wisata 2

mengurus kepentingan warga  
setempat. Berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat 
setempat yang diakui dan dihormati dalam 
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik 
negara kita . Dalam Pasal 2 ayat (9) dinyatakan 
negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan warga  hukum adat beserta hak 
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai 
perkembangan warga  dan prinsip Negara 
Kesatuan Republik negara kita .
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 
tentang Desa juga memuat tentang desa adat. 
Pasal 96 menyatakan Pemerintah, Pemerintah 
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 
melakukan penataan kesatuan warga  hukum 
adat dan dapat ditetapkan menjadi desa adat. 
Pasal 97 memuat tentang penetapan desa adat 
sebagaimana dimaksud Psal 96 memenuhi syarat: 
Pertama, kesatuan warga  hukum adat beserta 
hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik 
yang bersifat genealogis maupun fungsional. 
Kedua, kesatuan warga  hukum adat beserta 
hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan 
perkembangan warga ; dan Ketiga, kesatuan 
warga  hukum adat beserta hak tradisionalnya 
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik 
negara kita .
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 
2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi 
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 dengan jelas mendefinisikan Desa Pakraman 
yaitu  kesatuan warga  hukum adat di Provinsi 
Bali yang memiliki satu kesatuan tradisi dan tata 
krama pergaulan hidup warga  umat Hindu 
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan 
tiga atau kahyangan desa yang memiliki 
area  tertentu dan harta kekayaan sendiri serta 
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari 
definisi ini sudah ditegaskan Desa Pakraman 
yaitu  suatu kesatuan warga  sosial 
religius yang bersifat otonom, berhak mengurus 
rumah tangganya sendiri. Dalam mekanisme 
kehidupan Desa Pakraman, warga memiliki hak 
antara lain hak untuk memilih pimpinan adat, 
ikut dalam rapat (sankep/parum) adat, ikut serta 
dalam Pemerintahan Desa Pakraman bersama, 
dan berhak dipilih sebagai prajuru (pengurus) 
adat. Kewajibannya melaksanakan ayahan (tugas) 
adat dan tunduk serta taat kepada peraturan yang 
berlaku bagi warga Desa Pakraman, yakni awigawig (aturan) baik tertulis maupun tidak tertulis, 
paswara dan sima yang berlaku.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 
3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang 
diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali 
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman 
disebutkan bahwa Desa Pakraman di Provinsi Bali 
yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah 
selama berabad-abad, yang memiliki otonomi 
asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah 
memberikan kontribusi yang sangat berharga 
terhadap kelangsungan kehidupan warga  dan pembangunan. Desa Pakraman sebagai 
kesatuan warga  hukum adat yang dijiwai 
oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya 
yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam 
bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu 
diayomi, dilestarikan, dan diberdayakan.
Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah 
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa 
Pakraman, Desa Pakraman didefinisikan sebagai 
kesatuan warga  hukum adat di Provinsi Bali 
yang memiliki satu kesatuan tradisi dan tata 
krama. Pergaulan hidup warga  umat Hindu 
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga 
atau kahyangan desa yang memiliki area  
tertentu dan harta kekayaan sendiri yang berhak 
mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Majelis Desa Pakraman
Desa Pakraman sebagai area  yang otonom 
tidak selamanya berada dalam posisi “sendiri”. 
Sejak 27 Februari 2004 terbentuk Majelis Desa 
Pakraman (MDP). Kehadiran MDP membawa 
angin baru bagi kehidupan Desa Pakraman di Bali. 
Sebelum adanya MDP, Desa Pakraman seolaholah “yatim piatu”, tanpa “orangtua” untuk diajak 
menimbang rasa dalam suka dan duka. Jika 
ada Desa Pakraman memiliki masalah, mereka 
menjadikan bupati sebagai tempat mengadu. 
Padahal secara struktural bupati dan pemerintah 
kabupaten tidak dapat disebut atasan Desa 
Pakraman. Setelah terbentuknya MDP di Bali, ada wadah bagi Desa Pakraman untuk bertukar pikiran 
dalam merancang masa depan Desa Pakraman 
yang lebih baik, meningkatkan kualitas prajuru, 
merumuskan awig-awig dan perarem serta 
menyelesaikan permasalahan yang muncul di 
Desa Pakraman.
MDP sebagai satu-satunya organisasi tempat 
berhimpunnya Desa Pakraman memiliki peran 
strategis dalam usaha meningkatkan kualitas 
Desa Pakraman baik dalam hubungan dengan 
parhyangan, pawongan, maupun palemahan. 
MDP memiliki tingkatan yang mulai dari 
kecamatan dengan nama Majelis Desa Pakraman 
yang mpembentukannya melalui Paruman Alit. Di 
tingkat kabupaten/kota ada Majelis Desa Pakraman 
yang pembentukannya melalui Paruman Madya. Di 
tingkat provinsi ada Majelis Utama Desa Pakraman 
yang pembentukannya melalui Paruman Agung.
MDP memiliki peran strategis dalam menjawab 
tantangan dan permasalahan yang berkaitan 
dengan Desa Pakraman. Pertama, memperkuat 
kelembagaan Desa Pakraman melalui kerja sama 
dengan pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah 
kabupaten/kota dalam usaha melestarikan agama 
Hindu sebagai jiwa Desa Pakraman dan jiwa Bali. 
Kedua, sebagai media komunikasi antar krama 
desa dan antar Desa Pakraman berdasarkan spirit 
Bali mawacara. Ketiga, menjadi filter terhadap 
pengaruh yang datang dari berbagai arah di luar 
Desa Pakraman.
Untuk itu perlu adanya prosedur tetap 
(protap) kerja sama Desa Pakraman yang dapat dijadikan panduan bagi lembaga pemerintah 
maupun swasta, parpol, LSM dan organisasi lain 
dalam menjalin kontak dengan Desa Pakraman. 
Selanjutnya secara proaktif membangun 
komunikasi dan hubungan baik dengan 
organisasi lain di luar Desa Pakraman dalam usaha 
mewujudkan kedamaian di Bali (Bali Shanti).
Dalam Pasal 16 ayat (1) Perda No. 3 Tahun 
2001 tentang Desa Pakraman, MDP memiliki 
tugas mengayomi adat istiadat, memberikan 
saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak 
baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk 
pemerintah tentang masalah adat, melaksanakan 
tiap keputusan-keputusan paruman dengan 
aturan-aturan yang ditetapkan, membantu 
penyuratan awig-awig, dan melaksanakan 
penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh. 
Ayat (2) menyatakan tentang kewenangan MDP, 
antara lain merumuskan berbagai hal yang 
menyangkut masalah-masalah adat dan agama 
untuk kepentingan Desa Pakraman, sebagai 
penengah dalam kasus-masalah adat yang tidak 
dapat diselesaikan di tingkat desa, dan membantu 
penyelenggaraan upacara keagamaan di 
kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
Sebelum ada MDP, pada tahun 1968, terbentuk 
Badan Musyawarah Desa Adat (Desa Pakraman) 
sebagai wadah untuk mengkoordinasikan 
pembinaan desa adat. Lembaga ini selanjutnya 
dikuatkan legalitasnya melalui SK Gubernur Kepala 
Daerah Tingkat I Bali Nomor 18/Kesra.II/c/19/1979 
tentang Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) MPLA memiliki tugas memberi pertimbangan, 
saran, usul mengenai permasalahan adat kepada 
pemerintah daerah baik diminta maupun tidak, 
dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah 
daerah. MPLA juga mengadakan pembinaan 
pembuatan awig-awig dan pembinaan adat 
istiadat secara menyeluruh di dalam segala 
aspeknya.
3) Awig-Awig (Peraturan) Desa Pakraman
Awig-awig yaitu  tata dalam hidup 
berwarga . warga  sendiri ditandai oleh 
beberapa ciri, seperti adanya interaksi, ikatan, 
pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek 
kehidupan yang bersifat mantap dan berkelanjutan, 
serta danya rasa identitas terhadap kelompok 
di mana individu yang bersangkutan menjadi 
anggotanya. Dalam kehidupan berwarga , 
manusia akan senantiasa berhadapan dengan 
kekuatan-kekuatan manusia lainnya, sehingga 
diperlukan adanya norma-norma dan aturanaturan yang menentukan tindakan mana yang 
boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Dalam kehidupan warga  adat Bali yang 
diwadahi oleh Desa Pakraman, norma-norma 
ini lazim disebut dengan istilah awig-awig, 
sima, dresta, perarem, dan istilah-istilah lainnya. 
Secara umum yang dimaksud dengan awig-awig 
yaitu  patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis 
maupun tidak tertulis yang dibuat oleh warga  
yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan 
kepatutan yang hidup dalam warga , dalamhubungan antara krama (anggota Desa Pakraman) 
dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun 
antara krama dengan lingkungannya.
Dengan pengertian demikian, menjadi 
jelas bahwa semua Desa Pakraman memiliki 
awig-awig, walaupun mungkin bentuknya ada 
yang belum tertulis. Belakangan, terutama sejak 
tahun 1969, ada kecenderungan Desa Pakraman 
menuliskan awig-awig-nya dalam bentuk dan 
sistematika yang seragam. Tujuannya yaitu  
agar prajuju desa adat dan generasi mendatang 
dapat lebih mudah mengetahui isi awig-awig 
desanya. Awig-awig yang dijadikan pegangan 
oleh prajuru Desa Pakraman dalam mengemban 
kewajibannya, dibuat sesuai dengan situasi dan 
kondisi objektif masing-masing Desa Pakraman. 
ini yang memicuadanya perbedaan 
antara awig-awig Desa Pakraman yang satu 
dengan yang lainnya walaupun secara geografis 
letaknya berdekatan. Perbedaan ini dianggap 
normal dan lumrah sesuai dengan dengan asas 
desa mawacara. Awig-awig secara proporsional 
berisi aturan-aturan yang bertujuan menjaga 
atau mewujudkan keseimbangan hubungan 
antara manusia dengan Ida Sanghyang Widi 
Wasa /Tuhan Yang Maha Esa (aspek parhyangan), 
keseimbangan hubungan antara manusia dengan 
manusia, (aspek pawongan), dan keseimbangan 
hubungan manusia dengan alam lingkungan 
(aspek palemahan). 
Landasan Awig-awig Desa Pakraman mulai 
dikenal warga  Bali sejak tahun 1986 setelah keluarnya Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi 
Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, 
Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan 
warga  Hukum Adat dalam Provinsi Daerah 
Tingkat I Bali. Sebelum lahirnya Perda ini, dipkaia 
istilah bermacam-macam, di antaranya pangelingeling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta, 
cara, tunggul, kerta, palakerta dan sima. Dalam Bab 
IV Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali Nomor 
6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan 
Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan warga .
Hukum Adat dalam Provinsi Dasrah Tingkat 
I Bali disebutkan tentang Awig-awig Desa Adat 
antara lain: Setiap Desa Adat agar memiliki awigawig tertulis, Awig-awig Desa Adat tidak boleh 
bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang 
Dasar 1945 dan Peraturan Perundang-undangan 
yang berlaku, Awig-awig Desa Adat dibuat dan 
disahkan oleh krama Desa Adat , Awig-awig Desa 
Adat dicatatkan di Kantor Bupati/Walikotamadya, 
Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. 
Sanksi yang diatur dalam awig-awig Desa Adat 
tidak boleh bertentangan dengan Peraturan 
Perundang-undangan yang berlaku dan rasa 
keadilan dalam warga .
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan 
“Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan warga  hukum adat beserta hak-hak 
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai 
dengan perkembangan warga  dan prinsip 
Negara Kesatuan Republik negara kita  yang diatur 
dalam undang-undang”. Apa yang disebutkansebagai syarat untuk mendapat pengakuan 
negara tentu harus dipenuhi oleh Desa Pakraman 
termasuk awig-awig yang dimiliki. Pengakuan 
terhadap kesatuan warga  hukum adat ini 
mengandung empat konsekuensi. Pertama, suatu 
kesatuan warga  diakui sebagai sautu kesatuan 
warga  hukum sehingga dapat bertindak 
sebagai subjek hukum yang berbeda dengan 
anggota-anggotanya. Kedua, terhadap kesatuan 
warga  hukum adat dapat diletakkan hak 
dan kewajiban serta dapat melakukan tindakan 
hukum sebagai satu kesatuan. Ketiga, pada saat 
pengakuan terhadap kesatuan warga  hukum 
adat, maka dengan sendirinya negara mengakui 
sistem hukum yang membentuk dan menjadikan 
kesatuan warga  adat itu sebagai kesatuan 
hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan 
warga  hukum adat juga dengan sendirinya 
berarti pengakuan terhadap struktur dan tata 
pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma 
hukum tata negara adat setempat.
Awig-awig Desa Pakraman sebagai 
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan 
warga  Hindu di Bali memiliki korelasi yang 
sangat kuat dengan konsep Tri Hita Karana. Tri 
Hita Karana yaitu  tiga hubungan yang 
harmoni yang harus dijalankan manusia untuk 
mencapai kesempurnaan. Hubungan itu terdiri 
dari hubungan manusia dengan Tuhan yang 
diwujudkan dalam bentuk bhakti. Hubungan 
manusia dengan manusia yan diwujudkan dalam 
bentuk tresna. Hubungan manusia dengan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk asih 
(sih).
Keseimbangan dalam melaksanakan bhakti, 
tresna, dan sih ini diwujudkan dalam perilaku 
sehari-hari. Karena itulah awig-awig menjadi 
konsep Tri Hita Karana ini sebagai landasan 
filosofisnya. Dengan mengusung konsep ini 
karma diharapkan berperilaku sesuai dengan 
ajaran agama Hindu, di antaranya tat twan asi (aku 
yaitu  kamu), persaudaraan, keharmonisa, dan 
antikekerasan dalam hidup bersama.
warga  Desa Pakraman selalu berusaha 
bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya. 
ini didasarkan oleh kesadaran bahwa alam 
semesta yaitu  sebuah kompleksitas unsurunsur yang satu sama lain terkait dan membentuk 
suatu sistem kesemestaan. Dari sini ditemukan 
bahwa nilai dasar kehidupan adat di Bali yaitu  
nilai keseimbangan. Nilai keseimbangan ini lalau 
diwujudkan ke dalam dua hal. Pertama, selalu 
berusaha menyesuaikan diri dan menjalin dengan 
elemen-elemen alam dan kehidupan yang berada 
di sekelilingnya. Kedua, ingin menciptakan 
suasana kedamaian dan ketentraman agar sesama 
makhluk dan alam di mana manusia sebagai salah 
satu elemen dari alam semesta.
warga  kemudian menjadikan kedua hal 
ini sebagai asas dalam kehidupan. Nilai dan 
asas-asas ini dipersepsikan ke dalam ajaran filsafat 
Tri Hita Karana. Tri artinya tiga; Hita artinya baik, 
senang, gembira; Karana artinya sebab musabab, 
sumbernya sebab. Secara singkat Tri Hita Karana didefinisikan sebagai tiga hal yang memicu
manusia mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, 
dan kedamaian (I Made Suastawa Dharmayuda 
dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali, 
Upada Sastra, Denpasar, h.6. 33).
Menurut I Gusti Ketut Kaler, unsur Tri Hita 
Karana yaitu  jiwa (atman), tenaga atau kekuatan 
(prana), dan badan wadag (sarira). Ketiga unsur 
ini kemudian menjadi pola warga  Bali, 
dalam pembuatan rumah dan desa. Dalam 
rumah, unsur atman (Tuhan) ditempatkan di 
merajan atau sanggah tempat ibadah sebagai 
parhyangan rumah. Unsur prana yaitu  anggota 
keluarga sebagai pawongan rumah. Unsur sarira 
yaitu  keseluruhan pekarangan rumah sebagai 
palemahan rumah. 
Dalam desa, unsur atman berupa Pura 
Kahyangan Tiga sebagai parhyangan desa. unsur 
prana berupa krama desa sebagai pawongan 
desa. unsur sarira berupa area  desa sebagai 
palemahan desa. Awig-awig Desa Pakraman 
sebagai pedoman perilaku sudah disusun 
berdasarfkan Tri Hita Karana. Hubungan manusia 
dan Tuhan diatur dalam Sukerta Tata Agama 
(Parhyangan). Hubungana antara manusia dengan 
manusia diatur dalam Sukerta Tata Pawongan. 
Hubungan antara manusia dengan lingkungan 
warga  dan lingkungan alam diatur dalam 
Sukerta Tata Palemahan.
Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis 
awig-awig juga terjabarkan dalam falsafah Hindu 
lainnya seperti Tri Mandala, Catur Purusa Artha, Desa Kala Patra, Tat Twam Asi, dan Tri Upasaksi. 
Awig-awig Desa Pakraman yaitu  patokan 
tingkah laku baik tertulis maupun tidak tertulis 
yang dibuat oleh warga  yang bersangkutan 
berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang 
hidup dalam warga . Dilihat dari pengertian 
ini bisa dipastikan semua Desa Pakraman memiliki 
awig-awig. Namun ada yang sudah tertulis dan 
ada yang belum tertulis. Majelis Utama Desa 
Pakraman (MUDP) mendata di Bali ada 1.488 
Desa Pakraman. Sampai saat ini masih dilakukan 
inventarisir beberapa Desa Pakraman yang sudah 
menyuratkan awig-awignya dan beberapa yang 
belum. Sejak tahun 1969 ada kecenderungan 
Desa Pakraman menuliskan awig-awignya dalam 
bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya 
antara lain memberi peluang kepada prajuru 
adat dan generasi yang akan datang untuk lebih 
memahami isi awig-awig desanya. 
Penulisan awig-awig ini dianggap penting 
atas dasar pertimbangan bahwa hukum adat 
dalam bentuk tidak tertulis yang berupa kebiasaankebiasaan sangat sulit dikenali. Dengan penulisan 
ini diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid) 
lebih terjamin dan penting untuk penemuan 
hukum (rechtsvinding). Dengan kepastian hukum, 
dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat 
(awig-awig) akan memberi rasa kepastian dalam 
bersikap dan bertindak hingga tak ada keraguraguan dalam penerapan hukum. Kepastian 
hukum ini mencakup warga , pasti bagi 
prajuru, dan pasti untuk pemerintah. Dalam hal penemuan hukum, penulisan hukum adat (awigawig) untuk memudahkan dalam hal menemukan, 
mengetahui, dan memahami isi ketentuan hukum 
adat. Dalam bentuknya yang tertulis akan sangat 
mudah ditemukan oleh kalangan petugas hukum 
dan generasi yang akan datang. Karena itu, perlu 
adanya keseragaman dan penerbitan dalam 
bentuk dan sistematikanya.
Hal yang tidak terpisahkan dalam penyusunan 
awig-awig yaitu  patokan yang dipakai 
yaitu  cerminan dari nilai-nilai Pancasila, 
antara lain mengatur tentang kewajiban krama 
dalam kehidupan ber-Ketuhanan Yang Maha 
Esa; Pengakuan martabat yang sama sebagai 
krama desa; adanya kekompakan dan kesatuan 
sebagai pengikat; selalu bermusyawarah dalam 
sangkepan atau paruman; adanya unsur sukaduka dalam kehidupan berwarga  serta diikat 
oleh kehidupan paras-paros. Sbagai hukum yang 
tumbuh dari bawah, scara psikologis awig-awig 
memiliki legitimasi yang kuat dalam warga . 
Awig-awig diterima dan ditaati di dalam 
warga  yang berada di area  Desa Pakraman 
yang bersangkutan. Awig-awig jika dilihat dari 
fungsinya yaitu  alat kontrol sosial (hukum 
sebagai sarana kontrol sosial). ini dilihat dari 
asumsi awig-awig mampu mengontrol perilaku 
krama desa dan menciptakan kesesuaian dalam 
perilaku mereka, baik secara preventif maupun 
represif.
Awig-awig juga berfungsi sebagai sarana untuk 
mengubah warga  (social engineering) karenakemampuannya merespon dan mengantisipasi 
perubahan dalam warga . Karena itu awigawig harus mengarahkan perubahan warga  
sesuai dengan rel yang telah dibakukan dalam 
awig-awig tersebut. Dengan adanya awzigawig memudahkan tujuan Desa Pakraman yakni 
kasukertan desa sekala-niskala (ketertiban, 
ketentraman, dan kedamaian lahir batin) di Desa 
Pakraman. Kasukertan desa tidak saja berlaku bagi 
internal Desa Pakraman (krama desa) melainkan 
berlaku juga bagi eksternal Desa Pakraman 
terutama dengan Desa Pakraman tetangga 
(pasuwitran nyatur desa).
Penulisan awig-awig bukanlah perkara 
mudah, karena itu memerlukan pemikiran 
bersama karena hasilnya akan dipakai bersama. 
Substansi awig-awig menjadi hal yang penting 
untuk dibahas sebelum menuliskan awig-awig. 
Jangan sampai menuliskan awig-awig hanya untuk 
kepentingan praktis sesaat, misalnya keperluan 
lomab Desa Pakraman atau syarat mendapatkan 
dana dalam rangka pembentukan Lembaga 
Perkreditan Desa (LPD). Jika yang dilakukan hanya 
untuk kepentingan sesaat, adakalanya Desa 
Pakraman menyalin mentah-mentah awig-awig 
Desa Pakraman lain. ini tentu sangat tidak 
disarankan karena sunbstansi awig-awig antara 
lain Desa Pakraman dengan Desa Pakraman lain, 
walaupun secara geografis berdekatan. Awig-awig 
hasil salinana atau duplikasi ini nantinya tidak akan 
dapat dipergunakan.
Dalam hal substansi, adakalanya ditemukan norma-norma yang sulit diubah, padahal ada 
keinginan untuk mengubah. Kadang tidak semua 
hukum adat tidak tertulis (dresta) dapat dituangkan 
dalam awig-awig tertulis. Bisa jadi karena kesulitan 
saat merumuskannya dalam substansi awig-awig 
tertulis atau bisa jadi karena kelupaan. ini 
jangan sampai menjadikan penyusunan awigawig tertulis menjadi tidak terealisasikan. Dresta 
yang terlupakan biarkan tetap berlaku sebagai 
awig-awig tidak tertulis. Di kemudian hari, ada 
kesempatan untuk memasukkannya dalam 
perarem pengele sebagai pelengkap awig-awig. Di 
sinilah dresta mendapat tempat sehingga menjadi 
bagian dari awig-awig tertulis. 
Substansi awig-awig besarnya berisi Murdha 
Citta, Pamikukuh, Petitis, asas-asas, norma atau 
kaidah, dan sanksi. Asas-asas misalnya gotong 
royong, tolong menolong, musyawarah mufakat, 
saling asah saling asih saling asuh, paras paros, 
rukun laras patut. Norma/kaidah dirumuskan 
dalam bentuk larangan, perintah, dan kebolehan. 
Hal-hal yang dilarang, diperintahkan, dan 
dibolehkan harus mengacu pada pamikukuh dan 
petitis yang telah ditetapkan. Norma-norma yang 
berupa perintah dan laranga, rumusannya disertai 
sanksi yang jelas. Norma-norma yang berisi 
kebolehan, rumusannya tidak disertai sanksi.
Rumusan norma dalam awig-awig suapaya 
bersifat mendidik dalam arti mendidik krama 
susaha  bersikap dan berperilaku bhakti kepada 
Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha 
Esa), tresna kepada sesama, dan asih terhadap lingkungan. Semua ini yaitu  inti dari Tri 
Hita Karana. Isi awig-awig di bagian norma harus 
bersifat moderat dan fleksibel. ini bertujuan 
mengakomodir kebutuhan perkembangan zaman 
terutama yang berkaitan dengan kependudukan, 
kebersihan lingkungan, kesejahteraan, dan lain 
sebagainya.
Umunya awig-awig tertulis hanya memuat 
pokok-pokok mengenai kehidupan Desa 
Pakraman. Aturan pelaksanaan yang lebih rinci 
dituangkan dalam bentuk keputusan rapat 
desa yang disebut perarem. Perarem memiliki 
kekuatan mengikat yang secara substansi bisa 
dikelompokkan menjadi tiga, perarem penyahcah 
awig, perarem ngele/lepas, dan perarem penepas 
wicara. Perarem penyahcah awig artinya aturan 
pelaksanaan dari awig-awig tertulis yang sudah 
ada. Perarem ngele berupa keputusan paruman 
yang yaitu  aturan hukum baru yang tidak 
ada landasannya dalam awig-awig tertulis. ini 
biasanya dipakai untuk mengakomodir kebutuhan 
hukum baru untuk mengikuti perkembangan 
warga . Perarem penepas wicara yaitu  
keputusan paruman mengenai suatu wicara 
(perkara) yang berupa persoalan hukum seperti 
sengketa maupun pelanggaran hukum.
Dengan demikian, Tri Hita Karana 
memicukehidupan yang harmonis antara 
sesama wagra desa adat untuk mewujudkan 
kesejahteraan dan kebahagian hidup yaitu  
landasan bagi desa adat. Terhadap adanya 
kesatuan pandangan dalam kehidupan desa adat kemudian di Bali, kita mengenal adagium yang 
yaitu  asas dari kebersamaan, yakni: Salulung 
Sabyayantaka (sa + luhung + luhung sa + byaya (sa) 
+ antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam 
istilah Bali disebut Beriuk Seguluk artinya sehidup 
senasib dan sepenanggungan.
Atas dasar asas kebersamaan ini, hendaknya 
setiap anggota desa adat yaitu  bagian 
keluarga besar desa adat termasuk masalah 
kesejahteraan warga. Bila desa adat mampu 
melaksanakan fungsi dan peranannya, maka 
tujuan desa adat dalam mewujudkan desa yang 
Sukertagama (warga  tenteram karena 
melaksanakan ajaran agama), Tata Tenteram 
Kertaraharja (tenteram dan sejahtera) akan dapat 
diwujudkan.
Dalam penelitian ini diambil obyek 
pengamatan terhadap area  Bali bagian selatan. 
Bali selatan yang terdiri dari Kabupaten Badung, 
Denpasar, Gianyar, dan Tabanan yaitu  
salah satu pusat pariwisata di Provinsi Bali. Secara 
keseluruhan Bali selatan memiliki jumlah potensi 
wisata sebanyak 146 daya tarik wisata dengan 
persebaran 36 daya tarik wisata di Kabupten 
Badung, 28 daya tarik di Kota Denpasar, 59 daya 
tarik di Kabupaten Gianyar, dan 23 daya tarik di 
Kabupaten Tabanan. Perlu dicatat, pengembangan 
pariwisata di Provinsi Bali belum merata pada semua 
kabupaten, pengembangan pariwisata hanya 
berpusat di Kabupaten Badung dan Denpasar. Hal 
ini memicuperekonomian area  
ini lebih tinggi dibandingan dengan area  lainnya. 
Pada Tahun 2015 persentase PDRB sektor 
akomodasi makan dan minum di Kabuapten 
Badung dan Denpasar lebih besar dibandingakan 
dengan Kabupaten Gianyar dan Tabanan yaitu 
26.18% dan 23.09 %. sedang Kabupaten Gianyar 
dan Tabanan memiliki persentase sebesar 20.48% 
dan 18.27%.157 Selain itu dari aspek ketersediaan 
fasilitas akomodasi makan dan minum, Kabupaten 
Badung dan Denpasar memiliki jumlah hotel dan 
restoran lebih banyak dibandingkan Kabupaten 
Gianyar dan Tabanan. 
Pada Tahun 2015 Kabupaten Badung memiliki 
jumlah hotel berbintang sebanyak 357 dan 
491 hotel non bintang, Kota Denpasar memiliki 
65 buah hotel berbintang dan 251 hotel non 
bintang, sedang Kabupaten Gianyar memiliki 
hotel berbintang sebanyak 49 dan 358 hotel non 
bintang, serta Kabupaten Tabanan memiliki 6 
buah hotel berbintang dan 109 hotel non bintang. 
Begitu pula pada fasilitas untuk memenuhi 
kebutuhan wisatawan seperti restoran, pada 
Tahun 2015 Kabupaten Badung dan Denpasar 
memiliki jumlah restoran masing-masing 825 dan 
449 buah, sedang Kabupaten Gianyar dan 
Tabanan memiliki jumlah restoran masing-masing 
504 buah dan 32 buah.158
Tahun 2015-2018 Pemerintah Daerah 
Provinsi Bali melalui Program Bali Mandara Jilid II mencanangkan pembentukan 100 desa wisata159
yang tersebar pada 8 kabupaten dan 1 kota. 
Seratus desa wisata ini penyebarannya 
masing-masing 22 desa wisata di Kabupaten 
Buleleng, 6 desa wisata di Kabupaten Jembrana, 
16 desa wisata di Kabupaten Tabanan, 5 desa 
wisata di Kabupaten Badung, 15 desa wisata di 
Kabupaten Gianyar, 10 desa wisata di Kabupaten 
Klungkung, 11 desa wisata di Kabupaten Bangli, 
10 desa wisata di Kabupaten Karangasem, dan 5 
desa wisata di Kotamadya Denpasar. Desa Wisata 
Timbrah yaitu  salah satu dari 10 desa wisata yang 
dikembangkan di Kabupaten Karangasem melalui 
Program Bali Mandara Jilid II, sedang sembilan 
lainnya yaitu  desa wisata Budekeling, Sibetan, 
Tenganan, Prangsari, Iseh, Antiga, Jasri, Besakih, 
dan Munti Gunung.160



 Kota Surakarta
Kota Surakarta yaitu  salah satu kota yang berada 
di area  Provinsi Jawa Tengah. Lokasi kota ini terbilang 
sangat strategis, terletak pada pertemuan jalur dari 
Semarang dan dari Yogyakarta menuju Surabaya dan 
Bali. Seperti daerah yang lain, Kota Surakarta yaitu  
daerah otonom yang berusaha untuk mengelola rumah 
tangga daerahnya sendiri dengan segala potensi yang ada.Lahirnya undang-undang tentang pemerintahan 
daerah memberi hak otonom bagi daerah untuk mengelola 
dan memajukan daerah masing-masing dengan potensi 
daerah yang ada. Potensi daerah yang dikelola menjadi 
usaha pariwisata menjadi tawaran sebagai usaha  untuk 
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta 
meningkatkan kesejahteraan warga .147
Kota Surakarta yaitu  salah satu kota wisata 
yang kaya akan potensi lokal. Salah satu keunikannya yakni 
kota Surakarta yaitu  bekas ibukota kerajaan, yang 
kaya akan peninggalan sejarah kerajaan baik secara fisik 
maupun perangkat pranata budaya.148 ini yang 
menjadikan daya tarik wisata kota Surakarta sekaligus 
sebagai alasan pemilihan kota Surakarta dalam obyek 
penelitian ini. Kota Pariwisata yaitu  salah satu kota 
dengan destinasi wisata yang menarik. Badan Promosi 
pariwisata Kota Surakarta melakukan pemetaan potensi 
wisata di Kota Surakarta. Berdasarkan Rencana Induk 
Pembangunan Kepariwisataan (RIPKA) Kota Surakarta 
tahun 2016-2026 ada sedikit perbedaan antara peta 
ruang lingkup area  dengan data dari Bappeda Kota 
Surakarta. Data Bappeda menunjukkan pembangunan 
dan pengembangan destinasi pariwisata terdisi dari 14 
(empat belas) destinasi, yaitu:
1. Destinasi Pariwisata Keraton Surakarta Hadiningrat 
dan sekitarnya;
2. Destinasi Pariwisata Pura Mangkunegaran dan 
sekitarnya;
3. Destinasi Pariwisata Benteng Vastenburg dan 
sekitarnya;
4. Destinasi Pariwisata Museum Radya Pustaka dan 
sekitarnya;
5. Destinasi Pariwisata Wayang Orang Sriwedari dan 
sekitarnya;
6. Destinasi Pariwisata Taman Sriwedari dan sekitarnya;
7. Destinasi Pariwisata Taman Balekambang dan 
sekitarnya;
8. Destinasi Pariwisata Taman Satwa Taru Jurug dan 
sekitarnya;
9. Destinasi Pariwisata Pasar Klewer dan sekitarnya;
10. Destinasi Pariwisata Pasar Gede dan sekitarnya;
11. Destinasi Pariwisata Pasar Antik Triwindu dan 
sekitarnya;
12. Destinasi Pariwisata Kampung Batik Laweyan dan 
sekitarnya;
13. Destinasi Pariwisata Kampung Batik Kauman dan 
sekitarnya;
14. Destinasi Pariwisata Kampung Situs Budaya Baluwarti 
dan sekitarnya
Destinasi wisata di Surakarta menyebar di beberapa 
daerah yang disebut sebagai kawasan strategis wisata 
Kota. Kawasan strategis yang tersebar di beberapa titik 
untuk pengembangan pariwisata daerah ini memiliki 
andil besar dalam peningkatan pendapatan daerah. 
Kawasan strategis inilah yang berpengaruh pula terhadap 
perkembangan UMKM di Kota Surakarta. Dalam kajian 
dari Bappeda mencatat setidaknya ada 8 (delapan) 
kawasan strategis:1. Kawasan strategis pariwisata Keraton Surakarta – Pasar 
Gede yang meliputi Keraton Surakarta Hadiningrat – 
Kampung Baluwarti – Alun-alun utara dan latan - Bank 
negara kita  - Masjid Agung - Kampung Batik Kauman – 
Pasar Klewer - Gedung Juang 45 - Beteng Vastenburg 
- Masjid Gurawan – Kampung Pasar Kliwon -Kampung 
Loji Wetan – Gladag - Koridor Jenderal Sudirman – 
Tugu Pamandengan - Kreteg Gantung - Kampung 
Balong - Pasar Gede.
2. Kawasan Strategis Pariwisata Sriwedari yang 
meliputi Museum Radya Pustaka - Museum Ndalem 
Wuryaningratan - Museum Keris - Loji Gandrung 
Museum PON I Stadion Sriwedari - Jalan BhayangkaraTaman Sriwedari.
3. Kawasan Strategis Pariwisata Mangkunegaran yang 
meliputi Pura Mangkunegaran - Masjid Al-Wustho - 
Pasar Antik Triwindu – Koridor Ngarsopura - wisata 
kuliner Keprabon – Ketelan - Kestalan.
4. Kawasan Strategis Pariwisata Balekambang yang 
meliputi Stadion Manahan Taman Balekambang - 
Pasar Burung dan Pasar Ikan Hias Depok. 
5. Kawasan Strategis Pariwisata Kampung Batik Laweyan. 
6. Kawasan Strategis Jurug yang meliputi Taman 
Satwataru Jurug-Taman Ronggowarsito - Jembatan 
Bengawan Solo - Sungai Bengawan Solo.
7. Kawasan Strategis Pariwisata Budaya dan Pendidikan 
yang meliputi Taman Budaya Jawa Tengah - Universitas 
Sebelas Maret-Institut Seni negara kita  – Solo Techno 
Park. 
8. Kawasan Strategis Kuliner.149Kawasan wisata di atas diklasifikasikan berdasar 
jarak yang berdekatan, sehingga memudahkan wisatawn 
memilih alur perjalanan wisatanya. Perencanaan perjalanan 
wisata yaitu  hal penting dalam pariwisata. Dengan 
perencanaan, dapat dipastikan soal tujuan, biaya 
dan waktu. Ketidak tepatan dalam perencanaan akan 
memicupemborosan biaya, waktu, tenaga bahkan 
kegagalan perjalanan. Permasalahan alur perjalanan 
wisata ini membutuhkan suatu gagasan berperspektif 
teknologi tepat guna misal berupa website atau tool 
cerdas yang dapat membantu wisatawan membuat 
rencana perjalanan.150
Pada tahun 2017, Surakarta memiliki Perda No. 5 
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata. 
Tujuan Peraturan Daerah ini yakni meningkatkan 
pertumbuhan ekonomi warga  Surakarta 
sehingga dapat meningkatkan pula kesejahteraannya. 
Kesejahteraan warga  meningkat karena terbukanya 
lapangan pekerjaaan dari sektor wisata. Selain itu 
dengan pengelolaan yang baik, dapat melestarikan alam, 
lingkungan dan sumber daya. Wisata lokal juga dapat 
memajukan kebudayaan daerah dan meningkatkan 
rasa cinta tanah air.151 Ketentuan dalam perda ini tidak 
bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya, 
karena pada prinsipnya, “kemandirian daerah dalam 
berotonomi tidak berarti daerah boleh membuat 
peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan 
perundang-undangan yang lebih tinggi secara hierarki atau kepentingan umum.”152
Pada Pasal 9 Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017 
diatur tentang bidang usaha pariwisata. Bidang usaha 
yang diatur dalam pasal ini mengacu pada UU No. 
10 tahun 2009. Untuk mengimplementasikan perda, 
dibutuhkan suatu kebijakan agar Peraturan Daerah dapat 
berjalan dengan optimal. Optimalisasi Perda berkorelasi 
dengan terwujudnya pembangunan yang maksimal. 
Pembangunan perlu dikawal oleh kebijakan yang 
memberikan pedoman pelaksanaan berikut laranganlarangan untuk memastikan proses pembangunan dapat 
terarah, terpadu dan berjalan sesuai rencana-undang 
sebelumnya (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990). 
Letak perbedaannya, pada peraturan yang baru mengatur 
pula tentang hiburan dan spa. Ketentuan ini di adopsi oleh 
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2017.
Strategi pengembangan dan pemasaran pariwisata 
yaitu  salah satu bentuk kebijakan yang dirumuskan 
oleh pemerintah daerah Surakarta dengan tujuan 
meningkatkan usaha pariwisata di kota Surakarta. 
Pelaksanaan kebijakan ini mengacu pada norma 
tertentu yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan 
tertentu. Norma yang dimaksud yakni UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan 
dan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017 tentang 
Penyelenggaraan Usaha Pariwisata.
Selain merumuskan strategi pengembangan, 
Pemerintah Kota Surakarta juga merumuskan strategi 
pemasaran destinasi wisata kota Surakarta. ada 
beberapa pilihan untuk strategi pemasaran destinasi 
wisata Kota Surakarta. Pertama, Strategi Bundling153
Produk Pariwisata Koridor I. Dalam koridor ini memiliki 
beberapa destinasi wisata yang berkarakter kuat, misalnya 
Benteng Vastenburg, Pasar Gedhe, Kampung Mbalong, 
Alun Alun Utara, Pasar Klewer dan Keraton Surakarta. 
Kawasan ini juga menjadi lokasi beberapa even 
wisata yang memiliki daya tarik sangat baik. Even 
wisata, seperti SIPA, Apresiasi Musik Kebangsaan, Solo 
Keroncong Festival, Gerebek Sudiro, Imlek, Sekatenan dan 
Solo Great Sale. Strategi bundling produk direkomendasikan 
yaitu  menggabungkan even wisata dengan destinasi 
wisata yang menjadi lokasinya. Secara tidak sengaja, 
ini sudah dilakukan hanya saja fokus penyelenggara 
even wisata yaitu  pada penyelenggaran even wisata 
dan belum memasarkan destinasi wisata yang menjadi 
lokasinya. Bentuk penggabungan yang riil yaitu  dengan 
memakai merek even wisata dan destinasi wisata 
secara simultan, misalnya dengan memakai judul 
even Vastenburg Solo International Performing Art, Pasar 
Gedhe Imlek Festival dan sebagainya. Konsep bundling 
produk lain yaitu  dengan menggabungkan destinasi 
wisata, even wisata dan produk kuliner tertentu. Basis 
utama produk yaitu  even wisata yang diselenggarakan 
di destinasi wisata tertentu dengan daya tarik kuliner khas 
Solo.
Kedua, Strategi fokus keunikan produk unggulan wisata.154 Strategi ini mengacu pada salah satu produk 
unggulan yang menjadi ciri khas wisata kota Surakarta 
yaitu keris. Strateginya yaitu  dengan menyusun paket 
perjalanan menyusuri Koridor I dengan nama Solo Keris 
Trail. Paket perjalanan pendek dengan berjalan kaki ini 
dilakukan dengan asumsi Dinas Pekerjaan Umum Kota 
Surakarta merealisasikan sidewalk (trotoar) yang ramah 
pejalan kaki. Paket perjalanan pendek ini dilakukan 
dengan mengunjungi destinasi wisata tertentu dengan 
souvenir dan kuliner tertentu.
Ketiga, Strategi Komunikasi Pemasaran Destinasi 
Wisata Kota Surakarta.155 Dinas Pariwisata dan Seni Budaya 
Kota Surakarta bekerja sama dengan Dinas Perhubungan 
Komunikasi dan Informatika sudah mengembangkan 
aplikasi berbasis android yang berisi tentang informasi 
destinasi wisata di Kota Surakarta, selain itu materi promosi 
berupa leaflet, outdoor banner dan website sudah dibuat 
dengan cara dan desain yang menarik. Dinas Pariwisata 
Seni dan Budaya juga sudah melakukan kerjasama denganAngkasa Pura dan pengelola Bandara Internasional Adi 
Soemarmo untuk memperluas cakupan komunikasi 
pemasaran destinasi wisata Kota Surakarta.
Keempat, Strategi Efisiensi Biaya Paket Wisata 
Backpacker Destinasi Wisata Kota Surakarta. Wisatawan 
backpacker156 sering dipandang sebelah mata oleh 
para penyedia jasa pariwisata karena dianggap mereka 
termasuk kelas segmen ekonomis. Para penyedia jasa 
pariwisata tidak menyadari bahwa wisatawan backpacker
memiliki kekuatan besar sebagai pemberi referensi 
bagi wisatawan lainnya. ini dalam pemasaran lazim 
disebut dengan word of mouth. Para backpacker ini 
membagikan informasi tentang destinasi wisata yang 
mereka kunjungi melalui media sosial berupa facebook, 
instagram, path dan twitter. Mereka biasanya memiliki 
pengikut yang banyak. ini seharusnya disadari oleh 
para penyedia jasa pariwisata dengan menyediakan 
paket wisata khusus bagi wisatawan backpacker dengan 
biaya murah namun berharap pada efek word of mouth
dari kelompok wisatawan ini. Berkembangnya teknologi 
dan informasi memaksa usaha pariwisata untuk terus 
berinovasi agar tidak kalah bersaing. Terkait Kota Surakarta, 
ada banyak penelitian mengenai pengembangan 
kota pariwisata Surakarta dalam persepektif pemanfaatan 
teknologi, misalnya aplikasi, web site, peningkatan sarana 
prasana. Fasilitas dan sistem pelayanan yaitu  sistem 
penujang yang tidak dapat diabaikan. Jika tidak ada fasilitas yang memenuhi pesyaratan, tidak ada pula obyek 
yang dapat di operasionalkan oleh pelaku.













Penelitian model kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme 
lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan penting untuk 
dilakukan karena minimal 4 (empat) pertimbangan sebagai 
berikut. Pertimbangan pertama, Pariwisata yaitu  sektor 
yang semakin penting karena memberi manfaat ekonomi bagi 
penduduk. Dampak yang ditimbulkan pariwisata terhadap 
perekonomian bukan hanya berasal dari pengeluaran 
wisatawan namun juga dari penciptaan lapangan pekerjaan 
serta pengembangan sarana dan prasarana. Pariwisata 
secara global menyumbang 9% gross domestic product (GDP) 
atau USD 6 triliun, menciptakan 120 juta pekerjaan langsung 
dan 125 juta pekerjaan tak langsung di bidang pariwisata. Di 
suatu negara, pariwisata berdampak terhadap peningkatan 
produksi barang kebutuhan wisatawan; tumbuhnya usaha 
jasa layanan pariwisata dan jasa akomodasi; peluang 
pekerjaan bagi warga  lokal; peningkatan pendapatan 
warga  lokal; meningkatnya aksesibilitas jalan dan jasa 
transportasi; dan bertambahnya layanan utilitas air bersih, 
listrik, dan telekomunikasi. Manfaat pariwisata cenderung 
meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan 
pariwisata dunia. Dari tahun 1995 sampai tahun 2014, jumlah 
kedatangan wisatawan dunia memiliki kecenderungan 
meningkat. Pertimbangan kedua, telah dilakukan pemetaan area -area  negara kita  dalam kerangka 50 tujuan 
destinasi wisata nasional. Kemudian, konsep perencanaan 
pariwisata di tingkat satuan pemerintahan daerah (Provinsi 
dan Kabupaten/Kota) telah disusun dalam sebuah Peraturan 
Daerah tentang melalui pendekatan komprehensif berkaitan 
dengan seluruh aspek, termasuk elemen sosial-ekonomi, 
lingkungan, dan kelembagaan. Namun, dengan intensistas 
dan kuantitas yang tidak sama, tiap-tiap destinasi wisata 
nasional memiliki persoalan yang dapat memengaruhi 
pengembangan daya saing pariwisata seperti (i) peningkatan 
konsumsi bahan bakar minyak; (ii) peningkatan produksi 
sampah; (iii) banjir dan sistem drainase yang kurang baik; 
(iv) tingkat pencemaran tinggi; dan (v) belum optimalnya 
penataan ruang dan peruntukan lahan. Rendahnya kualitas 
lingkungan hidup menjadi lebih buruk karena pengaruh 
kesenjangan ekonomi, selain itu, jumlah dan pertumbuhan 
penduduk tidak sebanding dengan daya tampung area , 
dan rendahnya sikap positif tentang kesehatan dan 
pencemaran lingkungan. Ketiga, Pemerintah berkeinginan 
untuk menarik wisatawan asing sebesar 20 juta kunjungan 
pada 2019. Pencapaian kunjungan wisatawan asing selama 
11 bulan pertama tahun 2016 telah mencapai 10.405.947 
kunjungan atau tumbuh sekitar 10 persen dari periode yang 
sama tahun sebelumnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 
menunjukkan selama November 2014, jumlah kunjungan 
turis mencapai 1 juta. Angka ini tumbuh hampir 20 
persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu. 
Pemerintah menargetkan kunjungan wisman pada tahun 
2017 sebesar 12 juta kunjungan. Dengan capaian sementara 
hingga November 2016, dibutuhkan sekitar 1,6 juta kunjungan 
wisman lagi, sehingga dapat menembus target yang dipatok 
selama 2016. Untuk mewujudkan capaian tersebut, isu daya saing destinasi wisata menjadi mendesak untuk diperhatikan. 
Daya saing dan keberlanjutan sebuah kawasan pariwisata 
ini memiliki hubungan timbal balik yang saling 
mendukung iklim usaha dan keberlanjutan lingkungan. 
Keempat, negara kita  memiliki keragaman destinasi wisata. 
Segala kegiatan pengembangan pariwisata mencakup 
berbagai segi yang sangat luas yang menyangkut berbagai 
segi kehidupan warga  mulai dari angkutan, akomodasi, 
makanan dan minuman, cinderamata dan pelayanan (service). 
Otto Soemarwoto menyatakan bahwa pengembangan 
pariwisata yaitu  kegiatan kompleks, menyangkut 
wisatawan, kegiatan, sarana prasarana, objek dan daya tarik, 
fasiltas penunjang, sarana lingkungan dan sebagainya.1
 Oleh 
karena itu, dalam pengembangannya harus memperhatikan 
terbinanya mutu lingkungan. Tata letak peruntukan perlu 
dilakukan untuk menghindari benturan antara kepentingan 
pariwisata dengan kepentingan pencagaran. Melalui zonasi 
yang baik keanekaragaman dapat terpelihara, sehingga 
wisatawan atau pengunjung dapat memilih rekreasi yang 
baik. Alur pengembangan pariwisata nasional dan kawasan 
pariwisata daerah dapat dilihat pada Gambar 1.1.Di lain pihak, A.Mathieson dan G.Wall yang dikutip 
Marpaung2
 menyatakan bahwa karakter suatu kawasan 
wisata dan penghuninya akan mempengaruhi kapasitas 
pengembangan dan pelayanan wisata dan akan berdampak 
terhadap kawasan atau komponen lingkungan yang 
berada di sekitarnya, seperti pada komponen (a) karakter 
dan sifat lingkungan alam (b) struktur pembangunan dan 
perkembangan ekonomi (c) struktur sosial budaya (d) 
struktur politik dan institusi dan (e) tingkat pengembangan 
dan perencanaan pariwisata. Pada sisi ini, basis pluralisme 
lokal menjadi layak untuk ditelaah lebih lanjut untuk 
desain pengembangan kebijakan kepariwisataan yang 
berkelanjutan. Pluralisme sebagai dasar pengembangan Pandangan positif efek kebijakan kepariwisataan 
menunjuk kepada 3 (tiga) hal penting yaitu, sumbangan 
sektor ini terhadap pemasukan devisa, penciptaan lapangan 
kerja, pengembangan usaha dan keterkaitan dengan sektor 
lain. Dalam aras makro, target pengembangan pariwisata 
yang dicanangkan dalam aras negara selalu dikaitkan 
dengan pemasukan devisa. Devisa dibutuhkan suatu negara 
dalam rangka menunjang program pembangunan di negara 
tersebut. Devisa yang masuk melalui sektor pariwisata 
akan menambah cadangan devisa negara. Jika pariwisata berkembang berarti negara memiliki cadangan devisa 
yang cukup untuk membiayai impor barang-barang modal 
dan bahan baku dalam rangka menunjang pengembangan 
sektor industri yang lain. Dari perspektif mikro, aktivitas 
pembangunan pariwisata menciptakan lapangan kerja baik 
secara langsung maupun tidak langsung. Penyerapan tenaga 
kerja bisa secara tidak langsung terjadi jika pengembangan 
sektor pariwisata mendorong perkembangan sektor 
lain di luar pariwisata. Allcock (2006) dan Tetsu (2006), 
berpendapat bahwa pariwisata juga dapat menjadi bagian 
integral pembangunan ekonomi suatu negara jika dapat 
menggerakkan sektor yang lain.3
 Keterkaitan antar sektor 
dapat dijelaskan sebagai akibat permintaan sektor pariwisata 
terhadap produk dari sektor lain. Selain itu dengan demikian 
maka perkembangan kegiatan pariwisata akan mendorong 
berkembangnya entrepreneur lokal. Para pengusaha lokal 
terlibat dengan membuka usaha sesuai dengan kebutuhan 
para wisatawan.
Kerangka penting untuk mengkonfirmasi efek positif 
di atas perlu ditelaah dalam prinsip negara kesejahteraan. 
Dalam konteks ini, negara kesejahteraan menjadi tujuan 
yang memang harus diusaha kan dan diperjuangkan semua 
pihak. Sehubungan dengan ini, diperlukan ancangan 
akademik yang serius untuk membaca fasilitasi hukum 
dalam pengembangan kebijakan kepariwisataan berbasis 
pluralisme lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan. 
ini memperoleh justifikasi dalam Rencana Pembangunan 
Jangka Panjang 2005-2025, yang antara lain mengatakan 
bahwa pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung 
terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
mengatur permasalahan yang berkaitan dengan eknomi, 
terutama dunia usaha dan dunia industri, serta menciptakan 
kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan 
hukum.4
B. Permasalahan
Penelitian dirancang untuk dilaksanakan dalam 2 (dua) 
tahun penelitian. Untuk tahun 1, fokus penelitian diarahkan 
kepada rekonstruksi dan analisis faktor-faktor penting yang 
berpengaruh signifikan terhadap kebijakan kepariwisataan 
berbasis pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif 
pemangku kepentingan yaitu pemerintah daerah. Sementara 
itu, untuk tahun 2, fokus penelitian yaitu  formulasi model 
kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk 
mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Untuk 
memberikan panduan dalam rangka analisis fokus penelitian 
tersebut, dirumuskan masalah sebagai berikut:
Tahun 1 : Bagaimanakah konstruksi dan analisis faktor-faktor 
yang mempengaruhi kebijakan kepariwisataan berbasis 
pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan 
daerah?
Tahun 2 : Bagaimanakah formulasi model kebijakan 
kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan 
negara kesejahteraan (welfare state)?
C. Tujuan Khusus
1. Menyajikan skema dan uraian yang memuat konstruksi 
dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan 
kepariwisataan berbasis pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan daerah.
2. Menyusun formulasi model kebijakan kepariwisataan 
berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan negara 
kesejahteraan (welfare state).
D. Temuan yang dihasilkan
Tahun 1
Uraian yang memuat konstruksi dan analisis faktor-faktor yang 
mempengaruhi kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme 
di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan daerah. Uraian 
ini diharapkan menyajikan paparan mengenai: (i) perspektif 
pemerintahan daerah dalam mensinergikan prinsip-prinsip 
hukum kepariwisataan internasional dan nasional yang 
berlaku dewasa ini untuk landasan kebijakan di daerah; 
(ii) perspektif pemerintahan dalam analisis faktor-faktor 
penting yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan 
kepariwisataan berbasis pluralisme lokal; dan (iii) perspektif 
pemerintahan daerah soal variabel kebijakan kepariwisataan 
berbasis pluralisme lokal yang dapat memperkuat manfaat 
terhadap komunitas sosial, ekonomi, budaya penduduk, dan 
lingkungan.
1. Aspek-aspek Penting Terkait dengan Pemerintahan 
dan Kewenangan
Usaha untuk mencapai tujuan negara sebagai organisasi 
kekuasaan6
, pemerintah menempati kedudukan yang 
istimewa. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya 
bahwa pemerintah diatur oleh hukum khusus yaitu hukumadministrasi sebagai instrumen pemerintah untuk secara 
aktif turut campur dalam kehidupan bersama warga 7
dan sekaligus hukum yang memberikan perlindungan 
kepada anggota kehidupan bersama itu.8
 Negara yaitu  
suatu organisasi warga  untuk mengatur kehidupan 
bersama. Untuk mencapai tujuan bersama itu disusun 
suatu tatanan pemerintahan sebagai sarana pelaksana 
tugas negara, beserta pembagian tugas dan batas 
kekuasaan. Pemerintah atau administrasi negara yaitu  
suatu abstraksi yang oleh hukum dipersonifikasi dan 
diangkat sebagai realita hukum.9
 Sebagai suatu abstraksi, 
pemerintah tidak dapat melakukan tindakan-tindakannya 
tanpa melalui organnya.10
11 Organ ini dikenal 
sebagai “jabatan” , yaitu pendukung hak dan kewajiban, 
sebagai subjek hukum (persoon) berwenang melakukan 
perbuatan hukum (rechtsdelingen) baik menurut hukum 
publik maupun menurut hukum privat. Ditambahkan 
bahwa jabatan dapat menjadi pihak dalam suatu 
perselisihan hukum (process party) baik di luar maupun 
pada pengadilan perdata dan administrasi.12
Dari segi hukum administrasi, pelaksanaan sebuah 
kebijakan diatur dalam norma-norma yang berhubungan 
dengan “wewenang pemerintah, pelaksanaan tugas 
pemerintahan, dan melindungi hak-hak administratif 
rakyat.”13 Dalam hal ini, ia berhubungan dengan 
peraturan-peraturan hukum publik “yang berkaitan 
dengan pemerintahan umum.”14
,
15
,
16 Walaupun menjadi 
domain pemerintah, yang mungkin dijauhkan dari 
pengadilan17, namun dalam pelaksanaan wewenang 
tadi diperlukan peraturan perundang-undangan dan 
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh badan18
administrasi.19 Indroharto mengambil kesimpulan bahwa 
ukuran yang harus dipakai yaitu  masalah berdasarkan 
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang 
dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintah. Oleh 
karena itu dapat dikatakan bahwa badan atau pejabat 
tata usaha negara yaitu  apa dan siapa saja berdasarkan 
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang 
dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintahan 
tanpa memandang aparat resmi dalam struktur hierarkis 
pemerintahan ataupun badan swasta. Dalam menetapkan 
suatu badan atau jabatan sebagai badan atau jabatan 
tata usaha negara yaitu  tidak relevan dengan mencari 
landasan pada masalah kedudukannya dalam struktur 
hierarki pemerintahan.20
Tentu saja aturan-aturan itu tidak hanya bersumber 
kepada hukum domestik saja, akan namun berkaitan juga 
dengan aturan-aturan hukum internasional.21 Landasan 
hukum internasional masih mencerminkan prinsipprinsip kedaulatan Westphalian, yang seringkali tampil 
sebagai mitos dan retorika. Dalam konsepsi ini, negara 
yaitu  area  fisik yang didefinisikan sebagai ruang 
“ within which domestic political authorities are the sole 
arbiters of legitimate behavior.”22 Negara dapat menjadibagian sistem hukum internasional dengan menyetujui 
peraturan tertentu. Demikian juga, negara dapat memilih 
untuk tetap menegaskan kedaulatan mereka sendiri dan 
menghindari keterlibatan internasional.23 Secara formal, 
kedaulatan Westphalia bukan saja hak untuk mandiri, untuk 
dikecualikan, terbebas dari campur tangan eksternal. Tapi 
juga hak untuk diakui sebagai subyek otonom dalam sistem 
internasional, mampu berinteraksi dengan negara lain dan 
menandatangani kesepakatan internasional.24 Dengan 
latar belakang pemahaman kedaulatan ini, sebuah sistem 
hukum internasional, yang meliputi negara-negara dan 
dibatasi oleh prinsip persetujuan negara, menampakkan 
eksistensinya.25
Perkembangan wewenang pemerintah dipengaruhi 
oleh karakteristik tugas yang dibebankan kepadanya. 
Tugas pemerintah yaitu  mengikuti tugas negara, yaitu 
menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai 
organisasi kekuasaan.26 Dalam khazanah ilmu-ilmu kenegaraan ada beberapa macam dari tugas negara. 
Mac Iver mengemukakan tiga tugas pemerintah dengan 
menggolongkan menjadi: (1) cultural function; (2) general 
welfare function; (3) economic control function.
27 Di antara 
beberapa pendapat sarjana yang dikemukakan di atas 
tidak ada perbedaan yang prinsip pada pengertian 
“kekuasaan” dan “wewenang”. Pertama: “kekuatan” 
menurut Utrecht sama dengan: “kekuasaan” menurut 
Soerjono Soekanto, yaitu kemampuan badan yang lebih 
tinggi untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak 
yang ada pada pemegang kekuasaan, biarpun kemampuan 
ini memiliki atau tidak memiliki dasar 
yang sah. Kedua: kekuasaan, (Bagir Manan dan Utrecht) 
sebagai hak yang sah untuk berbuat atau tidak berbuat. 
Ketiga, wewenang, Bagir Manan) yaitu kemampuan yang 
diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk melakukan 
tindakan tertentu yang dimaksud untuk menimbulkan 
akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Hak yaitu  kebebasan 
untuk melakukan (tidak melakukan) atau menuntut pihak 
lain untuk melakukan (tidak melakukan) tindakan tertentu. 
Pengertian ketiga yang paling relevan bagi negara hukum 
demokrasi yang memberikan keseimbangan antara hak 
dan kewajiban. 
Indroharto secara negatif merumuskan: “…tanpa 
adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu 
peraturan perundangundangan yang berlaku, maka 
segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki 
wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah 
keadaan atau posisi hukum warga warga nya”.28 Asas 
legalitas ditujukan untuk memberikan perlindungan 
kepada anggota warga  dari tindakan pemerintah. 
Dengan asas ini kekuasaan dan wewenang bertindak 
pemerintah sejak awal sudah dapat diprediksi (predictable). 
Wewenang pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan 
perundang-undangan memberikan kemudahan bagi 
warga  untuk mengetahuinya, sehingga warga  
dapat menyesuaikan dengan keadaan demikian.29
Indroharto mempersoalkan apakah asas legalitas dalam 
pengertian wetmatigheid van bestuur harus dilaksanakan 
secara mutlak. Mengingat berkembangnya konsepsi 
negara hukum modern yaitu  perpaduan antara 
konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Di dalam 
konsep ini tugas negara atau pemerintah menurut Bagir 
Manan tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan 
atau ketertiban warga  saja, namun memikul tanggung 
jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum 
dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.302. Kebijakan Penyelenggaraan Kepariwisataan
a. Kerangka Pemahaman Kebijakan Publik
Penelitian ini harus dipahami sebagai analisis kebijakan 
publik, yang dalam ini yaitu  pariwisata. Penciptaan 
dan promosi kebijakan publik terkait erat dengan peran 
yang dimainkan oleh pemerintah. Tidak ada kesepakatan 
konsensus mengenai konsep kebijakan publik. 
Beberapa penulis memahami kebijakan publik sebagai 
fenomena politik yang longgar31, yang lain sebagai 
instrumen politik32 dan penulis lain mendefinisikan 
kebijakan berdasarkan pada pemangku kepentingan.33
Wilson mengkategorikan pengertian kebijakan publik 
termasuk tindakan-tindakan pemerintah yang berhasil 
maupun mengalami kegagalan.34
Para ahli mendefinisikan kebijakan publik sebagai 
bagian dari aktivitas pemerintah yakni program yang 
dirumuskan oleh para aktor selaku pengambil keputusan 
untuk menyelesaikan masalah publik.35 Menurut Laswelldan Kaplan kebijakan publik yaitu  program yang 
diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilainilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu.36 sedang 
Easton mendefinisikan kebijakan publik sebagai 
akibat aktivitas pemerintah.37 Disisi lain, Anderson 
berpandangan bahwa kebijakan publik yaitu  
tindakan para aktor dalam menangani suatu masalah.38
Lester dan Steward mendefinisikan kebijakan publik 
sebagai proses atau pola aktivitas pemerintah maupun 
keputusan yang diranang untuk menangani masalah 
publik.39 Selanjutnya, Peters mendefinisikan kebijakan 
publik sebagai beberapa  aktivitas pemerintah yang 
secara langsung maupun melalui perantara memiliki 
pengaruh terhadap kehidupan warga  luas.40
Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai 
serangkaian keputusan yang diambil oleh aktor politik 
atau sekumpulan aktor dalam menentukan tujuan dan 
cara mencapai tujuan ini dalam berbagai situasi, 
secara prinsip memiliki kaitan dengan kekuasaan dan 
kekuatan para aktor dalam mencapai tujuan tersebut. 
kebijakan publik yaitu  bagian dari pemerintah, 
dan yaitu  keputusan yang dirumuskan oleh 
pemerintah untuk mencapai tujuan.41 Howlett danM.Ramesh mendefinisikan kebijakan publik sebagai 
fenomena yang kompleks mencakup pelbagai 
keputusan oleh beberapa individu dan organisasi.42
Berbagai definisi tentang kebijakan publik yang telah 
diuraikan menunjukan bahwa aktor menjadi kunci 
utama dalam kebijakan publik karena kewenangannya 
dalam merumuskan, mengimplementasi dan 
mengevaluasi kebijakan publik.
Wahab melanjutkan bahwa sebuah kebijakan 
publik memiliki empat karakter sebagai berikut. 
Pertama, kebijakan publik yaitu  tindakan yang 
sengaja dilakukan dan mengarah kepada tujuan 
tertentu. Kedua, kebijakan pada hakekatnya terdiri dari 
tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola. 
Ketiga, kebijakan yaitu  realitas tindakan pemerintah 
dalam bidang-bidang tertentu. Keempat, kebijakan 
publik mungkin berbentuk positif, mungkin berbentuk 
negatif.
Fenna mengusulkan klasifikasi kebijakan publik 
berdasarkan tema dan tujuan yang menjadi arah 
kebijakan.44 Penulis ini menyoroti (i) kebijakan yang 
terkait dengan produksi, yang difokuskan pada 
peningkatan aktivitas ekonomi dan standar hidup 
penduduk; (ii) kebijakan yang terkait dengan distribusi 
kekayaan dan peluang akses; (iii) kebijakan yang 
berkaitan dengan konsumsi barang, jasa dan sumber 
daya dengan hubungan yang erat dengan lingkungan; 
(iv) kebijakan yang terkait dengan identitas dan kewarganegaraan dan akhirnya, (v) kebijakan reflektif 
yang menjelaskan proses pelaksanaan kebijakan dan 
peraturan dan kendali mereka.
Analisis yang disajikan akan lebih dekat dengan 
jenis kebijakan pertama. Umumnya, ketika menjelaskan 
komponen kebijakan publik, sebagian besar penulis 
sepakat tentang menekankan peran lembaga 
pemerintah, keberadaan tujuan dan masalah, konteks 
atau lingkungan di mana kebijakan dikembangkan, 
aktor, penciptaan instrumen dan efeknya.45 Disiplin 
yang muncul dari studi kebijakan publik dicirikan oleh 
pertentangan antara teori dan penelitian.46 Meskipun 
ada banyak teori provokatif dan berpotensi penting, 
penelitian empiris yang sistematis untuk menguji 
mereka sebagian besar masih kurang.47 Banyak peneliti 
terdahulu fokus mengkaji aspek kebijakan pariwisata 
terkait dengan Rencana Induk Pengembangan 
Pariwisata Daerah (RIPPARDA) di negara kita  namun tidak 
lagi relevan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 
2009 tentang Kepariwisataan.48 Selanjutnya, beberapa peneliti terdahulu fokus mengkaji komunikasi, sumber 
daya, sikap dan disposisi pelaksana serta struktur 
birokrasi dari implementasi kebijakan kepariwisataan.49
Selain itu, penelitian kepariwisataan menyinggung 
isu ekonomi50, kegiatan pariwisata51, organisasi 
penyelenggara pariwisata52, peran serta warga 53
, dan pariwisata berkelanjutan.54
 Dilihat dari sudut alasan professional, maka 
penelitian kebijakan publik dimaksudkan untuk 
menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan 
guna memecahkan masalah sosial sehari-hari.55 Menurut 
Dunn56, analisis kebijakan bermula ketika politik 
praktis harus dilengkapi dengan pengetahuan agar 
dapat memecahkan masalah publik, India barangkali 
yaitu  asal muasal tradisi ini, ketika Kautilya 
sebagai penasihat kerajaan Mauyan di India Utara, 
menulis Arthashastra sekitar tahun 300 SM yang antara 
lain berisi tuntunan pembuatan kebijakan. sedang di 
Eropa, Plato (427- 327 SM) menjadi penasihat penguasa 
Sisilia, Aristoteles (384-322 SM) mengajar Alexander 
Agung hingga Nichollo Machiavelli (1469-1527) yang 
menjadi konsultan pribadi beberapa  bangsawan 
di Italia kuno. Analisis kebijakan mulai memeroleh 
tempat yang terhormat di abad pertengahan ketika 
munculnya profesi spesialis kebijakan. Ketika birokrasi 
muncul, profesi mereka dikenal sebagai pegawai 
negeri. Seiring perkembangannya, munculnya statistik 
membuat analisis kebijakan berkembang ketika advis 
dapat dikuantifikasi. Di Inggris-London Manchester muncul the statistical society.
57 Pada tahun 1910, A. 
Lawrence Lowell dalam pidatonya mengemukakan 
perlunya pendekatan empiris dalam studi politik. 
Pada tahun 1930 di Inggris, presiden 

Share:

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Postingan Populer

viewer

ABOUT US

Foto saya
saya mahluk lain asli cuma hanya sekedar asal asalan berpura pura menjadi penulis kecil kecilan saja tanpa tujuan tanpa arti ini tulisan sederhana yang tidak menarik tidak bisa dipahami terlalu berbelit Belit

SEARCH

Translate