kolonial belanda


Benteng VOC di Jepara atau Fort 
Japara , yang oleh masyarakat setempat 
lebih dikenal dengan nama Lodji 
Gunung, terletak di bukit Donorojo, 
Jepara. Benteng itu dibuat oleh VOC 
pada pertengahan kedua abad 17, 
dengan tujuan untuk melindungi aktivi￾tas perdagangan Belanda. Namun 
demikian pendirian benteng VOC di 
Jepara itu, yang bahkan kemudian men￾jadi pusat kekuasaan VOC di Pantai Ti￾mur Laut Jawa (Java Noord Oostkust), 
memiliki kaitan yang erat dengan se￾jarah kerajaan Demak dan Jepara di 
bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat. 
Pada jaman Demak, Jepara meru￾pakan pelabuhan militer kesultanan De￾mak, dan dari Jepara pula ekspedisi mi￾liter laut ke Malaka untuk mengusir 
Portugis dipersiapkan dan diberangkat￾kan. Pada jaman pemerintahan Ratu Ka￾linyamat, pelabuhan Jepara makin 
berkembang menjadi bandar yang besar 
yang mempunyai fungsi baik dalam bi￾dang ekonomi dan militer. Meskipun 
kemudian Jepara dikuasai oleh Mata￾ram Islam, pelabuhan Jepara masih di￾fungsikan sebagai pusat perdagangan 
terutama untuk ekspor beras oleh 
kesultanan Mataram, dan juga mem￾bawahi daerah-daerah pantai lainnya 
seperti Jepara, Gresik, Tuban, Rembang, 
Pati, Kudus, Surabaya, Pasuruan dan 
sebagainya. 
Sampai dasawarsa pertama abad 
ke 18 Jepara yang dilengkapi dengan 
benteng yang megah masih merupakan 
pusat kekuasaan VOC di wilayah pantai 
Timur Laut Jawa. Namun demikian 
fungsi benteng semakin menurun se￾jalan dengan semakin merosotnya ak￾tivitas perdagangan. Sebagai penyebab 
utamanya adalah dipindahkannya pusat 
kekuasaan VOC di wilayah Pantai Ti￾mur Laut Jawa dari Jepara ke Semarang. Sejak saat itu fungsi Jepara dan 
pelabuhan Jepara sebagai pusat 
p e r d a g a n g a n s e m a k i n m e r o s o t . 
Demikian juga keberadaan Fort Japara
menjadi semakin tidak terurus, rusak, 
meskipun puing-puing bekas kemega￾hannya masih bisa disaksikan sampai 
sekarang ini. 
Permasalahan utama yang akan 
dibahas dalam tulisan ini adalah 
mengenai latar belakang dan tujuan 
pembangunan benteng VOC di Jepara. 
Di samping itu juga akan disajikan bukti
-bukti sejarah yang berupa gambaran 
mengenai keberadaan benteng VOC di 
Jepara. 
Keruntuhan Kota-Kota Maritim di 
Jawa dan Munculnya Benteng VOC 
Pembangunan benteng-benteng 
VOC di Nusantara merupakan awal 
dari kolinialisme Barat khususnya Por￾tugis dan Belanda di Nusantara, sebab 
dengan benteng-benteng itu Belanda 
tidak hanya melakukan kegiatan 
perdagangan, tetapi juga melakukan 
ekspansi dan intervensi dengan 
kekuatan militer. Kedatangan bangsa 
Barat pertama di Nusantara misalnya, 
dilakukan dengan penaklukan Malaka 
oleh Portugis pada tahun 1511. Pada 
waktu itu para pelaut dan pedagang 
yang bermukim di Malaka terutama 
terdiri dari suku bangsa Jawa seperti, 
Jepara, Tuban, Gresik dan para peda￾gang Timur asing lainnya. Sebagai salah 
satu reaksi direbut dan dikuasainya Ma￾laka oleh Portugis adalah dilakukannya 
ekspedisi militer dari kesultanan Demak 
dan Jepara dengan tujuan untuk meng￾usir Portugis. Ekspedisi itu pernah di￾lakukan dua kali, yang pertama di 
bawah pimpinan Pangeran Sabrang Lor 
atau juga Pati Unus pada tahun 1512 
dan 1513, dan atas perintah Ratu Kali￾nyamat pada 1551 dan tahun 1574 (de 
Graaf & Pigeaud, 1974: 440). Tujuannya 
tentu saja untuk mengusir Portugis dari 
Malaka. Reaksi lainnya, yang juga di￾warnai oleh alasan sentimen keaga￾maan, para pedagang dari Jawa, India 
dan Timur Tengah dan sebagainya 
menghindar untuk melakukan hu￾bungan dagang dengan orang-orang 
Portugis yang Kristen. Dalam hal ini 
mereka mencari kota-kota pelabuhan 
yang berpenduduk Muslim, antara lain 
ada yang berpindah ke Aceh, Makasar, 
Banten, Sunda Kelapa, Brunai, Johor 
dan kota-kota pelabuhan lainnya di 
sepanjang pantai utara pulau Jawa. Un￾tuk yang disebut terakhir, jatuhnya Ma￾laka tersebut semakin mendorong 
berkembangnya beberapa emporium di 
sepanjang pantai utara Jawa seperti De￾mak, Jepara, Banten, Cirebon, Surabaya, 
dan sebagainya. Artinya bahwa ke￾hadiran Portugis sebagai pesaing utama 
para pedagang Islam di Asia Tenggara 
secara tidak langsung semakin men￾dorong militansi dan spirit orang-orang 
Jawa dalam perdagangan dan pe￾layaran. Akan tetapi pertumbuhan 
ekonomi kerajaan-kerajaan pantai di 
sepanjang pantai utara Jawa itu me￾nimbulkan kecurigaan atau bahkan an￾caman bagi Portugis di Malaka. 
Pada saat yang sama, kota-kota 
pelabuhan atau emporium di sepanjang 
pantai utara Jawa juga terancam oleh 
munculnya pusat kekuasaan baru di 
Jawa yang menggantikan Demak yaitu 
Kasultanan Pajang, setelah meninggal￾nya Sultan Trenggono pada tahun 1546. 
Sultan Trenggono wafat ketika sedang 
memperebutkan kota Pasuruhan. 
Setelah Trenggono wafat, para pengikut 
Sultan Trenggono saling bertempur 
sendiri tidak hanya untuk memperebut￾kan Pasuruhan, akan tetapi juga Demak, 
sehingga banyak rakyat yang meninggal 
dan kapal-kapal perang menjadi hilang. 
Kemunduran Demak ini berimbas pada 
Jepara, tetapi dengan melemahnya para 
pedagang dan pelaut Jawa ini justru 
membuat Portugis mengambil alih 
perdagangan orang-orang Jawa di Ma￾luku, dan orang-orang Moor (Islam), di 
Lautan Hindia. 
Pada waktu itu Sultan Pajang me￾mang mempunyai ambisi untuk mem￾perluas wilayah kekuasaannya, teruta￾ma ke daerah-daerah atau kota-kota 
pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa. 
Motivasi utamanya adalah untuk men-guasai perdagangan ekspor-impor Jawa 
dengan daerah-daerah sebarang melalui 
kota-kota pelabuhan tersebut. Untuk 
mewujudkan citacita-nya itu, Sultan Pa￾jang mulai melakukan ekspedisi militer 
atau penyerangan-penyerangan, dengan 
Kudus dan Demak sebagai korban per￾tamanya. Baru pada tahun 1599 Jepara 
dengan susah payah berhasil di￾t u nd u k ka n. Se lan j ut ny a s et el ah 
Kesultanan Pajang surut, kerajaan Mata￾ram sebagai penggantinya pada awal 
abad XVII melanjutkan melakukan ek￾spansi ke wilayah kota-kota pantai utara 
Jawa. Khusus untuk kesultanan Cirebon 
tidak dihancurkan, tetapi secara ber￾tahap didorong oleh Mataram untuk 
menjadi negara feodal. Kerajaan ini 
akhirnya tertarik dalam orbit kerajaan 
Mataram dan berubah menjadi sebuah 
kerajaan pantai feodal (Sulistiyono, 
1994: 135-139). Sebagai akibat ekspansi 
dan penaklukan-penaklukan itu adalah 
rusaknya hampir semua sumber 
ekonomi kerajaan-kerajaan pantai ini, 
dan terjadinya eksodus para pelaut dan 
pedagang ke berbagai pelabuhan di Lu￾ar Jawa seperti Makassar dan Banjarma￾sin (De Graaf & Pigeaud, 1989: 24-29; 
Burger, 1975, I: 26). 
Setelah surutnya Kesultanan Pa￾jang, muncul kasuktanan Mataram di 
Yogyakarta di bawah pemerintahan raja 
Sultan Agung (1613-1645). Seperti Sul￾tan Pajang, ia berusaha melanjutkan 
penaklukan kota-kota pelabuhan di 
sepanjang pantai utara Jawa. Hasilnya 
seluruh pelabuhan di pantai utara Jawa 
Tengah dan Jawa Timur, termasuk Ma￾dura, berada dalam wilayah kekuasaan 
Mataram. Keberhasilan itu memang bisa 
dimengerti, karena dari segi militer, 
pemerintahan Sultan Agung dalam se￾jarah kerajaan Mataram Islam bisa 
dikatakan yang terkuat di antara raja￾raja Mataram sebelumnya. Namun 
demikian pada masa itu ia harus ber￾hadapan dengan armada laut Belanda 
(VOC) yang jauh lebih kuat. Sebagai 
contoh dalam peperangan menumpas 
pemberontakan Trunajaya dari Madura 
armada raja Mataram walaupun 
jumlahnya banyak yaitu sekitar 1000 
perahu, tetapi hanya terdiri dari perahu￾perahu nelayan yang lebih pantas untuk 
angkutan penumpang. Sebaliknya 
Kompeni memiliki armada khusus, yai￾tu fregat-fregat yang dirancang untuk 
pertempuran laut. Dengan demikian 
dari segi kemampuan tempur armada 
laut Mataram jauh di bawah tandingan 
armada kompeni (Nagtegaal, 1996: 68-
69). 
Sementara itu, kedatangan Portu￾gis di Nusantara yang telah berhasil 
menguasai Malaka, disusul dengan ked￾atangan Belanda dengan VOCnya yang 
tujuannya tidak lain untuk menguasai 
dan memonopoli aktivitas perdagangan. 
Apalagi berbagai komoditi dari Nusan￾tara, khsusnya rempah-rempah, sudah 
memiliki supply and demand yang relatif 
mapan baik dalam perdagangan inter￾nasional maupun perdagangan antar 
daerah. Akan tetapi untuk memperoleh 
dominasinya di Nusantara, baik Be￾landa maupun Portugis menjalankan 
sistem perdagangan yang dipersenjatai 
(armed-trading system) (Pierre-Ives 
Manguin, dalam Reid (ed.), 1993: 198-
199). Selanjutnya sistem perdagangan 
yang dipersanjatai cenderung men￾dorong terjadinya proses militerisasi 
akivitas perdagangan di Nusantara. 
Artinya baik Portugis maupun Belanda 
menggunakan kekuatan militer untuk 
mendukung ekspansi perdagangannya. 
Hal itu bisa dimengerti, apalagi sem￾boyan mereka adalah ‘no naval do trad￾ing, no fear no friendly’, dan Portugis ju￾ga mengumumkan ‘Perang Salib di lau￾tan’(Chauduri, 1989: 15). 
O l eh k a r en a Ma la ka s u da h 
dikuasai Portugis, Belanda mengalihkan 
perhatiannya ke Maluku sebagai pusat 
produsen rempah-rempah. Sesudah 
menguasai Maluku, termasuk Ambon, 
Belanda bergerak ke Jawa, yang sebagi￾an besar sudah dikuasai oleh Mataram. 
Dengan cara militer, intervensi dalam 
konflik intern kerajaan-kerajaan di Jawa 
dan adu domba (devide et impera) 
kompeni VOC akhirnya berhasil me￾nguasai kota-kota pelabuhan di sepan￾jang pantai utara Jawa. Di setiap kota 
yang berhasil dikuasai, VOC mendiri￾kan benteng untuk melindungi kepen￾tingan bisnis mereka ,Selanjutnta kota-kota pelabuhan itu 
ditempatkan atau diintegrasikan dalam 
sistem jaringan dagang VOC. Dalam 
banyak kasus, Belanda berusaha untuk 
membuat perjanjian-perjanjian yang 
berfungsi untuk menjamin keuntungan 
monopoli mereka dalam produksi dan 
perdagangan . Perjan￾jian-perjanjian yang mengikat itu meru￾pakan hal baru, menjerat dan tidak 
lazim di antara para penguasa pribumi 
di Nusantara. 
Setelah berhasil menguasai kota￾kota pelabuhan di pantai utara Jawa, 
VOC mulai menaruh perhatiannya ke 
luar Jawa. Di Banjar atau Banjarmasin 
yang telah dikenalnya sejak 1596, se￾mentara orang Portugis sebelumnya te￾lah membeli kapur barus, berlian dan 
batu bezoar, Belanda berusaha mengu￾sai atau memonopoli perdagangan lada. 
Akan tetapi usaha itu tidak berjalan 
dengan tanpa hambatan karena para 
kepala pribumi di sana selalu menolak￾nya. Baru pada 1635 baru berhasil dibu￾at kontrak monopoli perdagangan lada. 
Setelah beberapa dekade sebe￾lumnya berhasil menancapkan monopo￾linya atas kepulauan Maluku seperti 
Ambon dan Ternate pada tahun 1605 
dan Banda pada tahun 1609, dan mere￾but Malaka dari tangan Portugis tahun 
1641 ,VOC berusaha un￾tuk menguasai Makasar di Sulawesi, 
yang bagi Belanda dipandang sebagai 
musuh yang paling berbahaya di Indo￾nesia bagian timur dalam rangka mene￾gakkan monopolinya. Demikianlah 
setelah melaui perang yang kejam, Bel￾anda berhasil menaklukkan Makasar 
pada tahun 1667. Pada tahun itu Sultan 
Hasanuddin menandatangani Perjanjian 
Bongaya. Setelah penaklukan Makasar 
bisa dikatakan VOC berhasil menguasai 
hampir kota-kota pelabuhan atau kera￾jaan-kerajaan maritim di Nusantara. Se￾lanjutnya dengan politik dagang mo￾nopolinya, VOC semakin berjaya di 
Nusantara. Akan tetapi monopoli itu 
t i d a k h a n y a d i k e n a k a n k e p a d a 
penduduk pribumi, tetapi juga kepada 
bangsa Eropa yang lain. Dalam 
perdagangan misalnya, VOC merupa￾kan kekuatan yang memaksa dalam 
menentukan harga penjualan produk 
lokal. VOC juga melarang penjualan 
rempah-rempah kepada orang Eropa 
lain dengan ancaman hukuman. Dengan 
cara begitu VOC telah mempermiskin 
daerah Luar Jawa, menghancurkan 
perdagangan masyarakat setempat se￾hingga sulit untuk bisa bangkit kembali  
 Rempah-rempah 
dan hasil-hasil hutan dari Luar itu Jawa 
dikirim ke pelabuhan-pelabuhan di Ja￾wa untuk selanjutnya dikapalkan ke 
Eropa oleh VOC. Dengan demikian 
VOC melakukan reformasi jaringan 
perdagangan di Nusantara, dan dis￾esuaikan dengan jaringan pelayaran 
global 
Salah satu kunci keberhasilan 
VOC menguasai kerajaan-kerajaan pri￾bumi adalah penggunaan taktik/ politik 
devide at impera, yang berarti memecah 
belah dan menguasainya. Taktik ini bi￾asanya lebih sering digunakan untuk 
memperbesar atau memperparah kon￾flik-konflik intern dalam kerajaan￾kerajaan di Nusantara, terutama konflik
-konflik atau perang-perang suksesi. 
Rentetan tahun-tahun berikut menun￾jukkan betapa efektifnya penguasaan 
VOC di Indonesia. Setelah VOC menjadikan Batavia 
sebagai pusat jaringan perdagangan di 
Asia Tenggara, Belanda banyak terlibat 
dalam konflik perebutan tahta di Jawa 
Sebagai contoh 
pengganti Sultan Agung yaitu Sunan 
Amangkurat I (1645-1677) yang mem￾bangun kraton di Plered, tidak jauh dari 
Karta dan masih termasuk wilayah Yog￾y a k a r t a , h a r u s m e n g h a d a p i 
persekongkolan Kajoran (1662-1667) 
dengan pemberontak Trunajaya yang 
mengancam dan membahayakan sing￾gasana Mataram. Berkat bantuan 
Kompeni VOC, perlawanan Kajoran 
berhasil dipadamkan, sedangkan 
Trunajaya berhasil menyelamatkan diri 
ke Jawa Timur. Sebagai imbalan atas 
jasa Kompeni tersebut, maka ditanda￾tangani 2 perjanjian yang dipaksakan, 
yaitu pada bulan Agustus dan Septem￾ber 1646 , Da￾lam perjanjian itu VOC diijinkan mendi￾rikan loji (kantor dagang) di Semarang, 
d a n m e n e r i m a h a k m o n o p o l i 
perdagangan dari raja ,
Dengan mengeksploitasi konflik 
internal di kalangan bangsawan, Be￾landa dapat mengambil keuntungan 
untuk mengurangi kekuasaan penguasa 
pribumi sehingga tergantung kepada 
Belanda. Hingga perempatan terakhir 
abad XVIII secara bertahap Belanda te￾lah berhasil menempatkan Mataram, 
Banten, dan dalam derajat tertentu Cire￾bon berada di bawah ‘perlindungan’ 
VOC, setelah sebagian besar wilayah 
kekuasaannya jatuh ke tangannya. 
Lebih dari pada itu, dengan menguasai 
daerah-daerah yang sangat produktif di 
Jawa, khususnya kota-kota pelabuhan, 
VOC mendapatkan penghasilan pajak 
(cukai) pajak dan berbagai penyerahan 
dari beberapa daerah secara langsung. 
VOC juga mengintroduksikan tanaman 
baru yang laku keras di pasaran inter￾nasional seperti kopi. Oleh karena sang￾at manguntungkan, maka VOC cender￾ung menjadikan Jawa sebagai pusat 
kekuasaannya dengan memprioritaskan 
eksploitasi sumber kekayaan dan 
kesuburan alam Jawa, sementara 
kekuasaan maritim atas daerah-daerah 
Luar Jawa (termasuk Malaka) cender￾ung menurun hingga hancurnya kongsi 
dagang ini pada tahun 1799 ,
Pembangunan Benteng VOC di Jepara 
Benteng Jepara atau dalam bahasa 
Belanda disebut dengan istilah Fort Japa￾ra, dan yang oleh masyarakat Jepara 
lebih dikenal dengan sebutan Lodji 
Gunung, sekarang ini bisa diketahui terletak di sebuah bukit sekitar 0,5 km ke 
arah utara alun-alun Jepara dengan 
ketinggian 85 meter dari permukaan 
laut. Pada Gerbang masuk lokasi ben￾teng itu tertera tulisan yang besar yaitu 
"Fort Japara XVI". Ia merupakan salah 
satu dari banyak benteng yang dibuat 
oleh Kompeni Belanda (VOC) dengan 
tujuan untuk melindungi daerah-daerah 
atau pelabuhan-pelabuhan yang telah 
dikuasai terhadap ancaman atau se￾rangan dari laut. 
 Benteng-benteng yang dibuat 
sekitar tahun 1680an itu antara lain 
benteng di Tegal, Semarang, Jepara, 
Rembang dan Surabaya serta benteng￾benteng yang lebih kecil di kota-kota 
pelabuhan lainnya. Disamping sebagai 
markas pertahanan dan kantor dagang, 
benteng-benteng tersebut juga berfungsi 
sebagai tempat tinggal masyarakat Ero￾pa, yang oleh karena itu juga diberi 
sebutan sebagai kota-kota benteng 
 Dengan demikian 
kemunculan benteng-benteng tersebut 
sebagai tanda kemunduran kerajaan￾kerajaan maritim di Nusantara, khu￾susnya di sepanjang pantai utara Jawa. 
Hal itu terjadi sebagai akibat kedatan￾gan bangsa Barat khususnya Belanda, 
yang kemudian mendominasi dan 
menguasai kerajaan-kerajaan tersebut. 
Seperti telah disebutkan di depan, 
sebelum kedatangan Belanda di Jawa, 
yaitu pada masa kejayaan kasultanan 
Demak (1475-1568), Jepara merupakan 
bagian dari wilayah kasultanan itu. 
Oleh karena posisi kota pelabuhan Jepa￾ra di sebuah teluk yang lebih aman un￾tuk berlindung kapal-kapal, maka 
pelabuhan Jepara juga berfungsi sebagai 
pusat perdagangan dan pelayaran bagi 
kasultanan Demak. Lebih dari itu 
pelabuhan Jepara juga merupakan 
pelabuhan militer dari kasultanan De￾mak. Posisi dan fungsi pelabuhan Jepara 
semacam itu tetap bertahan ketika 
kemudian Jepara berada di bawah 
pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549–
1579). Bahkan pelabuhan Jepara se￾makin berkembang baik sebagai 
pelabuhan perdagangan dan militer. 
Berdasarkan sumber Belanda awal abad 
XVII dapat diperkirakan bahwa selama 
menjadi penguasa di Jepara, Ratu Kali￾nyamat tidak tinggal di istana Kali￾nyamat ,akan tetapi di suatu tempat sema￾cam istana di kota pelabuhan Jepara, 
dan orang Belanda waktu itu menyebut￾nya dengan istilah koninghof , yang 
artinya istana raja ,
Meskipun kerajaan Jepara telah 
mengalami kemerosotan bukan berarti 
bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi 
lagi, dan peranan Jepara sebagai kota 
dan pelabuhan perdagangan menjadi 
sama sekali terhenti. Pelaut Belanda 
yang pertama kali datang ke Jepara 
mengambarkan Jepara masih berfungsi 
sebagai pelabuhan ekspor yang ter￾penting dari kerajaan Mataram di 
pedalaman yang semakin besar. 
Disamping orang-orang Jawa, juga 
banyak bangsa lain yang berdagang di 
pelabuhan Jepara antara lain Persia, Ar￾ab, melayu, Cina, Aceh, Gujarat, Kora￾mandel, Pegu dan lain sebagainya 
Pada tahun 1613 oleh Gubernur 
Jendral VOC yaitu Jan Pieter Both didi￾rikan factorij, atau semacam kantor da￾gang di Jepara, atas seijin raja Mataram 
waktu itu yaitu Sultan Agung. Bahkan 
r a j a M a t a r a m w a k t u i t u t i d a k 
mengajukan persyaratan uang sewa 
atau cukai jika factorij itu sudah diope￾rasionalkan. Sementara sebagai alasan 
pendirian kantor di Jepara karena kan￾tor VOC di Gresik selalu mendapat 
gangguan dari para pedagang Islam 
yang tinggal dan berdagang di sana, ka￾rena mereka menentang sistem politik 
dagang monopoli dari VOC (Van 
Wales, 1874, TVNI, II: 429). Kemudian 
Pada tahun 1615, VOC diberi izin ang￾gota Raad van Indie (Dewan Hindia) 
yang bernama Gerard Reynst untuk 
memperkuat dan mengembangkan fac￾torij itu sehinggga menjadi semacam 
kota kecil khusus bagi orang-orang 
Belanda (kompeni) dan sebagai sebagai 
perwakilan perdagangan VOC di dae￾rah itu Sementara 
pada tahun 1617 factorij itu dikunjugi 
oleh anggota Raad yang lain yaitu Lau￾rens Reael. Namun demikian pada ta￾hun 1618 factorij itu diserang oleh Mata￾ram, sehingga mengakibatkan tiga 
orang terbunuh, tiga orang lagi terluka, 
dan sebanyak 17 orang ditawan. 
Menurut pihak Belanda penyebab se￾rangan Mataram itu adalah karena 
perompakan yang dilakukan oleh orang
-orang Inggris, sedangkan menurut 
pihak Inggris disebabkan oleh pe￾nolakan Belanda untuk membayar tol 
atau cukai kepada Mataram. Akan teta￾pi pihak Mataram menyatakan bahwa 
penyerangan itu disebabkan adanya 
hubungan atau skandal asmara antara 
orang-orang Belanda dengan gadis￾gadis pribumi di Jepara, yang hal itu 
dianggap merendahkan kehormatan 
bangsa pribumi ,
Untuk membebaskan tawanan 
tersebut, maka VOC mengirim pasukan 
ke Jepara sebanyak 2 kali. Yang pertama 
pada bulan November 1618 VOC di 
bawah pimpinan Adriaen Maertensz 
Block, dan yang kedua pada bulan Mei 
1619 di bawah pimpinan J.P. Coen. 
Dengan dua kali pengiriman pasukan 
itu kota (factorij) Jepara betul-betul di￾hancurkan. Namun demikian sumber 
lain menyebutkan bahwa penyerangan 
dan pembakaran atas kantor dagang itu 
juga dilakukan oleh para pelaut dan 
pedagang Muslim baik yang berasal 
dari Jepara sendiri maupun dari daerah￾daerah atau pulau-pulau yang lain, 
yang merasa dirugikan oleh kehadiran 
Belanda VOC dengan lojinya dan sistem 
monopolinya ,
Sumber Belanda lainnya me￾nyebutkan bahwa sesudah dibumi￾hanguskan oleh pasukan kompeni, pada 
tahun 1621 Mataram meminta kepada 
kompeni untuk datang lagi ke Jepara, 
dan mempersilahkan untuk mem￾bangun kantor dagang lagi, tetapi per￾mintaan itu ditolak. Akan tetapi ketika 
kompeni mengirim rombongan utusan 
ke Mataram pada tahun 1632, mereka 
justru ditawan oleh Mataram, dan baru Meskipun kerajaan Jepara telah 
mengalami kemerosotan bukan berarti 
bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi 
lagi, dan peranan Jepara sebagai kota 
dan pelabuhan perdagangan menjadi 
sama sekali terhenti. Pelaut Belanda 
yang pertama kali datang ke Jepara 
mengambarkan Jepara masih berfungsi 
sebagai pelabuhan ekspor yang ter￾penting dari kerajaan Mataram di 
pedalaman yang semakin besar. 
Disamping orang-orang Jawa, juga 
banyak bangsa lain yang berdagang di 
pelabuhan Jepara antara lain Persia, Ar￾ab, melayu, Cina, Aceh, Gujarat, Kora￾mandel, Pegu dan lain sebagainya 
Pada tahun 1613 oleh Gubernur 
Jendral VOC yaitu Jan Pieter Both didi￾rikan factorij, atau semacam kantor da￾gang di Jepara, atas seijin raja Mataram 
waktu itu yaitu Sultan Agung. Bahkan 
r a j a M a t a r a m w a k t u i t u t i d a k 
mengajukan persyaratan uang sewa 
atau cukai jika factorij itu sudah diope￾rasionalkan. Sementara sebagai alasan 
pendirian kantor di Jepara karena kan￾tor VOC di Gresik selalu mendapat 
gangguan dari para pedagang Islam 
yang tinggal dan berdagang di sana, ka￾rena mereka menentang sistem politik 
dagang monopoli dari VOC , Kemudian 
Pada tahun 1615, VOC diberi izin ang￾gota Raad van Indie (Dewan Hindia) 
yang bernama Gerard Reynst untuk 
memperkuat dan mengembangkan fac￾torij itu sehinggga menjadi semacam 
kota kecil khusus bagi orang-orang 
Belanda (kompeni) dan sebagai sebagai 
perwakilan perdagangan VOC di dae￾rah itu Sementara 
pada tahun 1617 factorij itu dikunjugi 
oleh anggota Raad yang lain yaitu Lau￾rens Reael. Namun demikian pada ta￾hun 1618 factorij itu diserang oleh Mata￾ram, sehingga mengakibatkan tiga 
orang terbunuh, tiga orang lagi terluka, 
dan sebanyak 17 orang ditawan. 
Menurut pihak Belanda penyebab se￾rangan Mataram itu adalah karena 
perompakan yang dilakukan oleh orang
-orang Inggris, sedangkan menurut 
pihak Inggris disebabkan oleh pe￾nolakan Belanda untuk membayar tol 
atau cukai kepada Mataram. Akan teta￾pi pihak Mataram menyatakan bahwa 
penyerangan itu disebabkan adanya 
hubungan atau skandal asmara antara 
orang-orang Belanda dengan gadis￾gadis pribumi di Jepara, yang hal itu 
dianggap merendahkan kehormatan 
bangsa pribumi .
Untuk membebaskan tawanan 
tersebut, maka VOC mengirim pasukan 
ke Jepara sebanyak 2 kali. Yang pertama 
pada bulan November 1618 VOC di 
bawah pimpinan Adriaen Maertensz 
Block, dan yang kedua pada bulan Mei 
1619 di bawah pimpinan J.P. Coen. 
Dengan dua kali pengiriman pasukan 
itu kota (factorij) Jepara betul-betul di￾hancurkan. Namun demikian sumber 
lain menyebutkan bahwa penyerangan 
dan pembakaran atas kantor dagang itu 
juga dilakukan oleh para pelaut dan 
pedagang Muslim baik yang berasal 
dari Jepara sendiri maupun dari daerah￾daerah atau pulau-pulau yang lain, 
yang merasa dirugikan oleh kehadiran 
Belanda VOC dengan lojinya dan sistem 
monopolinya 
Sumber Belanda lainnya me￾nyebutkan bahwa sesudah dibumi￾hanguskan oleh pasukan kompeni, pada 
tahun 1621 Mataram meminta kepada 
kompeni untuk datang lagi ke Jepara, 
dan mempersilahkan untuk mem￾bangun kantor dagang lagi, tetapi per￾mintaan itu ditolak. Akan tetapi ketika 
kompeni mengirim rombongan utusan 
ke Mataram pada tahun 1632, mereka 
justru ditawan oleh Mataram, dan baru Meskipun kerajaan Jepara telah 
mengalami kemerosotan bukan berarti 
bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi 
lagi, dan peranan Jepara sebagai kota 
dan pelabuhan perdagangan menjadi 
sama sekali terhenti. Pelaut Belanda 
yang pertama kali datang ke Jepara 
mengambarkan Jepara masih berfungsi 
sebagai pelabuhan ekspor yang ter￾penting dari kerajaan Mataram di 
pedalaman yang semakin besar. 
Disamping orang-orang Jawa, juga 
banyak bangsa lain yang berdagang di 
pelabuhan Jepara antara lain Persia, Ar￾ab, melayu, Cina, Aceh, Gujarat, Kora￾mandel, Pegu dan lain sebagainya 
Pada tahun 1613 oleh Gubernur 
Jendral VOC yaitu Jan Pieter Both didi￾rikan factorij, atau semacam kantor da￾gang di Jepara, atas seijin raja Mataram 
waktu itu yaitu Sultan Agung. Bahkan 
r a j a M a t a r a m w a k t u i t u t i d a k 
mengajukan persyaratan uang sewa 
atau cukai jika factorij itu sudah diope￾rasionalkan. Sementara sebagai alasan 
pendirian kantor di Jepara karena kan￾tor VOC di Gresik selalu mendapat 
gangguan dari para pedagang Islam 
yang tinggal dan berdagang di sana, ka￾rena mereka menentang sistem politik 
dagang monopoli dari VOC  Kemudian 
Pada tahun 1615, VOC diberi izin ang￾gota Raad van Indie (Dewan Hindia) 
yang bernama Gerard Reynst untuk 
memperkuat dan mengembangkan fac￾torij itu sehinggga menjadi semacam 
kota kecil khusus bagi orang-orang 
Belanda (kompeni) dan sebagai sebagai 
perwakilan perdagangan VOC di dae￾rah itu Sementara 
pada tahun 1617 factorij itu dikunjugi 
oleh anggota Raad yang lain yaitu Lau￾rens Reael. Namun demikian pada ta￾hun 1618 factorij itu diserang oleh Mata￾ram, sehingga mengakibatkan tiga 
orang terbunuh, tiga orang lagi terluka, 
dan sebanyak 17 orang ditawan. 
Menurut pihak Belanda penyebab se￾rangan Mataram itu adalah karena 
perompakan yang dilakukan oleh orang
-orang Inggris, sedangkan menurut 
pihak Inggris disebabkan oleh pe￾nolakan Belanda untuk membayar tol 
atau cukai kepada Mataram. Akan teta￾pi pihak Mataram menyatakan bahwa 
penyerangan itu disebabkan adanya 
hubungan atau skandal asmara antara 
orang-orang Belanda dengan gadis￾gadis pribumi di Jepara, yang hal itu 
dianggap merendahkan kehormatan 
bangsa pribumi 
Untuk membebaskan tawanan 
tersebut, maka VOC mengirim pasukan 
ke Jepara sebanyak 2 kali. Yang pertama 
pada bulan November 1618 VOC di 
bawah pimpinan Adriaen Maertensz 
Block, dan yang kedua pada bulan Mei 
1619 di bawah pimpinan J.P. Coen. 
Dengan dua kali pengiriman pasukan 
itu kota (factorij) Jepara betul-betul di￾hancurkan. Namun demikian sumber 
lain menyebutkan bahwa penyerangan 
dan pembakaran atas kantor dagang itu 
juga dilakukan oleh para pelaut dan 
pedagang Muslim baik yang berasal 
dari Jepara sendiri maupun dari daerah￾daerah atau pulau-pulau yang lain, 
yang merasa dirugikan oleh kehadiran 
Belanda VOC dengan lojinya dan sistem 
monopolinya 
Sumber Belanda lainnya me￾nyebutkan bahwa sesudah dibumi￾hanguskan oleh pasukan kompeni, pada 
tahun 1621 Mataram meminta kepada 
kompeni untuk datang lagi ke Jepara, 
dan mempersilahkan untuk mem￾bangun kantor dagang lagi, tetapi per￾mintaan itu ditolak. Akan tetapi ketika 
kompeni mengirim rombongan utusan 
ke Mataram pada tahun 1632, mereka 
justru ditawan oleh Mataram, dan baru Meskipun kerajaan Jepara telah 
mengalami kemerosotan bukan berarti 
bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi 
lagi, dan peranan Jepara sebagai kota 
dan pelabuhan perdagangan menjadi 
sama sekali terhenti. Pelaut Belanda 
yang pertama kali datang ke Jepara 
mengambarkan Jepara masih berfungsi 
sebagai pelabuhan ekspor yang ter￾penting dari kerajaan Mataram di 
pedalaman yang semakin besar. 
Disamping orang-orang Jawa, juga 
banyak bangsa lain yang berdagang di 
pelabuhan Jepara antara lain Persia, Ar￾ab, melayu, Cina, Aceh, Gujarat, Kora￾mandel, Pegu dan lain sebagainya 
Pada tahun 1613 oleh Gubernur 
Jendral VOC yaitu Jan Pieter Both didi￾rikan factorij, atau semacam kantor da￾gang di Jepara, atas seijin raja Mataram 
waktu itu yaitu Sultan Agung. Bahkan 
r a j a M a t a r a m w a k t u i t u t i d a k 
mengajukan persyaratan uang sewa 
atau cukai jika factorij itu sudah diope￾rasionalkan. Sementara sebagai alasan 
pendirian kantor di Jepara karena kan￾tor VOC di Gresik selalu mendapat 
gangguan dari para pedagang Islam 
yang tinggal dan berdagang di sana, ka￾rena mereka menentang sistem politik 
dagang monopoli dari VOC (Van 
Wales, 1874, TVNI, II: 429). Kemudian 
Pada tahun 1615, VOC diberi izin ang￾gota Raad van Indie (Dewan Hindia) 
yang bernama Gerard Reynst untuk 
memperkuat dan mengembangkan fac￾torij itu sehinggga menjadi semacam 
kota kecil khusus bagi orang-orang 
Belanda (kompeni) dan sebagai sebagai 
perwakilan perdagangan VOC di dae￾rah itu (de Graaf, 1974: 56). Sementara 
pada tahun 1617 factorij itu dikunjugi 
oleh anggota Raad yang lain yaitu Lau￾rens Reael. Namun demikian pada ta￾hun 1618 factorij itu diserang oleh Mata￾ram, sehingga mengakibatkan tiga 
orang terbunuh, tiga orang lagi terluka, 
dan sebanyak 17 orang ditawan. 
Menurut pihak Belanda penyebab se￾rangan Mataram itu adalah karena 
perompakan yang dilakukan oleh orang
-orang Inggris, sedangkan menurut 
pihak Inggris disebabkan oleh pe￾nolakan Belanda untuk membayar tol 
atau cukai kepada Mataram. Akan teta￾pi pihak Mataram menyatakan bahwa 
penyerangan itu disebabkan adanya 
hubungan atau skandal asmara antara 
orang-orang Belanda dengan gadis￾gadis pribumi di Jepara, yang hal itu 
dianggap merendahkan kehormatan 
bangsa pribumi 
Untuk membebaskan tawanan 
tersebut, maka VOC mengirim pasukan 
ke Jepara sebanyak 2 kali. Yang pertama 
pada bulan November 1618 VOC di 
bawah pimpinan Adriaen Maertensz 
Block, dan yang kedua pada bulan Mei 
1619 di bawah pimpinan J.P. Coen. 
Dengan dua kali pengiriman pasukan 
itu kota (factorij) Jepara betul-betul di￾hancurkan. Namun demikian sumber 
lain menyebutkan bahwa penyerangan 
dan pembakaran atas kantor dagang itu 
juga dilakukan oleh para pelaut dan 
pedagang Muslim baik yang berasal 
dari Jepara sendiri maupun dari daerah￾daerah atau pulau-pulau yang lain, 
yang merasa dirugikan oleh kehadiran 
Belanda VOC dengan lojinya dan sistem 
monopolinya (De Graaf & D.G. Stibbe, 
1918: 183). 
Sumber Belanda lainnya me￾nyebutkan bahwa sesudah dibumi￾hanguskan oleh pasukan kompeni, pada 
tahun 1621 Mataram meminta kepada 
kompeni untuk datang lagi ke Jepara, 
dan mempersilahkan untuk mem￾bangun kantor dagang lagi, tetapi per￾mintaan itu ditolak. Akan tetapi ketika 
kompeni mengirim rombongan utusan 
ke Mataram pada tahun 1632, mereka 
justru ditawan oleh Mataram, dan baru pada tahun 1647 dibebaskan (de Graaf 
& Pigeaud, 1974: 178). Dengan ter￾jadinya peristiwa tersebut hubungan 
antara Mataram dan kompeni Belanda 
terputus. Baru pada tahun 1651, ketika 
Sultan Agung sudah meninggal dan di￾gantikan oleh Amangkurat I, kompeni 
Belanda mulai lagi membangun tempat 
kedudukan di Jepara yang dilengkapi 
dengan comptoir (kantor dagang) dan 
tidak lama sesudahnya dikembangkan 
menjadi hoofdcomptoir (kantor dagang 
besar) (Nagtegaal, 1996: 76). Sebagai 
pertimbangannya adalah karena 
pelabuhan Jepara memang memainkan 
peranan yang penting sebagai pusat 
jaringan perdagangan dengan daerah￾daerah pedalaman, termasuk Mataram, 
khususnya beras dan kayu yang dijual 
atau dikirim ke Maluku dan Batavia. 
Ketika di kerajaan Mataram terjadi 
konflik intern di antara bangsawan ke￾rajaan yang kemudian berkembang 
menjadi pemberontakan, maka raja 
Mataram meminta bantuan VOC untuk 
meredamnya. Untuk itu pada tahun 
1676 tempat kedudukan VOC di Jepara 
semakin diperkuat, dan pada tahun 
1677 dijadikan markas (legerkamp) tenta￾ra kompeni yang bertugas menumpas 
pemberontakan baik di Jawa Tengah 
mauun di Jawa Timur. Diperkirakan 
tahun itu pulalah benteng Jepara yang 
k u a t d i b a n g u n . M a r k a s t e n t a r a 
(legerkamp) yang tidak lain benteng Jepa￾ra itu terletak pada ketinggian di sebe￾lah timur sungai Jepara dan loji (loge) di 
kota yang sudah dilengkapi dengan 
tanggul rendah (omwalling) dan benteng 
kecil (bolwerk). 
Mengenai pemberontakan yang 
sulit dipatahkan pada waktu itu adalah 
yang dipimpin oleh Raden Trunajaya, 
sehingga terkenal dengan sebutan pem￾berontakan Trunajaya. Ia sesungguhnya 
adalah seorang bangsawan Madura 
yang melakukan pemberontakan ter￾hadap pemerintahan Amangkurat I dan 
A m a n g k u r a t I I d a r i M a t a r a m . 
Pasukannya yang bermarkas di Kediri 
pernah berhasil menyerang dan men￾guasai serta menjarah isi kraton Mata￾ram tahun 1677. Akan tetapi berkat ban￾tuan pasukan kompeni Trunajaya dapat 
ditangkap oleh pasukan kompeni di 
bawah pimpinan Kapitan Jonker pada 
27 Desember tahun 1679 
Pada tahun 1680an VOC mem￾peroleh konsesi dalam bentuk sewa 
( g a d a i ) d a r i r a j a M a t a r a m a t a s 
pelabuhan Jepara ,Konsesi itu diberikan oleh 
Amangkurat II, sebagai imbalan jasa 
a t a s b a n t u a n k o m p e n i d a l a m 
menumpas pemberontakan Trunajaya. 
Pelabuhan-pelabuhan lain yang di￾serahkan oleh Amangkurat II antara lain 
Tegal, pelabuhan Kaligawe dan Sema￾rang di Semarang, Rembang , Surabaya 
dan lain-lain. Untuk melindungi daerah￾daerah atau pelabuhan-pelabuhan yang 
sudah dikuasai, khususnya terhadap 
ancaman serangan dari laut, maka pada 
tahun 1680an VOC membangun ben￾teng-benteng utama di pantai utara Ja￾wa yaitu di Tegal, Semarang, Jepara, 
Rembang dan Surabaya serta benteng￾benteng yang lebih kecil di kota-kota 
pelabuhan lainnya. Disamping sebagai 
kantor tempat pertahanan dan kantor 
dagang, benteng-benteng tersebut juga 
berfungsi sebagai tempat tinggal 
masyarakat Eropa, yang oleh karena itu 
juga diberi sebutan sebagai kota-kota 
benteng . Dengan 
demikian disamping sebagai kantor da￾gang dan tempat tinggal masyarakat 
Eropa, benteng-benteng tersebut juga 
berfungsi sebagai pertahanan terhadap 
serangan dari laut baik oleh pelaut￾pelaut Nusantara maupun pelaut-pelaut 
Eropa lainnya. 
Khusus untuk kota pelabuhan 
Jepara di samping dilengkapi dengan 
benteng yang kuat, juga dijadikan se-bagai pusat kekuasaannya di wilayah 
Pantai Timur Laut Jawa (Noord Oostkust 
van Java). Pemilihan Jepara sebagai salah 
satu pusat kekuasaan VOC disamping 
Batavia pada waktu itu tentu saja atas 
dasar pertimbangan-petimbangan yang 
menguntungkan. Pertama-tama, VOC 
tinggal memanfaatkan sarana dan 
prasarana pelabuhan Jepara yang su￾dah ada yang posisinya strategis, dan 
yang telah dibangun dan dikembangkan 
pada masa kejayaan Jepara khususnnya 
pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat. 
Hal kedua, Jepara pada saat itu masih 
memiliki daerah-daerah pedalaman 
yang banyak menghasilkan produk per￾tanian khususnya beras. Artinya, wa￾laupun dengan pemain yang berbeda, 
Jepara pada waktu itu masih merupa￾kan kota pelabuhan yang penting. 
Berbagai sumber yang sedikit 
banyak berisi informasi mengenai ben￾tuk fisik benteng Jepara adalah sebagai 
berikut. Pertama, adalah surat residen 
Jepara J.P. Metman kepada gubernur 
Jendral Hindia Belanda pada tanggal 15 
Maret 1889, yang salah satu isinya ada￾lah mengenai gambaran singkat 
m e n g e n a i b e n t e n g J e p a r a y a n g 
dilampiri dengan peta skesa yang dibu￾at oleh asisten residen Jepara yang ber￾nama Crane pada tanggal 12 Maret 
1889. Meskipun sudah rusak dan hanya 
berupa puing-puing, kondisi benteng 
tersebut masih kokoh berdiri. Hanya 
saja dalam sketsa peta itu tidak dilukis￾kan bagaimana kira-kira bentuk ben￾teng tersebut. Oleh karenanya manfaat 
dari sumber ini terbatas sebagai 
koroborasi (penguat) dan informasi 
yang kredibel mengenai keberadaan 
atau lokasi benteng Jepara di kota Jepa￾ra. 
Kedua, peta benteng Jepara dalam 
Kota Jepara, termasuk pos-pos VOC 
yang diperintahkan untuk dibangun 
oleh Cornelis Speelman pada tahun 
1677. Peta itu sesungguhnya merupakan 
peta kota pelabuhan Jepara, sehingga 
termasuk di dalamnya dapat diketahui 
posisi (letak) pos-pos VOC, loji, sungai, 
pelabuhan dan sebagainya. Dengan 
demikian peta itu tidak menunjukkan 
bentuk benteng Jepara, tetapi hanya lo￾kasi benteng tersebut dalam wilayah 
kota Jepara pada jaman VOC, ketika Jepara masih menjadi pusat kekuasaan 
VOC di seluruh wilayah pantai utara 
bagian timur Jawa (Noord Oostkust van 
Java) 
Ketiga, peta benteng Jepara yang 
berisi informasi khusus mengenai ben￾tuk datar (peta) benteng tersebut. Dari 
p e t a t e r se b u t te ntu a k a n d a p a t 
digunakan untuk merekonstruksi ben￾tuk bangun benteng dalam bidang da￾tar, yang kemudian bisa dikombinasi￾kan dengan sumber-sumber yang lain 
untuk merekonstruksi gabaran tiga de￾mensi benteng Jepara. Untuk lebih 
jelasnya lihat gambar 4. 
K e e m p a t , l u k i s a n p e n s i l 
pemandangan kota Jepara dengan latar 
belakang “Benteng Jepara” Dari gambar 
tersebut diinformasikan pada sisi timur 
depan benteng adalah muara sungai 
Jepara, dan di sebelah bawah kirinya 
adalah gambar kapal Belanda yang 
dilengkapi dengan tiga bendera. Agak 
ke dalam ke arah daratan adalah jem￾batan yang bisa dibuka dan ditutup 
(ophaalbrug) dan kandang kuda. Dalam 
gambar itu letak benteng Jepara adalah 
pada tepi seberang sungai Jepara. 
Dengan demikian seperti yang bisa di￾saksikan sekarang ini, bahwa letak ben￾teng Jepara adalah pada posisi agak 
tinggi di atas perbukitan. Meskipun ti￾dak secara detail lukisan tersebut sedikit 
banyak memberi gambaran mengenai 
bentuk benteng Jepara. V e r s i l a i n d a r i g a m b a r 
pemandangan kota Jepara, termasuk 
benteng Jepara dengan judul “Gezicht op 
Japara, richting oosten naar de monding van 
de Japara rivier, met linksonder een schip 
met drie Nederlandse vlaggen.- Aan de over￾zijde van de rivier is een Hollands fort, een 
beetje landinwaards zijn een ophaalbrug en 
stallen”. Gambar tersebut memberikan 
informasi yang melengkapi gambar 
sebelumnya. 
 
Dari seluruh uraian dan pembaha￾san dalam laporan ini dapat ditarik 
simpulan sebagai berikut .Pertama bah￾wa pembangunan benteng-benteng 
VOC di Nusantara, khususnya di sepan￾jang pantai utara Jawa merupakan awal 
dari ekspansi kolinialisme. Ekspansi itu 
dilakukan dengan berbagai cara, baik 
secara militer, intervensi maupun poli￾tik adu domba (devide et impera). Setelah 
berhasil menguasai kota-kota atau kera￾jaan-kerajaan maritim, di samping 
mendirikan kantor-kantor dagang 
(comptoir) VOC juga mendirikan ben￾teng-benteng dengan tujuan untuk 
melindungi kepentingan bisnisnya. Se￾lanjutnya kota-kota pelabuhan itu 
ditempatkan atau diintegrasikan dalam 
sistem jaringan dagang VOC di Nusan￾tara. 
Salah satu benteng VOC di Jawa 
adalah benteng di Jepara, yang sengaja 
dibuat dengan tujuan untuk melindungi 
kantor dagang di Jepara, dan daerah￾daerah atau pelabuhan-pelabuhan yang 
telah dikuasai terhadap ancaman atau 
serangan dari laut. Namun demikian 
terdapat alasan lain yang menyebabkan 
VOC memilih membangun benteng di 
Jepara dan bahkan dijadikan sebagai 
pusat pemerintahan VOC di pantai Ti￾mur Laut Jawa (Noord Oostkust van Ja￾va). Alasan itu adalah bahwa pelabuhan 
Jepara merupakan pelabuhan militer 
pada jaman kerajaan Demak yang se￾makin dikembangkan ketika Jepara di￾perintah oleh Ratu Kalinyamat, dan 
tetap berfungsi ketika Jepara dikuasai 
oleh kerajaan Mataram Islam. Dengan 
V e r s i l a i n d a r i g a m b a r 
pemandangan kota Jepara, termasuk 
benteng Jepara dengan judul “Gezicht op 
Japara, richting oosten naar de monding van 
de Japara rivier, met linksonder een schip 
met drie Nederlandse vlaggen.- Aan de over￾zijde van de rivier is een Hollands fort, een 
beetje landinwaards zijn een ophaalbrug en 
stallen”. Gambar tersebut memberikan 
informasi yang melengkapi gambar 
sebelumnya. 
SIMPULAN 
Dari seluruh uraian dan pembaha￾san dalam laporan ini dapat ditarik 
simpulan sebagai berikut .Pertama bah￾wa pembangunan benteng-benteng 
VOC di Nusantara, khususnya di sepan￾jang pantai utara Jawa merupakan awal 
dari ekspansi kolinialisme. Ekspansi itu 
dilakukan dengan berbagai cara, baik 
secara militer, intervensi maupun poli￾tik adu domba (devide et impera). Setelah 
berhasil menguasai kota-kota atau kera￾jaan-kerajaan maritim, di samping 
mendirikan kantor-kantor dagang 
(comptoir) VOC juga mendirikan ben￾teng-benteng dengan tujuan untuk 
melindungi kepentingan bisnisnya. Se￾lanjutnya kota-kota pelabuhan itu 
ditempatkan atau diintegrasikan dalam 
sistem jaringan dagang VOC di Nusan￾tara. 
Salah satu benteng VOC di Jawa 
adalah benteng di Jepara, yang sengaja 
dibuat dengan tujuan untuk melindungi 
kantor dagang di Jepara, dan daerah￾daerah atau pelabuhan-pelabuhan yang 
telah dikuasai terhadap ancaman atau 
serangan dari laut. Namun demikian 
terdapat alasan lain yang menyebabkan 
VOC memilih membangun benteng di 
Jepara dan bahkan dijadikan sebagai 
pusat pemerintahan VOC di pantai Ti￾mur Laut Jawa (Noord Oostkust van Ja￾va). Alasan itu adalah bahwa pelabuhan 
Jepara merupakan pelabuhan militer 
pada jaman kerajaan Demak yang se￾makin dikembangkan ketika Jepara di￾perintah oleh Ratu Kalinyamat, dan 
tetap berfungsi ketika Jepara dikuasai 
oleh kerajaan Mataram Islam. Dengan 
V e r s i l a i n d a r i g a m b a r 
pemandangan kota Jepara, termasuk 
benteng Jepara dengan judul “Gezicht op 
Japara, richting oosten naar de monding van 
de Japara rivier, met linksonder een schip 
met drie Nederlandse vlaggen.- Aan de over￾zijde van de rivier is een Hollands fort, een 
beetje landinwaards zijn een ophaalbrug en 
stallen”. Gambar tersebut memberikan 
informasi yang melengkapi gambar 
sebelumnya.  
bah￾wa pembangunan benteng-benteng 
VOC di Nusantara, khususnya di sepan￾jang pantai utara Jawa merupakan awal 
dari ekspansi kolinialisme. Ekspansi itu 
dilakukan dengan berbagai cara, baik 
secara militer, intervensi maupun poli￾tik adu domba (devide et impera). Setelah 
berhasil menguasai kota-kota atau kera￾jaan-kerajaan maritim, di samping 
mendirikan kantor-kantor dagang 
(comptoir) VOC juga mendirikan ben￾teng-benteng dengan tujuan untuk 
melindungi kepentingan bisnisnya. Se￾lanjutnya kota-kota pelabuhan itu 
ditempatkan atau diintegrasikan dalam 
sistem jaringan dagang VOC di Nusan￾tara. 
Salah satu benteng VOC di Jawa 
adalah benteng di Jepara, yang sengaja 
dibuat dengan tujuan untuk melindungi 
kantor dagang di Jepara, dan daerah￾daerah atau pelabuhan-pelabuhan yang 
telah dikuasai terhadap ancaman atau 
serangan dari laut. Namun demikian 
terdapat alasan lain yang menyebabkan 
VOC memilih membangun benteng di 
Jepara dan bahkan dijadikan sebagai 
pusat pemerintahan VOC di pantai Ti￾mur Laut Jawa (Noord Oostkust van Ja￾va). Alasan itu adalah bahwa pelabuhan 
Jepara merupakan pelabuhan militer 
pada jaman kerajaan Demak yang se￾makin dikembangkan ketika Jepara di￾perintah oleh Ratu Kalinyamat, dan 
tetap berfungsi ketika Jepara dikuasai 
oleh kerajaan Mataram Islam. Dengan 
demikian secara fisik kondisi pelabuhan 
itu masih bagus, sehingga VOC bisa 
langsung memanfaatkannya. Di 
samping itu Jepara pada saat itu masih 
memiliki daerah-daerah pedalaman 
yang banyak menghasilkan produk per￾tanian khususnya beras. 
Meskipun terdapat pertimbangan 
ekonomis, pertimbangan politik dan 
militer juga merupakan alasan penting 
dibangunnya benteng Jepara oleh VOC. 
Hal itu berkaitan dengan terjadinya 
pemberontakan Trunajaya di kerajaan 
Mataram Islam, dan raja Mataram wak￾tu itu memang meminta bantuan kepa￾da VOC untuk menumpasnya. Untuk 
menghadapi pemberontakan yang 
meluas di wilayah Jawa Tengah dan Ja￾wa Timur, pada tahun 1677 VOC 
melengkapi loji atau kantor dagangnya 
dengan markas tentara (legercamp), dan 
yang semakin dikembangkan menjadi 
benteng. Berdasarkan peta yang terlam￾pir, benteng Jepara itu terletak pada 
ketinggian di sebelah timur sungai Jepa￾ra dan loji (loge) yang dilengkapi dengan 
tanggul rendah (omwalling) dan benteng 
kecil (bolwerk). 
Sebagai imbalan jasa atas bantuan 
kompeni VOC dalam menumpas pem￾berontakan Trunajaya, maka pada ta￾hun 1680 VOC memperoleh konsesi dari 
raja Mataram yaitu Amangkurat II da￾lam bentuk sewa (gadai) dari raja Mata￾ram atas pelabuhan Jepara. Sejak saat 
itu kota pelabuhan Jepara yang sudah 
dilengkapi dengan benteng yang kuat 
dijadikan sebagai pusat kekuasaannya 
di wilayah Pantai Timur Laut Jawa. 
Sesudah itu VOC juga membangun ben￾teng-benteng di kota-kota pelabuhan 
sepanjang pantai utara Jawa. Disamping 
sebagai kantor dagang, benteng-benteng 
tersebut juga berfungsi sebagai per￾tahanan terhadap serangan dari laut 
baik oleh pelaut-pelaut Nusantara mau￾pun pelaut-pelaut Eropa lainnya, dan 
sebagai tempat tinggal masyarakat Ero￾pa. Demikianlah, seperti telah disebut￾kan di depan, di kota-kota pelabuhan 
dimana didirikan benteng VOC disebut 
dengan istilah sebagai kota-kota ben￾teng. 

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate