Home »
penjajahan di indonesia
» penjajahan di indonesia
penjajahan di indonesia
Berdirinya Batavia tidak terlepas dari sejarah
munculnya pelabuhan Sunda Kalapa. Pelabuhan
Sunda Kalapa merupakan pelabuhan kerajaan
Sunda atau kerajaan Pajajaran. Menurut berita
Tome Pires Pelabuhan Sunda Kalapa adalah
pelabuhan yang sangat penting di Jawa Barat.
Karena merupakan tempat berlabuh dan singgang
pedagang-pedagang dari Palembang, Malaka,
Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, dan lain-lainya
Pada tanggal 21 Agustus 1522 diadakanlah
perjanjian persahabatan antara Kerajaan
Pajajaran dan orang-orang Portugis. Isinya
perjanjian adalah orang-orang Portugis boleh
mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kalapa
dan Kerajaan Pajajaran akan menerima barangbarang atau bahan-bahan yang dibutuhkannya.
Persahabatan antara Portugis dan Kerajaan
Pajajaran merupakan ancaman bagi Kesultanan
Demak. Seperti yang diketahui Kerajaan
Pajajaran adalah Kerajaan Hindu. Dan Portugis
adalah Khatolik sedangkan dalam pelayaran
dunia, Portugis membawa misi Gold, Glory,
Gospel. Dimana Gospel adalah penyebaran
agama Khatolik. Ini adalah ancaman bagi
Kesultanan Demak, karena Kerajaan Demak juga
memiliki misi menyebarkan Islam di Banten dan
Cirebon.
Pada masa Kesultanan Demak Sultan
Trenggono, beliau mengutus Fatahilah atau nama
lainnya adalah Falatehan untuk merebut
pelabuhan Sunda Kalapa. Sebelum benteng
Portugis didirikan, Fatahillah dan kaum muslimin
sudah dapat merebut pelabuhan Sunda Kalapa.
Sunda Kalapa berganti nama menjadi Jayakarta
atau kota kemenangan. Menurut Prof. Dr.
Soekanto peristiwa itu terjadi pada tanggal 22
juni 1527. Sehingga hingga sekarang peringatan
lahirnya kota Jakarta tetap diperingati pada
tanggal 22 Juni 1527 ,
Fatahillah sendiri tidak memimpin Jayakarta
secara langsung tetapi diserahkan ke Tubagus
Angke. Kemudian dari Tubagus Angke
pemerintahan atas kabupatian Jayakarta atau
Jakrata diserakan kepada puteranya bernama
Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Pada waktu
orang-orang Belanda datang, Jayakarta atau
Jakarta masuk dalam wilayah Karajaan Banten.
Hal ini diperkuat oleh berita bahwa Pangeran
Jayakarta membawa persembahan upeti ketika
berkunjung ke Banten. Jakarta sudah sejak lama
diincar oleh VOC. Karena letaknya yang strategis
di Selat Sunda dan tidak begitu jauh dari Selat
Malaka. VOC memang sudah memiliki kantor
dagang di Banten tetapi kedudukan Kesulatanan
Banten pada saat itu masih saat kuat makanya
VOC menjatuhkan pilihan di Jayakarta atau
Jakarta karena letaknya yang dekat dengan muara
Sungai Ciliwung. VOC berkeinginan untuk
mendirikan kantor dagang di Jayakarta atau
Jakarta, tetapi izin ini ditolak. Akan tetapi diamdiam VOC dengan cara licik membuat gudang
yang kokoh dan dan kuat yang dapat dijadikan
loji atau benteng. Kedua loji tersebut dinamakan
Nassau dan Mauritius (Sagimun, 1988: 63).
Karena tidak minta izin atau persetujuan dari
penguasa dari Jayakarta maka hubungan antara
orang-orang Belanda dan pangeran Jayakarta
Wijayakrama menjadi renggang. Pada saat itu,
datanglah armada Inggris.
Pangeran Jayakarta Wijayakrama dibantu orangorang Inggris sedangkan Jan Pieterszoon Coen
terpaksa meninggalkan Jakarta untuk meminta
bantuan pasukan VOC di Kepulauan Maluku.
Selama peperangan pihak VOC mendapatkan
keuntungan karena orang-orang Banten, orangorang Jakarta, dan Inggris tidak bersatu. Perang
tersebut dimenangkan oleh pihak VOC atau
Kompeni Belanda. VOC atau Kompeni Belanda
telah menguasai Jayakarta sepenuhnya yang
dijadikan sebagai pusat kekuatan VOC. Jan
Pieterszoon Coen menghendaki agar daerah yang
direbutnya menjadi sebuah kota Belanda. Jan
Pieterszoon Coen menamakan kota itu “Nieuw
Hoorn” artinya kota Hoorn Baru. Jan Pieterszoon
Coen dilahirkan di kota Hoorn di negeri Belanda
pada tahun 1587. Jadi, Jan Pieterszoon Coen
hendak menamakan tempat yang direbutnya itu
menurut kota kelahirannya dan menamakan kota
itu Nieuw Hoorn
Penetapan Batavia Sebagai Markas Besar
VOC di Sebelah Barat Pantai Utara Jawa
Sebelum kedatangan VOC ke Nusantara,
sebenarnya sudah terjadi suatu perdagangan
internasional dengan sistem terbuka yaitu
peraturan jual-bel, proses penawaran, penentuan
harga, kesemuanya telah mengikuti pola atau
sistem yang berlaku. Rempah-rempah tetap
menempati sebagai prioritas komoditi utama
tetapi tidak terpisah dengan perdagangan beras,
lada, kain, dan komoditi lainnya.
Dalam jaringan transaksi dan transportasi
komoditi-komoditi tersebut, dengan teknologi
navigasi dari zaman itu maka dua basis
pemusatan perdagangan dan pelayaran ternyata
mempunyai fungsi yang sangat strategis sekali.
Garis Malaka-Maluku memang secara struktural
merupakan sistem yang berfungsi secara optimal.
Tumbuhlah dalam sistem itu subsistem-subsistem
dengan pusat-pusat kecil sebagai pendukung dan
komplemennya. Dalam usahanya VOC berusaha
menduduki Maluku dahulu dan Malaka kemudian
serta alternatif lain sebagai pengganti Malaka
adalah Batavia. Dari semula VOC kesulitan
menghadapi menerobos sistem perdagangan yang
berlaku. Dengan kontrak-kontrak hendak
diperoleh monopoli namun selama tidak ada
dukungan kekuatan politik, tidak dapat berjalan
pelaksanaannya. Di kalangan VOC sendiri
banyak yang menentang penggunaan kekerasan
Usaha yang dilakukan VOC adalah mengalihkan
kegiatan perdagangan komoditi di Asia
(Haalhandel) yaitu perdagangan tidak hanya di
komoditi rempah-rempah saja tetapi ke komoditi
lain seperti beras, kain, dan lada. Selain itu VOC
mencoba menarik perdagangan pribumi dan
bangsa Asia ke pusat-pusat yang dikuasainya,
seperti Batavia dan Ambon, dengan tujuan
menarik pajak dam keuntungan lainnya.
Kemenangan Belanda atas Maluku dan Nusa
Tenggara (1613) dan menjelang penyerahan
Malaka (1614), membuat kekuasaan Inggris
hanya memilki satu loji di Banten, sehingga
hanya ada tiga kekuasaan yang perlu di hadapi
yaitu Makassar, Aceh, dan Mataram. Ketiga
kekuasaan itu juga leluasa menjalankan
konsolidasinya dan ekspansinya, walaupun
konfrontasi tidak dapat dihindari seperti
serangan Batavia pada tahun 1627-1628.
Banten yang basis terdekat dengan VOC di
Batavia segera mengalami kemunduran yang
disebabkan politk monopoli VOC. Hubungan
perdagangan antara Banten dan Malaka
sebelumnya sangat baik, rempah-rempah dan
lada diambil di Banten dan pakaian dijual di
tempat itu oleh Portugis. Namun sewaktu Ambon
dan Banda diblokade oleh Belanda, perdagangan
rempah-rempah menyusut sekali sedangkanpermintaan akan bahan pakaian sangat terbatas.
Sedangkan perdagangan Indonesia bagain barat
berpusat di Aceh, sedang monopoli rempahrempah yang semakin ketat memindahkan pusat
pemasaran rempah-rempah di Makassar,
perdagangan bahan pakaian dari Gujarat
menyusut sekali karena rakyat mulai menenun
sendiri
Penetrasi VOC dalam jaringan perdagangan
Nusantara bagian pertama abad XVII
menghadapi cukup banyak persaingan, baik
pedagang dari dari Nusantara hingga pedagang
luar Nusantara, seperti : Gujarat, Keling,
Benggali, dan Cina. Komoditi yang mereka
kuasai ternyata mempunyai nilai tukar tinggi di
Indonesia maka haanhandel ternyata sangat
menguntungkan, sering melebihi perdagangan
rempah-rempahnya. Kedua jenis perdagangan
tersebut terjalin erat satu sama lain sehingga
politik monopoli VOC dalam rempah-rempah
mau tidak mau diperluas mencakup komoditikomoditi dari perdagangan Asia
Persaingan yang cukup sengit dan ketat dalam
aktivitas pelayaran dan perdagangan di Nusantara
pada paruh pertama abad ke-17, membuat
pemimpin VOC di Maluku berencana untuk
menetapkan kebijakan yang besar dan cukup
strategis bagi perkmbangan VOC. Kebijakan
tersbut adalah memindahkan pusat dan markas
dagang VOC, dari wilayah Timur menuju
wilayah Barat. Rencana memindahkan pangkalan
dan pusat dagang VOC dari Maluku menuju
pulau Jawa, dan kemudian pilihan dijatuhkan ke
wilayah Batavia, sebuah wilayah disebelah barat
pesisir pantai utara Jawa.
Sebelum membuat keputusan pemindahan
Markas besar VOC dari Maluku ke Batavia. Pasti
Jan Pieterszoon Coen telah memikirkan secara
matang apa yang akan dilakukannya. Karena ini
tidak hanya berbicara tentang perdagangan atau
pun keuntungan secara materi tetapi dia ingin
mengembangkan emporium itu menjadi
imperium. Di mana kekuasaan VOC tidak hanya
sebatas perdagangan tetapi juga kekuasaan dan
sebagai pelopor pertama kekuasaaan di atas
kerajaan-kerajaan Nusantara yang sebelumnya
telah berkuasa di Nusantara. Alasan pertama
yang membuat Jan Pieterszoon Coen memilih
Batavia adalah Maluku walaupun sebagai pusat
produksi rempah-rempah tapi lambat laun
komoditas yang populer seperti Cengkih dan Pala
mengalami penurunan atau yang di sebut sebagai
mono produksi sedangkan di Pulau Jawa Sendiri
selain daerahnya subur sebagai pertanian. Di
Jawa terdapat komoditas beras yang tidak kalah
pentingnya dengan komoditas Cengkih dan Pala.
Tanaman yang bisa ditanam di Jawa tidak hanya
beras tetapi juga berkembang yaitu teh, kopi dan
gula. Pada periode-periode selanjutnya komoditi
ini juga merupakan komoditi utama bagi
perdagangan VOC. Beragam komoditas ini
disebut multi comodity. Juga di Pulau Jawa
banyak sekali pedagang-pedagang Islam yang
melakukan perdagangan internasional di mana
jika tumbuh suatu lokasi pertumbuhan kegiatan
perdagangan di pelabuhan-pelabuhan maka
dengan sendirinya terjadi transaksi perdagangan
internasional.
Keadaan laut dan angin juga mendukung
perpindahan Markas besar VOC tersebut. Kalau
saya bisa jelaskan, keadaan laut di sekitar Laut
Jawa adalah laut dangkal berbeda sekali dengan
keadaan di Laut Arafuru yaitu laut dalam.
Keadaan ini juga mempengaruhi pelayaran
terutama keadaan kapal-kapal VOC dalam
mengangkut barang komoditi di lautan
Nusantara. Karena kapal-kapal tersebut bukan
hanya sebagai alat pengangkut tetapi ada juga
biaya perawatan dari kapal-kapal tersebut. Yang
sebagian besar perawatan kapal-kapal VOC
dilakukan di Pulau Onrust.
Walaupun VOC memiliki faktorai di Banten
sejak 1603 serta perdagangannya ramai tetapi
kondisi temapat itu tidak menguntungkan.
Pertama, keadaan keamanan sangat
menyedihkan, banyak terjadi pencurian,
perampok, dan pembunuhan. Kedua, kehadiran
Inggris dan Portugis di tempat itu menimbulkan
hubungan politik yang kompleks sehingga sering
terjadi bentrokan. Gubernur pertama VOC 1609
Pieter Both berusaha melaksanakan rencana
konsentrasi pemerintahan VOC, dengan minta
izin dari Pangeran Jakarta untuk membangun
suatu benteng dengan yurisdiksi sendiri dan
bebas dari bea cukai. Persetujuan dari Heren
XVII tertunda-tunda saja oleh karena
pertimbangan yang pokok sekali bahwa pendirian
benteng di Jakarta itu tidak menimbulkan
permusuhan dari pihak Banten
Pendirian emporium di Jakarta oleh VOC perlu
diterangkan dengan latar belakang percaturan
politik yang berkaitan dengan hubungan
multilateral antara kerajaan-kerajaan dan badan-badan perdagangan asing. Antagonisme antara
Banten dan Mataram selama bagian awal abad
XVII sangat kuat sehingga tidak terjadi
pendekatan maupun aliansi. Keadaan ini justru
menguntungkan pihak VOC sebagai lawan
mereka.
Status Vasal bagi Jakarta terhadap Banten
membuat Jakarta punya kewenangan sendiri
untuk mengadakan kerjasama kontrak sendiri
dengan kompeni atau badan perdagangan asing.
Dalam diri Pangeran Jakarta ada rasa iri atas
kemajuan Banten sehingga dia mengizinkan
untuk VOC mendirikan loji di wilayah Jakarta,
supaya daerah dia menjadi ramai dan
mendapatkan keuntungan. Makanya pedagang
Inggris juga boleh mendirikan loji di sana. Untuk
menjaga prinsip perdagangan terbuka, maka dia
tidak menginginkan terjadinya persaingan dan
dominasi antar pedagang asing, maka dia tidak
mengizinkan VOC mendirikan Benteng. Padahal
Jan Pieterszoon Coen berpikir jika membangun
benteng maka tidak hanya melindungi
perdagangannya tetapi juga menjadi basis politik
utnutk memepertahankan kedudukananya dalam
menghadapi keadaan darurat atau krisis politik.
Dengan adanya Inggris di Banten menyebabkan
VOC harus mencari lokasi baru untuk kantor
pusat. Karena di Banten sering terjadi insiden
antara anak buah Kompeni dan orang Inggris.
Pada tahun 1617 dua kapal Inggris disita oleh
VOC di Maluku dimana perdagangan rempahrempah ditutup bagi bangsa Inggris. Pendirian
loji Inggris yang terletak di seberang menyebrang
sungai Ciliwung merupakan “duri di mata”
Kompeni ,
Dari alasan-alasan inilah Jan Pieterszoon Coen
telah berpikir jauh ke depan. Beliau ingin bukan
hanya mendirikan emporium dalam hal
perdagangan tetapi juga ingin memperkuat
kedudukan Batavia. Pendirian emporium yaitu
dari hanya berupa loji lalu dia minta didirikan
benteng dan lama-kelamaan menjadi Castil
Batavia dan akhirnya menjadi Stad Batavia. Dari
situlah Jan Pieterszoon Coen berpikir bukan
hanya ingin menguasai perdagangan tetapi
sebagai peletak dasar kekuasaan yang ada di
Batavia. Perubahan dari emporium menjadi
imperium yaitu bahwa kekuasaan VOC bukan
hanya memonopoli perdagangan saja tetapi juga
lama kelamaan ingin menguasai raja-raja di
Nusantara. Secara tidak langsung Jan Pieterszoon
Coen seperti mendirikan Negara baru di wilayah
Nusantara walaupun masih di bawah
pemerintahan Kerajaan Belanda. Ini terbukti
dengan pengahancuran sistem perdagangan
pelabuhan-pelabuhan yang ada di Jawa dan
Blokade terhadap pelabuhan yang ada di Banten
maupun di Makassar. VOC datang ke Nusantara
bukan hanya untuk sekedar berdagang tetapi
memonopoli semua perdagangan di Nusantara
dan lambat laun menguasai kerajaan-kerajaan
yang ada di Nusantara.
Kebijakan Politik dan Ekonomi JP. Coen
Dalam Memperkuat Posisi Batavia
1. Memperbanyak Aktivitas Pelayaran dan
Perdagangan di Pelabuhan Sunda Kalapa
Salah satu prasasti Purnawarwan raja
Tarumanagara, yang ditemukan di desa Tugu,
Jakarta Utara, mengisyaratkan tentang adanya
“Kota” di daerah pantai utara Jawa Barat sekitar
perairan Teluk Jakarta Beritaberita Cina yang berasal dari masa pertengahan
abad V sampai abad VII telah menyebutkan pula
adanya hubungan antara Cina dengan kerajaankerajaan di Jawa Barat, yaitu Ho-lo-t’o atau Holo-tan, dan To-lo-mo ,Berdasarkan berita Cina tersebut, diduga di
daerah pantai utara Jawa Barat telah terdapat
tempat-tempat yang menjadi pusat pelayaran dan
perdagangan, salah satunya adalah Sunda Kalapa.
Letak geografisnya yang sangat strategis di
daerah dekat jalur pelayaran kawasan barat
(India) dan kawasan timur (Cina), menyebabkan
beberapa tempat di daerah pantai utara Jawa
Barat telah berkembang dengan pesat menjadi
kota-kota pelabuhan yang besar dan penting serta
ikut berperan dalam perdagangan di Jalur Sutera.
Sumber utama mengenai pelabuhan Sunda
Kalapa terutama diperoleh dari sumber-sumber
Eropa, khususnya sumber Portugis. Sumber
Portugis ini yaitu laporan kejadian Tome Pires
yang ditulis di Malaka dan India tahun 1512-
1515, berjudul Suma Oriental. Berisi pelaporan
atau kisah perjalanan ke Asia, dari daerah sekitar
Laut Merah sampai ke Jepang. Pada tahun 1513
Tome Pires sampai di Jawa dan menyusuri pantai
utara, serta singgah di beberapa pelabuhan.
Uraian mengenai Jawa (ylha de Jaoa) Tome Pires
memulainya dengan uraian tentang Sunda
(Cumda). Uraiannya sangat rinci, meliputi
keadaan daerah, kota-kota dan pelabuhan,
perdagangan dan hasil bumi, kehidupan
masyarakat dan pemerintahan. Berdasarkan pemberitaan Tome Pires ini kita mengetahui
bahwa Kerajaan Sunda beribukota Dayo
(Dayeuh) yang terletak di pedalaman, dan dapat
ditempuh melalui perjalanan selama dua hari dari
pelabuhan Calapa. Tome Pires menyebutkan
pula pada waktu itu kerajaan Sunda telah
memiliki enam buah pelabuhan, yaitu: Bamtam
(Banten), Pomdam (Pontang), Chegujde
(Cigede), Tamgaram (Tanggerang), Calapa
(Kalapa), dan Chemano (Cimanuk). Tome Pires
melukiskan kota pelabuhan Kalapa sebagai
pelabuhan utama yang sangat megah dan paling
baik diantara pelabuhan-pelabuhan yang lain.
Pelabuhan ini dikelola dengan baik oleh suatu
pemerintahan lokal di bawah kekuasaan seorang
Syahbandar (Cortessao, 1944: 166).
Pada masa Kerajaan Sunda pelabuhan Sunda
Kalapa sudah menjadi pelabuhan utama. Ibukota
kerajaan ini, Pakuan Pajajaran, terletak di
Batutulis (Bogor) dan pada masa itu dapat
dicapai dalam dua hari perjalanan dengan
menyusuri Ciliwung. Sunda Kalapa dikunjungi
kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura,
Malaka, Makassar, dan Madura, bahkan oleh
pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan,
dan Kepulauan Ryuku (kini Jepang). Sunda
Kalapa mengekspor antara lain lada, pala, beras,
dan juga emas, seperti juga cula badak ke
Tiongkok ,
Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan pelabuhan
yang menakjubkan dan yang terpenting di antara
pelabuhan lainnya. Perjalanan ke Pelabuhan
Sunda Kalapa memakan waktu dua hari dari Kota
Dayo (Pakuan Pajajaran) di masa Sang Raja
Selalu Tinggal. Karena itulah, pelabuhan ini
dianggap yang terpenting. Pelabuhan ini hampir
menyatu dengan Negeri Jawa, namun Cimanuk
memisahkan mereka. Perjalanan dari Cimanuk ke
pelabuhan ini memakan waktu sehari semalam
dengan angin ynag baik. Komoditas dagang dari
seluruh penjuru kerajaan di bawa ke pelabuhan
ini. Tempat ini dikelola dengan baik; dengan
adanya hakim, peradilan, dan juru tulis.
Dikabarkan bahwa [peraturan] di kota ini telah
[dicantumkan] dalam tulisan, [sebagai contoh]
seseorang yang melakukan perbuatan A akan
dikenakan B dan seterusnya sesuai hukum
kerajaan. Banyak Jung yang merapat ke
pelabuhan ini ,
Menjelang masa akhir kerajaan Sunda terjadi
peristiwa penting yaitu perjanjian antara pihak
Portugis dan Sunda. Perjanjian ini ditandatangani
pada tanggal 21 Agustus 1522. Isinya ialah
kesepakatan pihak Portugis untuk membantu
kerajaan Sunda jika sewaktu-waktu Sunda
diserang oleh orang-orang Islam. Sebaliknya
sebagai imbalan pihak Sunda menjanjikan
Portugis mendirikan benteng di Bandar Banten,
dan diberi hak untuk memperoleh lada sebanyak
350 kuintal setiap tahunnya. Saksi dari pihak
Sunda adalah ‘Padam Tumungo, Ssamgydepati et
Bemgar, yakni Paduka Tumenggung, Sang
Adipati dan Syahbandar dari Sunda Kalapa dan
dari pihak Portugis delapan orang. Perjanjian itu
(tidak ditandatangani oleh pihak Sunda , tetapi)
disahkan menurut adat dengan mengadakan
selamatan ,
Walaupun sudah ditetapkan bahwa benteng
Portugis berdasarkan perjanjian tersebut akan
dibangun di Banten tetapi kemudian mereka
memilih Kalapa sebagai tempat yang cocok
untuk pendirian benteng itu. Sehubungan dengan
perjanjian antara Portugis dan kerajaan Sunda
pada tahun 1522, seorang ahli sejarah dari
Perancis Claude Guillot, telah menulis sebuah
artikel berjudul “Le necessaire relecture de
I’accord Iuso-sundanais de 1522”, yang dimuat
dalam majalah Archipel, 42, 1991:53-77. Di
dalam artikelnya ini Guillot mengemukakan
sanggahannya terhadap anggapan para ahli
sejarah selama ini, yaitu bahwa perjanjian 1522
antara Portugis dan Sunda itu tidak diadakan di
Sunda Kalapa, dan tugu padrao tidak
dipancangkan di Sunda Kalapa. Ke-empat alasan
Guillot tersebut mendapat sanggahan dari Pater
Adolf Heuken, berdasarkan telaah-ulang atas
dokumen-dokumen Portugis yang berkaitan
dengan masalah Perjanjian Sunda – Portugis
tahun 1522. Untuk melengkapi sanggahannya
yang Pater Adolf Heuken melakukan pula
penelaahan terhadap peta-peta kuno Portugis
maupun Belanda dari masa sekitar abad XVI .
Dengan tercapainya persetujuan antara Portugis
dengan kerajaan Sunda, berarti Portugis
berkesempatan meluaskan kekuasaannya sampai
pulau Jawa. Hal itu akan merugikan monopoli
dagang Demak di pelabuhan pantai utara Jawa
dan membahayakan kesultanan Demak. Oleh
karena itu, maka sebelum Portugis berhasil
mendirikan benteng di pelabuhan Sunda, yaitu
Kalapa, pelabuhan itu harus direbut lebih dahulu
oleh pasukan bersenjata Demak ,Langkah awal yang dilakukan VOC untuk
membangun jaringan perdagangannya adalah
mengangkat Jan Pieterszoon Coen dari kota
Hoorn Belanda sebagai Kepala Tata Buku
(Akuntan) VOC yang diberi wewenang atas
kantor dagang VOC di Banten dan Jayakarta. J.P.
Coen yang menaruh perhatian besar terhadap
Jayakarta dan berusaha untuk menjadikan tempat
ini sebagai pusat kegiatan perdagangan VOC di
pulau Jawa ,
Potensi dan nilai ekonomis yang dimiliki oleh
wilayah Batavia, ternyata tidak hanya dilihat oleh
VOC saja, akan tetapi pihak kongsi dagang
Inggris (EIC) juga melihat potensi tersebut.
J.P.Coen sebagai pimpinan VOC saat itu
merumuskan dua langkah utama agar dapat
menguasai dan mengamankan posisi mereka di
Batavia, dari ancaman EIC dan penguasa Batavia
saat itu (Pangeran Wijayakrama). Langkah
pertama yang dilakukan J.P.Coen adalah
mendapatkan izin dar penguasa Batavia untuk
mendirikan kantor dagang di wilayah Batavia,
kemudian langkah berikutnya ialah mendirikan
benteng sebagai pertahanan militer untuk
mengamankan segala asset yang dimiliki oleh
VOC di Batavia. Keberadaan benteng inilah yang
kelak menjadi awal keberatan dari Pangeran
Wijayakrama selaku penguasa Batavia, dan
memunculkan ketegangan antara VOC dengan
Pangeran Wijayakrama ,
2. Merevitalisasi Pulau-Pulau di Utara
Batavia (Bagi Kepentingan Perdagangan
dan Militer)
Pulau-pulau yang berada dalam wilayah
administratif Kepulauan Seribu memiliki peranan
yang besar dalam kegiatan perdagangan VOC.
Pulau yang paling penting dalam membantu
kegiatan perdagangan VOC adalah Pulau Kapal
(Onrust).
Di sekitar pulau-pulau ini Jan Pieterszoon Coen
menyusun gelar armadanya pada tahun 1618
untuk menahan serangan armada Inggris di
bawah komando Sir Thomas Dale. Beberapa
tahun sebelum Batavia didirikan, Pulau Onrust
telah dipergunakan untuk memperbaiki kapalkapal Kompeni (1615). Sesudah beberapa bulan
berlayar dari Eropa ke Jawa, atau dari India,
Jepang dan Ambon ke Batavia kapal-kapal perlu
di tarik ke pantai, dimiringkan, dan ditambal dan
papan-papan yang tidak lagi kuat diganti. Dalam
rumah sakit kecil awak kapal yang jatuh sakit
dirawat ,
Setelah periode pergantian gubernur jenderal
VOC sekitar tahun pertengahan abad 17 banyak
meriam-meriam yang ditempatkan di panatai dan
sebuah kubu dibangun. Tahun 1671 diganti
dengan Benteng Bekhuis. Artileri ditempatkan di
pulau-pulau sekitarnya untuk melindungi kapalkapal yang sedang diperbaiki maupun muatan
kapal yang berharga terhadap serangan kapal
Prancis di bawah Komando Francois Caron dan
perompak-perompak lainnya. Daerah di dalam
tembok banyak dipenuhi dengan macam-macam
gedung, sehingga praktis tidka mungkin membela
dermaga ini. Mudah dimengerti bahwa Pulau
Onrust sangant penting bagi perdagangan VOC
yang hampir sepenuhnya mengandalkan kapal
layar. Kesan yang diperoleh tempat ini memang
kecil tapi sangat ramai dan sibuk.
Peranan besar dari Pulau Onrust juga pernah
dibicarakan oleh James Cook (Inggris) yang
memuji tukang-tukang kayu yang terampil yang
bekerja di Onrust. Kapal Endeavor milik James
Cook pernah diperbaiki pada saat perjalanan
mengelilingi dunia tahun 1770. Di Pulau Onrust
juga terdapat sebuah gereja kecil (1772), yang
fondasinya masih dapat ditunjukan oleh penjaga.
Dapat dilihat pula tempat bekas tiga derek, dua
kilang gergaji serta sebuah gudang mesiu
meriam. Beberapa gudang besar menyimpan
bahan pemberat, yang dperlukan oleh kapal-kapl
layar seperti contoh kayu, tembaga dari Jepang,
sendawa dan timah.
Pulau-pulau lain di sekitar Onrust yang memiliki
peranan dan sejarah yang sama yaitu Pulau
Kahyangan (Cipier). Dahulu ada sebuah dermaga
panjang dari Pulau Kahyangan (Cipier) ke arah
Pulau Onrust. Di Pulau Kahyangan (Cipier) ini
terdapat juga fondasi sebuah benteng bundar
besar dan empat meriam kapal yang digali dari
pasir pantainya. Di pulau itu pada dahulu kala
disimpan barang muatan kapal yang sedang
diperbaiki di Onrust. Di Pulau itu juga terdapat
banyak meriam kuno. Sisa tembok-tembok di
pulau ini termasuk bekas bangunan sebuah
penjara dari masa yang lampau. Di sana terdapat
sisa-sisa sebuah sel, yang lazimnya digunakan
untuk melaksanakan hukuman mati. Pulau ini
memiliki sebuah sumur alam yang manis airnya .
Pulau Kelor atau Onrust Inggris memiliki
reruntuhan sebuah benteng bundar dengan
tembok yang kuat. Pulau yang disebut juga
“Kerkop”, terdapat banyak makam yang semakin
dikikis oleh ombak, sehingga tulang belulang
terangkat dan berserakan. Pulau Bidadari atau
Pulau Sakit (Purmerend) terdapat sisa sebuah
menara besar bundar yang kuat. Pintu masuk di
lantai dua dan bekas-bekas kolong besar, yang
digunakan sebagai gudang mesiu dan dapat
dimasuki. Menara yang besar ini dibuat sekiar
abad ke-19. Di atas menara ditempatkan meriammeriam. Kalau sekarang puing menar ini
dikelilingi taman yang indah. Tahun 1679 pulau
ini pernah menjadi Rumah Sakit bagi para
penderita Kusta yang sebelumnya rumah sakit
tersebut berada di Angke. Dan setelah beratusratus tahun Pulau Bidadari di sulap menjadi
tempat wisata, walaupun masih ada beberapa
nisan di sana tapi banyak tulang dan kerangka
yang dikumpulkan dan di bawa ke Pulau Kelor
Pulau Damar atau Pulau Edam pada tahun 1881
masih terdapat mercusuar yang bisa terlihat dari
jauh bahkan dari Bandar Udara Soekarno Hatta
Cengkareng. Fungsi pulau ini adalah sebagai
stasiun radar untuk memandu pesawat terbang
ynag menuju Bandar Udara Kemayoran. Saat
Gibernur Jendral Campuijs mendirikan rumah
bagus bertingkat dua. Pulau Edam dijadikan
tempat peristirahatan karena hobi dari Campuijs
yang menanam bonsai di antara batu-batu wada,
meamsang jembatan-jembatan kecil dan air
terjun. Sehingga orang-orang pernah
mengaanngap Pulau Edam sebagai salah satu
pulau yang menyenangkan di dunia (1682).
Setelah berganti gubernur jendral Van Riebeck
(1705), fungsi Pulau Edam lebih kepada bengekel
pembuatan tambang dan penggergajian kayu,
tempat para tawanan menjalani kerja paksa .
3. Kebijakan Politik Pintu Terbuka Bagi
Pedagang dan Pendatang Tionghoa
Pada awal abad ke-17, sebelum kolonialis
Belanda datang ke Nusantara, bangsa Indonesia
dengan Cina telah terlibat dalam hubungan
perdagangan yang dimulai saat dinasti Han
(206SM-220M). Pada masa ini, Tiongkok telah
membuka jalur perdagangan dengan negaranegar yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Dalam hal ini, Jawa dan Sumatera termasuk
dalam jalur pelayaran tersebut. Lambat laun,
banyak penduduk Cina yang bermigrasi ke
kepulauan Nusantara, karena daerah Nusantara
sangat subur dibandingkan dengan negeri
Tiongkok yang tandus dan kerap terjadi
peperangan dan bencana alam.
Sebagian besar imigran Cina adalah laki-laki dan
mereka tidak membawa istri dari negeri asalnya,
maka mereka pun menikah dengan wanita
setempat. Imigran Cina ini kemudian bermukim
sampai beberapa generasi dan tidak pernah
kembali ke negeri asal mereka. Oleh karena itu,
muncullah etnis Tionghoa peranakan yang
kemudian merasa menjadi orang Indonesia, sebab
meraka lahir, besar, bekerja dan meninggal di
bumi Nusantara, bahkan sebagian besar mereka
tidak bisa berbahasa Cina, serta mengganggap
Nusantara sebagai tanah airnya sendiri.
Hubungan antara kedua bangsa semakin erat
semenjak adanya kunjungan Panglima Cheng Ho
ke Nusantara pada abad ke-15. Pada saat itu
Cheng Ho menegmban misi dari Kaisar Cheng
Zhu untuk menjalankan politik kerukunan dan
persahabatan dengan bangsa-bangsa asing,
termasuk Nusantara. Pada saat kedatangan
Panglima Cheng Ho yang pertama, sudah banyak
terdapat warga etnis Cina di Pulau jawa, Sumatra,
dan kaliamnatan. Pada akhir masa diansti Ming
(1368-1644) dan awal dinasti Ch’ing (1644-
1911) jumlah imigran Cina yang datang ke
Nusantara semakin bertambah. Hal ini
disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu
terhadap dinasti Ming, sehingga banayak
penduduk Cina yang bermigrasi menghindari
peperangan (Wijayakusuma, 2005:8).
Imigrasi orang Cina pertama secara alami berasal
dari Hokkien Provinsi Hukien di Cina Selatan
dan mendarat di Jawa dari Pelabuahan kota
Amoy. Para imigran berbicara dialek Hokien dan
bahasanya, tata cara serta tradisi budaya yang
lama kelamaan menyatu dengan tradisi penduduk
lokal. Pengaruh budaya Hokkien terdapat pada
budaya Betawi yang diidentifikasikan dalam
“Bahasa Betawi” (bahasa ibu dari oarang-orang
Jakarta) terutama dalam hal kata-kata yang
berhubungan dengan makanan dan peralatan
makan lokal. Aspek dari budaya Hokkien utnutk
beberapa tingkatan bisa dikenali dalam budaya
peranakan di Jawa ,
Pemukiman Cina secara resmi berada di Batavia,
dan terletak di timur sungai Ciliwung dan secara
administrasi dipimpin oleh seorang Kapiten yaitu
Nakhkoda Watting. Pada bualan Januari 1611
perjanjian dibuat anatara Jacques l’Hermite
dengan Pangeran Ariawijaya Krama pembelian
mengenai lahan yang mana berdekatan dengan
pemukiman Cina di Jakarta. Harga disepakati
3000 Gulden, setelah VOC mulai membangun
loji di muara sungai Ciliwung. Dari masa inilah
dimulai penetrasi VOC dan dominasi yang
menjadi tidak bisa dihindari bagian dari sejarah Indonesia dan kota Batavia. Sebelum pendaratan
pertama di Banten pada bulan Juni 1596, Cina
telah memiliki posisi dominan dalam
perdagangan lada dan bermain dalam pada aturan
besar jaringan perdagangan pasar Asia yang
sedang berkembang di wilayah ini.
Pengalaman dalam VOC sejak dia berusia 22
tahun, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen
merencanakan membangun kekuatan penuh
kekuatan VOC di wilayah timur seperti Portugis
yang telah melakukannya di Goa, Malaka, dan
Makau. Coen, pria berwawasan dan memliki
pandangan ke depan yang tajam, melihat bahwa,
tetangganya yaitu pelabuhan Banten berkembang.
Pengalamannya yang luas di Timur,
meyakinkanya bahwa kemakmuran kota
merupakan bagian dari tata niaga dan industri
yang dilakukan orang-orang Cina. Lagipula, ide
Coen untuk membangun di timur tidak disetujui
oleh Heeren 17, dari surat-suratnya yang
permintaanya tidak pernah dibalas. Tuan Coen
mengatakan bahwa “daer is geen volck die ons
beter dan Chinesesen dienen” (Tidak ada orang
lain yang bisa melayani lebih baik dibanding
orang-orang Cina) .
Didorong oleh perhatian untuk membangun
Batavia, dimana beberapa tahun kemudian adalah
kejayaan diketahui sebagai Koningin van het
oosten (Ratu dari Timur), Coen mengajak orangorang Cina dari Banten dan penduduk pinggir
pantai seperti Cirebon dan Jepara untuk pindah
ke Batavia. Bahkan itu menandakan bahwa dia
memerintahkan tentaranya untuk menangkap
orang-orang Cina. Awalnya upaya penculikan di
Tiongkok berkedok perdagangan. Oleh karena
upaya perdagangan tidak berhasil, maka
dilakukanlah upaya penculikan penduduk di
tahun 1622 untuk dijadikan budak. Dibawah
perintah Komandan Cornelis Reyerz, VOC mulai
melakukan penculikan di berbagai kepulauan
Tiongkok, salah satunya di Pulau Peng Hu.
Kurang lebih penduduk Peng Hu diculikuntuk
dipekerjakan sebagai budak di batavia dan
nusantara lainnya. Mereka sering mendapat
perlakuan yang sangat menyedihkan dan tidak
berperikemanusiaan, sehingga mengakibatkan
lebih dari setengah jumlah mereka meninggal
dunia dan hanya tersisa 571 orang. Dalam
perjalanan menuju Batavia, 473 orang meninggal
dunia dan hanya sedikit saja yang sampai ke
Batavia dan pada akhirnya hanya tersisa 33 orang . Melihat maraknya
perdagangan di Batvia, VOC kemudian
berencana untuk membangunnya hingga menjadi
sentra perdagangan dan pemukiman bagi para
pejabat VOC. Untuk merealisasikan hal itu, VOC
banyak memerlukan budak. Sebagian besar
budak diambil dari Bengali, arrakan, Malabar,
Koromandel, bahkan Tiongkok. Para budak ini,
umumnya memiliki keterampilan seperti koki,
tukang kayu, tukang batu, penjahit, tukang kode,
dan lainnya. Kehidupan mereka sangat
memprihatikan karena mereka kerap dianiaya.
Oleh karena itu, banyak budak yang melarikan
diri ke hutan ,
Saat kota mengalami pertumbuhan, orang-orang
Cina ikut membangun Batavia seperti tukang
kebun, petani beras, penjual ikan, dam juga
menjadi pemahat, tukang ledeng, tukang kayu,
pemotong kayu, pemilik toko. Dan mereka juga
bekerja di konstruksi bangunan dan kantor-kantor
VOC, membangun kanal-kanal (grachten) dan
membuat kapal-kapal. Beberapa dari mereka
menyelidiki daerah pedalaman disekitarnya,
Ommelanden, dan mengolah tanah untuk
perkebunan gula serta penyulingan arak. Imigran
Cina ada sekitar 300 sampai 400 jiwa di Batavia
pada bulan Oktober 1619. Pada bulan Juli 1620,
pertumbuhan penduduk imigran Cina meningkat
menjadi 800 jiwa. Di tahun 1621 jumlah mereka
2100 jiwa dan tahun 1627 sebanyak 3500 jiwa,
tapi tahun 1629 mereka mengalami penurunan
menjadi 2000 jiwa ,
Warga imigran Cina mulai mengusahakan
pendirian pabrik-pabrik penggilingan tebu untuk
pembuatan gula. Banyaknya pabrik penggilingan
tebu yang berdiri di sepanjang daerah Batavia
telah memberikan keuntungan, bukan hanya
untuk warga imigran Cina tetapi untuk VOC.
Kemajuan usaha ini membuat VOC
memghentikan impor gula dari Cina Daratan
yang saat itu dianggap memilki harga yang lebih
tingi. Pada tahap awal jumlah pekerja rata-rata di
setiap pabrik gula mencapai 112 orang tenaga
kerja, 40% adalah waraga imigran Cina yang
bertanggung jawab memasak gula dan 60%
adalah tenaga kerja dari warga pribumi, yang
bertanggung jawab menanam, menebang, dan
menggiling tebu, serta mengangkut bahan dan
barang jadi. Melihat maju pesatnya usaha
perkebunan tebu dan penggilingan tebu yang
dimiliki warga imigran Cina, maka tindakan
monopoli VOC semakin meningkat. Pemerintah
VOC mengharuskan pemilik pabrik penggilingan
tebu untuk menjual gulanya kepada VOC dengan
harga relatif rendah. Selain ityu, pungutan bea dan pajak kepala terhadap mereka terus
dinaikkan, tanpa mengenal perikemanusiaan.
Dapat dikatakan bahwa saat itu masa kejayaan
ekonomi warga imigran Cina. Pada wkatu itu
tingkat permintaan gula di pasaran Eropa sangat
tinggi. Hal ini ditunjang pula oleh adanya
perjanjian perdamaian dengan Banten tahun
(1683), sehingga mendukung sekali
penegmabangan usaha gula. Oleh karena itu,
komisaris VOC, meningkatkankan
pembeliannyakepada warag imigran Cina yang
menjadi pengusaha gula. Banyaknya pabrik gula
membutuhkan banyak pekerja sehingga memicu
meningkatnya arus migrasi penduduk Cina. Para
imigran ini adalah pekerja ilegal. Situasi ini
memaksa pemilik usaha penggilangan gula
(Chinese Potchias) kerap harus bermurah hati
kepada mereka untuk dipekerjakan di
penggilingan gula miliknya. Dari sekian banyak
imigran Cina yang ilegal tidak sedikit yang
menjadi budak. Banyaknya imigran Cina yang
datang ke Batavia, membuat VOC menerapkan
peraturan bea masuk yang lebih tinggi terhadap
mereka. Meningkatnya tekanan peraturan
terhadap warga imigran Cina oleh pemerintah
pusat tersebut, membuat pejabat-pejabat VOC
bertindak korup. Akibatnya, segala sesuatu yang
dipandang hanyalah materi semata. Untuk
mendapatkannya tak segan mereka melakukan
pemerasan ,
Jan Pieterszoon Coen adalah seorang gubernur
jenderal yang memiliki wawasan ke depan
(Visioner). Ini bisa dibuktikan bahwa penguasaan
terhadap Batavia memberikan dampak positif
bagi perdagangan VOC. Tuan Coen bukan hanya
berpikir memindahkan markas besar VOC dari
Maluku ke Batavia, tetapi alasan lain Batavia
dijadikan pusat perdagangan dengan pendirian
loji yang lambat laun menjadi Casteel Batavia
membuktikan bukan hanya ingin menguasai
perdagangan tetapi kepada kekuasaan dengan
membentuk pemerintahan di Batavia. Istilah
Emporium yaitu hanya sebagai loji atau tempat
gudang penyimpanan barang perdagangan lambat
laun berkembang menjadi Imperium. Dari istilah
Imperium saja bisa di jelaskan tujuan dari Tuan
Coen. Batavia adalah pusat kekuasaan dari VOC
yang ada di Nusantara yang juga merupakan
perpanjangan tangan dari kekuasaan
pemerintahan kerajaan Belanda.
Kecerdasan dan kepiawaian J.P. Coen dalam
memilih dan membangun kota Batavia dapat
dilihat melalui bagaimana J.P. Coen
mengeluarkan tiga kebijakan utama yakni
memperbanyak aktivitas perdagangan di
pelabuhan Sunda Kalapa, merevitalisasi pulaupulau di utara Batavia dan membangun
persekutuan dengan pedagang dan pendatang dari
Tionghoa. Secara umum kebijakan tersebut
sebagai berikut : Pelabuhan Sunda Kalapa
memiliki arti penting karena pelabuhan tersebut
sudah ramai dengan perdagangan internasional
sebelum kedatangan VOC. Gubernur Jenderal
VOC Jan Pieterszoon Coen melihat potensi ini
dengan cara mendirikan loji di seberang sungai
Ciliwung dengan mendapatkan izin dari Pangeran
Jayakarta agar dapat memantau situasi di
pelabuhan Sunda Kalapa dan sewaktu-waktu bisa
mengadakan penyerangan terhadap Pelabuhan
tersebut. Pulau-pulau di sekitar Teluk Jakarta
juga memiliki peranan yang penting terutama
Pulau Onrust dimana sebagai tempatb
bersandarnya kapal-kapl dagang VOC dan juga
sebagai tempat perbaikan atau perawatan kapalkapal tersebut (bengkel).
Imigran Cina banyak memilki peranan di
Nusantara terutama perkembangan Batavia.
Sebelum VOC menguasai Batavia, imigran Cina
telah melakukan kegiatan perdagangan dengan
pedagang Nusantara. Tetapi setelah kedatangan
VOC di Batavia, Coen banyak menggunakan
imigran Cina dalam pembangunan Batavia.
Banyak dari imigran Cina yang bekerja sebagai
tukang kayu, tukang kebun, pemilik toko,
pemahat, pemilik perkebunan tebu, penyuling
arak, pegawai administrasi, dan yang bernasib
kurang baik dijadikan budak oleh orang-orang
VOC dalam pembangunan kanal-kanal di Casteel
Batavia. Di dalam masyarakat Cina ada seorang
yang diangkat menjadi pemimpin dan biasanya
berasal dari keluarga kaya, pemimpin ini disebut
Kapiten. Kerajinan dan keuletan imigran Cina
membuat mereka sebagai salah satu pembangun
perekonomian Batavia. Mengenai pertumbuhan
Batavia yang masih bergantung kepada imigran
Cina, hal ini seperti yang dikemukan oleh
Francois Valentijn bahwa apabila tidak ada
imigran Cina, Batavia akan menjadi kota yang
kehilangan pesonanya.
Pada Abad XVI Pemerintah Kerajaan Belanda
mengirimkan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sebagai
delegasi dagang ke kepulauan Nusantara dengan tugas utama
mendapatkan hasil bumi terutama rempah-rempah. pada tahun
1596 VOC Mendarat di Banten, dengan tujuan untuk
memperoleh barang dagangan yang saat itu banyak dicari orang
Eropa karena harganya mahal, yaitu rempah-rempah. Motivasi
kedatangan VOC di Indonesia ternyata tidak semata-mata di
dorong untuk berdagang, akan tetapi punya tujuan lain yaitu
politik dan agama.
Secara politik kedatangan belanda adalah
sebagai kepanjangan kolonialisme yakni mengusai wilayah
Nusantara sebagai wilayah jajahanya untuk dikeruk kekayaanya
dan di jadikan pasar bagi hasil industrinya. Sedangkan misi
agama yang dijalankan adalah menyebarkan agama Kristen ke
Indonesia.
Pada saat VOC datang Ke Nusantara, wilayah ini
merupakan wilayah berkebudayaan tinggi, di mana sebelumnya
sudah banyak berdiri kerajaan-kerajaan besar, baik kerajaankerajaan Hindu dan Budha, maupun kesultanan Islam sebagai
realitas yang terjadi pada saat itu, mungkin kondisinya berbeda
dengan koloni-koloni lain sebagaimana di benua Afrika,
Amerika maupun Australia yang penduduknya masih primitif.
Pada abad XVI wilayah Indonesia berada di bawah
kekuasaan beberapa kesultanan Islam, dengan infrasruktur
politik yang mapan, di mana ajaran Islam di jalankan dalam
segala bidang termasuk di dalamnya peradilan Agama.
Di kerajaan Mataram Islam di kenal dengan Pengadilan
Surambi, karena dilaksanakan di serambi Mesjid. Wewenang
peradilan ini tidak hanya terbatas pada perkara perdata tetapi
juga berwenang mengadili perkara pidana. Di Kerajaan aceh di
kenal istilah Keucik, Balai Hukum Mukim, Panglima Sagi dan
Mahkamah Agung, yang memiliki kewenaangan berjenjang baik
perdata maupun pidana. Selanjutnya peradilan agama yang
memiliki kewenangan yang serupa sebagaimana terdapat di
Kesultanan Priangan, Kesultanan Banten, Kesultanan Goa dan
Kesultanan-Kesultanan lain di Indonesia.2
Melihat kenyataan yang di hadapi merupakan masyarakat
yang memiliki kebudayaan yang tinggi selama ber abad-abab,
Pemerintah Kerajaan Belanda menyadari bahwa kondisi tersebut
tidak dapat ditaklukan dengan mudah, baik dengan cara politik
maupun militer, oleh karena itu dikirimlah para sarjana untuk
melakukan penelitian dan merumuskan langkah kebijakan yang
tepat, sehingga diperoleh hasil yang maksimal.
Politik Hukum atau kebijakan Pemerintah Kerajaan
Belanda di ambil atas dasar masukan dari para ahli, baik ahli
hukum, kebudayaan, politik dan lainnya yang dikirim ke
Nusantara, bermuara pada pertimbangan-pertimbangan dalam
membuat peraturan perundangan yang diberlakukan di
antaranya dengan membentuk Peradilan Agama (PA) di wilayah
jajahanya yang selanjutnya di kenal dengan Hindia Belanda,
Peradilan Agama yang dibentuk oleh Hindia Belanda kini
menjadi bagian dari sitem hukum nasional dan bernaung di
bawah pembina administratif maupun pembina yustisial
Mahkamah Agung.
Seolah ingin melepaskan diri dari kungkungan politik
hukum Hindia Belanda, Peradilan Agama waktu demi waktu
mengalami perkembangan ke arah yang positif, kini di samping
statusnya yang sejajar dengan dengan Peradilan lain di
Indonesia, sumber hukumnya juga jauh mengalami perubahan,
dengan lahirnya beberapa undang-undang tentang Peradilan
Agama sebagai sumber hukum formal, dalam hukum material,
waulupun belum ada kodifikasi terhadap hukum material
peradilan Agama. Akan tetapi lahirnya Kompilasi Hukum Islam
dan beberapa Undang-undang, seperti undang-undang tentang
zakat, wakaf dan haji, merupakan indikasi terhadap arah
perkembangan yang positif Peradilan Agama.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa politik hukum
suatu rezim berperan besar dalam mempengaruhi keberadan
Peradilan Agama, dengan demikian menarik untuk mengetahui politik hukum kolonial Belanda, karena sebagai pihak yang
mula-mula mendirikan peradilan agama yang sampai saat ini
masih terasa pengaruhnya, terutama dalam hal kompetensi
absolutnya terhadab Peradilan Agama.
Tulisan ini akan mengkaji politik hukum yang di tempuh
pemerintah kerajaan Belanda dalam membentuk Peradilan
Agama.
1. Politik Hukum Kolonial Era VOC
Hukum Islam lahir di Indonesia yaitu sejak
datangnya Islam ke Indonesia, jauh sebelum pemerintah
Hindia Belanda datang.3 Hingga saat ini masih terdapat
perbedaan pendapat terkait kapan datangnya Islam ke
Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam
datang ke Indonesia yaitu pada abad ke-7 Masehi, hal ini
didasarkan pada adanya pedagang-pedagang muslim asal
Arab, Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan
Nusantara. Pendapat lain menyatakan bahwa Islam
masuk ke Indonesia yaitu pada Abad ke-13 Masehi, hal
ini ditandai adanya masyarakat muslim di Samudera
Pasai, Perlak dan Palembang. Sementara di Jawa
terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik
yang berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makammakam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13. Hal ini
merupakan bukti perkembangan komunitas Islam
termasuk di pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu,
yakni Majapahit.
Pada akhir abad ke enam belas atau tepatnya tahun
1596, organisasi perusahaan Belanda bernama
Vereenigde Oostindische Compagnie atau yang lebih
dikenal dengan sebutan VOC, merapatkan kapalnya di
pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksud kedatangan
VOC semula untuk berdagang, namun kemudian berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk
mencapai maksud tersebut, Pemerintah Belanda
memberi kekuasaan kepada VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng dan
mengadakan perjanjian dengan raja-raja Indonesia.
Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai
dua fungsi yaitu pertama sebagai pedagang dan kedua
sebagai badan pemerintahan.4
Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan kedua
fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang
dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya,
VOC membentuk badan-badan peradilan untuk
Indonesia. Namun, oleh karena susunan badan
peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu,
tidak dapat berjalan dengan baik pada praktiknya,
sebagai upaya untuk menghindari perlawanan dari umat
Islam, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli
yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti
keadaan sebelumnya. Misalnya, karena di kota Jakarta
dan sekitarnya hukum Belanda yang dinyatakan berlaku
tidak dapat dilaksanakan, maka VOC terpaksa harus
memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh
rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam
Statuta Jakarta tahun 1642 disebutkan, bahwa mengenai
kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam harus
dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai
oleh rakyat sehari-hari.
Pada waktu VOC pertama kali menguasai
Indonesia, mereka kurang menghiraukan agama dan
kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi Setelah
kekuasaan VOC diambil oleh kerajaan Belanda abad ke-
18, barulah ada perhatian Belanda kepada kehidupan
kebudayaan dan agama. Belanda selalu kuatir dan curiga
terhadap perkembangan Islam di Indonesia terutama
karena ada gerakan Panislamisme yang berpusat di Turki
semasa kekuasaan Usmaniyah di Istambul. Pemerintah
Kerajaan Belanda mengalami perlawanan politik dan
militer dari kesultanan-kesultanan dan pemimpinpemimpin ummat Islam di daerah-daerah Indonesia,
terutama sepanjang abad ke-19 dan yang terakhir pada
tahun 1903, jadi sudah masuk abad ke-20 bahkan pada
tahun 1908 di Sumatera Barat terjadi lagi
pemberontakan rakyat muslimin terhadap Belanda. Oleh
karena itu, Belanda memperhatikan psikologi massa
antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum Islam
di Indonesia.6
Pada waktu VOC diberi kekuasaan oleh pemerintah
Belanda untuk mendirikan benteng-benteng dan
mengadakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja
kepulauan Indonesia, VOC membentuk badan-badan
peradilan khusus pribumi di daerah kekuasaannya.
Dalam Statuta Batavia tahun 1642 disebutkan, bahwa
mengenai soal kewarisan, orang Indonesia yang
beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam.
Sehubungan dengan hal ini, VOC meminta D.W Freijer
menyusun suatu compendium yang berisi hukum
perkawinan dan kewarisan Islam. Conpendium tersebut
kemudian dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa
yang terjadi antara umat Islam di daerah-daerah yang
dikuasai oleh VOC. Kitab hukum tersebut terkenal
dengan nama Compendium Freijer.
Di samping Compendium Freijer, pada masa VOC
juga muncul kitab hukum Mogharraer (Moharrar) untuk
Pengadilan Negeri Semarang. Kitab ini adalah kitab
perihal hukum-hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti
dari kitab hukum Islam moharrar yang didalamnya
merupakan kumpulan hukum Tuhan, hukum alam, dan
hukum anak negeri yang dipergunakan oleh Landraad
(pengadilan negeri) Semarang dalam memutuskan
perkara perdata dan pidana yang terjadi dikalangan
rakyat setempat.
Organisasi VOC pada tanggal 31 Desember 1799
dibubarkan karena mengalami kebangkrutan. Setelah
kekuasaan VOC berakhir kemudian digantikan oleh
Belanda yang mana sikap Belanda berubah ubah
terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi
secara perlahan-lahan. Tetapi tujuan utama pemerintah
kolonial belanda di Nusantara tidak mengalami
perubahan yaitu: Pertama, menguasai kepulauan
Nusantara sebagai wilayah yang memiliki sumber daya
alam yang sangat melimpah terutama hasil perkebunan
seperti: lada, pala, cengkih, kopi cokelat dan lain-lain.
Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian
besar orang Islam dengan proyek kristenisasi. Ketiga,
keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut
dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia.
Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
Tujuan utamanya dari politik hukum Pemerintah hindia
Belanda adalah: Memperoleh sebanyak-banyak hasil
bumi Indonesia terutama rempah-rempah yang
merupakan komoditas yang sangat laku di pasar Eropa,
memisahkan Penduduk kepulauan Nusantara dengan
ajaran Islam sehingga terlepas dari pengaruh pergerakan
Panislamisme maupun gerakan pembaharuan Islam
lainnya, Memberlakukan hukum Belanda sehingga dapat
mencabut rakyat kepuluan Nusantara dengan akar
budayanya. Selanjutnya setelah dapat ditaklukan secara
ekonomi, agama dan budaya, secara politik akan mudah
dikuasai.
Namun upaya Belanda tersebut mendapat
perlawanan dari penduduk pribumi sebagaimana yang
disampaikan Harry J. Benda bahwa:
Ever since the arrival of the Dutch East India Company in
Southeast Asia at the turn of the seventeenth century, the Dutch
had encountered Muslim hostility in Indonesia. Time and again,
the consolidation of their expanding power was threatened by local
outbreaks of Islamic inspired resistence, led either by Indonesian
rulers converted to the faith of the prophet or, at the village level, by
fanatical ulama, the independent teacher and scribes of Islam”.
“Sejak kehadiran Perusahaan hindia Belanda di Asia
Tenggara pada abad ke 17, Belanda telah menunjukkan
kepada kaum muslimin dengan sifat bersahabat, Seiring
berjalannya waktu, konsolidasi dari pergeseran
kekuasaan yang mereka miliki terancam oleh
pemberontak muslim yang melakukan perlawanan, yang
juga dipimpin oleh pemimpin lokal yang beriman pada
nabi, pada level pedesaan, pada ulama yang fanatik, guru
dan cendekiawan muslim, yang mencium adanya niat
terselubung kolonial dibalik sikap bersahabatnya.
Upaya pemerintah untuk mengubah hukum Islam
belum dimulai pada masa Pemerintahan Hindia Belanda
di zaman Daendels (1800-1811). Di masa itu, secara
umum hukum Islam dianggap sebagai hukum asli orang
pribumi. Karena pendapat yang demikian, Daendels
mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal
hukum agama orang Jawa tidak boleh diganggu gugat
dan hak-hak penghulu mereka untuk memutus beberapa
macam perkara tentang perkawinan dan kewarisan harus
diakui oleh kekuasaan Pemerintah Belanda. Di samping
itu, ia menegaskan bahwa kedudukan para penghulu
sebagai tenaga ahli hukum Islam yaitu hukum asli orang
Jawa dalam susunan badan peradilan yang dibentuknya
sebagai penasihat dalam suatu masalah atau perkara.
Ketika Inggris menguasai Indonesia (1811-1816)
keadaan tidak berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris suntuk kepulauan Indonesia
pada waktu itu menyatakan bahwa hukum yang berlaku
dikalangan rakyat adalah hukum Islam. Ia mengatakan
“the koran…. forms the general law of Java.” Namun setelah
Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda
berdasarkan konvensi yang ditandatangani di London
pada tanggal 13 Agustus 1814, Pemerintah Kolonial
Belanda membuat suatu undang-undang tentang
kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan,
pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya di
Asia. Undang-undang ini mengakibatkan perubahan di
hampir semua bidang kehidupan orang Indonesia,
termasuk bidang hukum yang akan merugikan
perkembangan hukum Islam selanjutnya.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman
Daendels (1800-1811) dan sewaktu Inggris menguasai
Indonesia (1811-1816) yang mana Thomas S. Raffles
menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan
Indonesia, hukum Islam merupakan hukum yang
berlaku bagi masyarakat. Pada masa itu hukum Islam
dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang terjadi dikalangan orang Islam. Hal
tersebut sibagai kebijakan yang mengakui realitas yang
ada, di kepulauan Nusantara pada saat itu. Kenyataan di
atas sebagaimana diakui oleh Van Den Berg, yang
melahirkan teori receptio incomplexu yang menyatakan
bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi
pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori
ini, maka pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882
mendirikan peradilan agama bagi pemeluk agama Islam,
yang berlaku untuk pulau Jawa dan Madura.
Sesuai dengan pendapat Carel Frederick Winter,
seorang ahli tertua mengenai soal-soal Jawa Javaichi
yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859)
Solomon Keuzer (1823-1868) Maha Guru Ilmu Bahasa
dan Ilmu Kebudayaan Hindia Belanda, terakhir
Lodewijke Willem Christian Van Den Berg (1845-1927),
yang dalam tahun 1884 menulis buku Muhammadansch
Recht (asas-asas hukum Islam) menyatakan bahwa
hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumi
putera walaupun dengan sedikit penyimpanganpenyimpangan.
Teori receptio in complexu ini yang mendasari
kelahiran Pasal 75 dan Pasal 78 jo, pasal 109 RR. Pasal
75 ayat (3) R.R tersebut mengatur: “Apabila terjadi
sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang
beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah
diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan
kebiasaan mereka. Sedangkan dalam ayat (4) Pasal 75
R.R. disebutkan: “Undang-undang agama, adat dan
kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh Hakim
Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa
dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang
Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan
hakim agama atau tokoh masyarakat mereka menurut
undang-undang agama atau ketentuan lama mereka.
Menurut Pasal 109 R.R. ditentukan pula:
“Ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 75 dan Pasal 78
itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan
orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor,
orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam,
maupun orang-orang yang tidak beragama.
Menurut Pasal 7 Rechterlijke Organisatie
ditetapkan: “Sidang-sidang pengadilan negeri (landraad)
harus dihadiri oleh seorang fungsionarie yang
mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang
dihadapkan itu tidak beragama Islam, maka penasehat
itu adalah kepala masyarakat dari orang itu.
Sejalan dengan berlakunya hukum Islam itu,
pemerintah Hindia Belanda membentuk pengadilan
agama dimana berdiri pengadilan vnegeri dengan
Staatsblad 1882 No. 152 dan 153, kemudian diiringi
terbentuknya pengadilan tingggi agama (mahkamah
syar’iyyah) yang berfungsi sebagai pengadilan agama
tinggi banding dan terakhir berdasarkan Pasal 7 g
Staatsblad 1937 No. 610 dan dalam tahun 1937 dengan
Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 dibentuk pula
peradilan agama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Timur dengan nama Pengadilan Qadhi Kecil pada
tingkat pertama dan Pengadilan Qadhi Besar untuk
tingkat banding dan terakhir. Pada masa itulah dikenal
dengan masa Receptio on Complexu, yaitu suatu teori
yang menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum
Islam, walaupun dengan sedikit penyimpangan.
Paham tentang teori Receptio in Complexu pada
masa ini telah mempengaruhi politik hukum kolonial
belanda dan pada saat inilah hukum Islam benar benar
diakui berlaku sebagai hukum positif bagi masyarakat
yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan
dalam Pasal 75 ayat (3) Regeerings Reglement yang
menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata
antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam, oleh
hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam
gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan
pengadilan agama yang kemudian diiringi dengan
terbentuknya pengadilan tinggi agama (mahkamah
syar’iyyah).
Teori Receptio In Complexu ini menjadikan hukum
Islam diakui dan berlaku sebagai hukum positif pada
masa pemerintahan Hindia Belanda, merupakan
pemahaman yang jujur dan obyektif dalam
menggambarkan tentang berlakunya pranata-pranata
hukum yang berlaku di kalangan penduduk asli
nusantara pada masa itu. Walaupun pada dasarnya
hukum Islam telah ada berlaku dalam kehidupan
masyarakat Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia
Belanda tiba di Indonesia.
2. Teori resepsi dan pembatasan peran hukum Islam
Terlepas dari politik hukum yang melatar belakangi
kelahiran peradilan Agama, bertujuan untuk
melanggenggengkan kepentingan Kolonial Belanda,
keberadaan peradilan Agama yang memiliki kewenangan
luas, karena di dasarkan pada teori receptio in complexu,
cukup di terima oleh umat Islam pada saat itu. Hingga
lahirlah teori receptie yang meralat teori sebelumnya.
Teori receptio in complexu kemudian ditentang
oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai
pencipta teori baru yaitu teori receptie (resepsi) yang
menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
adat.Menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya
hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu
oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut teori
tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat
diberlakukan karena belum diterima atau bertentangan
dengan hukum adat.
Munculnya teori receptie ini berpangkal dari
keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi
rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran
Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat
memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah
dipengaruhi oleh peradaban Barat. Atas dasar itulah ia
memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda
untuk mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha
menarik rakyat pribumi (inlander) agar lebih mendekat
kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia
Belanda dengan menempuh kebijaksanaan sebagai
berikut :
a. Dalam kegiatan agama dalam arti yang sebenarnya
(agama dalam arti sempit), pemerintah Hindia
Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara
jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang
Islam untuk melaksankan ajaran agamanya.
b. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia
Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan
kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jalan
yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan
kepada suatu kemajuan dengan memberikan bantuan
kepada mereka.
c. Dibidang ketatanegaraan, mencegah tujuan yang
dapat membawa atau menghubungkan kearah
gerakan Pan Islamisme yang mempunyai tujuan
untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam
hubungan menghadapi pemerintah Hindia Belanda.
Upaya sistemik yang kemudian ditempuh oleh
pemerintah Hindia Belanda sebagai realisasi teori
receptie ini adalah dengan berusaha melumpuhkan dan
menghambat pelaksanaan hukum Islam dengan cara:
a. Sama sekali tidak memasukkan masalah hudud dan
qishash dalam bidang hukum pidana. Mengenai
hukum pidana ini telah diunifikasi dengan Wet Boek
Van Strafrecht yang mulai berlaku sejak Januari 1919
(Staatsblad 1915 No. 732).
b. Dibidang tatanegara, ajaran Islam yang mengenai hal
tersebut dihancurkan sama sekali. Segala bentuk
kajian yangberhubungan dengan politik
ketatanegaraan (siyasah) dilarang keras.
c. Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang
menyangkut hukum perkawinan dan hukum
kewarisan. Bahkan khusus untuk hukum kewarisan
Islam diupayakan tidak berlaku yang ditandai oleh
adanya upaya dari pemerintah Hindia Belanda untuk
menanggalkan wewenang peradilan agama dibidang
kewarisan pada pengadilan agama di Jawa, Madura
dan Kalimantan Selatan, kemudian kewenangan
dibidang kewarisan ini diserahkan kepada landraad.
Di samping itu juga terdapat larangan penyelesaian
dengan hukum Islam jika di tempat terjadinya perkara
tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adatnya.
Realisasi teori receptie ini yaitu terjadinya
perubahan secara sistematis Regeerings Reglement Stbl.
1855 No. 2 menjadi Wet Op De atau I.S. pada tahun
1925 (Stbl. 1925 No. 416) seterusnya dengan Stbl. 1929
No. 221, dimana dinyatakan bahwa hukum Islam tidak
lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum
Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila
telah memenuhi dua syarat yaitu:
a. Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu
oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat);
b. Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma
dan kaidah hukum Islam itu juga tidak boleh
bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan
lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia
Belanda.
Sejalan dengan perubahan Regeerings Reglement itu
menjadi Indische Staats Regeling oleh pemerintah
Hindia Belanda dikeluarkan pula Staatsblad 1937 No.
116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan
agama yang semula berhak menetapkan tentang hal
waris,nikah talak rujuk dan hadlhanah dan sebagainya,
kemudian hanya berwenang mengadili sepanjang yang
berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk saja, di luar itu
tidak berwenang.
Adanya teori resepsi yang menyatakan bahwa
hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum adat yang dalam
realisasinya dikeluarkan Staatsblad 1937 No. 116 yang
membatasi wewenang dan tugas peradilan agama
menjadikan peranan hukum Islam sangat dibatasi. Pada
saat itu hukum Islam mengalami kondisi yang sangat
berat karena harus berhadapan dengan hukum adat dan
hukum pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada
saat itu.Dampaknya adalah hukum Islam yang telah
berlaku secara formal dipersempit ruang geraknya oleh
pemerintah Hindia Belanda seperti wewenang
menyelesaikan hukum waris yang sebelumnya menjadi
kewenangan Peradilan Agama
Politik Hukum Pemerintah Kolonial Belanda terhadap
keberadaan peradilan Agama dipengaruhi oleh tujuan
kolonialisme yaitu, Sebagai upaya persuasif dalam meredam
perlawanan umat Islam Indonesia, sehingga tujuan murni
kolonial Belanda yaitu: Pertama untuk mengekploitasi kekayaan
alam di Kepulauan Nusantara tercapai, ke dua menyebarkan
agama kristen dengan cara-cara simpatik, ke tiga Memperluas
wilayah jajahan dan memperpanjang masa kekuasaan dengan
perlawanan yang minimal dari penduduk setempat. Hal ini dapat
terlihat :
1. Pada awalnya pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk
merangkul umat Islam Indonesia, dengan memberlakukan
hukum Islam secara keseluruhan, karena pada kenyataanya
berdasarkan teori receptio in complexu, Syariat Islam sudah
di serap secara keseluruhan oleh umat Islam Indonesia,
sehingg dengan cara ini akan mengurangi perlawanan dari
masyarakat.
2. Kekhawatiran terhadap pergerakan Pan Islamisme di Turki
akan berpengaruh secara masif di kalangan Muslimin
Indonesia, oleh karena itu Hindia belanda berusaha
menjauhkan umat Islam dengan ajaranya, untuk itu di
tempuh dengan mengurangi wewenang peradilan Agama
berdasarkan teori receptie