pariwisata 2

 berkaitan satu dengan yang lain secara tidak 
langsung. Misalnya tingkat pendidikan seseorang dengan pekerjaan dan tingkat 
pendapatannya, serta usia dengan status perkawinan dan ukuran keluarga. Pembagian 
turis  berdasar sifat  sosio-demografis ini paling nyata kaitannya dengan 
pola berwisata mereka. Jenis kelamin maupun kelompok umur misalnya berkaitan dengan 
pilihan jenis wisata yang dilakukan (Seaton & Bennet, 1996). Jenis pekerjaan seseorang 
maupun tipe keluarga akan berpengaruh pada waktu luang yang dimiliki orang ini , 
dan lebih lanjut pada “kemampuan”nya berwisata.  
 
b. sifat  geografis 
 sifat  geografis membagi turis  berdasar lokasi tempat 
tinggalnya,biasanya dibedakan menjadi desa-kota, propinsi, maupun negara asalnya. 
Pembagian ini lebih lanjut dapat pula dikelompokkan berdasar ukuran (size) kota 
tempat tinggal (kota kecil, menengah, besar/metropolitan), kepadatan penduduk di kota 
ini  dan lain-lain.  
 
c. sifat  psikografis  
sifat  ini membagi turis  ke dalam kelompok-kelompok berdasar 
kelas sosial, life-style dan sifat  personal. turis  dalam kelompok demografis 
yang sama mungkin memiliki profil psikografis yang sangat berbeda (Smith, 1989).  
Beragamnya sifat  dan latar belakang turis  memicu beragamnya 
keinginan dan kebutuhan mereka akan suatu produk wisata. Pengelompokan-
pengelompokan turis  dapat memberi informasi mengenai alasan setiap kelompok 
mengunjungi objek wisata yang berbeda, berapa besar ukuran kelompok ini , pola 
pengeluaran setiap kelompok, “kesetiaannya” terhadap suatu produk wisata tertentu, 
sensitivitas mereka terhadap perubahan harga produk wisata, serta respon kelompok 
   40 
terhadap berbagai bentuk iklan produk wisata. Lebih lanjut, pengetahuan mengenai 
turis  sangat diperlukan dalam merencanakan produk wisata yang sesuai dengan 
keinginan kelompok pasar tertentu, termasuk merencanakan strategi pemasaran yang tepat 
bagi kelompok pasar ini  (Irna Herlina, 2004). 
 
 Jenis dan Macam turis   
 Berbagai macam tipologi turis  telah dikembangkan dengan memakai  
berbagai dasar klasifikasi. Dengan pendekatan interaksi, Cohen (1972) mengklasifikasikan 
turis  atas dasar tingkat familiarisasi dari area  yang akan dikunjungi, serta tingkat 
pengorganisasian dari perjalanan wisatanya menjadi empat yaitu seperti : 
1. Drifter, yaitu turis  yang ingin mengunjungi area  yang sama sekali belum 
diketahuinya, dan bepergian dalam jumlah kecil. 
2. Explorer, yaitu turis  yang melakukan perjalanan dengan mengatur 
perjalanannya sendiri, dan tidak mau mengikuti jalan-jalan wisata yang sudah 
umum melainkan mencari hal yang tidak umum. turis  seperti ini bersedia 
memanfaatkan fasilitas dengan standar lokal dan tingkat interaksinya dengan 
warga  lokal juga tinggi. 
3. Individual mass tourists, yaitu turis  yang menyerahkan pengetahuan 
perjalanannya kepada agen perjalanan, dan mengunjungi area  tujuan wisata yang 
sudah terkenal. 
4. Organized mass tourists, yaitu turis  yang hanya mau mengunjungi area  
tujuan wisata yang sudah dikenal, dengan fasilitas seperti yang dapat ditemuinya 
ditempat tinggalnya, dengan perjalanannya selalu dipandu oleh pemandu wisata.  
 
 juga melakukan klasifikasi terhadap turis , dengan membedakan 
turis  atas tujuh kelompok, yaitu : 
1. Explorer, yaitu turis  yang mencari perjalanan baru dan berinteraksi secara 
intensif dengan warga  lokal, dan bersedia menerima fasilitas seadanya, serta 
menghargai norma dan nilai-nilai lokal. 
2. Elite, yaitu turis  yang mengunjungi area  tujuan wisata yang belum dikenal, 
tetapi dengan pengaturan lebih dahulu, dan bepergian dalam jumlah yang kecil. 
3. Off beat, yaitu turis  yang mencari atraksi sendiri, tidak mau ikut ke tempat-
tempat yang sudah ramai dikunjungi. Biasanya turis  seperti ini siap menerima 
fasilitas seadanya di tempat lokal.  
4. Unusual, yaitu turis  yang dalam perjalanannya sekali waktu juga mengambil 
aktifitas tambahan, untuk mengunjungi tempat-tempat yang baru, atau melakukan 
aktivitas yang agak berisiko. Meskipun dalam aktivitas tambahannya bersedia 
menerima fasilitas apa adanya, tetapi program pokoknya tetap harus mendapatkan 
fasilitas yang standar. 
5. Incipient mass, yaitu turis  yang melakukan perjalanan secara individual atau 
kelompok kecil, dan mencari area  tujuan wisata yang memiliki  fasilitas 
standar tetapi masih menawarkan keaslian. 
6. Mass, yaitu turis  yang bepergian ke area  tujuan wisata dengan fasilitas 
yang sama seperti di area nya. 
7. Charter, yaitu turis  yang mengunjungi area  tujuan wisata dengan 
lingkungan yang mirip dengan area  asalnya, dan biasanya hanya untuk 
bersantai/bersenang-senang. Mereka bepergian dalam kelompok besar, dan 
meminta fasilitas yang berstandar internasional.  
 Melihat sifat perjalanan dan ruang lingkup dimana perjalanan wisata itu dilakukan, 
maka kita juga dapat mengklasifikasikan turis  sebagai berikut : 
1. turis  asing (foreign tourist) 
Adalah orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang datang memasuki 
suatu negara lain yang bukan merupakan negara dimana ia biasanya tinggal. 
(biasanya bisa dilihat dari status kewarganegaraannya, dokumen perjalanannya, dan 
jenis uang yang dibelanjakan) 
2. Domestic Foreign Tourist 
Orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal pada suatu negara, yang 
melakukan perjalanan wisata di wilayah negara dimana ia tinggal (seperti orang 
yang bekerja di kedutaan besar). 
3. Domestic tourist 
Seseorang warga negara suatu negara yang melakukan perjalanan wisata dalam 
batas wilayah negaranya sendiri tanpa melewati perbatasan negaranya. 
4. Indigenous Foreign Tourist  
Warga negara suatu negara tertentu, yang karena tugasnya atau jabatannya di luar 
negeri, pulang ke negara asalnya dan melakukan perjalanan wisata di wilayah 
negaranya sendiri.   
5. Transit tourist  
turis  yang sedang melakukan perjalanan wisata ke suatu negara tertentu, 
yang menumpang kapal udara atau kapal laut ataupun kereta api, yang terpaksa 
mampir atau singgah pada suatu pelabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya 
sendiri.  
6. Bussiness tourist 
Orang yang melakukan perjalanan (apakah orang asing atau warga negara sendiri) 
yang mengadakan perjalanan untuk tujuan lain bukan wisata, tetapi perjalanan 
wisata akan dilakukannya setelah tujuannya yang utama selesai.  
Di samping jenis turis  yang disebutkan di atas,  ada juga beberapa jenis 
tourist/tourism demand seperti family, hedonistic, backpacker, visiting friends and 
relatives, excursionist, educational tourist, religious tourist, snow bird, ethnic minority, 
disable tourist, social tourist dan short break market (Dama Adhyatma, 2008). Masing-
masing jenis tourist memiliki dampak postitif dan dampak negatif yang dapat dijelaskan 
sebagai berikut. 
1. Family 
Family tourist atau turis  keluarga dapat terbagi atas keluarga kecil yang terdiri 
dari orang tua dan anak, maupun keluarga besar yang terdiri dari orang tua, anak, 
paman, bibi, kakek, nenek, dan yang lainnya. turis  ini umumnya melakukan 
perjalanan pada waktu liburan sehingga mereka benar-benar ingin menikmati 
liburannya itu di suatu tempat yang mereka inginkan.  
Dampak Positif 
1.) memberi  keuntungan ekonomi secara langsung kepada hotel dan restoran. 
turis  jenis ini umumnya memerlukan kamar yang besar dan makanan yang 
lebih banyak. Dampak ekonomi tidak langsung dapat dirasakan oleh pedagang-
pedagang di pasar karena permintaan terhadap barang/bahan makanan akan 
bertambah. 
2.) turis  jenis ini umumnya memakai  travel agent untuk mengatur jadwal 
perjalanannya. Hal ini akan meningkatkan keuntungan travel agent ini , 
semakin banyak pula memerlukan  tenaga kerja sehingga secara tidak langsung 
dapat mengurangi pengangguran.  
3.) Anak-anak biasanya menyukai tempat-tempat dan atraksi wisata, khususnya yang 
berjenis man-made, seperti waterboom, taman bermain, dan sebagainya sehingga 
tempat-tempat ini  dapat berkembang dan memperoleh keuntungan. 
4.) memberi  keuntungan kepada perajin dan penjual souvernir atau oleh-oleh 
karena tourist jenis ini biasanya akan membeli kenang-kenangan untuk dirinya dan 
kerabatnya. 
Dampak Negatif : 
1.) Anak-anak biasanya suka bermain-main hingga merusak fasilitas-fasilitas yang ada, 
seperti di hotel, objek wisata, dan sebagainya. 
2.) Agak sulit untuk mengelola atau mengatur jadwal tourist family ini karena anak-
anaknya biasanya rewel dan dapat merusak atau membatalkan jadwal yang telah 
direncanakan. 
2. Hedonistic 
Hedonistic yaitu  tourist yang menginginkan kebebasan, kebebasan yang tidak bisa 
mereka dapatkan di negara asalnya, misalnya drugs, sex, drunk, dan sebagainya. 
turis  jenis ini umumnya dari kalangan berusia muda dan menyukai kehidupan 
malam. 
Dampak Positif : 
1.) memberi  keuntungan ekonomi kepada hotel dan restoran. 
2.) memberi  keuntungan kepada rental mobil atau motor karena turis  ini 
tidak suka diatur dan ingin bebas pergi kemanapun ia inginkan. 
3.) memberi  keuntungan kepada bar, night club, dan tempat-tempat night life 
lainnya. 
Dampak Negatif : 
1.) Dapat memberi  pengaruh buruk terhadap budaya lokal, khususnya remaja. 
Karena remaja masih sangat labil dan mudah meniru prilaku-prilaku buruk yang 
dibawa tourist hedonistic ini seperti budaya minum-minuman keras, pakaian seksi, 
merokok, dugem, drugs, dan lain-lain. 
2.) Prostitusi semakin meningkat karena adanya permintaan dari tourist-tourist 
hedonistic.  
3.) Muncul dan berkembangnya barang-barang illegal seperti obat-obatan terlarang. 
4.) turis  ini seringkali merusak fasilitas-fasilitas umum dan memicu polusi 
terhadap lingkungan. 
3. BackPacker 
BackPacker yaitu  jenis turis  yang melakukan aktivitas pariwisata dengan dana 
terbatas. Oleh karena itu, turis  ini biasanya memakai  fasilitas-fasilitas 
berstandar lokal. Ciri khas turis  ini yaitu  biasanya menggendong tas ransel di 
punggungnya. 
Dampak Positif : 
1.) memberi  keuntungan kepada penginapan-penginapan dan makanan berstandar 
lokal, seperti motel atau bungalow. 
2.) Tourist jenis ini peduli dan ramah lingkungan karena mereka lebih sering 
melakukan perjalanan dengan berjalan kaki atau dengan sepeda gayung. 
3.) Tourist jenis ini mudah berinteraksi dengan warga  sekitar sehingga dapat 
terjadi akulturasi budaya misalnya bahasa, cara mereka mengelola waktu, dan 
sebagainya. 
Dampak Negatif : 
1.) Tidak banyak memberi  devisa bagi negara, karena turis   ini sangat hemat 
dalam berbelanja dan hanya mengeluarkan uang untuk hal-hal yang penting saja. 
2.) Tourist ini juga perlu diwaspadai karena bisa saja mereka melakukan tindakan 
mencuri karena keadaan ekonomi mereka sangat pas-pasan. 
4. Visiting Friends and Relatives 
Visiting friends and relatives yaitu  jenis turis  yang memiliki  tujuan tertentu, 
yaitu mengunjungi teman dan kerabatnya. turis  jenis ini biasanya dikelola oleh 
teman maupun kerabatnya sendiri, mulai dari tempat tinggal, makan, hingga 
transportasi. 
Dampak Positif : 
1.) turis  jenis ini tetap menguntungkan objek wisata dan atraksi-atraksi wisata 
karena mereka pasti akan diajak oleh kerabatnya untuk menikmati waktunya di 
tempat ini .  
2.) memberi  keuntungan kepada perajin dan penjual souvernir atau oleh-oleh 
karena turis  jenis ini biasanya akan membeli kenang-kenangan untuk 
keluarganya. 
Dampak Negatif : 
1.) Tidak banyak memberi  devisa bagi negara, karena segala sesuatunya biasanya 
disediakan oleh teman atau kerabatnya ini  seperti akomodasi, makanan, 
transportasi, dan sebagainya. 
5. Excursionist 
Excursionist yaitu  tourist yang mengunjungi suatu tempat dalam waktu yang 
kurang dari 24 jam. Yang termasuk turis  jenis ini misalnya penumpang kapal 
pesiar yang singgah ke suatu area .  
Dampak Positif : 
1.) Hanya menguntungkan pusat perbelanjaan dan restoran, karena turis  hanya 
memiliki  sedikit waktu untuk menikmati tempat tujuan atau persinggahannya. 
2.) Menguntungkan perajin dan penjual souvernir atau oleh-oleh karena turis  ini 
biasanya pasti menyempatkan diri untuk membeli souvernir khas area  yang 
dikunjungi/disinggahinya. 
Dampak Negatif : 
1.) Tidak menguntungkan akomodasi, transportasi, dan tempat-tempat wisata karena 
turis  ini tidak memiliki  banyak waktu untuk menikmati kunjungannya 
karena mereka hanya sekedar berkunjung atau singgah di tempat ini . 
6. Educational Tourist 
Educational tourist yaitu  tourist yang melakukan perjalanan dengan tujuan 
pendidikan, misalnya untuk belajar maupun studi banding di suatu sekolah atau 
universitas. 
Dampak Positif : 
1.) memberi  keuntungan ekonomi kepada fasilitas-fasilitas berstandar lokal, seperti 
boarding house (kos-kosan) dan tempat makan lokal. 
2.) Dapat memicu terjadinya pertukaran pikiran dan pertukaran kebudayaan 
(akulturasi budaya) misalnya dalam bahasa, teknologi, pola pikir, dan sebagainya. 
    
3.) Dapat mengembangkan suatu sekolah atau universitas yang dipilih sehingga dapat 
meningkatkan gengsi dan akreditas sekolah ini . 
4.) Sebagai sarana politik dalam membina hubungan yang baik antar negara penerima 
educational tourist dengan negara pengirim educational tourist. 
Dampak Negatif : 
1.) Tidak begitu menguntungkan dalam bidang ekonomi karena turis  jenis ini 
lebih memilih memakai  fasilitas-fasilitas lokal ketimbang memilih fasilitas 
mewah dan modern. 
2.) turis  ini juga bisa saja memberi  pengaruh yang buruk terhadap 
kebudayaan lokal, seperti mengajarkan temannya untuk minum-minuman keras, 
free sex, merokok, dan sebagainya. 
7. Religious Tourist 
Religious Tourist yaitu  turis  yang melakukan perjalanan suci ke tempat-tempat 
yang berkaitan  dengan agama, misalnya kegiatan naik haji, tirta yatra, dan lain 
sebagainya. 
Dampak Positif : 
1.) Menguntungkan akomodasi, restoran, transportasi, travel agent (sesuai dengan 
ekonomi mereka). 
2.) Dapat membantu mengembangkan area -area  yang memiliki  tempat ibadah 
atau area  religious. 
3.) Dapat mengadakan pertukaran kebudayaan dan penyebarkan ajaran agama. 
4.) turis  jenis ini juga pasti membeli oleh-oleh atau souvenir khas area  
setempat, hal ini menguntungkan penjual atau perajin oleh-oleh atau souvenir. 
Dampak Negatif : 
1.) turis  jenis ini juga terkadang perlu diwaspadai karena mereka bisa saja 
menyebarkan ajaran-ajaran atau aliran sesat kepada penduduk lokal. 
8. Snowbird 
Snowbird yaitu  jenis tourist dari negara yang bermusim dingin yang melakukan 
perjalanan ke area -area  tropis.  
Dampak Positif :  
1.) Menguntungkan ekonomi negara yang beriklim tropis karena pasti akan banyak 
turis -turis  dari negara yang sedang mengalami musim dingin 
berdatangan dan menikmati liburannya 
2.) memberi  keuntungan kepada hotel, travel agent, dan restaurant, perajin atau 
penjual souvenir sebagai penyedia barang dan jasa, baik berupa akomodasi, 
transportasi, maupun penyedia makanan dan minuman. 
3.) memberi  keuntungan kepada tempat-tempat dan atraksi wisata terutama yang 
berkaitan  langsung dengan matahari, seperti pantai, waterboom, dan 
sebagainya. 
Dampak Negatif : 
1.) Daerah-area  dingin biasanya lebih sepi dan kurang diuntungkan karena 
turis  jenis ini umumnya menyukai matahari dan ingin menikmati panas 
karena di negaranya sedang mengalami musim dingin. 
9. Ethnic Minority 
Dampak Positif : 
1.) memberi  keuntungan kepada hotel, restaurant, dan travel agent. 
2.) memberi  keuntungan pada museum-museum, dan tempat-tempat bersejarah. 
Dampak Negatif : 
1.) Tidak begitu menguntungkan dalam bidang ekonomi karena turis  jenis ini 
lebih memilih memakai  fasilitas-fasilitas lokal ketimbang memilih fasilitas 
mewah dan modern. 
10. Disable Tourist 
Disable tourist yaitu  jenis turis  yang memiliki  ketidaksempurnaan fisik/cacat  
Dampak Positif : 
1.) memberi  keuntungan ekonomi secara langsung kepada hotel, restaurant dan 
travel agent. turis  jenis ini memerlukan pengelolaan yang baik dari travel 
agent, dengan begitu walaupun ia memiliki  ketidakmampuan (cacat) namun ia 
tetap dapat menikmati wisatanya di area  yang dituju. 
    
2.) memberi  keuntungan kepada tourist attraction terutama yang bersifat natural 
karena turis  jenis ini lebih merasa nyaman berada di area  yang memiliki 
keindahan alam. 
Dampak Negatif : 
1.) Pengelolaan turis  jenis ini lebih sulit dibandingkan dengan turis  
lainnya karena kita harus ekstra waspada dan membuat jadwal yang sesuai 
dengan fisiknya. 
11. Social Tourist 
Social tourist yaitu  jenis tourist yang melakukan perjalanan bukan untuk berlibur, 
melainkan mencari sponsor di suatu negara. 
Dampak Positif : 
1.) memberi  keuntungan kepada hotel/motel sebagai tempat peristirahatan para 
social tourist. 
2.) Dapat menciptakan hubungan yang baik antara negara pengirim tourist dan negara 
penerima tourist sehingga dapat tercipta suasana tolong menolong antar negara. 
Dampak Negatif : 
1.) Tourist jenis ini tidak banyak memberi  devisa bagi negara, karena tujuannya 
bukan berlibur, melainkan melakukan aksi sosial atau mencari sponsor di suatu 
negara untuk tujuan tertentu. 
12. Short Break Market 
Short Break Market yaitu  jenis tourist yang mengunjungi suatu area  dalam kurun 
waktu satu sampai tiga hari. Biasanya tourist ini mengunjungi ke satu negara dengan 
banyak area  wisata. 
Dampak Positif : 
1.) memberi  keuntungan kepada hotel/motel sebagai tempat peristirahatan para 
short break market tourist, biasanya satu hingga tiga hari. 
2.) memberi  keuntungan pada rental transportasi (mobil, motor) karena tourist jenis 
ini biasanya tidak memakai  travel agent dalam berwisata. Beberapa tourist 
juga memakai  angkutan umum sebagai sarana transportasinya. 
    
3.) Tourist jenis ini biasanya berkunjung ke tempat-tempat atraksi wisata yang sudah 
terkenal. Tourist ini juga senang berwisata kuliner di area  yang dikunjunginya 
dan membeli beberapa cinderamata khas sehingga hal ini sangat menguntungkan 
dalam bidang ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung. 
Dampak Negatif : 
1.) Tourist jenis ini tidak memiliki  waktu yang lama dalam berkunjung, biasanya 
antara sehari hingga tiga hari saja. Oleh karena itu, kita harus mampu mengelola 
tourist ini dengan baik dan mengusahakan agar ia merasa puas dan menikmati 
kunjungannya sehingga ia akan kembali ke tempat itu dikemudian hari. 
 
Berbagai pola perjalanan, sebagaimana dibahas di bab sebelumnya, menunjukkan 
adanya berbagai perbedaan motivasi di dalamnya. Awal perjalanan manusia lebih 
didasarkan pada motivasi untuk mempertahankan hidupnya dan kemudian berkembang 
menjadi motivasi untuk melepaskan diri dari kejenuhan kota seperti terjadi waktu zaman 
Romawi. Motivasi untuk melakukan perjalanan kemudian berkembang dengan tujuan 
untuk interaksi sosial, perjalanan ziarah, perdagangan, kesenangan, dan pengembangan 
diri. Di sini terlihat bahwa motivasi untuk melakukan suatu perjalanan ini  juga akan 
selalu berubah, sehingga akan selalu terjadi pengembangan teori atas pengertian motivasi 
itu sendiri. 
Motivasi sering diartikan sebagai “the process used to allocate energy to maximize 
the satisfaction”, atau sebuah energi yang mendorong seseorang untuk mencapai 
kepuasannya. Dan secara lebih spesifik, motivasi berwisata didefinisikan sebagai “the 
global integrating network of biological and cultural forces which gives value and 
dirrection to travel choices, behaviour and sxperiences”. Ada dua hal utama yang dapat 
kita pahami dari pengertian-pengertian di atas. Pertama, motivasi timbul sebagai usaha  
untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keinginan seseorang; dan kedua, motivasi akan 
memicu terjadinya sebuah perjalanan wisata ketika seseorang menemukan 
(menentukan) tujuan ke mana ia harus memenuhi kebutuhan dan keinginannya ini . 
Hubungan antara kebutuhan, keinginan dan motivasi ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. 
Suatu keinginan (wants) terjadi ketika ada kesadaran dari seseorang terhadap pemenuhan 
kebutuhannya (needs). Misalnya, kebutuhan akan kasih sayang diterjemahkan dalam 
keinginan untuk mengunjungi keluarga ketika yang bersangkutan merasa sadar bahwa ia 
perlu menemui keluarganya ini  untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. 
Selanjutnya sesorang akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhannya ketika ia telah 
menetapkan sebuah tujuan (objectives) yang ingin didapatkannya, misalnya menemui 
keluarganya di kota “A”. Pada siklus berikutnya, tujuan ini  akan menghasilkan 
kepuasan karena dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kasih sayang. 
diperhatikan di sini bahwa faktor pemasaran (promosi) sangat diperlukan untuk 
menumbuhkan kesadaran yang dapat merubah kebutuhan menjadi sebuah keinginan. 

Dalam perencanaan pariwisata, pemahaman atas motivasi menjadi sangat penting 
karena ia merupakan faktor pendorong (push factor) untuk terjadinya sebuah perjalanan. Ia 
merupakan sebuah dorongan bagi seseorang untuk mencari objek-objek yang diminatinya, 
yang berbeda dengan lingkungan kehidupan dan lingkungan kerja sehari-harinya. Agar 
terwujud sebuah perjalanan, maka diperlukan fakor lain yang disebut sebagai faktor 
penarik (full factor), yang merupakan rangsangan yang memicu turis  tertarik 
untuk hadir, misalnya promosi sebuah destinasi. Sebagai faktor penarik, citra destinasi 
menjadi sangat penting, karena citra destinasi itu sendiri merupakan faktor utama untuk 
menarik kunjungan turis . Jadi, ketika sebuah destinasi memiliki citra sebagai sebuah 
destinasi budaya, Jogja misalnya, maka segmen warga  tertentu yang tertarik dengan 
hal-hal bersifat kebudayaan akan lebih tergerak pergi ke Jogja untuk memenuhi 
keinginannya guna lebih “mengerti dan memahami budaya lokal Jogja”. di atas juga menunjukkan suatu hal bahwa untuk memahami motivasi 
diperlukan pemahaman terlebih dahulu atau kebutuhan dasar dan keinginan seseorang. 
Saat ini paling tidak ada 15 teori dan hasil penelitian atas kebutuhan dasar seseorang yang 
sebagian besarnya berbasis pada teori psikoanalisa  dan humanistik. Namun, teori 
mengenai kebutuhan dasar (motivasi) yang paling populer yaitu  teori yang disampaikan 
oleh Maslow pada tahun 1943 dalam tulisannya “A theory of human motivation”. Teori 
ini  membedakan adanya lima tingkatan kebutuhan dasar pada diri manusia 

yang hanya menyebutkan kebutuhan yang tunggal, misalnya teori yang dibangun oleh 
Sulivan yang hanya menunjuk kebutuhan untuk dapat diterima dan dicintai, atau teori 
Csikzentmihalyi yang hanya menunjuk pada kebutuhan untuk mendapatkan pengalaman. 
Menurut Maslow, kebutuhan dasar ini  diawali dari kebutuhan biologis dan 
fisik, kebutuhan atas rasa aman, kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan untuk dihargai, dan 
kebutuhan untuk aktualisasi diri. Kebutuhan biologis dan fisik menyangkut hal-hal 
berkenaan dengan kebutuhan dasar antara lain berupa udara, makan, minum, hunian, 
kehangatan, sex, dan tidur. Kebutuhan akan rasa aman antara lain berupa dilindungi, 
keamanan, kepastian, hukum, dan stabilitas. Kebutuhan untuk dicintai antara lain berupa 
kebutuhan untuk berkeluarga, kasih sayang, hubungan dengan sesama, hubungan kerja, 
kebutuhan untuk dihargai antara lain berupa pencapaian prestasi, status, tanggung jawab, 
dan reputasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri antara lain berupa pengembangan diri.     

Teori Maslow menunjukkan adanya 
dua kelompok kebutuhan dasar yang berbeda. Pertama yaitu  kelompok fisikal (fisiologis), 
dan kedua yaitu  kelompok psikologikal (keamanan, cinta, penghargaan dan aktualisasi 
diri). di samping hal ini , ada kelompok intelektual yang dapat dicantumkan di 
dalamnya, yaitu terkait dengan kebutuhan untuk mengetahui serta mengerti, dan estetika. 
Atas dasar teori Maslow ini , Pearce kemudian membuat sebuah model yang 
disebutnya sebagai travel career ladder sebagaimana terlihat pada Gambar 3.3. Pearce 
menyusun kebutuhan berwisata ke dalam lima tahapan yang disusunnya, yaitu kebutuhan 
akan relaksasi, stimulasi, persahabatan, penghargaan, serta pengembangan, dan kepuasan. 
Disetarakan dengan teori Maslow, maka kebutuhan relaksasi dalam teori Pearce di atas 
Bernafas, makan,minum, sex, tidur,   
Penghargaan, keyakinan, pencapaian, menghormati orang lain, 
dihormati orang lain  
Fisiologis 
Keaamanan 
Cinta/diperlukan  
Aktualisasi diri  
Penghargaan 
Moral, kreativitas, spontanitas, pemecahan masalah, berfikir 
positif menerima fakta 
Persahabatan, kekeluargaan, sexual intimacy  
Jaminan terhadap lapangan kerja, sumber daya, moral, keluarga, 
kesehatan, pemilikan (property)   
merupakan representasi atas kebutuhan fisiologis, kebutuhan stimulasi pada kebutuhan 
akan keamanan, kebutuhan persahabatan pada kebutuhan cinta, kebutuhan penghargaan 
pada penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri, dan semua itu terjadi secara berurutan. 
Dan menurutnya, tahap awal harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum seseorang mencapai 
tahap berikutnya. Pandangan Pearce ini menunjukkan bahwa ada sebuah proses terhadap 
kebutuhan yang diperlukan oleh seseorang menuju pada puncak tangga kepuasan diri. 
dalam berwisata, awalnya seseorang akan memerlukan kegiatan yang bersifat hiburan yang 
kemudian pada tahap akhir seseorang akan memerlukan kebutuhan akan sebuah 
pengakuan. 
Dua teori di atas lebih condong pada sebuah penilaian bahwa kebutuhan dasar 
ini  tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan jiwa individu. Namun, 
apakah benar bahwa kebutuhan dasara itu “harus” selalu berjenjang. Tahap pertama harus 
terpenuhi terlebih dahulu sebelum melangkah ke jenjang berikutnya ? 
Bila Maslow dan Pearce meyakini bahwa kebutuhan dasar akan tumbuh secara 
berjenjang, maka banyak pihak justru berpendapat sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa 
kebutuhan dasar manusia yaitu  sama, hanya tingkat prioritasnya (untuk direalisasikan 
menjadi sebuah keinginan dan motivasi) akan berbeda.  
Cuellar, antara lain menyebutkan bahwa waktu luang (leisure), termasuk yang 
dipakai  untuk berwisata, yaitu  kebutuhan primer yang melekat pada semua diri 
manusia (secara individu dan komunitas) yang dapat memperkuat ketahanan dan mampu 
menyegarkan jiwa kembali. Dengan demikian, konsep berwisata harus ada pada setiap 
jenjang kebutuhan dasar manusia dengan berbagai variasinya. Untuk memenuhi kebutuhan 
seseorang akan kepuasan diri, maka seseorang dapat saja melakukan perjalanan wisata 
religius tanpa harus secara berjenjang melakukan wisata relaksasi terlebih dahulu. 
Pemikiran bahwa berwisata merupakan kebutuhan primer manusia ini yang antara 
lain mendasari diterbitkannya deklarasi World Leisure yang berisi tentang pentingnya 
perhatian pada persoalan kesehatan dan pendidikan. Di sini diperlukan pula penekanan 
pada pentingnya kewajiban pemerintah untuk menjamin pemberian fasilitas terbaik bagi 
kegiatan di waktu luang dan rekreasi bagi warganya, pentingnya memberi  kesempatan 
lebih luas untuk mengembangkan hubungan antar manusia, pentingnya integrasi sosial, 
pentingnya pengembangan komunitas serta identitas budaya, dan pentingnya persahabatan 
internasional. 
Beberapa pandangan warga  barat, misalnya Dumazier, bahkan menyebutkan 
bahwa waktu luang dan liburan yaitu  konsep dari self-actualisation dan self-realisation”, 
sehingga tidak diperlukan penjenjangan atas kebutuhannya. Perubahan sikap dari 
seseorang tentu saja juga akan secara otomatis merubah keinginan dan motivasi orang 
untuk berwisata.   
Walaupun terjadi perbedaan atas konsep kebutuhan dasar untuk berwisata, terutama 
dalam diskusi atas “berjenjang atau tidak berjenjang” di atas, namun banyak diakui bahwa 
suatu kegiatan wisata juga merupakan sebuah proses dari pencarian dan pencerahan. 
Menurut Richard, perjalanan wisata yaitu  kebutuhan akan pengalaman dan penghayatan 
diri yang selanjutnya akan membentuk pola perjalanan wisata yang dihasilkannya. 
Diibaratkan dengan sebuah perjalanan kehidupan lainnya, semula memiliki sebuah sepeda 
yaitu  sebuah impian, yang kemudian impian itu akan berkembang menjadi keinginan 
untuk memiliki sepeda motor, mobil, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan perubahan 
keinginan seseorang. Di samping untuk menunjukkan statusnya, perubahan tuntutan 
ini  juga dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk kenikmatan, kepuasan, serta 
pengalaman baru. 
Dalam hal berwisata, pada awalnya kebutuhan akan pengalaman lebih berbasis 
pada kebutuhan pengalaman fisik, dan ini ditunjukkan oleh jenis kegiatan berwisata yang 
lebih berupa fisik, antara lain dalam bentuk mengunjungi pantai untuk sekedar berjemur  
dan mengunjungi objek wisata untuk sekedar berfoto. sesudah  kembali dari perjalanannya, 
turis  jenis ini sudah sangat puas dapat menunjukkan hasil fisik perjalanannya yang 
dapat dilihat dari terbakarnya kulit mereka akibat berjemur di pantai, atau foto-foto bahwa 
mereka pernah ke sana. Inilah awal dari proses being ataupun proses aktualisasi diri yang 
mereka capai, yang lebih ditampakkan secara visual yang merupakan status simbol mereka 
bahwa mereka “pernah” ke suatu tempat tertentu. 
Pada tahap berikutnya, status simbol ini  akan bergeser ketidakpuasan baru 
muncul kembali. sesudah  secara fisik mereka menikmati hasil berwisatanya, keinginan baru 
yang muncul yaitu  pengalaman. turis  kemudian ingin menunjukkan statusnya 
dalam bentuk pemahaman terhadap suatu destinasi tidak saja dengan tujuan untuk 
membedakan dirinya dengan turis  lainnya, namun mereka juga ingin lebih 
memahami dan memaknai perjalanan wisatanya itu sendiri. Pada tahap selanjutnya, 
kebutuhan untuk mengetahui dan memahami saja dirasakan tidak cukup. turis  
menginginkan lebih dari itu, dan ini menghasilkan tuntutan baru untuk mendapatkan 
pengkayaan dari perjalanannya. Pengkayaan itu tidak hanya pada persoalan sekedar 
memahami nilai dan sejarah objek wisata yang ada, namun tuntutan baru yaitu  untuk 
lebih memahami faktor kehidupan manusia di destinasi yang dikunjunginya. turis  
kemudian menuntut untuk dapat menjadi bagian dari warga  lokal, mereka 
mempelajari adat istiadat, budaya, dan pengetahuan lokal warga  setempat. turis  
kemudian merasa perlu untuk menjadi konsumen sekaligus produsen, dan ini merupakan 
ciri pariwisata kreatif.  
Teori-teori di atas menunjukkan satu kesamaan bahwa tujuan berwisata itu 
sebenarnya yaitu  sebuah proses pengkayaan kehidupan manusia, sebuah proses 
pendewasaan yang tidak pernah akan ada habisnya. Hal yang sama lainnya yaitu  bahwa 
berwisata merupakan hakikat hidup dan menjadi hak serta kebutuhan dasar yang melekat 
dalam diri manusia, yang terbentuk ketika manusia menjadi sangat mandiri dan sadar akan 
kebutuhan intrinsiknya. Kalau berwisata yaitu  kebutuhan intrinsik manusia, lalpu apa 
yang memotivasi mereka untuk berwisata ? 
Pandangan pertama mengenai motivasi berwisata ialah sebuah keyakinan bahwa 
motivasi berwisata, sebagaimana kebutuhan dasar model Maslow, yaitu  bersifat 
berjenjang pula sebagaimana didukung oleh Richards. Bila Maslow melihat bahwa 
motivasi awal seseorang yaitu  bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (memiliki 
kesehatan yang baik, memiliki rumah yang layak, dan sebagainya) sampai dengan 
aktualisasi diri, maka Richards melihat bahwa motivasi utama berwisata yaitu  untuk 
memenuhi kebutuhan pariwisata diawali dengan keinginan untuk memiliki “sesuatu” 
sebagai status simbol, seperti memiliki mobil dan TV berwarna. Pada tingkatan lebih 
lanjut, pariwisata akan memerlukan kebutuhan menjadi “being” yang dalam konteks 
Maslow dapat disamakan dengan aktualisasi diri. Pada tahapan “being” ini pariwisata 
bercirikan melihat dan melakukan sesuatu kemudia mengarah pada bentuk berwisata 
dimana turis  akan menjadi konsumen sekaligus produsen. 
Sebagaimana Richards, soebandrio  juga menjabarkan teori Maslow berkenaan dengan 
motivasi dan pariwisata sebagaimana Tabel 3.1 berikut. soebandrio  memang tidak menjelaskan 
apakah ia setuju dengan konsep penjenjangan kebutuhan dasar Model Maslow, walaupun 
ia memakainya sebagai dasar pijakan untuk memberi  hubungan antara kebutuhan dasar, 
motivasi dengan kepustakaan pariwisata yang terkait. Namun, hal yang menarik dari teori 
yang dibangunnya ini yaitu  adanya keterkaitan antara kebutuhan dasar, motivasi dengan 
kepustakaan pariwisata, dan ini akan sangat berguna bagi pengembangan suatu produk 
pariwisata.  

 
Hal lain yang menarik dari pendapat soebandrio  ini yaitu  bahwa ia menambahkan satu 
komponen pengamatan pada kebutuhan dasar manusia yang sudah ditulis oleh Maslow. Di 
samping unsur fisikal (fisiologis), dan unsur psikologikal (keselamatan, memiliki 
penghargaan, dan akualisasi diri) sebagaimana disampaikan oleh Maslow, soebandrio  juga 
menambahkan unsur intelektual (mengerti serta memahami, dan estetika) yang akan 
menampung tema-tema wisata secara khusus seperti wisata budaya, dan wisata kreatif. 
Sebagai catatan, tabel di atas juga tidak seharusnya dibaca secara apa adanya 
karena satu produk pariwisata dapat secara bersamaan memenuhi labih dari satu jenis 
kebutuhan dasar manusia. Misalnya, produk wisata alam akan mampu menjawab beberapa 
kebutuhan dasar sekaligus seperti fisiologis, keamanan, dan aktualisasi diri. 
Teori lain menjelaskan bahwa motivasi berwisata bersifat sangat alamiah dapat 
terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Motivasi berwisata tidak harus 
tersusun secara sistematis dan berjenjang. Gray, misalnya menyebutkan bahwa motivasi 
berwisata yang pertama yaitu  pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi 
(wanderlust). Suatu keinginan yang kuat untuk melakukan perjalanan atau eksplorasi ke 
“dunia baru” untuk mendapatkan pengalaman pertama melihat budaya dan tempat yang 
baru. Motivasi yang kedua yaitu  pergi ke tempat-tempat yang menawarkan sesuatu yang 
unik, spesifik, yang tidak didapatkan di tempatnya berada (sunlust). Suatu keinginan untuk 
mendapatkan sesuatu yang berbeda dan lebih baik, atau untuk kebutuhan khusus hal-hal 
yang spesifik yang tidak dapat ditemui ditempatnya (lokal). 
Dukungan atas pernyataan bahwa motivasi yaitu  bersifat tidak berjenjang juga 
datang dari Mathieson, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.2. Menurut Mathieson, motivasi 
turis  itu sendiri dapat dikategorikan atas empat kategori, yaitu motivasi fisik, 
motivasi budaya, motivasi personal, dan motivasi gengsi serta status. 
Tabel 3.2 Motivasi turis    
Kategori Motivasi  
Fisik  Penyegaran tubuh dan jiwa, kesehatan, partisipasi olah raga, 
kesenangan, hiburan, belanja 
Budaya Keingintahuan pada negara lain, warga  dan tempat, seni, musik, 
arsitektur, cerita rakyat, tempat bersejarah, acara khusus seperti 
olimpiade 
Personal Kunjungan sahabat dan keluarga, bertemu kenalan/teman baru, 
   59 
pengalaman baru di lingkungan baru, melepaskan diri dari rutinitas, 
kebahagiaan melakukan perjalanan, spiritual, sekedar untuk tujuan 
perjalanan 
Gengsi dan 
status 
Hobi, belajar, kontak bisnis, dan tujuan profesional, konferensi dan 
pertemuan, peningkatan ego dan kegemaran lainnya,  
Sumber : Mathieson,A dan Wall, G (1982) 
 
Dalam teorinya ini , Mathieson menjelaskan bahwa motivasi untuk pencapaian 
status tidak harus dipenuhi setelah motivasi untuk fisik terpenuhi. Di sini, misalnya 
motivasi untuk gengsi dan status dapat tumbuh bersama-sama dengan motivasi kebutuhan 
fisik. Ketika melaukan kegiatan konferensi sebagai motivasi gengsi, turis  dapat juga 
sekaligus mengagendakan kegiatan olah raga atau berbelanja sebagai motivasi fisik. Ini 
sebagaimana catatan yang dibuat untuk Tabel 3.1 sebelumnya. Klasifikasi motivasi 
ini  selanjutnya dapat dirinci lagi dalam sub kelas sebagaimana dijelaskan oleh IUTO 
(Internastional Union of Official Travel Organization) berupa : motif untuk bersenang-
senang (pleasure), motif rekreasi, motif kebudayaan (culture tourism), olah raga (sport 
tourism), bisnis (seperti pertemuan dan pameran), konvensi, spiritual (seperti perjalanan 
zaiarah), impersonal (misalnya mengunjungi saudara), kesehatan (health tourism atau 
wellness), dan wisata sosial (Hermantoro, 2011 : 53-72)  
Berbagai bahasan di atas, menunjukkan masih sangat berpihaknya pandangan 
terhadap kebutuhan turis . Motivasi hanya sering dilihat dari sisi turis nya dan 
bukan dari sisi tuan rumah. Kebijakan yang ada bahkan sering tidak menyentuh hal-hal 
terkait dengan kenyamanan penduduk lokal. Destinasi disiapkan dalam rangka memenuhi 
kebutuhan turis  yang terus berproses, dan komunitas hanya perlu mempersiapkan 
diri atas kebutuhan turis , termasuk menyesuaikan diri dengan proses untuk selalu 
menghadirkan turis . Pembangunan kemudian hanya bertujuan untuk menghasilkan 
pendapatan dari pariwisata dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. 
Pandangan ini memicu komunitas menjadi sangat tergantung pada hadirnya 
turis  dan mereka tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri 
seperti pernyataan Howard Thurman bahwa “Community cannot for long feed on itself; it 
can only flourish with the coming of others from beyond, their unknown and undiscovered 
brothers”. Bila ini yang terjadi, komunitas yang terbentuk akan menjadi komunitas yang 
tidak mandiri dan tidak kreatif. Mereka akan menjadi komunitas yang ringkih dan selalu 
tergantung pada kehadiran turis , padahal turis  itu sendiri bersifat sangat labil 
dalam memilih tujuan kunjungan. turis  bisa tidak datang lagi ke suatu destinasi 
   60 
karena beberapa hal. Karena mereka sudah terlalu sering ke sana, produk yang dihasilkan 
oleh destinasi yang bersangkutan tetap dan membosankan karena ada tawaran dari 
destinasi lain yang lebih menarik, atau karena hal lain seperti terjadinya bencana alam dan 
rentannya keamanan di destinasi yang biasa dikunjunginya. Bila ini terjadi, warga  
lokal akan benar-benar menerima bencana besar dalam kehidupannya. 
Pandangan dari sisi turis  saja akan memicu berbagai persoalan. 
Pertama, akan terjadi diskriminasi pada perlakuan terhadap penggunaan jas dan fasilitas 
publik. Jasa publik seharusnya dapat diberikan kepada siapa saja dengan tidak 
membedakan statusnya. Artinya, ketika penduduk lokal memakai  sarana transportasi 
lokal atau hotel, maka ia harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan turis , 
bukan sebaliknya. Kedua, pembangunan pariwisata di destinasi akan menafikan tujuan 
untuk memberdayakan warga . Pembangunan pariwisata yang hanya bertujuan untuk 
mendorong tumbuhnya industri sering mengabaikan kesempatan warga  lokal untuk 
terlibat di dalamnya. Standar-standar yang dibangun dalam industri pariwisata sering tidak 
diimbangi dengan kemauan untuk memberdayakan warga  itu sendiri, sehingga 
warga  tidak memiliki tempat dan kesempatan untuk terlibat dalam bisnis pariwisata 
ini. Ketiga, akan terjadi ekslusivitas spasial. Rencana tata ruang yang mengarahkan 
penggunaan ruang sebagai area  pariwisata dan non pariwisata sering memicu 
terjadinya pemisahan sosial. Resort sering menjadi area  yang sangat ekslusif dengan 
fasilitas yang berlimpah, termasuk ketersediaan air bersih, listrik dan sebagainya, namun di 
luar wilayah itu masih dimungkinkan ada  bentuk kehidupan warga  yang 
berkekurangan. 
Pertanyaannya, mengapa justru tidak dikembangkan pandangan-pandangan lain 
dari sisi tuan rumahnya ? menyangkut motivasi tuan rumahnya ? pandangan terhadap 
kepentingan warga  di destinasi yang bersangkutan menjadi sangat penting karena 
bukanlah tujuan akhir pembangunan pariwisata justru untuk kesejahteraan warga  ? 
dan bukankah warga  juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama dengan 
turis  dan kehidupannya ? bukankah warga  juga memerlukan dan memiliki hak 
untuk dapat dihargai sebagai salah satu kebutuhan hidupnya ? mengapa pula tidak 
dikembangkan pemikiran bahwa warga  yang mempengaruhi turis  dan bukan 
hanya sebaliknya ? atau agar mereka dapat saling mempengaruhi dalam bentuk simbiosis 
mutualisme yang lebih adil ? 
Sayangnya, berbeda dengan tulisan mengenai motivasi turis , tulisan 
mengenai motivasi warga  dalam menerima kunjungan turis  masih sangat 
   61 
terbatas, kalau tidak mau disebutkan belum ada, karena sulitnya mencari referensi 
mengenai ini. Studi yang banyak ditemui yaitu  lebih pada dampak kunjungan turis  
terhadap warga  lokal, baik dampak sosial maupun ekonomi, termasuk perubahan 
perilaku warga  lokal sebagai akibat kunjungan turis . Perubahan perilaku 
kelompok warga  seharusnya menjadi bagian penting pula dalam usaha  
pengembangan pariwisata. Tabel 3.1 di awal tulisan ini telah menunjukkan adanya iritasi 
warga  akibat pertumbuhan kunjungan turis , dan sinyal ini seharusnya dapat 
menjadi perhatian dalam penyusunan kebijakan pembangunan pariwisata. Pembangunan 
pariwisata memerlukan perubahan perilaku warga  ini. Namun untuk melakukan hal 
ini harus sejak awal dikenali motivasi warga  dalam menerima kunjungan turis , 
sebagaimana dikatakan Pritchard bahwa “to change behaviour you must understand 
motivation the process that determines how people behave”. 
Berbeda dengan motivasi turis , motivasi warga  lokal pada awalnya 
yaitu  motivasi untuk menerima tamu. Tamu dalam tradisi warga  lokal di banyak 
negara termasuk di negara kita  sangat dihargai statusnya, dan ini juga dibuktikan dengan 
disiapkannya bentuk tarian khusus dan acara khusus lainnya untuk menyambut tamu di 
hampir seluruh area  di negara kita .  
Pada tahap selanjutnya ketika warga  melihat ada peluang ekonomi yang besar 
dari kunjungan turis  ini , maka orientasi warga  lokal terletak pdaa segi 
ekonomi, yaitu seberapa besar mereka dapat memperoleh keuntungan dari kehadiran para 
turis  ini. Ketika ini yang diperlukan , yang menjadi tujuan utama yaitu  pencapain 
besaran jumlah turis  dan besaran pembelanjaan yang dapat dikeluarkan oleh 
turis  untuk mereka. Pada tahap ini, produk turis  menjadi sebuah komoditas 
yang sangat rendah nilainya karena produk menyesuaikan selera turis . Ini bahkan 
terjadi pada komersialisasi produk-produk yang bersifat sakral setempat, seperti jenis 
tarian khusus yang hanya ditarikan pada saat-saat tertentu namun menjadi dikemas menjadi 
tarian yang dapat dilihat setiap saat oleh turis . Bahkan, tidak jarang warga  
merelakan aset fisiknya untuk pembangunan fasilitas pariwisata yang dimiliki oleh investor 
dari luar. 
Ketika warga  menjadi semakin “dewasa”, maka mereka sebenarnya semakin 
menginginkan kemandirian mereka. Motivasi mereka kemudian akan berupa motivasi 
untuk saling berbagi dan mendapatkan respek yang sama dari turis . Mereka 
kemudian memposisikan dirinya bukan sebagai pelayan, namun lebih pada kesetaraan dan 
mereka melayani turis  secara profesional dan proporsional. Mereka juga kemudian 
   62 
mmemerlukan  pengakuan atas karya mereka, atas kreativitas mereka, dan mereka 
mengharapkan pula turis  dapat memberi  pengakuan pula atas produk yang 
mereka hasilkan. Komunitas jenis ini yaitu  komunitas yang diharapkan, komunitas yang 
dapat mendorong terbentuknya penghargaan atas karya mereka, dan bukan sebaliknya 
sebagai komunitas “tukang jahit” yang sekedar menerima pesanan keinginan pasar, karena 
warga  juga menginginkan penghargaan atas siap mereka, dan atas karya mereka. dan 
ketika motivasi (kebutuhan) turis  untuk aktualisasi diri bertemu dengan kebutuhan 
warga  lokla untuk hal yang sama, maka jenis wisata yang dihasilkan yaitu  wisata 
yang mampu memberi  pengkayaan diri baik bagi turis  maupun bagi warga  
lokalnya. Pernyataan ini menjadi penting bahwa di samping turis , unsur warga  
dalam pembangunan pariwisata itu sangat penting, sehingga ia menjadi unsur utama dalam 
konsep pariwisata yang berkelanjutan. Dalam konsep ini, warga  bukan hanya sebagai 
kelompok yang sekedar menerima manfaat, namun mereka juga harus dapat menjadi 
kelompok yang mampu memberi  arah bagi pembangunan pariwisata di area nya. jadi, 
tujuan pemberdayaan warga  bukan hanya dalam kerangka mobilisasi, namun harus 
lebih bersifat partisipatif. warga  juga harus dapat menjadi bagian dari pemecahan 
masalah, dan konsep pembangunan pariwisata berbasis warga  harus menganut konsep 
“Think locally, act globally” (berfikir lokal untuk beraksi secara global). 
Dalam buku ini tidak berusaha  untuk mendiskusikan persamaan dan perbedaan 
antar teori motivasi yang ada. Namun, buku ini lebih berusaha  untuk melakukan 
investigasi terhadap beberapa pemikiran yang berkembang di antara para ahli. Terpenting 
yang ingin disampaikan dalam tulisan ini yaitu  melihat bagaimana keterkaitan sebuah 
motivasi terhadap penyediaan produk, sebuah hal yang diperlukan  secara operasional di 
lapangan dalam pengembangan sebuah destinasi.  Mengingat bahwa pariwisata merupakan 
gejala dari pergerakan manusia secara temporer dan spontan di dalam rangka memenuhi 
kebutuhan dan keinginan tertentu. Gejala-gejala ini  mendorong dan menumbuhkan 
kegiatan-kegiatan dalam bidang konsumsi dan produksi barang dan jasa-jasa yang 
diperlukan oleh turis . Timbulnya keinginan turis  ini  biasanya timbul 
karena pengaruh kondisi dan sifat-sifat lingkungan dimana turis  ini  berada. 
Kebutuhan atau keinginan ini kadang-kadang sangat mendalam. Misalnya : keinginan 
untuk mendapatkan pengalaman baru, keinginan untuk melepaskan diri dari kekangan-
kekangan dan lain-lain. 
Faktor-faktor fisik lingkungan biasanya mempengaruhi langsung “Sikap” dari 
turis  dan menumbuhkan motivasi tertentu. Motivasi ini merupakan dasar penyebab 
   63 
dari timbulnya kegiatan turis  yang sering disebut dengan dengan “Motif”  yakni 
motif perjalanan. Motif merupakan perwujudan konkrit dari keinginan-keinginan yang 
harus dipenuhi. Sebagai contoh : kehidupan santai, yaitu keinginan yang disebabkan oleh 
akibat kelelahan badan, keresahan jiwa dan tekanan hidup di kota. 
 Motivasi merupakan faktor penting bagi calon turis  di dalam mengambil 
keputusan mengenai area  tujuan wisata yang akan dikunjungi. Calon turis  akan 
mempersepsi area  tujuan wisata yang memungkinkan, di mana persepsi ini dihasilkan 
oleh preferensi individual, pengalaman sebelumnya, dan informasi yang didapatkannya. 
Motivasi perjalanan wisata mengalami evolusi, sejalan dengan perkembangan pariwisata 
itu sendiri.   
 Pada hakekatnya aspek motivasi yaitu  aspek yang ada  pada diri turis . 
Untuk menimbulkan motivasi sangat tergantung pada diri pribadi turis  yang 
berkaitan dengan umur, pengalaman, pendidikan, emosi, kondisi fisik dan psikis 
 Pada umumnya tujuan utama turis  untuk berwisata yaitu  mendapat 
kesenangan. Namun turis  modern pada akhir-akhir ini selama perjalanan berwisata 
ingin meraih beberapa manfaat. Ada dua faktor penting yang memotivasi seseorang untuk 
melakukan kegiatan berwisata, yaitu : 
a. Faktor Pendorong (push factors) 
 Faktor yang mendorong seseorang untuk berwisata yaitu  ingin terlepas (meskipun 
hanya sejenak) dari kehidupan yang rutin setiap hari, lingkungan yang tercemar, 
kecepatan lalu lintas dan hiruk pikuk kesibukan di kota.  
b. Faktor Penarik (pull factors) 
 Faktor ini berkaitan dengan adanya atraksi wisata di area  atau di tempat tujuan 
wisata. Atraksi wisata ini dapat berupa kemashuran akan objek, tempat-tempat 
yang banyak diperbincangkan orang, serta sedang menjadi berita. Dorongan 
berkunjung ke tempat teman atau keluarga atau ingin menyaksikan kesenian serta 
pertandingan olah raga yang sedang berlangsung juga menjadi daya tarik di area  
tujuan wisata. 
 Faktor pendorong dan penarik ini sesungguhnya merupakan faktor internal dan 
eksternal yang memotivasi turis  untuk mengambil keputusan untuk melakukan 
perjalanan wisata. Faktor pendorong umumnya bersifat sosio-psikologis sedangkan faktor 
penarik merupakan destination-specific attributes. Adanya faktor pendorong 
memicu  seseorang ingin melakukan perjalanan wisata dan adanya berbagai faktor 
    
penarik yang dimiliki oleh area  tujuan wisata akan memicu orang ini  memilih 
area  tujuan wisata tertentu. 
faktor pendorong bagi seseorang untuk melakukan perjalanan wisata antara lain sebagai 
berikut : 
a) Escape. Ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan atau 
kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari. 
b) Relaxation. Keinginan untuk penyegaran yang juga berkaitan  dengan motivasi 
untuk escape. 
c) Play. Ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan yang merupakan 
pemunculan kembali dari sifat kekanak-kanakan dan melepaskan diri sejenak dari 
berbagai urusan serius. 
d) Strenghthening family bonds. Ingin mempererat hubungan kekerabatan. Keakraban 
hubungan kekrabatan ini juga terjadi diantara anggota keluarga yang melakukan 
perjalanan bersama-sama, karena kebersamaan sangat sulit diperoleh dalam suasana 
kerja sehari-hari di negara industri. 
e) Prestige. Untuk menunjukkan gengsi, dengan mengunjungi destinasi yang 
menunjukkan kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk 
meningkatkan status atau derajat sosial. 
f) Social interaction. Untuk dapat melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat atau 
dengan warga  lokal yang dikunjungi  
g) Romace. Keinginan untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa memberi  
suasana romantis atau untuk memenuhi kebutuhan seksual khususnya dalam 
pariwisata seks. 
h) Educational opportunity. Keinginan untuk melihat sesuatu yang baru, mempelajari 
orang lain dan atau area  lain atau mengetahui kebudayaan etnis lain. Ini merupakan 
pendorong yang dominan dalam pariwisata 
i) Self fulfillment. Keinginan untuk menemukan diri sendiri, karena diri sendiri biasanya 
bisa ditemukan pada saat kita  menemukan area  atau orang yang baru 
j) Wish-fulfillment. Keinginan untuk merealisasikan mimpi-mimpi yang lama di cita-
citakan sampai mengorbankan diri dengan cara berhemat, agar bisa melakukan 
perjalanan. 
 , faktor penarik seseorang untuk melakukan 
perjalanan wisata, antara lain : 
a) Location climate 
    
b) National promotion 
c) Retail advertising  
d) Wholesale marketing  
e) Special events 
f) Incentive schemes  
g) Visiting friends 
h) Visiting relatives 
i) Tourist attractions 
j) Culture 
k) Naturan environment and man made environment 
 
 Sebagai salah satu contoh di Bali bahwa faktor penarik turis  melakukan 
kunjungan ke area  tujuan wisata yaitu karena keunikan budaya dan adat istiadat 
warga  lokal, sehingga adanya rasa ingin tahu turis  di dalam menikmati akan 
keunikan budaya ini . Berikut salah satu gambar yang mengilustrasikan ketertarikan 
turis  mengunjungi area  tujuan wisata di Bali.  
 Pada dasarnya seseorang melakukan perjalanan dimotivasi oleh beberapa hal, 
motivasi-motivasi ini  dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar sebagai 
berikut : 
    
a) Physical or physiological motivation yaitu motivasi yang bersifat fisik atau 
fisiologis, antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam 
kegiatan olahraga, bersantai dan sebagainya 
b) Cultural motivation yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan 
kesenian area  lain. Termasuk juga ketertarikan akan berbagai objek tinggalan 
budaya. 
c) Social or interpersonal motivation yaitu motivasi yang bersifat sosial, seperti 
mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang 
dianggap mendatangkan gengsi (prestige), melakukan ziarah, pelarian dari situasi 
yang membosankan dan seterusnya. 
d) Fantasy motivation yaitu adanya motivasi bahwa di area  lain seseorang akan bisa 
lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukkan dan yang memberi  kepuasan 
psikologis 
 
3.1 Teori Motivasi dalam Pariwisata 
 Ada beberapa teori yang sangat mendukung muncul adanya suatu motivasi 
seseorang untuk melakukan suatu kegiatan kepariwisataan, seperti : 
a. Teori Motivasi oleh Mcintoch,Goeldner, dan Ritchie (1995) 
(1). Motivasi untuk memenuhi kebutuhan fisik 
Motivasi yang berkaitan  dengan penyegaran tubuh dan pikiran, tujuan kesehatan, 
olahraga dan bersenang-senang. Motivasi ini berkaitan  dengan segala kegiatan yang 
berfungsi mengurangi segala ketegangan. 
(2). Motivasi untuk mengenal budaya 
Motivasi ini diindentifikasikan dengan keinginan untuk melihat dan mengetahui lebih 
banyak tentang budaya negara lain baik itu tari-tariannya, cara berpakaian, musik, 
kesenian, cerita rakyat, dan sebagainya. 
(3). Motivasi untuk berkaitan  dengan orang lain. 
Keinginan untuk bertemu dengan orang-orang baru, mengunjungi teman dan keluarga 
jauh, dan mencari pengalaman baru yang berbeda. Berwisata dengan tujuan untuk 
melepaskan diri dari hubungan yang rutin dengan para teman dan tetangga dimana 
mereka berasal. 
(4). Motivasi untuk memperoleh status dan prestise 
Termasuk didalamnya keinginan untuk mengenyam pendidikan berkelanjutan (contoh: 
pengembangan diri, pemenuhan ambisi). Motivasi-motivasi ini dikaitkan dengan 
    
keinginan seseorang agar mereka dihargai, dihormati dan dikagumi didalam rangka 
untuk memenuhi ambisi pribadi. 
 
b. Teori motivasi oleh Plog (1974). Ada tiga hal yang disebutkan yaitu: 
(1) Psychocentric 
Diambil dari kata psyche yang artinya self-centered, dimana persepsi individu 
terpusat pada dirinya sendiri. Individu ini sangat jarang berkeinginan untuk 
mengambil resiko. Individu ini cenderung konservatif dalam melakukan perjalanan 
wisata hanya memilih area  wisata yang aman dan pada umumnya area  wisata 
ini  mereka kunjungi berkali-kali 
(2) Allocentric 
Individu ini biasanya berpetualang dan termotivasi untuk menemukan area  
wisata yang baru, dan mereka sangat jarang kembali ke tempat yang sama sampai 
dua kali. 
(3) Midcentric 
 Gabungan antara psychocentric dengan allocentric 
 
Selain teori motivasi di atas, motivasi perjalanan seseorang dipengaruhi oleh faktor 
internal turis  itu sendiri (intrinsic motivation) dan faktor eksternal (extrinsic 
motivation). Secara intrinsik, motivasi terbentuk karena adanya kebutuhan dan/atau 
keinginan dari manusia itu sendiri, sesuai dengan teori hirarki kebutuhan Maslow. Konsep 
Maslow tentang hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan 
keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan prestise, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. 
Sedangkan motivasi ekstrinsik yaitu  motivasi yang terbentuknya dipengaruhi oleh faktor-
faktor eksternal, seperti norma sosial, pengaruh atau tekanan keluarga, dan situasi kerja 
yang terinternalisasi, dan kemudian menjadi berkembang menjadi kebutuhan psikologis.  
  
3.2 Determinan turis  Dalam Melakukan Perjalanan Wisata. 
Untuk melakukan perjalanan wisata banyak faktor yang bisa mempengaruhi orang. 
Beberapa faktor ini  yaitu  sebagai berikut. 
1. Gaya Hidup (Lifestyle), yang meliputi : (1) Pendapatan dan Pekerjaan; (2) Hak 
Cuti Kerja; (3) Pendidikan dan Mobility; serta  (4) Ras dan Jenis Kelamin;  
    
       2. Siklus Umur (Lifecycle), yang meliputi :(1) Childhood;  (2) Adolescence/ young 
adult;  (3) Marriage;  (4) Empty nesage; dan  (5) Old age. 
(a) Gaya hidup (Lifestyle), merupakan sesuatu nilai yang mahal dalam memenuhi 
kebutuhan seseorang. Semua ini bisa dilihat dari: 
(1) Pendapatan  dan Pekerjaan  
Melakukan perjalanan wisata juga termasuk sesuatu yang sangat mahal. Hal ini 
terlihat dari semakin tingginya pekerjaan atau semakin layaknya pekerjaan yang 
dilakukan seseorang sangat mempengaruhi dan ada kecendrungannya untuk 
melakukan perjalanan wisata. Begitu pula sebaliknya bisa terjadi karena 
pendapatan dan pekerjaan yang tidak memadai. Artinya, jika seseorang tidak 
memiliki pekerjaan, dengan sendirinya keuangan yang dimiliki terbatas atau 
bahkan sangat kurang maka minat berwisata pun menjadi tidak ada. Jadi, orang 
bisa melakukan perjalan bisa tergantung oleh pendapatan dan pekerjaannya.   
          (2)   Hak Cuti Kerja 
Setiap yang bekerja pada suatu departemen atau perusahaan bisa mendapatkan 
cuti kerja. Lamanya cuti itu tergantung kesepakatan antara pengusaha atau 
instansi tempatnya bekerja. Cuti kerja secara tidak langsung berpengaruh 
terhadap kecendrungan seseorang untuk berwisata. Sebaliknya, jika seseorang 
terus bekerja dan banyak memiliki  uang dan sepertinya tidak ada waktu 
luang berwisata, maka kejenuhan dan kebosanan yang akan muncul dan 
mungkin bisa menimbulkan stres. 
           (3)  Pendidikan dan Mobilitas 
Tingkat pencapaian pendidikan juga faktor yang mempengaruhi kecendrungan 
orang melakukan perjalanan wisata. Oleh karena pendidikan dapat membuat 
seseorang terbuka wawasannya dan pada akhirnya menstimulasi keinginan 
seseorang untuk berwisata sesuai tujuan. Sedangkan keberadaan mobilitas juga 
bisa mempengaruhi kecendrungan orang berwisata, khususnya kegiatan 
pariwisata domestik. Kepemilikan sarana transportasi (mobil) misalnya, bisa 
membuat berwisata menjadi lancar, nyaman, mudah dan menyenangkan karena 
akan dapat memilih ke mana arah tujuan berwisata. 
(4) Ras  dan Jenis Kelamin 
Banyak survey membuktikan bahwa selama ini ras kulit putih yang berjenis 
kelamin laki-laki paling banyak melakukan perjalanan wisata. namun, ada 
kecendrungan sekarang ini, orang Asia pun banyak yang melakukan perjalanan 
    
wisata, seperti Jepang. Di Jepang, wanita kantoran merupakan pangsa pasar 
yang sangat penting sebagai promosi pariwisata. 
 
      (  b)  Siklus Umur (lifecycle) 
Seseorang berwisata juga bisa dilihat dari segi umur. Umur juga sangat 
berpengaruh terhadap orang yang akan berwisata. Rincian tentang siklus umur 
orang berwisata dapat diuraikan berikut ini. 
1)  Childhood, biasanya umur ini keputusan untuk berwisata diambil oleh orang 
tuanya. Hal ini lebih banyak terpengaruh pada biaya dan tanggung jawab orang 
tua kepada anak. namun, pada umur ini kegiatan berwisata lebih dominan 
dapat dilakukan oleh anak-anak itu sendiri, khususnya wisata domestik, seperti 
kunjungan wisata ke Bali oleh anak-anak SMP dari Jawa atau sebaliknya anak-
anak SMP dari Bali berkunjung ke Jawa. 
2) Adolescense (Young Adult). Tahap ini merupakan tahap di mana ada masa 
seseorang ingin bebas dari orang tua dan keluarganya. Juga merupakan tahap di 
mana remaja mulai bersosialisasi dan menemukan identitas. Mereka biasanya 
memilih area  tujuan wisata yang murah. Di sini area  tujuan wisata tidak 
begitu penting dan yang utama yaitu  kebebasan. Artinya, bebas dari orang tua, 
dan keluarga. 
3) Marriade.Pada tahap ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 
      Pertama, menikah tanpa anak atau biasa disebut honeymooner dan kedua menikah 
dengan anak. Pada tahap menikah tanpa anak, biasanya individu dalam hal 
pendapatan sudah termasuk mapan (lebih dari cukup) dan waktu luang pun lebih 
banyak. Begitu juga dalam memilih wisata akan berbeda dengan pasangan yang 
menikah dan sudah memiliki  anak. Secara umum sebagai pasangan yang 
menikah dan memiliki  anak biasanya akan memilih tempat wisata domestik 
yang tidak begitu jauh. Hal ini mungkin karena akan terjadi pengeluaran 
bertambah dan juga tanggung jawab yang ada. 
 
4) Empty Nest Stage yaitu  tahapan di mana para orang tua mulai ditinggalkan oleh 
anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa. Tanggungan terhadap anak sudah 
mulai berkurang bahkan sudah tidak ada. Kegiatan atau waktu untuk berwisata 
menjadi lebih banyak karena tidak ada lagi tanggungan. Kesempatan ini biasanya  
dimanfaatkan oleh para orang tua untuk mengambil liburan yang panjang untuk 
berwisata lebih jauh dari tempat asalnya dengan waktu yang cukup lama. 
5) Old age. Pada tahapan ini kegiatan berwisata mulai berkurang, antara lain 
disebabkan oleh keuangan atau gaji pensiunan yang tidak begitu banyak, 
kesehatan yang tidak mendukung, dan juga tidak adanya pasangan yang diajak 
berwisata sehingga biasanya melakukan wisata hanya di tempat-tempat 
menginap. 
Disamping faktor ini  di atas, faktor-faktor dominan yang menggerakkan orang-orang 
melakukan perjalanan turis , antara lain : 
1. ”Three ”T’ Revolution 
a. Transportation Technology 
Kemajuan teknologi penerbangan, selain bertambahnya kecepatan pesawat terbang, 
kapasitas tempat duduk pun menjadi semakin besar. 
b. Telecomunication 
Munculnya teknologi komputer digital yang dapat menciptakan One Touch System 
memberi kemudahan orang-orang memperoleh informasi dari semua penjuru dunia.  
c. Tourism and Travel  
Terjadinya kemajuan yang dialami kedua ”T” ini  di atas, menciptakan Mass 
tourism, yang mampu menggerakkan orang-orang dalam ruang lingkup global 
untuk melakukan perjalanan wisata.  
2. Hybrid 
Pada waktu nanti, orang-orang akan melakukan perjalanan wisata dengan 
memanfaatkan pola baru. Peserta MICE (Meeting, Incentive, Convention dan 
Exhibition) akan membawa keluarga, karena perjalanan bisnisnya digabung dengan 
kesempatan liburan keluarga. 
3. Leisure time 
 Semakin panjang waktu senggang yang tersedia dapat dipakai  untuk berlibur. 
4. Descretionary Income 
Meningkatnya tabungan keluarga sebagai akibat meningkatnya jumlah uang yang 
kalau dikeluarkan tidak akan mengganggu keperluan keluarga sehari-hari.  
5. Paid Vacations 
Sekarang ini semakin banyak perusahaan memberi  tunjangan berupa uang cuti 
kepada karyawan untuk keperluan berlibur. 
6. Status and Prestige Motivations 
    
Motivasi ini bersifat sangat emosional, karena mendorong seseorang untuk menjaga 
prestisenya.  
  Faktor-Faktor (Determinan) yang memicu Seseorang Memutuskan       
Untuk tidak Melakukan Perjalanan Wisata. 
 
Ada beberapa alasan bagi orang–orang tertentu yang tidak dapat melakukan 
perjalanan secara intensif atau sama sekali tidak dapat melakukan perjalanan. Alasan-
alasan yang merupakan faktor tidak atau sama sekali tidak melakukan perjalanan antara 
lain disebabkan : 
1. Alasan biaya untuk melakukan perjalanan 
 Setiap manusia selalu dihadapkan kepada masalah keuangan dan melakukan 
perjalanan selalu memerlukan tersedianya uang. Untuk melakukan perjalanan wisata 
(berpergian) ini memerlukan uang banyak. Selain itu, ada pertimbangan lain atau 
sesuatu yang lebih penting dan mendesak yang harus diutamakan daripada untuk 
melakukan perjalanan wisata. 
  
2. Alasan ketiadaan waktu 
Halangan ketiadaan waktu, pada umumnya merupakan alasan bagi kebanyakan orang 
yang tidak dapat meninggalkan pekerjaannya, profesinya atau kegiatan usahanya. 
Faktor waktu juga sangat penting diperhitungkan jika akan melakukan perjalanan 
wisata. Tidak adanya ketersediaan waktu yang cukup untuk berwisata menjadikan 
perjalanan wisata terganggu. Untuk itu, berwisata memerlukan waktu luang yang 
panjang dan banyak. 
3. Alasan kondisi kesehatan 
Gangguan kesehatan atau kelemahan fisik seseorang sering merupakan hambatan atau 
halangan untuk melakukan perjalanan. Keberadaan fisik turis  (seperti : lumpuh, 
kesehatan memburuk) yaitu  salah satu faktor alasan penting mengapa orang tidak 
berwisata. Pada umumnya penyakit dalam seperti jantungan, cacat mental, sakit jiwa 
dan sejenisnya sangat menghambat seseorang melakukan perjalanan.  
4. Alasan keluarga  
Keluarga yang memiliki  anak-anak yang masih kecil dan banyak, sering merupakan 
hambatan atau halangan bagi seseorang yang melakukan perjalanan, yang disebabkan 
oleh adanya beban dan kewajiban untuk memelihara anak-anaknya. 
5. Alasan tidak ada minat 
    
Yang menimbulkan ketiadaan minat seorang untuk melakukan perjalanan, antara lain 
karena kurangnya pengetahuan tentang area -area  tujuan wisata yang menarik, 
yang disebabkan kelangkaan dan kurangnya informasi.  
6. Alasan kebijakan pemerintah  
Adanya keputusan pemerintah tentang visa dan ijin berkunjung dari suatu negara juga 
bisa sebagai penghalang utama berwisata. Oleh karena masih ada negara yang sering 
melarang warganya berkunjung ke suatu negara tertentu. Apalagi dari turis  itu 
sendiri sudah tidak ada keinginan untuk berwisata karena ketakutan bertemu dengan 
orang asing ( xenophobia ) maka kegiatan berwisata itu menjadi tidak ada. 
 
 
 
 
 Diakui bahwa pariwisata merupakan salah satu industri kecil dalam perekonomian 
bangsa dan ekonomi warga  lokal. Secara ekonomi, pariwisata akan sangat 
menggantungkan bagi warga  jika didukung oleh kualitas lingkungan, destinasi yang 
bersih, iklim yang bersahabat, warga  yang ramah, dan keselarasan multikultural. 
Tetapi tidak jarang diantara destinasi mengalami kesulitan dalam mempertahankan 
posisinya sebagai tujuan wisata pilihan, akibatnya jumlah kunjungan ke destinasi dan 
permintaan muncul menawarkan harga yang lebih rendah dengan fasilitas berkualitas 
tinggi. Dalam kondisi seperti inilah para pengelola menyadari pentingnya meningkatkan 
pemahaman faktor loyalitas turis  sebagai informasi berharga bagi keberlanjutan 
usaha pariwisata. Keberlanjutan destinasi bergantung pada banyak tidaknya kunjungan 
yang berulang karena dari segi biaya jauh lebih murah dibandingkan menarik turis  
baru, hubungan yang kuat antara loyalitas turis  dan profitabilitas yaitu  realitas 
penting dalam keberlanjutan bisnis industri pariwisata. 
 Siklus kepuasan, loyalitas, dan nilai pelanggan (turis ) merupakan salah satu 
konsep yang paling relevan dibahas dalam bidang pemasaran pariwisata, pemahaman 
turis  yang sempurna merupakan cara yang paling memungkinkan untuk membentuk 
dan meningkatkan kepuasan dan loyalitas, serta memberi  nilai yang superior bagi 
turis . Tidak ada yang berani membantah bahwa tumbuh tidaknya industri pariwisata 
tergantung pada tingkat kepuasan, jumlah pembelian (lama tinggal), mendorong kunjungan 
ulang dan rekomondasi dari mulut ke mulut kepada keluarga, teman kerja, dan lainnya. 
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap loyalitas destinasi dijelaskan oleh kekuatan daya 
tarik destinasi dalam menarik jumlah kunjungan sebelumnya, keakraban dengan destinasi, 
persepsi kualitas dan pelayanan, persepsi nilai, serta pengalaman turis  terhadap 
destinasi tertentu dianggap sebagai prediktor dominan dalam memilih destinasi yang sama 
di masa depan. Pemodelan faktor-faktor ini  memungkinkan marketer (pemasar) 
memahami perilaku wisata dan kausalitas interaksinya lebih baik, dengan 

mempertimbangkan sifat  personal turis  (sosiodemografis dan motivasi) yang 
berpotensi menciptakan kepuasan dan loyalitas.  
 Dalam konteks pemasaran, perilaku turis  berkaitan dengan image, sikap, 
persepsi, kepuasan, pilihan, motivasi, pengambilan keputusan, dan sebagainya yang 
berkaitan  dengan pembelian ulang atau perilaku kunjungan ulang, kepuasan turis  
memainkan peran penting dalam struktur model perilaku turis . Berbagai kajian 
empiris pemasaran dan pariwisata membenarkan adanya hubungan yang kuat antara 
kepuasan turis  secara keseluruhan dan niat untuk melakukan kunjungan ulang. 
Dengan demikian kepuasan turis  lebih besar mungkin memicu  niat yang lebih 
besar untuk membeli kembali dan kemudian merekomondasikan untuk setiap tahap model 
perilaku turis  (motivasi, kepuasan, niat, dan perilaku revisiter). 
 Prinsip utama kepuasan yaitu  perbandingan antara apa yang diharapkan dengan 
tingkat kinerja yang dirasakan oleh turis . Artinya kepuasan itu merupakan 
perbandingan antara kinerja dan harapan, jika kinerja produk yang dirasakan lebih tinggi 
dari harapan maka turis  akan puas atau senang. Sebaliknya jika kinerja yang 
dirasakan lebih rendah dari harapan, turis  akan kecewa atau tidak puas 
(discontentedness/unsatisfaction). Jika turis  datang dengan harapan yang kurang, 
maka turis  akan semakin puas, sebaliknya mereka akan kecewa.  
 Dalam pariwisata, dinamika akan memberi pengalaman dan kepuasan berbeda 
sesuai dengan situasi objek wisata serta apa yang turis  lakukan di destinasi. Oleh 
karena itu, ukurannya yaitu  totalitas komentar para turis  pada setiap aspek kualitas 
destinasi, bagaimana penilaiannya tentang kualitas kinerja destinasi, bagaimana turis  
itu diperlakukan, serta bagaimana perasaan mereka saat di destinasi.  
 Para ilmuan marketing dalam menjelaskan kepuasan turis  sangat bervariasi, 
hal ini menunjukkan empat aspek penting dalam membentuk kepuasan turis  : (1) 
respon kognitif; (2) respon emosional; (3) fokus respon berkaitan dengan harapan terhadap 
produk dan pengalaman konsumsi; serta (4) respon terhadap biaya yang terjadi dalam 
setiap tahapan, harapan, dan respon. 
  
 Dengan demikian bahwa kepuasan turis  merupakan ringkasan respons afektif 
atau kognitif dari berbagai intensitas yang diperkirakan akan dialami secara eksplisit 
tergantung pada konteks kepentingan, waktu yang spesifik, dan durasi yang terbatas.  
   Proses pembentukan kepuasan turis  terdiri 
dari berbagai faktor seperti : produk wisata, instrumen evaluasi, dan hasil dari yang mereka 
terima (produk dan jasa). Berikut dijelaskan beberapa variabel dari masing-masing faktor 


Keterlibatan turis  dalam mengevaluasi berbagai faktor yang secara signifikan akan 
mempengaruhi kepuasan mereka. Adapun faktor-faktor ini , yaitu : 
a) Keramahan warga  lokal (host) dan sikap karyawan terhadap turis . 
Kepuasan turis  tidak hanya datang dari destinasi yang indah, tetapi juga dari 
pertemuannya dengan warga  lokal dan karyawan penyedia layanan pariwisata. 
Persepsi warga  setempat (host) negatif terhadap turis  dapat memicu 
PRODUK
INSTRUMEN EVALUASI
HASIL 
•Elemen Tangible
•elemen jasa
•Peran intermediasi dan agent  
•Persepsi pengalaman berwisata
•Sikap dan harapan turis  
•Faktor-faktor uncontrollable
•Kepuasan turis  secara 
keseluruhan 
• Kepuasan turis  secara 
parsial 
•ketidakpuasan 
  
ketidakpuasan dan menghalangi turis  kembali. Sebaliknya persepsi 
warga  lokal positif dapat memotivasi turis  untuk mengunjungi destinasi 
yang sama di destinasi. Interaksi turis  dengan warga  lokal (host) 
menjadi elemen penting dalam kepuasan liburan karena warga  lokal yaitu  
titik kontak pertama untuk turis  dan tetap berkaitan  secara langsung 
dalam seluruh liburan mereka. Pengalaman interpersonal yang autentik antara host 
dan guest akan menciptakan kenyamanan psikologis turis . Komunikasi 
turis  dengan warga  lokal dan menyedia layanan dapat menumbuhkan 
empati dan perasaan aman dapat mempengaruhi kenikmatan lingkungan wisata dan 
keputusan dalam memilih destinasi masa depan mereka.  
b) Kualitas pelayanan yang berkaitan dengan kesopanan, keramahan, efisiensi, dan 
ketanggapan personal pelayanan terhadap permintaan dan keluhan turis . 
Persepsi positif karyawan baik verbal dan non-verbal dalam interaksinya dengan 
guest memiliki peran penting dalam pembentukan kepuasan turis . Oleh 
karena itu, penting untuk dicatat bahwa tidak peduli seberapa bagus destinasi yang 
ditawarkan atau bagaimanapun briliannya rencana pemasaran, itu semua akan sia-
sia jika ada kerusakan pada bagian yang paling kritis dalam layanan first 
impression (bandara) atau front office (karyawan bagian depan) sebagai titik sentuh 
pertama di turis  atau guest melakukan kontak dengan perusahaan dan guide. 
c) Akomodasi dan fasilitas sebagai faktor signifikan mempengaruhi kepuasan 
turis , baik secara fisik maupun psikologis. Fasilitas akomodasi yang nyaman 
merupakan instrumen kualitas pengalaman turis . Demikian juga rangkaian 
produk akomodasi (misalnya makanan) akan membentuk kualitas pengalaman 
berwisata, bahkan mungkin menjadi instrumental terpenting dalam melahirkan 
kepuasan turis . turis  dapat meletakkan dasar, bentuk, sifat, pengalaman 
liburan sejauh kualitas perjalanan, kesehatan mental, dan kebugaran mereka, oleh 
karenanya kemampuan beradaptasi, belajar, dan menikmati destinasi tergantung 
pada apa yang mereka makan. Semua suka cita, sensasi, dan pengalaman liburan 
mungkin akan hilang jika turis  sakit karena makanan yang dimakan atau 
kesal karena kualitas layanan yang rendah. Pihak berwenang harus fokus pada 
penyampaian kualitas makanan dengan layanan yang penuh perhatian, 
berpengetahuan, serta keramahan hidangan yang lezat, dan menyehatkan dengan 
harga wajar.   
d) Budaya perilaku konsumsi produk pariwisata dipandang sebagai fenomena sosial 
yang pluralistik, integratif, dan multidimensional. Salah satu aspek budaya, 
misalnya bahasa yang dapat membantu memfasilitasi komunikasi antara tuan 
rumah (host) dan tamu (guest) mampu mempromosikan destinasi sebagai tempat 
yang lebih baik untuk dikunjungi. Motivasi turis  (lintas budaya), misalnya 
kolektivitas-individualitas, tingkat ketidakpastian, maskulinitas/feminitas, serta 
deferensiasi budaya antar wilayah/negara akan mempengaruhi pengalaman mereka 
(di destinasi, di hotel, dan di perjalanan), perbedaan kepuasan mereka. Oleh karena 
itu, penelitian pasar turis  dapat membantu manajemen dalam membuat 
kebijakan layanan produk wisata yang berbeda untuk masing-masing pasar. 
Dalam konteks budaya, tingkat kepuasan cenderung lebih tinggi dalam budaya 
yang sama (kalaupun berbeda, perbedaan itu kecil dan justru menjadi tambahan) 
dalam interaksi. Karena konteks budaya yang lebih dekat antara tamu dan tuan 
rumah. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa kepuasan turis  akan lebih 
tinggi karena kualitas komunikasi (bahasa) lisan dan tertulis antara tuan rumah. 
Kepuasan turis  lebih rendah pada budaya yang sangat berbeda dan sulit atau 
tidak bisa dikompatibelkan. Ketika tingkat kepuasan turis  dari negara yang 
berbeda karena perbedaan budaya mereka dengan budaya tuan rumah, maka 
memungkinkan kepuasan turis  itu ditemukan secara parsial. 
e. Harga (biaya moneter) yang berkaitan dengan penilaian kepuasan turis  dan 
tidak tahu apakah tawaran destinasi lain bisa luar biasa. Destinasi yang gagal dalam 
pengelolaan kepuasan turis  dan tidak menyadari kelemahan relatif produk 
mereka terhadap destinasi lain dalam kategori yang sama, maka perusahaan akan 
cenderung kehilangan pasar dan pendapatan. Identifikasi dan perbandingan 
mendalam atas kesenjangan kinerja yang kompetitif diantara destinasi dalam hal 
kekuatan dan kelemahan serangkaian atribut destinasi. Jika dimensi pariwisata di 
suatu area , dimana kinerjanya dinilai lebih rendah dari destinasi lain (misalnya 
akomodasi, jasa bandara, komunikasi, ketenangan, fasilitas, kualitas pantai, dan 
lingkungan). Ini merupakan pertanda kelemahan dan ancaman, mendorong 
turis  tidak kembali di masa depan. Sebaliknya, sebuah area  wisata yang 
kinerjanya dinilai lebih dari yang lain (misalnya perhotelan, harga, nilai, dan 
transportasi) menjadi kekuatan destinasi. Setiap aspek kekuatan destinasi akan 
menciptakan kepuasan yang memiliki dampak lanjutan dalam tiga hal : (1) 
kepuasan turis  yang tinggi akan menciptakan rekomondasi produk dan jasa  
secara getok tular (dari mulut ke mulut) kepada keluarga dan teman-teman, yang 
pada gilirannya membawa turis  baru; (2) mendorong kunjungan ulang, 
menyediakan sumber penghasilan tetap tanpa perlu tambahan biaya pemasaran; (3) 
mengurangi keluhan, mengurangi pembayaran kompensasi yang mahal, serta 
meningkatkan reputasi dan favorabilitas, mengurangi pembayaran kompensasi yang 
mahal, serta meningkatkan reputasi dan favorabilitas destinasi 
Kinerja dimensi pariwisata yang dinilai sama dengan destinasi lain (misalnya 
kualitas makanan, kualitas pelayanan, keamanan, air, olah raga, kenyamanan, dan 
hiburan) dapat merupakan ancaman sekaligus peluang bagi perusahaan, dalam 
jangka panjang kemampuan kompetitif mungkin menjadi sulit kecuali otoritas 
destinasi berusaha  menjaga dan memperbaiki kinerja destinasinya untuk 
menciptakan diferensiasi yang lebih jelas.  
f. biaya non moneter dalam model persepsi nilai, persepsi kualitas, dan pengorbanan 
yang dirasakan yaitu  dua driver utama persepsi nilai bagi turis . Secara 
umum, kedua driver itu merupakan instrumen “memberi dan mendapatkan” penting 
dalam komposisi nilai yang dirasakan atau dengan kata lain bahwa persepsi nilai 
layanan sebagian besar ditentukan oleh persepsi kualitas layanan dan pengorbanan. 
Rancangan layanan yang berfokus pada persepsi nilai “get” umumnya persepsi 
biaya non moneter, kualitas dan kepuasan menentukan nilai dan perilaku, sementara 
persepsi nilai “give” umumnya berfokus pada persepsi biaya moneter.  
 Bisa saja peran spesifik persepsi pengorbanan dalam model nilai tidak jelas pada 
industri jasa yang berbeda. Karena efek biaya moneter dan non moneter dari 
pembelian layanan terhadap nilai layanan mungkin berbeda jauh untuk evaluasi 
layanan yang berbeda. Sebagai contoh, peran biaya non moneter nilai tidak bisa 
diharapkan harus sama untuk layanan makanan cepat saji dan layanan paket wisata 
karena waktu dan usaha yang dihabiskan untuk pembelian makanan cepat saji tidak 
sebanding dengan waktu dan usaha yang dihabiskan untuk paket liburan satu 
minggu perjalanan. Dengan demikian, persepsi biaya non moneter dalam evaluasi 
perjalanan paket wisata mungkin memiliki dampak signifikan terhadap persepsi 
nilai keseluruhan perjalanan.  
 Loyalitas secara harfiah diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap 
suatu objek. “Loyalitas menunjukkan kecenderungan turis  untuk memakai  suatu 
merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi” . Ini berarti 
loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi turis  dan pembelian aktual. 
mengatakan “the long term success of the a particular brand is not based on the number of 
consumer who purchase it only once, but on number who become repeat purchase”. Dalam 
hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumen yang loyal tidak diukur dari berapa banyak dia 
membeli, tapi dari berapa sering dia melakukan pembelian ulang, termasuk di sini 
merekomendasikan orang lain untuk membeli. 
tujuan akhir keberhasilan perusahaan menjalin hubungan relasi dengan turis nya 
yaitu  untuk membentuk loyalitas yang kuat. Indikator dari loyalitas yang kuat yaitu :  
1. Say positive things, yaitu  mengatakan hal yang positif tentang produk yang telah 
dikonsumsi.  
2. Recommend friend, yaitu  merekomendasikan produk yang telah dikonsumsi 
kepada teman  
3. Continue purchasing, yaitu  pembelian yang dilakukan secara terus-menerus 
terhadap produk yang telah dikonsumsi. 
 Mowen dan Minor dalam Tjiptono (2005:387) mendefinisikan “loyalitas sebagai 
kondisi dimana turis  memiliki  sikap positif terhadap suatu merek, memiliki  
komitmen pada merek ini , dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa 
mendatang”. Loyalitas merupakan respon yang terkait erat dengan ikrar atau janji untuk 
memegang teguh komitmen yang mendasari kontinuitas relasi, dan biasanya tercermin 
dalam pembelian berkelanjutan dari penyedia jasa yang sama atas dasar dedikasi maupun 
kendala pragmatis.  
 bahwa loyalitas yaitu : Suatu 
kesediaan turis  untuk melanjutkan pembelian pada sebuah  perusahaan dalam jangka 
waktu yang panjang dan mempergunakan produk atau pelayanannya secara berulang, serta 
merekomendasinya kepada teman-teman dan perusahaan lain secara sukarela. Loyalitas 
merupakan suatu komitmen yang dipegang kuat untuk membeli kembali (rebuy) atau 
kesetiaan yang terus menerus pada suatu produk atau pelayanan yang lebih disukai secara 
konsisten di masa yang akan datang, yang memicu pembelian berulang suatu merek 
atau kumpulan merek yang sama walaupun adanya pengaruh situasi dan usaha-usaha 
pemasaran memiliki potensi yang memicu perilaku mengganti merek produk atau pelayanan . Jadi loyalitas turis  merupakan 
dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang. Untuk membangun 
kesetiaan turis  terhadap suatu produk/jasa yang dihasilkan memerlukan  waktu yang 
lama melalui suatu proses pembelian yang berulang-ulang ini .  
 Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa loyalitas sudah pasti 
dilakukan oleh turis , dimana istilah yang muncul biasanya selalu loyalitas 
turis , bukan loyalitas Konsumen. Hal inilah yang akhirnya membuat perbedaan 
antara turis  (customer) dan konsumen (consumer). Seseorang dapat dikatakan 
sebagai turis  apabila orang ini  mulai membiasakan diri untuk membeli produk 
atau jasa yang ditawarkan oleh produsen.
bahwa: Seorang turis  dikatakan setia atau loyal apabila turis  ini  
menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau ada  suatu kondisi dimana 
mewajibkan turis  membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. 
Upaya memberi  kepuasan turis  dilakukan untuk mempengaruhi sikap turis , 
sedangkan konsep loyalitas turis  lebih berkaitan dengan prilaku turis  daripada 
sikap dari turis . Lebih lanjut, kualitas layanan yang baik berpengaruh terhadap 
loyalitas turis  secara langsung. Maka dapat dikatakan bahwa dimensi kualitas 
layanan yang berupa tangibles, realibility, responsiveness, assurance dan empathy yang 
positif berpengaruh langsung dengan dimensi loyalitas turis  yaitu mengatakan hal 
yang positif (say positive things), memberi  rekomendasi kepada orang lain (recommend 
friend) dan melakukan pembelian terus-menerus (continue purchasing). “Definisi turis  berasal dari kata „custom‟ yaitu did
Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate