bangunan kolonial
Kolonialisasi Belanda di Indonesia yang berlangsung lama tentunya memberikan banyak
pengaruh pada arsitektur bangunan dan kota. modernisasi yang terjadi pada masa kolonialisasi
Belanda di Indonesia menjadikan perkembangan arsitektur maupun kota di Indonesia menjadi
lebih logis dan terukur. bahwa arsitektur Eropa
yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia secara perlahan namun pasti mempengaruhi arsitektur
dan tata kota lokal membentuk pola tersendiri yang kemudian menjadi simbol identitas tersendiri.
Lebih lanjut, kota-kota di Indonesia yang mendapatkan pengaruh kolonialisasi Belanda akan
terlihat berbeda dengan kota-kota lokal karena terdapat pertimbangan-pertimbangan logis Barat
selain aspek budaya maupun kosmologi lokal. Adapun beberapa pertimbangan logis yang
dimaksud disini adalah kelengkapan infrastruktur, kesehatan lingkungan, serta aspek kenyamanan
yang lebih terjamin.
Sebelum kolonialisasi Belanda berlangsung, Jawa telah dikenal sebagai salah satu pusat
peradaban di Indonesia. Hal ini terlihat dari sistem kehidupan sehari-hari yang telah tertata
dengan baik, dimana arsitektur dan tata kota di Jawa juga telah memiliki pola yang jelas dan
tersistematis. Pada masa kerajaan Majapahit yang merupakan puncak kejayaan kerajaan Hindu
Budha di Jawa, konsep penataan pusat kota telah menggunakan beberapa kaidah dalam rangka
mendapatkan keseimbangan fungsi antara pemerintahan, ekonomi, religi, dan sosial budaya.
Diantaranya yang menonjol adalah konsep Tri Angga, orientasi Kaja-Kelod, serta Prapatan Agung
Setelah berakhirnya era Kerajaan Hindu Budha di Jawa, dan digantikan dengan
Era Kerajaan Islam di Jawa, pola penataan pusat kota yang telah digunakan pada masa Hindu
Budha tidak serta merta hilang, melainnya berevolusi tanpa menghilangkan keseimbangan fungsi
antara pemerintahan, ekonomi, religi, dan sosial budaya beberapa
konsep yang digunakan dalam penataan pusat kota Jawa di era Kerajaan Islam adalah Catur Gatra,
Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti, dan lain-lain.
Pada masa kolonialisasi Belanda di Indonesia, Jawa semakin memiliki posisi yang penting, hal
ini dikarenakan Jawa kemudian menjadi pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa hasil pembangunan berteknologi tinggi pada masa itu yang
tidak terdapat di pulau yang lain misalnya jalur kereta api dan kelengkapannya
Kondisi politik kolonialisasi yang semakin stabil, serta pembangunan yang pesat di Hindia Belanda
mengakibatkan laju migrasi penduduk Eropa yang cukup signifikan yang nantinya mempengaruhi
pertumbuhan perkotaan khususnya di Jawa . Dengan kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda yang semakin mantap dan stabil di Jawa, maka perkembangan pusat kota di Jawa
tentunya akan lebih terpengaruh dengan model perkembangan pusat kota di Belanda atau Eropa
pada umumnya.
Pada penelitian kali ini akan dibahas bagaimana kolonialisasi mempengaruhi perkembangan
pusat kota di Jawa melalui metode studi literatur. Adapun studi literatur yang dilakukan akan fokus
Pada sub bab ini akan diuraikan bagaimanakah kota-kota di Eropa tumbuh dan
berkembang dari masa Klasik hingga Revolusi Industri. Pemilihan rentang waktu tersebut
disesuaikan dengan rentang waktu kemunculan pola kota di Jawa hingga munculnya pengaruh
kolonialisasi Eropa di pusat-pusat Kota Jawa seperti yang diuraikan pada teori-teori yang saat
ini ada baik di bidang Antropologi maupun Arsitektur. Terdapat dua buah literatur pokok yang
digunakan pada sub bab ini yaitu buku The City Shape, Urban Patterns and Meaning Through
History karya Kostof (1991) dan buku The City Assembled, The Elements of Urban Form Through
History karya Kostof (1992). Dua buah literatur tersebut dianggap sangat tepat karena selain
ditulis oleh seorang sejarawan arsitektur yang kemampuannya tidak diragukan, literatur tersebut mampu menguraikan dengan detail perkembangan suatu kota di Eropa dari sudut
pandang ilmu sejarah arsitektur. Meskipun demikian, peneliti juga menggunakan beberapa
literatur pendukung lainnya untuk memperjelas dan memperkaya bahasan.
, kemunculan kota-kota di Eropa awalnya berada di pedalaman.
Umumnya munculnya kota diakibatkan karena adanya surplus sumber daya alam yang
dikelola oleh seseorang atau kelompok orang. Seseorang atau kelompok orang tersebut
selanjutnya mampu memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan surplus sumber daya
alam. Hal ini selanjutnya mendorong mereka untuk membuat tembok pembatas atau benteng
untuk keamanan sumber daya alam yang diuasai sekaligus menegaskan kekuasaan mereka.
Fenomena ini terjadi pada masa Pra Klasik, terkenal dengan istilah tuan tanah / lord di
Britania Raya yang kelak bertransformasi menjadi kerajaan pada Masa Klasik Eropa. Dari
penjelasan diatas dapat dipahami bahwasanya kemunculan kota-kota di Eropa diawali oleh
motif penguasaan ekonomi dan diwujudkan dalam bentuk benteng.
Pola pertumbuhan kota seperti diuraian pada paragraf di atas terus berlangsung sampai
dengan Masa Klasik Eropa dimana gereja mendapatkan legitimasi kekuasaan bersanding
dengan raja-raja. Kota-kota bekembang dengan tidak terencana (unplanned city) mengikuti
bentang alam yang ada sebagai batas sekaligus pola jalannya , Kemajuan kotakota tersebut menarik minat masyarakat bermigrasi untuk mendapatkan kualitas hidup yang
lebih baik salah satunya dengan berdagang. Kemajuan ekonomi kota yang pesat tentunya tidak
mampu diwadahi dalam bentuk benteng yang terbatas oleh karena itu pada Masa Klasik kotakota di Eropa tidak lagi tergantung pada peran dan fungsi benteng. Sistem pemerintahanpun
berkembang dari semula monarki absolut menjadi sistem monarki konstitusi dimana kaum
bangsawan, rohaniawan, dan oligarki mendapatkan peran dalam pemerintahan. Kedua hal
tersebut mendorong kota bertansformasi. bahwa pada Masa Klasik Eropa, kota-kota terdiri dari pusat kota dan bagianbagian kota lain yang menyokong. selanjutnya menggolongkan kota jenis ini
sebagai pola kota konsentrik. Pola kota konsentrik menonjolkan pusat kota yang memegang
fungsi birokrasi, religi, dan perumahan secara terbatas untuk raja, keluarga raja, bangsawan,
dan rohaniawan. Raja dan kaum aristokrat memiliki peran sentral terhadap pertumbuhan kota
sehingga secara fisik pusat kota menonjolkan simbol-simbol fisik kosmologi dari religi dan
birokrasi yang menegaskan raja sebagai wakil Tuhan. Fungsi ekonomi sebagai penggerak kota
pada masa ini tidak memiliki area khusus melainkan melebur diantaranya.
Pada saat ini kota memiliki pola konsentris
dengan jalan-jalan penghubung antar bagian kota yang bersifat organik. Meskipun demikian
dikarenakan pusat kota menjadi bagian yang sagat penting maka jalanjalan penghubung mengarah ke pusat kota sehingga muncul bentuk jalan menyerupai grid.
Semakin kuatnya peran raja dan gereja serta didukung oleh kaum pedagang selanjutnya
memunculkan kebijakan 3G (Gold, Gospel, Glory) yang selanjutnya mendorong munculnya
kolonialisasi dalam rangka mencari sumber-sumber daya alam untuk dijual di pasar Eropa. Hal
ini membawa konsekuensi bahwasanya kota-kota di Eropa semakin berkembang, dan meluas.
kota-kota di Eropa pada masa ini mulai berkembang secara organik
mengikuti bentang alam meskipun tetap mempertahankan pola konsentrik.
memperkuat pernyataan ini dengan menyatakan bahwasanya kawasan pusat kota pada masa
ini (600 - 1700 M) mulai diwarnai dengan adanya konektifitas dengan kawasan lain yang
dihuni atau dikembangkan oleh kelompok masyarakat tertentu. bahwasanya hal ini yang berakibat pada struktur kota yang konsentrik namun
terbagi menjadi beberapa bagian kota yang terkoneksi baik.
bahwasanya di dalam kawasan pusat kota kemudian muncul beberapa fasilitas-fasilitas publik
untuk menunjang fungsi ekonomi, maupun sosial kemasyarakatan. Pada era pra industrialisasi
ini Burgess (1923) menggambarkan zonasi kota berbentuk radial konsentrik
Pada masa selanjutnya (Abad 18 s.d. 20 M) bahwasanya fase
perkembangan kota di Eropa secara umum mengalami perubahan yang cukup signifikan
akibat munculnya revolusi industri yang didukung oleh kaum pedagang. Hal ini
mengakibatkan model pertumbuhan berbasis kosmologi yang menonjolkan
kekuasaan raja bergeser ke model pertumbuhan organik yang dikembangkan secara terukur
untuk mendapatkan kemerataan akses bagi semua warga kota. Pada kawasan pusat kota,
bahwasanya adanya sumbu kota yang monumental, batas kota
yang berbentuk fisik, struktur jalan berbentuk grid yang kaku, serta organisasi spasial
berdasarkan strata sosial berubah menjadi kawasan pusat kota yang humanis, dikembangkan
untuk mewadahi kebutuhan masyarakat, jaringan jalan dikembangkan secara grid-organik
mengikuti bentang alam yang tersedia.
perkembangan kota selanjutnya tidak lagi murni berpola konsentrik namun juga organik
mengikuti kepentingan umum yang ada.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya secara umum kota-kota di
Eropa muncul karena adanya penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam oleh suatu
kelompok. Selanjutnya kota-kota di Eropa awalnya dikembangkan dengan menonjolkan
kawasan pusat kota sebagai simbol kosmologi bahwasanya raja adalah wakil Tuhan untuk
mengelola alam dan manusia yang ada. Seiring dengan perkembangan zaman dimana
perdagangan semakin berperan penting untuk menghidupi ekonomi kota maka legitimasi raja
semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan kota tidak lagi berkembang secara konsentris,
melainkan organis menonjolkan keterhubungan antara bagian-bagian kota yang
dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Adanya revolusi industri membawa
pendekatan baru bagi perkembangan kota dimana kota mulai direncanakan untuk lebih
mewadah kepentingan publik, salah satu akibatnya adalah kawasan pusat kota mulai dipenuhi
dengan fasilitas-fasilitas publik guna memenuhi fungsi ekonomi, sosial, maupun budaya.
B. Perkembangan Pola Pusat Kota di Jawa
Secara tradisional, kota-kota di Jawa secara umum dapat dibagi menjadi 2 menurut
aspek geografis yaitu kota di pedalaman dan kota di pesisir menerangkan bahwa kota di pedalaman dan pesisir Jawa secara tradisional telah
memiliki perbedaan karakteristik. Meskipun tidak seluruhnya, kota-kota besar yang berada di
pedalaman Jawa umumnya merupakan kota-kota kerajaan yang menjadi pusat pemerintahan.
Sedangkan kota-kota-kota besar di pesisir Jawa umumnya berperan sebagai pusat-pusat
ekonomi berbasis perdagangan.
Kota-kota di pedalaman Jawa terbentuk seiring dengan berkembangnya pemerintahan
yang disimbolkan secara fisik oleh keraton bahwasanya seiring dengan lengkapnya elemen keraton, struktur kota terbentuk
mengikuti pola konsentris yang menyimbolkan sistem kekuasaan raja Jawa yang dikenal
dengan konsep Dewa-Raja. bahwasanya dari artefak yang
ditemukan pola kota seperti dijelaskan di atas telah ada pada masa kerajaan Hindu Budha di
Jawa. Berbeda dengan kota-kota di pedalaman Jawa, kota-kota di pesisir Jawa umumnya tidak
terbentuk dari adanya sebuah simbol fisik, melainkan karena adanya kegiatan berdagang,
sehingga elemen-elemen yang menonjol dari kota-kota pesisir Jawa adalah adanya pasar dan
pelabuhan bahwasanya daerah
pedalaman dan daerah pesisir memiliki hubungan saling mendukung dalam hierarki kota
Jawa (gambar 2).
menjelaskan hubungan antara kota pedalaman dan kota pesisir tersebut dengan istilah
political domain dan economical domain.
Saat ini pola pusat kota yang banyak kita jumpai di Pulau Jawa adalah pola kota yang
dikembangkan pada masa kerajaan Islam
menyatakan bahwasanya pola kota yang dikembangkan pada masa kerajaan Islam di Jawa
berasal dari pola kota yang dikembangkan pada masa Hindu Budha. Hal ini didasarkan pada
kemiripan elemen pusat kota pada masa kerajaan Hindu-Budha dan kerajaan Islam di Jawa.
Berdasarkan gambar peta rekonstruksi dan ekskavasi Kota Trowulan di Mojokerto yang
dilakukan oleh Ir. Henry Maclaine Pont tahun 1924, pusat Kota Trowulan digambarkan oleh
sebagai dua buah jalan yang berpotongan tegak lurus
membentuk sebuah perempatan dimana orientasi Kaja-Kelod dan Kauh-Kangin pada konsep
Tri Hita Karana Agama Hindu menjadi penting. Adapun orientasi Kaja adalah Gunung Arjuna
yang berada di sebelah Selatan, dan Kelod adalah Laut Jawa yang berada di sebelah Utara.
Sedangkan orientasi Kauh adalah arah Timur tempat matahari terbit, dan orientasi Kangin
adalah arah Barat tempat matahari tenggelam.
bahwasanya titik tengah perpotongan jalan
menunjukkan posisi madyaning madya pada konsep Triangga. bahwasanya pada posisi utamaning utama (kaja-kauh) terdapat keraton, tempat
peribadatan atau candi berada pada posisi utamaning nista (kaja-kangin), dan alun-alun serta
pasar terletak pada posisi nistaning utama (kelod-kauh). Pada posisi nistaning nista (kelodkangin) terdapat tanah lapangan (Lapangan Bubat) tanpa adanya bangunan. Dari uraian di
atas dapat diketahui bahwasanya 4 buah elemen utama penyusun pusat kota Jawa adalah
Keraton, Tempat Peribadatan, Alun-alun, dan Pasar. Masing-masing elemen diletakkan
menurut kepercayaan kerajaan pada saat itu yakni Hindu-Budha. bahwasanya posisi keraton yang dilingkupi oleh dinding pelindung
pada bagian utamaning-utama menegaskan peran Dewa-Raja yang dipegang oleh pemimpin
kerajaan.
Setelah kerajaan bercorak Hindu-Budha di Jawa mengalami kesurutan, maka muncullah
kerajaan bercorak Islam di Jawa. pusat kota Jawa pada masa
Tri Hita Karana Agama Hindu menjadi penting. Adapun orientasi Kaja adalah Gunung Arjuna
yang berada di sebelah Selatan, dan Kelod adalah Laut Jawa yang berada di sebelah Utara.
Sedangkan orientasi Kauh adalah arah Timur tempat matahari terbit, dan orientasi Kangin
adalah arah Barat tempat matahari tenggelam.
bahwasanya titik tengah perpotongan jalan
menunjukkan posisi madyaning madya pada konsep Triangga. Lebih lanjut, Munandar (2008)
menjelaskan bahwasanya pada posisi utamaning utama (kaja-kauh) terdapat keraton, tempat
peribadatan atau candi berada pada posisi utamaning nista (kaja-kangin), dan alun-alun serta
pasar terletak pada posisi nistaning utama (kelod-kauh). Pada posisi nistaning nista (kelodkangin) terdapat tanah lapangan (Lapangan Bubat) tanpa adanya bangunan. Dari uraian di
atas dapat diketahui bahwasanya 4 buah elemen utama penyusun pusat kota Jawa adalah
Keraton, Tempat Peribadatan, Alun-alun, dan Pasar. Masing-masing elemen diletakkan
menurut kepercayaan kerajaan pada saat itu yakni Hindu-Budha. Santoso (1984) dan Munadar
(2008) menambahkan bahwasanya posisi keraton yang dilingkupi oleh dinding pelindung
pada bagian utamaning-utama menegaskan peran Dewa-Raja yang dipegang oleh pemimpin
kerajaan.
Setelah kerajaan bercorak Hindu-Budha di Jawa mengalami kesurutan, maka muncullah
kerajaan bercorak Islam di Jawa. pusat kota Jawa pada masa kerajaan Islam memiliki kemiripan dari segi elemen penyusun dan posisinya. Meskipun
demikian, pendekatan Islam pada penataan pusat kota pada masa Kerajaan Islam di Jawa
mampu mengikis penggunaan prinsip-prinsip Hindu-Budha bahwasanya hal yang menonjol pada penataan pusat
kota pada masa Kerajaan Islam di Jawa adalah posisi Alun-alun yang semakin penting, yakni
berada di tengah-tengah pusat kota.
merupakan salah pengaruh dari ajaran Islam yang mengajarkan kesetaraan antar manusia
(tanpa kasta), dimana alun-alun dapat diartikan sebagai termpat bertemunya raja dan rakyat.
Selain itu, pengaruh Islam juga terlihat pada perletakan masjid sebagai tempat ibadah yang
diletakkan disebelah Barat dari alun-alun agar dapat menghadap kiblat. Selebihnya, perletakan
keraton dan pasar pada masa Kerajaan Islam di Jawa tampak serupa dengan perletakan
keraton yang dilingkupi oleh dinding pelindung dan pasar pada masa Kerajaan Majapahit di
Kota Trowulan yakni keraton di sebelah Selatan, dan pasar terletak di sebelah Utara. Sampai
saat ini belum didapatkan penjelasan filosofis yang mendasari kemiripan hal tersebut, posisi Utara menurut kepercayaan Jawa
diyakini memiliki fungsi yang lebih profan dibandingkan dengan posisi Selatan yang lebih
memiliki nilai sakral. Hal tersebut berhubungan dengan posisi Selatan yang lebih sakral karena
legenda Nyi Roro Kidul yang diyakini masyarakat Jawa , Penjelasan lebih logis
dari sisi iklim adalah bahwa keraton di Jawa pada posisi Selatan akan memiliki arah hadap ke
Utara, dengan demikian kenyamanan huninya akan lebih baik dibandingkan bangunan profan
yang menghadap ke Selatan. Hal ini dikarenakan posisi Jawa yang berada di Selatan
khatulistiwa akan memiliki posisi matahari yang dominan di sebelah Selatan sepanjang
tahunnya. Dengan arah hadap ke Utara maka sinar matahari yang masuk ke dalam bangunan
adalah sinar matahari tidak langsung.
Dari beberapa paragraf di atas dapat diketahui bahwasanya pusat kota di Jawa
menegaskan peran sentral penguasa dalam membentuk, mengatur, serta mengembangkan
kota. Hal ini serupa dengan sejarah perkembangan kota-kota di Eropa khususnya pada era pra
industrialisasi. Selain itu pusat kota di Jawa dan di Eropa sama-sama memiliki peran sentral
sebagai pusat kekuasaan, agama, ekonomi, dan sosial budaya meskipun wujud arsitekturalnya
berbeda. Secara khusus, tempat tinggal penguasa yang terdapat di pusat kota di Eropa maupun
di Jawa sama-sama memiliki dinding pelindung meskipun bentuknya berbeda.
mengenai tipe dan pola pertumbuhan kota maka kotakota di Eropa pra-industrialisasi dan kota-kota di Jawa pada masa pra kolonial tergolong tipe
kosmik yang berkembang dengan pola konsentrik. bahwa Belanda tidak kesulitan dalam melakukan pengembangan
kota-kota di Indonesia dikarenakan pola dasar dari kota-kota di Indonesia memiliki kemiripan
dengan pola kota di Eropa. bahwasanya faktor stabilitas
keamanan adalah faktor yang terlebih dahulu harus dipastikan sebelum Belanda
mengembangkan kota di Indonesia. Di Jawa, khususnya setelah pengaruh Islam penataan
wilayah kekuasaan raja diatur dengan pembagian zona yang hierarkis dengan pusat kota
sebagai inti. Hierarki wilayah kekuasaan raja tersebut selaras dengan hierarki pemerintahan
pada struktur kerajaan Islam di Jawa menggambarkan pembagian wilayah kekuasaan raja di Jawa dengan
skema radial konsentris dengan pusat kota pada bangian inti yang berada di tengah. Adapun
yang menarik dari gambaran skema tersebut adalah adanya kemiripan dengan zonasi kota di
Eropa pra industrial yang digambarkan
C. Pengaruh Kolonialisasi Belanda Pada Pusat Kota di Jawa
Kolonialisasi Eropa ke berbagai belahan dunia mengakibatkan munculnya warna Eropa
hampir di seluruh kota-kota besar di negara-negara yang mengalami penjajahan Tidak terkecuali Belanda yang menjajah Indonesia selama lebih dari 300 tahun. Warna
Eropa tentunya mempengaruhi arsitektur dan kota di Indonesia, khususnya di Jawa sebagai
pusat pemerintahan dan perekonomian. menerangkan bahwasanya perkembangan
kota di Indonesia pada masa kolonialisasi Belanda cenderung memiliki pola yang sama dengan
yang terjadi di Eropa meskipun dengan ritme yang lebih lamban. Ritme yang lamban tersebut
disebabkan oleh adanya gejolak sosial yang berdampak pada stabilitas
keamanan yang perlu dikondisikan terlebih dahulu. Lebih lanjut Nas menjelaskan bahwasanya
terdapat 3 wajah kota di Indonesia pada masa kolonialisasi Belanda yaitu wajah pribumi,
wajah Eropa, dan wajah campuran. Penilaian wajah kota tersebut berdasarkan dari arsitektur
pusat kota sebagai titik tolak perkembangan kota.
bahwasanya kota-kota yang berada di daerah pesisir cenderung
memiliki wajah Eropa atau campuran, sedangkan kota-kota yang berada di daerah pedalaman
cenderung memiliki wajah pribumi atau campuran. bahwasanya kota-kota di Jawa dapat digolongkan pula
menjadi kota pesisir dan kota pedalaman. Keduanya memiliki kelengkapan elemen dan pola
pusat kota yang mirip meskipun dengan pola perwujudan yang berbeda mengikuti status
daerah. Namun dalam perkembangannya pusat kota pesisir memiliki pola yang lebih beragam
dibandingkan dengan kota pedalaman. Hal ini
disebabkan karena daerah pesisir umumnya merupakan daerah perdikan (daerah yang
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak) atau daerah otonom dari kerajaan yang berpusat
di pedalaman Jawa. Tujuannya adalah untuk menggairahkan minat perdagangan dengan pihak
asing. bahwasanya daerah pesisir berperan
sebagai pusat ekonomi kerajaan melalui aktivitas perdagangan. Sebagai catatan, ketika VOC
datang ke Pulau Jawa, saat itu Kerajaan yang menguasai Jawa adalah Kesultanan Banten,
Kesultanan Cirebon, dan Kerajaan Mataram Islam yang memiliki luas wilayah paling besar.
Pelabuhan-pelabuhan dagang di pesisir Jawa Utara umumnya dikuasai oleh Mataram Islam
termasuk Batavia sebelum jatuh ke VOC. bahwasanya beberapa
pelabuhan dagang yang cukup ramai adalah Tegal, Jepara, Rembang, Tuban, bahwasanya surplus komoditas hasil bumi dari
daerah pedalaman dibawa ke pelabuhan untuk kemudian diperdagangkan di pasar atau
dikapalkan ke luar. bahwasanya pasar dan pelabuhan
merupakan elemen arsitektur yang lebih ramai dibandingkan dengan elemen kota yang
lainnya di daerah pesisir. Dengan demikian maka dapat diketahui bahwasanya ada pelabuhan
merupakan elemen khas pada kota-kota pesisir. Keberadaannya merupakan elemen tambahan
yang terpisah dari pola pusat kota, namun demikian tetap memiliki hubungan.
Selanjutnya aktivitas perdagangan yang intensif mampu membuat pedagang asing
menetap hingga membentuk pos perdagangan dan kawasan-kawasan pemukiman yang diatur
berdasarkan etnis . Khusus untuk orang-orang Eropa terutama Belanda,
pos perdagangan mereka berbentuk benteng untuk melindungi komoditas dagang yang
mereka kuasai melalui praktek monopoli perdagangan (verplichte leverantie). Pada awalnya kolonialisasi Belanda di Indonesia melalui VOC lebih banyak difokuskan terhadap usaha
monopoli perdagangan hasil bumi melalui penguasaan daerah-daerah pelabuhan di Indonesia,
tidak terkecuali di Jawa yakni di daerah Pantai Utara Jawa . Pernyataan
tersebut didukung oleh penjelasan yang terdapat pada buku Fort in Indonesia yang diterbitkan
pada tahun 2012 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa dengan terlibat pada
urusan suksesi dan politik kerajaan lokal, secara cepat VOC mampu menguasai daerah-daerah
pelabuhan sebagai kompensasi bantuan yang diberikan oleh VOC terhadap penguasa lokal
yang sedang memperebutkan kekuasaan. Di Jawa, VOC terlibat pada politik beberapa kerajaan
yang berpengaruh seperti Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, dan Kerajaan Mataram
Islam sebelum akhirnya terpecah menjadi dua menjadi Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan
Ngayogyakarta. Adapun yang menjadikan VOC terlibat di dalam politik kerajaan adalah karena
adanya keinginan menguasai pelabuhan-pelabuhan dagang yang ramai. Dengan menguasai
daerah pesisir maka VOC mampu menguasai perdagangan dan secara tidak langsung memaksa
raja yang berada di daerah pedalaman untuk bergantung pada VOC dalam hal ekonomi
perdagangan ,penguasaan
pelabuhan di Jawa menjadi sempurna setelah Perang Diponegoro berakhir dimana Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dipaksa menyewakan daerah pesisir mereka di Jawa
Tengah dan Jawa Timur dalam jangka waktu yang panjang, dan sebagai kompensasinya
mereka mendapatkan uang sewa tahunan yang sama besar. Berdasarkan uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa kota-kota di pesisir Indonesia termasuk di Jawa adalah kota yang
pertama kali menerima pengaruh asing termasuk pengaruh dari Eropa yang dibawa oleh
Belanda. bahwasanya dalam menguasai suatu wilayah,
Belanda pertama kali menguasai daerah pesisir dengan mendirikan benteng sebagai pos
perdagangan yang terlindung. Lebih lanjut bahwasanya
di dalam benteng juga terdapat permukiman beserta fasilitas pendukungnya meskipun secara
terbatas. bahwasanya benteng ini menjadi cikal bakal
kota kolonial. Adapun lokasi benteng menurut uraian dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia (2012) umumnya adalah terletak di muara sungai atau di
bibir pantai dan dekat dengan pelabuhan perdagangan. maka dapat diketahui bahwasanya di pesisir terdapat dua
buah pusat kegiatan yakni pusat perwakilan pemerintahan kerajaan yang posisinya sedikit ke
pedalaman, dan pusat perdagangan dengan adanya benteng yang dekat dengan pelabuhan.
, ketika Belanda telah mampu
menguasai keadaan dan monopoli perdagangan semakin maju maka banyak orang-orang
Eropa khususnya Belanda yang datang untuk menetap dan berdagang. pada saat ini dinding benteng dirasa
membatasi perkembangan, sehingga pada kasus kota-kota besar kolonial di Jawa dindingbenteng dibongkar agar permukiman untuk orang-orang Belanda dapat diperluas, dan fasilitas
umum dapat dilengkapi. Dengan demikian maka yang lebih berkembang adalah pada pusat
perdagangan yang seolah-olah kemudian menjadi pusat kota. Lokasinya dekat dengan daerah
pelabuhan dan atau benteng, sedangkan pusat perwakilan pemerintahan kerajaan cenderung
tetap, lambat berkembang, atau justru kemudian hilang. Hal ini kemudian mengakibatkan
kota-kota di pesisir cenderung memiliki wajah Eropa atau campuran dengan dominasi wajah
Eropa bahwasanya proses ini disebut dengan proses
akuisisi, hal ini dikarenakan pusat perdagangan yang semula dikuasai kerajaan di Jawa
kemudian diambil alih oleh kolonial Belanda dan dikembangkan menjadi sebuah kota dengan
pendekatan Eropa.
Selanjutnya, dengan semakin menguatnya posisi politik Belanda terhadap kerajaankerajaan di Jawa menjadikan Belanda memiliki peluang untuk lebih menguasai perekonomian
bahwasanya mereka
memanfaatkan tanah-tanah partikelir yang diserahkan sebagai imbalan campur tangan
Belanda terhadap urusan kerajaan, ataupun menyewa tanah-tanah milik bangsawan Jawa
untuk pertanian maupun perkebunan. Hal ini menjadi faktor pendukung diterapkannya
kebijakan cultuurstelsel (tanam paksa) oleh Belanda di akhir masa VOC hingga awal
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Adapun tanah-tanah yang dimanfaatkan untuk
cultuurstelsel berada lebih ke daerah pedalaman Java karena lebih subur. Hal ini menjadikan
lama kelamaan Belanda mulai dapat memasuki wilayah pusat kota kerajaan yang berada di
pedalaman. Untuk mempermudah membuka dan mengeksploitasi daerah baru, pada era ini Belanda mulai membangun jalur-jalur darat baik itu jalan
raya maupun rel kereta api.
l, praktek sewa tanah milik bangsawan-bangsawan Jawa
dalam jangka waktu lama yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mampu
memberikan pemasukan bagi dua belah pihak meskipun pemasukan terbesar tetap berada di
pihak Belanda. Dari uang sewa dan pembagian untung hasil perkebunan, bangsawanbangsawan Jawa mendapatkan penghasilan dan kesetaraan status sosial dengan orang-orang
Eropa ,ini mempengaruhi gaya
hidup bangsawan dan orang-orang Jawa yang semakin terpengaruh Eropa. Di sinilah kemudian
gaya hidup yang kebarat-baratan menjadi simbol kemajuan, arsitektur tentunya menjadi alat
untuk mencapai gaya hidup tersebut melalui wujud bangunan maupun tata kota.
Cuulturstelsel (1830-1870) yang kemudian disusul selanjutnya oleh undang-undang
agrarischewet atau Undang-undang Liberalisasi Agraria (1870-1942) diberlakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda pada kurung waktu Abad 19-20. Pada saat ini sebagian besar
Jawa dikuasai oleh Kerajaan Mataram Islam yang belum ditaklukkan oleh Belanda meskipun
telah terbagi dua menjadi Kasunanan Surakarta yang beribukota di Solo dan Kasultanan
Yogyakarta yang beribukota di Yogyakarta. Kerajaan-kerajaan lain yang ada di Jawa terutama
kerajaan di Jawa bagian barat sebelumnya telah mampu ditaklukkan oleh Belanda.
Surakarta dan Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan Mataram Islam yang terletak
di daerah pedalaman Jawa Tengah yang kekuasaannya mencapai wilayah Jawa Timur. Para ahli
bahwasanya dua kota tersebut merupakan pusat peradaban Jawa yang ramai dan memiliki
pola pusat kota Jawa Islam yang terencana dan baik. Sebagai wilayah inti kerajaan, tentunya
Surakarta dan Yogyakarta memiliki daya tarik yang tinggi untuk masyarakat Jawa yang ada disekitarnya untuk datang dan bekerja
bahwasanya berdagang di pasar atau bekerja bagi keluarga kerajaan dan
bangsawan Jawa merupakan primadona saat itu karena selain mendapatkan penghidupan
yang layak, mereka juga meningkat status sosialnya. bahwa kemudian mereka menetap di kampung-kampung yang berada di dalam atau
sekitar kompleks keraton.
Untuk meningkatkan pemasukan melalui sektor perdagangan komoditas hasil bumi bagi
Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak hanya sektor hilir saja yang dikuasai (pelabuhan).
Sektor hulu (wilayah produksi) juga perlu dikuasai dan didukung oleh kebijakan politik yang
sesuai. Hal inilah menurut peneliti yang kemudian mendorong pemerintah kolonial Belanda
untuk “mengintervensi” pusat pemerintahan kerajaan Jawa di pedalaman. benteng merupakan
wujud arsitektur awal yang didirikan oleh Belanda di suatu wilayah di Indonesia. Salah satu
tujuannya adalah sebagai tempat bermukim terbatas yang aman. Tak terkecuali di Surakarta
dan Yogyakarta, Belanda mendirikan benteng yang berdekatan dengan keraton dan pasar,
uniknya kedua benteng tersebut awalnya bernama Benteng Vastenburg meskipun pada
akhirnya Benteng Vastenburg di Yogyakarta berubah nama menjadi Benteng Vredenburg.
Peneliti menduga bahwasanya alasan pemilihan lokasi yang berdekatan dengan keraton dan
pasar diantaranya adalah kemudahan mendapatkan bantuan dari keraton jika sewaktu-waktu
diserang, dan kemudahan mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Setelah keadaan mulai
terkendali, Belanda selanjutnya membangun pusat pemerintahan kolonial yang lokasinya tidak
jauh dari Benteng. Peneliti menduga bahwasanya alasan pemilihan lokasi tersebut didasarkan
pada faktor keamanaan dan koordinasi pemerintahan. Lambat laun seiring dengan semakin
banyaknya penduduk Belanda yang datang, maka daerah di sekitar benteng dan juga kantor
pemerintahan berkembang menjadi daerah permukiman Eropa, adapun penduduk etnis lain
seperti Cina dan Arab mendirikan daerah permukiman tersendiri yang lokasinya diatur oleh
pemerintah kolonial Belanda ,bahwasanya penentuan lokasi permukiman ataupun fasilitas umum lainnya di
wilayah kerajaan yang disebut dengan istilah vorstenlanden (Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta) ditetapkan bersama antara pemerintah kolonial Belanda dan pihak
keraton melalui sebuah badan. Berdasarkan Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta Nomor 12
tahun 1917, di Yogyakarta badan pengelola tersebut dikenal dengan istilah Departmen van
Sultanaat Warken, sedangkan di Surakarta dikenal dengan nama Kartirejo. Hal ini dikarenakan
pemerintah kolonial Belanda menerapkan status zelfbesturende landschappen (otonom dan
berhak memerintah wilayahnya sendiri) sebagai konsekuensi dari Perjanjian Giyanti.Kebijakan liberalisasi agraria yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda mampu
menarik minat pengusaha-pengusaha swasta dari Belanda untuk berusaha di Indonesia
khususnya di Jawa. Secara logis hal tersebut kemudian mendorong munculnya banyak
bangunan perkantoran, serta perluasan kawasan permukiman bagi orang-orang Eropa di
pusat kota untuk mendukung industri yang ada. Dengan demikian maka kebutuhan terhadap
fasilitas umum juga mulai tumbuh, terutama fasilitas umum yang menunjang perekonomian,
maupun kebutuhan infrastruktur dasar seperti rumah sakit, dan sekolah ,tempat yang paling aman dan sesuai untuk mendirikan bangunanbangunan fasilitas umum adalah di seputaran kawasan pusat kota karena selain
aksesibilitasnya mudah karena dekat dengan permukiman orang-orang Eropa, tingkat
keamanannya juga dirasa cukup karena dekat dengan pusat militer dan pemerintahan kolonial
Belanda, dan tidak lupa adanya elemen pasar dikawasan pusat kota selain memudahkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga sebagai penggerak ekonomi kota.Kebijakan liberalisasi agraria yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda mampu
menarik minat pengusaha-pengusaha swasta dari Belanda untuk berusaha di Indonesia
khususnya di Jawa. Secara logis hal tersebut kemudian mendorong munculnya banyak
bangunan perkantoran, serta perluasan kawasan permukiman bagi orang-orang Eropa di
pusat kota untuk mendukung industri yang ada. Dengan demikian maka kebutuhan terhadap
fasilitas umum juga mulai tumbuh, terutama fasilitas umum yang menunjang perekonomian,
maupun kebutuhan infrastruktur dasar seperti rumah sakit, dan sekolah ,tempat yang paling aman dan sesuai untuk mendirikan bangunanbangunan fasilitas umum adalah di seputaran kawasan pusat kota karena selain
aksesibilitasnya mudah karena dekat dengan permukiman orang-orang Eropa, tingkat
keamanannya juga dirasa cukup karena dekat dengan pusat militer dan pemerintahan kolonial
Belanda, dan tidak lupa adanya elemen pasar dikawasan pusat kota selain memudahkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga sebagai penggerak ekonomi kota.Kebijakan liberalisasi agraria yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda mampu
menarik minat pengusaha-pengusaha swasta dari Belanda untuk berusaha di Indonesia
khususnya di Jawa. Secara logis hal tersebut kemudian mendorong munculnya banyak
bangunan perkantoran, serta perluasan kawasan permukiman bagi orang-orang Eropa di
pusat kota untuk mendukung industri yang ada. Dengan demikian maka kebutuhan terhadap
fasilitas umum juga mulai tumbuh, terutama fasilitas umum yang menunjang perekonomian,
maupun kebutuhan infrastruktur dasar seperti rumah sakit, dan sekolah (Surjomihardjo,
2008).
Menurut peneliti, tempat yang paling aman dan sesuai untuk mendirikan bangunanbangunan fasilitas umum adalah di seputaran kawasan pusat kota karena selain
aksesibilitasnya mudah karena dekat dengan permukiman orang-orang Eropa, tingkat
keamanannya juga dirasa cukup karena dekat dengan pusat militer dan pemerintahan kolonial
Belanda, dan tidak lupa adanya elemen pasar dikawasan pusat kota selain memudahkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga sebagai penggerak ekonomi kota.Dengan demikian maka pusat kota pemerintahan kerajaan Jawa yang semula terdiri atas
empat elemen utama catur gatra (keraton-alun-alun-masjid-pasar), berkembang menjadi lebih
kompleks dan memiliki wajah Eropa karena terdapat beberapa bangunan Eropa seperti
benteng, kantor pemerintahan kolonial Belanda, pemukiman untuk orang-orang Belanda,
bangunan perkantoran, serta bangunan-bangunan fasilitas umum bergaya Eropa lainnya.
Adanya intervensi bangunan-bangunan Eropa ke dalam kawasan pusat kota Jawa tidak
mendapatkan pertentangan yang keras oleh orang-orang pribumi. Menurut peneliti hal ini
disebabkan oleh dua hal, yang pertama adalah gaya hidup orang Eropa juga diikuti oleh orangorang pribumi khususnya kaum bangsawan untuk mendapatkan status sosial yang sama
dengan orang Eropa. Dan yang kedua adalah praktek sewa-menyewa tanah raja atau
bangsawan untuk perusahaan pertanian maupun perkebunan menjadikan posisi tawar dari
orang Eropa untuk memanfaatkan tanah pusat kota untuk kepentingan mereka menjadi tinggi.
Praktek ini lebih lanjut kemudian didukung oleh penerapan Politik Etis yang intinya adalah
kewajiban bagi pemerintah kolonial Belanda untuk menyediakan kehidupan yang layak bagi
semua warga negara Hindia Belanda. Hal ini kemudian direspon oleh penyediaan fasilitasfasilitas publik untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan.Proses yang terjadi tersebut menurut Kostof (1992) adalah merupakan proses
pembentukan kota kolonial yang paling banyak dilakukan, lebih lanjut Kostof (1992)
menyebut hal ini sebagai proses akulurasi akulturasi karena identitas yang baru (Eropa) hadir
menyesuaikan struktur kota tradisional yang telah ada sebelumnya serta tidak menghilangkan
identitas tradisional yang ada. Oleh karena itu maka Nas (2007) menjelaskan bahwasanya
kota-kota kolonial yang berada di pedalaman memiliki tetap memiliki wajah pribumi atau
campuran dengan dominasi wajah pribumi.
Kolonialisasi Belanda di Indonesia mampu membawa wajah baru bagi arsitektur dan kota
di Indonesia. Pusat kota yang sebelumnya dibentuk dengan pendekatan kosmologis berkembang
menjadi lebih fungsional dengan adanya beberapa bangunan-bangunan fasilitas umum yang
bergaya Eropa di pusat kota. Namun demikian terdapat berbedaan pendekatan dan pengaruh
kolonialisasi Belanda pada pusat kota-pusat kota di pesisir dan pusat kota-pusat kota di pedalaman
Jawa. Pusat kota yang terdapat di pesisir Jawa menerima pengaruh kolonialisasi Belanda dengan
cara akuisisi. Belanda membuat pusat kota dengan terlebih dahulu menguasai daerah pelabuhan
dan mendirikan benteng. Selanjutnya dengan pendekatan Eropa, mereka memperluas daerah
permukiman lengkap dengan fasilitas umum yang diperlukan. Proses ini dapat berjalan karena
kerajaan telah menyerahkan pengelolaan daerah pesisir kepada Belanda sebagai imbalan
keterlibatan Belanda pada suksesi kerajaan.
Berbeda dengan kota-kota di pedalaman Jawa yang merupakan pusat pemerintahan
kerajaan, dalam mempengaruhi pusat kota Belanda melakukan dengan pendekatan akulturasi. Hal
ini dikarenakan Belanda tidak memiliki hak penuh atas tanah-tanah yang ada di pusat
pemerintahan kerajaan. Oleh karena itu maka Belanda terlebih dahulu memperbesar posisi tawar
mereka terhadap kerajaan dengan cara memberikan imbalan atas tanah-tanah raja dan bangsawan
yang mereka sewa. Lama kelamaan, seiring dengan banyaknya orang-orang Eropa yang menyewa
lahan maka ketergantungan akan industri pertanian dan perkebunan pun bagi kerajaan semakin
besar. Dengan dalih memperlancar kegiatan usaha dan meningkatkan kesejahteraan penduduk
maka kemudian dibangunlah beberapa fasilitas publik dan perkantoran di sekitaran kawasan pusat
kota yang terlebih dahulu telah berdiri benteng dan kantor pemerintahan kolonial Belanda.
Cara mempengaruhi kawasan pusat kota yang berbeda antara kota-kota di pesisir Jawa dan
di pedalaman Jawa berakibat pada perbedaan wajah kota. Kota-kota di pesisir Jawa akan
cenderung menampilkan wajah kota Eropa atau campuran dengan dominasi Eropa. Sedangkan
kota-kota di pedalaman Jawa akan cenderung menampilkan wajah kota pribumi atau campuran
dengan dominasi pribumi
Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil kebudayaan adalah perpaduan suatu karya seni dan
pengetahuan tentang bangunan, dengan demikian arsitektur juga membicarakan berbagai aspek
tentang keindahan dan konstruksi bangunan. Dalam menelaah rumah-rumah kolonial tidak terlepas
dari gaya arsitektur yang dibawa oleh Belanda pada saat itu. Ada tiga ciri yang harus diperhatikan
untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu budaya, teknologi dan
struktur kekuasaan kolonial. Keterbukaan sebuah kota pusat pemerintahan dan perdagangan
mengharuskan adanya perkembangan komunikasi dan teknologi pada awal abad XX. Kota-kota lama
di Jawa sampai dengan abad XVIII tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kota-kota yang tidak
mempunyai fungsi perdagangan umumnya menjadi kota pusat pemerintahan daerah.
Sebagai studi, dipakai kota Pasuruan untuk pengamatan bangunan kolonialnya. Berkenaan
dengan adanya industri gula, maka Kota Pasuruan digunakan sebagai pusat penelitian gula pada
masa itu. Belanda masuk ke Pasuruan pada tahun 1743, maka semestinya pembuatan rumah yang
bergaya Belanda juga berkiblat pada gaya arsitektur asli di Belanda. Tulisan ini dibatasi pada gaya
arsitektur yang terjadi pada masa arsitektur modern sampai dengan berpindahnya ibukota
Karesidenan Pasuruan ke Malang (Juli 1928) dan runtuhnya industri gula (1930). Akibat
perkembangan industri dan pengingkaran-pengingkaran terhadap keindahan karya seni, serta
berbagai unsur yang tumbuh dalam kehidupan sosial dengan tidak adanya kontrol yang ketat,
terlepaslah ikatan akan kebiasaan mencipta bangunan dengan menyertakan ragam hias. Sudah
barang tentu masalah ini melibatkan berbagai masalah dan pandangan akan nilai-nilai yang sangat
kompleks.
Tidak semua ciri arsitektur yang ada di Belanda diterapkan pada bangunan yang dibangun
Belanda di Pasuruan. Terdapat 2 periode pembangunan rumah di Pasuruan, yaitu masa sebelum
adanya Pusat Penelitian Gula dan sesudahnya. Adanya sistem rumah induk dan doorloop yang
menghubungkan dengan fungsi service. Adanya penyesuaian terhadap iklim tropis di Indonesia pada
rancangan rumah tinggal. Bahan utama untuk dinding yang digunakan adalah Bata, dengan ketebalan
pasangan 1 bata. Cenderung sederhana permainan strukturnya dan minim ornamen.Arsitektur modern mulai berkembang
sebagai akibat adanya perubahan dalam
teknologi ,sosial, dan kebudayaan yang
dihubungkan dengan Revolusi Industri (1760–
1863) . Pada umumnya perubahan-perubahan
di dalam bidang arsitektur selalu didahului
dengan perubahan dalam masyarakat karena
itulah Revolusi Industri juga berakibat pada
perubahan dalam masyarakat yang
mempengaruhi timbulnya arsitektur modern
yaitu :
1. Perubahan dalam bidang teknologi
bangunan terutama dalam bidang
konstruksi/struktur bangunan (1775-
1939)
2. Perubahan pada perkotaan atau
perkembangan kota-kota (1800–1909)
3. Perubahan dalam kebudayaan yang
menyangkut gaya neoklasik (1750–
1900)
Pada perubahan dalam bidang
teknologi bangunan ,terjadi peningkatan mutu
dan pengerjaan bahan bangunan tradisional
seperti kayu, batu bata, genting , dan batu
alam . Namun juga terjadi perubahan yang
mencolok dengan pemakaian 3 bahan baru
(penemuan teknologi terbaru) dalam 100 tahun
terakhir yaitu :kaca, baja, beton.
Sebelum Revolusi Industri dan sebelum
arsitektur modern berkembang ,pemakaian baja
pada bangunan sangat terbatas sekali seperti
hanya pada railing tangga, pagar, teralis
jendela, dan sebagainya . Tak ada sistem
konstruksi yang menggunakan baja . Namun
dalam arsitektur modern baja merupakan
bahan bangunan utama karena baja punya
banyak keuntungan disamping kelemahannya
korosi, tegangan tarik dan tekan baja hampir
sama besar sehingga mutu produksi bisa
diandalkan (dari pabrik) panjang bisa mencapai
12 meter ,ukuran (profil), dan mutu baja bisa
diatur, beratnya ringan sehingga
pengangkutannya mudah dan ekonomis, serta
mudah dirangkai di lapangan . Intinya teknologi
perhitungan kontruksi serta pemakaian bahan
bangunan seperti baja, beton dan kaca
membuat kemajuan yang sangat pesat dalam
arsitektur modern serta menghasilkan produk
yang sebelumnya belum pernah diwujudkan
seperti bangunan bentang lebar dan bangunan
bertingkat banyak .revolusi
Industri berakibat urbanisasi sehingga
menambah jumlah penduduk kota yang juga
berarti menambah masalah di dalam kota itu
sendiri seperti komunikasi . Masalah
komunikasi menyebabkan mobilitas tinggi
sehingga perlu adanya fasilitas untuk
menunjang kegiatan tersebut seperti stasiun,
kantor, hotel, pasar, pusat perbelanjaan, dan
sebagainya yang merubah struktur kota.
Perubahan yang cepat dengan tidak adanya
penyeimbangan darimfasilitas menimbulkan
daerah kumuh (slums) yang sampai sekarang
masih jadi masalah utama di berbagai kota di
dunia .Kemudian perubahan dalam
kebudayaan yang menyangkut gaya Neoklasik
dimana keyakinan arsitektur adalah seni
bangunan yang berbeda dengan kegiatan
‘engineering’ mengalami tantangan berat .
Tradisi fungsional pada pemikiran struktur mulai
berpengaruh pada arsitektur terutama mulai
abad 19.Perkembangan Arsitektur Modern di
Inggris berawal dari timbulnya usaha-usaha
dalam perbaikan hidup terutama di bidang
perkotaan dan arsitektur . Akibat urbanisasi
dalam waktu singkat menyebabkan kualitas
hidup di kota-kota menurun secara drastis
sehingga muncullah Robert Owen yang
dianggap sebagai pelopor perbaikan kota-kota
industri dengan mendirikan pabrik pemintalan
benang di New Lanark Skotlandia ,lalu
mengadakan waktu kerja yang lebih rasional,
memberi akomodasi yang baik bagi pekerja,
dan menyediakan fasum bagi pekerja. Secara
politisi Owen pun mengadakan undang-undang
untuk memperbaiki kualitas hidup di perkotaan
Inggris ,
Perkembangan Arsitektur Modern Di
Amerika
Sebelum merdeka pada tahun 1781,
arsitektur Amerika merupakan arsitektur
kolonial Eropa yang telah disesuaikan dengan
iklim dan tenaga kerja serta hasil bahan
bangunan setempat Namun setelah terjadinya
kebakaran hebat yang membumihanguskan
kota Chicago, maka mulainya muncul ciri khas
arsitektur Amerika yang sebenarnya yang lepas
dari tradisi Eropa. Kota Chicago yang terletak
diantara titik pertemuan Sungai Chicago yang
mengalir ke danau Michigan dinilai sangat
2 Sampai abad 19 muncul ketidakpuasan masyarakat
terhadap rendahnya mutu hasil produksi sehingga
muncullah gerakan “ Art & Craft Movement “ yang sangat
menentang hasil produksi pabrik (mesin ) . Pelopornya
John Ruskin yang seorang pendidik dan teoritikus sejati .
Menurutnya telah hilang proses produksi yang sangat
dinikmati oleh seniman dengan hasil produksinya . Dalam
bukunya “ The Seven Lamps of Architecture “, Ruskin
mengupas habis-habisan kelemahan dari hasil produksi
pabrik dan ketidakjujurannya ,
strategis dan berkembang menjadi sebuah
pemukiman yang berkembang pesat menjadi
sebuah kota.3 Gaya yang dianut adalah “Form
Follow Function“ dimana bentuk bangunan
mengikuti fungsinya , dan bangunan yang
terjadi seolah-olah seragam tanpa sentuhan
pribadi arsiteknya . Keadaan demikian dikecam
oleh Louis Sullivan yang kemudian mendirikan
kantor “Sullivan & Adler“, hasil karyanya
memasukkan unsur estetika pada bangunan
namun mendobrak dominasi arsitektur Eropa .
Usahanya dilanjutkan oleh Frank Lloyd Wright
yang sangat mengutamakan kebebasan lepas
dari segala bentuk-bentuk tradisonal ,
Perkembangan Arsitektur Modern Di Eropa
Pada tahun 1890 sampai 1910
merupakan masa transisi dalam perjalanan
Arsitektur Modern . Timbullah 2 aliran di Eropa
yaitu Art Nouveau dan Structure Rationalism
yang sangat mendominasi waktu itu. Langgam
Art Nouveau lahir di Belgia, berkembang ke
Australia dan Belanda, kemudian berkembang
subur di Jerman. Nama internasional stylenya
adalah Jugenstyle. Gerakan ini merupakan
gerakan seni terapan yang memproduksi
barang-barang seperti ikat pinggang, sendok,
garpu, meja, kusri, lampu ,pegangan tangga,
Setelah terjadi kebakaran yang menghancurkan kota itu,
maka para arsitek yang tergabung di dalam “ The Chicago
School “ mulai memikirkan strategi membangun kota yang
efisien , cepat , dan ekonomis dengan membangun kota
sistem grid (papan catur) .
Idenya “ Organic Architecture “ sangat terkenal dan
dipandang sangat sesuai dengan sifat masyarakat Amerika
yang terbuka ( spirit orang Amerika sejati ) . Bahkan
menurutnya kebebasan adalah kata kunci dalam
merancang ruang . Wright tidak memusuhi produksi mesin
namun memanfaatkannya dalam karyanya sebagai hiasan
geometris dan garis-garis horizontal (Soekiman (2000)),.pintu dan akhirnya seluruh bangunan. Wujud
desainnya tampak sebagai pemberi hidup
(tampak menggeliat, meliuk,mengalun,
berguling dan berdengus), tampak juga seperti
sejenis flora aneh atau organisme hidup yang
tidak mempunyai makna apapun, hanya
dinamisme abstraknya saja.5 Namun langgam
ini dapat memadukan hiasan dan struktur
dengan baik sehingga bentuk bangunan
mengikuti naluri tetapi tetap punya fungsi
struktural (gaya Romantism) . Reaksi dari
langgam ini adalah munculnya gaya ragam hias
seperti Art Deco dan Kubisme. Langgam
Structural Rationalism ini mengutamakan suatu
sistem struktur pada bangunan sebagai akibat
langsung pada bentuk bangunannya sendiri.
Salah seorang pelopornya adalah Violet Le Duc
dari Perancis yang banyak bekerja sebagai
restores pada bangunan Gothic di Eropa
menyebabkan Le Duc yakin bahwa bentuk
bangunan yang baik adalah sebagai akibat dari
suatu sistem struktur yang benar. Pada
langgam ini setiap elemen pada bangunan
harus diperlihatkan dengan jelas mana yang
structural dan mana yang non sruktural .Setiap
detail sambungan harus dikerjakan secara
benar dan teliti sehingga patut diperlihatkan
apa adanya estetika detail , Tokoh yang terkenal adalah Antonio Gaudi dari Spanyol
dengan karyanya La Grada Familia ( kuil untuk orang
miskin ) yang seperti rimba , Tokoh lainnya yang terkenal adalah Adof Loos yang
sangat menentang tradisi dalam bangunan terutama dalam
pandangan menghias bangunan dengan ornamen .
Menurut Loos, seseorang baru berhasil menciptakan
sesuatu yang baru kalau orang itu menciptakan apa yang
belum pernah diciptakan orang sebelumnya . Bahkan
menurut Loos, arsitektur bukanlah suatu seni namun wadah
untuk memenuhi suatu kebutuhan . Bukunya “ Ornament
and Crime “ sangat kontoversial pada waktu itu karena
mengolok-olok bahwa warisan tradisi masa lalu merupakan
kebudayaan Barbar setelah Perang Dunia I selesai,
muncullah sekolah “Bauhaus“ di Weimar,
Jerman pada tahun 1919 oleh Walter Grophius
yang bertujuan menyatukan arsitek, seniman,
dan tukang dengan prinsip “There is no
essential difference between the artist and the
craftman“, dimana simbonya adalah bangunan
yang disinari oleh 3 buah bintang . Di sekolah
ini pendidikan dibagi 2 yaitu 6 bulan pertama
pengenalan materi dan pemecahan berbagai
masalah sederhana dan kemudian 3 tahun
berikutnya mahasiswa harus memasuki
berbagai bengkel (bengkel batu, bengkel kayu,
bengkel logam ,bengkel tanah liat, bengkel
gelas, bengkel tenun, dan bengkel warna), lalu
setelah ujian dan lulus barulah mahasiswa
menentukan jurusannya (arsitektur, desain
grafis, desain interior, atau desain industri).
Tujuan praktis dari sekolah ini adalah
menciptakan suatu kehidupan baru dan style
yang baru untuk suatu jaman yang baru dengan
suatu kesatuan yang baru antara seni dan
teknologi.7
Perkembangan Arsitektur Modern Di
Belanda
Langgam Art Nouveau melanda
Belanda pada abad 19 ke abad 20, menjadi
“Neuwe Kunst“. Langgam baru ini masih
mempertahankan prinsip-prinsip bentuk
alamiah tetapi fungsional dipegang sebagai
patokan . Akibatnya terciptalah bangunan yang
memakai bahan dasar dari alam yang dipasang
dengan ketrampilan tangan yang tinggi dan
memungkinkan dibuatnya berbagai
ornamentasi yang indah namun tetap
memperhatikan fungsinya. Pada perkembangan selanjutnya Neuwe Kunst pecah
menjadi 2 yaitu Amsterdam School dan De Stijl
( The Style ) .
Kelompok Amsterdam School lebih
menitikberatkan pada ‘orisinalitas dan alamiah’
. Alirannya Romantism dan dijuluki ‘Dutch
Expressionist Architecture’ yang berciri
ketidakpuasan terhadap hasil desain industri .
Bangunan karya mereka berdasarkan
pengolahan massa yang kompak dan plastis ,
bahan dasar dari alam, ornamentasi
berdasarkan garis-garis lengkung.8
Kelompok De Stijl sangat bertolak
belakang dengan Amsterdam School karena
lebih menitikberatkan pada fungsi dan estetika
kelompok , kelompok ini lebih menyukai hasil
industri yang terstandartisasi, dengan bentukbentuk dan komposisi geometri. Menurut
kelompok ini, penentuan ukuran serta bentuk
ruang, hubungan antar ruang, dan sistem
sirkulasi merupakan faktor penentu dalam
Mereka menganggap interior desain sebagai unsur yang
tidak terpisahkan dalam bangunan bahkan hubungan
antara interior dan eksterior sangat erat sekali sebagai
pencerminan suatu bangunan . Karyanya sering disebut
sebagai “ Idividual Art “. Tokoh-tokohnya antara lain
Michael De Klerk , Job & Trey ,
merencanakan sebuah bangunan , apabila
bangunan tersebut gagal dalam memenuhi
tuntutan itu maka bangunan itu tidak dapat
dikatakan berfungsi, oleh sebab itu arsitek pada
kelompok ini berusaha membuat bangunan
bebas dari pengaruh berbagai macam style
baik datang dari luar maupun bentuk-bentuk
peninggalan sejarah karena style dianggap
menghambat berfungsinya sebuah bangunan
secara efisien.
Perkembangan Arsitektur Modern Setelah
Perang Dunia II
Arsitektur Modern berkembang pesat
setelah Perang Dunia II berakhir karena
kerusakan akibat perang tersebut perlu
dibangun kembali, maka usaha untuk
mempercepat pembangunan antara lain
dengan fabrikasi komponen bangunan yang
lebih ekonomis dan rasional sesuai dengan
tujuan Revolusi Industri.
.
Mies yang berasal dari Aechen, Jerman
Konsekuensi dari pandangan tersebut antara lain
ornamen dianggap sebagai suatu kejahatan dan klassisme
baru yang pernah diapakai oleh kaum fasis dan nazi
menjadi simbol negatif dan perlu ditolak . Munculnya 2
arsitek yang terkenal waktu itu yaitu Ludwig Mies Van Der
Rohe dan Charles Le Corbusier merupakan staf pengajar di Bauhaus. Sifatnya
yang konservatif dan kaku tercermin dalam
karya-karyanya yang khas . Mies suka
menggunakan baja dan kaca sebagai bahan
bangunan utamanya. Bentuk arsitekturnya
kotak yang dibuat dengan sistem rangka
dengan bahan baja dan penutup kaca yang
jelas .Semboyan-semboyannya menjadi cap
bagi bentuk arsitektur modern antara lain
seperti ‘ Less is more ‘, ‘ Simplicity is beauty ‘ , ‘
Reason is the first principle of all human work ‘ ,
dan sebagainya . Arsitekturnya mengesankan
suatu bangunan yang monumental ,
Corbusier berpendapat bahwa situasi
perkotaan yang semakin padat mengakibatkan
orang yang berjalan di atas tanah terhalang
oleh banyaknya bangunan maka dengan
penggunaan beton gedung bisa seolah-olah
diangkat dari atas tanah sehingga
menghasilkan suatu perspektif baru yang
terbuka . Atap bangunannya datar dari beton
dapat dibuat teras untuk kebun (program
penghijauan kota). Segala impian untuk
membuat bangunan seakan-akan melayang di
udara dapat terwujud dengan kontruksi beton
ARSITEKTUR "INDIS”
Sebutan Indis berasal dari istilah
Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam
bahasa Indonesia. Itulah nama suatu daerah
jajahan Pemerintah Belanda di Timur Jauh, dan
karena itu sering disebut juga Nederlandsch
Oost Indie. Menurut Pigeaud, orang Belanda
pertama kali datang ke Indonesia pada tahun
1619. Mereka semula berdagang tetapi
kemudian memonopoli lewat VOC dan akhirnya
menjadi penguasa sampai datangnya Jepang
pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang
Belanda selama tiga abad di Indonesia tentu
memberi pengaruh pada segala macam aspek
kehidupan. Perubahan antara lain juga
melanda seni bangunan atau arsitektur.
Soekiman (200) mengatakan bahwa,
dalam membuat peraturan tentang bangunan
gedung perkantoran dan rumah kedinasan
Pemerintah Belanda memakai istilah Indische
Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal
ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang
tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah
bercampur dengan rumah adat Indonesia.
Penggunaan kata Indis untuk gaya bangunan
seiring dengan semakin populernya istilah Indis
pada berbagai macam institusi seperti Partai
Indische Bond atau Indische Veeneging.
Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau
campuran dari unsur-unsur budaya Barat
terutama Belanda dengan budaya Indonesia
khususnya dari Jawa. Dari segi politis,
pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk
membedakan dengan bangunan tradisional
yang lebih dahulu telah eksis, bahkan oleh
Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis
dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati,
sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan
kebesaran penguasa saat itu .
Bentuk rumah bergaya Indis sepintas
tampak seperti bangunan tradisional dengan
atap berbentuk Joglo Limasan. Bagian depan
berupa selasar terbuka sebagai tempat untuk
penerimaan tamu. Kamar tidur terletak pada
bagian tengah, di sisi kiri dan kanan, sedang
ruang yang terapit difungsikan untuk ruang
makan atau perjamuan makan malam. Bagian
belakang terbuka untuk minum teh pada sore
hari sambil membaca buku dan mendengarkan
radio, merangkap sebagai ruang dansa
Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada gaya bangunan
Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi.
Lampu-lampu gantung dari Italia dipasang pada
serambi depan membuat bangunan tampak
megah terutama pada malam hari. Pintu
terletak tepat di tengah diapit dengan jendelajendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara
jendela dan pintu dipasang cermin besar
dengan patung porselen.10 Kebudayaan Indis
sebagai perpaduan budaya Belanda dan Jawa
juga terjalin dalam berbagai aspek misalnya
dalam pola tingkah laku, cara berpakaian,
sopan santun dalam pergaulan, cara makan,
cara berbahasa, penataan ruang, dan gaya
hidup .
Arsitektur Indis tidak hanya berlaku
pada rumah tinggal semata tetapi juga
mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta
api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan,
pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya
arsitektur Indis mungkin disebabkan oleh
konsekuensi historis yang menyangkut
berbagai aspek sosial budaya.12 Dengan
datangnya perubahan zaman dan hapusnya
kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan
budaya feodal termasuk perkembangan
arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan,
Khusus untuk gedung-gedung perkantoran,
pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di
daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri
seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain agar
tampak lebih berwibawa.
Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya
yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas
bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya,
pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai
penghias gedung.
sejarah terbentuknya budaya
Indis karena didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang
berkehendak menjalankan pemerintahan dengan
menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di
wilayah kolonialnya ,
bangsa Indonesia menganggap arsitektur Indis
sebagai monumen dan simbol budaya priayi
yang tidak bisa lagi dipertahankan dan
dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya
tidak perlu diratapi. Arsitektur Indis mencapai
puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring
dengan perkembangan kota yang modern,
lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan
berubah menjadi bangunan-bangunan baru
(nieuwe bouwen) yang bergaya art-deco
sebagai gaya internasional.
RAGAM HIAS ARSITEKTUR BELANDA
Dalam pembangunan rumah ataupun
dalam menghias rumah sangatlah wajar jika
identitas dari pemilik berusaha ditampilkan
pada bangunan tersebut. Demikian juga orang
belanda pada saat itu berusaha menampilkan
identitas yang tentunya mereka ambil dari
kebiasaan dan budaya tempat mereka berasal.
Dengan kata lain, kita dapat mengetahui asal
negeri belanda mana pemilik rumah ini
sebelumnya, itu pun kalau bentukan-bentukan
tersebut masih ada.
Untuk itu ditampilkan ragam hias apa
saja yang biasa terdapat pada bangunan
Belanda tersebut, antara lain: MINTAKAT, Jurnal Arsitektur, Volume 2 Nomer 1, September 2003
a. Runeteken
• Sebagai simbol Kesuburan
• Rund, jenis binatang kerbau atau sapi yang diwujudkan dalam bentuk stilasi huruf “M”
• Lambang ini timbul lebih kurang tahun 800, yang kemudian seringkali dilukiskan dalam bentuk
bunga tulip atau leli.
b. Tympanon (tadah angin)
Lambang dari masa pra-kristen
• Diwujudkan pohon hayat, kepala kuda, roda matahari
Masa Kristenan
• Lambang gambar salib, gambar hati, jangkar
Lambang Roma Katholik
• Miskelk dan hostie
c. Penunjuk Angin (windwijzer)
• Diletakkan di atas nok yang dapat berputar mengikuti arah angin
d. Hiasan Puncak Atap (Nok Acroterie)
• Dulu yang menghias atap rumah petani terbuat dari daun alang-alang (Stroo),kemudian dalam
rumah bergaya Indis dibentuk dengan semen.e. Hiasan Kemuncak Tampak Depan (geveltoppen)
• Bentuk segitiga pada bagian depan rumah disebut voorschot, yang dihias dengan papan kayu
yang dipasang vertikal yang dipergunakan sampai abad ke-19, memiliki arti simbolik antara
lain :
• Lambang Manrune, mengandung arti kesuburan, digambarkan dengan huruf “M” atau bunga
tulip/leli.
• Oelebord/uilebord/oelenbret, berupa papan kayu berukir.
• Hiasan berupa Makelaar, yaitu papan kayu berukir, panjang 2m, ditempel secara vertikal,
diwujudkan seperti pohon palem, orang berdiri, dan sebagainya.
f. Ragam dari Material Logam
Melengkapi bangunan rumah dari bahan besi seperti pagar serambi (stoep), penyangga atap
emper pada bagian depan rumah (kerbil), penunjuk arah mata angin, lampu taman, dan kursg. Cerobong Asap Semu
• Cerobong asap yang menjulang tinggi di Belanda,
digantikan dengan cerobong asapnya semu yang
berukuran pendek atau diwujudkan hiasan batu berukir
ragam hias bunga.
h. Ragam Hias Pada Tubuh Bangunan
• Hiasan pada lubang angin di atas pintu atau jendela (bovenlicht)
• Adanya ornamen ikal-ikal sulur tumbuhan berakhir membentuk lambang Aries ram yaitu
kambing bertanduk.
• Kolom Doric, Ionic, Korinthia, Komposit
• Gaya Doric, sesuai dengan watak dan jiwa
bangsa Doria yang berjiwa militer, cocok
sebagai hiasan bangunan pemerintahan atau
penguasa.
• Gaya Ionic, bangsa Ionia menyukai
keindahan dan keserasian.
• Gaya Korinthia, menunjukkan kekayaan,
kemakmurandan kemewahan.
• Komposit, merupakan perpaduan antara Ionic dan Korinthia.
RAGAM HIAS YANG ADA DI KOTA-KOTA
BELANDA
Di Indonesia, khususnya Jawa, hiasan
di bagian atap rumah kurang mendapat tempat,
kecuali pada bagian bangunan-bangunan
peribadahan (mesjid, gereja, pura dan candi).
Pada bangunan rumah Eropa, hiasan
kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai
arti tersendiri, baik dari sudut keindahan, status
sosial, maupun kepercayaan. Berikut ini
tentang ragam hias dan latar belakang arti
simbolik yang berasal dari budaya Belanda,
yang kemudian terdapat diantaranya di Jawa,
sungguhpun tanpa dimengerti lagi arti
sebenarnya.
a. Friesland
• Hiasan yang terkenal dari para
petaninya disebut oelebord atau
uilebord (di Drente disebut oelenbret)
• Diletakkan di 1 meter dibawah nok
atap, terdapat tympanon (tadah angin)
– hiasan itu terdapat.
• Pada bagian initerdapat hiasan berupa
dua ekor angsa yang saling bersandar
bertolak belakang.
• Juga terdapat kepala kuda dan angsa
dipergunakan berdampingan, sebagai
lambang kesatuan suku Friesland dan
Saksen.
• Friesland Utara dan Barat laut,
Lambang Makelaar berupa harpa dan
burung kecil dengan kepala menyusup
di dalam bulu sayapnya
• Merupakan tanda abad keemasan
Friesland pada abad ke-17Pahatan daun jendela berupa gambar
segitiga, hati , atau pohon.
b. Elakhuzen dan Koudum
• Makelaar dengan hiasan puncak
berupa gambar klaverblad
c. Groningen dan Drente
• Miskin dengan hiasan dengan simbolsimbol dan arti-arti khusus.
d. Usselo, Enschede
• Penggunaan pohon hayat untuk
Tympanon.
• Variasi bentuk pohon hayat yang
bermacam-macam dari yang
sederhana sampai rumit.
e. Engelum
• Oeleborden-nya pada tympanon
terbuat daribatu bata.
f. Losser
• Oeleborden-nya pada tympanon
bergambar salib pada bagian kepala
kuda
• Weerhaan (penunjuk arah angin) pada
bagian atap rumah terdapat lambang
Kepala kuda dipahatkan seekor ayam
jantan.
• Juga terdapat gambar petir atau kilat
pada dinding rumah.
g. Elburg, Westfalen, Barcula Doesburg
• Terdapat gambar petir atau kilat pada
dinding rumahnya, yang merupakan
lambang untuk menolak petir dan
penyakit.
h. Twente
• Kaya akan ornamen pada tympanon
geveltoppen pada rumah petaninya.
• Tiap rumah dihias lukisan tokoh
perwujudan dari kepercayaan
masyarakat setempat berwarna putih
dari bahan kayu.
• Hiasan di depan bangunan rumah
twente diartikan juga sebagai jiwa,
budi, angan-angan, badan halus, atau
lelembut.
• Banyak juga menggunakan lambang
dari bola matahari dan bulan.
i. Albergen,Geesteren, Volte, Dulder
• Lambang pada tympanon digambarkan
berupa ikan (ichtus), kuda dan angsa,
Roda matahari (ouwel), Bulan
j. Enter, Gemeente Wierden, Albergen
• Lambang pada tympanon digambarkan
berupa lukisan palang salib, jangkar
dan hati, yang disertakan mendampingi
lambang-lambang masa kuno (kafir).
k. Limburg
• Pada tympanon terdapat tulisan I.H.S
(In Hoc Signofinses), yang berarti “
dengan lambang ini kamu selalu
menang”. Tanda ini kemudian terdapat
di berbagai tempat dan terpencar di
dunia.
• Di Limburg selatan terdapat palang
salib putih dengan inisial BMC
(Balthasar, Melchior, Casper) yang
tertulis di atas pintu kandang kuda.
l. Zeeland, Utrecht (Belanda Selatan)
• Pada bagian tengah tidak terdapat
hiasan yang karakteristik, hanya
berupa bentuk ikal-ikal sederhana
untuk pengisi hiasan tympanon yang
berbentuk segitiga.
m. Rijnsburg
• Pada sudut-sudut pelipit atap (daklijst)
dan saluran air (talang) kadang-kadang
terdapat ornamen seperti gambar hati,
bulatan-bulatan, bunga-bungaan,
pohon hayat.
Pemerintah kolonial Belanda dalam
masa penjajahan di Indonesia tidak
selalu menggunakan langgam atau
gaya Belanda, akan tetapi umumnya
juga menggunakan langgam-langgam
yang sedang digemari di Eropa.
• Perkembangan pramodern-modern
muncul pada awal tahun 1890-1950
setelah masa kejayaan Neoklasik mulai
mengalami kemunduran. Ditemukannya
kerangka baja kontruksi beton penguat
dan teknis bervisi lingkungan.
• Perkembangan Arsitektur Modern di
Belanda mempengaruhi pembangunan
yang memakai bahan dasar dari alam
yang dipasang dengan ketrampilan
tangan yang tinggi dan memungkinkan
dibuatnya berbagai ornamentasi yang
indah namun tetap memperhatikan
fungsinya
• Amsterdam School Architecture
menitikberatkan pada ‘orisinalitas dan
alamiah’. Bangunan karya mereka
berdasarkan pengolahan massa yang
kompak dan plastis , bahan dasar dari
alam, ornamentasi berdasarkan garisgaris lengkung.
• De Stijl (The Style) lebih menyukai hasil
industri yang terstandarisasi , dengan
bentuk-bentuk dan komposisi geometri.
Ciri-ciri Rumah Kolonial di Heerenstraat
Tampilan Bangunan
• Bangunan satu lantai dengan
ketinggian plafon 4 m.
• Menggunakan atap perisai dan pelana
dengan sudut kemiringan 45°
• Tidak banyak menggunakan ornamen
pada dinding rumah. Warna polos,
biasanya dicat putih dan hitam (gelap).
• Permainan grid pada jendela.
• Terdapat Baluster dengan diberi batubatu kecil berwarna hitam.
Ruang Dalam
• Pada lantai terdapat beda warna tegel,
yaitu hitam, abu-abu, dan kuning.
• Terdapat doorloop yang
menghubungkan rumah induk dengan
bagian dapur, KM, Gudang, kamar
pembantu.
• Lubang udara berada 50 cm dari plafon
• Posisi ruang tamu lebih menjorok ke
dalam terhadap ruang tidur depan.
• Penataan ruang tidur yang berderet
dan saling terhubung satu sama lain.
Ruang Luar
• Terdapat halaman yang luas dengan
pohon besar dan taman untuk bunga
hias.
• Terdapat serambi sebagai tempat
bersantai yang terdapat di bagian
depan dan sebagian di bagian
belakang rumah induk.
• Halaman samping untuk menjemur
atau sebagai jalan menuju samping
rumah, biasanya untuk jalan pembantu
(jalur service).
Perbandingan Arsitektur Belanda Di Belanda Dan Di Pasuruan
Aspek Amsterdam School De Stijl Pasuruan
Kepala Kemiringan atap 45°
Atap datar
Kemiringan atap
45°Atap Datar
Kemiringan atap 45°
Badan Perlihatkan Bata Tembok dicat Tembok dicat
Kaki Tanpa Baluster Tanpa Baluster Baluster
Ornamen Dekorasi pada
bangunan & Struktur
Minim Ornamen Hampir tidak ada
Warna Memakai warna cerah Memakai warna cerah Hanya putih/polos
Tower Ada Tidak Tidak
Cerobong asap Ada Ada Tidak