penjajahan belanda


A. Kedatangan Pegawai-pegawai Eropa ke Hindia Belanda
Cornelis de Houtman tiba di Banten pada tahun 1595 dan berhasil 
membawa cukup banyak rempah-rempah ke negeri Belanda. Sejak saat itu
banyak perusahaan-perusahaan Belanda yang melakukan ekspedisi untuk 
mencari rempah-rempah Indonesia. Pada tahun 1601 empat belas buah 
ekspedisi yang berbeda diberangkatkan dari Belanda setelah armada dibawah 
pimpinan Jacob van Neck berhasil memperoleh keuntungan sebanyak 400 
persen pada tahun 1599.1
Banyaknya kedatangan para pedagang Eropa ke Indonesia menyebabkan 
persaingan yang sangat ketat antar pedagang dan perusahaan. Persaingan 
ketat antara perusahaan pelayaran niaga dalam mengklaim monopoli 
perdagangan di Asia, khususnya Nusantara menyebabkan keuntungan yang 
diperoleh merosot. Untuk mengatasi hal itu pihak pemerintah Belanda
memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga tersebut 
dalam satu perusahaan saja. Pada tanggal 20 Maret 1602 dengan bantuan 
pemerintah masing-masing, dan intervensi keluarga Oranye (Pangeran 
Mauritz), Staten General mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada 
Hal ini membuktikan bahwa wilayah Indonesia 
sudah mulai menjadi tujuan utama dan incaran tokoh imperialisme yang 
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya demi industri negerinya.
sebuah perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie 
(Serikat Perusahaan Perdagangan di Asia Timur).2
Perkembangannya, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak 
hanya menciptakan jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani secara lebih 
tegas lagi urusan-urusan VOC di Asia, tetapi juga mempunyai sebuah markas 
besar yang tetap yaitu di Jayakarta. Nama Jayakarta sendiri kemudian diubah 
menjadi Batavia3
setelah Jenderal Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta 
dari Pangeran Wijayakrama. Pangeran Wijayakrama adalah seorang pangeran 
beragama islam yang memerintah Jayakarta sebagai wakil dari kerajaan 
Banten. 
Coen kemudian membangun benteng-benteng pertahanan dan 
membangun sebuah kota baru yang memiliki pola dan tata letak meniru kota￾kota di negeri Belanda di kota Batavia. Sejak saat itu Batavia menjadi pusat 
persekutuan dagang VOC untuk wilayah Hindia bagian timur. Pembangunan 
pusat pemerintahan Belanda di wilayah koloni ini menyebabkan mulai 
berdatangannya bangsa Belanda untuk mengadu nasib di negeri jajahan 
Nusantara
Perkembangan VOC sejalan dengan pembangunan kota Batavia. VOC 
yang dibekali dengan hak istimewa4
, menjelma menjadi sebuah pemerintahan 
yang mempunyai struktur yang rapi bak sebuah negara bagian dari Kerajaan 
Belanda. Padahal pada awal pembentukannya, VOC hanyalah sebuah 
perusahaan yang dirancang untuk melakukan perdagangan secara monopoli 
antara Asia dan negeri Belanda. Pembangunan kota Batavia berjalan dengan 
sangat pesat. Jumlah penduduk kota Batavia meningkat sampai tiga kali lipat
dalam jangka waktu delapan tahun, meskipun pembangunan kota baru selesai 
pada tahun 1650.5
Penduduk yang terdapat di kota Batavia pada masa itu pun semata-mata 
terkait dengan kegiatan VOC yang monopolistik. Menurut R. Z. Leirissa 
penduduk kota Batavia pasa masa itu dapat dibagi menjadi enam katagori, 
yaitu:
1. Pegawai dan tentara VOC;
2. Vrijburger atau bekas pegawai atau tentara VOC yang tidak mau 
kembali ke tanah airnya;
3. Mestizo atau orang yang berdarah campuran Belanda-Asia;
4. Mardijker atau bekas budak yang telah dibebaskan;
5. Orang-orang Asia (sebagian besar adalah orang Cina);
6. Berbagai etnis lain dari Nusantara.
Kedatangan sejumlah pegawai-pegawai VOC ke Hindia Belanda inilah 
yang mempengaruhi lahirnya sistem pernyaian di Hindia Belanda khususnya 
di Pulau Jawa. Kebanyakan dari pegawai-pegawai Eropa itu datang ke Hindia 
Belanda sebagai perjaka. Alasannya adalah adanya peraturan yang tidak 
memperbolehkan untuk menikah, selain itu juga karena pegawai-pegawai 
Eropa baru tersebut belum mempunyai pendapatan yang memadai untuk 
menanggung sebuah keluarga Eropa. Mereka memang bermaksud untuk 
menikah dengan seorang wanita Eropa begitu mereka kembali ke tanah 
airnya. Karena itu perkawinan dengan wanita pribumi tidak biasa terjadi, 
walaupun bukan tidak pernah terdengar.
Diantara pegawai-pegawai Eropa 
tersebut memilih untuk tinggal dengan nyai pribumi sebagai gundik.
Pernyataan Peter Boomgard diatas membuktikan bahwa pengambilan 
seorang nyai oleh para pegawai Eropa sangat digemari, mereka tidak hanya 
akan mengambil seorang nyai saja, tetapi bahkan lebih dari satu. Hal ini 
dipicu pemikiran bahwa memelihara seorang nyai dianggap lebih bermanfaat 
dan menguntungkan. Tidak semua orang Jawa bisa menganggap bentuk pernyaian ini sebagai hal yang tepat, tetapi perilaku ini tidak mengalami 
perlawanan secara terang-terangan.
Nyai merupakan lambang romantisme seksual yang memberi kunci 
suksesnya kolonialisme. Sampai abad ke 20, menurut dongeng orang-orang 
kaya Belanda yang menetap atau bertugas ke Hindia Belanda dinasehatkan 
selekas mungkin memelihara Nyai sehingga si “majikan” dapat mempelajari 
bahasa, adat istiadat, dan misteri di “Timur” dengan cepat.9
Politik Pintu Terbuka juga turut andil dalam mempengaruhi jumlah 
pegawai-pegawai Eropa yang datang ke Hindia Belanda. Pembangunan 
ekonomi dalam bentuk perkebunan-perkebunan, industri-industri manufaktur, 
maupun industri pertambangan mengakibatkan dibutuhkan lebih banyak lagi
tenaga kerja. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 mendukung migrasi 
para pegawai Eropa ke Hindia Belanda menjadi semakin mudah. Awalnya 
sebagian besar imigran Eropa terdiri atas golongan militer, yang besar kecil 
jumlahnya tergantung pada keadaan peperangan yang terjadi di Hindia 
Negeri “Timur” 
adalah sebutan untuk wilayah koloni di Asia Timur yang jaraknya sangat jauh 
dari negeri Belanda, memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat 
sampai ke sana. Selain menghabiskan banyak waktu dalam perjalanannya, 
kondisi wilayah koloni juga masih sangat jauh terbelakang bagi bangsa 
Belanda. Berbagai fasilitas publik yang sudah ada di Belanda tidak dapat 
dijumpai di sana.
Belanda. Akan tetapi semenjak perdagangan, perkebunan, dan industri di 
Hindia Belanda mengalami pertumbuhan pesat di akhir abad 19 dan awal 
abad 20, maka kehadiran imigran para kapitalis dan profesional sipil Eropa 
semakin banyak jumlahnya.10
Sebenarnya praktik pernyaian sudah banyak terjadi di kalangan para 
pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa 
tidak sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang ada.
Meningkatnya arus kedatangan orang-orang 
Eropa ke Jawa baik sebagai pejabat pemerintah kolonial maupun sebagai 
pengusaha swasta penenaman modal pada industri perkebunan, telah 
menimbulkan derasnya arus modernisasi gaya hidup.
B. Kondisi Jawa pada Tahun 1870-1942
Jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang jauh lebih sedikit 
mengakibatkan semakin maraknya praktik pernyaian pada masa 
pemerintahan Belanda di Hindia Belanda sejak dibentuknya VOC di Batavia. 
Memang harus diakui bahwa kebutuhan seksual menghadirkan nyai di daerah 
perkebunan, di dunia sipil, maupun dalam tangsi-tangsi militer.
Pada tahun 1870 hingga 1942 terjadi beberapa tahap peristiwa yang 
penting bagi negara Indonesia. Walaupun Negara Kesatuan Republik 
Indonesia belum terbentuk, namun pada sekitaran tahun inilah mulai terjadi 
perubahan besar bagi rakyat pribumi. Peristiwa awal adalah dihapuskannya
cultuurstelsel12
1. Politik Kolonial Liberal
(Sistem Tanam Paksa) dan digantikan dengan politik kolonial 
Liberal. Politik kolonial Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Undang￾Undang Agraria pada tahun 1870, kemudian disusul politik Ethis dan 
berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia pada 1942.
Tahun 1870 menjadi masa yang penting dalam perjalanan sejarah 
bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa pada tahun ini menjadi tonggak 
awal modernisasi di Hindia Belanda khususnya di Jawa. Masa antara 1870 
sampai dengan 1900 dalam sejarah kolonial dilihat sebagai masa Liberal. 
Artinya masa dimana pemerintah melepaskan peranan-peranan 
ekonominya (Tanam Paksa, Monopoli rempah-rempah) dan menyerahkan 
eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak 
sebagai wasit atau penjaga keamanan yang dilakukan melalui birokrasi dan 
tentaranya.
Rakyat mengalami masa penderitaan sangat berat akibat 
Cultuurstelsel hingga tahun 1870, yang banyak merenggut nyawa rakyat 
Dimulai dari tahun inilah Hindia Belanda mengalami 
perubahan yang sangat besar, banyaknya pihak swasta yang datang ke 
Hindia Belanda membawa pengaruh modernisme dari berbagai negara.
pribumi. Permasalahan yang timbul akibat Cutuurstelsel ini 
mengakibatkan munculnya pertentangan di negeri Belanda. Melalui sistem 
ini Belanda mengalami surplus keuangan tetapi ini tidak dibenarkan 
karena dianggap melakukan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan 
Sunda. Penindasan ini dianggap tidak manusiawi karena mempekerjakan 
rakyat pribumi tanpa memberikan upah, rakyat pribumi diharuskan terus 
bekerja tanpa imbalan yang setimpal.
Tahun 1860, seorang mantan pejabat kolonial, Eduard Douwes 
Dekker menerbitkan sebuah novel yang berjudul Max Havelaar dengan 
nama samaran ‘Multatuli’.
Perdebatan yang terjadi antara kaum liberal yang menginginkan 
dihapuskannya sistem Tanam Paksa dan kaum Konservatif, akhirnya 
mencapai kesepakatan yaitu dengan dihapuskannya sistem Tanam Paksa 
ini sedikit demi sedikit. Kaum Konservatif merupakan kelompok yang 
tetap ingin mempertahankan sistem Tanam Paksa karena telah berhasil 
Buku ini mengisahkan tentang keadaan 
pemerintah kolonial atas penindasannya terhadap rakyat pribumi melalui 
sistem Tanam Paksa di Jawa. Ternyata buku ini menjadi senjata ampuh 
dalam menentang rezim penjajahan pada abad ke-19 di Jawa. Munculnya 
novel yang berlatar keadaan nyata rakyat Hindia Belanda telah 
memberikan opini masyarakat dunia khususnya kaum liberal. Tanam 
Paksa ini dianggap perbuatan yang telah melanggar hak-hak asasi 
manusia, hingga banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak
memberikan keuntungan yang besar kepada negeri Belanda. Penghapusan 
dilakukan mulai dari komoditi yang paling sedikit mendatangkan 
keuntungan atau yang tidak menguntungkan sama sekali.
Perubahan besar terjadi dalam masyarakat pribumi setelah golongan 
liberal yang didukung oleh orang-orang borjuis menduduki posisi ekonomi 
dan politik yang kuat sampai dengan tahun 1880-an. kerja paksa kemudian 
dihapus dan digantikan dengan kerja bebas. Kepentingan politik golongan 
liberal membawa dampak ekonomi di wilayah koloni dengan didirikannya 
infrastruktur kolonial seperti jalan kereta api dan trem, dinas pos, bank, 
dan perusahaan swasta. Usaha golongan liberal berjalan lancar dan 
keuntungan juga diperoleh dengan mudah.15
Usaha golongan liberal mendapat jalan setelah pemerintah Hindia 
Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. 
Undang-undang ini pada dasarnya melarang penjualan tanah kepada orang 
asing tetapi mereka hanya diperkenankan menyewanya dalam waktu 75 
tahun.
Seiring dengan pembangunan 
yang dilakukan di Hindia Belanda, modernisasi mulai terasa di wilayah 
koloni. Modernisasi ini didukung dengan kedatangan para pegawai Eropa 
dalam jumlah banyak ke Hindia Belanda setelah dibukanya terusan Suez 
pada tahun 1869.
Setelah itu pihak-pihak swasta berbondong-bondong datang ke 
Hindia Belanda untuk membangun berbagai pusat ekonomi seperti
perusahaan-perusahaan perkebunan (onderneming), industri-industri 
manufaktur, industri pertambangan, serta jaringan distribusi perdagangan. 
Sejak diterapkannya Undang-undang Agraria, terjadilah proses 
swastanisasi dan modernisasi perekonomian dalam masyarakat di Hindia 
Belanda.
Perkembangan sejak tahun 1870 menimbulkan banyak perubahan 
berikutnya. Jaringan komunikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan 
pusat-pusat administrasi. Akibat sistem komunikasi ini adalah timbulnya 
interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. 
Selain itu timbul pula interaksi antara pulau yang satu dengan pulau 
lainnya, terutama antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Manusia 
dan barang dapat diangkut dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif 
singkat dibanding dengan zaman-zaman sebelumnya. 
Maka semakin kuatlah peranan pengusaha ataupun investor 
swasta dalam perekonomian kolonial di Hindia Belanda.
Pulu Jawa yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda 
menjadi wilayah yang mengalami perubahan yang sangat besar. Hutan￾hutan dibabat dan digantikan dengan perkebunan-perkebunan yang 
didirikan di beberapa wilayah Jawa. Pabrik-pabrik gula dibangun dengan 
megah, rel kereta api, dan jalan raya yang menghubungkan antar kota 
semakin banyak hingga mobilisasi menjadi lebih mudah. Seiring dengan 
pembangunannya yang sangat pesat, Pulau Jawa berubah menjadi pusat 
kegiatan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.
perusahaan-perusahaan perkebunan (onderneming), industri-industri 
manufaktur, industri pertambangan, serta jaringan distribusi perdagangan. 
Sejak diterapkannya Undang-undang Agraria, terjadilah proses 
swastanisasi dan modernisasi perekonomian dalam masyarakat di Hindia 
Belanda.17
Perkembangan sejak tahun 1870 menimbulkan banyak perubahan 
berikutnya. Jaringan komunikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan 
pusat-pusat administrasi. Akibat sistem komunikasi ini adalah timbulnya 
interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. 
Selain itu timbul pula interaksi antara pulau yang satu dengan pulau 
lainnya, terutama antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Manusia 
dan barang dapat diangkut dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif 
singkat dibanding dengan zaman-zaman sebelumnya. 
Maka semakin kuatlah peranan pengusaha ataupun investor 
swasta dalam perekonomian kolonial di Hindia Belanda.
Pulu Jawa yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda 
menjadi wilayah yang mengalami perubahan yang sangat besar. Hutan￾hutan dibabat dan digantikan dengan perkebunan-perkebunan yang 
didirikan di beberapa wilayah Jawa. Pabrik-pabrik gula dibangun dengan 
megah, rel kereta api, dan jalan raya yang menghubungkan antar kota 
semakin banyak hingga mobilisasi menjadi lebih mudah. Seiring dengan 
pembangunannya yang sangat pesat, Pulau Jawa berubah menjadi pusat 
kegiatan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.
ekonomi penduduk pribumi.19
Politik Ethis menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu Irigasi, 
Edukasi, dan Emigrasi.
Politik Ethis mencoba mengubah sistem 
liberal menjadi sebuah sistem yang dapat dijadikan media pemerintah agar 
dapat turut campur urusan-urusan masyarakat.
20 Perkebunan tebu menghendaki irigasi yang 
intensif. Pabrik-pabrik yang banyak jumlahnya, kantor-kantor dagang, dan 
cabang-cabang perusahaan lainnya menyebabkan timbulnya kebutuhan 
manusia dan tenaga kerja yang lebih murah. Tenaga kerja ini dibutuhkan 
tidak hanya di Pulau Jawa tetapi di propinsi-propinsi luar Jawa, sebagai 
daerah-daerah baru yang dibuka untuk perkebunan modern. Perluasan dan 
pembesaran birokrasi pemerintah kolonial membutuhkan adanya lapisan 
pegawai-pegawai rendahan dalam lembaga pangreh praja (Binnenlands 
Bestuur) atau Departemen Dalam Negeri Pemerintahan Kolonial Hindia 
Belanda. Kebutuhan dan desakan kuat golongan Liberal dan Kaum Ethis 
mempercepat pemerintah kolonial untuk mendirikan sekolah-sekolah yang 
berderajat rendah bagi masyarakat pribumi.
 dibuka sekolah-sekolah tingkat menengah serta tingkat tinggi.Pada akhir abad 19 mulai 
bermunculan sekolah pribumi atau sekolah desa, dan baru pada awal abad 
20 dibuka sekolah-sekolah tingkat menengah serta tingkat tinggi.
Penerapan sistem pendidikan Barat semakin mempercepat laju proses 
modernisasi yang merubah secara struktural lapisan-lapisan sosial tertentu 
di masyarakat Jawa pada masa itu. Terbentuklah pola-pola hubungan 
sosial dalam jaringan yang baru karena proses industrialisasi, 
komersialisasi pertanian dan perkebunan, perubahan sistem birokrasi, 
urbanisasi, perluasan infra struktur, maupun mobilisasi sosial. Akhirnya 
stratifikasi tidak hanya terjadi dalam hubungan sosial, tetapi juga dalam 
lapangan pekerjaan. Pada jabatan-jabatan tertinggi dalam birokrasi 
pemerintahan diduduki oleh golongan masyarakat Eropa, sedangkan 
masyarakat pribumi terkonsentrasi pada jabatan-jabatan yang lebih rendah.
Pada awal abad ke-20, tingkat interaksi antara warga kulit putih 
dengan masyarakat pribumi yang semakin tinggi menyebabkan munculnya 
golongan Indo Eropa. Golongan tersebut merupakan hasil keturunan dari 
perkawinan campuran antara Belanda/Eropa asli dengan wanita pribumi 
yang berstatus gundik atau nyai.22 Golongan Indo secara yuridis formal 
termasuk dalam status golongan Eropa, akan tetapi pada kenyataannya 
golongan Eropa totok tidak mau dipersamakan statusnya dengan golongan 
mestizo ini. Masyarakat Indo sendiri dalam kehidupannya lebih 
berorientasi kepada budaya Eropa. Mereka berusaha mengingkari garis 
asal keturunan dari ibunya yang berasal dari masyarakat pribumi.
C. Munculnya Pernyaian di Jawa
Praktik pernyaian pada masa penjajahan sudah bukan menjadi hal tabu 
lagi, status nyai bahkan menjadi idaman para gadis-gadis pribumi agar dapat 
merubah status sosialnya menjadi lebih tinggi. Walaupun masih ada 
sekelompok masyarakat dari kalangan pribumi maupun kalangan kolonial 
yang menentangnya. Terutama dalam masyarakat desa yang menganggap 
perkawinan adalah hal yang sangat penting bagi masyarakat yang tertata baik, 
harmonis, dan produktif. Seperti yang diungkapkan oleh Peteer Boomgard;Masyarakat desa menginginkan suatu masyarakat yang harmonis seperti
yang dijelaskan sebelumnya, memelihara seorang selir atau gundik dianggap 
sesuatu yang tabu. Sejumlah pengarang menyatakan bahwa memelihara selir 
atau gundik tidak diperbolehkan, tetapi sumber lain menunjukkan bahwa 
ternyata banyak yang melakukannya. Bahwa memelihara seorang nyai hanya 
terbatas pada kelompok tertentu. Di daerah perkotaan dan sejumlah tempat
indutri, memelihara seorang gundik tidak dapat disangkal lagi, yang 
merupakan sumber keresahan bagi banyak laki-laki lajang.
Sejak awal abad 17 banyak pejabat-pejabat kolonial bahkan memelihara 
lebih dari satu nyai. Seorang gubernur pesisir laut Jawa dikatakan memiliki 
dua puluh orang perempuan “kesayangan” bangsa pribumi. Kemudian 
disebut-sebut pula nama pejabat lain yang memelihara nyai, yaitu Van Reed, 
Residen Juwana, Van Lawick, dan seorang pejabat Komisi Urusan Bumiputra 
di Buitenzorg. Semua contoh ini diambil dari tahun 1800-1810.
24
1. Jumlah Laki-laki Eropa atau Belanda Lebih Banyak Dibandingkan 
Jumlah Perempuan Eropa atau Belanda.
Terdapat beberapa penyebab mengapa praktik pernyaian tumbuh begitu 
kuat di tanah jajahan, antara lain;
Pada awalnya sistem pernyaian mulai marak di Batavia pada masa 
pemerintahan VOC meskipun sesungguhnya jauh sebelum Belanda 
tampil di Asia. Praktik pergundikan sudah banyak terjadi di kalangan para 
pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa 
tidak sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang 
ada.
Hal tersebut menjelaskan bahwa kaum pendatang dari Eropa adalah 
laki-laki, baik laki-laki yang masih bujangan atau laki-laki yang sudah 
berkeluarga tetapi tidak menyertakan istri dan anak-anaknya untuk ikut ke 
negeri jajahan. Menyertakan seorang istri Eropa dianggap akan menimbulkan kesulitan ekonomi maupun sosial bagi mereka nantinya di 
tanah koloni. Anggapan ini semakin memberikan alasan pegawai￾pegawai Belanda atau Eropa memilih berangkat sendiri ke daerah koloni 
tanpa didampingi oleh istri atau keluarganya. Mereka hanya ingin
mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, sehingga apabila pulang 
kembali ke negeri asal kelak dapat menikmati sisa-sisa umur mereka 
dengan berleha-leha bersama istri Eropa yang mereka dambakan.
Alasan lain para lelaki Eropa enggan membawa keluarga mereka ke 
daerah koloni adalah perbedaan iklim Eropa dengan daerah tropis seperti 
Indonesia yang mencolok. Selain itu, perjalanan melalui laut yang 
memakan waktu sangat lama, sekitar 7-10 bulan, dan melelahkan, bahkan 
terkadang disertai cuaca yang tidak baik dan penuh bahaya. Perjalanan 
seperti ini tentunya sangat berbahaya bagi seorang perempuan, apalagi 
perempuan Eropa yang sangat rentan dan tidak terbiasa dengan iklim 
tropis.
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, pemerintahan diambil 
alih oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sistem eksploitasi dan monopoli 
peninggalan VOC tetap diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda 
dengan penyempurnaan kekuasaan di Nusantara. Perluasan tersebut baik 
dalam bidang ekonomi, politik, militer, maupun penyebaran agama 
Nasrani. Untuk kepentingan tersebut, maka dibutuhkan personil tambahan 
dalam militer dan pegawai sipil baik yang didatangkan dari negeri 
Belanda, Eropa lainnya, atau pun dengan jalan perekrutan tenaga pribumi.Pada abad ke-19, kota pelabuhan Batavia menyambut para pendatang 
dengan iklim kota yang buruk, kabut menggelantung rendah yang 
beracun, parit yang tercemar, dan penyakit-penyakit aneh dengan nama 
seram, seperti remitterende rotkoortsen (demam maut), roode loop
(berak-berak merah), febre ardentes, malignae et putridae, dan mort de 
chien (demam parah, jahat dan busuk, dan mati mendadak).26 Karena itu,
pendatang Eropa yang datang ke Batavia mayoritas adalah kaum laki￾laki, walaupun sudah ada peningkatan jumlah pendatang kaum 
perempuan Eropa dari sebelumnya.
Jumlah wanita asing yang tidak sebanding dengan jumlah lelaki 
asing di Hindia Belanda dapat dilihat dari sensus penduduk yang 
dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Berikut ini 
merupakan tabel sensus penduduk pada tahun 1860 hingga 1930.Sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda 
di Hindia Belanda pada tahun 1920 dan 1930 juga masih menunjukkan 
bahwa jumlah laki-laki Eropa lebih banyak dibanding perempuan Eropa.
Meskipun jumlah perempuan Eropa yang datang ke Hindia telah 
mengalami peningkatan, tetapi dalam hal jumlah laki-laki Eropa d Hindia 
Belanda lebih banyak. Dari tiga buku sensus penduduk Hindia Belanda 
oleh pemerintah Belanda dapat disimpulkan sebagai berikut.
Batavia merupakan wilayah penting dalam pertumbuhan penduduk 
Eropa di Hindia Belanda. Kota yang yang menjadi pusat pemerintahan 
Belanda di wilayah koloni Hindia Belanda ini menjadi basis pertumbuhan 
penduduk Eropa. Terbukti jumlah penduduk Eropa di wilayah Jawa 
Barat, hampir 50 persen penduduk Eropa berada di Batavia. Batavia 
bukan hanya menjadi tempat peristirahatan bangsa Eropa yang datang ke 
Hindia Belanda, tetapi juga menjadi tempat menetap para kulit putih 
tersebut.
Jumlah perempuan di Batavia dari tahun 1920 sampai tahun 1930 
mengalami meningkatan, karena memang sejak dibukanya terusan Suez
perempuan Eropa lebih banyak dikirim ke wilayah koloni. Dalam kurun 
waktu 10 tahun, jumlah perempuan meningkat tajam, dari 11.290 hingga 
15.243. Peningkatan jumlah perempuan Eropa yang datang ke Hindia 
Belanda ternyata masih belum bisa mengimbangi jumlah laki-laki Eropa. 
Jumlah kaum perempuan Eropa tetap lebih sedikit diantara jumlah laki￾laki Eropa.
Perbandingan jumlah perempuan Eropa dan laki-laki Eropa di Jawa 
Barat pada sensus penduduk tahun 1930 adalah sebagai berikut.Pada 4 tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah lelaki Belanda 
atau Eropa jauh lebih besar daripada jumlah perempuan Belanda atau 
Eropa. Jumlah penduduk Eropa di atas telah ditotal dari jumlah penduduk 
Eropa di setiap kota di wilayah masing-masing, yaitu Jawa Barat, Jawa 
Tengah, dan Jawa Timur. Dari tahun 1920 hingga 1930 memang terjadi 
kenaikan jumlah penduduk perempuan Eropa di Pulau Jawa. jika 
dibandingkan pada awal kedatangan bangsa Eropa ke Hindia Belanda 
jumlah perempuan Eropa ini sangatlah berbeda. Dari tahun ke tahun 
terjadi peningkatan jumlah, hal ini didukung sejak tahun 1869 dibuka 
terusan Suez. Karena perjalanan menuju wilayah koloni di Asia menjadi 
lebih cepat dan lebih mudah, maka pengangkutan perempuan-perempuan 
Eropa ke wilayah Timur menjadi lebih besar jumlahnya.
Perbandingan jumlah laki-laki Eropa dan perempuan Eropa yang 
tidak seimbang, dimana laki-laki Eropa jauh lebih banyak mengakibatkan
permasalahan tersendiri bagi laki-laki lajang yang berada di Hindia 
Belanda. Bagi seorang laki-laki Belanda atau Eropa, mempunyai istri 
seorang Belanda atau Eropa adalah dambaan. Karena kebutuhan 
perempuan Eropa tidak sebanding dengan jumlah lelaki Eropa, maka 
beberapa lelaki Eropa memilih untuk hidup bersama nyai atau gundik 
selagi menunggu seorang perempuan Eropa. Pengambilan seorang nyai 
ini menjadi solusi atas jumlah laki-laki Eropa dan perempuan Eropa yang 
tidak seimbang.
2. Peraturan gereja yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan 
beda keyakinan.
Pada zaman kolonial hingga tahun 1848, keagamaan dipergunakan 
sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan 
struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut 
oleh penguasa, agama Nasrani, dijadikan pedoman atau pegangan.27
Agama Kristen merupakan trait d’union dalam masyarakat kolonial. 
Pemerintah VOC menginginkan penduduk yang penurut, sesuai dengan 
norma-norma Kristen sebagai penduduk Belanda di dalam Republik. 
Tugas gereja menjadi sangat kompleks, yaitu mencatat kelahiran, 
perkawinan, kematian, penyelenggaraan pendidikan dan kesejahteraan, 
semuanya termasuk di dalam tanggung jawabnya. Akibatnya gereja 
Agama digunakan untuk melindungi golongan Belanda.
menjadi benar-benar berakar di dalam masyarakat, lebih dari yang diduga 
oleh para pengamat di abad ke-20.28
Proses peng-Kristenan bagi masyarakat pribumi pun diusahakan 
dengan mengeluarkan beberapa peraturan-peraturan serta iming-iming 
keuntungan. Pribumi yang telah bertaubat akan menerima tunjangan uang 
barang sedikit. Lebih dari itu, pemeluk-pemeluk Kristen pribumi tidak 
bisa dijual sebagai budak lantaran utang, dan budak-budak Kristen tidak 
bisa dijual kepada tuan-tuan budak yang tidak beragama Kristen. Hanya 
sesudah pindah agama perempuan pribumi bisa menikah dengan laki-laki 
Belanda atau Eropa.29
Sebelum tahun 1848 sebuah pernikahan antara seorang Eropa Kristen 
dengan seorang perempuan pribumi non-Kristen merupakan hal yang 
dilarang.
Bahkan dapat dikatakan bahwa orang golongan 
rendahan dapat beralih kepihak atasan dengan jalan memeluk agama 
Kristen ini.
Namun sesuai dengan perubahan zaman, lambat laun kriteria
agama dan larangan perkawinan campuran ini tidak dapat dipertahankan. 
Akhirnya pernikahan campuran bukan berarti dilarang sama sekali, hanya
menjadi hal tidak dikehendaki. Perkawinan campuran menjadi sebuah 
fenomena sosial yang banyak terjadi antara laki-laki Eropa dengan
perempuan pribumi dalam hubungan pergundikan. Hal ini sudah menjadi 
sesuatu yang wajar terjadi, tetapi kenyataannya segolongan masyarakat 
Eropa masih tetap menentang perkawinan campuran.
Seorang laki-laki Eropa Kristen harus menikahi seorang perempuan 
Kristen pula. Jadi jika laki-laki Eropa Kristen menginginkan menikah 
dengan seorang perempuan pribumi, perempuan tersebut haruslah 
beragama Kristen. Apabila perempuan tersebut adalah seorang budak, 
maka si lelaki harus menebus kemerdekaan perempuan pilihannya 
kemudian dibaptis, baru setelah itu boleh menjadi istri laki-laki 
bersangkutan. Sebagai ganti peralihan agamanya, ia memperoleh 
kewarganegaraan suaminya. Anak-anak mereka hanya boleh dibaptis jika 
ibu mereka orang Kristen yang aktif menganut agamanya.
Rezim 
semacam ini telah mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara laki￾laki Eropa dengan perempuan Asia.
Praktik pernyaian semakin diminati oleh lelaki Eropa ketika 
perempuan yang ingin mereka nikahi adalah seorang Islam. Perempuan￾perempuan pribumi yang beragama Islam lebih enggan untuk pindah 
agama ke Kristen. Karena keadaan itu, banyak lelaki Eropa yang tak 
pernah menikahi secara resmi perempuan pribumi, melainkan hidup 
dengannya sebagai gundik atau nyai.

Bangsa Indonesia telah didatangi dan dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa 
Selama berabad-abad lamanya. Bangsa-bangsa penjajah tersebut datang ke Nusantara 
membawa semangat imprealisme dengan slogannya yang terkenal “Gold (mencari 
kekayaan), Glory (mencari kejayaan), dan Gospel (semangat mennyebarkan agama 
nasrani)”
. Dalam catatan sejarah, bangsa-bangsa Eropa tersebut adalah Portugis, 
Spanyol Belanda, dan Inggris yang berkuasa atas Nusantara, sekaligus berebut 
kekuasaan dengan sesamanya selama hampir satu millennia. Nusantara (Indonesia) di 
gunakan sebagai “laboratorium” atau lahan penjajahan, guna meneliti untuk 
menemukan bagaimana cara dan metode untuk menguasai Nusantara dengan baik dan 
benar. Hasil dari penelitian tersebut dapat kita lihat dari berbagai macam sistem2
yang 
diterapkan oleh bangsa-bangsa tersebut, walaupun tetap berujung pada kepentingan 
politik, baik itu sistem yang menyangkut politik, ekonomi hingga yang menyangkut 
masalah ras dan agama yang ada di Nusantara3
.Salah satu faktor penting yang dapat di ambil dari pernyataan tersebut adalah 
sistem politik oleh bangsa-bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda. Karena yang 
menyangkut perubahan-perubahan politik yang terjadi pada abad ke- 19 dan 20 itu 
dilaksanakan oleh bangsa Belanda itu sendiri. Sistem politik kolonial Belanda yang 
pernah di terapkan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sangat urgen, 
karena sejarah dan politik sangat berkaitan antara satu dengan lainnya yang 
memungkinkan serta pantas untuk dikaji, apalagi yang menyangkut sejarah sistem 
politik di Indonesia secara umum dan di wilayah lokal secara khusus.bahwa sejarah dan politik memiliki 
hubungan yang sangat dekat, ini tampak dari beberapa ungkapan sebagai berikut: 
Pertama motto yang berbunyi “history is past politics and politics present history” 
(sejarah adalah politik pada masa lampau dan politik adalah sejarah pada masa kini). 
Berpijak pada motto ini, sejarah identik dengan politik. Kedua, ungkapan yang di 
lontarkan oleh ilmuan politik Inggris yaitu “history without political science has no 
fruit, and political science without history has no root” (sejarah tanpa ilmu politik 
tidak berbuah dan ilmu politik tanpa sejarah tidak berakar). Menurut ungkapan 
tersebut, terdapat interdepedensi atau ketergantungan yang sangat erat antara sejarah 
dan ilmu politik, yang satu sama lainnya saling memberikan kontribusi yang sepadan. 
Meskipun sebenarnya yang dimaksudkan dalam ungkapan itu adalah sejarah politik,
sebagai deskripsi kronologis dari peristiwa-peristiwa jaman silam yang berkaitan 
dengan bidang politik.
Hubungan timbal balik antara sejarah dan politik yang di gambarkan tersebut, 
itu terlihat dalam sistem pemerintahan bangsa Belanda yang telah menerapkan 
berbagai kegiatan politiknya pada bangasa indonoseia dari awal masuknya Belanda 
ke Indonesia sampai berakhir penjajahannya pada tahun 1942. Hal itu merupakan 
sebuah fakta sejarah yang terjadi di bumi Nusantara ini. Berbicara tentang fakta 
dalam sejarah, di jelaskan oleh Mulyana dan Darmiasti, mengapa fakta menjadi hal 
yang penting? Sebab fakta dapat menjadi kenyataan sejarah. Kalau kita 
membicarakan carita sejarah berdasarkan pada fakta yang benar, berarti kita telah 
menceritakan suatu kenyataan sejarah yang benar. Bagaimanakah ciri fakta dapat 
merupakan suatu kenyataan yang benar? salah satu ciri fakta itu benar adalah fakta￾fakta yang di uraikan dalam sumber itu dapat masuk akal.5 Berarti merupakan fakta 
jika kita berbicara mengenai perubahan sistem politik yang di lakukan oleh kolonial 
Belanda di Indonesia karena peristiwa tersebut memang benar-benar terjadi.
Sekitar abad ke- 19 merupakan suatu periode baru bagi imprealisme kolonial 
Belanda yang di tandai oleh adanya politik kolonial yang berbeda sekali dengan 
politik kolonial yang telah diterapkan sebelum-sebelumnya. Pada awalnya 
kepentingan-kepentingan Belanda semula terbatas pada perdagangan. Maka dalam
periode ini Belanda mulai fokus dan lebih mengutamakan kepentingan politik. 
Kegiatan-kegiatan ekonomis memang menguasai politik kolonial Belanda, tetapi ini 
tidak berarti bahwa faktor-faktor lainnya boleh di abaikan. Bahkan sebaliknya, 
beberapa contoh menunjukan sejarah imprealisme Belanda adalah manifestasi￾manifestasi dari idealisme politik dan agama
bahwa periode abad 19-awal abad 20 merupakan periode puncak kekuasaan 
pemerintah Hindia-Belanda, namun juga sekaligus merupakan puncak-puncak 
penderitaan rakyat Indonesia sebagai akibat sistem eksploitasi kolonialnya. Pada 
masa-masa tersebut Hindia-Belanda telah memperoleh bentuk, baik wilayah 
kekuasaan dan sistem pemerintahannya.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa memang ada hubungan fungsional antara 
kekuatan ekonomis dan politis, dan jelas bahwa perubahan-perubahan dan orientasi￾orientasi baru pada politik kolonial Belanda itu sesuai dengan terjadinya tingkatan￾tingkatan baru pada perkembangan ekonomi di negeri Belanda. Tetapi tidak boleh di 
abaikan, bahwa negarawan-negarawan Belanda yang memegang pimpinan 
pandangannya tidak selalu di tujukan kepada kepentingan-kepentingan ekonomis, 
mereka itu merupakan suatu mata rantai antara pelaksanaan yang senyatanya dari 
suatu politik yang sudah tertentu, dan kecendrungan-kecendrungan politik, ekonomi, 
dan sosial yang umum. Dalam mencari faktor-faktor yang menetukan imprealisme
Belanda, kecuali faktor-faktor ekonomis, perlu pula diperhatikan faktor-faktor 
komplementernya, seperti faktor-faktor politik, agama dan sosial dengan singkat 
dapat dikatakan bahwa liberalisme8
, humaniterisme, kristianisme ikut serta dalam 
membentuk politik kolonial Belanda. Sudah cukup jelas sebab-sebab yang kompleks 
dari imprealisme Belanda. Maka dari itu pendekatan multidimensional
sangat 
diperlukan dalam studi kita tentang imprealisme Belanda tersebut. Selain 
pendekatan multidimensional, pada jaman kolonial ada juga yang di kenal dengan 
Indologi,
, yaitu ilmu-ilmu sosial yang merupakan salah satu disiplin ilmu 
pengetahuan untuk mempelajari manusia dan tingkah lakunya, baik individu maupun 
kelompok.
Salah satu yang melatarbelakangi berbagai perubahan politik kolonial Belanda 
di Indonesia yaitu dengan berdirinya kongsi dagang kerajaan Belanda yang dikenal 
VOC (Vereenig-de Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1602. Tujuannya adalah 
yaitu untuk menyaingi perdagangan antara Portugis dan Spanyol yang pada waktu itu 
mengambil alih seluruh perdagangan yang ada di Indonesia serta untuk menjalankan
politik monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia, secara umum dan 
Gorontalo pada khususnya. 
Sejarah Gorontalo adalah sejarah patriotisme. Peristiwa 23 januari 1942 
merupakan bukti sejarah yang sarat dengan semangat kepahlawanan, ketika seluruh 
masyarakat Gorontalo yang dipimpin seorang anak mudah bernama Nani Wartabone 
mengikrakan sebuh tekad menuju zaman baru, yaitu: Gorontalo yang bebas dari 
penjajahan. Dengan menggenggam badik di tangan, Nani Wartabone menggoreskan 
sejarah kepahlawanan, sejarah cinta tanah air, sejarah pembebasan dan menolak 
berada di bawah kaki kezaliman. Sayangnya, hingga era milenium ketiga, masih 
sangat sedikit masyarakat indonesia yang memahami hal itu. Sangat sedikit sejarah 
diungkap, bahwa sejak masa kolonialisme hingga kini, tema perjuangan dan 
semangat pembebasan begitu melekat di jantung masyarakat yang berdiam di ujung 
utara pulau sulawesi itu.
Sebuah tekat dan pilihan untuk merdeka telah dilaksanakan. Sebuah janji dan 
kebulatan hati untuk berpihak pada Ibu Pertiwi telah dilunasi. Masyarakaat Gorontalo 
telah menancapkan sebuah tonggak sejarah dan menjadi ilham bagi kelahiran Bangsa 
Indonesia. Peristiwa heroik 23 januari 1942 itu telah menandai lahirnya sebuah 
sejarah di Gorontalo. Bendera Merah Putih dikibarkan dan lagu Indonesia Raya 
dikumandangkan. Atas kepahlawanan dan keberanian untuk mamimpin masyarakat 
Gorontalo malawan penjajah, Nani Wartabone pun kamudian berhak mendapat
anugrah pemerintah Indonesia sebagai seorang yang layak menyandang gelar 
pahlawan nasional perintis kemerdekaan.
Indonesia sebelum 17 Agustus adalah Indonesia yang terus bergelora. Ketika 
itu, daerah-daerah lain di Indonesia juga sedang bergolak menentang kolonialisme. 
Berbagai aksi sporadis untuk mengusir penjajah juga digelar di mana-mana. 
Peristiwa pengibaran Bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya saat 
dikumandangkan di Gorontalo, pada akhirnya menjadi spirit bagi daerah-daerah lain.
Lebih dari itu, memberi semacam inspirasi bagi daerah-daerah lain dalam perjuangan 
meraih kemerdekaaan Indonesia.
Catatan sejarah mengatakan, sebelum masa pendudukan kolonial Belanda, 
Gorontalo berbentuk karajaan-kerajaan kecil yang diatur menurut hukum adat 
ketatanegaraan Gorontalo, dan terikat satu sama lain dengan acuan hukum yang 
disebut Pohalaa. pohalaa tersebut meliputi Pohalaa Hulantalo, Pohalaa Limutu,
Pohalaa Suwawa, Pohalaa Bolango dan Pohalaa Atinggola.
Sistam pemerintahan pada masa itu banyak mengalami perubahan seiring 
dengan perjalanan waktu. Pada tahun 1824
15 misalnya, disamping pemerintahan 
tradisional terdapat pula kekuasaan yang dipimpin oleh asisten Residen. Kemudian
padaa tahun 188916, dialihkan kepemerintahan langgsung yang dikenal dengan istilah
Rechehereeks Betur. Pada tahun 191117, Gorontalo ditetapkan menjadi 3 (tiga) 
Afdiling yaitu: Gorontalo/Bualemo/Buol, yang dibagi menjadi beberapa distrik yang 
dipimpin oleh Jogugu dan Onder distrik dikepalai oleh Marsaoleh atau setingkat 
Camat. Keadaan ini berlangsung hingga meeletus Perang dunia II.
Dari berbagai macam uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perubahan 
sistem politik kolonial di Gorontalo terjadi dalam rentetan waktu yang sangat panjang
yaitu di awali pada tahun 1824 sampai tahun-tahun berikutnya dan berakhir pada 
kekuasaan Belanda Gorontalo pada tahun 1942.
Oleh karena itu, berlandaskan pada uraian yang telah dikemukakan di atas
mengenai latar belakang munculnya perubahan-perubahan sistem politik kolonial 
Belanda di Gorontalo, yang selama in belum banyak diketahui secara signifikan.
Sebagai peneliti, sangat tertarik untuk mengkaji dan meneliti persoalan tersebut
dengan formulasi judul:
Perubahan Sistem Politik Kolonial Belanda di Gorontalo Tahun 1824-1942
B. Rumusan Masalah
Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan menguraikan masalah-masalah 
mengenai berbagai macam perubahan-perubahan sistem politik kolonial Belanda
yang terjadi di Gorontalo tahun 1824 sampai dengan 1942 yaitu masa berakhirnya 
masa pemerintahan Belanda di Gorontalo.
Maka dengan hal tersebut maka peneliti membagi penelitian ini ke dalam dua 
periode. Periode yang pertama yaitu dilihat dari perubahan sistem pemerintahan 
Gorontalo yang dilakukan oleh pihak kolonial sampai berbagai macam perubahan 
politik lainnya dan yang ke-dua yaitu perubahan sistem politik kolonial dalam hal ini 
adanya Politik Etis pada abad 20.
Karena itu melihat latar belakang yang telah di kemukakan di atas maka
penelitian ini mencoba menelusuri pokok-pokok masalah sebagai berikut:
a) Bagaiamana perubahan sistem politik kolonial Belanda di Gorontalo tahun 1824-
1942?
C. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah Temporal dan Sparsial. Yang 
pertama secara temporal penelitian ini hanya difokuskan pada perubahan politik yang 
dijalankan oleh pemerintah Kolonial kepada kerajaan Gorontalo dari tahun 1824 yaitu 
pertama kali kerajaan Gorontalo berada dibawah pemerintahan seorang asisten 
residen disamping pemerintahan tradisional, sampai tahun 1942 yaitu masa dimana 
pemerintahan kolonial berakhir. 
Kedua, secara sparsial penelitian ini dilaksanakan di daerah Gorontalo.
Daerah yang menjadi salah satu tempat kegiatan pemerintahan kolonial Belanda serta 
mengembangkan berbagai sistem tersebut didalam kerajaan yang ada di Gorontalo.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut;
pertama yaitu untuk mengetahui pengaruh dari sistem politik kolonial di Gorontalo. 
Misalnya pengaruh-pengaruh yang terjadi dengan adanya perubahan pada sistem 
politik kolonial tersebut. Selain itu juga dapat mengetahui faktor- faktor apa saja yang 
mendorong sehingga diterapkan sistem politik dan yang terakhir yaitu dapat 
mengetahui dampak diterapkan sistem politik tersebut. Sehingga dapat mengetahui 
secara kompherensif mengenai berbagai macam perubahan sistem politik yang di 
jalankan pemerintah kolonial Belanda di Gorontalo.
Melihat tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka manfaat yang bisa 
diambil dari munculnya politik kolonial yaitu dapat menjadi acuan dalam 
perkembangan substansi ilmu khususnya dalam menulis sejarah lokal Indonesia
terutama sejarah lokal Gorontalo. Selain itu memberikan sumbangsih pemikiran bagi 
para penulis yang akan melakukan penulisan sejarah lokal Gorontalo dan menambah 
pengetahuan peneliti tentang perubahan sistem politik kolonial Belanda di Gorontalo. 
Selanjutnya dapat menjadi kerangka berfikir penulis untuk lebih mengembangkan 
penulisan sejarah Gorontalo yang lebih universal.
E. Kerangka Teoretis dan Pendekatan
Penelitian sejarah ini termasuk penelitian sejarah lokal, karena di dalam 
penelitian ini diuraikan mengenai perubahan-perubahan yang terjadi di daerah 
Gorontalo terutama mengenai perubahan sistem politik yang diterapkan oleh 
pemerintah Kolonial Belanda yang menjadi fokus penelitian. Sejarah lokal
merupakan bagian dari sejarah micro18 analisis, karena micro analisis mempelajari 
peristiwa atau kejadian-kejadian sejarah pada tingkatan lokal19
, terutama peristiwa￾peristiwa sejarah yang terjadi di daerah Gorontalo selama periode pemerintahan 
kolonial Belanda tahun 1824 awal intervensi dalam sistim pemerintahan kerajaan 
Gorontalo sampai 1942 berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda di 
Gorontalo. Namun dalam penelitian sejarah lokal ini, penulis mengalami berbagai 
macam hambatan dan kendala yang dihadapi, termasuk kurangnya sumber yang akan 
ditelaah untuk meng-eksplanasikan materi untuk penulisan. Hal ini dikemukakan oleh
Sartono Kartodirjo20 antara lain:
Penulisan sejarah lokal pada umumnya mengalami banyak kesulitan terutama 
kesulitan dalam pencarian sumber-sumber sumber yang cukup lengkap 
dibutuhkan karena biasanya sejarah lokal berupa sejarah mikro, suatu sejarah 
yang menuntun metodologi khusus, yaitu yang mempunyai kerangka 
konseptual cukup halus agar dapat melakukan analisis yang tajam, oleh 
karenanya pola-pola yang mikro dapat diekstaporasikan.
Sehingganya dalam penelitian ini penulis menggunakan multidimensional
sebagai pendekatan utama. Karena multidimensional merupakan salah satu disiplin 
ilmu yang membutuhkan ilmu-ilmu bantu. Seperti pendekatan ilmu sosial, ilmu 
ekonomi, ilmu politik dan pendekatan kultural. Pengungkapaan multidimensional
lewat pendekatan ilmu sosial akan mengungkapkan bahwa tidak hanya unsur-unsur 
kompleksitas gejala politik dalam sejarah, tetapi juga adanya saling ketergantungan 
antara unsur-unsur tersebut.
21 Oleh karena itu gejala mengenai perubahan sistem 
politik yang terjadi pada masa kolonial di Gorontalo, bukan semata-mata gejala 
politik akan tetapi ada komplementer antara keduanya. Ilmu sosial dan ilmu politik 
dalam multidimensional akan berusaha membantu penulis mengulas peristiwa￾peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda terutama yang 
manyangkut pada sistem politik pemerintahan Belanda yang diterapkan dikerajaan 
Gorontalo pada tahun 1824 sampai 1942.
Selain multidimensional sebagai pendekatan utama, penulis juga 
menggunakan teori sebagai landasan untuk berpijak dan mempertahankan argumen 
dalam penelitian. Karena sifat teori sangat esensial dalam kajian tentang gejala atau 
fenomena, baik fenomena pada masa lalu maupun masa sekarang yang tidak terbuka 
untuk di amati secara langsung. Fenomena kolektif itu misalnya lembaga-lembaga, 
kelompok-kelompok, peristiwa-peristiwa kolektif.22 Oleh karena itu baik gejala pada 
masa lalu yang menyangkut tentang kelompok-kelompok maupun peristiwa kolektif 
dalam teori itu sangat penting ketika mengkaji mengenai kejadian pada masa lalu 
yang terjadi di Gorontalo terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan 
perubahan sistim politiknya tahun 1824 sampai dengan tahun 1942.
Oleh karena itu pentingnya teori sebagai eksplanasi23 akan berusaha
menguraikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Gorontalo pada masa kolonial 
Belanda serta keadaan politik yang terjadi tahun 1824 serta keadaan sosial struktur 
masyarakat dan pemerintahan dalam rentetan tahun ke tahun sampai berahirnya masa 
pemerintahan kolonial Belanda tahun 1942.
Maka dengan itu pemakaian teori politik akan berusaha mengungkapkan serta 
menjelaskan bagaimana penerapan sistim politik kolonial Belanda pada tahun 1824 
sampai tahun 1942. Nasiwan24 mengemukakan uraian mengenai pengertian teori 
yaitu:
Teori merupakan bentuk penjelasan paling umum yang memberitahu kita 
mengapa sesuatu terjadi dan kapan sesuatu bisa diduga akan terjadi. Jadi, 
selain dipakai untuk eksplanasi, teori juga menjadi dasar untuk prediksi. 
Ilmuwan menggunakan konsep atau nama untuk mengorganisasikan atau 
mengidentifikasikan fenomena yang menjadi perhatian mereka, dalam hal ini 
teori menggabungkan serangkaian konsep menjadi suatu penjelasan yang 
menunjukan bagaimana konsep-konsep itu secara logis saling berhubungan.
Politik sebagai landasan teori menyajikan pernyataan yaitu; dalam teori politik 
terdapat teori kekuasaan. Teori kekuasaan merupakan suatu kemampuan seseorang 
atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau 
kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan 
keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Jika dikaitkan dengan masa pemerintahan kolonial Belanda di Gorontalo 
maka perubahan sistem politik yang diterapkannya termasuk bagian dari kekuasaan 
pemerintah Belanda untuk bagaimana mampu mempengaruhi Raja-raja serta 
pembesar-pembesar di Gorontalo dalam memulai berbagai macam intervensi￾intervensi. Serta dengan adanya kekuasaan tersebut mampu mengadakan kontrak 
dengan Raja-raja Gorontalo dalam melaksanakan perubahan langsung pada sistem 
pemerintahan kerajaan Gorontalo di ganti dengan sistem baru yang merujuk pada 
sistem pemerintahan Belanda. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kekuasan 
Belanda di Gorontalo terhitung dari tahun 1677 namun perubahan dalam sistem 
pemerintahan disamping pemerintahan tradisional nanti terjadi pada tahun 1824 dan 
1889 sistem kerajaan limo lo pohalaa di rubah total kedalam sistem pemerintahan 
Belanda yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen serta pada berakhir pada tahun 
1942.
F. Tinjauan Pustaka dan Sumber
Sumber-sumber untuk penelitian sejarah lokal ini di dapatkan melalui sumber 
tulisan. Sumber tertulis yaitu melalui kepustakan, yang di lakukan di perpustakaan 
Universitas Negeri Gorontalo. Perpustakan daerah Gorontalo. Sumber-sumber itu 
terutama, sumber tertulis yang meliputi buku-buku dan literatur yang sangat 
berhubungan dengan masalah-masalah perubahan sistem politik kolonial Belanda di 
Gorontalo serta makalah-makalah maupun laporan terdahulu yang ditulis oleh para 
sejarawan-sejarawan yang ada di wilayah lokal maupun nasional
Adapun buku-buku yang membahas mengenai sejarah lokal yang ada di 
Gorontalo meliputi: buku yang di tulis oleh Joni Apriyanto dengan judul Sejarah 
Gorontalo Modern: Dari Hegemoni Kolonial dan Provinsi, yang di terbitkan oleh 
Ombak 2012. Di dalam buku ini terdapat berbagai macam literatur yang sangat 
berhubungan erat dengan materi sistem politik kolonial di gorontalo. Di dalam buku 
sejarah Gorontalo modern pada pada Bab II yang menguraiakan tentang Hegemoni 
Kolonial Belanda, yaiut mengenai pergantian pemerintahan dari VOC ke 
pemerintahan Hindia-Belanda dan pada bagian Bab III menguraiakan tentang 
berbagai macam kebijakan politik kolonial Belanda di Gorontalo dengan materi￾materi yang sangat relevan dengan penelitian ini.
Buku Historiografi Gorontalo ; Konflik Gorontalo Hindi-Belanda Periode 1856
sampai dengan 1942 yang membahas latar belakang masuknya pemerintah Hindia￾Belanda sampai proses perlawanan Nani Wartabone pada tahun 1942. Dan buku 
bahan ajar untuk SMP dan SMA yang berjudul Dari Gorontalo Untuk Indonesia yang 
juga membahas mengenai perkembangan politik yang terjadi di Gorontalo.
Gorontalo “dalam dinamika sejarah masa kolonial” yang di tulis oleh 
Hasanudin dan Basri amin. Di dalam buku Gorontalo dalam dinamika sejarah masa 
kolonial juga terdapat literratur yang dapat di ambil dan sangat berhubungan dengan 
materi-materi yang akan di susun misalnya mengenai kebijakan politik kolonial. Di 
dalam buku ini juaga menguraiakan berbagai macam literatur mengenai perubahan￾perubahan politik kolonial Belanda di Gorontalo.
Memori Gorontalo “Teritori, Transisi, dan Tradisi” penulis Basri Amin, Di 
dalam buku memori gorontalo memuat sedikit literatur yang bisa di ambil sebagai 
referensi sebagai pelengkap materi-materi yang telah di kumpulkan. Misalnya 
mengenai perubahan pemerintahan raja yang ada di Gorontalo. 
Selanjutnya buku Alim S. Niode dan Husein Mohi yang berjudul Abad Besar 
Gorontalo. Dalam buku ini menguraikan mengenai awal masuknya bangsa Belanda 
ke Gorontalo dan menjelaskan mengenai kerajaan-kerajaan yang ada di Gorontalo.
Buku Yayasan 23 Januari 1942 yang membahas tentang awal masuknya 
pemerintah Belanda di Gorontalo, serta membahas secara rinci mengenai perubahan￾perubahan sistim politik kolonial Belanda yang terjadi tahun 1824 sampai dengan 
tahun 1942.
Karya tulis ilmiah yang ditulis oleh bapak Ibrahim Polontalo yaitu masuknya 
bangsa Belanda di Gorontalo Abad XVII sampai XIX yang membahas lengkapa 
mengenai perjalanan bangsa Belanda di Indonesia dan menerapkan hegemoninya di 
Ternate sampai berusaha mendapatkan wilayah kekuasaan Ternate yang ada di 
Sulawesi khususnya daerah Gorontalo.
Karya tulis berupa laporan yang di susun oleh Mahasiswa IKIP Negri Manado 
yang membahas mengenai sejarah perkembangan Gorontalo. Di dalam tulisan ini 
membahas mengenai sejarah kerajaan Gorontalo sampai masuknya bangsa Belanda di
Gorontalo. Tulisan ini memungkinkan untuk dirujuk sebab sangat relevan dengan 
materi yang akan di tulis.
Buku yang di tulis oleh sejarawan lokal M.H Liputo. Didalam tulisannya ini 
membahas lengkap mengenai sejarah kerajaan Gorontalo bahkan masuknya VOC di 
Gorontalo sampai perubahan-perubahan politik Belanda di Gorontalo sampai sejarah 
terbentuknya daerah-daerah yang ada di Gorontalo. 
Makalah yang dipaparkan oleh Bin Jamin Mahdang tentang sejarah Gorontalo 
dan pembagian wilayah-wilayah yang ada di Gorontalo. Dalam makalah ini 
mengupas kerajaan-kerajaan yang ada di Gorontalo secara rinci. Buku ini digunakan 
penulis sebab dapat menambah materi penelitian ini.
Selanjutnya buku-buku sejarah Indonesia secara umum yang membahas secara 
umum materi-materi yang menyangkut sistem politik pemerintah kolonial yang ada di 
Indonesia misalnya Buku Sartono Kartodirdjo yang berjudul Pemikiran dan 
Perkembangan Historiografi Indonesia “Suatu Alternatif”. Di dalam buku ini 
menguraikan berbagai macam teori dan metode dalam penelitian sejarah, misalnya 
pendekatan multidimensional yang merupaka pendekatan yang menggunakan ilmu 
bantu sejarah. Seperti ilmu-ilmu sosial. Dan buku Pengantar sejarah Indonesia Baru: 
Sejarah Pergerakan Nasional “Dari Kolonialisme Sampai Pada Nasionalisme yang 
menguraikan mengenai berbagai macam politik-politik yang di jalankan oleh 
pemerintah kolonial Belanda.
Buku Abd Rahman Hamid dan Muh Saleh Madjid yang berjudul Pengantar 
Ilmu sejarah. Dalam buku ini membahas mengenai hubungan sejarah dan ilmu-ilmu 
sosial. Buku yang di tulis oleh Prof A. Daliman, M.Pd, telah menulis beberapa buku 
di antaranya Sejarah Indonesia Abad XIX-XX yang telah membahas panjang lebar 
mengenai keadan Indonesia sampai perkembangan sistem politik yang ada di seluruh 
wilayah Indonesia.
Buku M.C Ricklefs yang berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 yang 
membahas panjang lebar mengenai perubahan-perubahan sistem politik yang terjadi 
di Indonesia secara umum. Buku Sartono Kartodirdjo dkk, yang berjudul Sejarah 
Nasional Indonesia V. 
Selanjutnya buku-buku yang membahas mengenai teori-teori serta metode yang 
di gunakan untuk dapat mengungkap perubahan sistem politik kolonial yang terjadi di 
Indonesia secara umum dan Gorontalo pada khususnya buku-buku meliputi: Buku 
Helius Sjamsudin yang berjudul Metodologi Sejarah yang membahas mengenai 
metode-metode dalam melakukan penelitian sejarah terutamma mengenai sejarah 
yang berhubungan dengan Sistem Politik kolonial Belanda. Buku Suwarno yang 
berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik. Dalam buku ini membahas mengenai hubungan 
antara politk dengan sejarah. Dalam buku ini di dapatkan bahwa hubngan sejarah 
dan ilmu politik sangat erat. Tidak dapat di pisahkan antar kedunya. Buku Agus 
Mulyana dan Darmiasti yang berjudul Historiografi di Indonesia dari Magis-Religius 
Hingga Strukturus. Dalam buku ini membahas mengenai perkembangan historiografi
di Indonesia dan terdapat teori-teori dapat di gunakan untuk mengangakat sejarah 
Indonesia masa kolonial Belanda.
Mencari indonesia demografi politik pasca soeharto karangan Riwanto 
tirtosudarmo meneliti di lembaga peneliti indonesia. Dalam buku ini terdapat literatur 
yang sangat berkaitan erat dengan materi yang akan di susun, khususnya mengenai 
teori – teori ilmu sosil yang menjadi kerangka dalam penelitian ini. 
Selain itu penulis juga mengambil toeori-teori politik dari buku Prof. Miriam 
Budiardjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik. Dalam buku ini 
membahasa mengenai macam-macam teori-teori Politik misalnya teori Kekuasaan. 
Teori ini sangat relevan dengan tulisan yang sementara di susun oleh 
penulis.selanjutnya buku Suhartono yang membahas mengenai teori dan metodologi 
sejarah.
Media warnet juga merupakan alternatif yang sangat membantu dan di 
perlukan dalam penyusunan materi proposal ini. Karena sebagian materi penunjang
dapat di akses melalui internet.
Penelitian ini akan berusaha membahas mengenai barbagai macam perubahan 
poltik kolonial Belanda yang terjadi di gorontalo. Perubahan politik kolonial Belanda 
di Gorontalo di awali dengan masuknya pemerintahan VOC di Gorontalo pada tahun 
1677 dan berhasil mendirikan kantor dagang di Gorontalo. Selanjutnya VOC mulai 
mencampuri urusan kerajaan di Gorontalo dengan tujuan untuk memonopoli 
perdagangan yang ada di daerah Gorontalo.
Kedudukan VOC di Gorontalo berlangsun dalam rentetan waktu yang cukup 
lama sampai kehancuran yang di alami oleh VOC itu sendiri pada akhir abad 19 atau 
sekitar tahun 1800. Setelah tahun 1800 pemeritahan VOC di serahkan kembali pada 
pemerintahan Belanda. Artinya Belanda yang memegang kembali pemerintahan pada 
waktu itu. Namun pada tahun 1811-1816 pemerintahan belanda di pegang oleh 
pemerintahan Inggris dan yang menjadi gubernur pada waktu itu adala Raffles yang 
mendukung pemerintahan yang bersifat liberal. Namun akhirnya pemerintahan 
Inggris di kembalikan kembali pada pemerintahan Belanda dan Belanda kembali 
menjalankan pemerintahannnya kembali seperti pada awalnya dan menghapuskan 
sistem liberal yang sempat di dukung oleh pihak Inggris. Dan pada tahun1824
merupakan tahapan perubahan politik yang Belanda yang lebih jelas dan konsekuen 
dengan menetapkan Sistem politik yang di kenal dengan Cuulturstelsel atau sistem 
tanam paksa.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode 
penelitian sejarah. Pengertian metode penelitian sejarah disini adalah suatu proses 
menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.26
Dalam penelitian ini mengikuti tahapan-tahapan metode sejarah seperti dalam 
buku Helius Sjamsudin27 dengan Langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama ialah : apa yang di sebut heuristik (heuristics) atau dalam bahasa 
Jerman Quelenkunde, sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan 
data-data, atau materi sejarah, atau evidensi sejarah. Dalam tahap ini peneliti 
berusaha mengumpulkan berbagai macam sumber dan literatur yang sangat 
berhubungan dengan permasalahan penelitian baik itu sumber primer maupun sumber 
sekunder yang di dapatkan perpustakaan daerah provinsi Gorontalo, Perpusatakaan 
Pusat Universitas Negeri Gorontalo serta perpustakaan Limboto. Sumber-sumber 
tersebut adalah sumber yang berhubungan dengan sejarah lokal Gorontalo khususnya 
mengenai sejarah kerajaan Gorontalo, sejarah masuknya Kompeni Belanda di 
Gorontalo, perubahan sistim pemerintahan tahun 1824-1889 dan perubahan politik 
etis abad XX di Gorontalo.
Kedua dari buku langlois dan seignobos adalah apa yang di sebut “ kegiatan￾kegiatan analitis (operations analttiques; analytical; kritik) yang harus di tampilkan 
oleh sejarawan terhadap dokumen-dokumen setelah mengumpulkan mereka dari 
arsip-arsip. Fungsi dan tujuan kritik sumber adalah dalam kebutuhannya peneliti 
membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan 
apa yang meragukan atau mustahil. Serta dapat menyeleksi sumber-sumber yang 
telah terkumpul. 
Dalam metode sejarah di kenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan 
kritik internal. Adapun kritik eksternal dan internal adalah sebagai berikut:
1. Kritik eksternal
Kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek￾aspek “luar” dari sumber sejarah. Apakah sumber-sumber sejarah yang telah di 
kumpulkan pada tahap pertama tadi bersifat authentic atau tidak sehingga menjadi 
bahan pertimbangan ketika akan melakukan Historiografi atau penulisan sejarah 
tersebut.
2. Kritk Internal
Kebalikan dari kritik eksternal, kritik internal sebagaimana yang telah di 
sarankan oleh istilahnya menekankan aspek “dalam” yaitu isi atau materi dari sumber 
yang telah di kumpulkan sebelumnya.
Dalam tahap ini peneliti memerikas isi dari materi yang telah di kumpulkan. 
Apakah materi-materi tersebut bersifat independen atau tidak, jika tidak maka penulis 
bisa meragukan materi yang telah tersedia tersebut.
Ketiga tahapan interprestasi. Yaitu sesudah menyelesaikan langkah-langkah 
pertama dan kedua berupa heuristik dan kritik sumber seperti yang sudah di jelaskan 
di depan, sejarah memasuki langkah-langkah selanjutnya yaitu penafsiran atau 
interpretasi. Setelah sumber-sumber terkumpul dan telah melalui tahap kritik langkah 
selanjutnya yaitu penelti melakukan penafsiran kepada sumber-sumber yang tersedia 
tersebut. Karena sumber-sumber yang telah terkumpul tersebut bersifat bisu. 
Sehingganya butuh penafsiran agar sumber-sumber tersebut dapat menjadi suatu 
rangkaian penulisan yang sudah tersistematis dengan baik.
Ke empat yaitu penjelasan (eksplanasi). Setelah melewati tahap-tahap 
sebelumnya dan telah terselesaikan dengan baik maka peneliti akan menjelaskan satu￾persatu sumber-sumber yang telah melawati tahap-tahap tadi. Sehingga akan berakhir 
pada yang ke lilma.
Ke-lima yaitu penyajian, apapun wujud penampilan, penyampaian, atau 
pemaparannya, ketiga bentuk penyajian yaitu deskrikptif, naratif, analitis-kritis atau 
gabungan di antar keduanya, semunya tetap bermuara kepada sintesis yang kita kenal 
dengan historiografi. Setelah melewati semua tahap-tahap sebelumnya maka peneliti 
akan menyajikan sumber-sumber tersebut dalam bentuk sebuah tulisan yang terarah 
dan tersistematis sesuai dengan metodologi yang telah di gunakan. Dalam tahap ini 
berakhir suda segala bentuk penelitian maupun pengkajian literatur. Karena akhir dari 
semua tahap-tahap dalam penelitian sejarah adalah pada tahap penulisan atau 
penyajian.
I. Sitematika Penulisan
Secara garis besar sistematika penulisan skripsi dengan judul Perubahan 
Sistim Politik Kolonial Belanda Tahun 1824-1942 ini terbagi dalam beberapa bab 
dan sub-bab. Maka agar lebih terarahnya penulisan ini penulis akan menguraikan 
sistematika penulisannya yaitu sebagai berikut:
Bab I menguraikan Pendahuluan dengan sub-babnya yaitu latar belakang 
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, kerangka teori dan 
pendekatan, tinjauan pustaka dan sumber, metode penelitian, jadwal penelitian, dan 
sistematika penulisan.
Bab II Menguraikan gambaran umum dengan sub-babnya yaitu keadaan 
geografi dan iklim, keadaan penduduk dan dinamika masyarakat Gorontalo, 
lingkungan dan pemukiman, potensi ekonomi dan pertambangan, sistem 
pemerintahan, kehidupan sosial masyarakat Gorontalo, bahasa daerah Gorontalo, 
sejarah singkat Gorontalo.
Bab III menguraikan masuknya Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) 
di Gorontalo dengan sub-babnya yaitu awal masuknya voc di Gorontalo, imprealisme 
VOC di Gorontalo, dari VOC ke EIC: Gorontalo 1795-1803.
Bab IV menguraikan masa Hindia - Belanda dan perubahan politiknya dengan 
sub-babnya yaitu babak baru perubahan politik kolonial belanda tahun 1824 sampai 
tahun 1889, akhir pemerintahan Hindia-Belanda di Gorontalo dan gerakan 23 
Januari 1942.

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate