wisata 2
setempat. Berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
negara kita . Dalam Pasal 2 ayat (9) dinyatakan
negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan warga hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan warga dan prinsip Negara
Kesatuan Republik negara kita .
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa juga memuat tentang desa adat.
Pasal 96 menyatakan Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan penataan kesatuan warga hukum
adat dan dapat ditetapkan menjadi desa adat.
Pasal 97 memuat tentang penetapan desa adat
sebagaimana dimaksud Psal 96 memenuhi syarat:
Pertama, kesatuan warga hukum adat beserta
hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik
yang bersifat genealogis maupun fungsional.
Kedua, kesatuan warga hukum adat beserta
hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan warga ; dan Ketiga, kesatuan
warga hukum adat beserta hak tradisionalnya
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
negara kita .
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 dengan jelas mendefinisikan Desa Pakraman
yaitu kesatuan warga hukum adat di Provinsi
Bali yang memiliki satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup warga umat Hindu
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan
tiga atau kahyangan desa yang memiliki
area tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari
definisi ini sudah ditegaskan Desa Pakraman
yaitu suatu kesatuan warga sosial
religius yang bersifat otonom, berhak mengurus
rumah tangganya sendiri. Dalam mekanisme
kehidupan Desa Pakraman, warga memiliki hak
antara lain hak untuk memilih pimpinan adat,
ikut dalam rapat (sankep/parum) adat, ikut serta
dalam Pemerintahan Desa Pakraman bersama,
dan berhak dipilih sebagai prajuru (pengurus)
adat. Kewajibannya melaksanakan ayahan (tugas)
adat dan tunduk serta taat kepada peraturan yang
berlaku bagi warga Desa Pakraman, yakni awigawig (aturan) baik tertulis maupun tidak tertulis,
paswara dan sima yang berlaku.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang
diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman
disebutkan bahwa Desa Pakraman di Provinsi Bali
yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah
selama berabad-abad, yang memiliki otonomi
asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga
terhadap kelangsungan kehidupan warga dan pembangunan. Desa Pakraman sebagai
kesatuan warga hukum adat yang dijiwai
oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya
yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam
bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu
diayomi, dilestarikan, dan diberdayakan.
Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman, Desa Pakraman didefinisikan sebagai
kesatuan warga hukum adat di Provinsi Bali
yang memiliki satu kesatuan tradisi dan tata
krama. Pergaulan hidup warga umat Hindu
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyangan desa yang memiliki area
tertentu dan harta kekayaan sendiri yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Majelis Desa Pakraman
Desa Pakraman sebagai area yang otonom
tidak selamanya berada dalam posisi “sendiri”.
Sejak 27 Februari 2004 terbentuk Majelis Desa
Pakraman (MDP). Kehadiran MDP membawa
angin baru bagi kehidupan Desa Pakraman di Bali.
Sebelum adanya MDP, Desa Pakraman seolaholah “yatim piatu”, tanpa “orangtua” untuk diajak
menimbang rasa dalam suka dan duka. Jika
ada Desa Pakraman memiliki masalah, mereka
menjadikan bupati sebagai tempat mengadu.
Padahal secara struktural bupati dan pemerintah
kabupaten tidak dapat disebut atasan Desa
Pakraman. Setelah terbentuknya MDP di Bali, ada wadah bagi Desa Pakraman untuk bertukar pikiran
dalam merancang masa depan Desa Pakraman
yang lebih baik, meningkatkan kualitas prajuru,
merumuskan awig-awig dan perarem serta
menyelesaikan permasalahan yang muncul di
Desa Pakraman.
MDP sebagai satu-satunya organisasi tempat
berhimpunnya Desa Pakraman memiliki peran
strategis dalam usaha meningkatkan kualitas
Desa Pakraman baik dalam hubungan dengan
parhyangan, pawongan, maupun palemahan.
MDP memiliki tingkatan yang mulai dari
kecamatan dengan nama Majelis Desa Pakraman
yang mpembentukannya melalui Paruman Alit. Di
tingkat kabupaten/kota ada Majelis Desa Pakraman
yang pembentukannya melalui Paruman Madya. Di
tingkat provinsi ada Majelis Utama Desa Pakraman
yang pembentukannya melalui Paruman Agung.
MDP memiliki peran strategis dalam menjawab
tantangan dan permasalahan yang berkaitan
dengan Desa Pakraman. Pertama, memperkuat
kelembagaan Desa Pakraman melalui kerja sama
dengan pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah
kabupaten/kota dalam usaha melestarikan agama
Hindu sebagai jiwa Desa Pakraman dan jiwa Bali.
Kedua, sebagai media komunikasi antar krama
desa dan antar Desa Pakraman berdasarkan spirit
Bali mawacara. Ketiga, menjadi filter terhadap
pengaruh yang datang dari berbagai arah di luar
Desa Pakraman.
Untuk itu perlu adanya prosedur tetap
(protap) kerja sama Desa Pakraman yang dapat dijadikan panduan bagi lembaga pemerintah
maupun swasta, parpol, LSM dan organisasi lain
dalam menjalin kontak dengan Desa Pakraman.
Selanjutnya secara proaktif membangun
komunikasi dan hubungan baik dengan
organisasi lain di luar Desa Pakraman dalam usaha
mewujudkan kedamaian di Bali (Bali Shanti).
Dalam Pasal 16 ayat (1) Perda No. 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman, MDP memiliki
tugas mengayomi adat istiadat, memberikan
saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak
baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk
pemerintah tentang masalah adat, melaksanakan
tiap keputusan-keputusan paruman dengan
aturan-aturan yang ditetapkan, membantu
penyuratan awig-awig, dan melaksanakan
penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
Ayat (2) menyatakan tentang kewenangan MDP,
antara lain merumuskan berbagai hal yang
menyangkut masalah-masalah adat dan agama
untuk kepentingan Desa Pakraman, sebagai
penengah dalam kasus-masalah adat yang tidak
dapat diselesaikan di tingkat desa, dan membantu
penyelenggaraan upacara keagamaan di
kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
Sebelum ada MDP, pada tahun 1968, terbentuk
Badan Musyawarah Desa Adat (Desa Pakraman)
sebagai wadah untuk mengkoordinasikan
pembinaan desa adat. Lembaga ini selanjutnya
dikuatkan legalitasnya melalui SK Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Bali Nomor 18/Kesra.II/c/19/1979
tentang Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) MPLA memiliki tugas memberi pertimbangan,
saran, usul mengenai permasalahan adat kepada
pemerintah daerah baik diminta maupun tidak,
dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah
daerah. MPLA juga mengadakan pembinaan
pembuatan awig-awig dan pembinaan adat
istiadat secara menyeluruh di dalam segala
aspeknya.
3) Awig-Awig (Peraturan) Desa Pakraman
Awig-awig yaitu tata dalam hidup
berwarga . warga sendiri ditandai oleh
beberapa ciri, seperti adanya interaksi, ikatan,
pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek
kehidupan yang bersifat mantap dan berkelanjutan,
serta danya rasa identitas terhadap kelompok
di mana individu yang bersangkutan menjadi
anggotanya. Dalam kehidupan berwarga ,
manusia akan senantiasa berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan manusia lainnya, sehingga
diperlukan adanya norma-norma dan aturanaturan yang menentukan tindakan mana yang
boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Dalam kehidupan warga adat Bali yang
diwadahi oleh Desa Pakraman, norma-norma
ini lazim disebut dengan istilah awig-awig,
sima, dresta, perarem, dan istilah-istilah lainnya.
Secara umum yang dimaksud dengan awig-awig
yaitu patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis
maupun tidak tertulis yang dibuat oleh warga
yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan
kepatutan yang hidup dalam warga , dalamhubungan antara krama (anggota Desa Pakraman)
dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun
antara krama dengan lingkungannya.
Dengan pengertian demikian, menjadi
jelas bahwa semua Desa Pakraman memiliki
awig-awig, walaupun mungkin bentuknya ada
yang belum tertulis. Belakangan, terutama sejak
tahun 1969, ada kecenderungan Desa Pakraman
menuliskan awig-awig-nya dalam bentuk dan
sistematika yang seragam. Tujuannya yaitu
agar prajuju desa adat dan generasi mendatang
dapat lebih mudah mengetahui isi awig-awig
desanya. Awig-awig yang dijadikan pegangan
oleh prajuru Desa Pakraman dalam mengemban
kewajibannya, dibuat sesuai dengan situasi dan
kondisi objektif masing-masing Desa Pakraman.
ini yang memicuadanya perbedaan
antara awig-awig Desa Pakraman yang satu
dengan yang lainnya walaupun secara geografis
letaknya berdekatan. Perbedaan ini dianggap
normal dan lumrah sesuai dengan dengan asas
desa mawacara. Awig-awig secara proporsional
berisi aturan-aturan yang bertujuan menjaga
atau mewujudkan keseimbangan hubungan
antara manusia dengan Ida Sanghyang Widi
Wasa /Tuhan Yang Maha Esa (aspek parhyangan),
keseimbangan hubungan antara manusia dengan
manusia, (aspek pawongan), dan keseimbangan
hubungan manusia dengan alam lingkungan
(aspek palemahan).
Landasan Awig-awig Desa Pakraman mulai
dikenal warga Bali sejak tahun 1986 setelah keluarnya Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi
Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan,
Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan
warga Hukum Adat dalam Provinsi Daerah
Tingkat I Bali. Sebelum lahirnya Perda ini, dipkaia
istilah bermacam-macam, di antaranya pangelingeling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta,
cara, tunggul, kerta, palakerta dan sima. Dalam Bab
IV Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali Nomor
6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan
Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan warga .
Hukum Adat dalam Provinsi Dasrah Tingkat
I Bali disebutkan tentang Awig-awig Desa Adat
antara lain: Setiap Desa Adat agar memiliki awigawig tertulis, Awig-awig Desa Adat tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku, Awig-awig Desa Adat dibuat dan
disahkan oleh krama Desa Adat , Awig-awig Desa
Adat dicatatkan di Kantor Bupati/Walikotamadya,
Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Sanksi yang diatur dalam awig-awig Desa Adat
tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku dan rasa
keadilan dalam warga .
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan
“Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan warga hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan warga dan prinsip
Negara Kesatuan Republik negara kita yang diatur
dalam undang-undang”. Apa yang disebutkansebagai syarat untuk mendapat pengakuan
negara tentu harus dipenuhi oleh Desa Pakraman
termasuk awig-awig yang dimiliki. Pengakuan
terhadap kesatuan warga hukum adat ini
mengandung empat konsekuensi. Pertama, suatu
kesatuan warga diakui sebagai sautu kesatuan
warga hukum sehingga dapat bertindak
sebagai subjek hukum yang berbeda dengan
anggota-anggotanya. Kedua, terhadap kesatuan
warga hukum adat dapat diletakkan hak
dan kewajiban serta dapat melakukan tindakan
hukum sebagai satu kesatuan. Ketiga, pada saat
pengakuan terhadap kesatuan warga hukum
adat, maka dengan sendirinya negara mengakui
sistem hukum yang membentuk dan menjadikan
kesatuan warga adat itu sebagai kesatuan
hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan
warga hukum adat juga dengan sendirinya
berarti pengakuan terhadap struktur dan tata
pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma
hukum tata negara adat setempat.
Awig-awig Desa Pakraman sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
warga Hindu di Bali memiliki korelasi yang
sangat kuat dengan konsep Tri Hita Karana. Tri
Hita Karana yaitu tiga hubungan yang
harmoni yang harus dijalankan manusia untuk
mencapai kesempurnaan. Hubungan itu terdiri
dari hubungan manusia dengan Tuhan yang
diwujudkan dalam bentuk bhakti. Hubungan
manusia dengan manusia yan diwujudkan dalam
bentuk tresna. Hubungan manusia dengan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk asih
(sih).
Keseimbangan dalam melaksanakan bhakti,
tresna, dan sih ini diwujudkan dalam perilaku
sehari-hari. Karena itulah awig-awig menjadi
konsep Tri Hita Karana ini sebagai landasan
filosofisnya. Dengan mengusung konsep ini
karma diharapkan berperilaku sesuai dengan
ajaran agama Hindu, di antaranya tat twan asi (aku
yaitu kamu), persaudaraan, keharmonisa, dan
antikekerasan dalam hidup bersama.
warga Desa Pakraman selalu berusaha
bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya.
ini didasarkan oleh kesadaran bahwa alam
semesta yaitu sebuah kompleksitas unsurunsur yang satu sama lain terkait dan membentuk
suatu sistem kesemestaan. Dari sini ditemukan
bahwa nilai dasar kehidupan adat di Bali yaitu
nilai keseimbangan. Nilai keseimbangan ini lalau
diwujudkan ke dalam dua hal. Pertama, selalu
berusaha menyesuaikan diri dan menjalin dengan
elemen-elemen alam dan kehidupan yang berada
di sekelilingnya. Kedua, ingin menciptakan
suasana kedamaian dan ketentraman agar sesama
makhluk dan alam di mana manusia sebagai salah
satu elemen dari alam semesta.
warga kemudian menjadikan kedua hal
ini sebagai asas dalam kehidupan. Nilai dan
asas-asas ini dipersepsikan ke dalam ajaran filsafat
Tri Hita Karana. Tri artinya tiga; Hita artinya baik,
senang, gembira; Karana artinya sebab musabab,
sumbernya sebab. Secara singkat Tri Hita Karana didefinisikan sebagai tiga hal yang memicu
manusia mencapai kesejahteraan, kebahagiaan,
dan kedamaian (I Made Suastawa Dharmayuda
dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali,
Upada Sastra, Denpasar, h.6. 33).
Menurut I Gusti Ketut Kaler, unsur Tri Hita
Karana yaitu jiwa (atman), tenaga atau kekuatan
(prana), dan badan wadag (sarira). Ketiga unsur
ini kemudian menjadi pola warga Bali,
dalam pembuatan rumah dan desa. Dalam
rumah, unsur atman (Tuhan) ditempatkan di
merajan atau sanggah tempat ibadah sebagai
parhyangan rumah. Unsur prana yaitu anggota
keluarga sebagai pawongan rumah. Unsur sarira
yaitu keseluruhan pekarangan rumah sebagai
palemahan rumah.
Dalam desa, unsur atman berupa Pura
Kahyangan Tiga sebagai parhyangan desa. unsur
prana berupa krama desa sebagai pawongan
desa. unsur sarira berupa area desa sebagai
palemahan desa. Awig-awig Desa Pakraman
sebagai pedoman perilaku sudah disusun
berdasarfkan Tri Hita Karana. Hubungan manusia
dan Tuhan diatur dalam Sukerta Tata Agama
(Parhyangan). Hubungana antara manusia dengan
manusia diatur dalam Sukerta Tata Pawongan.
Hubungan antara manusia dengan lingkungan
warga dan lingkungan alam diatur dalam
Sukerta Tata Palemahan.
Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis
awig-awig juga terjabarkan dalam falsafah Hindu
lainnya seperti Tri Mandala, Catur Purusa Artha, Desa Kala Patra, Tat Twam Asi, dan Tri Upasaksi.
Awig-awig Desa Pakraman yaitu patokan
tingkah laku baik tertulis maupun tidak tertulis
yang dibuat oleh warga yang bersangkutan
berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang
hidup dalam warga . Dilihat dari pengertian
ini bisa dipastikan semua Desa Pakraman memiliki
awig-awig. Namun ada yang sudah tertulis dan
ada yang belum tertulis. Majelis Utama Desa
Pakraman (MUDP) mendata di Bali ada 1.488
Desa Pakraman. Sampai saat ini masih dilakukan
inventarisir beberapa Desa Pakraman yang sudah
menyuratkan awig-awignya dan beberapa yang
belum. Sejak tahun 1969 ada kecenderungan
Desa Pakraman menuliskan awig-awignya dalam
bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya
antara lain memberi peluang kepada prajuru
adat dan generasi yang akan datang untuk lebih
memahami isi awig-awig desanya.
Penulisan awig-awig ini dianggap penting
atas dasar pertimbangan bahwa hukum adat
dalam bentuk tidak tertulis yang berupa kebiasaankebiasaan sangat sulit dikenali. Dengan penulisan
ini diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)
lebih terjamin dan penting untuk penemuan
hukum (rechtsvinding). Dengan kepastian hukum,
dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat
(awig-awig) akan memberi rasa kepastian dalam
bersikap dan bertindak hingga tak ada keraguraguan dalam penerapan hukum. Kepastian
hukum ini mencakup warga , pasti bagi
prajuru, dan pasti untuk pemerintah. Dalam hal penemuan hukum, penulisan hukum adat (awigawig) untuk memudahkan dalam hal menemukan,
mengetahui, dan memahami isi ketentuan hukum
adat. Dalam bentuknya yang tertulis akan sangat
mudah ditemukan oleh kalangan petugas hukum
dan generasi yang akan datang. Karena itu, perlu
adanya keseragaman dan penerbitan dalam
bentuk dan sistematikanya.
Hal yang tidak terpisahkan dalam penyusunan
awig-awig yaitu patokan yang dipakai
yaitu cerminan dari nilai-nilai Pancasila,
antara lain mengatur tentang kewajiban krama
dalam kehidupan ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa; Pengakuan martabat yang sama sebagai
krama desa; adanya kekompakan dan kesatuan
sebagai pengikat; selalu bermusyawarah dalam
sangkepan atau paruman; adanya unsur sukaduka dalam kehidupan berwarga serta diikat
oleh kehidupan paras-paros. Sbagai hukum yang
tumbuh dari bawah, scara psikologis awig-awig
memiliki legitimasi yang kuat dalam warga .
Awig-awig diterima dan ditaati di dalam
warga yang berada di area Desa Pakraman
yang bersangkutan. Awig-awig jika dilihat dari
fungsinya yaitu alat kontrol sosial (hukum
sebagai sarana kontrol sosial). ini dilihat dari
asumsi awig-awig mampu mengontrol perilaku
krama desa dan menciptakan kesesuaian dalam
perilaku mereka, baik secara preventif maupun
represif.
Awig-awig juga berfungsi sebagai sarana untuk
mengubah warga (social engineering) karenakemampuannya merespon dan mengantisipasi
perubahan dalam warga . Karena itu awigawig harus mengarahkan perubahan warga
sesuai dengan rel yang telah dibakukan dalam
awig-awig tersebut. Dengan adanya awzigawig memudahkan tujuan Desa Pakraman yakni
kasukertan desa sekala-niskala (ketertiban,
ketentraman, dan kedamaian lahir batin) di Desa
Pakraman. Kasukertan desa tidak saja berlaku bagi
internal Desa Pakraman (krama desa) melainkan
berlaku juga bagi eksternal Desa Pakraman
terutama dengan Desa Pakraman tetangga
(pasuwitran nyatur desa).
Penulisan awig-awig bukanlah perkara
mudah, karena itu memerlukan pemikiran
bersama karena hasilnya akan dipakai bersama.
Substansi awig-awig menjadi hal yang penting
untuk dibahas sebelum menuliskan awig-awig.
Jangan sampai menuliskan awig-awig hanya untuk
kepentingan praktis sesaat, misalnya keperluan
lomab Desa Pakraman atau syarat mendapatkan
dana dalam rangka pembentukan Lembaga
Perkreditan Desa (LPD). Jika yang dilakukan hanya
untuk kepentingan sesaat, adakalanya Desa
Pakraman menyalin mentah-mentah awig-awig
Desa Pakraman lain. ini tentu sangat tidak
disarankan karena sunbstansi awig-awig antara
lain Desa Pakraman dengan Desa Pakraman lain,
walaupun secara geografis berdekatan. Awig-awig
hasil salinana atau duplikasi ini nantinya tidak akan
dapat dipergunakan.
Dalam hal substansi, adakalanya ditemukan norma-norma yang sulit diubah, padahal ada
keinginan untuk mengubah. Kadang tidak semua
hukum adat tidak tertulis (dresta) dapat dituangkan
dalam awig-awig tertulis. Bisa jadi karena kesulitan
saat merumuskannya dalam substansi awig-awig
tertulis atau bisa jadi karena kelupaan. ini
jangan sampai menjadikan penyusunan awigawig tertulis menjadi tidak terealisasikan. Dresta
yang terlupakan biarkan tetap berlaku sebagai
awig-awig tidak tertulis. Di kemudian hari, ada
kesempatan untuk memasukkannya dalam
perarem pengele sebagai pelengkap awig-awig. Di
sinilah dresta mendapat tempat sehingga menjadi
bagian dari awig-awig tertulis.
Substansi awig-awig besarnya berisi Murdha
Citta, Pamikukuh, Petitis, asas-asas, norma atau
kaidah, dan sanksi. Asas-asas misalnya gotong
royong, tolong menolong, musyawarah mufakat,
saling asah saling asih saling asuh, paras paros,
rukun laras patut. Norma/kaidah dirumuskan
dalam bentuk larangan, perintah, dan kebolehan.
Hal-hal yang dilarang, diperintahkan, dan
dibolehkan harus mengacu pada pamikukuh dan
petitis yang telah ditetapkan. Norma-norma yang
berupa perintah dan laranga, rumusannya disertai
sanksi yang jelas. Norma-norma yang berisi
kebolehan, rumusannya tidak disertai sanksi.
Rumusan norma dalam awig-awig suapaya
bersifat mendidik dalam arti mendidik krama
susaha bersikap dan berperilaku bhakti kepada
Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha
Esa), tresna kepada sesama, dan asih terhadap lingkungan. Semua ini yaitu inti dari Tri
Hita Karana. Isi awig-awig di bagian norma harus
bersifat moderat dan fleksibel. ini bertujuan
mengakomodir kebutuhan perkembangan zaman
terutama yang berkaitan dengan kependudukan,
kebersihan lingkungan, kesejahteraan, dan lain
sebagainya.
Umunya awig-awig tertulis hanya memuat
pokok-pokok mengenai kehidupan Desa
Pakraman. Aturan pelaksanaan yang lebih rinci
dituangkan dalam bentuk keputusan rapat
desa yang disebut perarem. Perarem memiliki
kekuatan mengikat yang secara substansi bisa
dikelompokkan menjadi tiga, perarem penyahcah
awig, perarem ngele/lepas, dan perarem penepas
wicara. Perarem penyahcah awig artinya aturan
pelaksanaan dari awig-awig tertulis yang sudah
ada. Perarem ngele berupa keputusan paruman
yang yaitu aturan hukum baru yang tidak
ada landasannya dalam awig-awig tertulis. ini
biasanya dipakai untuk mengakomodir kebutuhan
hukum baru untuk mengikuti perkembangan
warga . Perarem penepas wicara yaitu
keputusan paruman mengenai suatu wicara
(perkara) yang berupa persoalan hukum seperti
sengketa maupun pelanggaran hukum.
Dengan demikian, Tri Hita Karana
memicukehidupan yang harmonis antara
sesama wagra desa adat untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagian hidup yaitu
landasan bagi desa adat. Terhadap adanya
kesatuan pandangan dalam kehidupan desa adat kemudian di Bali, kita mengenal adagium yang
yaitu asas dari kebersamaan, yakni: Salulung
Sabyayantaka (sa + luhung + luhung sa + byaya (sa)
+ antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam
istilah Bali disebut Beriuk Seguluk artinya sehidup
senasib dan sepenanggungan.
Atas dasar asas kebersamaan ini, hendaknya
setiap anggota desa adat yaitu bagian
keluarga besar desa adat termasuk masalah
kesejahteraan warga. Bila desa adat mampu
melaksanakan fungsi dan peranannya, maka
tujuan desa adat dalam mewujudkan desa yang
Sukertagama (warga tenteram karena
melaksanakan ajaran agama), Tata Tenteram
Kertaraharja (tenteram dan sejahtera) akan dapat
diwujudkan.
Dalam penelitian ini diambil obyek
pengamatan terhadap area Bali bagian selatan.
Bali selatan yang terdiri dari Kabupaten Badung,
Denpasar, Gianyar, dan Tabanan yaitu
salah satu pusat pariwisata di Provinsi Bali. Secara
keseluruhan Bali selatan memiliki jumlah potensi
wisata sebanyak 146 daya tarik wisata dengan
persebaran 36 daya tarik wisata di Kabupten
Badung, 28 daya tarik di Kota Denpasar, 59 daya
tarik di Kabupaten Gianyar, dan 23 daya tarik di
Kabupaten Tabanan. Perlu dicatat, pengembangan
pariwisata di Provinsi Bali belum merata pada semua
kabupaten, pengembangan pariwisata hanya
berpusat di Kabupaten Badung dan Denpasar. Hal
ini memicuperekonomian area
ini lebih tinggi dibandingan dengan area lainnya.
Pada Tahun 2015 persentase PDRB sektor
akomodasi makan dan minum di Kabuapten
Badung dan Denpasar lebih besar dibandingakan
dengan Kabupaten Gianyar dan Tabanan yaitu
26.18% dan 23.09 %. sedang Kabupaten Gianyar
dan Tabanan memiliki persentase sebesar 20.48%
dan 18.27%.157 Selain itu dari aspek ketersediaan
fasilitas akomodasi makan dan minum, Kabupaten
Badung dan Denpasar memiliki jumlah hotel dan
restoran lebih banyak dibandingkan Kabupaten
Gianyar dan Tabanan.
Pada Tahun 2015 Kabupaten Badung memiliki
jumlah hotel berbintang sebanyak 357 dan
491 hotel non bintang, Kota Denpasar memiliki
65 buah hotel berbintang dan 251 hotel non
bintang, sedang Kabupaten Gianyar memiliki
hotel berbintang sebanyak 49 dan 358 hotel non
bintang, serta Kabupaten Tabanan memiliki 6
buah hotel berbintang dan 109 hotel non bintang.
Begitu pula pada fasilitas untuk memenuhi
kebutuhan wisatawan seperti restoran, pada
Tahun 2015 Kabupaten Badung dan Denpasar
memiliki jumlah restoran masing-masing 825 dan
449 buah, sedang Kabupaten Gianyar dan
Tabanan memiliki jumlah restoran masing-masing
504 buah dan 32 buah.158
Tahun 2015-2018 Pemerintah Daerah
Provinsi Bali melalui Program Bali Mandara Jilid II mencanangkan pembentukan 100 desa wisata159
yang tersebar pada 8 kabupaten dan 1 kota.
Seratus desa wisata ini penyebarannya
masing-masing 22 desa wisata di Kabupaten
Buleleng, 6 desa wisata di Kabupaten Jembrana,
16 desa wisata di Kabupaten Tabanan, 5 desa
wisata di Kabupaten Badung, 15 desa wisata di
Kabupaten Gianyar, 10 desa wisata di Kabupaten
Klungkung, 11 desa wisata di Kabupaten Bangli,
10 desa wisata di Kabupaten Karangasem, dan 5
desa wisata di Kotamadya Denpasar. Desa Wisata
Timbrah yaitu salah satu dari 10 desa wisata yang
dikembangkan di Kabupaten Karangasem melalui
Program Bali Mandara Jilid II, sedang sembilan
lainnya yaitu desa wisata Budekeling, Sibetan,
Tenganan, Prangsari, Iseh, Antiga, Jasri, Besakih,
dan Munti Gunung.160
Kota Surakarta
Kota Surakarta yaitu salah satu kota yang berada
di area Provinsi Jawa Tengah. Lokasi kota ini terbilang
sangat strategis, terletak pada pertemuan jalur dari
Semarang dan dari Yogyakarta menuju Surabaya dan
Bali. Seperti daerah yang lain, Kota Surakarta yaitu
daerah otonom yang berusaha untuk mengelola rumah
tangga daerahnya sendiri dengan segala potensi yang ada.Lahirnya undang-undang tentang pemerintahan
daerah memberi hak otonom bagi daerah untuk mengelola
dan memajukan daerah masing-masing dengan potensi
daerah yang ada. Potensi daerah yang dikelola menjadi
usaha pariwisata menjadi tawaran sebagai usaha untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta
meningkatkan kesejahteraan warga .147
Kota Surakarta yaitu salah satu kota wisata
yang kaya akan potensi lokal. Salah satu keunikannya yakni
kota Surakarta yaitu bekas ibukota kerajaan, yang
kaya akan peninggalan sejarah kerajaan baik secara fisik
maupun perangkat pranata budaya.148 ini yang
menjadikan daya tarik wisata kota Surakarta sekaligus
sebagai alasan pemilihan kota Surakarta dalam obyek
penelitian ini. Kota Pariwisata yaitu salah satu kota
dengan destinasi wisata yang menarik. Badan Promosi
pariwisata Kota Surakarta melakukan pemetaan potensi
wisata di Kota Surakarta. Berdasarkan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan (RIPKA) Kota Surakarta
tahun 2016-2026 ada sedikit perbedaan antara peta
ruang lingkup area dengan data dari Bappeda Kota
Surakarta. Data Bappeda menunjukkan pembangunan
dan pengembangan destinasi pariwisata terdisi dari 14
(empat belas) destinasi, yaitu:
1. Destinasi Pariwisata Keraton Surakarta Hadiningrat
dan sekitarnya;
2. Destinasi Pariwisata Pura Mangkunegaran dan
sekitarnya;
3. Destinasi Pariwisata Benteng Vastenburg dan
sekitarnya;
4. Destinasi Pariwisata Museum Radya Pustaka dan
sekitarnya;
5. Destinasi Pariwisata Wayang Orang Sriwedari dan
sekitarnya;
6. Destinasi Pariwisata Taman Sriwedari dan sekitarnya;
7. Destinasi Pariwisata Taman Balekambang dan
sekitarnya;
8. Destinasi Pariwisata Taman Satwa Taru Jurug dan
sekitarnya;
9. Destinasi Pariwisata Pasar Klewer dan sekitarnya;
10. Destinasi Pariwisata Pasar Gede dan sekitarnya;
11. Destinasi Pariwisata Pasar Antik Triwindu dan
sekitarnya;
12. Destinasi Pariwisata Kampung Batik Laweyan dan
sekitarnya;
13. Destinasi Pariwisata Kampung Batik Kauman dan
sekitarnya;
14. Destinasi Pariwisata Kampung Situs Budaya Baluwarti
dan sekitarnya
Destinasi wisata di Surakarta menyebar di beberapa
daerah yang disebut sebagai kawasan strategis wisata
Kota. Kawasan strategis yang tersebar di beberapa titik
untuk pengembangan pariwisata daerah ini memiliki
andil besar dalam peningkatan pendapatan daerah.
Kawasan strategis inilah yang berpengaruh pula terhadap
perkembangan UMKM di Kota Surakarta. Dalam kajian
dari Bappeda mencatat setidaknya ada 8 (delapan)
kawasan strategis:1. Kawasan strategis pariwisata Keraton Surakarta – Pasar
Gede yang meliputi Keraton Surakarta Hadiningrat –
Kampung Baluwarti – Alun-alun utara dan latan - Bank
negara kita - Masjid Agung - Kampung Batik Kauman –
Pasar Klewer - Gedung Juang 45 - Beteng Vastenburg
- Masjid Gurawan – Kampung Pasar Kliwon -Kampung
Loji Wetan – Gladag - Koridor Jenderal Sudirman –
Tugu Pamandengan - Kreteg Gantung - Kampung
Balong - Pasar Gede.
2. Kawasan Strategis Pariwisata Sriwedari yang
meliputi Museum Radya Pustaka - Museum Ndalem
Wuryaningratan - Museum Keris - Loji Gandrung
Museum PON I Stadion Sriwedari - Jalan BhayangkaraTaman Sriwedari.
3. Kawasan Strategis Pariwisata Mangkunegaran yang
meliputi Pura Mangkunegaran - Masjid Al-Wustho -
Pasar Antik Triwindu – Koridor Ngarsopura - wisata
kuliner Keprabon – Ketelan - Kestalan.
4. Kawasan Strategis Pariwisata Balekambang yang
meliputi Stadion Manahan Taman Balekambang -
Pasar Burung dan Pasar Ikan Hias Depok.
5. Kawasan Strategis Pariwisata Kampung Batik Laweyan.
6. Kawasan Strategis Jurug yang meliputi Taman
Satwataru Jurug-Taman Ronggowarsito - Jembatan
Bengawan Solo - Sungai Bengawan Solo.
7. Kawasan Strategis Pariwisata Budaya dan Pendidikan
yang meliputi Taman Budaya Jawa Tengah - Universitas
Sebelas Maret-Institut Seni negara kita – Solo Techno
Park.
8. Kawasan Strategis Kuliner.149Kawasan wisata di atas diklasifikasikan berdasar
jarak yang berdekatan, sehingga memudahkan wisatawn
memilih alur perjalanan wisatanya. Perencanaan perjalanan
wisata yaitu hal penting dalam pariwisata. Dengan
perencanaan, dapat dipastikan soal tujuan, biaya
dan waktu. Ketidak tepatan dalam perencanaan akan
memicupemborosan biaya, waktu, tenaga bahkan
kegagalan perjalanan. Permasalahan alur perjalanan
wisata ini membutuhkan suatu gagasan berperspektif
teknologi tepat guna misal berupa website atau tool
cerdas yang dapat membantu wisatawan membuat
rencana perjalanan.150
Pada tahun 2017, Surakarta memiliki Perda No. 5
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata.
Tujuan Peraturan Daerah ini yakni meningkatkan
pertumbuhan ekonomi warga Surakarta
sehingga dapat meningkatkan pula kesejahteraannya.
Kesejahteraan warga meningkat karena terbukanya
lapangan pekerjaaan dari sektor wisata. Selain itu
dengan pengelolaan yang baik, dapat melestarikan alam,
lingkungan dan sumber daya. Wisata lokal juga dapat
memajukan kebudayaan daerah dan meningkatkan
rasa cinta tanah air.151 Ketentuan dalam perda ini tidak
bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya,
karena pada prinsipnya, “kemandirian daerah dalam
berotonomi tidak berarti daerah boleh membuat
peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi secara hierarki atau kepentingan umum.”152
Pada Pasal 9 Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017
diatur tentang bidang usaha pariwisata. Bidang usaha
yang diatur dalam pasal ini mengacu pada UU No.
10 tahun 2009. Untuk mengimplementasikan perda,
dibutuhkan suatu kebijakan agar Peraturan Daerah dapat
berjalan dengan optimal. Optimalisasi Perda berkorelasi
dengan terwujudnya pembangunan yang maksimal.
Pembangunan perlu dikawal oleh kebijakan yang
memberikan pedoman pelaksanaan berikut laranganlarangan untuk memastikan proses pembangunan dapat
terarah, terpadu dan berjalan sesuai rencana-undang
sebelumnya (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990).
Letak perbedaannya, pada peraturan yang baru mengatur
pula tentang hiburan dan spa. Ketentuan ini di adopsi oleh
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2017.
Strategi pengembangan dan pemasaran pariwisata
yaitu salah satu bentuk kebijakan yang dirumuskan
oleh pemerintah daerah Surakarta dengan tujuan
meningkatkan usaha pariwisata di kota Surakarta.
Pelaksanaan kebijakan ini mengacu pada norma
tertentu yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Norma yang dimaksud yakni UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
dan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Usaha Pariwisata.
Selain merumuskan strategi pengembangan,
Pemerintah Kota Surakarta juga merumuskan strategi
pemasaran destinasi wisata kota Surakarta. ada
beberapa pilihan untuk strategi pemasaran destinasi
wisata Kota Surakarta. Pertama, Strategi Bundling153
Produk Pariwisata Koridor I. Dalam koridor ini memiliki
beberapa destinasi wisata yang berkarakter kuat, misalnya
Benteng Vastenburg, Pasar Gedhe, Kampung Mbalong,
Alun Alun Utara, Pasar Klewer dan Keraton Surakarta.
Kawasan ini juga menjadi lokasi beberapa even
wisata yang memiliki daya tarik sangat baik. Even
wisata, seperti SIPA, Apresiasi Musik Kebangsaan, Solo
Keroncong Festival, Gerebek Sudiro, Imlek, Sekatenan dan
Solo Great Sale. Strategi bundling produk direkomendasikan
yaitu menggabungkan even wisata dengan destinasi
wisata yang menjadi lokasinya. Secara tidak sengaja,
ini sudah dilakukan hanya saja fokus penyelenggara
even wisata yaitu pada penyelenggaran even wisata
dan belum memasarkan destinasi wisata yang menjadi
lokasinya. Bentuk penggabungan yang riil yaitu dengan
memakai merek even wisata dan destinasi wisata
secara simultan, misalnya dengan memakai judul
even Vastenburg Solo International Performing Art, Pasar
Gedhe Imlek Festival dan sebagainya. Konsep bundling
produk lain yaitu dengan menggabungkan destinasi
wisata, even wisata dan produk kuliner tertentu. Basis
utama produk yaitu even wisata yang diselenggarakan
di destinasi wisata tertentu dengan daya tarik kuliner khas
Solo.
Kedua, Strategi fokus keunikan produk unggulan wisata.154 Strategi ini mengacu pada salah satu produk
unggulan yang menjadi ciri khas wisata kota Surakarta
yaitu keris. Strateginya yaitu dengan menyusun paket
perjalanan menyusuri Koridor I dengan nama Solo Keris
Trail. Paket perjalanan pendek dengan berjalan kaki ini
dilakukan dengan asumsi Dinas Pekerjaan Umum Kota
Surakarta merealisasikan sidewalk (trotoar) yang ramah
pejalan kaki. Paket perjalanan pendek ini dilakukan
dengan mengunjungi destinasi wisata tertentu dengan
souvenir dan kuliner tertentu.
Ketiga, Strategi Komunikasi Pemasaran Destinasi
Wisata Kota Surakarta.155 Dinas Pariwisata dan Seni Budaya
Kota Surakarta bekerja sama dengan Dinas Perhubungan
Komunikasi dan Informatika sudah mengembangkan
aplikasi berbasis android yang berisi tentang informasi
destinasi wisata di Kota Surakarta, selain itu materi promosi
berupa leaflet, outdoor banner dan website sudah dibuat
dengan cara dan desain yang menarik. Dinas Pariwisata
Seni dan Budaya juga sudah melakukan kerjasama denganAngkasa Pura dan pengelola Bandara Internasional Adi
Soemarmo untuk memperluas cakupan komunikasi
pemasaran destinasi wisata Kota Surakarta.
Keempat, Strategi Efisiensi Biaya Paket Wisata
Backpacker Destinasi Wisata Kota Surakarta. Wisatawan
backpacker156 sering dipandang sebelah mata oleh
para penyedia jasa pariwisata karena dianggap mereka
termasuk kelas segmen ekonomis. Para penyedia jasa
pariwisata tidak menyadari bahwa wisatawan backpacker
memiliki kekuatan besar sebagai pemberi referensi
bagi wisatawan lainnya. ini dalam pemasaran lazim
disebut dengan word of mouth. Para backpacker ini
membagikan informasi tentang destinasi wisata yang
mereka kunjungi melalui media sosial berupa facebook,
instagram, path dan twitter. Mereka biasanya memiliki
pengikut yang banyak. ini seharusnya disadari oleh
para penyedia jasa pariwisata dengan menyediakan
paket wisata khusus bagi wisatawan backpacker dengan
biaya murah namun berharap pada efek word of mouth
dari kelompok wisatawan ini. Berkembangnya teknologi
dan informasi memaksa usaha pariwisata untuk terus
berinovasi agar tidak kalah bersaing. Terkait Kota Surakarta,
ada banyak penelitian mengenai pengembangan
kota pariwisata Surakarta dalam persepektif pemanfaatan
teknologi, misalnya aplikasi, web site, peningkatan sarana
prasana. Fasilitas dan sistem pelayanan yaitu sistem
penujang yang tidak dapat diabaikan. Jika tidak ada fasilitas yang memenuhi pesyaratan, tidak ada pula obyek
yang dapat di operasionalkan oleh pelaku.
Penelitian model kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme
lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan penting untuk
dilakukan karena minimal 4 (empat) pertimbangan sebagai
berikut. Pertimbangan pertama, Pariwisata yaitu sektor
yang semakin penting karena memberi manfaat ekonomi bagi
penduduk. Dampak yang ditimbulkan pariwisata terhadap
perekonomian bukan hanya berasal dari pengeluaran
wisatawan namun juga dari penciptaan lapangan pekerjaan
serta pengembangan sarana dan prasarana. Pariwisata
secara global menyumbang 9% gross domestic product (GDP)
atau USD 6 triliun, menciptakan 120 juta pekerjaan langsung
dan 125 juta pekerjaan tak langsung di bidang pariwisata. Di
suatu negara, pariwisata berdampak terhadap peningkatan
produksi barang kebutuhan wisatawan; tumbuhnya usaha
jasa layanan pariwisata dan jasa akomodasi; peluang
pekerjaan bagi warga lokal; peningkatan pendapatan
warga lokal; meningkatnya aksesibilitas jalan dan jasa
transportasi; dan bertambahnya layanan utilitas air bersih,
listrik, dan telekomunikasi. Manfaat pariwisata cenderung
meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan
pariwisata dunia. Dari tahun 1995 sampai tahun 2014, jumlah
kedatangan wisatawan dunia memiliki kecenderungan
meningkat. Pertimbangan kedua, telah dilakukan pemetaan area -area negara kita dalam kerangka 50 tujuan
destinasi wisata nasional. Kemudian, konsep perencanaan
pariwisata di tingkat satuan pemerintahan daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota) telah disusun dalam sebuah Peraturan
Daerah tentang melalui pendekatan komprehensif berkaitan
dengan seluruh aspek, termasuk elemen sosial-ekonomi,
lingkungan, dan kelembagaan. Namun, dengan intensistas
dan kuantitas yang tidak sama, tiap-tiap destinasi wisata
nasional memiliki persoalan yang dapat memengaruhi
pengembangan daya saing pariwisata seperti (i) peningkatan
konsumsi bahan bakar minyak; (ii) peningkatan produksi
sampah; (iii) banjir dan sistem drainase yang kurang baik;
(iv) tingkat pencemaran tinggi; dan (v) belum optimalnya
penataan ruang dan peruntukan lahan. Rendahnya kualitas
lingkungan hidup menjadi lebih buruk karena pengaruh
kesenjangan ekonomi, selain itu, jumlah dan pertumbuhan
penduduk tidak sebanding dengan daya tampung area ,
dan rendahnya sikap positif tentang kesehatan dan
pencemaran lingkungan. Ketiga, Pemerintah berkeinginan
untuk menarik wisatawan asing sebesar 20 juta kunjungan
pada 2019. Pencapaian kunjungan wisatawan asing selama
11 bulan pertama tahun 2016 telah mencapai 10.405.947
kunjungan atau tumbuh sekitar 10 persen dari periode yang
sama tahun sebelumnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan selama November 2014, jumlah kunjungan
turis mencapai 1 juta. Angka ini tumbuh hampir 20
persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu.
Pemerintah menargetkan kunjungan wisman pada tahun
2017 sebesar 12 juta kunjungan. Dengan capaian sementara
hingga November 2016, dibutuhkan sekitar 1,6 juta kunjungan
wisman lagi, sehingga dapat menembus target yang dipatok
selama 2016. Untuk mewujudkan capaian tersebut, isu daya saing destinasi wisata menjadi mendesak untuk diperhatikan.
Daya saing dan keberlanjutan sebuah kawasan pariwisata
ini memiliki hubungan timbal balik yang saling
mendukung iklim usaha dan keberlanjutan lingkungan.
Keempat, negara kita memiliki keragaman destinasi wisata.
Segala kegiatan pengembangan pariwisata mencakup
berbagai segi yang sangat luas yang menyangkut berbagai
segi kehidupan warga mulai dari angkutan, akomodasi,
makanan dan minuman, cinderamata dan pelayanan (service).
Otto Soemarwoto menyatakan bahwa pengembangan
pariwisata yaitu kegiatan kompleks, menyangkut
wisatawan, kegiatan, sarana prasarana, objek dan daya tarik,
fasiltas penunjang, sarana lingkungan dan sebagainya.1
Oleh
karena itu, dalam pengembangannya harus memperhatikan
terbinanya mutu lingkungan. Tata letak peruntukan perlu
dilakukan untuk menghindari benturan antara kepentingan
pariwisata dengan kepentingan pencagaran. Melalui zonasi
yang baik keanekaragaman dapat terpelihara, sehingga
wisatawan atau pengunjung dapat memilih rekreasi yang
baik. Alur pengembangan pariwisata nasional dan kawasan
pariwisata daerah dapat dilihat pada Gambar 1.1.Di lain pihak, A.Mathieson dan G.Wall yang dikutip
Marpaung2
menyatakan bahwa karakter suatu kawasan
wisata dan penghuninya akan mempengaruhi kapasitas
pengembangan dan pelayanan wisata dan akan berdampak
terhadap kawasan atau komponen lingkungan yang
berada di sekitarnya, seperti pada komponen (a) karakter
dan sifat lingkungan alam (b) struktur pembangunan dan
perkembangan ekonomi (c) struktur sosial budaya (d)
struktur politik dan institusi dan (e) tingkat pengembangan
dan perencanaan pariwisata. Pada sisi ini, basis pluralisme
lokal menjadi layak untuk ditelaah lebih lanjut untuk
desain pengembangan kebijakan kepariwisataan yang
berkelanjutan. Pluralisme sebagai dasar pengembangan Pandangan positif efek kebijakan kepariwisataan
menunjuk kepada 3 (tiga) hal penting yaitu, sumbangan
sektor ini terhadap pemasukan devisa, penciptaan lapangan
kerja, pengembangan usaha dan keterkaitan dengan sektor
lain. Dalam aras makro, target pengembangan pariwisata
yang dicanangkan dalam aras negara selalu dikaitkan
dengan pemasukan devisa. Devisa dibutuhkan suatu negara
dalam rangka menunjang program pembangunan di negara
tersebut. Devisa yang masuk melalui sektor pariwisata
akan menambah cadangan devisa negara. Jika pariwisata berkembang berarti negara memiliki cadangan devisa
yang cukup untuk membiayai impor barang-barang modal
dan bahan baku dalam rangka menunjang pengembangan
sektor industri yang lain. Dari perspektif mikro, aktivitas
pembangunan pariwisata menciptakan lapangan kerja baik
secara langsung maupun tidak langsung. Penyerapan tenaga
kerja bisa secara tidak langsung terjadi jika pengembangan
sektor pariwisata mendorong perkembangan sektor
lain di luar pariwisata. Allcock (2006) dan Tetsu (2006),
berpendapat bahwa pariwisata juga dapat menjadi bagian
integral pembangunan ekonomi suatu negara jika dapat
menggerakkan sektor yang lain.3
Keterkaitan antar sektor
dapat dijelaskan sebagai akibat permintaan sektor pariwisata
terhadap produk dari sektor lain. Selain itu dengan demikian
maka perkembangan kegiatan pariwisata akan mendorong
berkembangnya entrepreneur lokal. Para pengusaha lokal
terlibat dengan membuka usaha sesuai dengan kebutuhan
para wisatawan.
Kerangka penting untuk mengkonfirmasi efek positif
di atas perlu ditelaah dalam prinsip negara kesejahteraan.
Dalam konteks ini, negara kesejahteraan menjadi tujuan
yang memang harus diusaha kan dan diperjuangkan semua
pihak. Sehubungan dengan ini, diperlukan ancangan
akademik yang serius untuk membaca fasilitasi hukum
dalam pengembangan kebijakan kepariwisataan berbasis
pluralisme lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan.
ini memperoleh justifikasi dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025, yang antara lain mengatakan
bahwa pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung
terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
mengatur permasalahan yang berkaitan dengan eknomi,
terutama dunia usaha dan dunia industri, serta menciptakan
kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan
hukum.4
B. Permasalahan
Penelitian dirancang untuk dilaksanakan dalam 2 (dua)
tahun penelitian. Untuk tahun 1, fokus penelitian diarahkan
kepada rekonstruksi dan analisis faktor-faktor penting yang
berpengaruh signifikan terhadap kebijakan kepariwisataan
berbasis pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif
pemangku kepentingan yaitu pemerintah daerah. Sementara
itu, untuk tahun 2, fokus penelitian yaitu formulasi model
kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk
mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Untuk
memberikan panduan dalam rangka analisis fokus penelitian
tersebut, dirumuskan masalah sebagai berikut:
Tahun 1 : Bagaimanakah konstruksi dan analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan kepariwisataan berbasis
pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan
daerah?
Tahun 2 : Bagaimanakah formulasi model kebijakan
kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan
negara kesejahteraan (welfare state)?
C. Tujuan Khusus
1. Menyajikan skema dan uraian yang memuat konstruksi
dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
kepariwisataan berbasis pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan daerah.
2. Menyusun formulasi model kebijakan kepariwisataan
berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan negara
kesejahteraan (welfare state).
D. Temuan yang dihasilkan
Tahun 1
Uraian yang memuat konstruksi dan analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme
di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan daerah. Uraian
ini diharapkan menyajikan paparan mengenai: (i) perspektif
pemerintahan daerah dalam mensinergikan prinsip-prinsip
hukum kepariwisataan internasional dan nasional yang
berlaku dewasa ini untuk landasan kebijakan di daerah;
(ii) perspektif pemerintahan dalam analisis faktor-faktor
penting yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan
kepariwisataan berbasis pluralisme lokal; dan (iii) perspektif
pemerintahan daerah soal variabel kebijakan kepariwisataan
berbasis pluralisme lokal yang dapat memperkuat manfaat
terhadap komunitas sosial, ekonomi, budaya penduduk, dan
lingkungan.
1. Aspek-aspek Penting Terkait dengan Pemerintahan
dan Kewenangan
Usaha untuk mencapai tujuan negara sebagai organisasi
kekuasaan6
, pemerintah menempati kedudukan yang
istimewa. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya
bahwa pemerintah diatur oleh hukum khusus yaitu hukumadministrasi sebagai instrumen pemerintah untuk secara
aktif turut campur dalam kehidupan bersama warga 7
dan sekaligus hukum yang memberikan perlindungan
kepada anggota kehidupan bersama itu.8
Negara yaitu
suatu organisasi warga untuk mengatur kehidupan
bersama. Untuk mencapai tujuan bersama itu disusun
suatu tatanan pemerintahan sebagai sarana pelaksana
tugas negara, beserta pembagian tugas dan batas
kekuasaan. Pemerintah atau administrasi negara yaitu
suatu abstraksi yang oleh hukum dipersonifikasi dan
diangkat sebagai realita hukum.9
Sebagai suatu abstraksi,
pemerintah tidak dapat melakukan tindakan-tindakannya
tanpa melalui organnya.10
,
11 Organ ini dikenal
sebagai “jabatan” , yaitu pendukung hak dan kewajiban,
sebagai subjek hukum (persoon) berwenang melakukan
perbuatan hukum (rechtsdelingen) baik menurut hukum
publik maupun menurut hukum privat. Ditambahkan
bahwa jabatan dapat menjadi pihak dalam suatu
perselisihan hukum (process party) baik di luar maupun
pada pengadilan perdata dan administrasi.12
Dari segi hukum administrasi, pelaksanaan sebuah
kebijakan diatur dalam norma-norma yang berhubungan
dengan “wewenang pemerintah, pelaksanaan tugas
pemerintahan, dan melindungi hak-hak administratif
rakyat.”13 Dalam hal ini, ia berhubungan dengan
peraturan-peraturan hukum publik “yang berkaitan
dengan pemerintahan umum.”14
,
15
,
16 Walaupun menjadi
domain pemerintah, yang mungkin dijauhkan dari
pengadilan17, namun dalam pelaksanaan wewenang
tadi diperlukan peraturan perundang-undangan dan
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh badan18
administrasi.19 Indroharto mengambil kesimpulan bahwa
ukuran yang harus dipakai yaitu masalah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang
dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintah. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa badan atau pejabat
tata usaha negara yaitu apa dan siapa saja berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang
dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintahan
tanpa memandang aparat resmi dalam struktur hierarkis
pemerintahan ataupun badan swasta. Dalam menetapkan
suatu badan atau jabatan sebagai badan atau jabatan
tata usaha negara yaitu tidak relevan dengan mencari
landasan pada masalah kedudukannya dalam struktur
hierarki pemerintahan.20
Tentu saja aturan-aturan itu tidak hanya bersumber
kepada hukum domestik saja, akan namun berkaitan juga
dengan aturan-aturan hukum internasional.21 Landasan
hukum internasional masih mencerminkan prinsipprinsip kedaulatan Westphalian, yang seringkali tampil
sebagai mitos dan retorika. Dalam konsepsi ini, negara
yaitu area fisik yang didefinisikan sebagai ruang
“ within which domestic political authorities are the sole
arbiters of legitimate behavior.”22 Negara dapat menjadibagian sistem hukum internasional dengan menyetujui
peraturan tertentu. Demikian juga, negara dapat memilih
untuk tetap menegaskan kedaulatan mereka sendiri dan
menghindari keterlibatan internasional.23 Secara formal,
kedaulatan Westphalia bukan saja hak untuk mandiri, untuk
dikecualikan, terbebas dari campur tangan eksternal. Tapi
juga hak untuk diakui sebagai subyek otonom dalam sistem
internasional, mampu berinteraksi dengan negara lain dan
menandatangani kesepakatan internasional.24 Dengan
latar belakang pemahaman kedaulatan ini, sebuah sistem
hukum internasional, yang meliputi negara-negara dan
dibatasi oleh prinsip persetujuan negara, menampakkan
eksistensinya.25
Perkembangan wewenang pemerintah dipengaruhi
oleh karakteristik tugas yang dibebankan kepadanya.
Tugas pemerintah yaitu mengikuti tugas negara, yaitu
menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai
organisasi kekuasaan.26 Dalam khazanah ilmu-ilmu kenegaraan ada beberapa macam dari tugas negara.
Mac Iver mengemukakan tiga tugas pemerintah dengan
menggolongkan menjadi: (1) cultural function; (2) general
welfare function; (3) economic control function.
27 Di antara
beberapa pendapat sarjana yang dikemukakan di atas
tidak ada perbedaan yang prinsip pada pengertian
“kekuasaan” dan “wewenang”. Pertama: “kekuatan”
menurut Utrecht sama dengan: “kekuasaan” menurut
Soerjono Soekanto, yaitu kemampuan badan yang lebih
tinggi untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak
yang ada pada pemegang kekuasaan, biarpun kemampuan
ini memiliki atau tidak memiliki dasar
yang sah. Kedua: kekuasaan, (Bagir Manan dan Utrecht)
sebagai hak yang sah untuk berbuat atau tidak berbuat.
Ketiga, wewenang, Bagir Manan) yaitu kemampuan yang
diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk melakukan
tindakan tertentu yang dimaksud untuk menimbulkan
akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Hak yaitu kebebasan
untuk melakukan (tidak melakukan) atau menuntut pihak
lain untuk melakukan (tidak melakukan) tindakan tertentu.
Pengertian ketiga yang paling relevan bagi negara hukum
demokrasi yang memberikan keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
Indroharto secara negatif merumuskan: “…tanpa
adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu
peraturan perundangundangan yang berlaku, maka
segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki
wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah
keadaan atau posisi hukum warga warga nya”.28 Asas
legalitas ditujukan untuk memberikan perlindungan
kepada anggota warga dari tindakan pemerintah.
Dengan asas ini kekuasaan dan wewenang bertindak
pemerintah sejak awal sudah dapat diprediksi (predictable).
Wewenang pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan
perundang-undangan memberikan kemudahan bagi
warga untuk mengetahuinya, sehingga warga
dapat menyesuaikan dengan keadaan demikian.29
Indroharto mempersoalkan apakah asas legalitas dalam
pengertian wetmatigheid van bestuur harus dilaksanakan
secara mutlak. Mengingat berkembangnya konsepsi
negara hukum modern yaitu perpaduan antara
konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Di dalam
konsep ini tugas negara atau pemerintah menurut Bagir
Manan tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan
atau ketertiban warga saja, namun memikul tanggung
jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum
dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.302. Kebijakan Penyelenggaraan Kepariwisataan
a. Kerangka Pemahaman Kebijakan Publik
Penelitian ini harus dipahami sebagai analisis kebijakan
publik, yang dalam ini yaitu pariwisata. Penciptaan
dan promosi kebijakan publik terkait erat dengan peran
yang dimainkan oleh pemerintah. Tidak ada kesepakatan
konsensus mengenai konsep kebijakan publik.
Beberapa penulis memahami kebijakan publik sebagai
fenomena politik yang longgar31, yang lain sebagai
instrumen politik32 dan penulis lain mendefinisikan
kebijakan berdasarkan pada pemangku kepentingan.33
Wilson mengkategorikan pengertian kebijakan publik
termasuk tindakan-tindakan pemerintah yang berhasil
maupun mengalami kegagalan.34
Para ahli mendefinisikan kebijakan publik sebagai
bagian dari aktivitas pemerintah yakni program yang
dirumuskan oleh para aktor selaku pengambil keputusan
untuk menyelesaikan masalah publik.35 Menurut Laswelldan Kaplan kebijakan publik yaitu program yang
diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilainilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu.36 sedang
Easton mendefinisikan kebijakan publik sebagai
akibat aktivitas pemerintah.37 Disisi lain, Anderson
berpandangan bahwa kebijakan publik yaitu
tindakan para aktor dalam menangani suatu masalah.38
Lester dan Steward mendefinisikan kebijakan publik
sebagai proses atau pola aktivitas pemerintah maupun
keputusan yang diranang untuk menangani masalah
publik.39 Selanjutnya, Peters mendefinisikan kebijakan
publik sebagai beberapa aktivitas pemerintah yang
secara langsung maupun melalui perantara memiliki
pengaruh terhadap kehidupan warga luas.40
Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai
serangkaian keputusan yang diambil oleh aktor politik
atau sekumpulan aktor dalam menentukan tujuan dan
cara mencapai tujuan ini dalam berbagai situasi,
secara prinsip memiliki kaitan dengan kekuasaan dan
kekuatan para aktor dalam mencapai tujuan tersebut.
kebijakan publik yaitu bagian dari pemerintah,
dan yaitu keputusan yang dirumuskan oleh
pemerintah untuk mencapai tujuan.41 Howlett danM.Ramesh mendefinisikan kebijakan publik sebagai
fenomena yang kompleks mencakup pelbagai
keputusan oleh beberapa individu dan organisasi.42
Berbagai definisi tentang kebijakan publik yang telah
diuraikan menunjukan bahwa aktor menjadi kunci
utama dalam kebijakan publik karena kewenangannya
dalam merumuskan, mengimplementasi dan
mengevaluasi kebijakan publik.
Wahab melanjutkan bahwa sebuah kebijakan
publik memiliki empat karakter sebagai berikut.
Pertama, kebijakan publik yaitu tindakan yang
sengaja dilakukan dan mengarah kepada tujuan
tertentu. Kedua, kebijakan pada hakekatnya terdiri dari
tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola.
Ketiga, kebijakan yaitu realitas tindakan pemerintah
dalam bidang-bidang tertentu. Keempat, kebijakan
publik mungkin berbentuk positif, mungkin berbentuk
negatif.
Fenna mengusulkan klasifikasi kebijakan publik
berdasarkan tema dan tujuan yang menjadi arah
kebijakan.44 Penulis ini menyoroti (i) kebijakan yang
terkait dengan produksi, yang difokuskan pada
peningkatan aktivitas ekonomi dan standar hidup
penduduk; (ii) kebijakan yang terkait dengan distribusi
kekayaan dan peluang akses; (iii) kebijakan yang
berkaitan dengan konsumsi barang, jasa dan sumber
daya dengan hubungan yang erat dengan lingkungan;
(iv) kebijakan yang terkait dengan identitas dan kewarganegaraan dan akhirnya, (v) kebijakan reflektif
yang menjelaskan proses pelaksanaan kebijakan dan
peraturan dan kendali mereka.
Analisis yang disajikan akan lebih dekat dengan
jenis kebijakan pertama. Umumnya, ketika menjelaskan
komponen kebijakan publik, sebagian besar penulis
sepakat tentang menekankan peran lembaga
pemerintah, keberadaan tujuan dan masalah, konteks
atau lingkungan di mana kebijakan dikembangkan,
aktor, penciptaan instrumen dan efeknya.45 Disiplin
yang muncul dari studi kebijakan publik dicirikan oleh
pertentangan antara teori dan penelitian.46 Meskipun
ada banyak teori provokatif dan berpotensi penting,
penelitian empiris yang sistematis untuk menguji
mereka sebagian besar masih kurang.47 Banyak peneliti
terdahulu fokus mengkaji aspek kebijakan pariwisata
terkait dengan Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Daerah (RIPPARDA) di negara kita namun tidak
lagi relevan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan.48 Selanjutnya, beberapa peneliti terdahulu fokus mengkaji komunikasi, sumber
daya, sikap dan disposisi pelaksana serta struktur
birokrasi dari implementasi kebijakan kepariwisataan.49
Selain itu, penelitian kepariwisataan menyinggung
isu ekonomi50, kegiatan pariwisata51, organisasi
penyelenggara pariwisata52, peran serta warga 53
, dan pariwisata berkelanjutan.54
Dilihat dari sudut alasan professional, maka
penelitian kebijakan publik dimaksudkan untuk
menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan
guna memecahkan masalah sosial sehari-hari.55 Menurut
Dunn56, analisis kebijakan bermula ketika politik
praktis harus dilengkapi dengan pengetahuan agar
dapat memecahkan masalah publik, India barangkali
yaitu asal muasal tradisi ini, ketika Kautilya
sebagai penasihat kerajaan Mauyan di India Utara,
menulis Arthashastra sekitar tahun 300 SM yang antara
lain berisi tuntunan pembuatan kebijakan. sedang di
Eropa, Plato (427- 327 SM) menjadi penasihat penguasa
Sisilia, Aristoteles (384-322 SM) mengajar Alexander
Agung hingga Nichollo Machiavelli (1469-1527) yang
menjadi konsultan pribadi beberapa bangsawan
di Italia kuno. Analisis kebijakan mulai memeroleh
tempat yang terhormat di abad pertengahan ketika
munculnya profesi spesialis kebijakan. Ketika birokrasi
muncul, profesi mereka dikenal sebagai pegawai
negeri. Seiring perkembangannya, munculnya statistik
membuat analisis kebijakan berkembang ketika advis
dapat dikuantifikasi. Di Inggris-London Manchester muncul the statistical society.
57 Pada tahun 1910, A.
Lawrence Lowell dalam pidatonya mengemukakan
perlunya pendekatan empiris dalam studi politik.
Pada tahun 1930 di Inggris, presiden