wisata 1

Praktik Penyelenggaraan Kebijakan 
Kepariwisataan
2. Kota Batu
a. Profil dan Program
Pertumbuhan ekonomi Kota Batu terbilang cukup 
pesat terutama pada sektor pariwisata. Berkembangnya 
sektor pariwisata di Kota Batu dibuktikan pada nilai 
PDRB, dimana sektor yang memiliki nilai kontribusi 
paling tinggi yaitu  sektor perdagangan, hotel dan 
rumah makan dimana sektor ini berkaitan 
erat dengan industri pariwisata.Kontribusi sektor 
perdagangan, hotel, dan restoran yangmendominasi 
yakni hampir mencapai 50% dari total PDRB Kota 
Batu. ini menandakan bahwa sektor pariwisata 
yaitu  sektor kunci dalam pembangunan Kota 
Batu.Tingginya sektor perdagangan, hotel, dan 
restoran pada PDRB Kota Batu mengindikasikan 
bahwa pengeluaran wisatawan di Kota Batu cukup 
besar. Kota Batu berhasil dalam menyediakan fasilitas 
yang dibutuhkan oleh wisatawan. Namun, ada 
permasalahan yaitu penurunan jumlah wisatawan 
pada tahun 2009-2012 dengan rata-rata 13% tiap 
tahunnya. Penurunan jumlah wisatawan ini 
perlu mendapatkan perhatian khusus karena sebagai 
indikasi kejenuhan wisatawan akan wisata di Kota Batu. 
Penurunan jumlah wisatawan ini dapat memicu 
menurunnya pendapatan daerah Kota Batu dan tentu 
saja berdampak pada perekonomian Kota Batu. jika 
tidak ada strategi perencanaan wisata Kota Batu, 
dikhawatirkan perekonomian Kota Batu di masa datang 
akan menurun. Selain itu, sebagai kota baru, pariwisata
Kota Batu dituntut untuk bersaing dengan area  lain 
yang lebih dulu eksis yaitu Kota Malang dan Kabupaten 
Malang dalam area  Malang Raya.
Kota Batu memiliki potensi alam yang menjadi 
daya tarik utama sehingga menjadi tujuan untuk 
tempat beristirahat.Karena keindahan alamnya maka 
Kota Batu pada jaman kolonial Belanda mendapat 
julukan “De Klein Switzerland” atau Swiss kecil di Pulau 
Jawa. Namun, seiring perkembangannya, pada saat 
ini daya tarik wisata di Kota Batu tidak hanya berbasis 
pada alam namun juga buatan dan budaya. Kota Batu 
memiliki 41 objek wisata berupa 14 objek wisata alam, 
19 objek wisata buatan, dan 10 objek wisata budaya 
yang tersebar di tiga kecamatan. 
Berdasarkan potensi yang dimilikinya, maka visi 
Kota Batu, ditetapkan sebagai sentra pertanian organik 
berbasis kepariwisataan internasional. Potensi sektor 
pertanian di Kota Batu telah mulai dikolaborasikan 
dengan kegiatan sektor pariwisata yang diproyeksikan 
menjadi salah satu andalan kegiatan penyumbang 
perkembangan perekonomian daerah. Di Kota Batu 
kolaborasi ini telah dikembangkan dalam 
wujud seperti pengembangan agrowisata, kawasan 
agropolitan, dan wisata hidup bersama warga  
(living with people). Menyadari adanya potensi-potensi 
tersebut, pemerintah Kota Batu menetapkan rencana 
pengembangan desa wisata dengan pilot projectnya 
di Desa Punten. Meskipun sebelumnya, kepariwisataan 
di Kota Batu lebih dikenal dengan keberadaan objekobjek wisata yang berbasis pada alam, namun dalam 
perkembangannya saat ini telah diperkaya dengan 
kehadiran objek-objek wisata buatan yang jumlahnya lebih banyak. ini memicupengembangan 
wisata alam menjadi kurang mendapat perhatian.
Kota Batu pun semakin mengukuhkan branding 
sebagai Kota Wisata dengan menjadikan wisata 
buatan sebagai wisata unggulan. Selecta, Jatim Park 
I, Secret Zoo, dan Batu Night Spectaculer yaitu  
objek wisata buatan yang ditetapkan sebagai wisatan 
unggulan dalam RIPPDA Kota Batu. Sejak dibangun 
dan dioperasikannya objek wisata buatan Jawa Timur 
Park I hingga kehadiran objek wisata Predator Fun 
Park sebagai wisata rekreatif dan edukatif, Kota Batu 
semakin dikenal sebagai Kota Wisata andalan Provinsi 
Jawa Timur. Sejak dibangunnya Jawa Timur Park I 
pada tahun 2002, satu persatu objek wisata buatan 
hadir dan menambah variasi khasanah objek wisata 
buatan di Kota Batu seperti Batu Night Spectacular 
(BNS), Batu Wonderland, Alun-alun Kota Batu, Balai 
Benih Ikan Punten, Museum Satwa, Batu Secret Zoo, 
Eco Green Park, Museum Angkut, dan yang terbaru 
yaitu  Predator Fun Park. Selain itu, wisatawan yang 
berkunjung ke Kota Batu didominasi oleh wisatawan 
domestik sehingga wisata buatan dirasa sesuai dengan 
minat wisatawan. Meskipun jumlah objek wisata buatan 
di Kota Batu terus bertambah, namun juga menyimpan 
beberapa  masalah, diantaranya adanya kecenderungan 
wisatawan yang sudah pernah mengunjunginya kecil 
kemungkinannya untuk berkunjung lagi sampai batas 
waktu tertentu.
b. Pengembangan dan Kebijakan
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah 
Kota Batu Tahun 2010-2020 dan Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang 
area  Kota Batu 2010-2030, yaitu meningkatkan 
posisi dan peran Kota Batu dari kota wisata menjadi 
sentra wisata yang diperhitungkan di tingkat regional 
atau bahkan nasional, dengan melakukan penambahan 
ragam objek dan atraksi wisata, yang didukung oleh 
sarana dan prasarana, serta unsur penunjang wisata 
yang memadai dengan sebaran yang relatif merata 
di area  Kota Batu guna memperluas lapangan 
pekerjaan dalam rangka mengatasi pengangguran dan 
meningkatkan pendapatan warga maupun PAD Kota 
Batu yang berbasis pariwisata.
Dalam perkembangannya, kegiatan pariwisata 
juga tidak lepas dari peran serta swasta dan juga 
warga . Peranan swasta yang terlibat dalam 
pengembangan wisata besar sekali pengaruhnya, 
seperti dalam pembangunan hotel, rumah makan, 
panti pijat dan pengadaan biro perjalanan wisata 
dan lain-lain. Pihak swasta yang ikut membantu 
perkembangan pariwisata Kota Batu di antaranya yaitu  
Jawa Timur Park Group. Jawa Timur Park Group yang 
didirikan oleh Paul Sastro asal Malang ini, yaitu  
perusahaan yang bergerak di bidang industri 
pariwisata terbesar di Jawa Timur dan Pulau Jawa 
dan banyak anak perusahaan tersebar khususnya di 
area  Jawa Timur. Anak perusahaanya yang terletak 
di Kota Batu di antaranya Jawa Timur Park 1, Jawa 
Timur Park 2, Batu Night Spectaculer, Hotel Pohon Inn, 
Pondok Jatim Park dan Eco Green Park. Alasan memilih 
Kota Batu sebagai pembangunan wisata dari Jawa 
Timur Park Group yaitu  keindahan Kota Batu dan 
faktor lingkungan yang mendukung. Dengan adanya investor ini secara tidak langsung membantu 
pembangunan Kota Batu dalam hal perekonomian. 
Mereka yaitu  pihak swasta yang ikut membantu 
perkembangan pariwisata Kota Batu. Keberadaan 
swasta dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi 
warga  Kota Batu. Tingkat pengangguran di Kota 
Batu pada tahun 2013 menurun menjadi 3.404 orang 
atau 2,32 persen dibandingkan tahun 2012 kurang 
lebih 6.000 orang atau 4,34 persen.
Swasta mendirikan fasilitas pendukung objek 
wisata sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Batu 
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan 
Kepariwisataan. ini sejalan dengan visi 
Kota Batu, yaitu Kota Batu sebagai Kota Wisata dan 
Agropolitan di Jawa Timur. Kota Batu memiliki potensi 
pariwisata yang besar, baik wisata alam, buatan, 
maupun budaya yang ditunjang dengan adanya 
fasilitas pendukung, berupa hotel dan perdagangan 
souvenir atau cinderamata.
Pemerintah Kota Batu serius garap tiga Desa 
Wisata di tahun 2018. Desa Pandanrejo, Desa Sidomulyo, 
dan Desa Sumberejo yaitu  tiga desa yang akan dikaji 
terkait potensi wisata untuk dikembangkan. Bukan 
hanya dikembangkan, tiga desa ini juga diarahkan 
Dinas Pemerintah Kota Batu untuk mampu mengelola 
wisata dan tidak bergantung pada pemerintah. Semisal 
Desa Sidomulyo dengan wisata petik apel dan petik 
bunga. Usulan ini sebenarnya baru diprogramkan 
di tahun 2018 ini, ini berkaitan dengan target 
wisatawan di tahun 2018 yaitu 5 juta pengunjung. Di 
tahun 2017 sendiri jumlah wisatawan yang datang ke 
Kota Batu telah melewati target, yiatu mencapai 4,2 
juta pengunjung.Kekayaan etnis dan budaya yang dimiliki Kota 
Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisional 
yang ada. Salah satunya yang terkenal yaitu  Wayang 
Topeng Malangan (Topeng Malang). Gaya kesenian ini 
yaitu  wujud pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan, 
Madura, dan Tengger). ini terjadi karena Malang 
memiliki tiga sub-kultur, yaitu sub-kultur budaya 
Jawa Tengahan yang hidup di lereng gunung Kawi, 
sub-kultur Madura di lereng gunung Arjuna, dan subkultur Tengger sisa budaya Majapahit di lereng gunung 
Bromo-Semeru. Etnik warga  Malang terkenal 
religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga 
dengan identitasnya.
Selain Tari Topeng juga berkembang seni 
Tari Bantengan. Kesenian ini berkembang pesat 
sejak tahun 1960an ketika jaman Orde Lama. Setiap 
perayaan atau pawai hari ulang tahun kemerdekaan 
negara kita senantiasa ditampilkan bersama dengan 
Tari Liang Liong. Namun seiring kemunduran 
perekonomian setelah masa itu, seni Tari Bantengan 
mengalami kemunduran. Lima belas tahun terakhir, 
seni Tari Bantengan mulai muncul kembali bahkan 
mulai menjamur. Hampir setiap kecamatan di 
area  Kabupaten dan Kota Malang, rata-rata ada 
3-5 perkumpulan seni tari Bantengan. Terutama di 
sekitar Kecamatan Tumpang, Poncokusumo, serta 
Kota Batu. Pada tahun 2003, Kota Batu mengakui 
bahwa seni Tari Bantengan yaitu  seni tari yang 
berasal dari area  itu. Namun kebenarannya masih 
diragukan, pengakuan Kota Batu menjadi kontroversi 
di antara warga  pecinta seni serta para seniman 
tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota Batu tersebutmencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan berkembang 
di seluruh area  Malang. Selain Tari Topeng dan Tari 
Bantengan, di Malang juga ada kesenian kuda 
lumping dan campursari. Dua kesenian ini mungkin 
sudah dikenal diberbagai area  di negara kita . ota Batu 
yang telah menegaskan diri sebagai Kota Wisata harus 
memiliki tawaran lebih. Artinya, tidak hanya tawaran 
obyek wisata keluarga dalam bentuk wahana-wahana 
hiburan. Tidak juga hanya mengandalkan pesona alam 
dalam bentuk wana wisata atau agrowisata petik buah. 
Namun, segala potensi wisata yang menjadi daya tarik 
wisata harus digarap demi sebesar-besarnya hajat 
hidup warga .


Provinsi Bali
a. Profil wisata provinsi Bali
Provinsi Bali yaitu  salah satu provinsi di negara kita  
yang area nya tidak lebih dari 5.634,40 km² atau 
5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 
km. Komposisi pulau terdiri dari satu pulau utama dan 
beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti pulau 
Menjangan (ujung timur) di kabupaten Jembrana, di 
sebelah selatan Pulau Serangan (telah direklamasi) di 
Kota Denpasar, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa 
Ceningan, dan disebelah tenggara ada pulau 
yang paling besar yaitu  Pulau Nusa Penida masuk 
area  Kabupaten Klungkung. area  terluas dimiliki 
Kabupaten Buleleng seluas 1.365,88 km² atau hampir 
setengah luas pulau Bali dari ujung timur sampai ke 
ujung barat pulau Bali. Kabupaten atau pemerintahan 
kota terkecil yaitu  Pemerintah Kota Denpasar seluas 
123,98 km² sebagai Ibu Kota Pemerintah Provinsi Bali. Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan memiliki 
luas yang hampir sama, hanya saja sebagian besar 
Kabupaten Jembrana terdiri dari Hutan Taman Nasional 
Bali Barat (TNBB). Untuk fungsi lahan kedua kabupaten 
ini memiliki fungsi yang serupa yaitu lahan pertanian 
dan perkebunan, bahkan Kabupaten Tabanan dikenal 
sebagai lumbung beras Pulau Bali. Tidak jauh berbeda 
dengan Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan, 
Kabupaten Klungkung, Bangli dan Karangasem 
memiliki kesamaan fungsi lahan, yaitu pertanian dan 
perkebunan. Meskipun keseluruhan kabupaten/kota 
di Bali bersentuhan dengan sektor pariwisata hanya 
Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung yang 
sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai basis 
perekonomiannya, disamping sektor pertanian dan 
perkebunan.
Pulau Bali sangat kaya akan keindahan alam dengan 
budaya dan adat istiadat, warga  Bali dengan 
budaya agrarisnya kental dengan kehidupan sosial yang 
harmoni karena hubungan yang serasi antara manusia 
dan alam, Tuhan, dan sesamanya. Konsep industri 
pariwisata mengedepankan nilai-nilai pemenuhan 
barang dan jasa beserta layanan secara profesional 
dan proposional. Industri pariwisata di Bali selain 
mendahulukan nilai-nilai kapitalis juga memberikan 
nuansa sentuhan-sentuhan budaya di dalam setia 
atraksinya. Konsep pariwisata yang diagung-agungkan 
di Bali sebagai pariwisata dunia atau pariwisata global, 
yang mana lebih mengedepankan nilai-nilai ekonomi 
liberal persaingan bebas, dan persaingan modal antar 
korporasi.
Desa Bali yang semula sebagian besar warga nya hidup di sektor pertanian dan berpegang 
kuat pada adat yang diwariskan dari generasi ke 
generasi tanpa banyak perubahan tradisi warga  
pedesaan, kini cenderungmakin individualistik di 
dalam keanekaragaman profesi nonagraris dan lebih 
erat dalam kaitannya sektor jasa. Peran adatpun 
biasanya hanya menonjol pada kegiatan seremonial 
atau upacara yang tidak memiliki kekuatan untuk 
mengontrol perilaku warga  perkotaan. Budaya 
hedonisme telah merasuki generasi muda dalam sikap 
dan perilaku keseharian. ini tercermin dalam cara 
pandang, cara sikap, dan perilaku sosial keseharian. 
Keengganan generasi muda dalam memakai 
bahasa ibu (bahasa Bali) serta gaya berpakaian yang 
terkesan mengikuti pola gaya westernisasi yaitu  
salah satu indikatorperubahan yang terjadi di generasi 
muda.
Indentitas dan kekhasan masing-masing desa 
semakin lama semakin pudar. Desa dan Kota yang semula 
hidup dengan segala perbedaan atau kebhinekaannya 
dalam struktur dan stratifikasi warga  yang 
awalnya desa dikenal cenderung homogen dan 
warga  kota cenderung heterogen, kini secara 
administratif dan birokratis, cenderung makin seragam 
karena campur tangan negara. Kehadiran UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan 
Desa yang menghendaki kesamaan dalam bentuk 
dan susunan pemerintahan desa di seluruh negara kita  
yaitu  pemicu pertama kali dimulainya penyeragaman 
kegiatan pembangunan di pedesaan secara nasional. 
warga  Bali yang tradisional dan penghidupan 
bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan 
kepentingan kelompok dan individu sebagai warga 
warga . Warga warga  satu dengan yang 
lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis 
dan dalam warga  demikian, dunia kehidupan 
masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar 
warga, warga  berusaha menyelesaikannya secara 
musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada 
asas kepatutan melalui lembaga-lembaga desa adat 
(sangkepan/hasil atau sidang rapat desa). penyelesaian 
perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum 
sangkepan ini berfungsi untuk mengembalikan 
warga  ke dalam suasana kehidupan yang 
rukun dan damai (harmonis). Suasana kehidupan 
harmonis, pada warga  tradisional yang tersebut, 
kini tampaknya telah berubah karena pengaruh 
modernisasi, industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah 
warga  mengalami proses globalisasi. Kehidupan 
nonagraris dan globalisasi ini telah mengubah 
masyarakt homogen menjadi warga  majemuk 
(plural) yang di dalamnya ada suasana kehidupan 
yang heterogen dengan bermacam kepentingan.
Di Bali pada umumnya, proses globalisasi telah 
dirasakan jauh sebelum warga  negara kita  
lainnya mengalami hal tersebut. Salah satu penyebab 
terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah 
ini yaitu  karena perkembangan pariwisata yang 
telah berlangsung sejak lama. Suasana demikian, 
mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang 
antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan 
dan kepentingan. Kemajemukan warga  dapat 
juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok danhubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan 
kehidupan dunia modern. Kelompok-kelompok sosial 
baru ini umumnya menganut nilai dan norma 
serta kebiasaan yan berbeda dengan nilai, norma, serta 
kebiasaan warga  tradisional. Kelompok-kelompok 
tersebut, juga memiliki kepentingan yang berbedabeda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana 
demikian, warga  tidak lagi digambarkan sebagai 
suatu kesatuan yang utuh melainkan terdiri dari 
bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang 
lebih menonjol dari warga  secara keseluruhan.
Solidaritas mekanis yang semula menjadi daya 
pengikat dalam warga  digantikan oleh ikatan 
solidaritas organis yang lebih menonjolkan ikatan 
dalam kelompok dan kepentingan kelompok masingmasing lebih diutamakan dibandingkan warga  
secara keseluruhan. Orientasi nilai warga warga  
dalam pergaulan antar antar sesamapun tampak 
mengalami pergeseran dari nilai kebersamaan ke nilai 
individual dan komersial. Kondisi demikian memberi 
peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik. 
Banyak hal yang muncul sbagai sumber konflik dewasa 
ini antara lain: tanah, status sosial (prestige), jabatan 
dan peluang kerja, penguasaan aset-aset ekonomi dan 
lain sebagainya. Sumber konflik yang paling menonjol 
dewasa ini yaitu , perbatasan area , tanah, baik 
tanah milik perorangan, milik kolektif, milik pura/milik 
desa adat dan tak terkecuali tanah untuk penguburan. 
Proses globalisasi telah membuka warga  Bali, 
termasuk warga  pedesaan ke dalam pergaulan 
luas pada pergaulan dunia. ini ternyata telah 
menimbulkan banyak tantangan bagi warga  adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam 
menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi 
ini antara lain telah terjadinya perubahan nilai 
orientasi warga warga  dalam bersikap dan 
bertindak, keefektifan awig-awig (norma atau aturan 
adat) sebagai alat kontrol sosial berkurang, keputusankeputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik 
di warga  yang dahulu umunya ditaati kini tidak 
jarang diabaikan karena dipandang tidak memuaskan 
bagi sebagian kelompok warga .
Sekarang sedang terjadi kemunduran tradisi, 
norma-norma, dan hukum, serta tatanan kehidupan 
yang telah mapan pada taraf yang cukup fenomenal. 
Manusia mengalami perkembangan menakjubkan 
dalam bidang material, namun bersamaan dengan itu 
juga mengalami perkembangan yang terbatas dalam 
bidang moral. Kontradiksi kehidupan sosial tidak dapat 
dihindari karena modernisasi dan industrialisasi telah 
menjadi kekuatan penting yang memaksa penyesuaian 
nilai-nilai dan norma-norma dalam warga . Malahan 
warga  global dewasa ini tengah menuju ke arah 
sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan 
yang semakin tinggi, bersamanya membawa berbagai 
kontradiksi kehidupan, baik sosial dan kebudayaan 
maupun agama.
b. Kearifan Lokal Bali
Dalam perkembangannya kapitalisme pariwisata tidak 
mementingkan nilai, makna dan fungsi pertunjukan 
tarian di hadapan para wisatawan. Tarian hanyalah 
sebuah atraksi seni atas keindahan dan nilai estetika, 
seperti layaknya konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan maka pariwisata juga memiliki dua 
muka yang menyatu, seperti memiliki dua arah yaitu 
pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dalam falsafah 
warga  Bali dikenal yaitu Rhua Bhineda (Dua yang 
berbeda). Jika pariwisata dikelola dengan baik dan 
berkelanjutan maka akan menghasilkan manfaat 
optimal bagi rakyat lokal, paling tidak bagi warga  
adat sekitarnya maupun pelaku pariwisata lainnya. Jika 
dikelola dengan serampangan dan tidak terorganisir 
secara rapi, maka warga  lokal dan adat hanya 
mendapatkan ekses-ekses negatif, perubahan nilainilai sosial budaya yang destruktif. Kerusakan ataupun 
penurunan moral atas imbas pariwisata terhadap 
warga  lokal (adat) akan susah dikembalikan. Inilah 
yang disebut dengan taksu atau nilai magis pariwisata 
budaya yang menghasilkan atraksi-atraksi pertunjukan 
seni dan budaya dipandu latar keindahan alam Bali. 
Seyogianya pariwisata budaya yang berkelanjutan 
mempertahankan aspek-aspek local geneus atau 
kearifan lokal sebagai roh terhadap daya tarik pariwisata 
itu sendiri. Pariwisata budaya bukan hanya dilihat hal 
atau pertunjukan yang tampak pada kasat mata saja. 
Namun lebih pada pertimbangan kenapa nilai-nilai 
kearifan lokal menjiwai pelaksanaan sikap dan perilaku 
warga  dalam kaitannya dalam interaksi sosial 
kesehariannya.
Setiap nilai-nilai kearifan lokal memiliki makna 
terhadap sebab musabab kejadian atau momentum 
kenapa hal ikhwal itu dilaksanakan. Misalnya 
kehidupan pertanian warga  Bali mengajarkan 
konsep, keseimbangan dan kesucian terhadap alam 
yang terdiri dari unsur tanah, air, udara, matahari dan nikroorganisme. ini yaitu  salah satu konsep 
Tri Hita Karana karena ada menjaga keseimbangan 
alam harus serasi, selaras, dan berkesinambungan dari 
generasi ke generasi berikutnya. Keseimbangan dalam 
interaksi sosial terhadap pemilik lahan pertanian antara 
satu petani dengan petani lainnya dilakukan dengan 
sistem subak. Subak yaitu  bagian dari kearifan 
lokal warga  Bali untuk menjaga pendistribusian air 
antara satu lahan dengan lahan lainnya secara adil dan 
dan merata. Konsepsi pekerjaan bertani yaitu  
Yadnya yaitu kepatuhan atau kewajiban manusia 
bekerja dan mengolah alam sekaligus menjaga alam 
ini sebagai titipan Tuhan.
Yadnya melalui upacara keagamaan terkadang 
dirusak oleh unsur gengsi dan kehormatan. Banyak 
upacara keagamaan dilakukan dengan menjual aset 
ekonomi atau warisan dari para leluhurnya. Demi rasa 
gengsi dan ingin dipandang terhormat di dalam tatanan 
warga  sebuah keluarga terkadang menanggung 
utang atau kehilangan aset untuk bekerja. Yadnya
yaitu  upacara keagamaan yang sebagian orang 
Bali dikatakan sebagai beban misalnya upacaara 
Ngaben atau pembakaran mayat, di dalam upacara 
Ngaben dapat menghabiskan untuk pelaksanaan 
kegiatan ini hingga puluhan juta hingga ratusan 
juta bahkan miliaran rupiah. Pada akhirnya warga  
mencari dan membuat konsensus bersama atas konsep 
Yadnya ini. Ngaben lazimnya pada saat ini bilamana 
tidak mampu dilakukan oleh sebuah keluarga sendiri 
maka akan dikoordinir desa adar dengan sistem 
Ngaben massal. Secara waktu, energi, dan pembiayaan 
tentunya lebih murah dan terasa ringan bagi semuanyaKonsepsi dharma atau Yadnya yang didasari 
oleh falsafah kerja yaitu  karunia Tuhan oleh karena 
itu pendapatan yang diperoleh yaitu  milik Tuhan. 
Manusia hanya memanfaatkannya sebatas yang dia 
butuhkan. Selebihnya yaitu  milik Tuhan yang harus 
dibagikan kembali ke warga  dalam bentuk 
Yadnya. Berbagai bentuk Yadnya itu meliputi pertama, 
Manusa Yadnya (Yadnya untuk kemanusiaan, aktivitas 
atau kegiatan sosail yang terjadi di dalam dinamika 
desa adat). Kedua, dewa Yadnya yaitu  kegiatankegiatan spiritual ataupun upacara keagamaan dalam 
rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, Bhuta 
Yadnya yakni, Yadnya untuk upacara keagamaan yang 
bersifat Bhuta dalam rangka keseimbangan dengan 
kekuatan negatif yang ada di alam ini. Keempat, Pitra 
Yadnya yaitu  Yadnya untuk para leluhur dengan 
segala dimensinya sebagai rasa hormat terhadap apa 
yang telah dirintis dan diberikan kepada generasi 
penerusnya. Kelima, Resi Yadnya yaitu  Yadnya
kepada para pemimpin keagamaan. 
Filosofi Tri Hita Karana yaitu  filosofi yang 
paling hakiki dari kehidupan komunal warga  
Bali, yang paling dihayati dan diimplementasikan 
dalam usaha dan kegiatan pariwisata. warga  Bali 
yaitu  warga  komunal yang semua aspek 
kehidupan diwarnai dan dijiwai dengan konsep Tri Hita 
Karana menekankan pada keserasian dan keseimbangan 
konsep manusia terhadap alam, manusia terhadap 
sesamanya, manusia terhadao Tuhannya. Cerminan 
dari filosofi ini terlihat ketika mereka (warga  adat 
Bali) dengan memberikan sesaji untuk keselamatan 
dan kelancaran dalam melakukan pekerjaan.

Kabupaten Gianyar
1) Profil dan Program
Kabupaten Gianyar yaitu  salah satu dari 
9 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali, 
dengan luas area  36.800 hektar atau 6,53% 
dari luas area  Provinsi Bali secara keseluruhan. 
Kabupaten Gianyar memiliki 7 Kecamatan yaitu 
Kecamatan Sukawati, Kecamatan Blahbatuh, 
Kecamatan Gianyar, Kecamatan Tampaksiring, 
Kecamatan Ubud, Kecamatan Tegallalang, 
dan Kecamatan Payangan. Kecamatan terluas 
yaitu  Kecamatan Payangan dan paling kecil 
yaitu  kecamatan Blahbatuh. Jumlah penduduk 
di Kabupaten Gianyar tahun 2017 sebanyak 
503.900 jiwa yang terdiri dari 254.400 jiwa 
(50,49%) laki-laki dan 249.500 jiwa (49,51%) 
perempuan. Tingkat pertumbuhan penduduk 
0,99% dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2016 yang mencapai 499.600 jiwa. Tingkat 
kepadatan penduduk 1.358 jiwa per km². Angka 
harapan hidup warga  rata-rata 72,84 per 
tahun. Diantara 7 Kecamatan maka Kecamatan 
Sukawati memiliki penduduk paling banyak yaitu 
122.430 (24,30%) dari total penduduk yang ada 
di Kabupaten Gianyar dan yang paling sedikit 
yaitu  di Kecamatan Payangan yaitu 42.860 jiwa 
(8,50%).161
Kabupaten Gianyar tidak memiliki 
Sumber Daya Alam (SDA) yang potensial untuk 
dikembangkan guna menopang pembangunan 
daerah yang berkelanjutan. Dalam pembangunan 
bidang ekonomi Kabupaten Gianyar bertumpu 
pada sektor unggulan yaitu sektor pariwisata, 
sektor industri dan sektor pertanian dalam arti 
luas. Sektor pariwisata dikembangkan dengan 
memanfaatkan keunggulan budaya dan pertanian 
sehingga mampu menjadi penyangga utama 
perkembangan perekonomian Kabupaten Gianyar. 
Kabupaten Gianyar memiliki 2 (dua) Kawasan 
Pariwisata yaitu Kawasan Pariwisata Lebih dan 
Kawasan Pariwisata Ubud, dimana Kawasan 
Pariwisata Ubud meliputi 3 (tiga) Kecamatan 
yakni Kecamatan Ubud, Kecamatan Payangan 
dan Kecamatan Tegallalang, sedang Kawasan 
Pariwisata Lebih meliputi Kecamatan Sukawati, 
Kecamatan Blahbatuh dan Kecamatan Gianyar.162
Kabupaten Gianyar memiliki beberapafaktor yang dapat menunjang pembangunan 
kepariwisataan. Faktor-faktor ini antara 
lain: (1) kebudayaan dan kehidupan warga  
yang bersumber pada kebudayaan dan dijiwai 
oleh agama Hindu yang yaitu  daya tarik 
kunjungan bagi wisatawan asing ke Kabupaten 
Gianyar; (2) keindahan alam, peninggalan sejarah 
dan purbakala sebagai objek wisata yang cukup 
mempesona; (3) tersedianya fasilitas transportasi 
dan telekomunikasi yang memadai; (4) fasilitas lain 
seperti hotel, home stay, dan restoran yang cukup 
banyak berkembang di sudut kota Gianyar.
Salah satu misi pemerintah Kabupaten 
Gianyar yaitu  menumbuhkembangkan budaya 
warga  yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal 
yang dapat menumbuhkan relegiusitas, disiplin, 
kerja keras, berorientasi pada prestasi dengan 
meningkatkan peran desa pakraman, banjar, 
subak, dan sekaha-sekaha serta institusi-institusi 
yang telah ada dalam menjaga adat, budaya dan 
agama.163 Proteksi secara legal formal yaitu  melalui 
kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah 
Kabupaten Gianyar Nomor 10 tahun 2013 tentang 
Kepariwisataan Budaya Kabupaten Gianyar. 
Kebijakan ini mengarahkan pengembangan dan 
pembangunan pariwisata di Kabupaten Gianyar 
yang berpijak pada budaya warga nya. 
Sebagai contoh pembangunan hotel di kawasan 
Kabupaten Gianyar wajib mengadopsi budaya asli 
dalam bentuk arsitekturnya, orang-orang yang 
bekerja di dalamnya, serta elemen-elemen budaya 
asli lainnya.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Komitmen terhadap pariwisata budaya 
di Kabupaten Gianyar juga terwujud melalui 
pengembangan desa wisata. Saat ini ada 
9 desa wisata yang dikembangkan Kabupaten 
Gianyar dengan berbagai macam potensi wisata 
budaya yang menjadi daya tarik di masing-masing 
desa wisata tersebut. Desa menjadi jalur utama 
pariwisata budaya.
Alur utama yang turut mendukung potensi 
wisata budaya dimulai dari Desa Batubulan, Desa 
Celuk, Desa Singapadu, dan Desa Batuan yang 
terkonsentrasi di Kecamatan Sukawati. Desa Mas, 
Desa Peliatan, dan Desa Ubud terkonsentrasi di 
Kecamatan Ubud. Desa Sebatu terkonsentrasi di 
kecamatan Tegallalang, dan Desa Tampaksiring 
terkonsentrasi di Kecamatan Tampaksiring. 
Jalur wisata yang telah disebutkan di atas, 
warga nya memiliki aktivitas tersendiri 
sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang 
mereka miliki. Tari Barong terkonsentrasi di Desa 
Batuan dan Desa Singapadu. Seni kerajinan perak 
terletak di Desa Celuk, seni ukir kayu terkonsentrasi 
di Desa Batubulan, seni lukis ada di Desa Mas 
dan Desa Ubud, sedang seni kerajinan kayu 
ada di Desa Sebatu, Desa Tegallalang, Desa 
Tampaksiring, dan Desa Peliatan. Sementara 
itu seni kerajinan yang mengacu pada tradisi 
terfokus di daerah tertentu. Hal itu dipicu 
tidak semua perajin mampu membuatnya, karena 
masih harus memperhatikan hal-hal yang sifatnyasacral, sedang seni kerajinan yang bentuknya 
mengacu pada benda sakral namun sudah dibuat 
untuk kepentingan pariwisata, ada di Desa 
Pakuduwi, Tegallalang, Singapadu, Guang, dan 
Desa Puaya. Desa Pakuduwi yaitu  tempat 
berkumpulnya para seniman dan berkembangnya 
seni kerajinan kayu yang mengambil objek garuda. 
Desa Singapadu dan Desa Puaya yaitu  
tempat pembuatan Barong, baik untuk kebutuhan 
dalam seni pertunjukan ritual dan wisata maupun 
sebagai benda seni kerajinan.




Kabupaten Tabanan
1) Profil dan Program
Kabupaten Tabanan yaitu  salah satu kabupaten 
dari beberapa kabupaten/kota yang ada di 
Provinsi Bali dengan pendapatan asli daerah 
(PAD) rata-rata sebesar 15,07% dari total APBD. 
ini menunjukkan tingkat ketergantungan 
sumber-sumber pendanaan pembangunan 
kepada pemerintah pusat. usaha  yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tabanan antara lain 
menggalakkan kepariwisataan, dengan harapan 
mampu mempercepat laju pembangunan 
dan meningkatkan pendapatan asli daerah 
Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan, Bali 
memiliki potensi wisata yang luar biasa namun 
belum dikelola secara optimal. Saat ini Tabanan 
memiliki 22 objek wisata yang tersebar di sepuluh 
kecamatan, yang belum dikelola secara maksimal.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Kebijakan pariwisata yang dikembangkan di 
Tabanan memakai konsep Pariwisata 
Kerakyatan yaitu dengan pengembangan 
kawasan pariwisata melibatkan peran warga  
dalam menjaga dan mengelola potensi dan 
area  pariwisata tersebut. Hal itu dikarenakan 
area  di Tabanan yaitu  area  yang 
dijaga keutuhannya secara adat sehingga tidak 
boleh berkurang atau rusak terutama ekosistem 
lingkungannya. Kedudukan warga  sebagai 
pengelola pariwisata juga menjadi nilai tambah 
baik dari segi pendapatan warga  maupun dari 
segi kemandirian warga  dalam pelaksanaan 
pembangunan wisata di Tabanan. Beberapa 
keikutsertaan warga  dalam pengelolaan 
pariwisata yaitu  dengan mengoptimalkan 
sektor pariwisata, seperti dengan pelaksanaan 
festival, promosi pariwisata, pembangunan 
Tourism Information Center (TIC), penataan 
dan pengembangan infrastruktur pariwisata, 
pelestarian seni dan budaya, penguatan peran 
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMDA) dalam sektor 
pariwisata serta program gerbang pariwisata.
Kebijakan pengelolaan pariwisata 
Kabupaten Tabanan memakai konsep 
Nyegara Gunung, yaitu memadukan potensi pantai 
dan gunung. Tabanan memiliki panjang pantai 
yang indahnya hingga 33 Kilometer, ini 
didukung dengan bentangan pemandangan 
sawah yang menawan sepanjang dataran rendah 
menuju puncak, dan pemandangan pegunungan 
di dataran perbukitan. Nyegara Gunung mengacu 
pada sapta pesona, ditunjang pula dengan tatanan 
kehidupan warga  melalui penerapan prinsip 
filosofi Tri Hita Karana Agama Hindu melengkapi 
kesempurnaan alam Tabanan sebagai potensi 
pariwisata.
Keberadaan desa wisata di Tabanan 
yaitu  salah satu bentuk program Investasi 
Hati, dengan pengertian bahwa Investasi 
Hati yaitu  sebuah konsep pelayanan kepada 
warga  menitik beratkan pada ketulusan 
melalui kebijakan-kebijakan pengelolaan 
pariwisata yang pro rakyat. Investasi Hati Politik 
dalam pengelolaan kepariwisataan dilaksanakan 
melalui kebijakan dan program dengan hati/
pro rakyat antara lain Investasi ekonomi dan 
sosial melahirkan warga  yang sejahtera dan 
mandiri. Adapun langkah terhadap investasi hati 
agama dan budaya dapat menciptakan kerukunan 
dan kedamaian dalam perbedaan.
Saat ini (2018) ada 13 desa wisata di 
Kabupaten Tabanan. Target pengembangan akan dicapai hingga 133 desa wisata. Semua desa wisata 
itu diharapkan dapat dapat terintegrasi, dimana 
Kabupaten Tabanan tinggal mempromosikan 
dan mengenalkan desa secara nasional maupun 
internasional. Kebijakan pemberdayaan desa 
wisata ini sebagai penopang pendapatan 
asli daerah disamping pendapatan sektor 
pariwisata yang saat ini sudah ada dari lokasi daya 
tarik wisata unggulan pariwisata Tabanan mulai 
dari Pura Tanah Lot, Ulundanu, Jatiluwih, Kebun 
Raya Eka Karya Bali, Alas Kedaton, Museum Subak, 
Areal Pura Batukaru, Taman kupu-kupu Bali, TPB 
Margarana, dan Air Panas Panatahan.




Kabupaten Badung
1) Profil dan Program
area  Kabupaten Badung terletak pada posisi 
08°14’17”—08°50’57” Lintang Selatan (LS) 
dan 115°05’02”—15°15’ 09” Bujur Timur (BT) membentang di tengah-tengah Pulau Bali. Luas 
area  Kabupaten Badung yaitu  418,52 km2 
(7,43% dari luas Pulau Bali). Bagian Utara Kabupaten 
Badung yaitu  daerah pegunungan yang 
berudara sejuk, berbatasan dengan Kabupaten 
Buleleng. area  di bagian Selatan yaitu  
dataran rendah dengan pantai berpasir putih 
dan berbatasan langsung dengan Samudera 
negara kita . Sebelah Timur area nya berbatasan 
dengan Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar. 
Bagian tengah area  Badung yaitu  daerah 
persawahan. Di sebelah Barat berbatasan dengan 
Kabupaten Tabanan. Secara umum Kabupaten 
Badung yaitu  daerah beriklim tropis yang 
memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (April–
Oktober) dan musim hujan (November – Maret). 
Curah hujannya rata-rata 893,4 – 2.702,6 mm per 
tahun. Kemudian suhu udaranya berkisar 25°C – 
30°C dengan kelembapan udara rata-rata mencapai 
79%. Secara administratif, Kabupaten Badung 
terbagi menjadi 6 ( enam ) area  Kecamatan 
yang terbentang dari bagian Utara ke Selatan 
yaitu: Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi, 
Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan. Disamping itu, 
di area  ini juga ada 16 Kelurahan, 46 Desa, 
369 Banjar Dinas, 164 Lingkungan 8 Banjar Dinas 
Persiapan dan 8 Lingkungan Persiapan. Selain 
Lembaga Pemerintahan seperti ini di atas, di 
Kabupaten Badung juga ada Lembaga Adat 
yang terdiri dari 120 Desa Adat, 523 Banjar dan 523 
Sekaa Teruna. Di Kabupaten Badung juga ada 
1 BPLA Kabupaten dan 6 BPLA Kecamatan serta 1 Widyasabha Kabupaten dan 6 Widyasabha 
Kecamatan. Lembaga - lembaga adat ini memiliki 
peran yang sangat strategis dalam pembangunan 
di area  Badung pada khususnya dan Bali pada 
umumnya.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga, 
anggota warga  adat ini terikat dalam suatu 
aturan adat yang disebut awig - awig. Keberadaan 
awig-awig ini sangat mengikat warganya sehingga 
umumnya warga  sangat patuh kepada 
adat. Oleh karena itu, keberadaan Lembaga 
Adat ini yaitu  sarana yang sangat ampuh 
dalam menjaring partisipasi warga . Banyak 
program yang dicanangkan pemerintah berhasil 
dilaksanakan dengan baik di daerah ini, berkat 
keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang 
ada. Pengembangan area  Kabupaten Badung 
didasarkan pada potensi dan kendala aspek fisik 
lingkungannya. Berdasarkan karakteristik topografi 
dan kelerengannya, area  kabupaten ini memiliki 
variasi yang sangat beragam, yaitu ketinggiannya 
antara 0 – 3.000 m dpl dengan kelerengan datar 
hingga jurang yang curam. Penataan ruang pada 
area  seperti ini relatif sulit dibandingkan dengan 
area  yang datar. Kondisi ini telah mendorong 
Pemkab Badung untuk bersikap berhati-hati dan 
bijaksana dalam merencanakan pengembangan 
area nya. Kabupaten Badung dibagi menjadi 
3 area  Pengembangan yaitu: Badung Utara, 
Badung Tengah dan Badung Selatan. Masingmasing area  memiliki perbedaan karakteristik 
fisik lingkungan yang mencolok. area  Badung Utara, yaitu  kawasan pegunungan yang 
subur dengan hutan dan RTH yang luas, karena 
itu sesuai untuk fungsi konservasi lingkungan. 
area  Badung Tengah, yaitu  kawasan 
dengan ketinggian dan kesuburan sedang, karena 
itu sesuai untuk fungsi transisi antara fungsi 
lindung dan budidaya alamiah seperti pertanian. 
area  Badung Selatan, yaitu  kawasan 
yang datar, tidak subur dan pesisir. Karena itu 
sepenuhnya sesuai untuk fungsi budidaya yang 
bersifat terbangun.
Selain kabupaten yang memiliki Pendapatan 
Asli Daerah (PAD) tertinggi di Provinsi Bali, di tahun 
2013 mencapai 2 triliun rupiah, Kabupaten Badung 
juga yaitu  kabupaten dengan pertumbuhan 
ekonomi tertinggi di Provinsi Bali. Berdasarkan data 
di tahun 2013, mampu mencatatkan pertumbuhan 
ekonomi sebesar 6,41 persen. Dilihat dari 
perspektif ilmu pariwisata, masih banyak dimensi 
kosong atau belum terfasilitasi untuk mewujudkan 
pemerataan pembangunan di Kabupaten Badung. 
Badung utara secara empiris saat ini terlihat masih 
mempertahankan sektor pertanian, namun jika 
secara jujur dicermati, sebagaian generasi muda 
di Badung Utara pada usia produktif justru bekerja 
di luar desa (Badung Selatan, Denpasar dan 
Gianyar). Artinya para petani di Badung Utara saat 
ini yaitu  mereka yang sudah berusia rata-rata di 
atas 45 tahun atau bahkan sudah lanjut usia Dapat 
dibayangkan keberlanjutan sektor pertanian 
di Kabupaten Badung jika fenomena ini tidak 
segera dipecahkan. Bukannnya tidak mungkin 10 sampai 25 tahun lagi Badung Utara akan 
berkembang menjadi kawasan pariwisata karena 
sektor pertanian sudah ditinggalkan sehingga 
memerlukan sektor real yang diyakini mampu 
mensejahterahkan warga nya.
alam rangka menyeimbangkan 
pembangunan Badung Selatan, Badung 
Tengah, dan Badung Utara maka Pemerintah 
Kabupaten Badung mengeluarkan kebijakan 
yang strategis yang salah satunya yaitu  dengan 
mengembangkan 11 (sebelas) desa-desa wisata 
yang ada di area  Badung Tengah dan Badung 
Utara berdasarkan Perbup (Peraturan Bupati) 
Badung Nomor 47 Tertanggal 15 September 2010 
tentang Penetapan Kawasan Desa Di Kabupaten 
Badung dan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali 
Nomor 556/317/I/DISPAR tentang Pengembangan 
100 Desa Wisata 2014-2018.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
usaha  pengembangan desa-desa wisata 
Kabupaten Badung yaitu  untuk pemerataan 
pembangunan sektor pariwisata agar tidak 
hanya terfokus di Badung Selatan (Kuta, Nusa 
Dua dan sekitarnya) yang sudah menjadi trade 
mark pariwisata Bali. Selain itu, masih kentalnya 
tradisi nilai budaya lokal dan alam yang masih 
asri dipandang sebagai potensi yang layak 
untuk pembangunan sektor pariwisata dengan 
meminimalkan dampak-dampak negatif. 
Berdasarkan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali 
Nomor 556/317/I/DISPAR tentang Pengembangan 
100 Desa Wisata 2014-2018, dan Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010 tentang Penetapan 
Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung maka 
Kabupaten Badung memiliki 11 (sebelas) desa 
wisata terletak di Badung Tengah dan Badung 
Utara.
Ke-11 desa wisata di kabupaten Badung 
di atas tidak ada yang berada di area  Badung 
Selatan. Keseluruhannya berada di Badung 
Tengah dan Badung Utara kecuali desa wisata 
Munggu yang berada di perbatasan area  
Badung Tengah dan Badung Selatan. ini 
sangat beralasan karena keberadaan desa wisata 
yaitu  suatu model pembangunan pariwisata 
yang berbeda dengan pembangunan pariwisata 
di Badung Selatan pada umumnya. Desa wisata 
yaitu  model pembangunan kepariwisataan 
yang mengoptimalkan ragam potensi desa, 
mengedepankan partisipasi warga  lokal, 
dengan memperhatikan aspek-aspek pelestarian 
dan keberlanjutan untuk kesejahterahaan 
warga nya. Desa wisata dengan demikian 
yaitu  suatu bentuk antitesa dari mass 
tourism yang sudah sangat berkembang di 
Badung Selatan. Sebagai bentuk dari alternative 
tourism desa wisata sepatutnya memiliki ciri 
khas dan karakteristik berbeda dengan aktifitas 
pariwisata seperti mass tourism. Ciri khas yang 
paling mudah dilihat yaitu  jumlah wisatawan 
yang berskala kecil dan memiliki minat khusus 
tertarik dengan keunikan budaya, keindahan 
alam dan suasana natural minim rekayasa atau 
kehidupan warga  lokal yang disaksikan oleh wisatawan secara apa adanya/tanpa dibuat-buat. 
area  Badung Utara dikenal mengedepankan 
pembangunan sektor pertanian, berbeda dengan 
area  Badung Selatan dapat dikatakan lebih 
dari 90% mengandalkan sektor jasa pariwisata. 
Secara teoritis tidak terlihat terjadi ketertinggalan 
di Badung Utara, namun jika dicermati terkesan 
terjadi kesenjangan pembangunan ketika 
dihubungkan dengan faktor-faktor ekonomi 
dan kesejahterahaan. Secara singkat dapat 
disampaikan pesatnya pembangunan pariwisata 
di Badung Selatan tidak sama halnya dengan 
pembangunan pertanian/perkebunan di Badung 
Utara. Artinya, pembangunan sektor pertanian 
di Badung Utara masih lambat dan diperlukan 
percepatan akselerasi. Kondisi ini dipicu 
oleh banyak faktor seperti masih memakai 
pola tanam tradisional, belum memaksimalkan 
diversifikasi pertanian, petani belum mampu 
mencukupi kebutuhan pasar, minimnya minat 
generasi muda untuk terjun di sektor pertanian 
dan belum tercapainya sinergi antar sektor seperti 
sektor pariwisata bersama sektor pertanian. 
Perkembangan pariwisata di Badung Selatan seperti 
Nusa Dua, Kuta, Seminyak bahkan sekarang sudah 
mengarah ke Canggu dan Munggu, begitu pesat 
memberikan banyak perubahan dan manfaat bagi 
warga  Kabupaten Badung pada khususnya 
dan warga  Bali pada umumnya. Tidak dapat 
dipungkiri pariwisata telah memberikan warna 
dalam kehidupan warga  meskipun tidak 
secara keseluruhan merasakan dampak langsungdari nilai ekonomi kepariwisataan. Pembangunan 
infrastruktur dengan mengedepankan 
pendekatan mass tourism diyakini sangat 
mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun 
dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri terjadi 
ketimpangan pembangunan antara Badung Utara 
dan Badung Selatan. Pemerintah Kabupaten 
Badung pada satu dasa warsa terakhir mulai 
serius menyikapi permasalahan di atas. Mulai era 
kepemimpinan Anak Agung Gde Agung selama 
dua periode (2005-2010 dan 2010-2015) berusaha  
menciptakan pemerataan pembangunan antara 
Badung Utara dan Badung Selatan. Langkah 
nyata yang sudah dilakukan antara lain dengan 
sangat berani membuka SMK 1 Badung (Sekolah 
Menengah Kejuruan Pertanian) di Petang/Badung 
Utara, memberikan bantuan-bantuan secara 
berlanjut kepada subak-subak, termasuk pula 
usaha  perpaduan antara pertanian dan pariwisata 
dengan mengadakan festival tahunan yaitu 
Festival Budaya Pertanian Badung yang digelar 
di Jembatan Tukad Bangkung/Badung Utara, dan 
usaha  untuk mengaktifkan desa-desa wisata yang 
berada di Kabupaten Badung. Keberadaan desa 
wisata di Kabupaten Badung diharapkan mampu 
melestarikan pertanian dengan perpaduan 
bersama sektor pariwisata, memberikan manfaat 
bagi warga  lokal, memberikan kesempatan 
kerja bagi warga warga  lokal, memberikan 
varian baru dalam produk dan atraksi wisata, dan 
akhirnya mampu memberikan manfaat ekonomi 
bagi pembangunan di tingkat desa dalam rangka mewujudkan kesejahterahaan warga  secara 
berkelanjutan. Besar pula harapan pada akhirnya 
desa wisata dapat memberikan sumbangan 
bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Kabupaten Badung dengan perpaduan sektor 
pariwisata dan sektor pertanian.
Permasalahannya yaitu  dari 11 desa 
wisata tersebut, belum semuanya menunjukkan 
aktifitas kepariwisataan. Dapat dilihat belum 
optimalnya pemanfaatan potensi yang dimiliki 
melalui minimnya produk dan atraksi wisata 
kepada wisatawan. Fakta ini tidak terlepas 
dari pengelolaan, kelembagaan dan partisipasi 
warga  yang tidak kesemua desa wisata 
memiliki pola-pola yang baik. Untungnya, desadesa wisata ini berada pada lokasi strategis, 
seperti memang memiliki daya tarik wisata di 
desanya, berada pada jalur-jalur yang harus 
dilalui ketika wisatawan menuju daya tarik wisata 
tertentu dan terutama memiliki keindahan alam 
pegunungan memukau berbeda dengan Badung 
Selatan yang pada umumnya pesisir.













Desa Pakraman
1) Selayang pandang Desa Pakraman
Dalam warga  tradisional di Bali desa 
adat terhimpun dalam wadah yang disebut 
Desa Pakraman misalnya, menurut Sukarma 
pengaruh modernisasi tampak melalui pergeseran 
epsitemologi sosial yaitu dari ‘yang baik yaitu  
yang benar’ ke ‘yang benar yaitu  yang baik’. 
warga  tradisional beranggapan, ‘apa yang 
baik menurut mereka’, ‘itulah yang benar bagi 
mereka’ (kebenaran tidak dapat mendahului 
kebaikan). Sebaliknya warga  modern 
beranggapan, ‘apa yang benar menurut mereka’, 
‘itulah yang baik bagi mereka’ (kebaikan tidak 
dapat mendahului kebenaran). Ukuran kebenaran 
yaitu  akal dan rasio sehingga yang benar yaitu  
yang masuk akal, dan/atau yang logis. Sebaliknya, 
yang tidak masuk akal, tidak logis, dan irasional 
yaitu  yang salah. Artinya warga  modern 
lebih mengedepankan rasionalitas daripada 
moralitas, sedang warga  tradisional lebih 
mengutamakan moralitas daripada rasionalitas. 
Walaupun ini buka soal pilihan, namun dapat 
diduga di antara rasionalitas dan moralitas ini Desa 
Pakraman mengalami anomali dan kebingungan 
berkepanjangan. Kebingungan rasionalitas 
memicu ketersesatan moralitas sehingga 
Desa Pakraman mengalami kesulitan mewujudkan 
sukerta tata parhyangan , pawongan, dan 
palemahan.
Desa Pakraman sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 
2001 setidak-tidaknya dibentuk oleh beberapa 
unsur pokok, yaitu kesatuan warga  hukum 
adat, memiliki satu-kesatuan tradisi dan tata 
krama pergaulan hidup menurut Hindu, ikatan 
Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa), memiliki 
area  dan harta kekayaan sendiri, dan berhak 
mengurus rumah tangganya sendiri. Di dalam 
unsur ini hendak menegaskan bahwa sistem 
sosial warga  adat Bali bercorak Hindu dan 
ini menjadi semacam indentitas Desa Pakraman. 
Aktivitas sosial-religius warga  adat yang 
dijiwai oleh agama Hindu dimanifestasikan dalam 
bentuk pemujaan kepada Ida Shang Hyang Widhi 
melalui Kahyangan Tiga. Demikian juga substansi 
awig-awig Desa Pakraman dijiwai oleh agama 
Hindu, yaitu penjabaran dari falsafah Tri Hita 
Karana. Parhyangan mengatur kegiatan manusia 
melakukan hubungan dengan Tuhan, pawongan
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya 
dalam kegiatan sosial, dan palemahan berupa 
perwujudan hubungan manusia dengan alam 
yang menjadi tempat permukiman dan sumber 
kehidupan warga .
Ini berarti Desa Pakraman yaitu  satu 
kesatuan harmonis dari tiga gatra, yaitu krama 
desa sebagai gatra pawongan membutuhkan 
ruang untuk melaksanakan aktivitasnya, berupa 
kewajiban hidup di area  Desa Pakraman, 
yaitu gatra palemahan. Selain kesejahteraan juga 
manusia memiliki kerinduan religius sehingga 
memerlukan hubungan khusus dengan Tuhan, yaitu gatra parhyangan. Kenyataannya, manusia yaitu  
bagian dari alam yang berpartisipasi membentuk 
watak alam dan sebaliknya, juga alam turut serta 
membangun karakter manusia. Demikian juga 
untuk melangsungkan kehidupannya, manusia 
tergantung pada lingkungannya, baik lingkungan 
alam tempat tinggalnya maupun lingkungan sosial 
tempat tempat menjalankan kehidupan sosial. 
Dengan demikian, manusi amemengaruhi, bahkan 
mengubah lingkungannya, karena itu antara 
krama desa dan lingkungan desanya ada satu 
jalinan saling memengaruhi. Krama desa sebagai 
makhluk sosila membutuhkan jalinan komunikasi 
harmonis untuk memenuhi kebutuhan dan 
kepentingan bersama dalam suasana aman dan 
nyaman. 
Bali sebagai pulau yang mana di setiap tempat, 
memiliki budaya dan alam saling berpautan erat, 
tempat tinggal sebuha warga  mapan dan 
harmonis secara berkala digairahkan ritus-ritus 
mempesona. Alamnya menyajikan keindahan 
Bali dalam warna gaib tridatu dan kilauan sunset 
dewata nawa sanga yang menggetarkan rasaagama-budhi. Budaya Bali yang diwarnai pernakpernik upacara Yadnya menawarkan keramahan 
orang Bali khas bhakti dalam tatanan dan tuntutan 
santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susilaacara. Perpaduan harmonis antara kelimpahan 
upacara keagamaan, kesenian, dan pemandangan 
hijau menggambarkan cari khas kebudayaan Bali. 
Melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali 
menurut Mead dan Bateson (Picard, 2006) patut dilihat sebagai gejala yang harus dibahas dalam 
kerangka psikologis-kulturalis. Dalam pandangan 
mereka bahwa kebudayaan Bali menjadi semacam 
sistem pengatur dorongan-dorongan naluri yang 
menimbulkan sejenis skizofrenia-kultural. Dalam 
setiap ucapan dan tindakan warga  pastinya 
memiliki makna dan fungsi dalam setiap pemujaan 
terhadap dewa dan para roh leluhur.
Ini sebabnya dalam komunitas adat, seperti 
Desa Pakraman bahwa bagian masa lalu dan simbol 
yaitu  sarana untuk menangani ruang dan 
waktu dengan memasukkan segala pengalaman 
dalam keberlanjutan masa lalu, masa kini, dama 
masa depan distrukturkan oleh praktik-praktik 
sossial yang sedang berlangsung. Agama sebagai 
inti dari sistem nilai yang dipraktikkan menjadi 
norma dalam dunia sosial, karena itu kekuasaan 
Tri Murti yang secaera teologis dipahami sebagai 
konsepsi kehadiran, sedang secara kontekstual 
menjadi siklus strukturisasi, destrukturisasi, dan 
restrukturisasi tatana nilai dalam kosmologi adat.
Menurut tindakan ini bukan rangkaian 
kumpulan interaksi dan nalar, namun konsistensi 
monitoring perilaku dan konteksnya yang 
ditujukan pada keteraturan dan keseimbangan 
sosial. Oleh karena itu, Sukarma (Sarad No. 109 
Mei 2009) menegaskan bahwa tatanan nilai dalam 
komunitas adat selalu dalam proses perubahan 
sehingga tradisi tidak sepenuhnya statis. Artinya, 
generasi baru harus menemukan ulang tradisinya 
ketika mengambil alih warisan budaya dari 
pendahulunya karena pewarisan nilai dalam suatu komunitas tidak dimungkinkan tanpa proses 
pembelajaran. Pengalaman belajar inilah usaha  
merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan 
agar Desa Pakraman senantiasa selaras dengan 
nilai-nilai Hindu.
Istilah Desa Pakraman mulai dipergunakan 
sejak dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali 
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. 
Sebelumnya, lebih dikenal dengan desa adat 
sesuai Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986 
tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa 
Adar sebagai Kesatuan warga  Hukum Adat 
dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Wayan 
Surpha menyebut, sebagai desa dresta, desa adat 
yaitu  kesatuan warga  hukum adat di 
Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang memiliki satu 
kesatuian tradisi dan tata krama pergaulan hidup 
warga  umat Hindu secara turun-temurun 
dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) 
yang memiliki area  tertentu, harta kekayaan 
sendiri, dan berhak mengurus rumah tangganya 
sendiri.
Desa adat menampakkan dirinya sebagai 
suatu organisasi kewarga an dan sekaligus 
yaitu  suatu organisasi pemerintahan yang 
berdiri sendiri di bawah kecamatan dan kota/
kabupaten di Bali. Desa adat yaitu  desa yang 
otonom sehingga memiliki kewenangan untuk 
mengurus dan menyelenggarakan kehidupan 
rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangan 
lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial 
religius dan sosila kewarga an. Desa adat memiliki struktur kepengurusan yang pada 
umunya disebut dulu atau padulan dan berfungsi 
untuk membantu tercapainya kepentingan para 
anggotanya secara maksimal, terutama sekali 
menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia 
(terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa 
aman dan nyaman).
Desa adat secara yuridis mendapat 
pengyoman dan landasan hukum yang kuat 
bukan saja dari Pancasila dan Pasal 18 UUD 1945 
namun juga dari Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) 
UUD 1945 yang menyatakan negara berdasarkan 
Ketuhana Yang Maka Esa dan negara menjamin 
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk 
agama masing-masing dan untuk beribadat 
menurut agama dan kepercayannya itu. Tempat 
pelembagaan ajaran-ajaran agama Hindu dalam 
adat istiadatnya inilah yang disebut desa adat.
Dalam perkembangannya desa Bali 
mengandung dua fungsi, dinas dan adat untuk 
membedakannya dengan desa dinas yang diberi 
tugas-tugas khusus dalam bidang pemerintahan 
umum oleh penguasa yang berwenang sejak zaman 
pemerintahan Belanda, pemerintahan militer 
Jepang, sampai pemerintahan Republik negara kita . 
sedang desa adar lebih banyak menekankan 
urusan upacara keagamaan, seremoni ritual yang 
bersifat religiusitas, persembahyangan desa. pada 
proses selanjutnya setelah terjadi perubahan dan 
tata sikap warga desa adat maka akhirnya muncul 
perbaikan pada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 
1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranana Desa Adat sebagai Kesatuan warga  Hukum 
Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali kemudian 
dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan 
zaman sehingga pada tahun 2001 diganti menjadi 
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 
2001 tentang Desa Pakraman.
Desa Pakraman sebagai Kesatuan warga  
Hukum Adata Mengenai kesatuan warga  
hukum adat, Van Hollenhoven menjelaskan untuk 
mengetahui hukum, maka yang perlu diselidiki 
yaitu  pada waktu dan bilamana serta di daerah 
mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan 
hukum di mana orang-orang dikuasai oleh hukum 
dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara Soepomo mengemukakan 
penguraian tentang badan-badan persekutuan itu 
harus tidak didasarkan atau sesuatu yang dogmatik, 
melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang 
nyata dari warga  yang bersangkutan. Dari 
pendapat-pendapat ini memperlihatkan bahwa 
warga  yang mengembangkan hukum adat 
ini yaitu  persekutuan hukum adat (Adatrechts 
Gemeenschapen).
Persekutaun hukum atau warga  hukum 
ini didefinisikan sebagai orang-orang yang terikat 
sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang 
teratur, yang menempati suatu area  tertentu, 
kesatuan ini bersifat abadi, memiliki pimpinan, 
serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang 
berwujud maupun tidak berwujud. Persekutuanpersekutuan hukum di negara kita  awalnya menurut 
Soepomo dapat dibagi menjadi dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan 
pertalian suatu keturunan (genealogi) dan 
berdasarkan lingkungan daerah (teritorial).
Soepomo menambahkan lagi susunan 
yang didasarkan atas genealogi-teritorial. 
Desa Pakraman yang ada di Bali, berdasarkan 
persyaratan sebagai kesatuan warga  hukum 
adat sudah memenuhi unsur-unsurnya. Desa 
Pakraman memiliki anggota kelompok yang 
terdiri dari orang-orang yang terikat sebagai suatu 
kesatuan dalam susunan yang teratur, Anggota 
kelompok disebut krama, pengurus kelompok 
disebut prajuru.
Dengan demikian, Desa Pakraman menempati 
suatu area  tertentu yang disebut wewidangan 
dengan batas-batas area  yang sudah mereka 
tentukan. Kesatuan yang dibuat ini bersifat abadi 
dan mereka memiliki aturan yang tertuang dalam 
awig-awig (aturan) Desa Pakraman. Desa Pakraman 
juga memiliki kekayaan sendiri, yang disebut 
catu atau pelaba. Berdasar dasar susunannya, 
Desa Pakraman yaitu  kesatuan warga  
hukum adat yang berdasarkan lingkungan daerah 
(teritorial). Menuru Soepomo, “orang-orang yang 
bersama bertempat tinggal di suatu desa(di 
Jawa dan Bali) atau di suatu marga (Palembang) 
yaitu  suatu golongan yang memiliki tata 
susunan ke dalam dan bertindak sebagai kesatuan 
terhadap dunia luar.
Jika ditelaah lebih dalam lagi, Desa 
Pakraman memiliki kelompok-kelompok kecil 
yang berdasarkan pertalian suatu keturunangenealogis). Mereka membentuk kelompok yang 
disebut dadia. Ada juga kelompok-kelompok yang 
didasarkan atas kesamaan fungsional. Mereka 
membentuk kelompok yang disebut subak karena 
memiliki kesamaan fungsi di bidang pertanian. 
Des adat dengan sistem lingkungan terkecilnya 
disebut banjar. Banjar yaitu  lembaga warga  
umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan 
dan adat. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat 
dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara 
agama yang berlangsung di desa adat seperti 
upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lainlain, agama Hindu menjiwai dan meresapi segala 
kegiatan Krama Desa.
Desa adat yang kemudian disesuaikan menjadi 
Desa Pakraman yaitu  suatu kesatuan 
warga  sosial religius yang bersifat otonom, 
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Hak 
ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional 
hukum adat yang diakui dan dihormati negara 
sepetti diatur dalam Pasal 18B UUD NRI 1945, 
“Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan warga  hukuim adat beserta hak-hak 
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai 
dengan perkembangan masyarajat dan prinsip 
Negara Kesatuan Republik negara kita  yang diatur 
dalam undang-undang”.
Pengejawantahan Desa Pakraman 
termasuk dalam kesatuan warga  hukum 
adat sudah terjawab dengan adanya putusan 
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan 
hukum Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 (masalah Pembentukan Kota Tual) dan Putusan Nomor 
6/PUU-VI/2008 (masalah pemindahan ibukota 
Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke 
Selatan). MK telah merumuskan kriteria atau tolok 
ukur terpenuhinya ketentuan Pasal 18B ayat (2) 
UUD NRI 1945 sebagai berikut:
1. Kesatuan warga  hukuma adat dapat 
dikatakan masih hidup jika secara de facto 
mengandung unsur-unsur antara lain ada 
warga  yang warganya memiliki perasaan 
kelompok; ada pranata pemerintahan adat, 
ada harta kekayaan atau benda-benda adat 
dan adanya perangkat norma hukum adat.
2. Kesatuan warga  hukum adat beserta 
hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip 
negara kesatuan jika kesatuan warga  
hukum adat ini tidak menggangu 
eksistensi Negara Kesatuan Republik 
negara kita  sebagai sebuah kesatuan politik 
dalam arti, keberadaannya tidak mengancam 
kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan 
Republik negara kita , substansi norma hukum 
adatnya sesuai dan tidak bertentangan 
dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kesatuan warga  hukum adat dan hak 
tradisionalnya sesuai dengan perkembangan 
warga  jika keberadaannya telah diakui 
berdasarkan undang-undang (umum maupun 
sektoral termasuk Perda), substansi hak-hak 
tradisional ini diakui dan dihormati oleh 
wagra kesatuan warga  hukum adat yang 
bersangkutan maupun warga  yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan Hak 
Asasi Manusia.
Dari penjelasan ini, Desa Pakraman telah 
memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam 
Pasal 18B ayat (2) UUD NR 1945. Karena itu, negara 
mengakui dan menghormati keberadaannya 
beserta hak-hak tradisionalnya yang disebut 
otonomi desa. dalam pelaksanaan hak-hak 
tradisionalnya, Desa Pakraman dilengkapi 
kekuasaan mengatur kehidupan warganya. 
Kekuasaan itu di antaranya: (1) kekuasaan untuk 
menetapkan aturan-aturan untuk menjaga 
kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram. 
Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dalam 
suatu rapat desa (paruman atau sangkep desa); (2) 
kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan 
organisasi yang bersifat sosial-religius; (3) kekuasaan 
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang 
menunjukkan adanya pertentangan kepentingan 
antara warga desa atau berupa tindakan yang 
menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan 
yang berupa tindakan yang menyimpang dari 
aturan yang telah ditetapkan yang dapat dinilai 
sebagai perbuatan yang mengganggu kehidupan 
berwarga , baik melalui perdamaian maupun 
dengan memberikan sanksi adat.
Pengaturan tentang desa adat bisa 
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 32 
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 
1 ayat (12) menyatakan desa atau yang disebut 
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa yaitu  kesatuan warga  hukum yang memiliki 
batas-batas area  yang berwenang untuk 
mengatur dan mengurus kepentingan warga  

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate