar istri/suami.
51. Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
52. Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu.
53. Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
54. Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
55. Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
56. Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
57. Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
58. Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
59. Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60. Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
61. Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
62. Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua.
63. Akeh randha nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65. Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang.
66. Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
67. Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi.
68. Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
70. Akeh laknat--- Banyak kutukan
71. Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat.
72. Anak mangan bapak---Anak makan bapak.
73. Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara.
74. Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan.
75. Guru disatru---Guru dimusuhi.
76. Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga.
77. Kana-kene saya angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78. Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
79. Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
80. Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi perang.
81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
82. Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
83. Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
85. Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
86. Pengkhianat nikmat---Pengkhianat nikmat.
87. Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna.
88. Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
89. Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
90. Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
91. Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
92. Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara.
93. Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
94. Wong main akeh sing ndadi---Penjudi banyak merajalela.
95. Akeh barang haram---Banyak barang haram.
96. Akeh anak haram---Banyak anak haram.
97. Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99. Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
100. Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan telanjang.
101. Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk penjual.
102. Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat.
103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
104. Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
105. Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu.
106. Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
107. Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
108. Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur.
109. Sing wedi mati---Yang takut mati.
110. Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat.
111. Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
112. Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
113. Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati merintih.
114. Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima bagian.
115. Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir.
116. Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat.
117. Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang.
118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
119. Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat.
120. Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi.
121. Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.
122. Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
123. Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda.
124. Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
125. Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
126. Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan mereka.
127. Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang semakin laris.
128. Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin habis.
129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping
makanan.
130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup
sengsara.
131. Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek.
132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok membangun mahligai.
133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil hidup merana
dan
tersisih.
134. Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam.
135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para
pembesar banyak salah faham.
136. Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin merajalela.
137. Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak.
138. Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara.
139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak orang mati karena perang.
140. Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan kebakaran.
141. Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin tertegun.
142. Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai.
143. Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat
lenyap entah mengapa.
145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak
haram.
146. Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
147. Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa.
148. Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si waspada.
149. Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin menjadi.
150. Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung.
151. Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan.
152. Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan majikan.
153. Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan.
154. Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
155. Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki.
156. Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
157. Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan hati.
158. Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit
159. Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau.
160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang
161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah merasa serba salah.
162. Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
163. Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi.
164. Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci dibenci.
165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin
kuasa.
166. Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela.
167. Maling lungguh wetenge mblenduk --- Pencuri duduk berperut gendut.
168. Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam mengeram di atas pikulan.
169. Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
170. Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar.
171. Rampok padha keplok-keplok---Perampok semua bersorak-sorai.
172. Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh
173. Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga.
174. Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin.
175. Akeh wong mendem donga---Banyak orang mabuk doa.
176. Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut menang.
177. Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka menjadi-jadi.
178. Agama ditantang---Agama ditantang.
179. Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka.
180. Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka.
181. Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar.
182. Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak.
183. Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan.
184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang
akal budi.
185. Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir.
186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan
berprajurit.
188. Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
189. Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri seperdelapan dunia.
190. Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap semakin merajalela.
191. Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima.
192. Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
193. Timah dianggep perak---Timah dianggap perak.
194. Emas diarani tembaga---Emas dibilang tembaga
195. Dandang dikandakake kuntul---Gagak disebut bangau.
196. Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa.
197. Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan.
198. Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur.
199. Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab.
200. Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci.
201. Buruh mangluh---Buruh menangis.
202. Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan.
203. Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi.
204. Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat.
205. Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil.
206. Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh.
207. Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin tercela.
208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---Para raja
berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
209. Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah.
210. Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina tinggal sepasang.
211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
212. Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat bagian.
213. Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak berhemat.
214. Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu.
215. Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah kelak
terbaliknya zaman.