penjajahan di indonesia

Berdirinya Batavia tidak terlepas dari sejarah 
munculnya pelabuhan Sunda Kalapa. Pelabuhan 
Sunda Kalapa merupakan pelabuhan kerajaan 
Sunda atau kerajaan Pajajaran. Menurut berita 
Tome Pires Pelabuhan Sunda Kalapa adalah 
pelabuhan yang sangat penting di Jawa Barat. 
Karena merupakan tempat berlabuh dan singgang 
pedagang-pedagang dari Palembang, Malaka, 
Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, dan lain-lainya 
Pada tanggal 21 Agustus 1522 diadakanlah 
perjanjian persahabatan antara Kerajaan 
Pajajaran dan orang-orang Portugis. Isinya 
perjanjian adalah orang-orang Portugis boleh 
mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kalapa 
dan Kerajaan Pajajaran akan menerima barang￾barang atau bahan-bahan yang dibutuhkannya. 
Persahabatan antara Portugis dan Kerajaan 
Pajajaran merupakan ancaman bagi Kesultanan 
Demak. Seperti yang diketahui Kerajaan 
Pajajaran adalah Kerajaan Hindu. Dan Portugis 
adalah Khatolik sedangkan dalam pelayaran 
dunia, Portugis membawa misi Gold, Glory, 
Gospel. Dimana Gospel adalah penyebaran 
agama Khatolik. Ini adalah ancaman bagi 
Kesultanan Demak, karena Kerajaan Demak juga 
memiliki misi menyebarkan Islam di Banten dan 
Cirebon.
Pada masa Kesultanan Demak Sultan 
Trenggono, beliau mengutus Fatahilah atau nama 
lainnya adalah Falatehan untuk merebut 
pelabuhan Sunda Kalapa. Sebelum benteng 
Portugis didirikan, Fatahillah dan kaum muslimin 
sudah dapat merebut pelabuhan Sunda Kalapa. 
Sunda Kalapa berganti nama menjadi Jayakarta 
atau kota kemenangan. Menurut Prof. Dr. 
Soekanto peristiwa itu terjadi pada tanggal 22 
juni 1527. Sehingga hingga sekarang peringatan 
lahirnya kota Jakarta tetap diperingati pada 
tanggal 22 Juni 1527 ,
Fatahillah sendiri tidak memimpin Jayakarta 
secara langsung tetapi diserahkan ke Tubagus 
Angke. Kemudian dari Tubagus Angke 
pemerintahan atas kabupatian Jayakarta atau 
Jakrata diserakan kepada puteranya bernama 
Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Pada waktu 
orang-orang Belanda datang, Jayakarta atau 
Jakarta masuk dalam wilayah Karajaan Banten. 
Hal ini diperkuat oleh berita bahwa Pangeran 
Jayakarta membawa persembahan upeti ketika 
berkunjung ke Banten. Jakarta sudah sejak lama 
diincar oleh VOC. Karena letaknya yang strategis 
di Selat Sunda dan tidak begitu jauh dari Selat 
Malaka. VOC memang sudah memiliki kantor 
dagang di Banten tetapi kedudukan Kesulatanan 
Banten pada saat itu masih saat kuat makanya 
VOC menjatuhkan pilihan di Jayakarta atau 
Jakarta karena letaknya yang dekat dengan muara 
Sungai Ciliwung. VOC berkeinginan untuk 
mendirikan kantor dagang di Jayakarta atau 
Jakarta, tetapi izin ini ditolak. Akan tetapi diam￾diam VOC dengan cara licik membuat gudang 
yang kokoh dan dan kuat yang dapat dijadikan 
loji atau benteng. Kedua loji tersebut dinamakan 
Nassau dan Mauritius (Sagimun, 1988: 63). 
Karena tidak minta izin atau persetujuan dari 
penguasa dari Jayakarta maka hubungan antara 
orang-orang Belanda dan pangeran Jayakarta 
Wijayakrama menjadi renggang. Pada saat itu, 
datanglah armada Inggris. 
Pangeran Jayakarta Wijayakrama dibantu orang￾orang Inggris sedangkan Jan Pieterszoon Coen 
terpaksa meninggalkan Jakarta untuk meminta 
bantuan pasukan VOC di Kepulauan Maluku. 
Selama peperangan pihak VOC mendapatkan 
keuntungan karena orang-orang Banten, orang￾orang Jakarta, dan Inggris tidak bersatu. Perang 
tersebut dimenangkan oleh pihak VOC atau 
Kompeni Belanda. VOC atau Kompeni Belanda 
telah menguasai Jayakarta sepenuhnya yang 
dijadikan sebagai pusat kekuatan VOC. Jan 
Pieterszoon Coen menghendaki agar daerah yang 
direbutnya menjadi sebuah kota Belanda. Jan 
Pieterszoon Coen menamakan kota itu “Nieuw 
Hoorn” artinya kota Hoorn Baru. Jan Pieterszoon 
Coen dilahirkan di kota Hoorn di negeri Belanda 
pada tahun 1587. Jadi, Jan Pieterszoon Coen 
hendak menamakan tempat yang direbutnya itu 
menurut kota kelahirannya dan menamakan kota 
itu Nieuw Hoorn 

Penetapan Batavia Sebagai Markas Besar 
VOC di Sebelah Barat Pantai Utara Jawa 
Sebelum kedatangan VOC ke Nusantara, 
sebenarnya sudah terjadi suatu perdagangan 
internasional dengan sistem terbuka yaitu 
peraturan jual-bel, proses penawaran, penentuan 
harga, kesemuanya telah mengikuti pola atau 
sistem yang berlaku. Rempah-rempah tetap 
menempati sebagai prioritas komoditi utama 
tetapi tidak terpisah dengan perdagangan beras, 
lada, kain, dan komoditi lainnya.
Dalam jaringan transaksi dan transportasi 
komoditi-komoditi tersebut, dengan teknologi 
navigasi dari zaman itu maka dua basis 
pemusatan perdagangan dan pelayaran ternyata 
mempunyai fungsi yang sangat strategis sekali. 
Garis Malaka-Maluku memang secara struktural 
merupakan sistem yang berfungsi secara optimal. 
Tumbuhlah dalam sistem itu subsistem-subsistem 
dengan pusat-pusat kecil sebagai pendukung dan 
komplemennya. Dalam usahanya VOC berusaha 
menduduki Maluku dahulu dan Malaka kemudian 
serta alternatif lain sebagai pengganti Malaka 
adalah Batavia. Dari semula VOC kesulitan 
menghadapi menerobos sistem perdagangan yang 
berlaku. Dengan kontrak-kontrak hendak 
diperoleh monopoli namun selama tidak ada 
dukungan kekuatan politik, tidak dapat berjalan 
pelaksanaannya. Di kalangan VOC sendiri 
banyak yang menentang penggunaan kekerasan 
Usaha yang dilakukan VOC adalah mengalihkan 
kegiatan perdagangan komoditi di Asia 
(Haalhandel) yaitu perdagangan tidak hanya di 
komoditi rempah-rempah saja tetapi ke komoditi 
lain seperti beras, kain, dan lada. Selain itu VOC 
mencoba menarik perdagangan pribumi dan 
bangsa Asia ke pusat-pusat yang dikuasainya, 
seperti Batavia dan Ambon, dengan tujuan 
menarik pajak dam keuntungan lainnya.
Kemenangan Belanda atas Maluku dan Nusa 
Tenggara (1613) dan menjelang penyerahan 
Malaka (1614), membuat kekuasaan Inggris 
hanya memilki satu loji di Banten, sehingga 
hanya ada tiga kekuasaan yang perlu di hadapi 
yaitu Makassar, Aceh, dan Mataram. Ketiga 
kekuasaan itu juga leluasa menjalankan 
konsolidasinya dan ekspansinya, walaupun 
konfrontasi tidak dapat dihindari seperti 
serangan Batavia pada tahun 1627-1628. 
Banten yang basis terdekat dengan VOC di 
Batavia segera mengalami kemunduran yang 
disebabkan politk monopoli VOC. Hubungan 
perdagangan antara Banten dan Malaka 
sebelumnya sangat baik, rempah-rempah dan 
lada diambil di Banten dan pakaian dijual di 
tempat itu oleh Portugis. Namun sewaktu Ambon 
dan Banda diblokade oleh Belanda, perdagangan 
rempah-rempah menyusut sekali sedangkanpermintaan akan bahan pakaian sangat terbatas. 
Sedangkan perdagangan Indonesia bagain barat 
berpusat di Aceh, sedang monopoli rempah￾rempah yang semakin ketat memindahkan pusat 
pemasaran rempah-rempah di Makassar, 
perdagangan bahan pakaian dari Gujarat 
menyusut sekali karena rakyat mulai menenun 
sendiri 
Penetrasi VOC dalam jaringan perdagangan 
Nusantara bagian pertama abad XVII 
menghadapi cukup banyak persaingan, baik 
pedagang dari dari Nusantara hingga pedagang 
luar Nusantara, seperti : Gujarat, Keling, 
Benggali, dan Cina. Komoditi yang mereka 
kuasai ternyata mempunyai nilai tukar tinggi di 
Indonesia maka haanhandel ternyata sangat 
menguntungkan, sering melebihi perdagangan 
rempah-rempahnya. Kedua jenis perdagangan 
tersebut terjalin erat satu sama lain sehingga 
politik monopoli VOC dalam rempah-rempah 
mau tidak mau diperluas mencakup komoditi￾komoditi dari perdagangan Asia 
Persaingan yang cukup sengit dan ketat dalam 
aktivitas pelayaran dan perdagangan di Nusantara 
pada paruh pertama abad ke-17, membuat 
pemimpin VOC di Maluku berencana untuk 
menetapkan kebijakan yang besar dan cukup 
strategis bagi perkmbangan VOC. Kebijakan 
tersbut adalah memindahkan pusat dan markas 
dagang VOC, dari wilayah Timur menuju 
wilayah Barat. Rencana memindahkan pangkalan 
dan pusat dagang VOC dari Maluku menuju 
pulau Jawa, dan kemudian pilihan dijatuhkan ke 
wilayah Batavia, sebuah wilayah disebelah barat 
pesisir pantai utara Jawa. 
Sebelum membuat keputusan pemindahan 
Markas besar VOC dari Maluku ke Batavia. Pasti 
Jan Pieterszoon Coen telah memikirkan secara 
matang apa yang akan dilakukannya. Karena ini 
tidak hanya berbicara tentang perdagangan atau 
pun keuntungan secara materi tetapi dia ingin 
mengembangkan emporium itu menjadi 
imperium. Di mana kekuasaan VOC tidak hanya 
sebatas perdagangan tetapi juga kekuasaan dan 
sebagai pelopor pertama kekuasaaan di atas 
kerajaan-kerajaan Nusantara yang sebelumnya 
telah berkuasa di Nusantara. Alasan pertama 
yang membuat Jan Pieterszoon Coen memilih 
Batavia adalah Maluku walaupun sebagai pusat 
produksi rempah-rempah tapi lambat laun 
komoditas yang populer seperti Cengkih dan Pala 
mengalami penurunan atau yang di sebut sebagai 
mono produksi sedangkan di Pulau Jawa Sendiri 
selain daerahnya subur sebagai pertanian. Di 
Jawa terdapat komoditas beras yang tidak kalah 
pentingnya dengan komoditas Cengkih dan Pala. 
Tanaman yang bisa ditanam di Jawa tidak hanya 
beras tetapi juga berkembang yaitu teh, kopi dan 
gula. Pada periode-periode selanjutnya komoditi 
ini juga merupakan komoditi utama bagi 
perdagangan VOC. Beragam komoditas ini 
disebut multi comodity. Juga di Pulau Jawa 
banyak sekali pedagang-pedagang Islam yang 
melakukan perdagangan internasional di mana 
jika tumbuh suatu lokasi pertumbuhan kegiatan 
perdagangan di pelabuhan-pelabuhan maka 
dengan sendirinya terjadi transaksi perdagangan 
internasional. 
Keadaan laut dan angin juga mendukung 
perpindahan Markas besar VOC tersebut. Kalau 
saya bisa jelaskan, keadaan laut di sekitar Laut 
Jawa adalah laut dangkal berbeda sekali dengan 
keadaan di Laut Arafuru yaitu laut dalam. 
Keadaan ini juga mempengaruhi pelayaran 
terutama keadaan kapal-kapal VOC dalam 
mengangkut barang komoditi di lautan 
Nusantara. Karena kapal-kapal tersebut bukan 
hanya sebagai alat pengangkut tetapi ada juga 
biaya perawatan dari kapal-kapal tersebut. Yang 
sebagian besar perawatan kapal-kapal VOC 
dilakukan di Pulau Onrust. 
Walaupun VOC memiliki faktorai di Banten 
sejak 1603 serta perdagangannya ramai tetapi 
kondisi temapat itu tidak menguntungkan. 
Pertama, keadaan keamanan sangat 
menyedihkan, banyak terjadi pencurian, 
perampok, dan pembunuhan. Kedua, kehadiran 
Inggris dan Portugis di tempat itu menimbulkan 
hubungan politik yang kompleks sehingga sering 
terjadi bentrokan. Gubernur pertama VOC 1609 
Pieter Both berusaha melaksanakan rencana 
konsentrasi pemerintahan VOC, dengan minta 
izin dari Pangeran Jakarta untuk membangun 
suatu benteng dengan yurisdiksi sendiri dan 
bebas dari bea cukai. Persetujuan dari Heren 
XVII tertunda-tunda saja oleh karena 
pertimbangan yang pokok sekali bahwa pendirian 
benteng di Jakarta itu tidak menimbulkan 
permusuhan dari pihak Banten 
Pendirian emporium di Jakarta oleh VOC perlu 
diterangkan dengan latar belakang percaturan 
politik yang berkaitan dengan hubungan 
multilateral antara kerajaan-kerajaan dan badan-badan perdagangan asing. Antagonisme antara 
Banten dan Mataram selama bagian awal abad 
XVII sangat kuat sehingga tidak terjadi 
pendekatan maupun aliansi. Keadaan ini justru 
menguntungkan pihak VOC sebagai lawan 
mereka.
Status Vasal bagi Jakarta terhadap Banten 
membuat Jakarta punya kewenangan sendiri 
untuk mengadakan kerjasama kontrak sendiri 
dengan kompeni atau badan perdagangan asing. 
Dalam diri Pangeran Jakarta ada rasa iri atas 
kemajuan Banten sehingga dia mengizinkan 
untuk VOC mendirikan loji di wilayah Jakarta, 
supaya daerah dia menjadi ramai dan 
mendapatkan keuntungan. Makanya pedagang 
Inggris juga boleh mendirikan loji di sana. Untuk 
menjaga prinsip perdagangan terbuka, maka dia 
tidak menginginkan terjadinya persaingan dan 
dominasi antar pedagang asing, maka dia tidak 
mengizinkan VOC mendirikan Benteng. Padahal 
Jan Pieterszoon Coen berpikir jika membangun 
benteng maka tidak hanya melindungi 
perdagangannya tetapi juga menjadi basis politik 
utnutk memepertahankan kedudukananya dalam 
menghadapi keadaan darurat atau krisis politik. 
Dengan adanya Inggris di Banten menyebabkan 
VOC harus mencari lokasi baru untuk kantor 
pusat. Karena di Banten sering terjadi insiden 
antara anak buah Kompeni dan orang Inggris. 
Pada tahun 1617 dua kapal Inggris disita oleh 
VOC di Maluku dimana perdagangan rempah￾rempah ditutup bagi bangsa Inggris. Pendirian 
loji Inggris yang terletak di seberang menyebrang 
sungai Ciliwung merupakan “duri di mata” 
Kompeni ,
Dari alasan-alasan inilah Jan Pieterszoon Coen 
telah berpikir jauh ke depan. Beliau ingin bukan 
hanya mendirikan emporium dalam hal 
perdagangan tetapi juga ingin memperkuat 
kedudukan Batavia. Pendirian emporium yaitu 
dari hanya berupa loji lalu dia minta didirikan 
benteng dan lama-kelamaan menjadi Castil 
Batavia dan akhirnya menjadi Stad Batavia. Dari 
situlah Jan Pieterszoon Coen berpikir bukan 
hanya ingin menguasai perdagangan tetapi 
sebagai peletak dasar kekuasaan yang ada di 
Batavia. Perubahan dari emporium menjadi 
imperium yaitu bahwa kekuasaan VOC bukan 
hanya memonopoli perdagangan saja tetapi juga 
lama kelamaan ingin menguasai raja-raja di 
Nusantara. Secara tidak langsung Jan Pieterszoon 
Coen seperti mendirikan Negara baru di wilayah 
Nusantara walaupun masih di bawah 
pemerintahan Kerajaan Belanda. Ini terbukti 
dengan pengahancuran sistem perdagangan 
pelabuhan-pelabuhan yang ada di Jawa dan 
Blokade terhadap pelabuhan yang ada di Banten 
maupun di Makassar. VOC datang ke Nusantara 
bukan hanya untuk sekedar berdagang tetapi 
memonopoli semua perdagangan di Nusantara 
dan lambat laun menguasai kerajaan-kerajaan 
yang ada di Nusantara.
Kebijakan Politik dan Ekonomi JP. Coen 
Dalam Memperkuat Posisi Batavia
1. Memperbanyak Aktivitas Pelayaran dan 
Perdagangan di Pelabuhan Sunda Kalapa
Salah satu prasasti Purnawarwan raja 
Tarumanagara, yang ditemukan di desa Tugu, 
Jakarta Utara, mengisyaratkan tentang adanya 
“Kota” di daerah pantai utara Jawa Barat sekitar 
perairan Teluk Jakarta Berita￾berita Cina yang berasal dari masa pertengahan 
abad V sampai abad VII telah menyebutkan pula 
adanya hubungan antara Cina dengan kerajaan￾kerajaan di Jawa Barat, yaitu Ho-lo-t’o atau Ho￾lo-tan, dan To-lo-mo ,Berdasarkan berita Cina tersebut, diduga di 
daerah pantai utara Jawa Barat telah terdapat 
tempat-tempat yang menjadi pusat pelayaran dan 
perdagangan, salah satunya adalah Sunda Kalapa. 
Letak geografisnya yang sangat strategis di 
daerah dekat jalur pelayaran kawasan barat 
(India) dan kawasan timur (Cina), menyebabkan 
beberapa tempat di daerah pantai utara Jawa 
Barat telah berkembang dengan pesat menjadi 
kota-kota pelabuhan yang besar dan penting serta 
ikut berperan dalam perdagangan di Jalur Sutera.
Sumber utama mengenai pelabuhan Sunda 
Kalapa terutama diperoleh dari sumber-sumber 
Eropa, khususnya sumber Portugis. Sumber 
Portugis ini yaitu laporan kejadian Tome Pires 
yang ditulis di Malaka dan India tahun 1512-
1515, berjudul Suma Oriental. Berisi pelaporan 
atau kisah perjalanan ke Asia, dari daerah sekitar 
Laut Merah sampai ke Jepang. Pada tahun 1513 
Tome Pires sampai di Jawa dan menyusuri pantai 
utara, serta singgah di beberapa pelabuhan. 
Uraian mengenai Jawa (ylha de Jaoa) Tome Pires 
memulainya dengan uraian tentang Sunda 
(Cumda). Uraiannya sangat rinci, meliputi 
keadaan daerah, kota-kota dan pelabuhan, 
perdagangan dan hasil bumi, kehidupan 
masyarakat dan pemerintahan. Berdasarkan pemberitaan Tome Pires ini kita mengetahui 
bahwa Kerajaan Sunda beribukota Dayo
(Dayeuh) yang terletak di pedalaman, dan dapat 
ditempuh melalui perjalanan selama dua hari dari 
pelabuhan Calapa. Tome Pires menyebutkan 
pula pada waktu itu kerajaan Sunda telah 
memiliki enam buah pelabuhan, yaitu: Bamtam
(Banten), Pomdam (Pontang), Chegujde
(Cigede), Tamgaram (Tanggerang), Calapa
(Kalapa), dan Chemano (Cimanuk). Tome Pires 
melukiskan kota pelabuhan Kalapa sebagai 
pelabuhan utama yang sangat megah dan paling 
baik diantara pelabuhan-pelabuhan yang lain. 
Pelabuhan ini dikelola dengan baik oleh suatu 
pemerintahan lokal di bawah kekuasaan seorang 
Syahbandar (Cortessao, 1944: 166).
Pada masa Kerajaan Sunda pelabuhan Sunda 
Kalapa sudah menjadi pelabuhan utama. Ibukota 
kerajaan ini, Pakuan Pajajaran, terletak di 
Batutulis (Bogor) dan pada masa itu dapat 
dicapai dalam dua hari perjalanan dengan 
menyusuri Ciliwung. Sunda Kalapa dikunjungi 
kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, 
Malaka, Makassar, dan Madura, bahkan oleh 
pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan, 
dan Kepulauan Ryuku (kini Jepang). Sunda 
Kalapa mengekspor antara lain lada, pala, beras, 
dan juga emas, seperti juga cula badak ke 
Tiongkok ,
Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan pelabuhan 
yang menakjubkan dan yang terpenting di antara 
pelabuhan lainnya. Perjalanan ke Pelabuhan 
Sunda Kalapa memakan waktu dua hari dari Kota 
Dayo (Pakuan Pajajaran) di masa Sang Raja 
Selalu Tinggal. Karena itulah, pelabuhan ini 
dianggap yang terpenting. Pelabuhan ini hampir 
menyatu dengan Negeri Jawa, namun Cimanuk 
memisahkan mereka. Perjalanan dari Cimanuk ke 
pelabuhan ini memakan waktu sehari semalam 
dengan angin ynag baik. Komoditas dagang dari 
seluruh penjuru kerajaan di bawa ke pelabuhan 
ini. Tempat ini dikelola dengan baik; dengan 
adanya hakim, peradilan, dan juru tulis. 
Dikabarkan bahwa [peraturan] di kota ini telah 
[dicantumkan] dalam tulisan, [sebagai contoh] 
seseorang yang melakukan perbuatan A akan 
dikenakan B dan seterusnya sesuai hukum 
kerajaan. Banyak Jung yang merapat ke 
pelabuhan ini ,
Menjelang masa akhir kerajaan Sunda terjadi 
peristiwa penting yaitu perjanjian antara pihak 
Portugis dan Sunda. Perjanjian ini ditandatangani 
pada tanggal 21 Agustus 1522. Isinya ialah 
kesepakatan pihak Portugis untuk membantu 
kerajaan Sunda jika sewaktu-waktu Sunda 
diserang oleh orang-orang Islam. Sebaliknya 
sebagai imbalan pihak Sunda menjanjikan 
Portugis mendirikan benteng di Bandar Banten, 
dan diberi hak untuk memperoleh lada sebanyak 
350 kuintal setiap tahunnya. Saksi dari pihak 
Sunda adalah ‘Padam Tumungo, Ssamgydepati et 
Bemgar, yakni Paduka Tumenggung, Sang 
Adipati dan Syahbandar dari Sunda Kalapa dan 
dari pihak Portugis delapan orang. Perjanjian itu 
(tidak ditandatangani oleh pihak Sunda , tetapi) 
disahkan menurut adat dengan mengadakan 
selamatan ,
Walaupun sudah ditetapkan bahwa benteng 
Portugis berdasarkan perjanjian tersebut akan 
dibangun di Banten tetapi kemudian mereka 
memilih Kalapa sebagai tempat yang cocok 
untuk pendirian benteng itu. Sehubungan dengan 
perjanjian antara Portugis dan kerajaan Sunda 
pada tahun 1522, seorang ahli sejarah dari 
Perancis Claude Guillot, telah menulis sebuah 
artikel berjudul “Le necessaire relecture de 
I’accord Iuso-sundanais de 1522”, yang dimuat 
dalam majalah Archipel, 42, 1991:53-77. Di 
dalam artikelnya ini Guillot mengemukakan 
sanggahannya terhadap anggapan para ahli 
sejarah selama ini, yaitu bahwa perjanjian 1522 
antara Portugis dan Sunda itu tidak diadakan di 
Sunda Kalapa, dan tugu padrao tidak 
dipancangkan di Sunda Kalapa. Ke-empat alasan 
Guillot tersebut mendapat sanggahan dari Pater 
Adolf Heuken, berdasarkan telaah-ulang atas 
dokumen-dokumen Portugis yang berkaitan 
dengan masalah Perjanjian Sunda – Portugis 
tahun 1522. Untuk melengkapi sanggahannya 
yang Pater Adolf Heuken melakukan pula 
penelaahan terhadap peta-peta kuno Portugis 
maupun Belanda dari masa sekitar abad XVI .
Dengan tercapainya persetujuan antara Portugis 
dengan kerajaan Sunda, berarti Portugis 
berkesempatan meluaskan kekuasaannya sampai 
pulau Jawa. Hal itu akan merugikan monopoli 
dagang Demak di pelabuhan pantai utara Jawa 
dan membahayakan kesultanan Demak. Oleh 
karena itu, maka sebelum Portugis berhasil 
mendirikan benteng di pelabuhan Sunda, yaitu 
Kalapa, pelabuhan itu harus direbut lebih dahulu 
oleh pasukan bersenjata Demak ,Langkah awal yang dilakukan VOC untuk 
membangun jaringan perdagangannya adalah 
mengangkat Jan Pieterszoon Coen dari kota
Hoorn Belanda sebagai Kepala Tata Buku 
(Akuntan) VOC yang diberi wewenang atas 
kantor dagang VOC di Banten dan Jayakarta. J.P. 
Coen yang menaruh perhatian besar terhadap 
Jayakarta dan berusaha untuk menjadikan tempat 
ini sebagai pusat kegiatan perdagangan VOC di 
pulau Jawa ,
Potensi dan nilai ekonomis yang dimiliki oleh 
wilayah Batavia, ternyata tidak hanya dilihat oleh 
VOC saja, akan tetapi pihak kongsi dagang 
Inggris (EIC) juga melihat potensi tersebut. 
J.P.Coen sebagai pimpinan VOC saat itu 
merumuskan dua langkah utama agar dapat 
menguasai dan mengamankan posisi mereka di 
Batavia, dari ancaman EIC dan penguasa Batavia 
saat itu (Pangeran Wijayakrama). Langkah 
pertama yang dilakukan J.P.Coen adalah 
mendapatkan izin dar penguasa Batavia untuk 
mendirikan kantor dagang di wilayah Batavia, 
kemudian langkah berikutnya ialah mendirikan 
benteng sebagai pertahanan militer untuk 
mengamankan segala asset yang dimiliki oleh 
VOC di Batavia. Keberadaan benteng inilah yang 
kelak menjadi awal keberatan dari Pangeran 
Wijayakrama selaku penguasa Batavia, dan 
memunculkan ketegangan antara VOC dengan 
Pangeran Wijayakrama ,
2. Merevitalisasi Pulau-Pulau di Utara 
Batavia (Bagi Kepentingan Perdagangan 
dan Militer)
Pulau-pulau yang berada dalam wilayah 
administratif Kepulauan Seribu memiliki peranan 
yang besar dalam kegiatan perdagangan VOC. 
Pulau yang paling penting dalam membantu 
kegiatan perdagangan VOC adalah Pulau Kapal 
(Onrust).
Di sekitar pulau-pulau ini Jan Pieterszoon Coen 
menyusun gelar armadanya pada tahun 1618 
untuk menahan serangan armada Inggris di 
bawah komando Sir Thomas Dale. Beberapa 
tahun sebelum Batavia didirikan, Pulau Onrust 
telah dipergunakan untuk memperbaiki kapal￾kapal Kompeni (1615). Sesudah beberapa bulan 
berlayar dari Eropa ke Jawa, atau dari India, 
Jepang dan Ambon ke Batavia kapal-kapal perlu 
di tarik ke pantai, dimiringkan, dan ditambal dan 
papan-papan yang tidak lagi kuat diganti. Dalam 
rumah sakit kecil awak kapal yang jatuh sakit 
dirawat ,
Setelah periode pergantian gubernur jenderal 
VOC sekitar tahun pertengahan abad 17 banyak 
meriam-meriam yang ditempatkan di panatai dan 
sebuah kubu dibangun. Tahun 1671 diganti 
dengan Benteng Bekhuis. Artileri ditempatkan di 
pulau-pulau sekitarnya untuk melindungi kapal￾kapal yang sedang diperbaiki maupun muatan 
kapal yang berharga terhadap serangan kapal 
Prancis di bawah Komando Francois Caron dan 
perompak-perompak lainnya. Daerah di dalam 
tembok banyak dipenuhi dengan macam-macam 
gedung, sehingga praktis tidka mungkin membela 
dermaga ini. Mudah dimengerti bahwa Pulau 
Onrust sangant penting bagi perdagangan VOC 
yang hampir sepenuhnya mengandalkan kapal 
layar. Kesan yang diperoleh tempat ini memang 
kecil tapi sangat ramai dan sibuk.
Peranan besar dari Pulau Onrust juga pernah 
dibicarakan oleh James Cook (Inggris) yang 
memuji tukang-tukang kayu yang terampil yang 
bekerja di Onrust. Kapal Endeavor milik James 
Cook pernah diperbaiki pada saat perjalanan 
mengelilingi dunia tahun 1770. Di Pulau Onrust 
juga terdapat sebuah gereja kecil (1772), yang 
fondasinya masih dapat ditunjukan oleh penjaga. 
Dapat dilihat pula tempat bekas tiga derek, dua 
kilang gergaji serta sebuah gudang mesiu 
meriam. Beberapa gudang besar menyimpan 
bahan pemberat, yang dperlukan oleh kapal-kapl 
layar seperti contoh kayu, tembaga dari Jepang, 
sendawa dan timah.
Pulau-pulau lain di sekitar Onrust yang memiliki 
peranan dan sejarah yang sama yaitu Pulau 
Kahyangan (Cipier). Dahulu ada sebuah dermaga 
panjang dari Pulau Kahyangan (Cipier) ke arah 
Pulau Onrust. Di Pulau Kahyangan (Cipier) ini 
terdapat juga fondasi sebuah benteng bundar 
besar dan empat meriam kapal yang digali dari 
pasir pantainya. Di pulau itu pada dahulu kala 
disimpan barang muatan kapal yang sedang 
diperbaiki di Onrust. Di Pulau itu juga terdapat 
banyak meriam kuno. Sisa tembok-tembok di 
pulau ini termasuk bekas bangunan sebuah 
penjara dari masa yang lampau. Di sana terdapat 
sisa-sisa sebuah sel, yang lazimnya digunakan 
untuk melaksanakan hukuman mati. Pulau ini 
memiliki sebuah sumur alam yang manis airnya .
Pulau Kelor atau Onrust Inggris memiliki 
reruntuhan sebuah benteng bundar dengan 
tembok yang kuat. Pulau yang disebut juga 
“Kerkop”, terdapat banyak makam yang semakin 
dikikis oleh ombak, sehingga tulang belulang 
terangkat dan berserakan. Pulau Bidadari atau
Pulau Sakit (Purmerend) terdapat sisa sebuah 
menara besar bundar yang kuat. Pintu masuk di 
lantai dua dan bekas-bekas kolong besar, yang 
digunakan sebagai gudang mesiu dan dapat 
dimasuki. Menara yang besar ini dibuat sekiar 
abad ke-19. Di atas menara ditempatkan meriam￾meriam. Kalau sekarang puing menar ini 
dikelilingi taman yang indah. Tahun 1679 pulau 
ini pernah menjadi Rumah Sakit bagi para 
penderita Kusta yang sebelumnya rumah sakit 
tersebut berada di Angke. Dan setelah beratus￾ratus tahun Pulau Bidadari di sulap menjadi 
tempat wisata, walaupun masih ada beberapa 
nisan di sana tapi banyak tulang dan kerangka 
yang dikumpulkan dan di bawa ke Pulau Kelor 
Pulau Damar atau Pulau Edam pada tahun 1881 
masih terdapat mercusuar yang bisa terlihat dari 
jauh bahkan dari Bandar Udara Soekarno Hatta 
Cengkareng. Fungsi pulau ini adalah sebagai 
stasiun radar untuk memandu pesawat terbang 
ynag menuju Bandar Udara Kemayoran. Saat 
Gibernur Jendral Campuijs mendirikan rumah 
bagus bertingkat dua. Pulau Edam dijadikan 
tempat peristirahatan karena hobi dari Campuijs 
yang menanam bonsai di antara batu-batu wada, 
meamsang jembatan-jembatan kecil dan air 
terjun. Sehingga orang-orang pernah 
mengaanngap Pulau Edam sebagai salah satu 
pulau yang menyenangkan di dunia (1682). 
Setelah berganti gubernur jendral Van Riebeck 
(1705), fungsi Pulau Edam lebih kepada bengekel 
pembuatan tambang dan penggergajian kayu, 
tempat para tawanan menjalani kerja paksa .
3. Kebijakan Politik Pintu Terbuka Bagi 
Pedagang dan Pendatang Tionghoa
Pada awal abad ke-17, sebelum kolonialis 
Belanda datang ke Nusantara, bangsa Indonesia 
dengan Cina telah terlibat dalam hubungan 
perdagangan yang dimulai saat dinasti Han 
(206SM-220M). Pada masa ini, Tiongkok telah 
membuka jalur perdagangan dengan negara￾negar yang ada di kawasan Asia Tenggara. 
Dalam hal ini, Jawa dan Sumatera termasuk 
dalam jalur pelayaran tersebut. Lambat laun, 
banyak penduduk Cina yang bermigrasi ke 
kepulauan Nusantara, karena daerah Nusantara 
sangat subur dibandingkan dengan negeri 
Tiongkok yang tandus dan kerap terjadi 
peperangan dan bencana alam. 
Sebagian besar imigran Cina adalah laki-laki dan 
mereka tidak membawa istri dari negeri asalnya, 
maka mereka pun menikah dengan wanita 
setempat. Imigran Cina ini kemudian bermukim 
sampai beberapa generasi dan tidak pernah 
kembali ke negeri asal mereka. Oleh karena itu, 
muncullah etnis Tionghoa peranakan yang 
kemudian merasa menjadi orang Indonesia, sebab 
meraka lahir, besar, bekerja dan meninggal di 
bumi Nusantara, bahkan sebagian besar mereka 
tidak bisa berbahasa Cina, serta mengganggap 
Nusantara sebagai tanah airnya sendiri.
Hubungan antara kedua bangsa semakin erat 
semenjak adanya kunjungan Panglima Cheng Ho 
ke Nusantara pada abad ke-15. Pada saat itu 
Cheng Ho menegmban misi dari Kaisar Cheng 
Zhu untuk menjalankan politik kerukunan dan 
persahabatan dengan bangsa-bangsa asing, 
termasuk Nusantara. Pada saat kedatangan 
Panglima Cheng Ho yang pertama, sudah banyak 
terdapat warga etnis Cina di Pulau jawa, Sumatra, 
dan kaliamnatan. Pada akhir masa diansti Ming 
(1368-1644) dan awal dinasti Ch’ing (1644-
1911) jumlah imigran Cina yang datang ke 
Nusantara semakin bertambah. Hal ini 
disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu 
terhadap dinasti Ming, sehingga banayak 
penduduk Cina yang bermigrasi menghindari 
peperangan (Wijayakusuma, 2005:8).
Imigrasi orang Cina pertama secara alami berasal 
dari Hokkien Provinsi Hukien di Cina Selatan 
dan mendarat di Jawa dari Pelabuahan kota 
Amoy. Para imigran berbicara dialek Hokien dan 
bahasanya, tata cara serta tradisi budaya yang 
lama kelamaan menyatu dengan tradisi penduduk 
lokal. Pengaruh budaya Hokkien terdapat pada 
budaya Betawi yang diidentifikasikan dalam 
“Bahasa Betawi” (bahasa ibu dari oarang-orang 
Jakarta) terutama dalam hal kata-kata yang 
berhubungan dengan makanan dan peralatan 
makan lokal. Aspek dari budaya Hokkien utnutk 
beberapa tingkatan bisa dikenali dalam budaya 
peranakan di Jawa ,
Pemukiman Cina secara resmi berada di Batavia, 
dan terletak di timur sungai Ciliwung dan secara 
administrasi dipimpin oleh seorang Kapiten yaitu 
Nakhkoda Watting. Pada bualan Januari 1611 
perjanjian dibuat anatara Jacques l’Hermite 
dengan Pangeran Ariawijaya Krama pembelian 
mengenai lahan yang mana berdekatan dengan 
pemukiman Cina di Jakarta. Harga disepakati 
3000 Gulden, setelah VOC mulai membangun 
loji di muara sungai Ciliwung. Dari masa inilah 
dimulai penetrasi VOC dan dominasi yang 
menjadi tidak bisa dihindari bagian dari sejarah Indonesia dan kota Batavia. Sebelum pendaratan 
pertama di Banten pada bulan Juni 1596, Cina 
telah memiliki posisi dominan dalam 
perdagangan lada dan bermain dalam pada aturan 
besar jaringan perdagangan pasar Asia yang 
sedang berkembang di wilayah ini.
Pengalaman dalam VOC sejak dia berusia 22 
tahun, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen 
merencanakan membangun kekuatan penuh 
kekuatan VOC di wilayah timur seperti Portugis 
yang telah melakukannya di Goa, Malaka, dan 
Makau. Coen, pria berwawasan dan memliki 
pandangan ke depan yang tajam, melihat bahwa, 
tetangganya yaitu pelabuhan Banten berkembang. 
Pengalamannya yang luas di Timur, 
meyakinkanya bahwa kemakmuran kota 
merupakan bagian dari tata niaga dan industri 
yang dilakukan orang-orang Cina. Lagipula, ide 
Coen untuk membangun di timur tidak disetujui 
oleh Heeren 17, dari surat-suratnya yang 
permintaanya tidak pernah dibalas. Tuan Coen 
mengatakan bahwa “daer is geen volck die ons 
beter dan Chinesesen dienen” (Tidak ada orang
lain yang bisa melayani lebih baik dibanding 
orang-orang Cina) .
Didorong oleh perhatian untuk membangun 
Batavia, dimana beberapa tahun kemudian adalah 
kejayaan diketahui sebagai Koningin van het 
oosten (Ratu dari Timur), Coen mengajak orang￾orang Cina dari Banten dan penduduk pinggir 
pantai seperti Cirebon dan Jepara untuk pindah 
ke Batavia. Bahkan itu menandakan bahwa dia 
memerintahkan tentaranya untuk menangkap 
orang-orang Cina. Awalnya upaya penculikan di 
Tiongkok berkedok perdagangan. Oleh karena 
upaya perdagangan tidak berhasil, maka 
dilakukanlah upaya penculikan penduduk di 
tahun 1622 untuk dijadikan budak. Dibawah 
perintah Komandan Cornelis Reyerz, VOC mulai 
melakukan penculikan di berbagai kepulauan 
Tiongkok, salah satunya di Pulau Peng Hu. 
Kurang lebih penduduk Peng Hu diculikuntuk 
dipekerjakan sebagai budak di batavia dan 
nusantara lainnya. Mereka sering mendapat 
perlakuan yang sangat menyedihkan dan tidak 
berperikemanusiaan, sehingga mengakibatkan 
lebih dari setengah jumlah mereka meninggal 
dunia dan hanya tersisa 571 orang. Dalam 
perjalanan menuju Batavia, 473 orang meninggal 
dunia dan hanya sedikit saja yang sampai ke 
Batavia dan pada akhirnya hanya tersisa 33 orang . Melihat maraknya 
perdagangan di Batvia, VOC kemudian 
berencana untuk membangunnya hingga menjadi 
sentra perdagangan dan pemukiman bagi para 
pejabat VOC. Untuk merealisasikan hal itu, VOC 
banyak memerlukan budak. Sebagian besar 
budak diambil dari Bengali, arrakan, Malabar, 
Koromandel, bahkan Tiongkok. Para budak ini, 
umumnya memiliki keterampilan seperti koki, 
tukang kayu, tukang batu, penjahit, tukang kode, 
dan lainnya. Kehidupan mereka sangat 
memprihatikan karena mereka kerap dianiaya. 
Oleh karena itu, banyak budak yang melarikan 
diri ke hutan ,
Saat kota mengalami pertumbuhan, orang-orang 
Cina ikut membangun Batavia seperti tukang 
kebun, petani beras, penjual ikan, dam juga 
menjadi pemahat, tukang ledeng, tukang kayu, 
pemotong kayu, pemilik toko. Dan mereka juga 
bekerja di konstruksi bangunan dan kantor-kantor 
VOC, membangun kanal-kanal (grachten) dan 
membuat kapal-kapal. Beberapa dari mereka 
menyelidiki daerah pedalaman disekitarnya, 
Ommelanden, dan mengolah tanah untuk 
perkebunan gula serta penyulingan arak. Imigran 
Cina ada sekitar 300 sampai 400 jiwa di Batavia 
pada bulan Oktober 1619. Pada bulan Juli 1620, 
pertumbuhan penduduk imigran Cina meningkat 
menjadi 800 jiwa. Di tahun 1621 jumlah mereka 
2100 jiwa dan tahun 1627 sebanyak 3500 jiwa, 
tapi tahun 1629 mereka mengalami penurunan 
menjadi 2000 jiwa ,
Warga imigran Cina mulai mengusahakan 
pendirian pabrik-pabrik penggilingan tebu untuk 
pembuatan gula. Banyaknya pabrik penggilingan 
tebu yang berdiri di sepanjang daerah Batavia 
telah memberikan keuntungan, bukan hanya 
untuk warga imigran Cina tetapi untuk VOC. 
Kemajuan usaha ini membuat VOC 
memghentikan impor gula dari Cina Daratan 
yang saat itu dianggap memilki harga yang lebih 
tingi. Pada tahap awal jumlah pekerja rata-rata di 
setiap pabrik gula mencapai 112 orang tenaga 
kerja, 40% adalah waraga imigran Cina yang 
bertanggung jawab memasak gula dan 60% 
adalah tenaga kerja dari warga pribumi, yang 
bertanggung jawab menanam, menebang, dan 
menggiling tebu, serta mengangkut bahan dan 
barang jadi. Melihat maju pesatnya usaha 
perkebunan tebu dan penggilingan tebu yang 
dimiliki warga imigran Cina, maka tindakan 
monopoli VOC semakin meningkat. Pemerintah 
VOC mengharuskan pemilik pabrik penggilingan 
tebu untuk menjual gulanya kepada VOC dengan 
harga relatif rendah. Selain ityu, pungutan bea dan pajak kepala terhadap mereka terus 
dinaikkan, tanpa mengenal perikemanusiaan. 
Dapat dikatakan bahwa saat itu masa kejayaan 
ekonomi warga imigran Cina. Pada wkatu itu 
tingkat permintaan gula di pasaran Eropa sangat 
tinggi. Hal ini ditunjang pula oleh adanya 
perjanjian perdamaian dengan Banten tahun 
(1683), sehingga mendukung sekali 
penegmabangan usaha gula. Oleh karena itu, 
komisaris VOC, meningkatkankan 
pembeliannyakepada warag imigran Cina yang 
menjadi pengusaha gula. Banyaknya pabrik gula 
membutuhkan banyak pekerja sehingga memicu 
meningkatnya arus migrasi penduduk Cina. Para 
imigran ini adalah pekerja ilegal. Situasi ini 
memaksa pemilik usaha penggilangan gula 
(Chinese Potchias) kerap harus bermurah hati 
kepada mereka untuk dipekerjakan di 
penggilingan gula miliknya. Dari sekian banyak 
imigran Cina yang ilegal tidak sedikit yang 
menjadi budak. Banyaknya imigran Cina yang 
datang ke Batavia, membuat VOC menerapkan 
peraturan bea masuk yang lebih tinggi terhadap 
mereka. Meningkatnya tekanan peraturan 
terhadap warga imigran Cina oleh pemerintah 
pusat tersebut, membuat pejabat-pejabat VOC 
bertindak korup. Akibatnya, segala sesuatu yang 
dipandang hanyalah materi semata. Untuk 
mendapatkannya tak segan mereka melakukan 
pemerasan ,
Jan Pieterszoon Coen adalah seorang gubernur 
jenderal yang memiliki wawasan ke depan 
(Visioner). Ini bisa dibuktikan bahwa penguasaan 
terhadap Batavia memberikan dampak positif 
bagi perdagangan VOC. Tuan Coen bukan hanya 
berpikir memindahkan markas besar VOC dari 
Maluku ke Batavia, tetapi alasan lain Batavia 
dijadikan pusat perdagangan dengan pendirian 
loji yang lambat laun menjadi Casteel Batavia 
membuktikan bukan hanya ingin menguasai 
perdagangan tetapi kepada kekuasaan dengan 
membentuk pemerintahan di Batavia. Istilah 
Emporium yaitu hanya sebagai loji atau tempat 
gudang penyimpanan barang perdagangan lambat 
laun berkembang menjadi Imperium. Dari istilah 
Imperium saja bisa di jelaskan tujuan dari Tuan 
Coen. Batavia adalah pusat kekuasaan dari VOC 
yang ada di Nusantara yang juga merupakan 
perpanjangan tangan dari kekuasaan 
pemerintahan kerajaan Belanda.
Kecerdasan dan kepiawaian J.P. Coen dalam 
memilih dan membangun kota Batavia dapat 
dilihat melalui bagaimana J.P. Coen 
mengeluarkan tiga kebijakan utama yakni 
memperbanyak aktivitas perdagangan di 
pelabuhan Sunda Kalapa, merevitalisasi pulau￾pulau di utara Batavia dan membangun 
persekutuan dengan pedagang dan pendatang dari 
Tionghoa. Secara umum kebijakan tersebut 
sebagai berikut : Pelabuhan Sunda Kalapa 
memiliki arti penting karena pelabuhan tersebut 
sudah ramai dengan perdagangan internasional 
sebelum kedatangan VOC. Gubernur Jenderal 
VOC Jan Pieterszoon Coen melihat potensi ini 
dengan cara mendirikan loji di seberang sungai 
Ciliwung dengan mendapatkan izin dari Pangeran 
Jayakarta agar dapat memantau situasi di 
pelabuhan Sunda Kalapa dan sewaktu-waktu bisa 
mengadakan penyerangan terhadap Pelabuhan 
tersebut. Pulau-pulau di sekitar Teluk Jakarta 
juga memiliki peranan yang penting terutama 
Pulau Onrust dimana sebagai tempatb 
bersandarnya kapal-kapl dagang VOC dan juga 
sebagai tempat perbaikan atau perawatan kapal￾kapal tersebut (bengkel). 
Imigran Cina banyak memilki peranan di 
Nusantara terutama perkembangan Batavia. 
Sebelum VOC menguasai Batavia, imigran Cina 
telah melakukan kegiatan perdagangan dengan 
pedagang Nusantara. Tetapi setelah kedatangan 
VOC di Batavia, Coen banyak menggunakan 
imigran Cina dalam pembangunan Batavia. 
Banyak dari imigran Cina yang bekerja sebagai 
tukang kayu, tukang kebun, pemilik toko, 
pemahat, pemilik perkebunan tebu, penyuling 
arak, pegawai administrasi, dan yang bernasib 
kurang baik dijadikan budak oleh orang-orang 
VOC dalam pembangunan kanal-kanal di Casteel
Batavia. Di dalam masyarakat Cina ada seorang 
yang diangkat menjadi pemimpin dan biasanya 
berasal dari keluarga kaya, pemimpin ini disebut 
Kapiten. Kerajinan dan keuletan imigran Cina 
membuat mereka sebagai salah satu pembangun 
perekonomian Batavia. Mengenai pertumbuhan 
Batavia yang masih bergantung kepada imigran 
Cina, hal ini seperti yang dikemukan oleh 
Francois Valentijn bahwa apabila tidak ada 
imigran Cina, Batavia akan menjadi kota yang 
kehilangan pesonanya.

Pada Abad XVI Pemerintah Kerajaan Belanda 
mengirimkan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sebagai 
delegasi dagang ke kepulauan Nusantara dengan tugas utama 
mendapatkan hasil bumi terutama rempah-rempah. pada tahun 
1596 VOC Mendarat di Banten, dengan tujuan untuk 
memperoleh barang dagangan yang saat itu banyak dicari orang 
Eropa karena harganya mahal, yaitu rempah-rempah. Motivasi 
kedatangan VOC di Indonesia ternyata tidak semata-mata di 
dorong untuk berdagang, akan tetapi punya tujuan lain yaitu 
politik dan agama.
Secara politik kedatangan belanda adalah 
sebagai kepanjangan kolonialisme yakni mengusai wilayah 
Nusantara sebagai wilayah jajahanya untuk dikeruk kekayaanya 
dan di jadikan pasar bagi hasil industrinya. Sedangkan misi 
agama yang dijalankan adalah menyebarkan agama Kristen ke 
Indonesia.
Pada saat VOC datang Ke Nusantara, wilayah ini 
merupakan wilayah berkebudayaan tinggi, di mana sebelumnya 
sudah banyak berdiri kerajaan-kerajaan besar, baik kerajaan￾kerajaan Hindu dan Budha, maupun kesultanan Islam sebagai 
realitas yang terjadi pada saat itu, mungkin kondisinya berbeda 
dengan koloni-koloni lain sebagaimana di benua Afrika, 
Amerika maupun Australia yang penduduknya masih primitif.
Pada abad XVI wilayah Indonesia berada di bawah 
kekuasaan beberapa kesultanan Islam, dengan infrasruktur 
politik yang mapan, di mana ajaran Islam di jalankan dalam 
segala bidang termasuk di dalamnya peradilan Agama.
Di kerajaan Mataram Islam di kenal dengan Pengadilan 
Surambi, karena dilaksanakan di serambi Mesjid. Wewenang 
peradilan ini tidak hanya terbatas pada perkara perdata tetapi 
juga berwenang mengadili perkara pidana. Di Kerajaan aceh di 
kenal istilah Keucik, Balai Hukum Mukim, Panglima Sagi dan 
Mahkamah Agung, yang memiliki kewenaangan berjenjang baik 
perdata maupun pidana. Selanjutnya peradilan agama yang
memiliki kewenangan yang serupa sebagaimana terdapat di 
Kesultanan Priangan, Kesultanan Banten, Kesultanan Goa dan 
Kesultanan-Kesultanan lain di Indonesia.2
Melihat kenyataan yang di hadapi merupakan masyarakat 
yang memiliki kebudayaan yang tinggi selama ber abad-abab, 
Pemerintah Kerajaan Belanda menyadari bahwa kondisi tersebut 
tidak dapat ditaklukan dengan mudah, baik dengan cara politik 
maupun militer, oleh karena itu dikirimlah para sarjana untuk 
melakukan penelitian dan merumuskan langkah kebijakan yang 
tepat, sehingga diperoleh hasil yang maksimal.
Politik Hukum atau kebijakan Pemerintah Kerajaan 
Belanda di ambil atas dasar masukan dari para ahli, baik ahli 
hukum, kebudayaan, politik dan lainnya yang dikirim ke 
Nusantara, bermuara pada pertimbangan-pertimbangan dalam 
membuat peraturan perundangan yang diberlakukan di 
antaranya dengan membentuk Peradilan Agama (PA) di wilayah 
jajahanya yang selanjutnya di kenal dengan Hindia Belanda, 
Peradilan Agama yang dibentuk oleh Hindia Belanda kini 
menjadi bagian dari sitem hukum nasional dan bernaung di
bawah pembina administratif maupun pembina yustisial 
Mahkamah Agung.
Seolah ingin melepaskan diri dari kungkungan politik 
hukum Hindia Belanda, Peradilan Agama waktu demi waktu 
mengalami perkembangan ke arah yang positif, kini di samping 
statusnya yang sejajar dengan dengan Peradilan lain di 
Indonesia, sumber hukumnya juga jauh mengalami perubahan, 
dengan lahirnya beberapa undang-undang tentang Peradilan 
Agama sebagai sumber hukum formal, dalam hukum material,
waulupun belum ada kodifikasi terhadap hukum material 
peradilan Agama. Akan tetapi lahirnya Kompilasi Hukum Islam 
dan beberapa Undang-undang, seperti undang-undang tentang 
zakat, wakaf dan haji, merupakan indikasi terhadap arah 
perkembangan yang positif Peradilan Agama.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa politik hukum 
suatu rezim berperan besar dalam mempengaruhi keberadan 
Peradilan Agama, dengan demikian menarik untuk mengetahui politik hukum kolonial Belanda, karena sebagai pihak yang 
mula-mula mendirikan peradilan agama yang sampai saat ini 
masih terasa pengaruhnya, terutama dalam hal kompetensi 
absolutnya terhadab Peradilan Agama.
Tulisan ini akan mengkaji politik hukum yang di tempuh 
pemerintah kerajaan Belanda dalam membentuk Peradilan 
Agama.
1. Politik Hukum Kolonial Era VOC
Hukum Islam lahir di Indonesia yaitu sejak 
datangnya Islam ke Indonesia, jauh sebelum pemerintah 
Hindia Belanda datang.3 Hingga saat ini masih terdapat 
perbedaan pendapat terkait kapan datangnya Islam ke 
Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam 
datang ke Indonesia yaitu pada abad ke-7 Masehi, hal ini 
didasarkan pada adanya pedagang-pedagang muslim asal 
Arab, Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan 
Nusantara. Pendapat lain menyatakan bahwa Islam 
masuk ke Indonesia yaitu pada Abad ke-13 Masehi, hal 
ini ditandai adanya masyarakat muslim di Samudera 
Pasai, Perlak dan Palembang. Sementara di Jawa 
terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik 
yang berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam￾makam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13. Hal ini 
merupakan bukti perkembangan komunitas Islam 
termasuk di pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu, 
yakni Majapahit.
Pada akhir abad ke enam belas atau tepatnya tahun 
1596, organisasi perusahaan Belanda bernama 
Vereenigde Oostindische Compagnie atau yang lebih 
dikenal dengan sebutan VOC, merapatkan kapalnya di 
pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksud kedatangan 
VOC semula untuk berdagang, namun kemudian berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk 
mencapai maksud tersebut, Pemerintah Belanda 
memberi kekuasaan kepada VOC (Vereenigde Oostindische 
Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng dan 
mengadakan perjanjian dengan raja-raja Indonesia. 
Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai 
dua fungsi yaitu pertama sebagai pedagang dan kedua 
sebagai badan pemerintahan.4
Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan kedua 
fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang 
dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya, 
VOC membentuk badan-badan peradilan untuk 
Indonesia. Namun, oleh karena susunan badan 
peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu, 
tidak dapat berjalan dengan baik pada praktiknya, 
sebagai upaya untuk menghindari perlawanan dari umat 
Islam, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli 
yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti 
keadaan sebelumnya. Misalnya, karena di kota Jakarta 
dan sekitarnya hukum Belanda yang dinyatakan berlaku 
tidak dapat dilaksanakan, maka VOC terpaksa harus 
memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh 
rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam 
Statuta Jakarta tahun 1642 disebutkan, bahwa mengenai 
kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam harus 
dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai 
oleh rakyat sehari-hari.
Pada waktu VOC pertama kali menguasai 
Indonesia, mereka kurang menghiraukan agama dan 
kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi Setelah 
kekuasaan VOC diambil oleh kerajaan Belanda abad ke-
18, barulah ada perhatian Belanda kepada kehidupan
kebudayaan dan agama. Belanda selalu kuatir dan curiga 
terhadap perkembangan Islam di Indonesia terutama 
karena ada gerakan Panislamisme yang berpusat di Turki
semasa kekuasaan Usmaniyah di Istambul. Pemerintah 
Kerajaan Belanda mengalami perlawanan politik dan 
militer dari kesultanan-kesultanan dan pemimpin￾pemimpin ummat Islam di daerah-daerah Indonesia, 
terutama sepanjang abad ke-19 dan yang terakhir pada 
tahun 1903, jadi sudah masuk abad ke-20 bahkan pada 
tahun 1908 di Sumatera Barat terjadi lagi 
pemberontakan rakyat muslimin terhadap Belanda. Oleh 
karena itu, Belanda memperhatikan psikologi massa 
antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum Islam 
di Indonesia.6
Pada waktu VOC diberi kekuasaan oleh pemerintah 
Belanda untuk mendirikan benteng-benteng dan 
mengadakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja 
kepulauan Indonesia, VOC membentuk badan-badan 
peradilan khusus pribumi di daerah kekuasaannya. 
Dalam Statuta Batavia tahun 1642 disebutkan, bahwa 
mengenai soal kewarisan, orang Indonesia yang 
beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam. 
Sehubungan dengan hal ini, VOC meminta D.W Freijer 
menyusun suatu compendium yang berisi hukum 
perkawinan dan kewarisan Islam. Conpendium tersebut 
kemudian dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa 
yang terjadi antara umat Islam di daerah-daerah yang 
dikuasai oleh VOC. Kitab hukum tersebut terkenal 
dengan nama Compendium Freijer.
Di samping Compendium Freijer, pada masa VOC 
juga muncul kitab hukum Mogharraer (Moharrar) untuk 
Pengadilan Negeri Semarang. Kitab ini adalah kitab 
perihal hukum-hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti 
dari kitab hukum Islam moharrar yang didalamnya 
merupakan kumpulan hukum Tuhan, hukum alam, dan 
hukum anak negeri yang dipergunakan oleh Landraad
(pengadilan negeri) Semarang dalam memutuskan 
perkara perdata dan pidana yang terjadi dikalangan 
rakyat setempat.
Organisasi VOC pada tanggal 31 Desember 1799 
dibubarkan karena mengalami kebangkrutan. Setelah 
kekuasaan VOC berakhir kemudian digantikan oleh 
Belanda yang mana sikap Belanda berubah ubah 
terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi 
secara perlahan-lahan. Tetapi tujuan utama pemerintah 
kolonial belanda di Nusantara tidak mengalami 
perubahan yaitu: Pertama, menguasai kepulauan 
Nusantara sebagai wilayah yang memiliki sumber daya 
alam yang sangat melimpah terutama hasil perkebunan 
seperti: lada, pala, cengkih, kopi cokelat dan lain-lain. 
Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian 
besar orang Islam dengan proyek kristenisasi. Ketiga, 
keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut 
dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. 
Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah 
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
Tujuan utamanya dari politik hukum Pemerintah hindia 
Belanda adalah: Memperoleh sebanyak-banyak hasil 
bumi Indonesia terutama rempah-rempah yang 
merupakan komoditas yang sangat laku di pasar Eropa, 
memisahkan Penduduk kepulauan Nusantara dengan 
ajaran Islam sehingga terlepas dari pengaruh pergerakan 
Panislamisme maupun gerakan pembaharuan Islam 
lainnya, Memberlakukan hukum Belanda sehingga dapat 
mencabut rakyat kepuluan Nusantara dengan akar 
budayanya. Selanjutnya setelah dapat ditaklukan secara 
ekonomi, agama dan budaya, secara politik akan mudah 
dikuasai.
Namun upaya Belanda tersebut mendapat 
perlawanan dari penduduk pribumi sebagaimana yang 
disampaikan Harry J. Benda bahwa:
Ever since the arrival of the Dutch East India Company in 
Southeast Asia at the turn of the seventeenth century, the Dutch 
had encountered Muslim hostility in Indonesia. Time and again, 
the consolidation of their expanding power was threatened by local 
outbreaks of Islamic inspired resistence, led either by Indonesian 
rulers converted to the faith of the prophet or, at the village level, by 
fanatical ulama, the independent teacher and scribes of Islam”.
“Sejak kehadiran Perusahaan hindia Belanda di Asia 
Tenggara pada abad ke 17, Belanda telah menunjukkan 
kepada kaum muslimin dengan sifat bersahabat, Seiring 
berjalannya waktu, konsolidasi dari pergeseran 
kekuasaan yang mereka miliki terancam oleh 
pemberontak muslim yang melakukan perlawanan, yang 
juga dipimpin oleh pemimpin lokal yang beriman pada 
nabi, pada level pedesaan, pada ulama yang fanatik, guru 
dan cendekiawan muslim, yang mencium adanya niat 
terselubung kolonial dibalik sikap bersahabatnya.
Upaya pemerintah untuk mengubah hukum Islam 
belum dimulai pada masa Pemerintahan Hindia Belanda 
di zaman Daendels (1800-1811). Di masa itu, secara 
umum hukum Islam dianggap sebagai hukum asli orang 
pribumi. Karena pendapat yang demikian, Daendels 
mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal 
hukum agama orang Jawa tidak boleh diganggu gugat 
dan hak-hak penghulu mereka untuk memutus beberapa 
macam perkara tentang perkawinan dan kewarisan harus 
diakui oleh kekuasaan Pemerintah Belanda. Di samping 
itu, ia menegaskan bahwa kedudukan para penghulu 
sebagai tenaga ahli hukum Islam yaitu hukum asli orang 
Jawa dalam susunan badan peradilan yang dibentuknya 
sebagai penasihat dalam suatu masalah atau perkara.
Ketika Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) 
keadaan tidak berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris suntuk kepulauan Indonesia 
pada waktu itu menyatakan bahwa hukum yang berlaku 
dikalangan rakyat adalah hukum Islam. Ia mengatakan 
“the koran…. forms the general law of Java.” Namun setelah 
Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda 
berdasarkan konvensi yang ditandatangani di London 
pada tanggal 13 Agustus 1814, Pemerintah Kolonial 
Belanda membuat suatu undang-undang tentang 
kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, 
pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya di 
Asia. Undang-undang ini mengakibatkan perubahan di 
hampir semua bidang kehidupan orang Indonesia, 
termasuk bidang hukum yang akan merugikan 
perkembangan hukum Islam selanjutnya.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman 
Daendels (1800-1811) dan sewaktu Inggris menguasai 
Indonesia (1811-1816) yang mana Thomas S. Raffles 
menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan 
Indonesia, hukum Islam merupakan hukum yang 
berlaku bagi masyarakat. Pada masa itu hukum Islam 
dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan￾permasalahan yang terjadi dikalangan orang Islam. Hal 
tersebut sibagai kebijakan yang mengakui realitas yang 
ada, di kepulauan Nusantara pada saat itu. Kenyataan di 
atas sebagaimana diakui oleh Van Den Berg, yang 
melahirkan teori receptio incomplexu yang menyatakan 
bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi 
pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori 
ini, maka pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 
mendirikan peradilan agama bagi pemeluk agama Islam, 
yang berlaku untuk pulau Jawa dan Madura.
Sesuai dengan pendapat Carel Frederick Winter, 
seorang ahli tertua mengenai soal-soal Jawa Javaichi 
yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859)
Solomon Keuzer (1823-1868) Maha Guru Ilmu Bahasa 
dan Ilmu Kebudayaan Hindia Belanda, terakhir 
Lodewijke Willem Christian Van Den Berg (1845-1927), 
yang dalam tahun 1884 menulis buku Muhammadansch 
Recht (asas-asas hukum Islam) menyatakan bahwa 
hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumi 
putera walaupun dengan sedikit penyimpangan￾penyimpangan.
Teori receptio in complexu ini yang mendasari 
kelahiran Pasal 75 dan Pasal 78 jo, pasal 109 RR. Pasal 
75 ayat (3) R.R tersebut mengatur: “Apabila terjadi 
sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang 
beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah 
diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan 
kebiasaan mereka. Sedangkan dalam ayat (4) Pasal 75 
R.R. disebutkan: “Undang-undang agama, adat dan 
kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh Hakim 
Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa 
dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang 
Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan 
hakim agama atau tokoh masyarakat mereka menurut 
undang-undang agama atau ketentuan lama mereka.
Menurut Pasal 109 R.R. ditentukan pula: 
“Ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 75 dan Pasal 78 
itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan 
orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, 
orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam, 
maupun orang-orang yang tidak beragama.
Menurut Pasal 7 Rechterlijke Organisatie 
ditetapkan: “Sidang-sidang pengadilan negeri (landraad) 
harus dihadiri oleh seorang fungsionarie yang 
mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang 
dihadapkan itu tidak beragama Islam, maka penasehat 
itu adalah kepala masyarakat dari orang itu.
Sejalan dengan berlakunya hukum Islam itu, 
pemerintah Hindia Belanda membentuk pengadilan 
agama dimana berdiri pengadilan vnegeri dengan 
Staatsblad 1882 No. 152 dan 153, kemudian diiringi 
terbentuknya pengadilan tingggi agama (mahkamah 
syar’iyyah) yang berfungsi sebagai pengadilan agama 
tinggi banding dan terakhir berdasarkan Pasal 7 g 
Staatsblad 1937 No. 610 dan dalam tahun 1937 dengan 
Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 dibentuk pula 
peradilan agama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan 
Timur dengan nama Pengadilan Qadhi Kecil pada 
tingkat pertama dan Pengadilan Qadhi Besar untuk 
tingkat banding dan terakhir. Pada masa itulah dikenal 
dengan masa Receptio on Complexu, yaitu suatu teori 
yang menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum 
Islam, walaupun dengan sedikit penyimpangan.
Paham tentang teori Receptio in Complexu pada 
masa ini telah mempengaruhi politik hukum kolonial 
belanda dan pada saat inilah hukum Islam benar benar 
diakui berlaku sebagai hukum positif bagi masyarakat 
yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan 
dalam Pasal 75 ayat (3) Regeerings Reglement yang 
menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata 
antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam, oleh 
hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam 
gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya 
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan 
pengadilan agama yang kemudian diiringi dengan 
terbentuknya pengadilan tinggi agama (mahkamah 
syar’iyyah).
Teori Receptio In Complexu ini menjadikan hukum 
Islam diakui dan berlaku sebagai hukum positif pada 
masa pemerintahan Hindia Belanda, merupakan 
pemahaman yang jujur dan obyektif dalam 
menggambarkan tentang berlakunya pranata-pranata 
hukum yang berlaku di kalangan penduduk asli
nusantara pada masa itu. Walaupun pada dasarnya 
hukum Islam telah ada berlaku dalam kehidupan 
masyarakat Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia 
Belanda tiba di Indonesia.
2. Teori resepsi dan pembatasan peran hukum Islam
Terlepas dari politik hukum yang melatar belakangi 
kelahiran peradilan Agama, bertujuan untuk 
melanggenggengkan kepentingan Kolonial Belanda, 
keberadaan peradilan Agama yang memiliki kewenangan 
luas, karena di dasarkan pada teori receptio in complexu, 
cukup di terima oleh umat Islam pada saat itu. Hingga 
lahirlah teori receptie yang meralat teori sebelumnya.
Teori receptio in complexu kemudian ditentang 
oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai 
pencipta teori baru yaitu teori receptie (resepsi) yang 
menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan 
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum 
adat.Menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya 
hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu 
oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut teori 
tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat 
diberlakukan karena belum diterima atau bertentangan 
dengan hukum adat.
Munculnya teori receptie ini berpangkal dari 
keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi 
rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran 
Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat 
memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah 
dipengaruhi oleh peradaban Barat. Atas dasar itulah ia 
memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda 
untuk mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha 
menarik rakyat pribumi (inlander) agar lebih mendekat 
kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia
Belanda dengan menempuh kebijaksanaan sebagai 
berikut :
a. Dalam kegiatan agama dalam arti yang sebenarnya 
(agama dalam arti sempit), pemerintah Hindia 
Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara 
jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang 
Islam untuk melaksankan ajaran agamanya.
b. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia 
Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan 
kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jalan 
yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan 
kepada suatu kemajuan dengan memberikan bantuan 
kepada mereka.
c. Dibidang ketatanegaraan, mencegah tujuan yang 
dapat membawa atau menghubungkan kearah 
gerakan Pan Islamisme yang mempunyai tujuan 
untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam 
hubungan menghadapi pemerintah Hindia Belanda.
Upaya sistemik yang kemudian ditempuh oleh 
pemerintah Hindia Belanda sebagai realisasi teori 
receptie ini adalah dengan berusaha melumpuhkan dan 
menghambat pelaksanaan hukum Islam dengan cara:
a. Sama sekali tidak memasukkan masalah hudud dan 
qishash dalam bidang hukum pidana. Mengenai 
hukum pidana ini telah diunifikasi dengan Wet Boek 
Van Strafrecht yang mulai berlaku sejak Januari 1919 
(Staatsblad 1915 No. 732).
b. Dibidang tatanegara, ajaran Islam yang mengenai hal 
tersebut dihancurkan sama sekali. Segala bentuk 
kajian yangberhubungan dengan politik 
ketatanegaraan (siyasah) dilarang keras.
c. Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang 
menyangkut hukum perkawinan dan hukum 
kewarisan. Bahkan khusus untuk hukum kewarisan
Islam diupayakan tidak berlaku yang ditandai oleh 
adanya upaya dari pemerintah Hindia Belanda untuk 
menanggalkan wewenang peradilan agama dibidang 
kewarisan pada pengadilan agama di Jawa, Madura 
dan Kalimantan Selatan, kemudian kewenangan 
dibidang kewarisan ini diserahkan kepada landraad. 
Di samping itu juga terdapat larangan penyelesaian 
dengan hukum Islam jika di tempat terjadinya perkara 
tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adatnya.
Realisasi teori receptie ini yaitu terjadinya 
perubahan secara sistematis Regeerings Reglement Stbl. 
1855 No. 2 menjadi Wet Op De atau I.S. pada tahun 
1925 (Stbl. 1925 No. 416) seterusnya dengan Stbl. 1929 
No. 221, dimana dinyatakan bahwa hukum Islam tidak 
lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum 
Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila 
telah memenuhi dua syarat yaitu:
a. Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu 
oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat);
b. Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma 
dan kaidah hukum Islam itu juga tidak boleh 
bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan 
lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia 
Belanda.
Sejalan dengan perubahan Regeerings Reglement itu 
menjadi Indische Staats Regeling oleh pemerintah 
Hindia Belanda dikeluarkan pula Staatsblad 1937 No. 
116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan 
agama yang semula berhak menetapkan tentang hal 
waris,nikah talak rujuk dan hadlhanah dan sebagainya, 
kemudian hanya berwenang mengadili sepanjang yang 
berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk saja, di luar itu 
tidak berwenang.
Adanya teori resepsi yang menyatakan bahwa 
hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum adat yang dalam 
realisasinya dikeluarkan Staatsblad 1937 No. 116 yang 
membatasi wewenang dan tugas peradilan agama 
menjadikan peranan hukum Islam sangat dibatasi. Pada 
saat itu hukum Islam mengalami kondisi yang sangat 
berat karena harus berhadapan dengan hukum adat dan 
hukum pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada 
saat itu.Dampaknya adalah hukum Islam yang telah 
berlaku secara formal dipersempit ruang geraknya oleh 
pemerintah Hindia Belanda seperti wewenang 
menyelesaikan hukum waris yang sebelumnya menjadi 
kewenangan Peradilan Agama
Politik Hukum Pemerintah Kolonial Belanda terhadap 
keberadaan peradilan Agama dipengaruhi oleh tujuan 
kolonialisme yaitu, Sebagai upaya persuasif dalam meredam 
perlawanan umat Islam Indonesia, sehingga tujuan murni 
kolonial Belanda yaitu: Pertama untuk mengekploitasi kekayaan 
alam di Kepulauan Nusantara tercapai, ke dua menyebarkan 
agama kristen dengan cara-cara simpatik, ke tiga Memperluas 
wilayah jajahan dan memperpanjang masa kekuasaan dengan 
perlawanan yang minimal dari penduduk setempat. Hal ini dapat 
terlihat :
1. Pada awalnya pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk 
merangkul umat Islam Indonesia, dengan memberlakukan 
hukum Islam secara keseluruhan, karena pada kenyataanya 
berdasarkan teori receptio in complexu, Syariat Islam sudah 
di serap secara keseluruhan oleh umat Islam Indonesia, 
sehingg dengan cara ini akan mengurangi perlawanan dari 
masyarakat.
2. Kekhawatiran terhadap pergerakan Pan Islamisme di Turki 
akan berpengaruh secara masif di kalangan Muslimin 
Indonesia, oleh karena itu Hindia belanda berusaha 
menjauhkan umat Islam dengan ajaranya, untuk itu di 
tempuh dengan mengurangi wewenang peradilan Agama 
berdasarkan teori receptie

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate