wisata 1
Praktik Penyelenggaraan Kebijakan
Kepariwisataan
2. Kota Batu
a. Profil dan Program
Pertumbuhan ekonomi Kota Batu terbilang cukup
pesat terutama pada sektor pariwisata. Berkembangnya
sektor pariwisata di Kota Batu dibuktikan pada nilai
PDRB, dimana sektor yang memiliki nilai kontribusi
paling tinggi yaitu sektor perdagangan, hotel dan
rumah makan dimana sektor ini berkaitan
erat dengan industri pariwisata.Kontribusi sektor
perdagangan, hotel, dan restoran yangmendominasi
yakni hampir mencapai 50% dari total PDRB Kota
Batu. ini menandakan bahwa sektor pariwisata
yaitu sektor kunci dalam pembangunan Kota
Batu.Tingginya sektor perdagangan, hotel, dan
restoran pada PDRB Kota Batu mengindikasikan
bahwa pengeluaran wisatawan di Kota Batu cukup
besar. Kota Batu berhasil dalam menyediakan fasilitas
yang dibutuhkan oleh wisatawan. Namun, ada
permasalahan yaitu penurunan jumlah wisatawan
pada tahun 2009-2012 dengan rata-rata 13% tiap
tahunnya. Penurunan jumlah wisatawan ini
perlu mendapatkan perhatian khusus karena sebagai
indikasi kejenuhan wisatawan akan wisata di Kota Batu.
Penurunan jumlah wisatawan ini dapat memicu
menurunnya pendapatan daerah Kota Batu dan tentu
saja berdampak pada perekonomian Kota Batu. jika
tidak ada strategi perencanaan wisata Kota Batu,
dikhawatirkan perekonomian Kota Batu di masa datang
akan menurun. Selain itu, sebagai kota baru, pariwisata
Kota Batu dituntut untuk bersaing dengan area lain
yang lebih dulu eksis yaitu Kota Malang dan Kabupaten
Malang dalam area Malang Raya.
Kota Batu memiliki potensi alam yang menjadi
daya tarik utama sehingga menjadi tujuan untuk
tempat beristirahat.Karena keindahan alamnya maka
Kota Batu pada jaman kolonial Belanda mendapat
julukan “De Klein Switzerland” atau Swiss kecil di Pulau
Jawa. Namun, seiring perkembangannya, pada saat
ini daya tarik wisata di Kota Batu tidak hanya berbasis
pada alam namun juga buatan dan budaya. Kota Batu
memiliki 41 objek wisata berupa 14 objek wisata alam,
19 objek wisata buatan, dan 10 objek wisata budaya
yang tersebar di tiga kecamatan.
Berdasarkan potensi yang dimilikinya, maka visi
Kota Batu, ditetapkan sebagai sentra pertanian organik
berbasis kepariwisataan internasional. Potensi sektor
pertanian di Kota Batu telah mulai dikolaborasikan
dengan kegiatan sektor pariwisata yang diproyeksikan
menjadi salah satu andalan kegiatan penyumbang
perkembangan perekonomian daerah. Di Kota Batu
kolaborasi ini telah dikembangkan dalam
wujud seperti pengembangan agrowisata, kawasan
agropolitan, dan wisata hidup bersama warga
(living with people). Menyadari adanya potensi-potensi
tersebut, pemerintah Kota Batu menetapkan rencana
pengembangan desa wisata dengan pilot projectnya
di Desa Punten. Meskipun sebelumnya, kepariwisataan
di Kota Batu lebih dikenal dengan keberadaan objekobjek wisata yang berbasis pada alam, namun dalam
perkembangannya saat ini telah diperkaya dengan
kehadiran objek-objek wisata buatan yang jumlahnya lebih banyak. ini memicupengembangan
wisata alam menjadi kurang mendapat perhatian.
Kota Batu pun semakin mengukuhkan branding
sebagai Kota Wisata dengan menjadikan wisata
buatan sebagai wisata unggulan. Selecta, Jatim Park
I, Secret Zoo, dan Batu Night Spectaculer yaitu
objek wisata buatan yang ditetapkan sebagai wisatan
unggulan dalam RIPPDA Kota Batu. Sejak dibangun
dan dioperasikannya objek wisata buatan Jawa Timur
Park I hingga kehadiran objek wisata Predator Fun
Park sebagai wisata rekreatif dan edukatif, Kota Batu
semakin dikenal sebagai Kota Wisata andalan Provinsi
Jawa Timur. Sejak dibangunnya Jawa Timur Park I
pada tahun 2002, satu persatu objek wisata buatan
hadir dan menambah variasi khasanah objek wisata
buatan di Kota Batu seperti Batu Night Spectacular
(BNS), Batu Wonderland, Alun-alun Kota Batu, Balai
Benih Ikan Punten, Museum Satwa, Batu Secret Zoo,
Eco Green Park, Museum Angkut, dan yang terbaru
yaitu Predator Fun Park. Selain itu, wisatawan yang
berkunjung ke Kota Batu didominasi oleh wisatawan
domestik sehingga wisata buatan dirasa sesuai dengan
minat wisatawan. Meskipun jumlah objek wisata buatan
di Kota Batu terus bertambah, namun juga menyimpan
beberapa masalah, diantaranya adanya kecenderungan
wisatawan yang sudah pernah mengunjunginya kecil
kemungkinannya untuk berkunjung lagi sampai batas
waktu tertentu.
b. Pengembangan dan Kebijakan
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah
Kota Batu Tahun 2010-2020 dan Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
area Kota Batu 2010-2030, yaitu meningkatkan
posisi dan peran Kota Batu dari kota wisata menjadi
sentra wisata yang diperhitungkan di tingkat regional
atau bahkan nasional, dengan melakukan penambahan
ragam objek dan atraksi wisata, yang didukung oleh
sarana dan prasarana, serta unsur penunjang wisata
yang memadai dengan sebaran yang relatif merata
di area Kota Batu guna memperluas lapangan
pekerjaan dalam rangka mengatasi pengangguran dan
meningkatkan pendapatan warga maupun PAD Kota
Batu yang berbasis pariwisata.
Dalam perkembangannya, kegiatan pariwisata
juga tidak lepas dari peran serta swasta dan juga
warga . Peranan swasta yang terlibat dalam
pengembangan wisata besar sekali pengaruhnya,
seperti dalam pembangunan hotel, rumah makan,
panti pijat dan pengadaan biro perjalanan wisata
dan lain-lain. Pihak swasta yang ikut membantu
perkembangan pariwisata Kota Batu di antaranya yaitu
Jawa Timur Park Group. Jawa Timur Park Group yang
didirikan oleh Paul Sastro asal Malang ini, yaitu
perusahaan yang bergerak di bidang industri
pariwisata terbesar di Jawa Timur dan Pulau Jawa
dan banyak anak perusahaan tersebar khususnya di
area Jawa Timur. Anak perusahaanya yang terletak
di Kota Batu di antaranya Jawa Timur Park 1, Jawa
Timur Park 2, Batu Night Spectaculer, Hotel Pohon Inn,
Pondok Jatim Park dan Eco Green Park. Alasan memilih
Kota Batu sebagai pembangunan wisata dari Jawa
Timur Park Group yaitu keindahan Kota Batu dan
faktor lingkungan yang mendukung. Dengan adanya investor ini secara tidak langsung membantu
pembangunan Kota Batu dalam hal perekonomian.
Mereka yaitu pihak swasta yang ikut membantu
perkembangan pariwisata Kota Batu. Keberadaan
swasta dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi
warga Kota Batu. Tingkat pengangguran di Kota
Batu pada tahun 2013 menurun menjadi 3.404 orang
atau 2,32 persen dibandingkan tahun 2012 kurang
lebih 6.000 orang atau 4,34 persen.
Swasta mendirikan fasilitas pendukung objek
wisata sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Batu
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan
Kepariwisataan. ini sejalan dengan visi
Kota Batu, yaitu Kota Batu sebagai Kota Wisata dan
Agropolitan di Jawa Timur. Kota Batu memiliki potensi
pariwisata yang besar, baik wisata alam, buatan,
maupun budaya yang ditunjang dengan adanya
fasilitas pendukung, berupa hotel dan perdagangan
souvenir atau cinderamata.
Pemerintah Kota Batu serius garap tiga Desa
Wisata di tahun 2018. Desa Pandanrejo, Desa Sidomulyo,
dan Desa Sumberejo yaitu tiga desa yang akan dikaji
terkait potensi wisata untuk dikembangkan. Bukan
hanya dikembangkan, tiga desa ini juga diarahkan
Dinas Pemerintah Kota Batu untuk mampu mengelola
wisata dan tidak bergantung pada pemerintah. Semisal
Desa Sidomulyo dengan wisata petik apel dan petik
bunga. Usulan ini sebenarnya baru diprogramkan
di tahun 2018 ini, ini berkaitan dengan target
wisatawan di tahun 2018 yaitu 5 juta pengunjung. Di
tahun 2017 sendiri jumlah wisatawan yang datang ke
Kota Batu telah melewati target, yiatu mencapai 4,2
juta pengunjung.Kekayaan etnis dan budaya yang dimiliki Kota
Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisional
yang ada. Salah satunya yang terkenal yaitu Wayang
Topeng Malangan (Topeng Malang). Gaya kesenian ini
yaitu wujud pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan,
Madura, dan Tengger). ini terjadi karena Malang
memiliki tiga sub-kultur, yaitu sub-kultur budaya
Jawa Tengahan yang hidup di lereng gunung Kawi,
sub-kultur Madura di lereng gunung Arjuna, dan subkultur Tengger sisa budaya Majapahit di lereng gunung
Bromo-Semeru. Etnik warga Malang terkenal
religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga
dengan identitasnya.
Selain Tari Topeng juga berkembang seni
Tari Bantengan. Kesenian ini berkembang pesat
sejak tahun 1960an ketika jaman Orde Lama. Setiap
perayaan atau pawai hari ulang tahun kemerdekaan
negara kita senantiasa ditampilkan bersama dengan
Tari Liang Liong. Namun seiring kemunduran
perekonomian setelah masa itu, seni Tari Bantengan
mengalami kemunduran. Lima belas tahun terakhir,
seni Tari Bantengan mulai muncul kembali bahkan
mulai menjamur. Hampir setiap kecamatan di
area Kabupaten dan Kota Malang, rata-rata ada
3-5 perkumpulan seni tari Bantengan. Terutama di
sekitar Kecamatan Tumpang, Poncokusumo, serta
Kota Batu. Pada tahun 2003, Kota Batu mengakui
bahwa seni Tari Bantengan yaitu seni tari yang
berasal dari area itu. Namun kebenarannya masih
diragukan, pengakuan Kota Batu menjadi kontroversi
di antara warga pecinta seni serta para seniman
tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota Batu tersebutmencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan berkembang
di seluruh area Malang. Selain Tari Topeng dan Tari
Bantengan, di Malang juga ada kesenian kuda
lumping dan campursari. Dua kesenian ini mungkin
sudah dikenal diberbagai area di negara kita . ota Batu
yang telah menegaskan diri sebagai Kota Wisata harus
memiliki tawaran lebih. Artinya, tidak hanya tawaran
obyek wisata keluarga dalam bentuk wahana-wahana
hiburan. Tidak juga hanya mengandalkan pesona alam
dalam bentuk wana wisata atau agrowisata petik buah.
Namun, segala potensi wisata yang menjadi daya tarik
wisata harus digarap demi sebesar-besarnya hajat
hidup warga .
Provinsi Bali
a. Profil wisata provinsi Bali
Provinsi Bali yaitu salah satu provinsi di negara kita
yang area nya tidak lebih dari 5.634,40 km² atau
5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529
km. Komposisi pulau terdiri dari satu pulau utama dan
beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti pulau
Menjangan (ujung timur) di kabupaten Jembrana, di
sebelah selatan Pulau Serangan (telah direklamasi) di
Kota Denpasar, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa
Ceningan, dan disebelah tenggara ada pulau
yang paling besar yaitu Pulau Nusa Penida masuk
area Kabupaten Klungkung. area terluas dimiliki
Kabupaten Buleleng seluas 1.365,88 km² atau hampir
setengah luas pulau Bali dari ujung timur sampai ke
ujung barat pulau Bali. Kabupaten atau pemerintahan
kota terkecil yaitu Pemerintah Kota Denpasar seluas
123,98 km² sebagai Ibu Kota Pemerintah Provinsi Bali. Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan memiliki
luas yang hampir sama, hanya saja sebagian besar
Kabupaten Jembrana terdiri dari Hutan Taman Nasional
Bali Barat (TNBB). Untuk fungsi lahan kedua kabupaten
ini memiliki fungsi yang serupa yaitu lahan pertanian
dan perkebunan, bahkan Kabupaten Tabanan dikenal
sebagai lumbung beras Pulau Bali. Tidak jauh berbeda
dengan Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan,
Kabupaten Klungkung, Bangli dan Karangasem
memiliki kesamaan fungsi lahan, yaitu pertanian dan
perkebunan. Meskipun keseluruhan kabupaten/kota
di Bali bersentuhan dengan sektor pariwisata hanya
Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung yang
sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai basis
perekonomiannya, disamping sektor pertanian dan
perkebunan.
Pulau Bali sangat kaya akan keindahan alam dengan
budaya dan adat istiadat, warga Bali dengan
budaya agrarisnya kental dengan kehidupan sosial yang
harmoni karena hubungan yang serasi antara manusia
dan alam, Tuhan, dan sesamanya. Konsep industri
pariwisata mengedepankan nilai-nilai pemenuhan
barang dan jasa beserta layanan secara profesional
dan proposional. Industri pariwisata di Bali selain
mendahulukan nilai-nilai kapitalis juga memberikan
nuansa sentuhan-sentuhan budaya di dalam setia
atraksinya. Konsep pariwisata yang diagung-agungkan
di Bali sebagai pariwisata dunia atau pariwisata global,
yang mana lebih mengedepankan nilai-nilai ekonomi
liberal persaingan bebas, dan persaingan modal antar
korporasi.
Desa Bali yang semula sebagian besar warga nya hidup di sektor pertanian dan berpegang
kuat pada adat yang diwariskan dari generasi ke
generasi tanpa banyak perubahan tradisi warga
pedesaan, kini cenderungmakin individualistik di
dalam keanekaragaman profesi nonagraris dan lebih
erat dalam kaitannya sektor jasa. Peran adatpun
biasanya hanya menonjol pada kegiatan seremonial
atau upacara yang tidak memiliki kekuatan untuk
mengontrol perilaku warga perkotaan. Budaya
hedonisme telah merasuki generasi muda dalam sikap
dan perilaku keseharian. ini tercermin dalam cara
pandang, cara sikap, dan perilaku sosial keseharian.
Keengganan generasi muda dalam memakai
bahasa ibu (bahasa Bali) serta gaya berpakaian yang
terkesan mengikuti pola gaya westernisasi yaitu
salah satu indikatorperubahan yang terjadi di generasi
muda.
Indentitas dan kekhasan masing-masing desa
semakin lama semakin pudar. Desa dan Kota yang semula
hidup dengan segala perbedaan atau kebhinekaannya
dalam struktur dan stratifikasi warga yang
awalnya desa dikenal cenderung homogen dan
warga kota cenderung heterogen, kini secara
administratif dan birokratis, cenderung makin seragam
karena campur tangan negara. Kehadiran UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa yang menghendaki kesamaan dalam bentuk
dan susunan pemerintahan desa di seluruh negara kita
yaitu pemicu pertama kali dimulainya penyeragaman
kegiatan pembangunan di pedesaan secara nasional.
warga Bali yang tradisional dan penghidupan
bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan
kepentingan kelompok dan individu sebagai warga
warga . Warga warga satu dengan yang
lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis
dan dalam warga demikian, dunia kehidupan
masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar
warga, warga berusaha menyelesaikannya secara
musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada
asas kepatutan melalui lembaga-lembaga desa adat
(sangkepan/hasil atau sidang rapat desa). penyelesaian
perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum
sangkepan ini berfungsi untuk mengembalikan
warga ke dalam suasana kehidupan yang
rukun dan damai (harmonis). Suasana kehidupan
harmonis, pada warga tradisional yang tersebut,
kini tampaknya telah berubah karena pengaruh
modernisasi, industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah
warga mengalami proses globalisasi. Kehidupan
nonagraris dan globalisasi ini telah mengubah
masyarakt homogen menjadi warga majemuk
(plural) yang di dalamnya ada suasana kehidupan
yang heterogen dengan bermacam kepentingan.
Di Bali pada umumnya, proses globalisasi telah
dirasakan jauh sebelum warga negara kita
lainnya mengalami hal tersebut. Salah satu penyebab
terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah
ini yaitu karena perkembangan pariwisata yang
telah berlangsung sejak lama. Suasana demikian,
mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang
antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan
dan kepentingan. Kemajemukan warga dapat
juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok danhubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan
kehidupan dunia modern. Kelompok-kelompok sosial
baru ini umumnya menganut nilai dan norma
serta kebiasaan yan berbeda dengan nilai, norma, serta
kebiasaan warga tradisional. Kelompok-kelompok
tersebut, juga memiliki kepentingan yang berbedabeda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana
demikian, warga tidak lagi digambarkan sebagai
suatu kesatuan yang utuh melainkan terdiri dari
bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang
lebih menonjol dari warga secara keseluruhan.
Solidaritas mekanis yang semula menjadi daya
pengikat dalam warga digantikan oleh ikatan
solidaritas organis yang lebih menonjolkan ikatan
dalam kelompok dan kepentingan kelompok masingmasing lebih diutamakan dibandingkan warga
secara keseluruhan. Orientasi nilai warga warga
dalam pergaulan antar antar sesamapun tampak
mengalami pergeseran dari nilai kebersamaan ke nilai
individual dan komersial. Kondisi demikian memberi
peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik.
Banyak hal yang muncul sbagai sumber konflik dewasa
ini antara lain: tanah, status sosial (prestige), jabatan
dan peluang kerja, penguasaan aset-aset ekonomi dan
lain sebagainya. Sumber konflik yang paling menonjol
dewasa ini yaitu , perbatasan area , tanah, baik
tanah milik perorangan, milik kolektif, milik pura/milik
desa adat dan tak terkecuali tanah untuk penguburan.
Proses globalisasi telah membuka warga Bali,
termasuk warga pedesaan ke dalam pergaulan
luas pada pergaulan dunia. ini ternyata telah
menimbulkan banyak tantangan bagi warga adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam
menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi
ini antara lain telah terjadinya perubahan nilai
orientasi warga warga dalam bersikap dan
bertindak, keefektifan awig-awig (norma atau aturan
adat) sebagai alat kontrol sosial berkurang, keputusankeputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik
di warga yang dahulu umunya ditaati kini tidak
jarang diabaikan karena dipandang tidak memuaskan
bagi sebagian kelompok warga .
Sekarang sedang terjadi kemunduran tradisi,
norma-norma, dan hukum, serta tatanan kehidupan
yang telah mapan pada taraf yang cukup fenomenal.
Manusia mengalami perkembangan menakjubkan
dalam bidang material, namun bersamaan dengan itu
juga mengalami perkembangan yang terbatas dalam
bidang moral. Kontradiksi kehidupan sosial tidak dapat
dihindari karena modernisasi dan industrialisasi telah
menjadi kekuatan penting yang memaksa penyesuaian
nilai-nilai dan norma-norma dalam warga . Malahan
warga global dewasa ini tengah menuju ke arah
sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan
yang semakin tinggi, bersamanya membawa berbagai
kontradiksi kehidupan, baik sosial dan kebudayaan
maupun agama.
b. Kearifan Lokal Bali
Dalam perkembangannya kapitalisme pariwisata tidak
mementingkan nilai, makna dan fungsi pertunjukan
tarian di hadapan para wisatawan. Tarian hanyalah
sebuah atraksi seni atas keindahan dan nilai estetika,
seperti layaknya konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan maka pariwisata juga memiliki dua
muka yang menyatu, seperti memiliki dua arah yaitu
pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dalam falsafah
warga Bali dikenal yaitu Rhua Bhineda (Dua yang
berbeda). Jika pariwisata dikelola dengan baik dan
berkelanjutan maka akan menghasilkan manfaat
optimal bagi rakyat lokal, paling tidak bagi warga
adat sekitarnya maupun pelaku pariwisata lainnya. Jika
dikelola dengan serampangan dan tidak terorganisir
secara rapi, maka warga lokal dan adat hanya
mendapatkan ekses-ekses negatif, perubahan nilainilai sosial budaya yang destruktif. Kerusakan ataupun
penurunan moral atas imbas pariwisata terhadap
warga lokal (adat) akan susah dikembalikan. Inilah
yang disebut dengan taksu atau nilai magis pariwisata
budaya yang menghasilkan atraksi-atraksi pertunjukan
seni dan budaya dipandu latar keindahan alam Bali.
Seyogianya pariwisata budaya yang berkelanjutan
mempertahankan aspek-aspek local geneus atau
kearifan lokal sebagai roh terhadap daya tarik pariwisata
itu sendiri. Pariwisata budaya bukan hanya dilihat hal
atau pertunjukan yang tampak pada kasat mata saja.
Namun lebih pada pertimbangan kenapa nilai-nilai
kearifan lokal menjiwai pelaksanaan sikap dan perilaku
warga dalam kaitannya dalam interaksi sosial
kesehariannya.
Setiap nilai-nilai kearifan lokal memiliki makna
terhadap sebab musabab kejadian atau momentum
kenapa hal ikhwal itu dilaksanakan. Misalnya
kehidupan pertanian warga Bali mengajarkan
konsep, keseimbangan dan kesucian terhadap alam
yang terdiri dari unsur tanah, air, udara, matahari dan nikroorganisme. ini yaitu salah satu konsep
Tri Hita Karana karena ada menjaga keseimbangan
alam harus serasi, selaras, dan berkesinambungan dari
generasi ke generasi berikutnya. Keseimbangan dalam
interaksi sosial terhadap pemilik lahan pertanian antara
satu petani dengan petani lainnya dilakukan dengan
sistem subak. Subak yaitu bagian dari kearifan
lokal warga Bali untuk menjaga pendistribusian air
antara satu lahan dengan lahan lainnya secara adil dan
dan merata. Konsepsi pekerjaan bertani yaitu
Yadnya yaitu kepatuhan atau kewajiban manusia
bekerja dan mengolah alam sekaligus menjaga alam
ini sebagai titipan Tuhan.
Yadnya melalui upacara keagamaan terkadang
dirusak oleh unsur gengsi dan kehormatan. Banyak
upacara keagamaan dilakukan dengan menjual aset
ekonomi atau warisan dari para leluhurnya. Demi rasa
gengsi dan ingin dipandang terhormat di dalam tatanan
warga sebuah keluarga terkadang menanggung
utang atau kehilangan aset untuk bekerja. Yadnya
yaitu upacara keagamaan yang sebagian orang
Bali dikatakan sebagai beban misalnya upacaara
Ngaben atau pembakaran mayat, di dalam upacara
Ngaben dapat menghabiskan untuk pelaksanaan
kegiatan ini hingga puluhan juta hingga ratusan
juta bahkan miliaran rupiah. Pada akhirnya warga
mencari dan membuat konsensus bersama atas konsep
Yadnya ini. Ngaben lazimnya pada saat ini bilamana
tidak mampu dilakukan oleh sebuah keluarga sendiri
maka akan dikoordinir desa adar dengan sistem
Ngaben massal. Secara waktu, energi, dan pembiayaan
tentunya lebih murah dan terasa ringan bagi semuanyaKonsepsi dharma atau Yadnya yang didasari
oleh falsafah kerja yaitu karunia Tuhan oleh karena
itu pendapatan yang diperoleh yaitu milik Tuhan.
Manusia hanya memanfaatkannya sebatas yang dia
butuhkan. Selebihnya yaitu milik Tuhan yang harus
dibagikan kembali ke warga dalam bentuk
Yadnya. Berbagai bentuk Yadnya itu meliputi pertama,
Manusa Yadnya (Yadnya untuk kemanusiaan, aktivitas
atau kegiatan sosail yang terjadi di dalam dinamika
desa adat). Kedua, dewa Yadnya yaitu kegiatankegiatan spiritual ataupun upacara keagamaan dalam
rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, Bhuta
Yadnya yakni, Yadnya untuk upacara keagamaan yang
bersifat Bhuta dalam rangka keseimbangan dengan
kekuatan negatif yang ada di alam ini. Keempat, Pitra
Yadnya yaitu Yadnya untuk para leluhur dengan
segala dimensinya sebagai rasa hormat terhadap apa
yang telah dirintis dan diberikan kepada generasi
penerusnya. Kelima, Resi Yadnya yaitu Yadnya
kepada para pemimpin keagamaan.
Filosofi Tri Hita Karana yaitu filosofi yang
paling hakiki dari kehidupan komunal warga
Bali, yang paling dihayati dan diimplementasikan
dalam usaha dan kegiatan pariwisata. warga Bali
yaitu warga komunal yang semua aspek
kehidupan diwarnai dan dijiwai dengan konsep Tri Hita
Karana menekankan pada keserasian dan keseimbangan
konsep manusia terhadap alam, manusia terhadap
sesamanya, manusia terhadao Tuhannya. Cerminan
dari filosofi ini terlihat ketika mereka (warga adat
Bali) dengan memberikan sesaji untuk keselamatan
dan kelancaran dalam melakukan pekerjaan.
Kabupaten Gianyar
1) Profil dan Program
Kabupaten Gianyar yaitu salah satu dari
9 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali,
dengan luas area 36.800 hektar atau 6,53%
dari luas area Provinsi Bali secara keseluruhan.
Kabupaten Gianyar memiliki 7 Kecamatan yaitu
Kecamatan Sukawati, Kecamatan Blahbatuh,
Kecamatan Gianyar, Kecamatan Tampaksiring,
Kecamatan Ubud, Kecamatan Tegallalang,
dan Kecamatan Payangan. Kecamatan terluas
yaitu Kecamatan Payangan dan paling kecil
yaitu kecamatan Blahbatuh. Jumlah penduduk
di Kabupaten Gianyar tahun 2017 sebanyak
503.900 jiwa yang terdiri dari 254.400 jiwa
(50,49%) laki-laki dan 249.500 jiwa (49,51%)
perempuan. Tingkat pertumbuhan penduduk
0,99% dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2016 yang mencapai 499.600 jiwa. Tingkat
kepadatan penduduk 1.358 jiwa per km². Angka
harapan hidup warga rata-rata 72,84 per
tahun. Diantara 7 Kecamatan maka Kecamatan
Sukawati memiliki penduduk paling banyak yaitu
122.430 (24,30%) dari total penduduk yang ada
di Kabupaten Gianyar dan yang paling sedikit
yaitu di Kecamatan Payangan yaitu 42.860 jiwa
(8,50%).161
Kabupaten Gianyar tidak memiliki
Sumber Daya Alam (SDA) yang potensial untuk
dikembangkan guna menopang pembangunan
daerah yang berkelanjutan. Dalam pembangunan
bidang ekonomi Kabupaten Gianyar bertumpu
pada sektor unggulan yaitu sektor pariwisata,
sektor industri dan sektor pertanian dalam arti
luas. Sektor pariwisata dikembangkan dengan
memanfaatkan keunggulan budaya dan pertanian
sehingga mampu menjadi penyangga utama
perkembangan perekonomian Kabupaten Gianyar.
Kabupaten Gianyar memiliki 2 (dua) Kawasan
Pariwisata yaitu Kawasan Pariwisata Lebih dan
Kawasan Pariwisata Ubud, dimana Kawasan
Pariwisata Ubud meliputi 3 (tiga) Kecamatan
yakni Kecamatan Ubud, Kecamatan Payangan
dan Kecamatan Tegallalang, sedang Kawasan
Pariwisata Lebih meliputi Kecamatan Sukawati,
Kecamatan Blahbatuh dan Kecamatan Gianyar.162
Kabupaten Gianyar memiliki beberapafaktor yang dapat menunjang pembangunan
kepariwisataan. Faktor-faktor ini antara
lain: (1) kebudayaan dan kehidupan warga
yang bersumber pada kebudayaan dan dijiwai
oleh agama Hindu yang yaitu daya tarik
kunjungan bagi wisatawan asing ke Kabupaten
Gianyar; (2) keindahan alam, peninggalan sejarah
dan purbakala sebagai objek wisata yang cukup
mempesona; (3) tersedianya fasilitas transportasi
dan telekomunikasi yang memadai; (4) fasilitas lain
seperti hotel, home stay, dan restoran yang cukup
banyak berkembang di sudut kota Gianyar.
Salah satu misi pemerintah Kabupaten
Gianyar yaitu menumbuhkembangkan budaya
warga yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal
yang dapat menumbuhkan relegiusitas, disiplin,
kerja keras, berorientasi pada prestasi dengan
meningkatkan peran desa pakraman, banjar,
subak, dan sekaha-sekaha serta institusi-institusi
yang telah ada dalam menjaga adat, budaya dan
agama.163 Proteksi secara legal formal yaitu melalui
kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Gianyar Nomor 10 tahun 2013 tentang
Kepariwisataan Budaya Kabupaten Gianyar.
Kebijakan ini mengarahkan pengembangan dan
pembangunan pariwisata di Kabupaten Gianyar
yang berpijak pada budaya warga nya.
Sebagai contoh pembangunan hotel di kawasan
Kabupaten Gianyar wajib mengadopsi budaya asli
dalam bentuk arsitekturnya, orang-orang yang
bekerja di dalamnya, serta elemen-elemen budaya
asli lainnya.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Komitmen terhadap pariwisata budaya
di Kabupaten Gianyar juga terwujud melalui
pengembangan desa wisata. Saat ini ada
9 desa wisata yang dikembangkan Kabupaten
Gianyar dengan berbagai macam potensi wisata
budaya yang menjadi daya tarik di masing-masing
desa wisata tersebut. Desa menjadi jalur utama
pariwisata budaya.
Alur utama yang turut mendukung potensi
wisata budaya dimulai dari Desa Batubulan, Desa
Celuk, Desa Singapadu, dan Desa Batuan yang
terkonsentrasi di Kecamatan Sukawati. Desa Mas,
Desa Peliatan, dan Desa Ubud terkonsentrasi di
Kecamatan Ubud. Desa Sebatu terkonsentrasi di
kecamatan Tegallalang, dan Desa Tampaksiring
terkonsentrasi di Kecamatan Tampaksiring.
Jalur wisata yang telah disebutkan di atas,
warga nya memiliki aktivitas tersendiri
sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang
mereka miliki. Tari Barong terkonsentrasi di Desa
Batuan dan Desa Singapadu. Seni kerajinan perak
terletak di Desa Celuk, seni ukir kayu terkonsentrasi
di Desa Batubulan, seni lukis ada di Desa Mas
dan Desa Ubud, sedang seni kerajinan kayu
ada di Desa Sebatu, Desa Tegallalang, Desa
Tampaksiring, dan Desa Peliatan. Sementara
itu seni kerajinan yang mengacu pada tradisi
terfokus di daerah tertentu. Hal itu dipicu
tidak semua perajin mampu membuatnya, karena
masih harus memperhatikan hal-hal yang sifatnyasacral, sedang seni kerajinan yang bentuknya
mengacu pada benda sakral namun sudah dibuat
untuk kepentingan pariwisata, ada di Desa
Pakuduwi, Tegallalang, Singapadu, Guang, dan
Desa Puaya. Desa Pakuduwi yaitu tempat
berkumpulnya para seniman dan berkembangnya
seni kerajinan kayu yang mengambil objek garuda.
Desa Singapadu dan Desa Puaya yaitu
tempat pembuatan Barong, baik untuk kebutuhan
dalam seni pertunjukan ritual dan wisata maupun
sebagai benda seni kerajinan.
Kabupaten Tabanan
1) Profil dan Program
Kabupaten Tabanan yaitu salah satu kabupaten
dari beberapa kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Bali dengan pendapatan asli daerah
(PAD) rata-rata sebesar 15,07% dari total APBD.
ini menunjukkan tingkat ketergantungan
sumber-sumber pendanaan pembangunan
kepada pemerintah pusat. usaha yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tabanan antara lain
menggalakkan kepariwisataan, dengan harapan
mampu mempercepat laju pembangunan
dan meningkatkan pendapatan asli daerah
Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan, Bali
memiliki potensi wisata yang luar biasa namun
belum dikelola secara optimal. Saat ini Tabanan
memiliki 22 objek wisata yang tersebar di sepuluh
kecamatan, yang belum dikelola secara maksimal.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Kebijakan pariwisata yang dikembangkan di
Tabanan memakai konsep Pariwisata
Kerakyatan yaitu dengan pengembangan
kawasan pariwisata melibatkan peran warga
dalam menjaga dan mengelola potensi dan
area pariwisata tersebut. Hal itu dikarenakan
area di Tabanan yaitu area yang
dijaga keutuhannya secara adat sehingga tidak
boleh berkurang atau rusak terutama ekosistem
lingkungannya. Kedudukan warga sebagai
pengelola pariwisata juga menjadi nilai tambah
baik dari segi pendapatan warga maupun dari
segi kemandirian warga dalam pelaksanaan
pembangunan wisata di Tabanan. Beberapa
keikutsertaan warga dalam pengelolaan
pariwisata yaitu dengan mengoptimalkan
sektor pariwisata, seperti dengan pelaksanaan
festival, promosi pariwisata, pembangunan
Tourism Information Center (TIC), penataan
dan pengembangan infrastruktur pariwisata,
pelestarian seni dan budaya, penguatan peran
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMDA) dalam sektor
pariwisata serta program gerbang pariwisata.
Kebijakan pengelolaan pariwisata
Kabupaten Tabanan memakai konsep
Nyegara Gunung, yaitu memadukan potensi pantai
dan gunung. Tabanan memiliki panjang pantai
yang indahnya hingga 33 Kilometer, ini
didukung dengan bentangan pemandangan
sawah yang menawan sepanjang dataran rendah
menuju puncak, dan pemandangan pegunungan
di dataran perbukitan. Nyegara Gunung mengacu
pada sapta pesona, ditunjang pula dengan tatanan
kehidupan warga melalui penerapan prinsip
filosofi Tri Hita Karana Agama Hindu melengkapi
kesempurnaan alam Tabanan sebagai potensi
pariwisata.
Keberadaan desa wisata di Tabanan
yaitu salah satu bentuk program Investasi
Hati, dengan pengertian bahwa Investasi
Hati yaitu sebuah konsep pelayanan kepada
warga menitik beratkan pada ketulusan
melalui kebijakan-kebijakan pengelolaan
pariwisata yang pro rakyat. Investasi Hati Politik
dalam pengelolaan kepariwisataan dilaksanakan
melalui kebijakan dan program dengan hati/
pro rakyat antara lain Investasi ekonomi dan
sosial melahirkan warga yang sejahtera dan
mandiri. Adapun langkah terhadap investasi hati
agama dan budaya dapat menciptakan kerukunan
dan kedamaian dalam perbedaan.
Saat ini (2018) ada 13 desa wisata di
Kabupaten Tabanan. Target pengembangan akan dicapai hingga 133 desa wisata. Semua desa wisata
itu diharapkan dapat dapat terintegrasi, dimana
Kabupaten Tabanan tinggal mempromosikan
dan mengenalkan desa secara nasional maupun
internasional. Kebijakan pemberdayaan desa
wisata ini sebagai penopang pendapatan
asli daerah disamping pendapatan sektor
pariwisata yang saat ini sudah ada dari lokasi daya
tarik wisata unggulan pariwisata Tabanan mulai
dari Pura Tanah Lot, Ulundanu, Jatiluwih, Kebun
Raya Eka Karya Bali, Alas Kedaton, Museum Subak,
Areal Pura Batukaru, Taman kupu-kupu Bali, TPB
Margarana, dan Air Panas Panatahan.
Kabupaten Badung
1) Profil dan Program
area Kabupaten Badung terletak pada posisi
08°14’17”—08°50’57” Lintang Selatan (LS)
dan 115°05’02”—15°15’ 09” Bujur Timur (BT) membentang di tengah-tengah Pulau Bali. Luas
area Kabupaten Badung yaitu 418,52 km2
(7,43% dari luas Pulau Bali). Bagian Utara Kabupaten
Badung yaitu daerah pegunungan yang
berudara sejuk, berbatasan dengan Kabupaten
Buleleng. area di bagian Selatan yaitu
dataran rendah dengan pantai berpasir putih
dan berbatasan langsung dengan Samudera
negara kita . Sebelah Timur area nya berbatasan
dengan Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar.
Bagian tengah area Badung yaitu daerah
persawahan. Di sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Tabanan. Secara umum Kabupaten
Badung yaitu daerah beriklim tropis yang
memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (April–
Oktober) dan musim hujan (November – Maret).
Curah hujannya rata-rata 893,4 – 2.702,6 mm per
tahun. Kemudian suhu udaranya berkisar 25°C –
30°C dengan kelembapan udara rata-rata mencapai
79%. Secara administratif, Kabupaten Badung
terbagi menjadi 6 ( enam ) area Kecamatan
yang terbentang dari bagian Utara ke Selatan
yaitu: Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi,
Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan. Disamping itu,
di area ini juga ada 16 Kelurahan, 46 Desa,
369 Banjar Dinas, 164 Lingkungan 8 Banjar Dinas
Persiapan dan 8 Lingkungan Persiapan. Selain
Lembaga Pemerintahan seperti ini di atas, di
Kabupaten Badung juga ada Lembaga Adat
yang terdiri dari 120 Desa Adat, 523 Banjar dan 523
Sekaa Teruna. Di Kabupaten Badung juga ada
1 BPLA Kabupaten dan 6 BPLA Kecamatan serta 1 Widyasabha Kabupaten dan 6 Widyasabha
Kecamatan. Lembaga - lembaga adat ini memiliki
peran yang sangat strategis dalam pembangunan
di area Badung pada khususnya dan Bali pada
umumnya.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga,
anggota warga adat ini terikat dalam suatu
aturan adat yang disebut awig - awig. Keberadaan
awig-awig ini sangat mengikat warganya sehingga
umumnya warga sangat patuh kepada
adat. Oleh karena itu, keberadaan Lembaga
Adat ini yaitu sarana yang sangat ampuh
dalam menjaring partisipasi warga . Banyak
program yang dicanangkan pemerintah berhasil
dilaksanakan dengan baik di daerah ini, berkat
keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang
ada. Pengembangan area Kabupaten Badung
didasarkan pada potensi dan kendala aspek fisik
lingkungannya. Berdasarkan karakteristik topografi
dan kelerengannya, area kabupaten ini memiliki
variasi yang sangat beragam, yaitu ketinggiannya
antara 0 – 3.000 m dpl dengan kelerengan datar
hingga jurang yang curam. Penataan ruang pada
area seperti ini relatif sulit dibandingkan dengan
area yang datar. Kondisi ini telah mendorong
Pemkab Badung untuk bersikap berhati-hati dan
bijaksana dalam merencanakan pengembangan
area nya. Kabupaten Badung dibagi menjadi
3 area Pengembangan yaitu: Badung Utara,
Badung Tengah dan Badung Selatan. Masingmasing area memiliki perbedaan karakteristik
fisik lingkungan yang mencolok. area Badung Utara, yaitu kawasan pegunungan yang
subur dengan hutan dan RTH yang luas, karena
itu sesuai untuk fungsi konservasi lingkungan.
area Badung Tengah, yaitu kawasan
dengan ketinggian dan kesuburan sedang, karena
itu sesuai untuk fungsi transisi antara fungsi
lindung dan budidaya alamiah seperti pertanian.
area Badung Selatan, yaitu kawasan
yang datar, tidak subur dan pesisir. Karena itu
sepenuhnya sesuai untuk fungsi budidaya yang
bersifat terbangun.
Selain kabupaten yang memiliki Pendapatan
Asli Daerah (PAD) tertinggi di Provinsi Bali, di tahun
2013 mencapai 2 triliun rupiah, Kabupaten Badung
juga yaitu kabupaten dengan pertumbuhan
ekonomi tertinggi di Provinsi Bali. Berdasarkan data
di tahun 2013, mampu mencatatkan pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,41 persen. Dilihat dari
perspektif ilmu pariwisata, masih banyak dimensi
kosong atau belum terfasilitasi untuk mewujudkan
pemerataan pembangunan di Kabupaten Badung.
Badung utara secara empiris saat ini terlihat masih
mempertahankan sektor pertanian, namun jika
secara jujur dicermati, sebagaian generasi muda
di Badung Utara pada usia produktif justru bekerja
di luar desa (Badung Selatan, Denpasar dan
Gianyar). Artinya para petani di Badung Utara saat
ini yaitu mereka yang sudah berusia rata-rata di
atas 45 tahun atau bahkan sudah lanjut usia Dapat
dibayangkan keberlanjutan sektor pertanian
di Kabupaten Badung jika fenomena ini tidak
segera dipecahkan. Bukannnya tidak mungkin 10 sampai 25 tahun lagi Badung Utara akan
berkembang menjadi kawasan pariwisata karena
sektor pertanian sudah ditinggalkan sehingga
memerlukan sektor real yang diyakini mampu
mensejahterahkan warga nya.
alam rangka menyeimbangkan
pembangunan Badung Selatan, Badung
Tengah, dan Badung Utara maka Pemerintah
Kabupaten Badung mengeluarkan kebijakan
yang strategis yang salah satunya yaitu dengan
mengembangkan 11 (sebelas) desa-desa wisata
yang ada di area Badung Tengah dan Badung
Utara berdasarkan Perbup (Peraturan Bupati)
Badung Nomor 47 Tertanggal 15 September 2010
tentang Penetapan Kawasan Desa Di Kabupaten
Badung dan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali
Nomor 556/317/I/DISPAR tentang Pengembangan
100 Desa Wisata 2014-2018.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
usaha pengembangan desa-desa wisata
Kabupaten Badung yaitu untuk pemerataan
pembangunan sektor pariwisata agar tidak
hanya terfokus di Badung Selatan (Kuta, Nusa
Dua dan sekitarnya) yang sudah menjadi trade
mark pariwisata Bali. Selain itu, masih kentalnya
tradisi nilai budaya lokal dan alam yang masih
asri dipandang sebagai potensi yang layak
untuk pembangunan sektor pariwisata dengan
meminimalkan dampak-dampak negatif.
Berdasarkan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali
Nomor 556/317/I/DISPAR tentang Pengembangan
100 Desa Wisata 2014-2018, dan Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010 tentang Penetapan
Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung maka
Kabupaten Badung memiliki 11 (sebelas) desa
wisata terletak di Badung Tengah dan Badung
Utara.
Ke-11 desa wisata di kabupaten Badung
di atas tidak ada yang berada di area Badung
Selatan. Keseluruhannya berada di Badung
Tengah dan Badung Utara kecuali desa wisata
Munggu yang berada di perbatasan area
Badung Tengah dan Badung Selatan. ini
sangat beralasan karena keberadaan desa wisata
yaitu suatu model pembangunan pariwisata
yang berbeda dengan pembangunan pariwisata
di Badung Selatan pada umumnya. Desa wisata
yaitu model pembangunan kepariwisataan
yang mengoptimalkan ragam potensi desa,
mengedepankan partisipasi warga lokal,
dengan memperhatikan aspek-aspek pelestarian
dan keberlanjutan untuk kesejahterahaan
warga nya. Desa wisata dengan demikian
yaitu suatu bentuk antitesa dari mass
tourism yang sudah sangat berkembang di
Badung Selatan. Sebagai bentuk dari alternative
tourism desa wisata sepatutnya memiliki ciri
khas dan karakteristik berbeda dengan aktifitas
pariwisata seperti mass tourism. Ciri khas yang
paling mudah dilihat yaitu jumlah wisatawan
yang berskala kecil dan memiliki minat khusus
tertarik dengan keunikan budaya, keindahan
alam dan suasana natural minim rekayasa atau
kehidupan warga lokal yang disaksikan oleh wisatawan secara apa adanya/tanpa dibuat-buat.
area Badung Utara dikenal mengedepankan
pembangunan sektor pertanian, berbeda dengan
area Badung Selatan dapat dikatakan lebih
dari 90% mengandalkan sektor jasa pariwisata.
Secara teoritis tidak terlihat terjadi ketertinggalan
di Badung Utara, namun jika dicermati terkesan
terjadi kesenjangan pembangunan ketika
dihubungkan dengan faktor-faktor ekonomi
dan kesejahterahaan. Secara singkat dapat
disampaikan pesatnya pembangunan pariwisata
di Badung Selatan tidak sama halnya dengan
pembangunan pertanian/perkebunan di Badung
Utara. Artinya, pembangunan sektor pertanian
di Badung Utara masih lambat dan diperlukan
percepatan akselerasi. Kondisi ini dipicu
oleh banyak faktor seperti masih memakai
pola tanam tradisional, belum memaksimalkan
diversifikasi pertanian, petani belum mampu
mencukupi kebutuhan pasar, minimnya minat
generasi muda untuk terjun di sektor pertanian
dan belum tercapainya sinergi antar sektor seperti
sektor pariwisata bersama sektor pertanian.
Perkembangan pariwisata di Badung Selatan seperti
Nusa Dua, Kuta, Seminyak bahkan sekarang sudah
mengarah ke Canggu dan Munggu, begitu pesat
memberikan banyak perubahan dan manfaat bagi
warga Kabupaten Badung pada khususnya
dan warga Bali pada umumnya. Tidak dapat
dipungkiri pariwisata telah memberikan warna
dalam kehidupan warga meskipun tidak
secara keseluruhan merasakan dampak langsungdari nilai ekonomi kepariwisataan. Pembangunan
infrastruktur dengan mengedepankan
pendekatan mass tourism diyakini sangat
mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun
dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri terjadi
ketimpangan pembangunan antara Badung Utara
dan Badung Selatan. Pemerintah Kabupaten
Badung pada satu dasa warsa terakhir mulai
serius menyikapi permasalahan di atas. Mulai era
kepemimpinan Anak Agung Gde Agung selama
dua periode (2005-2010 dan 2010-2015) berusaha
menciptakan pemerataan pembangunan antara
Badung Utara dan Badung Selatan. Langkah
nyata yang sudah dilakukan antara lain dengan
sangat berani membuka SMK 1 Badung (Sekolah
Menengah Kejuruan Pertanian) di Petang/Badung
Utara, memberikan bantuan-bantuan secara
berlanjut kepada subak-subak, termasuk pula
usaha perpaduan antara pertanian dan pariwisata
dengan mengadakan festival tahunan yaitu
Festival Budaya Pertanian Badung yang digelar
di Jembatan Tukad Bangkung/Badung Utara, dan
usaha untuk mengaktifkan desa-desa wisata yang
berada di Kabupaten Badung. Keberadaan desa
wisata di Kabupaten Badung diharapkan mampu
melestarikan pertanian dengan perpaduan
bersama sektor pariwisata, memberikan manfaat
bagi warga lokal, memberikan kesempatan
kerja bagi warga warga lokal, memberikan
varian baru dalam produk dan atraksi wisata, dan
akhirnya mampu memberikan manfaat ekonomi
bagi pembangunan di tingkat desa dalam rangka mewujudkan kesejahterahaan warga secara
berkelanjutan. Besar pula harapan pada akhirnya
desa wisata dapat memberikan sumbangan
bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Badung dengan perpaduan sektor
pariwisata dan sektor pertanian.
Permasalahannya yaitu dari 11 desa
wisata tersebut, belum semuanya menunjukkan
aktifitas kepariwisataan. Dapat dilihat belum
optimalnya pemanfaatan potensi yang dimiliki
melalui minimnya produk dan atraksi wisata
kepada wisatawan. Fakta ini tidak terlepas
dari pengelolaan, kelembagaan dan partisipasi
warga yang tidak kesemua desa wisata
memiliki pola-pola yang baik. Untungnya, desadesa wisata ini berada pada lokasi strategis,
seperti memang memiliki daya tarik wisata di
desanya, berada pada jalur-jalur yang harus
dilalui ketika wisatawan menuju daya tarik wisata
tertentu dan terutama memiliki keindahan alam
pegunungan memukau berbeda dengan Badung
Selatan yang pada umumnya pesisir.
Desa Pakraman
1) Selayang pandang Desa Pakraman
Dalam warga tradisional di Bali desa
adat terhimpun dalam wadah yang disebut
Desa Pakraman misalnya, menurut Sukarma
pengaruh modernisasi tampak melalui pergeseran
epsitemologi sosial yaitu dari ‘yang baik yaitu
yang benar’ ke ‘yang benar yaitu yang baik’.
warga tradisional beranggapan, ‘apa yang
baik menurut mereka’, ‘itulah yang benar bagi
mereka’ (kebenaran tidak dapat mendahului
kebaikan). Sebaliknya warga modern
beranggapan, ‘apa yang benar menurut mereka’,
‘itulah yang baik bagi mereka’ (kebaikan tidak
dapat mendahului kebenaran). Ukuran kebenaran
yaitu akal dan rasio sehingga yang benar yaitu
yang masuk akal, dan/atau yang logis. Sebaliknya,
yang tidak masuk akal, tidak logis, dan irasional
yaitu yang salah. Artinya warga modern
lebih mengedepankan rasionalitas daripada
moralitas, sedang warga tradisional lebih
mengutamakan moralitas daripada rasionalitas.
Walaupun ini buka soal pilihan, namun dapat
diduga di antara rasionalitas dan moralitas ini Desa
Pakraman mengalami anomali dan kebingungan
berkepanjangan. Kebingungan rasionalitas
memicu ketersesatan moralitas sehingga
Desa Pakraman mengalami kesulitan mewujudkan
sukerta tata parhyangan , pawongan, dan
palemahan.
Desa Pakraman sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun
2001 setidak-tidaknya dibentuk oleh beberapa
unsur pokok, yaitu kesatuan warga hukum
adat, memiliki satu-kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup menurut Hindu, ikatan
Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa), memiliki
area dan harta kekayaan sendiri, dan berhak
mengurus rumah tangganya sendiri. Di dalam
unsur ini hendak menegaskan bahwa sistem
sosial warga adat Bali bercorak Hindu dan
ini menjadi semacam indentitas Desa Pakraman.
Aktivitas sosial-religius warga adat yang
dijiwai oleh agama Hindu dimanifestasikan dalam
bentuk pemujaan kepada Ida Shang Hyang Widhi
melalui Kahyangan Tiga. Demikian juga substansi
awig-awig Desa Pakraman dijiwai oleh agama
Hindu, yaitu penjabaran dari falsafah Tri Hita
Karana. Parhyangan mengatur kegiatan manusia
melakukan hubungan dengan Tuhan, pawongan
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
dalam kegiatan sosial, dan palemahan berupa
perwujudan hubungan manusia dengan alam
yang menjadi tempat permukiman dan sumber
kehidupan warga .
Ini berarti Desa Pakraman yaitu satu
kesatuan harmonis dari tiga gatra, yaitu krama
desa sebagai gatra pawongan membutuhkan
ruang untuk melaksanakan aktivitasnya, berupa
kewajiban hidup di area Desa Pakraman,
yaitu gatra palemahan. Selain kesejahteraan juga
manusia memiliki kerinduan religius sehingga
memerlukan hubungan khusus dengan Tuhan, yaitu gatra parhyangan. Kenyataannya, manusia yaitu
bagian dari alam yang berpartisipasi membentuk
watak alam dan sebaliknya, juga alam turut serta
membangun karakter manusia. Demikian juga
untuk melangsungkan kehidupannya, manusia
tergantung pada lingkungannya, baik lingkungan
alam tempat tinggalnya maupun lingkungan sosial
tempat tempat menjalankan kehidupan sosial.
Dengan demikian, manusi amemengaruhi, bahkan
mengubah lingkungannya, karena itu antara
krama desa dan lingkungan desanya ada satu
jalinan saling memengaruhi. Krama desa sebagai
makhluk sosila membutuhkan jalinan komunikasi
harmonis untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan bersama dalam suasana aman dan
nyaman.
Bali sebagai pulau yang mana di setiap tempat,
memiliki budaya dan alam saling berpautan erat,
tempat tinggal sebuha warga mapan dan
harmonis secara berkala digairahkan ritus-ritus
mempesona. Alamnya menyajikan keindahan
Bali dalam warna gaib tridatu dan kilauan sunset
dewata nawa sanga yang menggetarkan rasaagama-budhi. Budaya Bali yang diwarnai pernakpernik upacara Yadnya menawarkan keramahan
orang Bali khas bhakti dalam tatanan dan tuntutan
santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susilaacara. Perpaduan harmonis antara kelimpahan
upacara keagamaan, kesenian, dan pemandangan
hijau menggambarkan cari khas kebudayaan Bali.
Melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali
menurut Mead dan Bateson (Picard, 2006) patut dilihat sebagai gejala yang harus dibahas dalam
kerangka psikologis-kulturalis. Dalam pandangan
mereka bahwa kebudayaan Bali menjadi semacam
sistem pengatur dorongan-dorongan naluri yang
menimbulkan sejenis skizofrenia-kultural. Dalam
setiap ucapan dan tindakan warga pastinya
memiliki makna dan fungsi dalam setiap pemujaan
terhadap dewa dan para roh leluhur.
Ini sebabnya dalam komunitas adat, seperti
Desa Pakraman bahwa bagian masa lalu dan simbol
yaitu sarana untuk menangani ruang dan
waktu dengan memasukkan segala pengalaman
dalam keberlanjutan masa lalu, masa kini, dama
masa depan distrukturkan oleh praktik-praktik
sossial yang sedang berlangsung. Agama sebagai
inti dari sistem nilai yang dipraktikkan menjadi
norma dalam dunia sosial, karena itu kekuasaan
Tri Murti yang secaera teologis dipahami sebagai
konsepsi kehadiran, sedang secara kontekstual
menjadi siklus strukturisasi, destrukturisasi, dan
restrukturisasi tatana nilai dalam kosmologi adat.
Menurut tindakan ini bukan rangkaian
kumpulan interaksi dan nalar, namun konsistensi
monitoring perilaku dan konteksnya yang
ditujukan pada keteraturan dan keseimbangan
sosial. Oleh karena itu, Sukarma (Sarad No. 109
Mei 2009) menegaskan bahwa tatanan nilai dalam
komunitas adat selalu dalam proses perubahan
sehingga tradisi tidak sepenuhnya statis. Artinya,
generasi baru harus menemukan ulang tradisinya
ketika mengambil alih warisan budaya dari
pendahulunya karena pewarisan nilai dalam suatu komunitas tidak dimungkinkan tanpa proses
pembelajaran. Pengalaman belajar inilah usaha
merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan
agar Desa Pakraman senantiasa selaras dengan
nilai-nilai Hindu.
Istilah Desa Pakraman mulai dipergunakan
sejak dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Sebelumnya, lebih dikenal dengan desa adat
sesuai Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986
tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa
Adar sebagai Kesatuan warga Hukum Adat
dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Wayan
Surpha menyebut, sebagai desa dresta, desa adat
yaitu kesatuan warga hukum adat di
Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang memiliki satu
kesatuian tradisi dan tata krama pergaulan hidup
warga umat Hindu secara turun-temurun
dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa)
yang memiliki area tertentu, harta kekayaan
sendiri, dan berhak mengurus rumah tangganya
sendiri.
Desa adat menampakkan dirinya sebagai
suatu organisasi kewarga an dan sekaligus
yaitu suatu organisasi pemerintahan yang
berdiri sendiri di bawah kecamatan dan kota/
kabupaten di Bali. Desa adat yaitu desa yang
otonom sehingga memiliki kewenangan untuk
mengurus dan menyelenggarakan kehidupan
rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangan
lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial
religius dan sosila kewarga an. Desa adat memiliki struktur kepengurusan yang pada
umunya disebut dulu atau padulan dan berfungsi
untuk membantu tercapainya kepentingan para
anggotanya secara maksimal, terutama sekali
menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia
(terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa
aman dan nyaman).
Desa adat secara yuridis mendapat
pengyoman dan landasan hukum yang kuat
bukan saja dari Pancasila dan Pasal 18 UUD 1945
namun juga dari Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan negara berdasarkan
Ketuhana Yang Maka Esa dan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agama masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayannya itu. Tempat
pelembagaan ajaran-ajaran agama Hindu dalam
adat istiadatnya inilah yang disebut desa adat.
Dalam perkembangannya desa Bali
mengandung dua fungsi, dinas dan adat untuk
membedakannya dengan desa dinas yang diberi
tugas-tugas khusus dalam bidang pemerintahan
umum oleh penguasa yang berwenang sejak zaman
pemerintahan Belanda, pemerintahan militer
Jepang, sampai pemerintahan Republik negara kita .
sedang desa adar lebih banyak menekankan
urusan upacara keagamaan, seremoni ritual yang
bersifat religiusitas, persembahyangan desa. pada
proses selanjutnya setelah terjadi perubahan dan
tata sikap warga desa adat maka akhirnya muncul
perbaikan pada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun
1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranana Desa Adat sebagai Kesatuan warga Hukum
Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali kemudian
dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman sehingga pada tahun 2001 diganti menjadi
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman.
Desa Pakraman sebagai Kesatuan warga
Hukum Adata Mengenai kesatuan warga
hukum adat, Van Hollenhoven menjelaskan untuk
mengetahui hukum, maka yang perlu diselidiki
yaitu pada waktu dan bilamana serta di daerah
mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan
hukum di mana orang-orang dikuasai oleh hukum
dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara Soepomo mengemukakan
penguraian tentang badan-badan persekutuan itu
harus tidak didasarkan atau sesuatu yang dogmatik,
melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang
nyata dari warga yang bersangkutan. Dari
pendapat-pendapat ini memperlihatkan bahwa
warga yang mengembangkan hukum adat
ini yaitu persekutuan hukum adat (Adatrechts
Gemeenschapen).
Persekutaun hukum atau warga hukum
ini didefinisikan sebagai orang-orang yang terikat
sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang
teratur, yang menempati suatu area tertentu,
kesatuan ini bersifat abadi, memiliki pimpinan,
serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud. Persekutuanpersekutuan hukum di negara kita awalnya menurut
Soepomo dapat dibagi menjadi dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan
pertalian suatu keturunan (genealogi) dan
berdasarkan lingkungan daerah (teritorial).
Soepomo menambahkan lagi susunan
yang didasarkan atas genealogi-teritorial.
Desa Pakraman yang ada di Bali, berdasarkan
persyaratan sebagai kesatuan warga hukum
adat sudah memenuhi unsur-unsurnya. Desa
Pakraman memiliki anggota kelompok yang
terdiri dari orang-orang yang terikat sebagai suatu
kesatuan dalam susunan yang teratur, Anggota
kelompok disebut krama, pengurus kelompok
disebut prajuru.
Dengan demikian, Desa Pakraman menempati
suatu area tertentu yang disebut wewidangan
dengan batas-batas area yang sudah mereka
tentukan. Kesatuan yang dibuat ini bersifat abadi
dan mereka memiliki aturan yang tertuang dalam
awig-awig (aturan) Desa Pakraman. Desa Pakraman
juga memiliki kekayaan sendiri, yang disebut
catu atau pelaba. Berdasar dasar susunannya,
Desa Pakraman yaitu kesatuan warga
hukum adat yang berdasarkan lingkungan daerah
(teritorial). Menuru Soepomo, “orang-orang yang
bersama bertempat tinggal di suatu desa(di
Jawa dan Bali) atau di suatu marga (Palembang)
yaitu suatu golongan yang memiliki tata
susunan ke dalam dan bertindak sebagai kesatuan
terhadap dunia luar.
Jika ditelaah lebih dalam lagi, Desa
Pakraman memiliki kelompok-kelompok kecil
yang berdasarkan pertalian suatu keturunangenealogis). Mereka membentuk kelompok yang
disebut dadia. Ada juga kelompok-kelompok yang
didasarkan atas kesamaan fungsional. Mereka
membentuk kelompok yang disebut subak karena
memiliki kesamaan fungsi di bidang pertanian.
Des adat dengan sistem lingkungan terkecilnya
disebut banjar. Banjar yaitu lembaga warga
umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan
dan adat. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat
dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara
agama yang berlangsung di desa adat seperti
upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lainlain, agama Hindu menjiwai dan meresapi segala
kegiatan Krama Desa.
Desa adat yang kemudian disesuaikan menjadi
Desa Pakraman yaitu suatu kesatuan
warga sosial religius yang bersifat otonom,
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Hak
ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional
hukum adat yang diakui dan dihormati negara
sepetti diatur dalam Pasal 18B UUD NRI 1945,
“Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan warga hukuim adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarajat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik negara kita yang diatur
dalam undang-undang”.
Pengejawantahan Desa Pakraman
termasuk dalam kesatuan warga hukum
adat sudah terjawab dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan
hukum Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 (masalah Pembentukan Kota Tual) dan Putusan Nomor
6/PUU-VI/2008 (masalah pemindahan ibukota
Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke
Selatan). MK telah merumuskan kriteria atau tolok
ukur terpenuhinya ketentuan Pasal 18B ayat (2)
UUD NRI 1945 sebagai berikut:
1. Kesatuan warga hukuma adat dapat
dikatakan masih hidup jika secara de facto
mengandung unsur-unsur antara lain ada
warga yang warganya memiliki perasaan
kelompok; ada pranata pemerintahan adat,
ada harta kekayaan atau benda-benda adat
dan adanya perangkat norma hukum adat.
2. Kesatuan warga hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip
negara kesatuan jika kesatuan warga
hukum adat ini tidak menggangu
eksistensi Negara Kesatuan Republik
negara kita sebagai sebuah kesatuan politik
dalam arti, keberadaannya tidak mengancam
kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan
Republik negara kita , substansi norma hukum
adatnya sesuai dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kesatuan warga hukum adat dan hak
tradisionalnya sesuai dengan perkembangan
warga jika keberadaannya telah diakui
berdasarkan undang-undang (umum maupun
sektoral termasuk Perda), substansi hak-hak
tradisional ini diakui dan dihormati oleh
wagra kesatuan warga hukum adat yang
bersangkutan maupun warga yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia.
Dari penjelasan ini, Desa Pakraman telah
memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD NR 1945. Karena itu, negara
mengakui dan menghormati keberadaannya
beserta hak-hak tradisionalnya yang disebut
otonomi desa. dalam pelaksanaan hak-hak
tradisionalnya, Desa Pakraman dilengkapi
kekuasaan mengatur kehidupan warganya.
Kekuasaan itu di antaranya: (1) kekuasaan untuk
menetapkan aturan-aturan untuk menjaga
kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram.
Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dalam
suatu rapat desa (paruman atau sangkep desa); (2)
kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan
organisasi yang bersifat sosial-religius; (3) kekuasaan
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang
menunjukkan adanya pertentangan kepentingan
antara warga desa atau berupa tindakan yang
menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan
yang berupa tindakan yang menyimpang dari
aturan yang telah ditetapkan yang dapat dinilai
sebagai perbuatan yang mengganggu kehidupan
berwarga , baik melalui perdamaian maupun
dengan memberikan sanksi adat.
Pengaturan tentang desa adat bisa
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal
1 ayat (12) menyatakan desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa yaitu kesatuan warga hukum yang memiliki
batas-batas area yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan warga