solo dan bali

SOLO

Kota Sala adalah salah satu kota besar di 
Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam 
perkembangannya. Semenjak terbentuk dari 
zaman kerajaan hingga sekarang, pertumbuhan 
dan perkembangan Kota Sala sangat dipengaruhi
oleh dinamika pemerintahannya. Dualisme 
kepemimpinan yang terjadi pada masa kerajaan, 
yaitu antara Kraton Surakarta dengan Pemerintah 
Kolonial, menentukan pola bentukan ruang kota 
dengan unsur nilai dan simbol kebudayaan yang 
dianut dua penguasa tersebut.
Menurut Kuntjoroningrat, kebudayaan 
dibedakan menjadi tiga unsur, yaitu ide/ norma, 
perilaku dan karya/artefak. Sedangkan 
Kuntowijoyo membedakannya menjadi dua unsur, 
yaitu nilai dan simbol. Nilai merupakan 
kebudayaan yang tidak kasat mata, sedangkan 
simbol merupakan perwujudan nilai yang kasat 
mata.
Menurut Jo Santoso (2002), kota adalah 
oikos, yang didalamnya terdapat empat komponen 
pokok, yaitu humus adalah tempat produksi, home
adalah tempat berlindung, homo adalah tempat 
untuk mengembangkan diri, serta habitat adalah 
tempat yang digunakan untuk menjalankan proses 
produksi dan reporoduksi. Sementara itu, kota 
adalah sebuah sistem yang didalamnya terdiri dari 
komponen-komponen sistem dengan fungsinya 
masing-masing untuk mendukung fungsi kota. 
Maka dapat disimpulkan bahwa keempat 
komponen oikos tersebut adalah komponen￾komponen pembentuk kota yang akan tumbuh dan 
berkembang seiring dengan pertumbuhan dan 
perkembangan kota. Tumbuh dan berkembangnya 
kota terwujud dalam bentuk berbagai macam 
simbol kebudayaan sebagai perwujudan dari nilai 
budaya yang dianut oleh penguasanya 
(pemerintahannya) seperti pola bentuk ruang kota 
dan bangunan-bangunan yang ada di pusat kota.
Berdasarkan deskripsi di atas maka tujuan 
dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan 
dan mengkaji pengaruh budaya dalam 
pembentukan ruang kota sebagai bentuk dari nilai 
dan simbol budaya.METODE
Penelitian ini menggunakan metode 
penelitian deskriptif kualitatif. Menurut 
Singarimbun (1986), tujuan dari penelitian 
deskriptif adalah untuk mengetahui 
perkembangan sarana fisik dan sebaran suatu 
aspek dari fenomena sosial, dalam penelitian ini 
adalah pola bentukan ruang dari fenomena 
dualisme kepemimpinan. Sedangkan penelitian 
kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang 
menghasilkan data deskriptif dari obyek yang 
diamati dengan dasar teori berdasarkan 
pendekatan fenomenologis dan kebudayaan, 
dalam penelitian ini adalah fenomena dualisme 
kepemimpinan yang mempengaruhi pola 
bentukan ruang.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan 
dengan studi literature dan observasi/ pengamatan 
lapangan. Observasi dilakukan terhadap bentuk 
ruang Kota Sala dan simbol-simbol kebudayaan 
yang ada di dalamnya. Sedangkan studi literatur
dilakukan terhadap peta-peta dan buku-buku 
literatur yang berhubungan dengan penelitian, 
yaitu pada kurun waktu perpindahan kraton 
sampai dengan peletakan motif dasar Kolonial. 
Metode Analisis Data
Analisis data menggunakan metode 
kualitatif. Langkah pertama dari analisis data 
kualitatif adalah melakukan penafsiran data 
dengan menelaah data-data dari hasil observasi 
lapangan, peta, gambar dan literatur yang 
berhubungan dengan simbol dan nilai budaya, 
serta bentuk ruang Kota Sala sejak perpindahan 
kraton hingga peletakan dasar motif Kolonial. 
Data-data tersebut kemudian dikelompokkan 
sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu budaya 
yang mempengaruhi pembentukan ruang Kota 
Sala, yaitu pada masa kraton dan pada masa 
Kolonial Belanda. Setelah itu proses penulisan 
dilakukan dengan melakukan reduksi terhadap 
beberapa data yang dianggap tidak relevan dengan 
tujuan penelitian.
ANALISIS DAN INTERPRETASI 
Desa Sala, dari Bandar Perdagangan menjadi 
Oikos
Pada abad XIII-XIV, ketika Kerajaan 
Majapahit masih berada pada puncak kejayaannya 
di Jawa Timur, sungai menjadi alat transportasi
utama. Hal tersebut ditunjukkan pula pada gambar 
1 bahwa wilayah geografis Desa Sala dikelilingi 
oleh sungai-sungai kecil sehingga memudahkan 
bagi para pedagang untuk mendapatkan komoditi 
perdagangan dari wilayah pedalaman. Pada saat
itu, Sungai Bengawan Solo menjadi jalur utama 
perdagangan dan pelayaran yang menghubungkan 
antara wilayah pedalaman Jawa (terutama Jawa 
Tengah) dengan laut serta menjadi jalur 
pertukaran ekonomi dan peradaban antara 
wilayah pedalaman dengan dunia luar. Maka 
tidaklah mengherankan apabila sejarah mencatat
bahwa di sepanjang Sungai Bengawan Solo 
terdapat 44 bandar perdagangan, artinya hal itu 
menggambarkan betapa kaya wilayah ini 
sehingga mampu menghasilkan komoditi 
perdagangan dan menumbuhkan kegiatan 
perdagangan yang sangat ramai.
Desa Sala merupakan daerah perdikan 
yang dikuasai oleh Dinasti Kyai Sala. Di desa ini 
terletak sebuah bandar perdaganan dibawah 
kekuasaan dinasti ini. Keramaian perdagangan 
dan pelayaran di Sungai Bengawan Solo membuat 
Desa Sala meningkat kesejahteraannya.Interaksi 
antara masyarakat dengan kaum pendatang yang 
sebagian besar merupakan kaum pedagang 
meningkat seiring dengan aktivitas niaga. Para 
pedagang yang menyusuri sungai sebagai 
distributor barang-barang dari luar dan 
menampung produk-produk domestik bukan 
hanya terdiri atas orang-orang pribumi, akan 
tetapi juga orang-orang asing seperti Cina, Arab 
dan Moor. Para pedagang ini sebagai pelaku 
bisnis aktif dipedalaman Jawa terutama sejak 
penghancuran pelabuhan-pelabuhan di pesisir 
Jawa oleh Sultan Agung dan penerapan monopoli 
oleh VOC (Solo Heritage Society, 2003).
Para pedagang asing yang kemudian 
melayani perdagangan dan aktivitas niaga 
disepanjang Sungai Bengawan Solo ini juga 
memiliki tempat singgah tetap di setiap bandar. 
Persinggahan tetap ini digunakan oleh mereka 
apabila harus menunggu persediaan produk yang 
akan dibawa, menjual habis produk yang diangkut 
dari daerah hilir maupun untuk menunggu arah 
angin bagi kepentingan pergerakan perahu 
mereka. Dalam perkembangan lebih lanjut, lokasi 
persinggahan itu berubah menjadi perkampungan
orang asing. Di beberapa bandar sepanjang sungai 
itu bisa ditemukan sejumlah perkampungan 
pedagang Cina yang tinggal permanen disana. Di 
Sala, sejak tahun 1744 telah ditemui adanya 
komunitas pedagang Cina yang bertempat tinggal 
disebelah utara Kali Pepe dan menjadi salah satu 
pusat penting yang memainkan peranan bagi 
perdagangan didaerah ini dan sepanjang Sungai 
Bengawan Solo (Solo Heritage Society, 2003).
Komunitas yang terdapat di Desa Sala 
merupakan perpaduan antara komunitas pedagang 
dan petani. Para petani tradisional tidak banyak 
menunjukkan perkembangan, diduga hal ini 
berkaitan dengan letak Desa Sala yang terletak di 
tanah yang rendah dan berawa-rawa. Sebelum 
pusat kekuasan Kerajaan Mataram pindah ke 
Desa Sala, di desa ini telah ada permukiman, 
antara lain Kampung Sampangan yang dihuni 
etnis Madura, Kampung Banjar yang dihuni etnis 
Banjar Kalimantan, Kampung Kebalen yang
dihuni etnis Bali dan Kampung Pasar Kliwon 
yang dihuni etnis Arab. Oleh karena itu,
kehidupan di Desa Sala lebih kuat bercorak desa 
niaga atau komunitas dagang dibandingkan 
agraris (Solo Heritage Society, 2003).
Desa Sala, merupakan daerah perdikan, 
yaitu suatu daerah otonom yang tidak memiliki 
kewajiban membayar pajak kepada penguasa
kerajaan. Penguasa desa perdikan mendapatkan 
kewenangan memerintah suatu daerah atau 
wilayah karena jasanya kepada kerajaan di masa 
lalu. Desa Sala ini karena letaknya di jalur urat 
nadi perdagangan, memiliki bandar yang sangat 
ramai dengan kegiatan perniagaan sehingga 
bandar ini memberikan penghasilan yang sangat 
besar bagi dinasti yang menguasainya. Namun hal 
tersebut berubah sejak pusat Kerajaan Mataram 
berpindah ke Desa Sala. Perpindahan tersebut 
terjadi karena peristiwa geger Pecinan pada tahun 
1741 yang menyebabkan terbakarnya kraton pusat 
Kerajaan Mataram di Kartosuro. Mitos yang 
menganggap istana yang sudah dihancurkan oleh 
musuh tidak lagi pantas dipakai sebagai pusat 
pemerintahan menyebabkan dipindahkannya 
pusat Kerajaan Mataram di Kartosuro. Setelah 
melalui berbagai pertimbangan para penasehat 
dan ahli nujum serta nasehat dari Kapten VOC 
maka akhirnya dipilihlah Desa Sala sebagai lokasi 
keraton yang baru.
Aplikasi Konsep Kota “Kosmologi” Jawa di 
dalam Kota Sala
Pada masa kerajaan, Kota Sala 
merupakan ibu kota baru yang memiliki 
kekhususan dibanding semua ibu kota kerajaan 
dari Kota Gede sampai Kartasura. Dilihat dari 
pola dan morfologi pusat kotanya, Kota Sala 
tampak meniru pola yang ada di Kartosuro. Ini 
berbeda dengan Plered dan Kota Gede, karena 
letak geografisnya, kedua kota ini mengambil 
Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan 
sebagai orientasi makrokosmosnya. Di Kartosuro 
hal ini tidak mungkin, karena lokasinya berada 
disebelah timur gunung Merapi. Sehingga 
kemudian dikembangkan sumbu timur-barat yang 
melintang alun-alun (lor) sejak pusat kota 
Kartosuro agar tidak kehilangan legitimasi 
spiritual. Di Kota Sala sumbu timur-barat juga 
hadir. Meskipun tidak dalam satu garis lurus di 
tengah alun-alun karena adanya masjid Agung 
(Adrisijanti,2000).
Tatanan kosmologi kota Kerajaan 
Surakarta diterangkan oleh Behren (1984)
mengikuti pola lingkaran-lingkaran konsentris 
yang berpusat di Probosuyoso sebagai dalem Raja. 
Setiap lapis lingkaran diwujudkan dalam bentuk
halaman-halaman kraton yang dibatasi oleh 
regol/kori, yaitu lapis terdalam sampai 
Srimanganti, berikutnya Kamandungan, 
kemudian Brajanala, dan terakhir Sitinggil. 
Lingkar-lingkaran tersebut mencitrakan dunia 
kosmos. (lihat gambar 3 dan 4).
Kota Sala sebagai Kota Kolonial dengan “Dual” 
Konsep Budaya
Kota Sala merupakan sebuah kota yang 
memiliki peninggalan budaya karena perjalanan 
sejarahnya sehingga mempengaruhi
kebudayaannya. Kuntowijoyo mengatakan, nilai￾nilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan
fisik apakah ruang/bangunan atau konstruksi. 
Sebuah pabrik, misalnya juga mengandung nilai 
budaya. Nilai itu ialah efisiensi, kerjasama 
terorganisasi, pembagian kerja, dan hierarki sosial. 
Sejak abad XVI orang-orang Belanda 
datang ke Indonesia dengan tujuan awal untuk 
berdagang, tapi pada akhirnya kemudian menjadi 
penguasa. Belanda mulai menjajah ketika VOC 
menguasai perdagangan komoditi pertanian di 
Indonesia yang merupakan komoditi pasar dunia, 
seperti, lada, vanilla, kopi, gula, nila dan karet. 
Pada awal kehadirannya, perusahaan dagang 
Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische 
Compagnie) mendirikan gudang-gudang 
(pachuizen) untuk menimbun barang-barang 
dagangan (rempah - rempah) serta kantor dagang 
sebagai contoh di Banten, Jepara dan Jayakarta 
(Jakarta lama). Pada perkembangannya mereka 
kemudian membuat pengamanan dengan 
memodifikasi gudang dan kantor tersebut menjadi 
benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat 
tinggal warganya. Sistem pertahanan ini 
dimaksudkan untuk pertahanan dalam bersaing 
dengan pedagang-pedagang bangsa lain
(Soekiman, 2000). Dalam kegiatan perdagangan, 
VOC tidak hanya menguasai jalur-jalur 
perdagangan di daerah pesisir Jawa, tetapi mereka 
juga berusaha menguasai daerah pedalaman. 
Kebetulan Kerajaan Mataram pada abad XVII￾XVIII pusatnya selalu di wilayah pedalaman Jawa 
dengan wilayah yang sangat luas dan subur. 
Kegiatan VOC mengintervensi kekuasaan 
Kerajaan Mataram mulai terasa diwilayah Sala 
sejak pengambil-alihan Keraton Kartosuro oleh 
PB II dengan bantuan VOC (kumpeni). Intervensi 
ini juga meninggalkan jejak sejarah dalam tata￾ruang kota kerajaan yang dibangun kemudian 
sesudah pusat kerajaan pindah dari Kartosuro ke 
Desa Sala.
Kecerdikan VOC menerapkan konsep 
kebudayaan lewat tata ruang Kota Sala 
menghasilkan sebuah kota konsep “dualism”, kota 
dengan dua konsep kebudayaan, yaitu konsep 
kota kosmologi Jawa dan konsep kota kolonial
(Gambar 5). Hal ini dilakukan untuk menghindari 
konflik/ peperangan akibat adanya perbedaan 
budaya. Simbol-simbol budaya dibiarkan berdiri 
di dalam ruang kota, sementara itu VOC 
memperkuat cengkeraman kekuasaannya melalui 
pembangunan-pembangunan infrastruktur 
pertahanan seperti beteng, jalan militer, barak￾barak militer sembari mereka melakukan 
pelemahan pada sisi kekuasaan kerajaan 
(tradisional) dengan melalui perjanjian-perjanjian 
yang tidak adil dan intervensi pada konflik￾konflik keluarga keraton bahkan pengaturan 
kehidupan keluarga raja.
Konsep Kota Kolonial tidak bisa lepas 
dari budaya kolonial, dimana proses pengambilan 
keputusan di negara jajahan, terjadi di negara 
induk. Artinya negara jajahan didominasi oleh 
sistem nilai, model dan penyelesaian￾penyelesaian masalah perkotaan dengan cara 
masyarakat metropolitan kolonial yang berbeda 
jauh budayanya dengan masyarakat Sala yang 
cenderung tradisional.Para perencana kolonial 
tidak mempedulikan dan cenderung menolak 
sistem nilai tradisional yang dipegang oleh 
penduduk pribumi. 
Kota-kota yang dikembangkan oleh VOC 
di Indonesia selalu didasarkan atas suatu konsep 
yang disebut “founded Settlement” atau cikal￾bakal permukiman Kolonial Belanda (gambar 4). 
Konsep ini terdiri atas tata-ruang dan elemen￾elemen bangunan yang menganut pedoman dan 
petunjuk teknis yang dikendalikan dari 
Netherland dan diawasi oleh Gubernur Jendral, 
Residen serta para insinyur. Hal ini berhubungan 
dengan konsep kolonialisasi dimana terjadi 
hubungan dominansi-dependensi. Hubungan ini 
menunjukkan ketergantungan masyarakat yang 
dijajah terhadap yang menjajah, akibat penekanan 
fungsi militer dan administrasi yang dilakukan 
oleh penjajah.
Sejak perpindahan Keraton Mataram dari 
Kartosuro ke Sala, maka tata ruang Kota Sala 
tanpa disadari telah terinvensi dengan konsep kota 
“dualism”, kota dengan dua konsep kebudayaan, 
yaitu konsep kota kosmologi Jawa dan konsep 
kota kolonial. Penerapan konsep ini tidak lepas 
dari campur tangan Pemerintah Kolonial untuk 
menguasai Kota Sala dari segi budaya dengan 
alasan untuk menghindari konflik/ peperangan 
akibat perbedaan budaya. Oleh karena itu, simbol￾simbol budaya dibiarkan tetap berdiri dalam ruang
kota. Konsep kota kolonial menganut pedoman 
dan petunjuk teknis yang dikendalikan dari 
Netherland dan diawasi oleh Gubernur Jendral, 
Residen serta para insinyur. Oleh karena itu, para 
perencana kolonial tidak mempedulikan dan 
cenderung menolak sistem nilai tradisional yang 
dipegang oleh penduduk pribumi dalam
mewujudkan ruang kota. 
Namun demikian, simbol-simbol budaya 
keraton tetap terjaga meskipun dalam tataran yang 
sangat mikro, hanya berada di pusat kota. 
Orientasi makrokosmos keraton mengambil 
sumbu utara selatan di utara dan Laut Kidul di 
selatan. Sementara itu, dalam tatanan kosmologi 
kota kerajaannya mengikuti lingkaran-lingkaran 
konsentris yang berpusat di Probosuyoso sebagai 
dalem Raja. Bentuk ruang kota yang diterapkan 
keraton ini menunjukkan bahwa hubungan antara 
rakyat dengan penguasa bersifat simbolik karena 
rakyat hanya dapat berhubungan dengan rajanya 
pada peristiwa-peristiwa tradisi budaya.
Selebihnya, rakyat hanya menjadi pelayan bagi 
Raja yang dalam budaya Jawa dianggap sebagai 
sosok titisan Tuhan.






BALI

Kajian ini merupakan suatu studi perkembangan kebijakan pengaturan 
penguasaan tanah pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan diferensiasi pedesaan 
di Bali.
1 Dalam kajian ini, pembahasan lebih ditekankan pada periode historis
penguasaan tanah sejak kedatangan pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada pertengahan abad ke-19, ditandai oleh upaya-upaya sistematis pemerintah kolonial 
Hindia-Belanda menerapkan berbagai kebijakan yang menjadikan Bali sebagai 
bagian dari sistem perdagangan satu ring fence economy.
2
Tujuan studi ini hendak 
berupaya mendeskripsikan bahwa berbagai kebijakan kolonial tersebut; khususnya 
kebijakan politik hukum pertanahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah 
mengakibatkan tanah, tenaga kerja, dan hasil bumi dieksploitasi melalui jalur-jalur 
tradisional dengan memanfaatkan kekuasaan para elit pribumi (indirect-rule) 
untuk melaksanakan imperialisme ekonomi sebagai kekuatan eksternal dengan 
tujuan mendapatkan pemasukan lebih banyak (besar) lagi bagi pemerintah 
kolonial dengan mengabaikan kesejahteraan kehidupan petani di pedesaan Bali.3
Kehadiran imperialisme ekonomi pemerintah kolonial Hindia-Belanda, 
sebenarnya telah ada sebelum ring fence economy diterapkan di Bali dan Lombok, 
tepatnya ketika VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) mendirikan satu 
kantor dagang tahun 1620 di Bali.4 Mulai periode inilah Bali dianggap sebagai
wilayah monopoli perdagangan VOC, dan selalu berusaha menghindarkan 
sebanyak-banyaknya kedua pulau tersebut dikunjungi oleh pedagang asing yang 
bersaing dengan VOC. Kemudian, mulai pertengahan abad ke-19 pemerintah 
kolonial Hindia-Belanda menerapkan bentuk-bentuk imperialisme yang lebih 
menyeluruh di Bali, ditandai dengan perang kolonial yang dilaksanakan dengan 
maksud menanamkan akar kolonialisme di Bali. Di sini, pemerintah kolonial 
berkepentingan mencegah dan menyelamatkan pulau Bali dan Lombok dari 
Wedloop om Kolonien negara-negara Barat, terutama Inggris yang imperialistis. 
Kolonialisme Belanda, terutama di Bali ini tidak lain merupakan produk ekspansi 
negara-negara Barat dengan tujuan utama menguasai perekonomian dan 
perdagangan, kemudian berkembang menjadi suatu kekuasaan politik pemerintah 
kolonial.
1. Penguasaan Tanah di Bali pada Periode Pra-Kolonial
Perkembangan struktur sosial-ekonomi masyarakat petani di pedesaan Bali 
sampai permulaan abad ke-19 masih terhindar dari pengaruh kekuatan asing dan 
penetrasi politik kekuasaan negara-negara Barat. Ketika itu, struktur masyarakat 
di pedesaan Bali dapat digambarkan terdiri dari pelbagai persekutuan di pedesaan 
yang tersusun rapi hidup berdampingan dengan suatu tata pemerintahan dari 
kerajaan-kerajaan yang bersifat feodal, merdeka dan berdaulat menjalankan 
pemerintahan sesuai dengan paswara (peraturan-peraturan dan perundang￾undangan) yang dibuat oleh raja-raja Bali berdasarkan adat-istiadat yang berlaku 
dan diwarisi secara turun-temurun.5 Berbagai pungutan pada petani pedesaan di
Bali dilakukan kerajaan melalui sistem perpajakan yang diatur berdasarkan sistem 
pengairan dalam pemerintahan yang bertingkat-tingkat dengan kerajaan sebagai 
pusat pemerintahan.6 Dengan kata lain, tidak hanya raja yang berhak 
mengeluarkan peraturan-peraturan perpajakan, melainkan punggawa dan sedahan 
pun dapat mengeluarkan peraturan serupa. Karena itu, seorang petani tidak hanya 
membayar pajak pada seorang bangsawan, ia mungkin sekali sebagai pembayar 
pajak dari bangsawan lain. Bahkan, petani masih harus membayar pajak dan 
pungutan lain dari raja dan sedahan. Perubahan-perubahan politik di tingkat 
supra-lokal pun hanya merupakan pergantian pemungutan pajak saja, yang terus 
berjalan selama berabad-abad. Pengaruh kekuasaan raja/ bangsawan kini telah 
sampai pada pengaruh yang mendasar atas struktur sosial pedesaan, tetapi lebih 
dari itu menentukan bentuk dari struktur pedesaan tersebut. 
Ketika itu, kehidupan masyarakat petani pedesaan di Bali sebagian besar 
terdiri dari petani yang mengolah sawah atau ladang dengan padi (beras) sebagai 
hasil pertanian pokok, mereka pun masih belum berminat untuk melakukan
perdagangan yang pada waktu itu dikuasai atau berada di tangan orang Cina dan 
Bugis.
Penguasaan tanah kerajaan mempunyai arti politis dalam mengendalikan 
kekuatan-kekuatan di pedesaan Bali. Kekuatan-kekuatan eksternal dalam 
melakukan penekanan pada petani di pedesaan dapat dilihat dari pengaruh 
kerajaan sampai di tingkat pedesaan melalui hubungan produksi tanah pertanian 
milik raja atau keluarga kerajaan disakapkan kepada petani penyakap yang 
menyerap tanah tersebut dengan sistem bagi hasil pertanian.
8 Dalam hubungan 
produksi ini petani penyakap harus memberikan tenaga kerja mereka kepada raja 
atau kaum bangsawan untuk melaksanakan pekerjaan domestik yang di Bali 
sering dikenal dengan sebutan ayahan dalem, yaitu berbagai kewajiban demi 
kepentingan puri (kerajaan). Untuk menekan kekuatan di pedesaan kerajaan
membagi-bagikan tanah druwe dalem sebagai tanah jabatan atau tanah pecatu, 
dari segi politis kerajaan mengendalikan petani. 
2. Penguasaan Tanah pada Era Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda
Perkembangan kebijakan pengaturan penguasaan tanah di Bali setelah 
kedatangan pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada pertengahan abad ke-19, 
mulai ditandai dengan upaya-upaya sistematis pemerintah kolonial dalam 
menerapkan kebijakan dengan tujuan melakukan intervensi terhadap persoalan￾persoalan luar negeri maupun dalam negeri kerajaan-kerajaan di Bali.
9 Konsep 
traktat-traktat politik tahun 1841 dan 1843 menjalankan politik baru yang dianut 
pemerintah kolonial, mulai tahun 1843 diubah haluan politik absolute onthouding
menjadi secara nyata - gedwongen (terpaksa) satu haluan politik beperkte 
onhouding, dan justru politik baru ini memperoleh realisasi dalam perjanjian 
tahun 1841 dan 1843. Perjanjian itu berisi upaya pemerintah Hindia-Belanda 
untuk memperoleh satu wilayah berpengaruh (invloedssfeer) yang nyata dan 
dapat dipertahankan terhadap kekuatan Barat yang lain dengan memperlihatkan 
satu hak (rechtstitel). Usaha memperoleh rechtstitel yang menjelmakan
Souvereiniteitsrechten atau Bezitsrechten pemerintah berfungsi sebagai 
pembuktian secara terus menerus dari kekuasaan pemerintah kolonial Hindia￾Belanda dengan maksud memagari kekuatan-kekuatan Barat yang lain jangan 
sampai memasuki Bali.
Dalam Pasal 1 Perjanjian tahun 1841, dijumpai rumusan yang diakui oleh 
raja-raja di Bali, ialah: “mengakui negeri-negeri kupernement Hindia-Belanda,”
juga punya adanya,
10 (teks bahasa Belanda menyebutkan het eigendom van het 
Nederlandsch Indisch Gouvernement).11 Di sisi lain, pendapat 
Regeeringskommissaris semacam Oostersche beleidheid - Condominium (Mede￾eigendomschap). Pendapat tersebut mempunyai landasan kebenaran dari 
pemakaian kata “juga” yang ditempatkan di depan kata “punya adanya”. Di balik 
itu, terdapat Begriffsjurisprudenz yang menyesatkan karena pemerintah kolonial 
menghendaki eigendom, justru mede-eigenaar akan sangat membatasi Pemerintah 
kolonial Hindia-Belanda. Pendapat Regeeringskommissaris semacam oosfeschs 
beleidheid, dengan memakai teori condominium (mede-eigendomschap) dapat 
dikatakan merupakan tipu-muslihat yang digunakan pihak pemerintah kolonial 
Hindia-Belanda untuk meyakinkan raja-raja supaya meratifikasi perjanjian; itu 
digunakan agar tidak terlalu mengagetkan raja-raja, maka disebutkan di samping 
gubernemen, raja pun menjadi eigenaar wilayah kerajaan?
Dalam perjanjian tahun 1849 baru dinyatakan dengan tegas dan justru 
berbeda dengan perjanjian tahun 1841 dan 1843. Ditegaskan “...(negeri-negeri itu 
gupermenent Hindia-Nederland) juga punya adanya” (teks bahasa Belanda, 
eigendom) Penggunaan kata-kata tersebut telah menimbulkan perselisihan paham 
antara raja-raja dan pemerintah kolonial, yang menimbulkan perang dua kali, 
yaitu tahun 1846, dan tahun 1848/ 1849. Perjanjian tahun 1849 tidak lagi 
menggunakan kata tersebut dan diganti “(kita punya kerajaan) ada sebagian dari
tanah Hindia-Belanda: (dat het rijk) een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch 
Indie”. Di sini dinyatakan lebih tegas dan tidak memberi banyak kemungkinan 
untuk membuat penafsiran yang berbeda. Kondisi seperti itu dijadikan bagian
integral (inlijving) dan oleh karena itu, kerajaan-kerajaan di Bali ditempatkan di 
bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda benar-benar telah melakukan 
bezitsdaad, dengan mendaratkan kekuatan militer di tanah Bali untuk merealisasi 
eigendom-nya berdasarkan pada perjanjian kedua tanggal 9 Juli tahun 1846, 
eigendom bukan hanya formal saja, melainkan sudah bersifat material. Kerajaan￾kerajaan di Bali ditempatkan di bawah kekuasaan nyata kekuatan kolonial Hindia￾Belanda, melalui suatu politik menganeksasi kerajaan yang tidak menjalankan 
kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam perjanjian (kontrak). 
Penaklukan secara nyata oleh rezim kolonial Hindia-Belanda baru terjadi pada 
tahun 1854, 1855 (Buleleng dan Djembrana). Setelah itu satu persatu kerajaan di 
Bali Selatan kehilangan kemerdekaan mereka, tahun 1894 (Karangasem), tahun 
1900 (Gianyar), tahun 1906 (Badung) dan terakhir tahun 1908 (Klungkung). 
Mulai saat itulah, di Bali berlangsung “Tropisch Nederland” atau “Nederland 
Overzee”, yaitu era (periode) kolonial penuh. Periode ini ditandai oleh runtuhnya 
kerajaan Klungkung, melalui puputan Klungkung pada tanggal 28 April 1908 dan 
mulai saat itu seluruh Bali berada di bawah pemerintahan langsung kekuasaan 
pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Namun, pada masa permulaan Administratie Toezicht di Bali Utara dan 
Barat, ketika itu dikenal sebagai masa transisi karena telah diangkat Controleur
yang mewakili kepentingan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan 
kewenangan yang masih sangat terbatas dan kemudian diperluas.
13 Kemudian 
setelah Buleleng berstatus sebagai daerah Swapraja. Berdasarkan Ind. Stbl. 1860 
nr 107., ditempatkan seorang Assistent Resident dan seorang kontrolir 3de klasse.
Kewenangan Assistant Resident ditempatkan di bawah perintah Gecommitteerd di 
Banyuwangi dan dibebani dengan de leiding van het Inlandsch Bestuur en met de 
functien Gouvernements Agent. Berdasarkan Ind. Stbl. 1861 nr 47, Assistent 
Resident yang ditetapkan di bawah Gecommitterde di Banyuwangi dianggap 
sebagai Hoofd van Gewestelijk Bestuur, yaitu sebagai satu Administrative Indeling
yang meliputi Bali dan Lombok.14 Menyusul setelah Djembrana diberi perluasan 
Administrative Toezicht, berdasarkan Ind. Stbl 1862 nr 30, di situ ditempatkan 
seorang Kontrolir di bawah Assistent Resident di Buleleng. Pengawasan 
terhadap raja-raja di Bali dan Lombok, untuk menaati perjanjian tersebut, 
dilakukan oleh Assistant Resident dari Afdeling Banyuwangi di Jawa Timur (Ind 
Stbl 1849 nr 39). Diangkat juga Gecommitteerde voor de Zaken van Bali en 
Lombok, bertugas mengawasi dan tidak ikut campur urusan dalam negeri kerajaan 
di Bali sampai 1882. Kerapkali Gecommitetterde hanya menjalankan satu tugas 
volkenrechtelijk, yaitu bertindak sebagai juru damai – mediator - antara raja-raja 
yang terus-menerus berselisih.15
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1861 membuat keputusan 
penting dengan mengeluarkan dua Gouvernementbesluit tertanggal 20 April 1861 
nr 7 dan Gouvernementbesluit tanggal 13 Oktober 1861 nr 9, yang memuat 
regelen van bestuur untuk swapraja-swapraja Buleleng dan Djembrana, yang 
terdiri dari 24 Pasal dan dianggap sebagai kcnstitusi tertulis bagi swapraja
Buleleng dan Djembrana. Meskipun regelen van bestuuur ini resmi merupakan 
hasil perundingan dengan raja-raja di kedua wilayah tersebut, tetapi mengingat 
dibuat dalam situasi tekanan pihak pemerintah kolonial, tentu sangat membatasi 
kewenangan raja-raja, jika dibandingkan kekuasaan mereka sebelum tahun 1854 
dan tahun 1855.16 Pemerintah kolonial Hindia-Belanda secara resmi melakukan 
pembagian wilayah (teritorial) administratif setelah tanggal 1 Juli 1881 dengan 
membentuk Karesidenan Bali dan Lombok di bawah pimpinan seorang residen 
yang bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Jenderal di Batavia dan 
berkedudukan di Singaraja (Bali). Ketika itu, Bali dibagi atas dua afdeling 
(wilayah) meliputi Bali Utara dan Bali Selatan dan Assistant Resident-lah 
bertanggungjawab atas kedua wilayah tersebut.
17
Ketika pulau Bali sudah di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia￾Belanda pada tahun 1908, Karangasem, Bangli, dan Gianyar kemudian diberi 
status yang sama, yakni sebagai gouvernements landschappen (daerah-daerah 
swapraja di lingkungan kekuasaan Gouvernement) dan diperintah oleh seorang 
pegawai Bumiputera sebagai penguasa tertinggi, yang masih berasal dari 
keturunan raja-raja di daerah itu dan dalam pelaksanaan pemerintahan sehari￾hari didampingi oleh controleur (kontrolir) seorang pegawai kolonial Hindia￾Belanda. Berbeda halnya dengan Klungkung, Badung, Tabanan, Djembrana, dan
Buleleng masih berstatus sebagai onderafdeling (sub-wilayah) biasa, yang 
dipimpin oleh pejabat pegawai Hindia-Belanda yang disebut kontrolir tadi.
18
Kemudian pada tahun 1929 Residen J.J. Caron mengadakan perombakan 
birokrasi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda besar-besaran di Bali. Daerah￾daerah gouvernements landschappen dihapuskan dan dibentuk delapan sub￾wilayah. Buleleng dan Djembrana di lingkungan wilayah Bali Utara langsung 
ditempatkan di bawah daerah kekuasaan Residen, sedangkan Bali Selatan terdiri 
dari sub-wilayah Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem 
di bawah Assistant Resident yang berkedudukan di Denpasar. Di setiap sub￾wilayah tersebut diangkat seorang petugas bumiputera yang memegang kekuasaan 
tertinggi dan diberi nama negara bestuur (penguasa negara), yang belum 
mempunyai negara bestuurder baru dapat dipilih dari keluarga raja-raja dan 
didampingi oleh seorang kontrolir.
Berdasarkan perubahan pemerintahan di seluruh Hindia-Belanda secara 
besar-besaran mulai tanggal 1 Juli 1938 dibentuklah Het Gewest de Grote Oost
(Propinsi Timur Besar) dan Bali termasuk dalam wilayah itu. Pemerintah kolonial 
kemudian membentuk daerah-daerah swapraja yang terdiri dari delapan sub￾wilayah. Kemudian negara bestuurder berubah menjadi Zelfbestuur. Kedudukan 
raja dikukuhkan melalui suatu Korte Verklaring,
19 (Pernyataan dari raja untuk 
tetap setia kepada Raja Belanda dan peraerintah kolonial Hindia-Belanda). Daerah 
swapraja diberi otonomi dan mempunyai peraturan sendiri (Zelfbestuursregelen,
1938), raja pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda 
diwakili kontrolir sebagai “penasehat raja” di dalam wilayah swapraja. Kenyataan 
memperlihatkan lain bahwa kontrolir yang bertugas sebagai penasehat raja, justru 
kelihatan lebih berkuasa dan kerapkali ikut campur dalam urusan pemerintahan di
daerah tersebut.
20 Pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah mengembangkan 
suatu birokrasi pemerintahan Belanda-Bali yang berpautan dan tersusun rapi: 
residen dan kontrolir, raja (regent), dan punggawa (kepala distrik) membentuk 
susunan hierarkis dengan tujuan mengatur seluruh persoalan orang pribumi 
termasuk kehidupan petani di pedesaan Bali.
Kehadiran birokrasi baru pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah 
menghancurkan ikatan pelayanan perseorangan antara bangsawan dan bawahan 
yang dihapuskan dan diganti dengan hubungan pemerintahan wilayah (teritorial). 
Pemerintah kolonial menempatkan posisi mereka sedemikian rupa dengan 
berupaya mengurangi peranan raja atau kaum bangsawan dalam memanipulasi 
ikatan tradisional yang menjerat petani melalui sistem persekutuan-persekutuan 
pedesaan di Bali. Kekuasaan raja yang sangat besar pun semakin dikurangi; bukan 
hanya oleh seringnya terjadi pertempuran yang dilakukan melainkan juga dengan 
dihapuskannya berbagai sistem perpajakan tradisional dan sistem ikatan patron￾klien yang sengaja diciptakan raja atau kaum bangsawan.
Bali, sebelum di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda 
secara keseluruhan pada tahun 1908. Di Bali Selatan, masih dijumpai pemisahan 
antara pemerintahan banjar dan desa dengan kepala-kepala pengayah kedalem; 
persekutuan-persekutuan tersebut hanya mengurusi kepentingan mereka sendiri￾sendiri, misalnya mengurusi tempat pemujaan. Kepala pengayah kedalem
mengurusi berbagai kepentingan pemerintahan raja. Menyelenggarakan 
pelaksanaan upacara di tempat pemujaan milik puri, mengurusi kepentingan pura￾pura yang besar, mengadakan perbaikan dan pemeliharaan tanggul-tanggul dan 
pipa saluran air. Selain itu, kepala pengayah ini menjadi perantara dari subak di 
pedesaan dengan raja-raja di Bali Selatan. Tetapi, pada tahun 1908, ketika seluruh 
Bali sudah ditempatkan di bawah kekuasaan birokrasi pemerintahan kolonial 
Hindia-Belanda dilakukan penataan (penyusunan) kembali pelbagai struktur 
kemasyarakatan yang berkembang di Bali. Kebijakan pemerintah kolonial Hindia
Belanda mulai sejak itu memasukkan kekuasaan pemerintah teritorial, berlawanan 
dengan keadaan sebelum itu yang hanya mengenal kepala-kepala pengayah 
kedalem yang tinggal dan bercampur-baur dengan masyarakat petani di 
pedesaan.21
 Dalam memudahkan pelaksanaan pemerintahan dimasukkan kepala￾kepala pengayah kedalem yang lama ke dalam struktur birokrasi baru sebagai 
perantara antara punggawa dengan desa atau perkumpulan bumiputera 
(rechtsgemeenschap), karena jumlah desa dan banjar terlampau besar untuk 
dikepalai oleh satu orang punggawa .
Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda yang baru telah melakukan 
retrukturisasi sistem pemerintahan di daerah swapraja Klungkung, ialah dengan 
melakukan pembentukan tiga distrik di Klungkung terdiri dari Banjarangkan, 
Klungkung, dan Dawan. Pemerintahan setempat sebelumnya dihapuskan dan 
kepala-kepala pengayah kedalem yang dulu dijadikan kepala pemerintah. Klian
pengliman memimpin kurang lebih 200 orang berdinas wajib dan di atas 
beberapa pengliman ada perbekel (yang dinamakan bendesa). Dengan 
demikian, klian pengliman membawahi satu banjar gede atau beberapa banjar 
kecil.22 Berlainan dengan penyusunan kembali pemerintahan di Gianyar 
yang dikaitkan dengan persekutuan banjar dan memakai klian banjar dengan 
memberi dua fungsi, ialah: mengurusi persoalan-persoalan intern banjar (namun 
kadangkala dijumpai dua banjar kecil digabungkan menjadi satu) dan mengurusi
berbagai kepentingan pemerintah sebagai kepala pemerintahan terendah. 
Penyusunan atau pembentukan kembali pemerintahan di desa; di mana di daerah 
kekuasaan desa tersebut ditempatkan seorang perbekel yang dulu sebagai kepala 
pengayah kedalem sedangkan kepala desa sebenarnya, klian desa atau bendesa 
tetap diberi kewenangan menangani segala urusan yang dianggap penting dari 
desa tersebut.

Kerajaan-kerajaan feodal bumiputera di Bali masih tetap mengikat petani 
setelah pemerintah kolonial menguasai seluruh Bali berkenaan dengan tanah 
pertanian di pedesaan? Kekuasaan raja di Bali kerapkali tampak melalui hubungan 
pemberian tanah/ sawah pecatu.
24 Dalam pemberian tanah pecatu raja mempunyai 
kekuasaan yang meliputi: - menuntut penyerahan hasil pertanian yang kurang baik 
atau penggarap tanah pecatu meninggalkan lahan - tanah dapat dikuasai kembali 
tetapi terbatas pada sawah yang ditempati petani-petani yang melarikan diri 
karena peperangan - raja mempunyai kewenangan menguasai tanah kembali 
karena pengayah kedalem meninggal dunia atau camput (mati punah) tanpa 
meninggalkan keturunan pun atau sentana.
25 Petani sebagai produsen langsung
yang memperoleh tanah pecatu masih dikenai dengan memikul berbagai 
kewajiban, misalnya seperti (1) Menjalani dinas sebagai prajurit kerajaan. (2) 
Setiap saat diwajibkan melakukan berbagai pekerjaan di lingkungan puri (istana 
raja rumah bangsawan tinggi). (3) Menyerahkan bahan-bahan mentah atau hasil 
bumi untuk kepentingan puri. (4) Melaksanakan pekerjaan dalam 
menyelenggarakan pesta upacara nyepi yang dilakukan setiap tahun. (5) 
Menyerahkan ayam jantan sebagai kegemaran raja untuk sabungan ayam 
yang diadakan setiap tahun. (6) Melaksanakan pekerjaan untuk keperluan upacara 
di pura negara yang besar atau di pura keluarga raja. (7) Pekerjaan-pekerjaan di 
empelan (bendungan) dan tanggul-tanggul oleh pengayah kedalem yang menjadi 
kepunyaan persekutuan pertanian.
Keadaan pemerintahan banjar dan desa sebelum tahun 1908 di Bali tidak 
mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan 
pemimpin persekutuan-persekutuan ini hanya mengurusi kepentingan intern 
banjar dan desa. Perbekel, pengayah kedalem memimpin perbuatan-perbuatan
dari dinas ayahan kedalem, termasuk ayahan pura dan sebagainya. Dengan 
demikian, perbekel menyalurkan orang-orang pekerja dari pemerintahan kerajaan 
di Bali. Kepentingan raja dan keluarga raja jatuh bersamaan dengan kepentingan 
pemerintahan kerajaan. Panglima-panglima dari orang-orang pekerja memperoleh 
keuntungan materi, jika raja memberi mereka satu atau lebih tanah garapan dari 
tanah druwe atau dari tanah pecatu dalam menikmati hasil tanpa memiliki tanah 
sebagai imbalan.
Keseluruhan masalah yang berkaitan dengan tanah pertanian milik raja 
ditangani oleh seorang sedahan agung (administrator kerajaan) yang diangkat raja 
dan diberi tugas mengurusi semua hal yang berkaitan dengan penghasilan sawah 
dan ladang yang beraneka ragam. Misalnya, bagi hasil antara pemilik (raja) 
dengan petani penggarap tanah sawah druwe dalem, mengurusi berbagai 
pengeluaran biaya produksi sawah-sawah tersebut seperti sumbangan wajib yang 
harus dibayar untuk pemeliharaan saluran irigasi, dan biaya selamatan di pertanian 
untuk memuja Dewi Sri (dewi padi). Berhubung tanah milik raja berjumlah 
banyak dan berpencar-pencar di berbagai tempat, maka untuk satu kelompok 
sawah diangkat semacam petugas atau mandor yang bertugas memeriksa 
tanaman-tanaman yang ditanam penggarap dan mengawasi pada saat panen serta 
membagi hasil yang menjadi hak penggarap dan pemilik (raja). Mandor 
bertanggung-jawab kepada sedahan (administrator) yang melakukan pembukuan 
mengenai hasil penjualan yang diperoleh dari proses produksi. Pembukuan dari 
administrator dan kasir yang memegang uang kontan terakhir diperiksa oleh raja.
Pengeluaran rumah tangga kerajaan di Bali dibiayai dari penghasilan tanah 
milik pribadi raja. Ide Anak Agung Gde Agung raja menyatakan, raja Gianyar 
memiliki tanah sekitar 200 hektar, suatu jumlah yang besar sekali dibandingkan 
dengan milik petani.26 Penghasilan dari tanah pertanian digunakan raja untuk 
membiayai keperluan rumah tangga raja termasuk mengadakan pesta dan jamuan 
makan tamu agung kerajaan; memberi makan begitu banyak orang yang 
bertempat tinggal di puri; melaksanakan pesta upacara adat dan agama. Pekerjaan
bangunan dilakukan oleh tukang-tukang yang diberi tanah oleh raja di mana 
seluruh hasil produksi tanah tadi diberikan kepada mereka yang tetap bekerja 
untuk kepentingan puri. Pekerjaan tukang dibantu buruh yang terdiri dari petani 
penyakap tanah milik raja yang cukup diberi makan jika tenaga mereka 
diperlukan. Pemberian pelayanan pribadi kepada raja di Bali tersebut diikat oleh
tradisi yang dilandasi adat-istiadat tradisional bahwa petani penyakap 
berkewajiban untuk membantu pemilik tanah bila diperlukan tenaga kerja 
tambahan dalam melakukan suatu pekerjaan pada pemilik tanah.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda membuat ketentuan dalam satu 
paswara pada tahun 1908 yang membatasi ketentuan-ketentuan pemberian 
pelayanan pribadi dan memberikan bahan mentah untuk kepentingan puri. 
Ketentuan baru pemerintah kolonial tersebut menegaskan pemilik sawah pecatu
harus menunaikan kerja paksa selama dua puluh hari kerja, menyerahkan dua 
bambu, tiga atap, dan enam batu paras, sedangkan untuk pecatu tegalan satu 
bambu dan lima ratus genteng bambu. Kewajiban-kewajiban dari nomor 4 sampai 
dengan 7 dihapuskan, karena kewajiban terhadap ucapara nyepi, tanggul-tanggul 
dan saluran tidak pernah terdapat dalam kesusasteraan di Bali. Karena itu dinas￾dinas ayahan kedalem yang dianggap sama dengan dinas-dinas puri dihapuskan 
pemerintah kolonial tanpa diketahui keadaan di lapangan. Pengayah kedalem di 
Bangli masih mengerjakan perawatan pura-pura negara yang besar dan pura-pura 
keluarga raja (regent), yang mana mereka manaruh perhatian.
Penghapusan berbagai kewajiban melaksanakan pekerjaan di puri Gianyar 
dan Bangli tidak pernah dihapuskan tanpa suatu alasan. Menurut peraturan 
perundang-undangan pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1917, 
dinas-dinas ayahan kedalem tidak sesuai lagi. Dalam melakukan penghapusan 
dinas-dinas tersebut yang dianggap sebagai hukum yang mengatur hubungan 
antara warga negara dengan pemerintah disertai dengan memberikan biaya pribadi 
kepada orang yang namanya tercantum dalam Staatsblad 1917 Nomor 518, karena 
mereka kehilangan dinas-dinas ayahan kedalem. Meskipun demikian, regent 
Bangli menolak menerima tunjangan pribadi, regent Bangli menerangkan bahwa 
telah terdapat kesepakatan antara raja dengan petani yang memegang tanah pecatu
menurut hukum perdata, yang mana penyerahan tanah pecatu kepada pemilik atau 
penggarap disertai kewajiban-kewajiban terhadap raja. Pemerintah kolonial 
Hindia-Belanda boleh menghapuskan dinas-dinas ayahan kedalem, tetapi raja 
minta kembali sawah pecatu sebagai druwe (tanah itu ketnbali menjadi milik raja 
sendiri). 
Berbeda halnya dengan keadaan di Klungkung, dinas-dinas ayahan 
kedalem telah dihapuskan sejak tahun 1908, setelah itu dibuat perbedaan￾perbedaan tegas antara dinas-dinas wajib pengayah kedalem dengan pekerjaan 
yang lain. Disebutkan tidak ada lagi dinas-dinas ayahan kedalem dilakukan 
kepada raja, oleh karena itu petani yang memiliki tanah pecatu ditetapkan 
memperoleh dua bagian sedangkan satu bagian lagi diserahkan sebagai kerja 
paksa biasa sampai ketentuan ini dihapuskan tahun 1916. Kenyataan 
menunjukkan lain sampai tahun 1922 pemilik tanah pecatu di Bali masih dibebani 
oleh pekerjaan menyelenggarakan upacara nyepi. Keadaan pengaturan masih tidak 
teratur. Kebijaksanaan pertanahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda terkait 
dengan tanah pecatu di Klungkung sejak tahun 1908, di Gianyar dan Bangli sejak 
1917 masih tidak pasti. Apakah dalam dinas-dinas puri yang sudah dihapuskan 
pemerintah kolonial itu juga termasuk dinas-dinas yang lain? Hal ini tidak dapat 
dipastikan dan penyelesaian persoalan ayahan dalem makin lama menjadi 
semakin rumit, karena banyak dijumpai tanah pecatu yang digadaikan atau dijual 
oleh petani.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Bali melakukan penggantian dari 
perbekel pengayah kedalem diganti menjadi perbekel atau kepala kumpulan 
perbekel di distrik Gianyar; klian banjar, pekaseh dan pemangku sebagian 
dipecat, sedangkan perbekel yang dipecat kadangkala tidak kehilangan lapangan 
pekerjaan mereka karena diberikan tanah bukti atau pecatu; kepala pengayah 
kedalem yang diangkat dalam organisasi pemerintahan desa yang baru masih
memegang tanah jabatan yang dulu atau pemerintah kolonial memberikan 
sebagian dari tanah jabatan. Di distrik Gianyar, ditetapkan bahwa setiap perbekel 
atau kepala kumpulan perbekel memperoleh lapangan kerja berupa lahan empat 
tenah dan setiap klian banjar, klian subak dan bendesa satu tenah.
Ketika puputan Klungkung diakhiri dengan kekalahan di pihak kerajaan 
Klungkung dari penjajah Belanda mengakibatkan tanah druwe atau tanah 
kepunyaan Dewa Agung dan keluarga kerajaan dirampas dan menjadi milik 
pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian tanah milik raja atau tanah druwe
diberikan kepada pribumi yang telah diangkat menjadi regent dan tanah tersebut 
didaftarkan seperti tanah bukti kepunyaan perbekel pengayah kedalem yang 
dimasukkan sebagai perbekel (yang kemudian di Klungkung disebut bendesa), 
kepala kumpulan perbekel dan sebagai klian pengliman ke dalam organisasi baru 
pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Pemerintah mencatat berbagai tanah jabatan 
yang terdiri dari (1) tanah jabatan yang benar-benar diperoleh dari sawah druwe; 
(2) bukti pengayah kedalem yang dulu; (3) bertalian dengan sejumlah klian subak, 
dan juga sawah pecatu.
Kebijakan pertanahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda di pedesaan 
Bali dimaksudkan untuk melakukan terobosan di bidang ekonomi. Langkah￾langkah yang ditempuh tidak hanya memperbaiki struktur supra-lokal, tetapi 
lebih jauh dari itu, dengan meletakkan perubahan struktur pemerintahan 
desa dan fungsi posisi pejabat desa di Bali sebagai basis yang dapat 
menunjang kepentingan perekonomian dan keberadaan pemerintah kolonial 
dengan mengurangi dan menekan sedikit mungkin seluruh kekuatan
politik, baik di tingkat lokal maupun supra-lokal. Untuk itu, pemerintah 
kolonial Hindia-Belanda mengangkat kepala persekutuan pertanian sebagai 
pegawai pemerintah. Dengan begitu segala kegiatan petani di pedesaan pun dapat 
diketahui, karena petugas pemerintah ini bertugas selain mengurusi pengairan, 
juga membantu melakukan registrasi tanah pertanian untuk kepentingan 
pemerintah kolonial.
Kondisi perekonomian pemerintah kolonial Hindia-Belanda itu sebenarnya 
baru mulai tampak mantap sekitar 1859; tanah-tanah yang tidak terdaftar dirampas
oleh pemerintah Hindia-Belanda; peningkatan produksi komoditi masih 
diletakkan pada komoditi padi, tembakau, kopi, kelapa, minyak kelapa, dan
babi.27 Peningkatan produksi padi dan komoditi lain diikuti oleh indikasi 
peningkatan penerimaan pajak oleh pemerintah kolonial. Pada tahun 1859 di 
daerah Buleleng pajak padi yang masuk sebesar f 1. 5.900 dan setelah itu di tahun 
1880 pemasukan pajak meningkat, baik dari daerah Buleleng maupun Djembrana 
mencapai fl. 149.600 belum lagi ditambah dengan pemasukan f 1. 33.300 pajak 
tanah kering maupun dari pemungutan pajak-pajak yang lain.
Kebijakan perekonomian pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Bali kini 
mengalami perubahan orientasi dari yang ditujukan untuk kepentingan 
menghidupi kerajaan menjadi berorientasi ke pasaran luar negeri. Dengan 
perkataan lain, Bali telah membuka diri dalam sistem perdagangan dengan daerah 
lain di luar negeri maupun daerah lain di dalam negeri. Peningkatan ini tampak 
dalam kalkulasi ekspor padi daerah Buleleng pada tahun 1859 telah mencapai 
30.000 pikul seharga f 1. 100.000; padahal sebelum itu Bali secara umum belum 
berperan dalam ekspor padi. Kemampuan ekspor padi semakin meningkat dan 
mencapai titik tertinggi pada permulaan abad ke-20, yaitu sampai mencapai f 1. 
500.000, ini merupakan ekspor tertinggi kedua setelah candu/ opium.
Dampak dari keinginan pemerintah Hindia-Belanda menguasai 
perekonomian di seluruh Bali telah menjadi beban yang sangat berat bagi petani 
di pedesaan. Pemerintah kolonial tidak hanya melakukan pencatatan pemilikan 
tanah dan melakukan penaksiran baru terhadap tanah pertanian, lebih jauh dari itu, 
pemerintah kolonial melakukan reorganisasi pemerintahan di pedesaan melalui 
penyatuan-penyatuan desa di Bali menurut kehendak pemerintah kolonial itu 
sendiri. Terlebih lagi setelah tahun 1908, penyatuan itu dimaksudkan untuk 
mendapatkan kelompok-kelompok 200 orang wajib kerja rodi di sektor pertanian. 
Mengingat sampai permulaan abad ke-20 pemerintah kolonial masih ingin 
mempertahankan padi sebagai tujuan pokok ekspor Bali.
Perubahan-perubahan sistem perpajakan dilakukan secara besar-besaran 
oleh pemerintah Belanda, seperti pernah dilaporkan oleh seorang kontrolir
bernama Bloemen Waanders, yang telah melakukan penelitian mengenai sistem 
pemungutan pajak menurut sistem lama yang melalui beberapa tingkatan.28
Kemudian sistem pemungutan pajak oleh bangsawan lain mulai dihapuskan, dan 
khususnya sedahan oleh pemerintah Belanda diintegrasikan dalam struktur baru 
serta diharuskan memungut berbagai-macam pajak pemerintah kolonial.29
Kedudukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang semakin kokoh 
mengakibatkan peranan kaum bangsawan terus semakin mengalami tekanan dari 
pihak pemerintah kolonial.
Kebijakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk menata kembali 
sistem perpajakan yang bertingkat-tingkat di Bali semakin menyudutkan 
kedudukan petani sebagai produsen langsunglah, karena petani sebagai kekuatan 
yang paling lemah/ bawah tentu lebih banyak terpukul dari kebijakan pemerintah 
kolonial tersebut karena surplus yang dihasilkan petani dieksploitasi oleh 
kekuatan-kekuatan dari luar.30 Begitu besar kekuatan-kekuatan dari luar yang 
menyerap hasil produksi mereka, sehingga petani sebagai produsen langsung 
semakin tidak mampu mempertahankan tingkat kehidupan mereka di pedesaan 
Bali ditunjukkan oleh penguasaan tanah yang dimiliki rata-rata tanah 1 hektar,31
lahan pertanian mereka semakin berkurang setiap tahun dan jumlah orang-orang 
tidak bertanah semakin bertambah.32 Kondisi kehidupan petani di pedesaan Bali
semakin merosot, didorong pesatnya pertambahan petani tidak mempunyai tanah 
maupun perubahan-perubahan di tingkat makro. Di pihak lain, tanah pertanian di 
Bali sebagian besar masih dikuasai oleh kelompok kecil tuan tanah, terutama 
kaum bangsawan.
Mulai permulaan abad ke-20, perkembangan masyarakat agraris di Bali 
menunjukkan kehidupan di pedesaan mengalami tekanan pertambahan penduduk 
meningkat terus dengan sangat cepat di atas persediaan tanah yang jumlahnya 
tetap mengakibatkan setiap tahun orang-orang yang tidak mempunyai tanah 
mengalami peningkatan sehingga menambah kehidupan di sektor pertanian 
semakin sulit. Korn melihat kemiskinan di Bali sebagai akibat dari depresi 
ekonomi, lebih diperburuk oleh kekuasaan kaum bangsawan yang mempunyai 
tingkatan yang lebih tinggi yang tidak dapat dikendalikan. Bangsawan siapa pun 
yang memperoleh kekuasaan pada tingkatan lebih tinggi di Bali, 
bersamaan dengan kondisi seperti itu dalam kebiasaan di Bali ditemukan 
kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekuasaan kaum 
bangsawan selalu diidentikkan dengan memperluas kemiskinan.33
Berdasarkan hasil penelitian H. Schulte Nordholt, sebagian besar petani 
Bali memiliki sawah kecil (kurang lebih 0,5 hektar) dan petani bagi hasil 
atau penyakap kira-kira 40% kepala keluarga, situasi sangat berbeda dengan 
sebelum itu.34 Pemerintah kolonial sejak tahun 1920-an memperkenalkan 
pembaruan sistem pajak tanah kolonial yang baru. Petani kemudian tidak hanya 
membayar lebih dari sebelumnya, tetapi mereka juga membayar dengan sejenis 
uang Belanda (Dutch Indies) atau dengan mata uang orang Bali (kepeng) . 
Pembayaran pajak tanah baru dipikul penuh oleh petani penyakap atau dibagi 
dengan pemilik tanah; sampai tahun 1930 pembayaran pajak baru atau landrente 
tidak tampak menjadi masalah besar bagi petani. Kondisi demikian, 
mengakibatkan peningkatan ekspor babi dan kopra oleh setiap rumah tangga di Bali mengalami peningkatan, suatu arus besar uang Belanda memasuki Bali, dan 
dengan uang itu petani dapat membayar landrente. Bagaimana pun, ketika dalam 
tahun 1931 terjadi depresi ekonomi di Bali yang mengakibatkan ekpor hampir 
gagal, beberapa orang petani Bali mengalami kesulitan karena kehilangan 
kesempatan mereka membeli kebutuhan uang Belanda. Langkah-langkah 
pemerintah kolonial dalam menghadapi krisis datang sangat terlambat dan ini 
mempengaruhi cadangan uang Belanda menjadi habis terlebih lagi setelah ekspor 
emas dan perak dari Bali menunjukkan indikasi penurunan. Meskipun tahun 1934 
tingkat pendapatan pajak tanah pemerintah kolonial lebih rendah, tetapi itu bukan 
disebabkan petani memperoleh keringanan pajak tanah, melainkan karena 
kemampuan petani penyakap semakin berkurang dalam membayar pajak tanah.




Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate