Home »
sekolah kolonial belanda
» sekolah kolonial belanda
sekolah kolonial belanda
Hindia Belanda, masyarakat desa sudah
mengenal pendidikan baik itu dari keluarga
maupun dari lingkungan. Pendidikan yang
diperoleh dalam keluarga orang tua sangat
berperan aktif dalam mendidik anaknya agar
menjadi anak yang bermanfaat bagi diri sendiri,
keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Selain
itu juga kedatangan Brahmana ke Hindia Belanda
untuk memimpin acara keagamaan. Setelah
kedatangan agama Hindu dan Budha, kedatangan
agama Islam juga memberikan pengaruh terhadap
pendidikan di Hindia Belanda. Pendidikan yang
diajarkan agama Islam dialkukan di langgar dan
pondok pesantren , Tujuan dari pendidikan
Islam yaitu untuk bisa membaca lengkap AlQur'an dengan irama yang tepat ,
Pendidikan dimulai dari kedatangan
bangsa barat ke Hindia Belanda. Pendidikan yang
diberikan oleh PKB membentuk masyarakat
feodal dan elite baru untuk taat kepada PKB
. Kedatangan
Daendels ke Hindia Belanda pada tahun 1808
membawa pembaharuan dalam bidang
pendidikan, seperti menugaskan para bupati
untuk mendirikan sekolah-sekolah. Namun
pendidikan yang dicita-citakan tidak tercapai,
karena membutuhkan biaya yang banyak. Pada
tanggal 19 Agustus 1816 dibentuk Komisaris
Jenderal oleh PKB yang datang ke Hindia
Belanda bertujuan untuk memperlancar roda
pemerintahan. Pada saat inilah PKB mulai
memperhatikan pendidikan di Hindia Belanda,
namun pendidikan ini hanya merujuk pada anakanak Belanda.
Sekolah pertama didirikan pada tanggal
24 Februari 1817 di Batavia ELS (Europeesche
Lagere School), selain itu juga didirikan di
daerah-daerah lainnya yang lokasinya terdapat
orang-orang Belanda seperti daerah yang terdapat
pelabuhan-pelabuhan dan perkebunan ,Pada tahun 1820
didirikan ELS (Europeesche Lagere School) di
Batavia, sekolah ini merupakan pendidikan dasar.
Tahun 1860 juga didirikan Sekolah Gymanasium
III di Batavia, yang setara dengan SMA pada saat
ini. Sekolah ini juga mengalami perluasan sampai
ke Surabaya dengan nama HBS (Hoogere Burger
School) yang bertempat di dekat Alun-Alun
Cottong yang sekarang ditempati oleh ITS
(Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
Pendidikan yang diselenggarakan oleh
PKB berdasarkan garis warna dan diskriminasi.
Prinsip ini dibedakan pada jenis dan tingkatan
berdasarkan pembagian golongan masyarakat
kolonial yaitu, golongan Eropa, golongan Timur
Asing (Cina dan Arab), dan golongan pribumi.
Selain itu juga terdapat perbedaan menurut status
sosial, yaitu priyayi dan pribumi pada umumnya.
Pemisahan menurut golongan masayarakat dan
status sosial dipertegas dengan penggunaan
bahasa pengantar yaitu Bahasa Belanda untuk
golongan Eropa dan elite pribumi, sedangkan
Bahasa Melayu untuk golongan pribumi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
dapat diambil beberapa pokok permasalahan
yaitu: 1) apa yang melatarbelakangi kebijakan
pendidikan pada masa Pemerintahan Kolonial
Belanda di Surabaya? 2) bagaimana pelaksanaan
pendidikan pada masa Pemerintahan Kolonial
Belanda di Surabaya? 3) apa dampak dari
pendidikan pada masa Pemerintahan Kolonial
Belanda di Surabaya?.
Menurut A. R. Radcliffe-Brown penulisan
dalam karya ilmiah ini menggunakan pendidikan
ilmu-ilmu sosial yang dititikberatkan pada
struktural fungsional. Struktural Fungsional
merupakan struktur sosial yang dapat dilihat
dalam kenyataan kongkrit dan dapat diamati
secara langsung. Struktur sosial terdiri dari: a)
semua hubungan sosial yang terjadi antara
individu yang satu dengan individu yang lainnya,
dan b) perbedaan antara individu yang satu
dengan yang lainnyaserta kelas sosial yang yang
berada diantara mereka ,
Dalam menulis karya ilmiah, perlu adanya
metode untuk memperoleh suatu tulisan yang
diinginkan. Menurut Louis Gottschalk metode
sejarah yaitu proses menguji dan menganalisis
secara kritis atas peristiwa di masa lampau , Metode ini terdiri dari
pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber,
penafsiran sumber (interpretasi), dan penulisan
sejarah (historiografi).
1. Heuristik adalah suatu usaha untuk mencoba
menemukan dan mengumpulkan data dari
sumber-sumber sejarah dan sumber tersebut
dapat berupa sumber primer dan sumber
sekunder. Adapun sumber primer mengenai
pendidikan di Surabaya pada masa PKB yaitu
memori serah jabatan (Memorie van
Overgave) yang berisi laporan umum, antara
lain mengenai geografis, kependudukan,
pemerintahan, kesehatan, agama, termasuk
laporan tentang pendidikan. Sumber lainnya
berupa manuskrip surat gubernur jenderal
(besluit), lembaran negara (staatsblad), laporan
(verslag) dan lampiran (bijblad). Sumber
sekunder dapat diperoleh dari berbagai bukubuku dan artikel karya peneliti terdahulu,
seperti skripsi, tesis, dan disertasi doktor yang
terkait dengan pembahasan yang ditulisnya.
Sumber ini terdapat dikoleksi Perpustakaan
dan Arsip Jawa Timur, Yayasan Perpustakaan
Medayu Agung Surabaya.
2. Kritik sumber yaitu setelah semua sumber
terkumpul, maka dilakukanlah penilaian
terhadap sumber-sumber tersebut, baik secara
ekstern maupun intern. Hal ini dilakukan
untuk mencari sumber-sumber yang otentik
dan kredibel, serta untuk memilah-milah
sumber yang asli dan sumber yang diperlukan
dalam penelitian ini. Kritik ekstern dilakukan
terhadap berbagai bahan material dokumen,
seperti pada kertas dan tinta yang digunakan
untuk memperoleh kepastian bahwa bahan
tersebut benar-benar berasal dari jamannya.
Kritik eksteren terhadap sumber-sumber arsip
sangatlah sulit dilakukan, karena sumber arsip
pada umumnya telah melalui proses
penggandaan. Kritik intern yaitu dengan
melihat apakah ada kata-kata yang salah pada
isi setiap halaman, termasuk mengenai
penggunaan ejaan dan gaya bahasanya.
3. Interpretasi yaitu guna memperoleh sejumlah
fakta yang terkandung dalam berbagai
dokumen. Fakta-fakta tersebut kemudian
dirangkaikan dalam satu kesatuan yang serasi
dan analogis, sehingga menghasilkan cerita
sejarah sebagai tahapan terakhir dari kerja
sejarawan.
4. Historiografi merupakan langkah terakhir
dalam penulisan sejarah. Histiografi diartikan
sebagai penyusunan dan penulisan kembali
hasil interpretasi dengan cara merangkaikan
fakta-fakta yang diperoleh dalam sintesis
sejarah, sehingga menjadi karya ilmiah sejarah
yang deskriptif analitis sesuai dengan
metodologi penulisan sejarah yang disusun
secara kronologis.
1. Latarbelakang kebijakan pendidikan
kolonial di Surabaya
Kebijakan Politik Etis oleh PKB
(Pemerintah Kolonial Belanda) berawal dari
diterapkannya Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
dan Politik Liberal (1870-1900) yang
menyebabkan kemiskinan di Hindia Belanda.
Diberlakukannya Sistem Tanam Paksa pada tahun
1830-1870 mendapat kritik dari kelompok
pembela pribumi, yaitu tiga tokoh yang terdiri
dari, Inspektur Pertanian (L. Vitalis), Kepala
Dinas kesehatan (dr. W. Bosch), dan seorang
pendeta untuk Hindia Belanda yang kemudian
menjadi anggota parlemen (W. R. Baron van
Hoevell) yang membela Hindia Belanda dan
memandang bahwa PKB harus memperhatikan
dan memenuhi kepentingan masyarakat pribumi
Pada tahun 1885 perusahaan-perusahaan
asing mulai bergabung, hal ini menghapus
harapan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Selain itu juga adanya upah rendah yang
diberikan kepada buruh. Hal ini melakukan
kritikan-kritikan terhadap PKB yang ditulis
dalam buku Max Havellar (1860), karya
Multatuli (Douwes Dekker). Dalam buku ini
diceritakan kondisi masyarakat petani yang
menderita akibat penekanan yang dilakukan oleh
PKB. Selain itu juga gagasan yang ditulis oleh C.
Th. Van Deventer yang dimuat dalam majalah De
Gids pada tahun 1899 yang berjudul Een
Eereschuld yang berarti hutang budi (Sartono
Kartodirjo, dkk, 1976: 14). Dalam tulisan ini
berisi tentang kemakmuran Negeri Belanda
diperoleh dari kerja keras dan jasa masyarakat
pribumi. Bangsa Belanda sebagai bangsa yang
maju dan bermoral harus membayar hutang itu
dengan menyelenggarakan trilogi atau trias, yaitu
irigasi, emigrasi (transmigrasi) dan edukasi.
PKB menanggapi tulisan C. Th. Van
Deventer dengan menyampaikan gagasan
pembaharuan dalam pidato Ratu Wilhelmina
yang berjudul Ethische Richting (Haluan Etis)
atau Nieuw Keurs (Haluan Baru). Pidato ini
dikemukakan oleh Ratu Wilhelmina pada tahun
1901 antara lain ditegaskannya usaha-usaha
untuk menanggulangi kemunduran kesejahteraan
masyarakat pribumi, dengan menyelidikinya.
Dihidupkannya kembali usaha-usaha dibidang
agraris maupun industrial. Diadakannya aturan
untuk mencegah kemunduran rakyat yang lebih
jauh, dengan memberi pinjaman tidak berbunga
sebesar f 30 juta dengan jangka waktu 5 atau 6
tahun, serta pemberian hadiah sebesar f 40 juta.
Menerima usulan-usulan sebagai mana yang telah
dikemukakan oleh van Deventer, Kielstra, dan D.
Fock untuk dapat memperbaiki tingkat kehidupan
masyarakat pribumi ,
Pelaksanaan Politik Etis tidak terlepas
dari kepentingan PKB sendiri. PKB melakukan
hal ini karena takut adanya kritikan dan kalau
tetap membiarkan penderitaan masyarakat
pribumi terus menerus akan memicu timbulnya
perlawanan rakyat secara meluas. Oleh karena itu
dilaksanakannya kebijakan Politik Etis yang
terdiri dari irigasi, emigrasi dan edukasi.
Perbaikan sarana irigasi, sejak tahun 1885 telah
dibangun di Brantas dan Demak seluas 96.000
bahu, dan pada tahun 1902 mengalami perluasanmenjadi 173.000 bahu. Namun kenyataannya
bangunan-bangunan irigasi ini bukan untuk
mengairi daerah-daerah persawahan rakyat,
melainkan untuk mengairi daerah-daerah
perkebunan seperti tebu. Pembangunan sarana
irigasi ini bukan untuk mensejahterakan rakyat,
namun lebih diarahkan kepada kepentingan
ekonomi PKB.
Emigrasi merupakan perpindahan dari
negara asal ke negara lain, namun dalam
penjelasan di dalam Sistem Politik Etis hanya
perpindahan antar pulau. seperti di daerah-daerah
yang subur tanahnya menjadi padat
penduduknya, dan pada umumnya tidak ada lagi
tanah kosong bahkan tanah persawahan juga telah
digunakan untuk penanaman tanaman ekspor
seperti tebu dan tembakau. Untuk mengatasi
permasalahan ini PKB melakukan program
emigrasi, namun dalam pelaksanaannya bukan
dimaksud untuk membuka lahan pertanian bagi
masyarakat pribumi melainkan untuk memenuhi
permintaan tenaga kerja di daerah-daerah
perkebunan. Pada abad XIX telah terjadi emigrasi
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan
tebu. Emigrasi (transmigrasi) perpindahan dari
Pulau Jawa juga dimaksudkan untuk memenuhi
tenaga kerja di daerah Sumatra Utara, khususnya
di daerah Deli. Sampai tahun 1903 jumlah
pekerja yang dikirimkan ke luar Jawa sebanyak
300.000 jiwa.
Pelaksanaan edukasi pada dasarnya
bersifat diskriminatif, karena terdapat dua macam
sekolahan, yaitu Sekolah Ongko Loro dan
Sekolah Ongko Siji. Sekolah Ongko Siji
diperuntukkan bagi pribumi khususnya, dan
orang-orang yang memiliki kedudukan atau
berharta. Sekolah Ongko Loro diperuntukkan
bagi anak-anak pribumi. Pendidikan yang
dilaksanakan adalah pendidikan tingkat rendah
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
pegawai rendahan seperti mandor, atau pelayan
yang bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Upah yang diberikan juga sangat murah
dibandingkan dengan orang Eropa. Anggaran
yang diberikan oleh PKB untuk membiayai
pendidikan anak-anak pribumi sangatlah kecil.
Anggaran yang diberikan oleh PKB pada tahun
1905 termasuk dalam tunjangan subsidi sekolah
swasta sebesar f 2 juta, sehingga apabila dibagi
40 juta penduduk, maka hanyalah 5 sen per orang.
Salah satu hal yang melatar belakangi
kebijakan pendidikan di Surabaya, yaitu adanya
aturan bahwa PKB mendirikan sekolah-sekolah
yang lokasinya terdapat orang-orang Belanda
seperti di kota-kota yang terdapat pelabuhan dan
perkebunan-perkebunan. Hal ini mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan tenaga kerja sebagai
akibat dari aktivitas pelabuhan khususnya ekspor
impor yang tinggi. Aktivitas perekonomian
khususnya ekspor di Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya pada tahun 1911 sebesar f. 83.933.000
sampai tahun 1920 mencapai f. 477.558.000 dan
yang paling utama yaitu gula , Hal ini terbukti dalam hal ekspor
mengalami peningkatan yang tinggi yaitu 6.6%
dari aktivitas sebelumnya. Semakin tingginya
aktivitas perekonomian di Surabaya, maka
semakin banyak juga masyarakat yang
melakukan urbanisasi. Hal ini juga didukung
dengan perkembangan sarana untuk aktivitas
perekonomian, salah satunya yaitu kereta api.
Kereta api ini berfungsi untuk mengangkut hasil
pertanian dan perkebunan, selain itu juga bisa
digunakan sarana transportasi bagi murid-murid
ke sekolah.
Adanya aktivitas perekonomian yang
semakin tinggi, maka semakin meningkat pula
jumlah penduduk di Surabaya. Meningkatnya
aktivitas perdagangan di Surabaya menyebabkan
banyak orang yang datang dan menetap
diantaranya orang Eropa, Cina, Timur Asing dan
Arab. Adapun pertumbuhan penduduk di
Surabaya sebagai berikut.Dari tabel di atas dijelaskan bahwa dalam
kurun waktu 24 tahun pertumbuhan penduduk
semakin meningkat, terutama orang Eropa yang
mengalami peningkatan tiga kali lipat. Hal ini
karena banyaknya aktivitas perekonomian dalam
bidang perindustrian, dan ekspor impor yang
dilakukan di Surabaya. Selain itu juga penduduk
asing lainnya yang datang ke Surabaya yaitu Cina
juga mengalami peningkatan sebanyak dua kali
lipat, dan aktivitas mereka adalah berdagang.
Pertumbuhan penduduk yang sangat
tinggi akan mempengaruhi perkembangan fisik
Surabaya yaitu adanya peningkatan tempat
tinggal, pekerjaan, dan transportasi yang
mengalami perluasan ke arah Selatan,
diantaranya daerah Darmo, Ketabang, Jembatan
Merah, Gemblongan, Pasar Besar, dan daerah
Baliwerti ,
Dibangunnya area Industri di daerah Ngagel pada
tahun 1916 yang dilakukan oleh PKB, maka
daerah ini dijadikan sebagai daerah industri
diantaranya industri logam, pabrik mesin, las,
pabrik asam belerang, dan galangan kapal. Di
daerah Wonokromo dijadikan sebagai stasiun
kereta api, untuk mengangkut hasil perindustrian
,Perkembangan
industri ini membuka banyak lapangan pekerjaan
yang disediakan oleh PKB, sehingga semakin
banyak tenaga kerja yang berpendidikan sangat
dibutuhkan. Selain itu perkembangan dalam
bidang sosial tampak dari cara hidup orang Eropa
dalam hal berpakaian, dan cara makan. Hal ini
membuat masyarakat pribumi meniru gaya hidup
orang Eropa, karena masyarakat pribumi sangat
terbuka terhadap kebudayaan asing. Orang Eropa
juga memiliki status sosial yang lebih tinggi
dibandingkan pribumi. Meningkatnya
pertumbuhan penduduk khususnya orang Eropa,
ini menyebabkan PKB mendirikan sekolahsekolah untuk anak-anak Eropa yang ada di
Surabaya, karena untuk bersekolah ke Batavia
sangat jauh dan membutuhkan dana yang besar.
3. Jenjang Pendidikan Kolonial di Surabaya
A. Pendidikan Rendah dengan Bahasa
Pengantar Bahasa Belanda (Westersch Lager
Onderwijs)
Pendidikan Rendah dengan Bahasa
Pengantar Bahasa Belanda (Westersch Lager
Onderwijs) di Surabaya terdiri dari, Sekolah
Rendah Eropa atau ELS (Europeesche Lagere
School), Sekolah Cina-Belanda atau HCS
(Hollandsch Chineesche School), Sekolah
Bumiputra-Belanda atau HIS (Hollandsch
Inlandsche School), Sekolah Peralihan
(Schakelschool) dan Sekolah Taman KanakKanak (Frobelschool).
1. ELS (Europeesche Lagere School)
ELS (Europeesche Lagere School) ini
diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa,
Timur Asing, dan anak-anak tokoh terkemuka.
Pada awalnya lama belajar di ELS adalah 3
tahun, tahun 1907 masa tempuh studi ELS
berubah menjadi 7 tahun. Pelajaran yang
diajarkan yaitu menulis, membaca, berhitung,
Bahasa Belanda, dan ilmu bumi. Sekolah ELS
bisa dibuka, apabila jumlah siswa mencapai 20
orang di Pulau Jawa dan 15 orang untuk di luar
Pulau Jawa ,
Di Surabaya terdapat enam ELS, pertama
didirikan pada tahun 1831 di derah Sawahan
terdiri dari 42 murid dan tiga guru laki-laki.
Kedua pada tahun 1849 didirikan ELS di
Peneleh, yang terdiri dari empat guru. Ketiga
didirikan pada tahun 1856 terdiri dari 198 murid,
dan tahun 1859 didirikan sekolah keempat di
kompleks Marine Establischement (sekarang
menjadi PT. PAL) terdiri dari 20 murid dengan 2
guru laki-laki. ELS kelima didirikan pada tahun
1864 yang menempati Gedung Jongen Weezent
Inrichting di Weezenstraat (sekarang Jl. Kebalen)
terdiri dari 197 murid dengan 4 guru (G. H. Von
Faber, 1931: 250). Pada tahun 1912 berdiri
sekolah keenam yang terletak di daerah Sawahan
(sekarang Jl. Weezen). Sekolah ini masa
belajarnya 7 tahun dengan 176 murid dan 4 guru
yang terdiri dari 2 guru laki-laki, dan 2 guru
perempuan (G. H. Von Faber, 1931: 251).
Terdapat juga sekolah bersubsidi yang
didirikan oleh organisasi Vereeniging
“Broedersschool te Soerabaia”. Sekolah ini
didirikan pada tahun 1923 yaitu ELS
Broedersshool Santo Aloysius dan ELS
Broedersschool Santo Yosef. Jumlah murid ELS
Broedersschool Santo Aloysius 120 murid dan 6
guru, sedangkan ELS Broedersschool Santo
Yosef terdiri dari 201 siswa dan 8 guru. Kedua
sekolah ini didirikan di Coen Boulevaard Laan
(sekarang Jl. Polisi Istimewa) (Staattsblad, 1913:
18). Sekolah swasta ELS pada saat ini dijadikan
sebagai SMAK St. Louis 1 Surabaya.
2. HCS (Hollandsch Chineesche School)
Sekolah untuk anak-anak Cina pertama
kali di Surabaya tanggal 5 November 1903
dibuka oleh perkumpulan Ho Tjiong Hak Kwan
yang mendirikan sekolah dasar di daerah
Keputran (pemukiman Etnis Tionghoa).
Perkumpulan ini bernama Ho Tjiong Hak Kwan,
sekolah dasar ini terdiri dari 142 murid dan 6
guru (Ong Hing Aan , 1903: 12). Bahasa yang
diajarkan yaitu Bahasa Kuo Yu (bahasa nasional
Tiongkok ) yang dijadikan sebagai bahasa
pengantar. Pada tanggal 3 Pebruari 1904
didirikan pula sekolah dasar di Tepekong Straat
di daerah Pecinan terdiri dari 144 siswa dan 5
guru.
Selain itu juga terdapat sekolah rendah
kelas satu HCS (Hollandsch Chineesche School)
terbuka untuk anak-anak keturunan timur asing,
yaitu bangsa Cina. Sekolah ini didirikan pada
tahun 1908 dengan lama belajar 7 tahun dengan
bahasa pengantar bahasa Belanda. Di Surabaya
didirikan pada tanggal 1 Juli 1908 di Jalan
Genteng. Sekolah ini hanya menampung 200
anak Tionghoa, pelajaran yang diajarkan yaitu
pelajaran membaca, menulis, berbicara dalam
bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, ilmu
hewan dan tumbuhan, sejarah Negeri Belanda
dan Hindia Belanda, menyanyi dan menggambar
(Ong Hing Aan , 1903: 89). Pada tahun 1913
PKB mendirikan dua HCS yaitu di
Grisseescheweg (sekarang Jl. Gresik) terdiri dari
200 murid dan 5 guru, dan HCS di Pasar Turi
mempunyai 209 siswa yang terdiri dari 8 guru
(Ong Hing Aan , 1903: 108).
Selain itu juga terdapat HCS bersubsidi,
didirikan pada tahun 1924 dengan nama
Christelijk Hollands Chineesche School di Niuwe
Kerkstraat (sekarang Bubutan Koblen) terdiri 119
murid dan 5 guru. Pada tahun 1926 membuka
sekolah khusus untuk anak perempuan Tionghoa
dengan nama Hollandsch Chineesche Meisje
School di Cannalaan (sekarang Jl. Kanal)
mempunyai 121 murid dan 5 guru. Kurikulum
yang diajarkan sama dengan kurikulum ELS
yaitu menulis, membaca, berhitung, Bahasa
Belanda, sejarah, dan ilmu bumi, namun
ditambah pelajaran ketrampilan untuk muridmurid perempuan yaitu Bijbel dan sejarah Inggris
(Het Onderwijs aan de Chineesche Bevolking
dalam De Chineesche Onderwijs, 1928, nomor
2).
3. HIS (Hollandsch Inlandsche School)
HIS (Hollandsch Inlandsche School), di
Surabaya terdapat HIS Negeri dan HIS
bersubsidi. HIS negeri didirikan pada tahun 1914
dengan masa belajarnya 7 tahun dengan
pengantar Bahasa Belanda. Bagi orang pribumi
HIS merupakan jalan utama untuk meningkatkan
derajad sosial, karena sekolah ini pada awalnya
diperuntukkan bagi orang-orang elite saja.
Setelah adanya Politik Etis sekolah ini bisa
dimasuki oleh anak-anak golongan rendah
. Di Surabaya HIS didirikan
pada tahun 1916 di daerah Krembangan, sekolah
ini terdiri dari 70 murid dan dipimpin oleh
seorang kepala sekolah juga dibantu oleh 5 guru.
Pada tahun 1917 sekolah ini mengalami
peningkatan yaitu 287 murid dan 6 guru. Pada
tahun 1918 juga didirikan sekolah HIS di daerah
Jl. Bibis mempunyai 97 murid dan 4 guru. Selain
Selain itu juga HIS bersubsidi yang didirikan
oleh perkumpulan di Surabaya. Sekolah
bersubsidi yaitu Soerabaia Inlandsche School
didirikan di Jl. Regenstraat (sekarang Jl. Kebon
Rejo) terdiri dari 208 murid dan 9 guru. Terdapat
perkumpulan Volksonderwijs Soerabaia yang
mendirikan dua sekolah, pertama Soerabaia
Onderwijs I yang didirikan di Jl. Societstraat
(sekarang Jl. Veteran) terdiri 289 murid dan 10
guru. Kedua Soerabaia Onderwijs II di Jl.
Regenstraat (sekarang Jl. Kebon Rejo), sekolah
ini terdiri dari 217 murid dan 10 guru terdiri dari
5 guru laki-laki dan 5 guru perempuan (G. H. Von
Vaber, 1931: 254).
Ada empat dasar penilaian untuk masuk
ke HIS, yaitu keturunan (memiliki keturunan dari
golongan priyayi atau ningrat), jabatan (orang tua
yang menjadi pegawai pemerintahan), kekayaan
(orang tua yang memiliki kekayaan), dan
pendidikan (orang tua yang pernah bersekolah di
sekolah Belanda). Selain itu PKB juga
berpedoman pada penghasilan seseorang per
tahunnya yang penilaian dari empat dasar untuk
masuk HIS dibagi menjadi tiga kategori. Pertama
kategori A, kaum bangsawan, pejabat tinggi, dan
pekerja swasta kaya yang berpenghasilan bersih
lebih dari 75 gulden tiap bulannya. Kedua
kategori B, orang tua yang tamatan sekolahnya
MULO dan Kweekschool, dan yang ketiga
kategori C adalah pegawai, pengusaha kecil,
militer, petani, nelayan dan orang tua yang
pernah mendapatkan pendidikan HIS. Orang tua
yang termasuk dalam golongan C dianggap
sebagai kelas menengah ke bawah, sedangkan
kategori A dan B dianggap sebagai kelas atas dan
mendapatkan prioritas pertama untuk masuk ke
HIS.
4. Sekolah Peralihan (Schakelschool)
Di Surabaya juga terdapat sekolah
peralihan (Schakelschool) yang didirikan pada
tahun 1930 di Jl. Van Riebeecklaan (sekarang Jl.
WR Supratman). Sekolah ini merupakan sekolah
peralihan dari sekolah desa 3 tahun (Volksschool)
dengan bahasa pengantar bahasa daerah. Jumlah
murid di sekolah desa ini 221 murid dan 5 guru,
dan sekolah ini didirikan apabila di
lingkungannya banyak sekolah desa. Di bawah
ini adalah tabel uang bulanan Schakelschool
dipungut berdasarkan penghasilan orang tua
murid.
Dari tabel di atas dijelaskan bahwa bila
penghasilan orang tua tinggi, maka uang bulanan
Sekolah Peralihan yang harus dibayarkan juga
akan lebih tinggi untuk anak pertama. Namun
apabila penghasilan orang tua rendah, maka uang
bulanan Sekolah Peralihan yang dibayarkan akan
rendah untuk anak pertama. Selain itu biaya
bulanan sekolah untuk anak pertama lebih tinggi
dari pada anak kedua dan juga biaya bulanan
anak ketiga dan seterusnya lebih murah daripada
anak kedua.
5. Sekolah Taman Kanak-Kanak
(Frobelschool)
Selain itu juga terdapat Sekolah Taman
Kanak-Kanak (Frobelschool), sekolah TK ini di
Surabaya didirikan oleh perkumpulan Umat
Kristiani yang mendapatkan subsidi dari PKB.
Ada dua macam Taman Kanak-kanak ini di
Surabaya, pertama sekolah yang didirikan oleh
Nyonya Asian van Timor yang sering dipanggil
dengan Tante Asia di Jl. Werfstraat (sekarang Jl.
Penjara). Sekolah ini didirikan pada tahun 1848,
sekolah ini terkenal dengan sekolah Kristen
karena setiap awal dan akhir pelajaran selalu
melantunkan lagu-lagu agama Kristen, terdiri dari
177 murid dengan 3 guru. Sekolah yang kedua
yaitu sekolah yang didirikan oleh J. W. Van Emde
bernama sekolah Van Emde, yang didirikan di Jl.
Emde (sekarang Jl. Krembangan) sekolah ini
didirikan pada tahun 1850, terdiri dari 128 murid
dan 2 guru laki-laki (G. H. Von Vaber, 1931:
252).
B. Pendidikan Rendah dengan Bahasa
Pengantar Bahasa Melayu
Pendidikan Rendah dengan Bahasa
Pengantar Bahasa Melayu terdiri dari: 1) Sekolah
Ongko Loro (De scholen der tweede Klasse); 2)
Sekolah Desa (Volksschool); dan 3) Sekolah
Desa (Volkschool).
1. Sekolah Ongko Loro (De scholen der tweede
Klasse)
Pendidikan rendah di Surabaya yaitu
Sekolah Ongko Loro (Tweede Klasse School),
sekolah ini banyak didirikan di daerah distrikdistrik, dan lama belajar sekolah ini 3 tahun
dengan menggunakan bahasa Melayu. Sekolah
rendah kelas dua disediakan untuk anak-anak
bumiputra golongan menengah. Kurikulum
sekolah rendah kelas dua sangat sederhana yaitu,
membaca, menulis dan berhitung. Sekolah ini
berfungsi untuk mempersiapkan berbagai macam
pegawai rendah untuk kantor pemerintahan dan
perusahaan-perusahaan swasta (G. H. Von Vaber,
1931: 62). Sekolah kelas dua ini mengalami
perkembangan setelah tahun 1901, diantaranya
penambahan masa studi yang awalnya 3 tahun
berubah menjadi 5 tahun. Selain itu juga
penambahan mata pelajaran pendidikan jasmani
dan perubahan yang awalnya menggunakan
bahasa daerah kemudian berganti menjadi Bahasa
Melayu. Sekolah Ongko Loro di Surabaya
didirikan pada tahun 1895, sekolah ini terdiri dari
3 guru laki-laki dengan 168 murid (S Kutoyo,
dan Sri Soetjiatingsih, 1981: 101).
2. Sekolah Desa (Volksschool)
Sekolah Desa (Volkschool), pada tahun
1907 berdiri lembaga yang bernama Inlandsch
Volksonderwijs, lembaga ini bertujuan untuk
mengusahakan pendidikan yang sederhana bagi
penduduk desa. Lama belajar sekolah desa yaitu
3 tahun dengan menggunakan bahasa pengantar
bahasa Melayu. Pengetahuan yang diajarkan
yaitu kepandaian membaca, manulis, bahasa
melayu, menggambar dan berhitung (Sutedjo
Bradjanagara, 1956: 60). Sekolah ini bertujuan
untuk memberantas buta huruf, selain itu menjadi
penyebar buah pikiran dan pengetahuan bangsa
Belanda, serta mendorong masyarakat agar
menjadi lebih sadar akan pentingnya pendidikan.
Di Surabaya sekolah desa didirikan pada tahun
1914 di daerah Krembangan dengan 208 murid
dan 6 guru (G. H. Von Vaber, 1931: 301).
3. Sekolah Lanjutan (Vervolgschool)
Sekolah Lanjutan (Vervolgschool),
sekolah lanjutan ini yang dimaksud adalah
sekolah lanjutan dari sekolah desa yang dibuka
pada tahun 1916. Lama belajar sekolah ini 2
tahun dan disediakan untuk murid-murid yang
berprestasi baik dari sekolah desa (I Djumhur dan
H Danasuparta, 1974:136). Sekolah ini
merupakan sekolah sambungan dari Sekolah
Desa (Wasty Soemanto, F. X. Soeyarno, 1983:
41). Sekolah lanjutan ini setara dengan kelas 4
dan kelas 5 di Sekolah Rendah Kelas Dua,
sehingga sekolah ini didirikan di tengah-tengah
lingkungan sekolah desa. Sekolah ini sangat
jarang peminatnya, sebagian dari sekolah ini
khusus disediakan bagi perempuan yang
mendapat tambahan pelajaran membuat kerajinan
rumah tangga. Sekolah ini didirikan di Genuaweg
(sekarang Jl. Nilam Timur), memiliki 179 murid
dan 4 guru (G. H. Von Vaber, 1931: 319).
C. Pendidikan Lanjutan (Middelbare
Onderwijs)
a. Pendidikan Umum
Pendidikan lanjutan mengalami
perkembangan yang sangat pesat dan terbuka
bagi siapa saja yang bisa masuk sekolah, baik
dari golongan Eropa maupun Pribumi.
Pendidikan lanjutan terdiri dari, MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene
Middelbare School), dan HBS (Hoogere Buger
School).
1. MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)
Berdasarkan sistem sekolahan PKB,
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)
termasuk dalam kategori sekolah dasar yang
diperluas. Sekolah ini merupakan kelanjutan dari
sekolah dasar yang berbahasa pengantar Bahasa
Belanda, sehingga MULO dapat dimasukkan
dalam jenjang pendidikan lanjutan. MULO
pertama kali didirikan di Surabaya pada tahun
1916, sekolah ini sekarang menjadi SMP 3 dan 4
Praban terdiri dari 198 murid dan 4 guru
(Algemeen Verslag Van Het Onderwijs in
Nederlandsh-Indie, 1916, hlm. 20-23). MULO
Reinierzs didirikan pada tahun 1918 dengan 201
murid dan 3 guru. Pada tahun 1928 didirikan
MULO Ketabang (sekarang dipakai SPG I Jl.
Teratai) terdiri dari 201 murid dan 6 guru, juga
terdapat MULO Praban tahun 1932 yang
didirikan di daerah Praban terdiri dari 125 murid
dan 4 guru (Warsono, 2005: 53).
Sedangkan MULO yang didirikan oleh
suatu organisasi seperti MULO Aloysius,
Katholik MULO dan MULO Buys. MULO
Aloysius merupakan sekolah swasta yang
didirikan oleh komunitas Katholik pada tahun
186 terdiri dari 204 murid dan 4 guru. Katholik
MULO didirikan di daerah Ketabang pada tahun
1936 terdiri dari 211 murid dan 7 guru. MULO
Buys didirikan di Jl. Praban No. 3 yang terdiri
dari 189 murid dan 5 guru (Algemeen Verslag,
1936-1937: 88-89). Adapun mata pelajaran
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).
Jumlah matapelajaran MULO dari kelas I sampai
kelas III sama yaitu 36 jam pelajaran, namun
terdapat perbedaan jumlah jam untuk kelas I,
kelas II maupun kelas III. Dalam mata pelajaran
MULO lebih ditekankan Berhitung dan
Matematika yang memiliki jumlah jam paling
banyak diantara pelajaran yang lainnya. Selain itu
juga pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa
Belanda yang memiliki jumlah jam lebih banyak.
2. AMS (Algemeene Middelbare School)
AMS (Algemeene Middelbare School)
didirikan sebagai sekolah lanjutan MULO dan
sekaligus sebagai persiapan untuk memasuki
perguruan tinggi dengan lama belajar 3 tahun
yang sekarang ini setara dengan SMA (S. Kutoyo
dan Sri Soetjiatingsih, 1981: 130). Di Surabaya
didirikan pada tahun 1938 Afdelling B Bidang
Ilmu Pasti Alam (Natuurwetenchap) di Viaduct
Straat (sekarang JL. Dharmahusa, ditempati SMA
IV dan SMP 29). Adapun kurikulum Afdelling B
bidang ilmu Pasti Alam (Natuurwetenchap)
sebagai berikut:
Kurikulum HBS lebih ditekankan pada mata
pelajaran bahasa Belanda yang memiliki jumlah
jam paling banyak, supaya anak-anak Eropa tidak
mengalami kesulitan untuk melanjutkan
pendidikan ke Belanda. Selain itu juga bahasa
Perancis, bahasa Jerman, dan bahasa Inggris yang
memiliki jumlah jam lebih banyak. Mata
pelajaran Berhitung dan Aljabar juga
mendapatkan jumlah jam lebih banyak, namun
hanya ditekankan pada kelas I dan kelas II.
Seperti halnya Soekarno yang dahulu
bersekolah di HBS Surabaya pada tahun 1917
sampai 1922, diwajibkan membayar f 15,00
sebulan untuk uang sekolah, dan juga f 75,00
setiap tahun untuk uang buku. Biaya pendidikan
ini sangat berat bagi pribumi, sedangkan
penghasilan ayahnya sebesar f 25 per bulan pada
tahun 1905.
Pada tahun 1928 HBS memberikan
informasi mengenai sistem pembiayaan yang
diwajibkan di sekolah kepada muridnya. Adapun
informasi sistem pembiayaan yang
dipublikasikan oleh HBS, sebagai berikut:
sekarang sekolah kejuruan digunakan sebagai
SMK 1 Surabaya G. H. Von Vaber, 1933:302).
D. Pendidikan Tinggi
Di Surabaya terdapat dua Sekolah Dokter
yaitu: 1) NIAS (Nederlandsch Indische Artsen
School); dan 2) STOVIT (School tot Opleiding
voor Indische Tandartsen) di Surabaya.
1. NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School)
NIAS (Nederlandsch Indische Artsen
School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di
Surabaya didirikan pada tanggal 1 Juli 1914.
Tujuan didirikannya sekolah NIAS ini untuk
mendidik dokter-dokter yang langsung bekerja
untuk melayani kesehatan masyarakat sesuai
dengan Staatsblad, 1914, No. 291 (Algemeen
Verslag Van Het Onderwjs in Nederlandsch Indie,
1916:112). NIAS pertama didirikan di Viaduct
Straat No. 47 (sekarang Jl. Kedungdoro No. 38
Surabaya), pada tanggal 2 Juli 1923 NIAS pindah
ke gedung Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Jl. Prof. Dr. Moestopo No. 47
Surabaya. Kurikulum NIAS disesuaikan dengan
kurikulum STOVIA (School tot Opleiding voor
Indische Artsen) di Batavia dengan masa
pendidikan 10 tahun yaitu 3 tahun bagian
persiapan (pendidikan dasar tentang kedokteran)
dan 7 tahun bagian kedokteran (pelajaran yang
diajarkan khusus kedokteran).Siswa yang
diterima yaitu lulusan MULO pemerintah, baik
dari kalangan pribumi, keturunan Cina dan
Arab.Direktur pertama kali yaitu Dr. R.J.F. Van
Zaben yang merupakan seorang dokter dan
tenaga pengajar, dengan jumlah murid 12 orang.
Pada tahun 1928 lama masa studi NIAS
berubah, yang pada awalnya 10 tahun menjadi
8,5 tahun dengan menghapus pendidikan
persiapan dan menerima tamatan MULO.
Lulusan NIAS secara resmi disebut dengan gelar
"Dokter Djawa", para pengajarnya sebagian besar
adalah dokter-dokter militer Belanda.Meskipun
dinamakan sekolah kedokteran, namun fokus
pendidikannya saat itu masih pada pengetahuan
kesehatan dasar dan aplikasinya yang praktis
yang diantaranya adalah pengetahuan dalam
pelaksanaan vaksinasi.
2. STOVIT (School Tot Opleiding van Indische
Tandartsen)
Sekolah Dokter Gigi STOVIT (School
Tot Opleiding van Indische Tandartsen) di
Surabaya yang diprakarsai oleh Dr. Lonkhuizen
yang saat itu menjabat sebagai Kepala
Departemen Kesehatan Masyarakat di Hindia
Belanda. Dr. Lonkhuizen mempunyai gagasan
untuk membuka Sekolah Dokter Gigi pada tahun
1928 di Surabaya dan meminta Dr. R.J.F. Van
Zaben (pemimpin NIAS Sekolah Kedokteran)
untuk memimpin STOVIT. Sekolah ini satu
komplek dengan sekolah NIAS yaitu di Viaduct
Straat No. 47 (sekarang Jl. Kedungdoro No. 38
Surabaya). Pada Juli 1928 sekolah ini secara
resmi menerima pendaftaran siswa dan jumlah
siswa yang diterima pada angkatan pertama yaitu
21 orang. Syarat utama untuk bisa diterima di
sekolah ini yaitu lulusan MULO dengan lama
pendidikan 5 tahun, termasuk latihan klinik 3
tahun. Setiap tahun STOVIT rata-rata siswanya
hanya 20 orang saja, karena kurangnya tempat
untuk menampung siswa (Algemeen Verslag Van
Het Onderwjs in Nederlandsch Indie, 1916:118).
4. Dampak Pendidikan Kolonial di Surabaya
Perkembangan di bidang pendidikan
kolonial tidak lepas dari peran PKB pada masa
Politik Etis atau Politik Balas Budi. Pendidikan
kolonial ini diarahkan kepada usaha untuk
mencetak tenaga administrasi dengan upah yang
murah, seperti pegawai kantor. Di sisi lain
lembaga pendidikan kolonial untuk menetralisasi
kekuatan politik yang dikhawatirkan muncul dari
golongan masyarakat pribumi yang muslim. Pada
masa PKB pesantren tidak dimasukkan ke dalam
perencanaan pendidikan kolonial, karena sistem
pendidikan pesantren dinilai terlalu tradisional.
Ditinjau dari segi tujuan, metode, maupun bahasa
yang digunakan sistem pendidikan pesantren
tidak sesuai dengan sistem pendidikan kolonial.
Dampak dari adanya pendidikan kolonial ini
menimbulkan berbagai reaksi dikalangan ulama
seperti pertama, mereka mengisolasi diri dari
pengaruh sistem pendidikan kolonial karena
dinilai akan merugikan pendidikan Islam. Kedua
usaha untuk memodernisasi lembaga pendidikan
Islam yang ada sebagai tindakan saingan bagi
sistem pendidikan kolonial .
Gerakan modernisasi dalam bidang
pendidikan mulai tampak dengan munculnya
sejumlah perguruan dan organisasi yang telah
mendirikan sekolah-sekolah non pemerintah
seperti Muhammadiyah. Hal yang membuat
ketidakpuasan masyarakat yaitu di sekolah PKB
tidak diberikan mata pelajaran agama khususnya
agama Islam, karena agama merupakan sebuah
keyakinan dari setiap umat manusia. Seperti di
Negeri Belanda telah timbul pertentangan tentang
mata pelajaran agama di sekolah-sekolah, karena
terdapat undang-undang tahun 1857 yang berisi
tentang penghapusan semua pelajaran agama di
sekolah-sekolah, termasuk sekolah-sekolah yang
berada di Hindia Belanda .
Metode pendidikan tradisional yang
awalnya murid diajari satu persatu oleh gurunya
kini berubah, karena seorang guru kini harus
mengajar dihadapan banyak murid dalam satu
kelas. Selain itu juga diadakannya evaluasi
terhadap murid-murid dalam hal prestasinya,
sehingga diperkenalkan sistem ujian untuk
menentukan naik kelas atau tidak (Mastoko
Soemarsono, 1985:234). Pendidikan Islam
modern ini dapat dilihat dari usaha Kyai Haji
Ahmad Dahlan yang merupakan pelopor dari
pembaharuan pengajaran agam Islam di
Indonesia melalui perkumpulan Muhammadiyah.
Di Surabaya pada tanggal 21 Nopember 1912
berdirilah Muhammadiyah di Jl. Sawahan Gg. I
(sekarang Kalimas Gg. III), dipimpin oleh K. H.
Mas Mansoer. Tujuan dari didirikannya sekolah
Muhammadiyah ini untuk memperluas dan
mempertinggi pendidikan agama Islam secara
modern, serta memperteguh keyakinan agama
Islam serta terwujud masyarakat Islam yang
sebenarnya.
Selain itu juga terdapat NU (Nahdatul
Ulama) yang merupakan perkumpulan dari
berbagai alim ulama pondok pesantren di Jawa
Timur. Sekolah NU ini didirikan di Surabaya
pada tanggal 31 Januari 1926, yang bertujuan
memegang teguh salah satu dari empat mahzab
imam yaitu, Imam Syafi’i (ahli fiqi), Imam
Maliki (ahli hadist), Imam Hanafi (ahli fiqi) dan
Imam Hambali (ahli hadist) dan mengerjakan halhal yang menjadi tuntunan agama Islam.
Perkembangan pendidikan di Surabaya juga
mengakibatkan munculnya elit modern di
Surabaya, sebagai akibat dari dibukanya
kesempatan belajar bagi pribumi, yaitu Soekarno
merupakan murid dari HBS Surabaya (1917-
1922). Selain itu juga Sutomo atau Bung Tomo
merupakan alumni dari MULO (1932) dan HBS
(1939), Roeslan Abdulgani merupakan alumni
HIS (1920-1928), MULO (1928-1932), dan HBS
(1932-1934).
Pendidikan kolonial telah menghasilkan
golongan terpelajar yang dipandang oleh
masyarakat sebagai golongan priyayi. Status
priyayi ini kemudian menjadi cita-cita paling
utama bagi orang pribumi, walaupun status
priyayi didapatkan atas dasar pendidikan bukan
dari faktor keturunan. Akibat dari adanya
pendidikan kolonial yang dibuat oleh PKB, dan
pada umumnya mereka memegang peran dalam
berbagai lapangan pekerjaan salah satunya guru,
dan pegawai administras, Setelah status priyayi dikuasai oleh
golongan berpendidikan, maka kriteria untuk
pengangkatan dari berbagai dinas, baik itu dari
lembaga pemerintahan maupun pada perusahaanperusahaan swasta dilihat dari status
pendidikannya. Selain untuk meningkatkan status
sosialnya sebagai priyayi, kelompok terpelajar
juga bisa memperoleh keuntungan ekonomi
dengan taraf hidupnya yang lebih baik.
Selain itu pelaksanaan Politik Etis yang
dilaksanakan oleh PKB juga mengakibatkan
tumbuhnya kesadaran akan harga diri sebagai
bangsa. Melalui pendidikan kolonial pahampaham seperti demokrasi, nasionalisme,
kemanusiaan dan hak-hak menentukan nasib
sendiri mulai masuk ke dalam masyarakat
Indonesia. Isu nasionalisme tampak juga ke
seluruh wilayah Indonesia berkat adanya Boedi
Oetomo (BU) pada tahun 1908. Organisai BU
telah menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa
perjuangan mereka akan sia-sia apabila
mengandalkan kekuatan dan sifat kedaerahan
masing-masing tanpa memperhatikan persatuan
nasional (Eko Crys Endrayadi, 2004:135).
Selain itu juga di Surabaya terdapat
Sarekat Islam yang didirikan pada tanggal 10
September 1912 yang dipimpin oleh
Tjokroaminoto, dan anggotanya Soekarno dan K.
H. Mas Mansoer. Gerakan sosial di Surabaya
yaitu keberanian anggotanya yang disatukan
dengan menggunakan Islam sebagai dasarnya,
selain itu juga mereka berani melakukan
perlawanan dalam wujud gerakan sosial seperti
sosialisasi tentang perjuangan bangsa Indonesia.
Hal ini terbukti ketika terjadi peristiwa di
Surabaya tahun 1915-1916 yaitu perlawanan dari
penghuni tanah partikelir terhadap tuan tanah,
ribuan masa dikerahkan oleh SI untuk
mendukung perubahan yang ingin dicapai.
Kebijakan Politik Etis diterapkan di
Hindia Belanda berawal dari dua kebijakan
sebelumnya yaitu Sistem Tanam Paksa (1830-
1870) dan Politik Liberal (1870-1900) yang
membuat kesejahteraan masyarakat pribumi
menurun. Hal ini mengakibatkan kritikan yang
ditulis oleh C. Th. Van Deventer yang dimuat
dalam majalah De Gids pada tahun 1899 yang
berjudul Een Eereschuld berarti Hutang Budi.
Dalam tulisan ini memberi gambaran bahwa
kemakmuran Negeri Belanda diperoleh dari kerja
keras dan jasa masyarakat pribumi. Bangsa
Belanda sebagai bangsa yang maju dan bermoral
harus membayar hutang itu dengan
menyelenggarakan trilogi atau trias, yaitu irigasi,
emigrasi (transmigrasi) dan edukasi.
Setelah adanya kritikan ini, kemudian
melalui pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901
menghimbau penyebab kemunduran
kesejahteraan masyarakat pribumi dan usahausaha untuk menanggulanginya. Kebijakan
Politik Etis tersebut di atas hanya difokuskan
dalam bidang pendidikan, karena bidang
pendidikan sangat penting untuk ditingkatkan.
Hal ini dapat dilihat ketika status priyayi hanya
dapat diperoleh karena faktor keturunan, namun
setelah diterapkannya Politik Etis ini masyarakat
pribumi yang bukan priyayi dapat
memasukkannya melalui pendidikan yang tinggi.
Begitu juga tenaga kerja yang dibutuhkan di
bidang industri sangat dibutuhkan dari orangorang yang memiliki pendidikan. Apabila
seseorang sudah melalui peningkatan dalam
bidang pendidikan, selain itu PKB berharap ada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam
bidang ekonomi dan sosial. Di Surabaya
didirikan sekolah ELS (Europeesche Lagere
School) pada tahun 1912 di daerah Sawahan
(sekarang Jl. Weezen) dengan masa belajar 7
tahun.
Hal yang melatarbelakangi didirikannya
pendidikan di Surabaya yaitu adanya aturan
bahwa PKB mendirikan sekolah-sekolah yang
lokasinya terdapat orang-orang Belanda, mereka
pada umumnya tinggal di kota-kota yang terdapat
pelabuhan dan kota-kota yang terdapat
perkebunan-perkebunan. Selain itu juga didukung
oleh aktivitas pelabuhan yang sangat tinggi di
Tanjung Perak, sehingga banyak penduduk yang
datang ke Surabaya dengan melakukan aktivitas
perekonomian di pelabuhan. Hal ini dapat dilihat
dalam kurun waktu 24 tahun mulai tahun 1906-
1930 pertumbuhan penduduk semakin tinggi,
terutama orang Eropa yang mengalami
peningkatan sebesar tiga kali lipat. Selain itu
orang-orang Cina juga mengalami peningkatan
sebesar dua kali lipat, karena semakin meningkat
kegiatan mereka dalam bidang perdagangan.
Terdapat perkembangan dalam bidang
pendidikan kolonial di Surabaya seperti ELS
(Europeesche Lagere School). Pada tahun masa
studi ELS mengalami peningkatan menjadi 7
tahun yang pada awalnya hanya 3 tahun. Selain
itu dalam kurikulum ELS ditambah Bahasa
Belanda, karena mata pelajaran ini dianggap
penting. Terdapat sekolah bersubsidi yang
didirikan oleh organisasi Vereeniging
“Broedersschool te Soerabaia” pada tahun 1923
yaitu Broedersshool Santo Aloysius dan ELS
Broedersschool Santo Yosef. Pendidikan untuk
orang Cina pertama kali didirikan oleh
perkumpulan Ho Tjiong Hak Kwan, yang
mendirikan sekolah bernama THHK (Tiong Hwa
Hwee Kwan) tahun 1903. Pada tahun 1908 PKB
mendirikan juga sekolah HCS untuk anak-anak
Cina. Pada tahun 1913 PKB mendirikan dua
HCS, pertama di Grisseescheweg (sekarang Jl.
Gresik) jumlah siswa 200, dan kedua Pasar Turi
jumlah siswa 209. Pada tahun 1920 PKB
memberikan subsidi bagi organisasi yang
bersedia untuk membuka HCS bersubsidi,
sehingga pada tahun 1924 didirikanlah sekolah
yang bernama Hollandsch Chineesche Meisje
School, Christelijk Hollands Chineesche Scool,
dan Hollandsch Chineesche Meisje School.
Perkembangan sekolah HCS untuk memenuhi
daerah-daerah yang pertumbuhan penduduknya
meningkat, khususnya orang-orang Cina.
Selain pendidikan yang telah dijelaskan di
atas juga terdapat HIS yang didirikan di
Surabaya. Terdapat persyaratan untuk masuk ke
sekolah HIS, yaitu keturunan, jabatan, kekayaan,
dan pendidikan. Sekolah lanjutan yang didirikan
PKB di Surabaya yaitu MULO, sekolah ini
pertama didirikan pada tahun 1928, dan pada
tahun 1932. Namun pada tahun 1938 kedua
sekolah ini digabung menjadi satu sekolah,
karena sebagian dari gurunya mengikuti wajib
militer. Di Surabaya didirikan Afdelling B
Bidang Ilmu Pasti Alam pada tahun 1938,
didirikannya sekolah ini bertujuan
mempersiapkan murid-muridnya untuk lanjut ke
perguruan tinggi. Selain AMS juga terdapat HBS
yang merupakan sekolah lanjutan, sekolah ini
disamakan dengan sekolah yang ada di Negeri
Belanda. Apabila anak-anak Eropa ingin
melanjutkan ke perguruan tinggi di Negeri
Belanda, tidak akan mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan pelajaran. Sekolah HBS ini tidakmengalami perubahan, namun hanya peningkatan
jumlah siswa dan jumlah guru.
Pendidikan yang berjenjang tersebut di
atas telah memunculkan golongan elite modern di
Surabaya seperti Soekarno. Soekarno adalah
murid dari sekolah HBS Surabaya Regenstraat
(sekarang Jl. Kebon Rojo) tahun 1917-1922,
karena tahun 1923 sekolah ini pindah ke Jl.
Ketabang. Selain itu juga Soekarno merupakan
anak yang aktif di sekolahnya, salah satunya ikut
dalam debating club yang dilaksanakan oleh
meneer Hartogh guru HBS. Golongan priyayi
merupakan orang terpandang yang memiliki
kekuasaan di daerahnya, dan status ini hanya bisa
didapatkan melalui keturunan. Setelah adanya
pendidikan kolonial yang didirikan oleh PKB,
membuat munculnya golongan terpelajar yang
dipandang sebagai golongan priyayi. Status
kepriyayian kemudian menjadi cita-cita bagi
masyarakat pribumi, walaupun status priyayi
tersebut didapatkan melalui pendidikan dan
bukan dari faktor keturunan. Akibat dari adanya
pendidikan kolonial yang dibuat oleh PKB,
masyarakat pribumi bisa menjadi pegawai di
berbagai instansi pemerintah sesuai sesuai
dengan tingkat pendidikannya. Selain itu juga
munculnya elite moder, juga munculnya
organisasi yaitu BU (Budi Utomo), dan SI
(Sarekat Islam).