Home »
indonesia zaman penjajahan
» indonesia zaman penjajahan
indonesia zaman penjajahan
indonesia zaman penjajahan
Sebagai negara bahari, Indonesia tidak hanya
memiliki satu “laut utama” atau heart sea, tetapi
paling tidak ada tiga laut utama yang membentuk
Indonesia sebagai sea system yaitu Laut Jawa,
Laut Flores dan Laut Banda. Laut Jawa
merupakan kawasan jantung perdagangan laut
kepulauan Indonesia, dan telah terintegrasi oleh
jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum
datangnya bangsa Barat. Sementara itu Houben
menyatakan bahwa laut Jawa bukan hanya
merupakan laut utama bagi Indonesia, tetapi
juga merupakan laut inti bagi kawasan Asia
Tenggara (Houben, Maier, dan Molen, 1992:
vii). Sejarawan yang secara lebih khusus menulis
mengenai sejarah perdagangan maritim di
Indonesia adalah Meilink Roelofzs. Dalam
bukunya, ia melukiskan bahwa sebelum
kedatangan para pedagang Portugis dan Belanda
telah berlangsung perdagangan antarpulau di
wilayah Indonesia. Barang-barang dagangan
utama yang diperdagangkan dalam skala yang
besar adalah beras dan lada, dan dengan
menggunakan kapal-kapal pribumi yang cukup
besar (Meilink-Roelofsz, 1962).
Dunia bahari dalam sejarah Indonesia juga
tidak bisa dilepaskan kaitannnya dari kondisi
fisik atau geografis wilayah Indonesia. Menurut
Ensiklopedi Nasional Indonesia dapat diketahui
bahwa wilayah Indonesia terletak antara dua
benua yaitu Asia dan Australia, dan antara dua
samudra yaitu samudra Hindia (Indonesia) dan
samudra Pasifik, terdiri dari lebih 13.000 pulau,
mulai dari pulau We di ujung utara/ barat sampai
pulau Irian di ujung timur, dengan perbandingan
wilayah laut (78%) dan darat (22%) (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989: 74-75). Pulaupulau dalam wilayah Indonesia itu terbentang
menyebar sejauh 6.400 km dari timur ke barat
dan sejauh 2.500 km dari utara ke selatan,
sedangkan garis terluar yang mengelilingi
wilayah itu sekitar 81.000 km (Wertheim, 1969:
16-37; Walcott, 1914: 1; KPM, 1938: 37; dan
Ali, 1966: 27). Sumber yang lain menyebutkan
bahwa Indonesia memiliki wilayah seluas sekitar
587.000 km², sementara jarak dari ujung paling
timur ke ujung paling barat sebagaimana
digambarkan oleh Multatuli adalah lebih panjang
daripada jarak antara London sampai Siberia
(Drake, 1989: 16).
Sehubungan dengan hal itu, adalah kurang
bijaksana melihat sejarah Indonesia dari sisi
daratan saja, sehingga pengetahuan dan
pandangan tentang masa lampau yang
merupakan dasar untuk mengenal dan mengerti
masa kini menjadi berat sebelah. Penulisan
sejarah yang berpretensi atau beraspirasi
Nasional dalam arti yang sebenarnya dianggap
tidak lengkap apabila yang diutamakan hanya
unsur darat saja dari yang seharusnya sejarah
tanah air. Hal ini menjadi lebih penting lagi
sesudah Wawasan Nusantara diterima dan diakui
sebagai pandangan resmi yang dianut oleh
pemerintah dan bangsa Indonesia. Wawasan ini
tidak lagi melihat Negara Republik Indonesia
sebagai suatu kesatuan berdasarkan prinsip
pulau-demi-pulau, melainkan suatu negara
kepulauan (archipelagic state) yang mempunyai
kebulatan teritorial termasuk laut dan selat yang
berada di dalam garis perbatasan yang telah
ditentukan. Azas ‘Negara Kepulauan’ resmi
diumumkan lewat Deklarasi Juanda pada 13
Desember 1957 dan diperjuangkan pada tingkat
internasional selama 25 tahun.
Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa
Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam
bidang maritim. Hal itu dapat diketahui dari
adaya masa kejayaan kerajaan-kerajaan maritim
yang pernah tampil dalam panggung sejarah
Indonesia. Di antara kerajaan-kerajaan itu juga
saling berhubungan melalui transaksi perdagangan dan pelayaran perahu.1
Salah satu kerajaan
maritim yang besar dan terkenal di Nusantara
pada waktu itu adalah kerajaan Sriwijaya yang
berlangsung dari abad ke-7 sampai 14. Dalam
dunia perdagangan dan pelayaran, Sriwijaya
berhasil menguasai hampir semua wilayah
perairan di Nusantara antara lain Laut Jawa, Laut
Banda, dan sebagian laut di wilayah Indonesia
Timur. Di Makassar terdapat kerajaan GowaTallo. Sementara itu Jawa terdapat kerajaan
Majapahit (1293-1525) yang agraris dan juga
maritim. Setelah kemerosotan Majapahit padaabad ke-16, di Jawa muncul kerajaan maritim
baru, yaitu Demak. Sementara di luar Jawa,
terutama di Sulawesi pelaut Makassar dan Bugis
pada abad ke-17 telah melakukan pelayaran
hampir ke seluruh parairan Nusantara
(Indonesia). Dengan demikian dapat dikatakan,
sampai abad ke-17 wilayah Nusantara telah
terintegrasi dalam suatu jaringan pelayaran dan
perdagangan dari berbagai suku bangsa yang ada
di kawasan itu.
Kemunduran kerajaan-kerajaan maritim di
Nusantara di samping disebabkan oleh
persaingan atau konflik interen dari kerajaankerajaan tersebut, juga disebabkan oleh
kedatangan bangsa Barat yang tujuan utamanya
adalah untuk berburu komoditas khususnya
rempah-rempah, tetapi secara berangsur-angsur
akhirnya menjajah Indonesia. Verenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) berhasil
memaksakan monopoli perdagangan, sedangkan
setelah VOC gulung tikar pemerintah Belanda
menggantikannya dan menjajah Nusantara
dengan pemerintahan Hindia-Belandanya.
Sebagai contoh yang menarik mengenai
kasus kemerosotan kerajaan maritim di Nusantara adalah pelabuhan Tuban. Pada zaman awal
kejayaan kerajaan Majapahit pada 1350-an
Tuban merupakan kota dan pelabuhan terbesar
di Nusantara. Di pelabuhan itulah berkumpul
para pedagang kaya, pemilik modal layaknya
kaum borjuis di Eropa abad ke-19, yang dengan
kekayaan dan para pengawalnya yang besar
mempunyai pengaruh dalam bidang politik
dalam kerajaan (Bebler, 1963: 25).
Merebaknya kekuasaan VOC di
Nusantara ditandai dengan keberhasilan J.P.
Coen menyerang dan merebut Sunda Kelapa
(Jakarta sekarang) pada 30 Mei 1619. Bahkan
kota pelabuhan yang makmur itu dibakar habis
oleh pasukan VOC di bawah J.P. Coen (Heuken,
?: 136, 157, 158; Mulyana, 1980: 98). Sebagai
Gubernur Jendral VOC dikemudian hari, ia
menjadikan Sunda Kelapa menjadi pos atau
benteng yang aman di Nusantara, sebagai pusat
administrasi, perdagangan dan politik
pemerintahan VOC, dengan nama baru Batavia.
Dari pusat pemerintahannya di Batavia
inilah, VOC terus-menerus merencanakan
sistem perdagangan monopoli di seluruh wilayah
Nusantara, khususnya di daerah-daerah atau
kota-kota pelabuhan. Taktik licik yang ditempuh
adalah dengan menjalankan politik adu domba
(Devide et Impera) dan intervensi politik dalam
urusan interen di berbagai kerajaan pribumi.
Ricklefs menyebutkan bahwa dalam setiap
peranan kompeni Belanda dalam membantu dan
menjaga kedudukan pewaris tahta kerajaankerajaan pribumi, berakibat semakin mendorong
timbulnya konflik-konflik interen dalam istana,
kekacauan atau bahkan pemberontakan. Untuk
yang disebut terakhir inilah kompeni Belanda
biasa mengambil sikap memihak kepada yang
diharapkan akan memberi konsesi politik dan
ekonomi lebih besar (Rickelfs, 1974: 51).
Pemerintahan Hindia Belanda yang
menggantikan VOC berusaha keras untuk menguasai seluruh daerah-daerah di Nusantara.
Selama abad ke-19 dan bahkan sampai awal abad
ke-20 Belanda terus melakukan terus serentetan
penaklukan dan penghancuran terhadap berbagai perlawanan rakyat di berbagai daerah di
Nusantara, khususnya di luar Jawa. Sebagai
hasilnya Belanda akhirnya berhasil mewujudkan
cita-citanya, yaitu apa yang disebut Pax
Neerlandica, atau sebuah imperium Belanda
Raya. Artinya, bahwa selama masa itu aktivitas
kemaritiman penduduk Nusantara berada di
bawah pengawasan dan kekuasaan kolonialisme
Belanda. Dalam praktik baik pelayaran domestik
maupun pelayaran internasional di kawasan
Nusantara dikendalikan oleh perusahaan
Belanda sendiri, khususnya N.V. Koninklijk
Paketvaart Maatschappij (KPM) yang secara
tidak langsung mendapatkan monopoli atas
pelayaran di Hindia Belanda. Kemudian KPM
juga dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial
Belanda dalam membangun infrastruktur jalur
pelayaran yang memungkinkannya mengontrol
seluruh wilayah Hindia Belanda secara politis,
dalam rangka mencapai integrasi negara kolonial
di bawah bendera Pax Neerlandica (Ã Campo,
1992: 21-22).Meskipun berada di bawah dominasi
Belanda tidak berarti bahwa aktivitas
kemaritiman seluruh suku bangsa di wilayah
Nusantara menjadi terhenti. Hanya saja aktivitas
mereka, khususnya suku-suku di berbagai pulau
di luar Jawa, terbatas pada pelayaran dan
perdagangan antarpulau. Juga terdapat sejumlah
pelaut dan pedagang pribumi yang lebih memilih
atau mengubah profesi mereka menjadi
perompak di laut, dan ada yang sebagian lagi
menghindar atau menyingkir ke pedalaman
untuk menjadi petani.
Kemerosotan pelayaran penduduk
pribumi mencapai puncaknya selama masa
pendudukan Jepang. Pada masa itu jaringan
pelayaran antarpulau diambil alih dan dikuasai
oleh militer Jepang dalam rangka Perang Asia
Timur Raya, sementara kapal-kapal KPM, untuk
sebagian disita Jepang dan sebagian lagi keluar
dari perairan Indonesia. Bahkan kapal-kapal
milik orang-orang Cina dari Singapura yang
selama periode kolonial menjadi pesaing KPM
juga tidak banyak lagi bermunculan di perairan
Indonesia. Dengan demikian, bisa dikatakan
bahwa periode pendudukan Jepang ini
merupakan masa yang sangat gelap dalam
sejarah pelayaran dan perdagangan antarpulau di
Indonesia.
Sesudah Jepang menyerah dan Indonesia
memasuki masa Revolusi, Belanda berusaha
membangun kekuasaannya di Hindia-Belanda
baik dalam bidang keamanan, politik, dan
ekonomi. Pada periode ini Belanda berusaha
keras untuk mengembalikan dominasi pelayarannya di Indonesia, khususnya dengan membangkitkan kembali eksistensi KPM (Panitia
Penjusun Naskah Buku ’20 Tahun Indonesia
Merdeka’, 1966: 640).
Dengan dalih untuk memajukan pelayaran
pantai, pihak Belanda yang diwakili oleh Departemen Urusan Ekonomi (Departement van
Economische Zaken) dan KPM pada 14 Maret
1947 mendirikan Stichting Gemeenschappelijk
Schappenbezit (SGS). Dalam pelaksanaannya
SGS menyewa kapal-kapal dari KPM dari
Pemerintah Hindia Belanda, kemudian
disewakan kepada perusahaan-perusahaan
pelayaran nasional daerah. Untuk maksud
tersebut didirikanlah Dochter Maatschappeijen
dalam bentuk perusahaan nasional di daerahdaerah, tetapi SGS memiliki bagian saham yang
terbesar. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pendirian SGS semata-mata bertujuan
untuk memperkuat kedudukan KPM, karena
melalui badan-badan SGS, KPM tetap
menduduki posisi monopoli dalam pelayaran di
perairan Indonesia. Pada 1949 ketika Belanda
telah mengakui dan menyerahkan kedaulatan
Indonesia, kedudukan KPM yang sangat kuat ini
tetap diusahakan oleh pihak Belanda untuk tetap
dipertahankan.
Pada pihak lain, yaitu Republik Indonesia
yang telah merdeka, juga ingin menguasai dan
mengembangkan pelayaran dan perdagangan
nasional. Sehubungan dengan hal itu, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan,
Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja
No.3260/Ment. tanggal 5 September 1950
didirikan Yayasan Penguasaan Pusat Kapal-kapal
(Pepuska). Sementara SGS yang didirikan oleh
Belanda dibubarkan dengan ketentuan, dan
fungsi serta harta kekayaannya diambil alih oleh
Yayasan Pepuska. Tujuan dari pendirian
Pepuska adalah untuk mengembangkan
pelayaran nasional dengan tugas kerja yang
meliputi pembinaan pelayaran pantai dan
pelayaran samudera nasional. Namun demikian,
dalam praktik sulit untuk dilaksanakan. Dalam
pelaksanaannya, ternyata usaha Yayasan Pepuska
tidak seperti yang diharapkan. Oleh karena itu,
diperlukan kiat baru dengan melibatkan peranan
negara dalam bidang pelayaran, yaitu harus
dibentuk suatu perusahaan pelayaran milik
negara, yang akan merupakan suatu centraal
vervoersapparaat yang nantinya diusahakan
secara berangsur-angsur mengambil alih usaha
pelayaran KPM.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut,
maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Perhubungan No. M.2/1/tanggal 28 Februari
1952 dan No. A.2/1/1 tanggal 19 April 1952,
didirikan PT Pelayaran Nasional Indonesia (PT
PELNI), sedangkan Yayasan Pepuska dilikuidasi
dengan ketentuan, bahwa uang dan hartakekayaan diinvestasikan kepada PT PELNI.
Pada akhir 1957 sebagai akibat dari konflik Irian
Barat, yaitu perjuangan bangsa Indonesia
merebut kembali wilayah itu dalam kesatuan
Republik Indonesia, maka KPM terpaksa harus
meninggalkan Indonesia. Setelah diadakan
penarikan kapal-kapal KPM dari perairan
Indonesia, maka keluarlah Peraturan Pemerintah
No. 47/1957, dan Surat Keputusan Menteri
Pelayaran tanggal 10 Maret 1958 No. Plj.
1/1/14, dengan tujuan untuk mengusahakan
dan memenuhi kebutuhan jasa angkutan laut
dalam negeri, dan menetapkan jaringan
angkutan laut yang baru menggantikan KPM.
Dengan demikian, sejak saat itu PT PELNI
mulai berkiprah untuk mengembangkan
pelayaran dalam negeri dengan berbagai
fasilitasnya.
Berdasar pada uraian singkat latar
belakang kesejarahan pelayaran di Indonesia
sampai pada berdirinya PT PELNI, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah
bagaimanakah sejarah perkembangan KPM,
bagaimanakah latar belakang pendirian PELNI
dan bagaimanakah usaha-usaha pemerintah RI
dan PELNI untuk menggantikan peranan KPM.
Metode penelitian yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yang
pada garis besarnya terdiri dari empat langkah
secara berurutan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, heuristik, yaitu kegiatan mencari
dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah.
Sumber-sumber itu terdiri dari sumber primer
yang berupa dokumen atau arsip yang bisa
ditemukan di lembaga Arsip Nasional Republik
Indonesia dan sumber-sumber sekunder yang
berupa buku-buku penunjang, majalah, koran,
terbitan berkala, dan sebagainya. Khusus
mengenai sumber arsip yang terutama adalah
arsip Sekretariat Negara dan khasanah arsip dari
Departemen Perhubungan dan juga dari PT
PELNI. Sementara sumber sekunder yang
berguna sebagai sumber pendukung atau
pelengkap bisa diperoleh dari berbagai
perpustakaan di Jakarta dan dari internet.
Kedua, kritik sumber, yaitu kegiatan yang
bertujuan untuk menyelidiki dan menguji
apakah sumber-sumber sejarah yang ditemukan
itu bisa dipercaya (kredibel) baik dalam bentuk
maupun isinya. Dengan demikian tahap ini
merupakan kegiatan untuk mencari informasiinformasi yang bisa dipercaya dari sumbersumber sejarah, yang dalam Ilmu Sejarah disebut
dengan istilah fakta sejarah.
Ketiga, interpretasi, adalah kegitatan
menetapkan makna dan saling hubungan antara
fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh melalui
kritik sumber. Dalam hal ini dari banyak fakta
sejarah yang telah diperoleh harus dirangkaikan
atau dihubung-hubungkan satu sama lain
sehingga menjadi satu kesatuan yang harmonis,
menurut rangkaian yang kronologis dan
hubungan sebab akibat.
Keempat, Historiografi atau rekonstruksi
sejarah, yaitu kegiatan melakukan sintesis
sejarah, atau menyajikan hasil penelitian dalam
bentuk kisah sejarah.
DINAMIKA KPM SAMPAI 1952
KPM adalah perusahaan pelayaran negara
(kerajaan) Belanda yang kantor pusatnya
berlokasi di Batavia (Jakarta sekarang), tetapi
status hukumnya berkedudukan di Amsterdam
negeri Belanda. Pada masa kolonial KPM
memainkan peranan kunci dalam pasifikasi
wilayah Nusantara sehingga berada sepenuhnya
di bawah kekuasaan Belanda. Hal ini bukan
berarti bahwa di Indonesia atau Nusantara tidak
pernah terdapat aktivitas pelayaran dan
perdagangan yang membentuk jaringan pelayaran Nusantara. Bukti-bukti sejarah
menunjukkan bahwa di Nusantara pernah
berjaya kerajaan-kerajaan maritim yang telah
mengembangkan jaringan pelayaran perdagangan sampai jauh keluar Nusantara.1 Cara khas
yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda untuk
menguasai dunia maritim di Nusantara adalah
tetap mempertahankan monopoli warisan zaman
VOC dengan modus operandi yang baru.
Terdapat faktor lain yang ikut mendorong
usaha Belanda untuk mempercepat penguasaan
jaringan pelayaran dan perdagangan di
Nusantara adalah perkembangan teknolog perkapalan dan pelayaran moderen, yang juga
merupakan salah satu aspek dari proses
perkembangan teknologi baru yang terjadi di
dunia Barat. Hal itu berkaitan erat dengan
ditemukannya mesin uap pada abad ke-18 oleh
James Watt, yang selanjutnya juga ikut
mendorong perkembangan teknologi perkapalan, yaitu dengan dikembangkannya kapal
bermesin uap (steamboat).
Salah satu perusahaan Belanda yang telah
beroperasi di Hindia-Belanda dan juga telah
menggunakan kapal uap sebelum berdirinya
KPM adalah Nederlandds Indische Stoomboot
Maatschappij (NISM) yang didirikan oleh
William Mackinnon pada 1864 (“Koninklijke
Paketvaart Maatschappij 1888-1967”). NISM
sesungguhnya adalah cabang dari perusahaan
pelayaran yang ada di Belanda yaitu NSM (Chia
Joshua, Yeong Jia, dan Loh Pei Ying, 2007).
NISM merupakan cabang dari British India
Steam Navigation Company, yang dimiliki oleh
beberapa orang Inggris, yang salah satunya
adalah William Mackinnon. Namun demikian,
pada 1865 NISM memperoleh monopoli pelayaran antarpulau di Hindia-Belanda oleh pemerintah Belanda.
Sementara itu, perusahaan swasta Belanda
yang berkedudukan di negeri Belanda (Amsterdam) adalah Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN). Perusahaan ini terutama berfokus
pada rute negeri Belanda dan Jawa yang
kemudian lebih populer dengan istilah pelayaran
pos. Perusahaan ini juga melayani pelayaran
regular terjadwal bagi penumpang dan muatan
kargo antarpulau di Hindia Belanda. Di samping
SMN juga terdapat perusahaan Belanda yang
lain, yaitu Rotterdamsche Lloyd (RL). Perusahaan ini mempunyai trayek yang hampir sama
dengan SMN. Kedua perusahaan itu (SMN dan
RL), merasa sangat tersaingi oleh perusahaanperusahaan Inggris dan Jerman yang berpangkalan di Singapura, yang menguasai dan melayani
jalur pelayaran antara Sumatra Utara dan
Singapura, khususnya dalam rangka melayani
perdagangan tembakau yang sangat menguntungkan. Persaingan tersebut terutama terhadap
NISM. Karena, meskipun berbendera Belanda,
perusahaan tersebut sesungguhnya milik orangorang Inggris. Lebih dari itu, NISM juga
memperoleh kontrak dan subsidi dari pemerintah Belanda untuk melayani pelayaran pos
dan penumpang antarpulau. Pimpinan SMN dan
RL juga mencurigai bahwa NISM melakukan
pelanggaran dengan melalui jalur-jalur nonkontrak dalam pelayaran antarpulau Jawa dan
Luar Jawa.
Ketika kontrak NISM hampir berakhir,
yaitu pada 1890, manajemen SMN dan RL
berusaha untuk menyebarkan wacana untuk
membangkitkan rasa patriotisme Belanda dalam
dunia pelayaran. Sehubungan dengan hal itu,
ketika pada 1886 pemerintah Belanda
menawarkan tender untuk kontrak baru, SMN
dan RL tidak menyia-nyiakan kesempatan itu
dan segera mengajukan usulan dan penawaran
tender tersebut. Hasilnya, pada 1887 kedua
perusahaan itu memenangkan tender, dan
menandatangani kontrak dengan pemerintah.
Selanjutnya pada Januari 1888 kedua perusahaan
pelayaran tersebut mendirikan perusahaan
pelayaran baru yang diberi nama KPM
(Staatsblad 1888, No. 48). Akhirnya KPM resmi
berdiri pada 4 September 1888. Dalam akte
pendiriannnya disebutkan tujuan perusahaan
yaitu menyelenggarakan pelayaran wajib sesuai
perjanjian dengan pemerintah, melayani angkutan barang dan penumpang dengan kapalkapal api atau layar milik sendiri atau yang
disewa.
Sejak saat itu, jalur pelayaran antarpulau di
Hindia Belanda yang semula dikuasai oleh NISM
digantikan oleh KPM. KPM juga berfungsi
sebagai penopang stabilitas jalur pelayaran di
Hindia Belanda. Bahkan pada zaman kolonial
Belanda, KPM juga memainkan peranan kunci
dalam pasifikasi wilayah Nusantara khususnya di
luar Jawa, sehingga menjadi berada di bawah
kekuasaan Belanda (Kerkhof, 2005: 134).
Perlu ditekankan di sini, bahwa tujuan
pendirian KPM bukan semata-mata untuk
kepentingan ekonomi atau perdagangan, tetapi
juga sebagai centraal vervoersapparaat (badan
angkutan pusat). Pada 1 Januari 1931, disepakati
perjanjian antara pemerintah Hindia Belandadengan KPM yang terkenal dengan nama Groot
Archipel Contract (GAC).
Melalui GAC tersebut, KPM sebagai
Centraal Vervoers Apparaat diberi hak monopoli
atas pelayaran antarpulau (interinsuler) di
Hindia Belanda. Termasuk di dalamnya adalah
hak monopoli dalam pengangkutan militer,
pengangkutan bahan-bahan pokok, dan perbekalan. Di samping itu, KPM juga harus menjamin pelayaran yang tetap dan teratur, sehingga
hubungan antara daerah-daerah minus dan
terpencil dengan pusat tetap terpelihara.
Untuk lebih memperkuat dominasi dan
monopoli KPM, pada 1936 pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan undang-undang pelayaran, Indische Scheepvaartwet. Undang-undang
tersebut menetapkan bahwa pelayaran pantai
hanya diperuntukkan bagi kapal-kapal berbendera Belanda dan pribumi. Penerbitan dan
implementasi undang-undang itu sesungguhnya
merupakan bentuk proteksi pemerintah Belanda
terhadap para saingan KPM, yaitu perusahaanperusahaan pelayaran Inggris dan Cina yang
bermarkas di Singapura. Meskipun menikmati
berbagai keistimewaan, KPM tetap mengalami
kesulitan dalam mempertahankan hak monopoli.
Sebagai contoh, KPM ternyata harus
menghadapi pesaing kapal-kapal atau perahuperahu kecil, yang dikenal dengan sebutan
“armada semut” yang banyak beroperasi di
daerah pantai Sumatra Timur, pantai barat
Kalimantan, serta daerah produksi kopra di
Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Untuk
memenangkan persaingan tersebut, pada 1935
KPM mendirikan apa yang disebut Celebes
Kustvaart Maatschappij (CEKUMIJ).
CEKUMIJ merekrut para pemilik kapal-kapal
armada semut atau kapal-kapal kecil melalui
pemilikan saham, agar mengikuti ketentuan atau
keinginan KPM dan bukan menjadi pesaingnya.
Setelah pemerintahan kolonial Belanda
berakhir, Indonesia mengalami babakan sejarah
baru, yaitu berkuasanya pemerintahan pendudukan Jepang. Di bidang politik dan pemerintahan, Jepang menjalankan tindakan politik
secara radikal. Sebagai contoh, militer Jepang
membubarkan semua organisasi rakyat Indonesia, kecuali organisasi atau perkumpulan yang
didukung dan didirikan oleh Jepang dengan
tujuan agar dapat dipergunakan atau dimanfaatkan guna membantu usaha-usaha perang.
Sebagai akibat sikap dan tindakan yang
radikal itu maka terjadilah perubahan-perubahan
politik, pemerintahan, dan ekonomi yang cukup
fundamental. Hal itu terjadi sebagai akibat
hancurnya institusi-institusi kolonial Belanda
yang sudah mapan, yang kemudian digantikan
dengan institusi-institusi bentukan Jepang yang
cenderung militeristik. Di samping itu, pemerintah pendudukan Jepang berusaha dengan segala
cara, baik dengan cara damai maupun kekerasan,
dalam mengeksploitasi potensi sosial, politik,
dan ekonomi, dengan tujuan utama untuk
mendukung militer Jepang dalam rangka Perang
Asia Timur Raya.
Sebagai akibat tindakan Jepang itu, maka
aktivitas industri, pelayaran, dan perdagangan
luar negeri mengalami kelumpuhan. Demikian
juga aktivitas pelayaran di Hindia Belanda,
khususnya yang dimiliki oleh perusahaan asing
Eropa/ Belanda juga mengalami stagnasi. Hal itu
disebabkan oleh tindakan tentara pendudukan
Jepang yang merampas atau menyita segala
sarana pelayaran yang ada untuk mendukung
perang melawan Sekutu.
Tanpa terkecuali tindakan Jepang itu juga
menimpa perusahaan-perusahaan pelayaran
yang ada di Hindia Belanda termasuk KPM.
Pada waktu itu, Jepang menyita semua
perusahaan pelayaran dan perdagangan yang ada
di Hindia Belanda. Sebagai akibatnya, semua
kegiatan ekonomi komersial, termasuk perdagangan dan pelayaran baik interinsuler,
maupun internasional terhenti, kecuali yang
dilakukan oleh Jepang sendiri.
Berakhirnya pemerintahan pendudukan
Jepang di Indonesia ditandai dengan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus 1945. Meskipun Indonesia telah diproklamasikan, bukan berati bahwa negara yang
masih muda itu bebas dari ancaman penjajahan.
Bangsa Indonesia yang baru merdeka harus
menghadapi Sekutu (Inggris), yang ternyatadiboncengi oleh Belanda yang berusaha merebut
tanah jajahannya kembali.
Kedatangan Sekutu di berbagai daerah
pada awalnya diterima dengan tangan terbuka.2
Akan tetapi, setelah diketahui bahwa pasukan ini
juga membawa orang-orang Netherlands Indie
Civil Administration (NICA) yang dengan
tujuan ingin menegakkan kembali kekuasaan
pemerin-tah Hindia Belanda, maka sikap
Pemerintah Republik berubah. Di berbagai
daerah, hal itu menimbulkan konflik-konflik
bersenjata, seperti yang terjadi di Semarang dan
Surabaya.
Konflik antara para pejuang Indonesia
melawan Belanda itu berlangsung sampai 1949.
Oleh karena situasi yang berkecamuk, Indonesia
belum dapat melepaskan diri dari cengkeraman
ekonomi kolonial yang sudah berabad-abad
menguasai Indonesia. Namun demikian, hal ini
dapat dimengerti, karena bangsa Indonesia pada
masa itu masih harus menghadapi Belanda yang
ingin kembali menjajah Indonesia.
Aksi-aksi militer Belanda yang menurut
versi mereka bertujuan untuk menegakkan dan
mengembalikan kembali kekuasaan di tanah
jajahan Indonesia, terjadi di berbagai kota,
khususnya di Jawa. Hal itu dikenal dengan istilah
Aksi Polisionil (Clash) I pada 1947 dan II pada
1948. Bagi pihak pejuang hal itu merupakan aksi
merebut kekuasaan negara Indonesia yang telah
merdeka. Pada Aksi Polisionil I, Belanda
berhasil menduduki kota-kota besar di Pulau
Jawa, kecuali Yogyakarta, yang baru berhasil
diduduki dalam Aksi Polisionil II (Nasution,
1977: 376).
Selama masa pendudukan itu, Belanda
berusaha untuk menghidupkan kembali aktivitas
berbagai pelabuhan yang ditinggalkan oleh
Jepang. Namun demikian, oleh karena banyak
terjadi kerusakan selama perang dan
pendudukan Jepang, Belanda harus terlebih
dahulu melakukan perbaikan-perbaikan sarana
dan prasarana (infrastruktur) pelabuhan.
Selanjutnya kepada para pengusaha Belanda
yang bergerak dalam bidang pelayaran dan
perdagangan di pelabuhan-pelabuhan itu diberi
kesempatan untuk memperoleh kembali asetaset mereka yang sebelumnya diduduki oleh
Jepang.
Usaha-usaha rekolonisasi dari pelayaran
Belanda di perairan Indonesia juga dilakukan
oleh KPM. KPM membangun kembali armada
dan agen-agennya di Indonesia. Namun
demikian, sehubungan dengan bergulirnya
revolusi, usaha pembangunan armada banyak
menemui hambatan. Oleh karena itu, baru pada
1950 KPM menambah kapal-kapal baru
berjumlah 110 unit dengan tonase 176.601
Bruto Register Tonnage (BRT). Sebelumnya,
KPM hanya memiliki armada sebanyak 146 unit.
Bagi pemerintah Belanda, mempertahankan keberadaan KPM di Indonesia adalah hal
yang prinsip. Hal itu karena KPM pernah
memainkan kunci dalam usaha pasifikasi daerahdaerah Nusantara khususnya di luar Jawa.
Namun pada masa itu posisi KPM sulit
dipertahankan. Hak monopoli atas pelayaran
interinsuler yang didasarkan pada GAC pada
1931, setelah 1 Januari 1946 tidak diperpanjang
lagi. Meskipun demikian KPM tetap memperoleh subsidi, mengangkut barang-barang dan
penumpang milik gubernemen (Kerkhof, 2005:
129; á Campo, 1998: 2).
Untuk mempertahankan eksistensinya
dan agar memperoleh simpati, pemerintah
Belanda mencoba untuk memberi kesempatan
dan peran yang lebih penting kepada mereka
dalam aktivitas pelayaran di Indonesia. Pada 14
Maret 1947, pihak Belanda yang diwakili oleh
Departement van Economische Zaken
(Departemen Urusan Ekonomi) dan NV KPM
mendirikan Stichting Gemeenschappelijk Scheppenbezit (SGS), yang arti harafiahnya yayasan
kepemilikan kapal bersama. Tugas utama SGS
adalah mendirikan perusahaan pelayaran pantai/
lokal dengan perbandingan pemilikan saham
perusahaan sebanyak 45% atas nama SGS dan
55% untuk warga Indonesia. Di samping itu,
SGS juga membantu pengusaha atau perusahaan
pelayaran pribumi Indonesia yang diberi tugas
untuk mengangkut barang-barang atau
komoditas dari daerah-daerah pantai di sekitar
pelabuhan-pelabuhan utama dimana kapal-kapalKPM berlabuh. Tugas kapal-kapal kecil tersebut
disebut dengan istilah Feederdiensten.
Melalui pendirian SGS mulai berlaku
pengaturan tugas. Kapal-kapal KPM bertugas
mengangkut barang-barang dari dan ke
pelabuhan utama atau induk, sebaliknya kapalkapal SGS mengangkut barang-barang dari
daerah-daerah di sekitar pelabuhan utama. Di
samping itu, di berbagai daerah juga didirikan
apa yang disebut Dochter Maatschappij, yaitu
perusahaan-perusahaan pelayaran swasta sebagai
feederliners, yang lingkup pelayarannya sama
dengan Feederdiensten. SGS memilik bagian yang
cukup besar dalam sahamnya. Namun demikian
usaha-usaha untuk membangkitkan pelayaran
pantai penduduk pribumi kurang sukses. Hal itu
karena, jumlah kapal dan personel yang
berkualitas di wilayah Republik sangat kurang
(Sulistiyono, 2003: 18).
PERSAINGAN ANTARA PT PELNI
DENGAN KPM
Sebagai negara yang memiliki laut luas,
pemerintah Indonesia pada waktu itu juga
bercita-cita membangun pelayaran nasional.
Meskipun demikian, cita-cita itu harus
menghadapi kenyataan akan keberadaan KPM
yang masih boleh beroperasi dan mendominasi
jaringan pelayaran antarpulau di Indonesia.
Sebaliknya bagi Indonesia adalah hal yang ironis
jika menerima monopoli asing dalam bidang
pelayaran antarpulau yang menjadi sarana untuk
membangun persatuan dan integrasi nasional.
Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah
pada waktu itu adalah mengajukan tawaran
kepada direksi KPM untuk bekerja sama dalam
bentuk jointventure kepemilikan saham KPM.
Tawaran usulan kepemilikan saham oleh
Indonesia itu, baik dalam kepemilikan saham
yang menempatkan Indonesia lebih dominan.
Ketentuan pembayaran dan pengambilalihan
seluruh armada KPM secara berangsur-angsur
ditolak dengan tegas oleh direksi KPM.
Penolakan tawaran Indonesia oleh direksi KPM
itu tentu tidak menghentikan cita-cita RI untuk
tetap berusaha membangun dan
mengembangkan perusahan pelayaran nasional
yang harus menjadi tuan di negeri sendiri. Pada
Oktober 1950, Perdana Menteri Natsir
menyatakan bahwa Indonesia tidak lagi
menganggap dirinya terikat pada GAC 1931.
Meskipun memperoleh bantuan dari KPM
dalam rangka menumpas pemberontakan di
Maluku dan Sulawesi Selatan, cita-cita
pemerintah Indonesia untuk mengembangkan
pelayaran nasional tetap terus diperjuangkan.
Langkah pertama untuk merealisasi cita-cita itu
adalah pendirian Yayasan Penguasaan Pusat
Kapal-kapal (Pepuska) berdasar Surat
Keputusan Menteri Perhubungan, Pekerjaan
Umum dan Tenaga Kerja No.3260/Ment.
tanggal 5 September 1950.
Sementara SGS, yang juga dianggap
sebagai penerus rezim kolonial dalam bidang
pelayaran, dinasionalisasi dan selanjutnya
dibubarkan. Dalam pengambilalihan itu tidak
berarti bahwa Pepuska juga mengambil alih
kapal-kapal KPM yang dioperasionalkan oleh
SGS, tetapi hanya menyewanya saja.
Meskipun dapat dikatakan berhasil
meningkatkan usaha khususnya dalam pengadaan kapal, tetapi Pepuska dianggap kurang
profesional. Kapal-kapal yang dibeli ternyata
berkualitas rendah, sehingga sering mengalami
kerusakan dan naik dock. Oleh karena itu, pada
April 1952 yayasan itu dibubarkan. Namun
demikian, dari pihak Indonesia muncul gagasan
untuk membentuk suatu perusahaan pelayaran
milik negara, yang akan merupakan suatu
centraal vervoersapparaat seperti zaman Belanda.
Gagasan ini merupakan suatu konsepsi yang
sangat tepat dalam rangka pembinaan pelayaran
nasional, salah satu sendi pokok dalam politik
strategi perhubungan laut, dan langkah positif
dari pemerintah yang tepat.
Untuk membuktikan gagasan dan
komitmen pemerintah Indonesia itu, melalui
suatu perundingan dengan DPR pada 1951,
Menteri Perhubungan menandatangani Surat
Keputusan No. M.2/12 tanggal 12 Februari
1952 dan No. A.2/1/1-19 April 1952 mengenai
persetujuan pendirian PT Pelayaran Nasional
Indonesia (PELNI). Selanjutnya pendirian itu
juga berdasar pada Surat Keputusan MenteriPerhubungan (Ir. R. Djuanda) No.
M.2/1/tanggal 28 Februari 1952 dan No.
A.2/1/1 tanggal 19 April 1952. Akhirnya
berdasar pada akte Notaris No. 92 tahun 1952,
tanggal 28 April 1952 secara resmi PT PELNI
berdiri.
Pendirian PT PELNI pada 1952 dapat
dianggap sebagai awal keruntuhan KPM di
Indonesia. Namun demikian, mengingat
keterbatasan ahli ekonomi komersial dan
kemaritiman, keadaan keuangan negara yang
tidak menentu, dan keterbatasan kapal yang
dimiliki Indonesia, pendirian PT PELNI dengan
visi nasionalnya bisa dianggap sangat ambisius.
PT PELNI menjadi lembaran baru dalam sejarah
pelayaran nasional Indonesia.
Sejak itu, terdapat dua perusahaan
pelayaran interinsuler di Indonesia, yang masingmasing merupakan simbol dari dua bangsa. KPM
yang didukung dan dilindungi pemerintah
Belanda serta PT PELNI yang didukung oleh
pemerintah Indonesia. Seperti halnya KPM pada
zaman kolonial Belanda, PT PELNI juga
mempunyai tugas sebagai centraal vervoersapparaat dan menikmati posisi istimewa dengan
tugas mengangkut barang dan penumpang.
Untuk bersaing melawan KPM yang sudah
mulai bangkit lagi di Nusantara, pemerintah
menyadari bahwa modal yang diberikan kepada
PT PELNI masih jauh dari mencukupi. Bank
Ekspor Impor misalnya, menyediakan dana
untuk pembelian kapal guna meningkatkan
kekuatan armada KPM.
Pada Desember 1954, pemerintah
Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 61. Peraturan tersebut memberlakukan
nasionalisasi bagi perusahaan-perusahaan pelayaran dalam pelabuhan (angkutan bandar) dan
perusahaan bongkar-muat (veem) asing di
pelabuhan seluruh Indonesia. Hal itu karena
usaha dalam bidang Perusahaan Muatan Kapal
Laut (PMKL) hanya boleh dimiliki oleh perusahaan nasional Indonesia, baik swasta maupun
negeri. Peraturan ini juga berlaku bagi
perusahaan Belanda seperti KPM dan SMN.
Persaingan antara KPM dan PELNI dalam
pelayaran antarpulau dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa meskipun
jumlah kapal dari armada PT PELNI semakin
meningkat, tetapi secara keseluruhan jumlah
kapal KPM lebih banyak. Untuk pengangkutan
barang, KPM juga jauh lebih unggul daripada PT
PELNI (lihat Tabel 2).
Berdasar pada Tabel 2 diketahui bahwa
penumpang dan barang yang diangkut oleh kapal
PT PELNI terus-menerus mengalami peningkatan. Namun demikian, secara keseluruhan
KPM tetap menjadi pemain utama dalam
pelayaran antarpulau. Bahkan, pada 1957 PT
PELNI mengalami kerugian.
Bagi pemerintah Indonesia pembangunan
dan pengembangan pelayaran nasional melalui
pendirian PT PELNI tidak bisa dihentikan dan
ditawar lagi. Guna memperkuat posisi perusahaan pelayaran dalam negeri, maka pada 18
Nopember 1957 diselenggarakan Musyawarah
Nasional Pelayaran. Keingingan semacam itu
pernah disampaikan secara terbuka oleh
Presiden Soekarno pada 3 Mei 1956. Ketika itu,
ia secara sepihak menandatangani undangundang pembatalan kesepakatan Konferensi
Meja Bundar.
Pembatalan itu berarti Indonesia tidak
berkewajiban lagi untuk melindungi aset-aset
dan tidak mengizinkan perusahaan-perusahaan
asing khususnya Belanda beroperasi di
Indonesia. Kedudukan ekonomi Belanda di
Indonesia menjadi goyah. Di samping itu,
pembayaran hutang pokok beserta bunganya
yang harus ditanggung oleh pemerintah
Indonesia sebagai hasil kesepakatan KMB juga
ditangguhkan.
Selanjutnya sebagai pressing terhadap
Belanda, maka pada 27 Desember 1958
dikeluarkan UU No. 86 tahun 1958. UU tersebut
mengisyaratkan untuk melakukan nasionalisasi
semua perusahaan Belanda di Indonesia dan
sebagai perwujudan dari kedaulatan politik yang
telah dicapai. Tujuan lain yang tidak kalah
penting adalah mewujudkan ekonomi nasional.
Sementara itu, bagi KPM, pembentukan
Komisi Pemerintah pada 1955 sebagai persiapan
pengambilalihan secara resmi (nasionalisasi)
KPM membuat hubungan antara Indonesia dan
Belanda semakin memburuk. KPM harus
memperhitungakan kemungkinan-kemungkinan
buruk yang dapat menimpanya, misalnya
gerakan buruh.
Pada 9 Desember 1957, KPM ditempatkan di bawah pengawasan Panitia Penguasa,
yang terdiri atas para perwira tinggi militer, para
pegawai KPM bangsa Indonesia, dan para
pegawai dari kementerian yang bersangkutan.
Keberadaan Panitia Penguasa menjelaskan posisi
pemerintah RI untuk mengendalikan KPM,
dalam arti KPM harus tunduk kepada
pemerintah RI yang sedang membangun dan
mengembangkan ekonomi nasional dalam
bidang pelayaran melalui pendirian PT PELNI.
Oleh karena itu, jalur pelayaran antarpulau harus
dikuasai dan dikendalikan oleh PT PELNI.
Pada saat yang sama, Panitia Penguasa
menahan sejumlah kapal KPM. Direksi KPM
tidak tinggal diam dan melaporkan aksi sepihak
itu kepada perusahaan asuransi Inggris yaitu
Lloyd of London dimana KPM mengasuransikan
kapal-kapalnya. Atas laporan itu Lloyd mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya akan
memberikan jaminan ganti rugi kapal-kapal
KPM yang hilang dalam kategori sebagai korban
perang (molestpolis). Pernyatan ini menandai
keterlibatan pihak ketiga dalam konflik KPM
dengan pemerintah Indonesia. Lloyd yang
didukung oleh pemerintah Inggris mengancam
kepada Indonesia akan menuntut ganti rugi jauh
lebih besar dari premi jaminan asuransi yang
akan diberikan kepada KPM. Lloyd juga akan
memboikot jaminan asuransi atas seluruh kapal
yang dimiliki oleh Indonesia, jika kapal-kapal
KPM yang ditahan tidak segera dibebaskan.
Pemerintah Indonesia akhirnya membebaskan semua kapal KPM. Namun demikian,
dalam konferensi pers pada Jum’at 21 Maret
1958 Menteri Pelayaran Nasir menegaskan
bahwa sejak hari itu sejarah KPM di Indonesia
telah berakhir. Artinya, KPM harus disingkirkan
dari aktivitas dalam jalur pelayaran antarpulau di
Indonesia. Natsir juga menyatakan bahwa KPM
dan Belanda tentu kecewa, karena mereka
mengira akan memperoleh ganti rugi yang sangat
besar atas kapal-kapalnya yang ditahan oleh
Indonesia. Keputusan Indonesia untuk membebaskan kapal-kapal KPM dengan demikian
sesungguhnya merupakan kekalahan bagi KPM.
KPM menganggap pembebasan itu
sebagai Pyrruszege. Direksi KPM sebetulnya
lebih berharap KPM dapat beroperasi kembali di
Indonesia, atau menerima pembayaran klaim
asuransi dalam jumlah yang fenomenal, sehingga
dapat melanjutkan usahanya di luar Indonesia
dengan membeli kapal-kapal baru. Oleh karena
keduanya gagal, KPM menghadapi masalah
karena seluruh armada kapalnya sebetulnya
didesain untuk pelayaran antarpulau di
Indonesia. Kapal-kapal itu akan sulit gunakan
dalam jalur pelayaran di negara lain yang kondisi
geografisnya berbeda.
Langkah pemerintah dalam menghadapi
KPM sesungguhnya merupakan bagian dari
rencana nasionalisasi seluruh perusahaan asing
khususnya Belanda di Indonesia. Pemerintah
telah mengeluarkan UU No. 86 tahun 1958
tentang nasionalisasi perusahaan Belanda. Posisi
KPM di Indonesia tidak mungkin dipertahankanlagi, karena nasionalisasi merupakan program
nasional. Secara teknis pelaksanaan nasionalisasi
itu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
2 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan
Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Untuk
melaksanakan nasionalisasi itu dibentuk Badan
Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Secara
formal, nasionalisasi KPM baru terjadi ketika
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun
1960 tentang ketentuan mengenai nasionalisasi
perusahaan KPM di Indonesia.
Berdasar peraturan pemerintah itu maka
kantor pusat, bagian, dan seluruh kantor cabang
KPM terkena peraturan nasionalisasi. Namun
demikian, sejumlah kapal KPM yang semula
ditahan pihak Indonesia dan telah dibebaskan,
tidak ikut dinasionalisasi karena telah pergi dari
wilayah perairan Indonesia. Semua aset KPM
yang telah dinasionalisasi diserahkan kepada PT
PELNI sebagai aset atau modal tambahan.
Persaingan antara NV KPM dengan PELNI yang
berlanjut dengan konflik antara KPM dengan
pemerintah Indonesia, dapat dilihat dari posisi
masing-masing perusahaan dan peranannya
dalam aktivitas pelayaran di Indonesia. Melihat
aktivitasnya, KPM tidak hanya penting secara
komersial, tetapi juga penting dari sisi strategis
dan simbolis. Sisi strategis KPM sangat penting
dan sangat diperlukan dalam ikut menjaga
stabilitas politik dan integrasi Hindia Belanda.
Sementara dari sisi simbolis KPM merupakan
simbol dominasi ekonomi Belanda di Indonesia.
Di sisi lain, PT PELNI seperti halnya
KPM, juga harus berfungsi sebagai centraal
vervoersapparaat. Oleh karena itu, pemerintah
c.q. PT PELNI menganggap KPM yang
mendominasi pelayaran antarpulau di Indonesia
merupakan pesaing dan penghambat
pembangunan nasional dalam bidang pelayaran.
Untuk menggantikan posisi KPM, pemerintah
RI berusaha melakukan perundingan untuk
bekerja sama, tetapi tidak berhasil. Tampaknya
KPM tetap mengandalkan jaminan yang
diamanatkan oleh kesepakatan Konferensi Meja
Bundar, keunggulannya dalam bidang
manajerial, sumber daya manusia, dan kekuatan
armada. Hal ini membuat KPM memiliki
kepercayaan diri yang sangat tinggi dan tetap
bertahan di Indonesia sampai 1958. Akibatnya
KPM harus diusir dari Indonesia sementara
perusahaan-perusahaan asing yang lain
meninggalkan Indonesia melalui nasionalisasi
secara damai dan terhormat.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda merupakan pilihan tepat. Program ini
terbukti mampu mematahkan dominasi
ekonomi Belanda dengan satu pukulan dan
sekaligus merampungkan dekolonisasi.
Kerajaan-kerajaan maritim merupakan pusat kekuasaan
raja-raja atau penguasa di kota-kota pelabuhan, atau
merupakan bagian dari wilayah suatu kerajaan yang lebih
besar. Kerajaan-kerajaan semacam itu tidak mengandalkan
pendapatan negara dari pajak rakyat atau petani, tetapi dari
keuntungan dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Di kota Semarang misalnya, Gubernur Jawa Tengah
waktu itu, yaitu Wongsonegoro, dengan senang hati
menyambut kedatangan Sekutu yang akan melucuti
tentara Jepang. Ia menyediakan akomodasi yang
diperlukan oleh Jendral Bethell dan pasukannya selama
bertugas di kota Semarang, dengan persyaratan sekutu
harus mengakui kedaulatan RI. Waktu itu Presiden
Soekarno juga menyempatkan diri datang ke Semarang
untuk melakukan perundingan perdamaian dengan Sekutu